2. Independensi Pers
• Media massa atau Pers adalah suatu istilah
yang mulai digunakan pada tahun 1920-an
untuk mengistilahkan jenis media yang secara
khusus didesain untuk mencapai masyarakat
yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-
hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.
3. Perkembangan Pers di Indonesia
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik
Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di
Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina, dan
pers Nasional.
• Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di
Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat
kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia
yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.
• Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di
Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina,
Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk
keturunan Cina.
• Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia
terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang
Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa
Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono,
pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910
berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers
Nasional.
4. Adapun perkembangan pers Nasional dapat
dikategorikan menjadi beberapa periode sbb :
Tahun 1945 – 1950-an
• Pers Perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat
perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung
Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang
diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
• Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI
semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran
Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta),
Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta
Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
5. Tahun 1950 – 1960-an
• Masa ini merupakan masa pemerintahan
parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada
masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai
politik dalam rangka memperkuat sistem
pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu
merupakan alat propaganda dari Par-Pol.
Beberapa partai politik memiliki media/koran
sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers
dikenal sebagai pers partisipan.
6. Tahun 1970-an
• Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-
an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi
dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973,
Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan
yang memaksa penggabungan partai-partai
politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI,dan
PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan
partai-partai politik dan organisasi massa
terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat
dana dari partai politik.
7. Tahun 1980-an
• Pada tahun 1982, Departemen Penerangan
mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1
Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers
yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen
Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah.
Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan
dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik
pembangunan dianggap sebagai pers yang berani
melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup
dengan cara dicabut SIUPP-nya.
8. Tahun 1990-an
• Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai
melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada
tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan
jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai
menentang pemerinah dengan memuat artikel-
artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan
Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah
mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan
Editor.
9. Masa Reformasi (1998/1999) – sekarang
• Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati
kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era
reformasi ditandai dengan terbukanya kran
kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan
itu ditunjukkan dengan dipermudahnya
pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses
untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap,
tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses
tersebut melibatkan 3 tahap saja.
10. PERS DI INDONESIA BERKEMBANG DAN BERUBAH SEJALAN TUNTUTAN ZAMAN.
PERS MENGALAMI BEBERAPA PERUBAHAN IDENTITAS
• 1900-an, pers di Indonesia berperan sebagai propagandis dan
ikut mengabarkan perkembangan informasi demi mendukung
perjuangan dalam merebut kemerdekaan
• 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
• 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang
mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang
mendanainya.
• 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial,
dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca
yang tinggi.
• 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
• Reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan
pemerintahan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan
Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
11. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33
(fungsi pers)
1. Wahana komunikasi massa.
2. Sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga
negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.
3. Penyebar informasi.
4. Menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau
negara kepada warga negara (dari atas ke bawah)
maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke
atas).
5. Pembentuk opini.
6. Menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini
terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
7. Media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
serta sebagai lembaga ekonomi.
12. UUD 1945 Pasal 28, yang berbunyi :
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
Undang.”
UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan :
“Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum.”
13. Selain itu, kebebasan pers di Indonesia memiliki landasan
hukum yang termuat didalam ketentuan-ketentuan sbb :
• Pasal 28 F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
• Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang
berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi.
• Pasal 19 Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang
berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai
dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk
kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk
mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah
pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang
batas-batas wilayah.”
14. • Keseimbangan antara kebebasan pers dengan
tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang
penting. Hal yang pertama dan utama, perlu
dijaga jangan sampai muncul ada tirani media
terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik
harus tetap mendapatkan informasi yang benar,
dan bukan benar sekadar menurut media. Pers
diharapkan memberikan berita harus dengan se-
objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak
terjadi ketimpangan antara rakyat dengan
pemimpinnya mengenai informasi tentang
jalannya pemerintahan.
15. Pola Hubungan Pers dan Politik
• Dari dimensi sejarah pertumbuhan dan
perkembangan pers dunia, maka kita mengenal
empat macam teori atau konsep dasar tentang
pers, yang masing-masing mencerminkan sistem
sosial dan sistem politik dimana pers itu
berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson
dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories
of the Press membedakan teori pers ke dalam:
Teori Pers Otoriter, Teori Pers Liberal, Teori Pers
Komunis, Teori Pers Tanggungjawab Sosial.
16. Teori Pers Otoriter (authorian)
• Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa
kerajaan absolut. Dalam teori ini media massa berfungsi menunjang negara
(kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai
tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi
kegiatan media massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada di
bawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada
kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
• Dalam sistem ini manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat
berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat
terbatas. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam
organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara.
• Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini,
menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers dengan memberlakukan UU
no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua undang-undang
tersebut, secara tersurat, memberi kewenangan yang sangat signifikan kepada
pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers pada waktu itu.
17. Teori Pers Liberal
• Sistem pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan
kedelapan belas sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan
perubahan besar di dalam pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat
pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung (abad
pencerahan).
• Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya
secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya
apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak
mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut
paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai
makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan
dan kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat,
dan negara.
• Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan
berlakunya UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan
perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial.
Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori
pers liberal. Pers pada masa ini cenderung tidak lagi dipergunakan untuk
perjuangan negara, namun dipergunakan sebagai terompet partai.
18. Teori Komunis
• Dalam teori komunis ini, media massa
merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian
integral dari negara. Ini berarti bahwa media
massa harus tunduk pada perintah dan kontrol
dari pemerintah atau partai. Tunduknya media
massa pada partai komunis membawa arti yang
lebih dalam, yaitusebagai alat dari partai komunis
yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam media
massa, tetapi kritik terhadap dasar ideologi
dilarang.
19. Teori Pers Tanggungjawab Sosial
• Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua
puluh sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari Teori
Libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral pada
masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus
disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan
hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori
lebertarian murni dan tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Teori ini
sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori
sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers
terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai
orientasi yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral
kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan
terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum.
20. • Analisis saya :
• Menurut saya, keberadaan pers saat ini di pengaruhi oleh kebijakan pada zaman Soeharto,pers hanya dibolehkan untuk kepentingan pemerintahan sangat dibatasi,karena menganut
sistem status quo. Karena hal itu menyebabkan jalannya pemerintahan secara bebas-bebasan, karena kurangnya pantauan dan keterbatasannya pers dalam mengelola media dan
konsumsi masarakat. Dan sebenarnya adanya keterbatasan dalam pers ini diakibatkan karena pada zaman belanda yang diberikan kepada pers Batavia sangat terbatas. Namun, setelah
lahirnya pasal 28, atas kebebasan “berserikat,berkumpul,berpendapat” ternyata mempengaruhi keberadaan pers menjadi lebih baik. Dan ternyata setelah masa reformasi keberadaan
pers mendapat titik terang dan pencerahan terhadap pers,serta memberi ruang kosong bagi masyarakat untuk mengenal para penguasa dan sebagai pemasok informasi secara lengkap
bagi masyarakat,seperti hadirnya media-media cetak di Indonesia,dan diharapkan dengan kebebasan pers ini,para pencari berita dapat memberikan pers seobjektif mungkin demi
kepentingan masyarakat.
• Dengan adanya kebebasan media massa maka akhirnya mengalami pergeseran ke arah liberal pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang terdiri dari dua
jenis : Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.
• 1) Kebebasan negatif merupakan kebebasan yang berkaitan dnegan masyarakat dimana media massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari interfensi pihak luar
organisasi media massa yang berusaha mengendalikan, membatasi atau mengarahkan media massa tersebut.
• 2) Kebebasan positif merupakan kebebasan yang dimiliki media massa secara organisasi dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang dijalankan oleh pemilik
media dan manajer media terhadap para produser, penyunting serta kontrol yang dikenakan oleh para penyunting terhadap karyawannya.
• Kedua jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang kebebasan yang
diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media massa memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-kadang tinggi atau bisa dikatakan
bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol sedikitpun.
• Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha, penguasa dan politikus melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki
siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan
menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus
dengan membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika.
• Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang
mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarakat. Pers
idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta,
mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat.
• Sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah, menentang, atau bahkan mendua terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra. Media massa juga
dapat menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan sebagai pengawal kebijakan pemerintah. Suara (kebijakan) pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan
interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam pengelolaan media.
• Ada ketakutan yang luar biasa apabila kebebasan Pers pada akhirnya menjadi celah pada kepentingan para birokrat dan penguasa maupun pengusaha, hal ini sangat memungkinkan
terjadi untuk masa sekarang dan bahkan akan berkelanjutan untuk di masa yang akan datang. Hal ini di tandai dengan terlibatnya beberapa pengusaha-pengusaha besar media yang
akhirnya terlibat dalam politik praktis secara langsung. Keberadaan Media atau Pers pada akhirnya akan berpihak terhadap situasi politik nasional yang berkaitan dengan kepentingan
pribadi atau golongan tertentu dan pada akhirnya akan lebih meninggalkan fungsi dari pres itu sendiri.
• Kekuatan Media sebenarnya merupakan kekuatan ke 4 Strategis Bangsa Indonesia, karena keterlibatan pres dapat ikut terlibat mewujudkan amanat rakyat sesuai dengan cita-cita
pembukaan UUD 1945 yaitu Mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka tidak menjadi relevan apabila peran pres atau media di kendalikan oleh situasi dan dinamika politik nasional yang
jelas akan melunturkan dari cita-cita dan perjuangan strategisnya.