Dokumen tersebut membahas solusi ekonomi Islam secara parsial dengan mensyari'ahkan prinsip-prinsip dasar operasional bank syariah dan akad-akad yang dipergunakan dalam penghimpunan dan penyaluran dana."
5. PRINSIP DASAR OPERASIONAL
BANK KONVENSIONAL
MASYARAKAT
KELEBIHAN
DANA
LEMBAGA
INTERMEDIASI
BANK
KONVENSIONAL
MASYARAKAT
KEKURANGAN
DANA
(PENGUSAHA)
MENABUNG MEMINJAMKAN
MEMBERIKAN % BUNGAMEMBERIKAN % BUNGA
MENDAPAT SPREAD
6. PRINSIP DASAR OPERASIONAL
BANK SYARI’AH
MASYARAKAT
KELEBIHAN
DANA
LEMBAGA
INTERMEDIASI
BANK
SYARI’AH
MASYARAKAT
KEKURANGAN
DANA
(PENGUSAHA)
INVESTASI PEMBIAYAAN
MEMBERIKAN % BAGI HASILMEMBERIKAN % BAGI HASIL
MENDAPAT % BAGI HASIL
PENGHIMPUNAN DANA PENYALURAN DANA
8. • Menurut Imam Al Mawardi, syarat akad
mudharabah yang diakui ada tiga:
1. Harus ada salah satu pihak yang secara
khusus berkontribusi dalam modal (mal).
2. Harus ada pihak yang lain yang secara
khusus berkontribusi dalam melakukan
pengelolaan (‘amal).
3. Kedua pihak tahu bagian (nisbah)
keuntungan masing-masing.
9. • Pihak bank yang berposisi sebagai pengelola (mudharib)
disyaratkan adalah pihak yang dapat melakukan tasharruf
(pengelolaan) secara langsung terhadap dana yang telah
diserahkan kepadanya.
• Dana yang telah diserahkan kepada pihak bank ini tidak boleh
diserahkan pada pihak lain untuk dikelola.
• Jika dana tersebut kemudian diserahkan kepada pihak lain, maka
status bank sebagai mudharib secara otomatis akan hilang.
• Menurut Syaikh An-Nabhany, dalam akad mu’amalah pihak yang
menjadi subyek akad tidak boleh diwakilkan. Yang boleh
dilakukan hanyalah dalam hal mewakilkan akad-nya saja.
10. • Jika penyerahan dana dari bank kepada pihak lain itu dengan
menggunakan akad wakalah (perwakilan), maka hal ini juga
tidak relevan, karena dana tersebut sudah diserahkan
kepada pihak bank (mudharib) untuk dikelola.
• Apabila akad wakalah itu tetap diberlakukan, maka hak pada
dana itu akan berpindah kepada pihak lain, di luar pihak
bank syari’ah.
• Sehingga, apabila pengelolaan dana oleh pihak luar tersebut
menghasilkan keuntungan, maka pihak bank syari’ah
sesungguhnya tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari
keuntungan tersebut (tidak berhak mendapatkan bagi hasil).
11. • Karena dana yang diterima bank syari’ah disalurkan kepada pihak
lain dengan akad mudharabah juga, maka dalam posisi ini, pihak
bank akan bertindak juga sebagai shahibul maal.
• Dalam kondisi ini bank syari’ah akan menjalani dua posisi
sekaligus, yaitu sebagai mudharib, sekaligus sebagai shahibul
maal, sehingga bank syari’ah memerankan akad ganda (multi
akad) yang dilarang.
• Dalilnya dari Hadits:
•َو ِهْيَلَع ُ هاَّلل ىهلَص ِ هاَّلل ُلوُسَر ىَهَنِِ ِْْيَََََْْص َْْع ََهلَسٍََ ِِا َو ٍَََْْص ي
• “Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu
kesepakatan (akad)” (HR. Imam Ahmad Bin Hanbal).
12. • Untuk akad wadhi’ah (titipan), maka dalam akad ini seharusnya
tidak boleh ada tambahan atau imbalan apapun dari pihak bank
syari’ah kepada nasabah penitip.
• Adapun pemberian berupa bonus (‘athaya) yang bersifat sukarela
dari pihak bank kepada nasabah, maka bonus tersebut tidak boleh
bersifat mengikat.
• Jika pemberian itu bersifat mengikat dan selalu diberikan kepada
nasabah penitip, maka hal itu jelas menjadi tidak sukarela.
• Oleh karenanya, bonus seperti itu menjadi tidak boleh.
• Merubah aqad tabaru’at menjadi aqad tijariyat itu tidak
diperbolehkan, namun jika sebaliknya, hukumnya boleh.
13. AQAD PENYALURAN DANA:
1. BAGI HASIL (PROFT SHARING)
a. AL-MUDHARABAH
b. AL-MUSYAROKAH
2. JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)
a. BAI’ AL-MURABAHAH
b. BAI’ AS-SALAM
c. BAI’ AL-ISTISHNA’
3. SEWA (OPERATIONAL LEASE AND FINANCIAL LEASE)
a. AL-IJARAH
b. AL-IJARAH AL-MUNTAHIA BIT-TAMLIK
4. JASA (FEE-BASED SERVICES)
a. AL-WAKALAH
b. AL-KAFALAH
c. AL-HAWALAH
d. AR-RAHN
e. AL-QARDH
14. • Dalam penyaluran dana dengan menggunakan akad
mudharabah, maka posisi Bank tidak dapat dianggap
sebagai shahibul mal, sebab dana tersebut bukanlah
dana milik bank, tetapi dana tersebut milik shahibul
mal yang sesungguhnya, yaitu pihak nasabah penabung
atau deposan.
• Pihak bank justru posisinya sebagai mudharib.
• Oleh karena itu, akad mudharabah ini menjadi tidak
sah, karena nasabah penerima penyaluran dana yang
akan bertindak sebagai mudharib itu akan mengelola
dana yang bukan haknya, sehingga tidak boleh dikelola.
15. • Jika bank menyalurkan dana yang berasal dari dana nasabah
penitip (dengan akad wadhi’ah), maka sesungguhnya boleh
saja bagi bank syari’ah untuk memanfaatkan dana tersebut
atas ijin dari pemiliknya.
• Namun demikian, jika pemanfaatan tersebut kemudian
disalurkan kepada nasabah dengan akad syirkah
mudharabah, maka pihak bank juga tidak dapat diposisikan
sebagai shahibul mal, karena bank hanyalah wakil dari
shahibul mal yang sesungguhnya, yaitu nasabah penitip.
• Jika penyaluran dana dengan akad mudharabah ini
memperoleh keuntungan, maka keuntungan tersebut
bukanlah hak dari bank syari’ah, melainkan hak dari nasabah
penabung atau deposan penitip (muwaddi’).
16. • Jika landasan yang digunakan oleh bank untuk mengambil
keuntungan adalah wakalah bil ujrah, maka landasan tersebut
juga tidak dapat diterima.
• Ujrah (upah) yang diterima, sesungguhnya bukanlah hak dari
bank syari’ah, karena pihak bank dalam posisi akad ini tidak
melakukan aktivitas apapun, yang layak untuk disebut sebagai
ajir (pekerja).
• Definisi ijarah:
•َعَْْنَمْال ىَلَع ٌضََْع َ يِه ٍَُرَجِ ْْلَأاض َوِعِِ ٍ
• “Al-ijarah adalah aqad atas manfaat dengan imbalan (upah)”
17. • Dalam akad musyarakah, maka ada ketentuan bahwa
masing-masing pihak, yaitu pihak bank dan nasabah
penerima dana, harus terlibat dalam dua posisi sekaligus,
yaitu penyertaan dana, sekaligus terlibat dalam
pengelolaan proyek bisnis secara langsung.
• Namun pada praktiknya, pihak bank ternyata tidak ikut
berperan secara langsung terhadap terhadap proyek-
proyek bisnisnya.
• Yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan proyek
bisnis hanyalah pihak nasabah penerima dana.
18. • Apabila aktivitas pengelola (‘amil) dari pihak bank adalah: “Melakukan
review, meminta laporan dan bukti-bukti dari hasil usaha yang dibuat oleh
pihak nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan”, maka aktivitas tersebut tetap belum layak disebut
sebagaiaktivitas pengelola (‘amil).
• Menurut Ibnu Qudamah: “Bagi ‘amil, wajib mengurus sendiri apa yang
biasanya memang harus ditangani sendiri oleh pengelola.
• Pihak pengelola juga tidak berhak dibayar, karena haknya adalah
mendapatkan kompensasi dari bagi hasil.
• Hal itu juga diperkuat dengan ketentuan UU Perbankan, bahwa institusi
perbankan tidak boleh melakukan kegiatan ekonomi riil secara langsung,
seperti aktivitas jual beli, mengelola proyek dan sebagainya.
19. • Ketentuan murabahah yang mengharuskan pihak bank syari’ah
membiayai sebagian atau seluruh harga yang disepakati
kualifikasinya, hal itu dapat dianggap bertentangan dengan fakta
bahwa posisi bank syari’ah adalah sebagai penjual.
• Padahal, ketentuan bagi pihak penjual adalah menjual barang
yang telah dimiliki kepada pihak pembeli, yaitu nasabah.
• Jika dalam praktiknya pihak bank syari’ah akan membiayai
sebagian, dan sebagian yang lain harus dibayar oleh pembeli
sendiri, maka bank syari’ah sesungguhnya telah bertindak
sebagai pihak yang menghutangi pembeli, bukan menjadi pihak
penjual.
20. • Dalam akad murabahah tersebut yang berlaku bukanlah jual beli
dengan hutang, namun hutang-piutang murni, sehingga pihak
bank syari’ah tidak boleh menetapkan harga beli ditambah
keuntungannya.
• Sebab, statusnya adalah utang-piutang, maka pembayarannya
harus sama dengan jumlah hutangnya. Jika ada tambahan, maka
hal itu dapat dikategorikan sebagai riba.
• Dalil Haditsnya sebagai berikut:
•اَِ ِر َوُهَِ ًٍَعَْْنَم هرَج ض ْرَق ُّلُك
• “Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa’at adalah riba”
(HR. Baihaqi).
21. • Dalam akad ini, Bank Syari’ah bertindak sebagai Ajir (pekerja) dan
nasabah sebagai musta’jir (pengguna manfa’at).
• Karena Bank tidak bergerak di bisnis riil, maka jasa (manfa’at)
tersebut diberikan oleh pihak lain, kemudian “dijual” kepada
nasabah.
• Dalam transaksi ini jasa tersebut belum ada dan masih dalam
bentuk dzimmah maushufah (tanggungan yang terdeskripsikan),
sehingga jasa tersebut tidak dapat diserahkan kepada musta’jir .
• Maka, akad tersebut adalah akad jual beli hutang dengan hutang,
sehingga hukumnya haram.
• Dalilnya dari Hadits sebagai berikut:
•هىِِهنال هَْأ-َوسل عليه هللا صلى-ْيَِ َْْع ىَهَنِئِلاَكْالِِ ِئِلاَكْال ِع
• “Bahwa Nabi SAW melarang menjual hutang dengan hutang.”
(HR. Imam Ad-Daraquthni).
22. • Akad Ijarah Muntahiyah bit-Tamlik dapat disamakan dengan
akad sewa beli.
• Sewa dan beli adalah dua akad yang berbeda, maka jika disatukan
akan menjadi akad yang fasid (rusak).
• Dalilnya dari Hadits:
•َو ِهْيَلَع ُ هاَّلل ىهلَص ِ هاَّلل ُلوُسَر ىَهَنِِ ِْْيَََََْْص َْْع ََهلَسٍََ ِِا َو ٍَََْْص ي
• “Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam
satu kesepakatan (akad)” (HR. Imam Ahmad Bin Hanbal).
• Dalam akad ini juga terdapat syarat-syarat yang membatasi
pemanfaatan (intifa’) dan tasharruf atas kepemilikan barang
yang disewabelikan, sehingga akadnya menjadi rusak (fasid).
23. JASA (FEE-BASED SERVICES)
• Akad jasa, seperti akad Al-Wakalah, Al-Kafalah, Al-Hawalah, Ar-
Rahn dan Al-Qardh termasuk dalam kelompok akad tabarru’ atau
akad untuk kepentingan sosial kemanusiaan.
• Hubungan akad ini menggunakan prinsip tolong-menolong
(ta’awun).
• Sudah menjadi kesepakatan ulama’ bahwa akad tabarru’ tidak
boleh berubah menjadi akad tijarah (komersial). Sedangkan untuk
sebaliknya adalah boleh.
• Salah satu dalilnya adalah dari Hadits. Nabi SAW bersabda:
•َْسيَلِِ َُوُعَي يِذهال ِء ْوهسال ُلَثَم َانَلُع ِج ْرَي ِبْلَكْالَك ِهََِِِه يِهِئْيَق يِِ
• “Tidak ada orang yang menandingi kejelekan orang yang menarik hibahnya di
antara kita, selain seperti anjing yang menjilat ludahnya” (HR. Imam Bukhari).
• Pengambilan fee (uang jasa) dalam akad-akad diatas tidak
diperbolehkan.