2. KEGIATAN BELAJAR 1
POSITIVE HUKUM
Secara empiric – falsafati, positive hukum lahir sebagai kritik terhadap
aliran hukum kodrat. Dengan ratio, positiveme hukum menolak aliran
hukum kodrat yang terlampai idealistic. Aliran hukum kodrat dengan
segala variannya yang menepatkan onlogi hukum pada tataran yang
sangat abstrak, ditolak positivism hukum karena dinilai konkret.
Dalam peta filsafat hukum modern, dokrin positivism memperoleh
akar akademis modern pada pemikiran John Austin , Hans Kelsen &
H.L.A Hart.
3. A. JOHN AUSTIN
Pembentuk hukum adalah penguasa yang berdaulatan yang
bentuknya diindentikan dengan UU serta dikenakan terhadap pihak
yang dikuasi adalah pemikiran John Austin.
Prinsip – prinsip dari positivism hukum klasik dikembangkan pada
abad ke- 18 & 19 oleh Bentham dan Austin.
Bagi aliran ini, hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis, lebih
khusus bentuk yuridisnya. Mengenai isi atau materi hukumm, bukan
soal yang penting.
4. B. HANS KELSEN
Ada 2 teori penting yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang
mempengaruhi pemikiran hukum.
1. Tentang keharusan hukum bersifat murni
2. Kelsen menolak apabila validitas norma diuji dari sesuatu yang
bukan norma.
5. C. H.L.A HART
Hart membangun tesisnya tentang positivism lebih
kompleks daripada Austin. Hart membagi peraturan
menjadi dua macam yakni peraturan primer (primer rules)
dan peraturan sekunder (secondary rules)
6. KEGIATAN BELAJAR 2
REALISME HUKUM
Ada dua cabang realisme hukum, yakni hukum Amerika dan realisme
hukum Skandinavia. Realisme hukum Amerika menempatkan
empirisme dalam sentuhan pragmatism, sikap hidup yang
menekankan aspek manfaat dan kegunaan berdasarkan pengalaman,
kehidupan nyata sehari – hari adalah dunia pengalaman.
Realisme hukukm Skandinavia berbeda lagi, aliran ini menempatkan
empirisme dalam sentuhan psikologi, aliran yang berkembang di
Uppsala, Swedia awal abad ke 20, mencari kebenaran suatu
pengertian dalam situasi tertentu dengan menggunakan psikologi.
7. A. TEORI OLIVER HOLMES
Aturan – aturan hukum hanya menjadi salah satu factor yang patut
dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot factor moral, soal
kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan social misalnya menjadi
factor yang tidak kalah penting mengambil keputusan yang berisi.
Jadi bukan sebuah pantangan, jika demi putusan yang fungsional dan
kontekstual, aturan resmi terpaksa disingkirkan (lebih-lebih jika
menggunakan aturan itu justru berakibat buruk). Dengan kapasitas
seperti ini, para hakim memiliki kompetensi merubah UU bila hal itu
perlu.
8. B. TEORI ALF ROSS
Menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis semua gejala yang muncul dalam
pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala psiko-fisis. Ilmu hukum
harus bertitik tolak dari kenyataan – kenyataan itu, ditemukan dalam perasaan –
perasaan psikologis. Perasaan perasaan itu, tampak pada rasa wajib, rasa kuasa,
ataupun rasa takut akan reaksi lingkungan. Dalam kerangka pemikiran psikologi
itulah, ikhwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat
mewajibkan. Menurutnya, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada
hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya, bila saya berbuat sesuai atura,
maka bebas dari sanksi. Sebaliknya, jika berbuat tidak sesuai, maka pasti menerima
sanksi. Pengalaman inilah yang membuat orang memandang hukum sebagi wajib.
Berlakunya hukum tidak lain dari itu, yakni suatu relasi timbal –balik antara sanksi
dengan rasa wajib/takut. Maka keharusan yuridis seluruhnya bersangkut paut
dengan realitas social.
9. KEGIATAN BELAJAR 3
HUKUM ALAM
Menurut sarjana – sarjana neothomisme , aliran terkuat dalam timbulnya kembali
teori hukum alam, terdapatlah hukum alam diatas hukum positif. Hukum alam ini
berakar dalam suatu aturan metafisis sebagaimana direncanakan tuhan. Hukum
alam memilih kekuatan hukum yang rill dan yang dapat dikenal akal budi manusia.
Dengan demikian hukum alam melebihi hukum positif dan karenanya dapat
menghilang kekuatannya.
10. A. TEORI W.A.M LUYPEN
Pembentukan hukum perlu dipandu keadilan. Keadilan merupakan dasar
dan norma kritis dalam hukum. Ini mutlak perlu, karena kalua tidak, hidup
Bersama yang adil tidak mungkin terjamin. Jadi hukum tidak sekedar sebuah
aturan sebagai aturan seperti dipahami kaum legalis. Tidak juga sekedar
suatu kenyataan yang bebas nilai seperti konsepsi kaum reine rechtslehre.
Sebaliknya dalam hukum sebagai hukum, yakni keadilan. Dari keadilan
itulah, muncul hukum yang mewajibkan. Dengan lain perkataan, adanya
kandungan keadilan dalam suatu aturan, menyebabkan muncul suatu sifat
mewajibkan dari peraturan tsb. Tanpa sifat kewajiban ini, maka tidak ada
suatu aturan pun yang pantas disebut hukum.
11. B. TEORI FRANCOIS GENY
Di tengah kejayaan ilmu hukum analitis (termasuk di prancis) yang
cenderung berkutat pada teks literal aturan, Francois Geny tampil dengan
terobosan yang menusik. Dalam pengamatan Geny, penafsiran code civil
oleh pengadilan prancis, ternyata merupaka rangkaian aksi kreatif. Para
hakim tidak hanya mengandalkan UU, tetapi juga adat kebiasaan.
Bertompang pada 3 prinsip : 1. otonomi kemauan, 2 kepentingan umum, 3
keseimbangan kepentingan.
Dari kenyataan itulah Geny lalu membangun teori tentang metode
penafsiran hukum. Lewat karya utamanya “metode tafsir & sumber hukum
privat”, ia mengkritik cara penafsiran rasionalisme abad ke 18 & 19 yang
yakni bahwa “undang – undang itu sempurna adanya”. Tidak! Kata Geny