Dokumen tersebut membahas tentang pesantren salaf dalam sistem dan kebijakan pendidikan nasional Indonesia. Secara garis besar, dokumen ini menyoroti karakter pendidikan pesantren salaf yang tidak hanya berfokus pada pendidikan agama Islam tetapi juga pendidikan karakter bangsa dan nation building. Dokumen ini juga mengkritik kebijakan pemerintah terhadap pesantren yang dianggap kurang menghargai eksistensi pesantren sebagai lembaga pendid
1. PESANTREN SALAF DALAM SISTEM DAN
KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL
(BAHAN DISKUSI DI BALAI LITBANG
KEMENTERIAN AGAMA JAKARTA)
Oleh Ahmad Baso
2. KARAKTER PESANTREN
SALAF
Pesantren bukan semata “pendidikan Islam’.
Tapi pendidikan karakter yang hidup dalam
konteks berbangsa, yang bergumul dan saling
mengisi dengan hakikat dan jatidiri bangsa ini,
serta berproses ke dalam satu cara beragama
dimana yang dipromosikan adalah “Amrih
mashlahate kawulanίng Allah sedaya sarta
amrίh karaharjane negari lestarίne agamί
Islam” (Berjuang untuk kepentingan
kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk
kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan
kelestarian agama Islam) [kutipan dari Kiai
Maja]
3. TUJUAN
PESANTREN :
CHARACTER BUILDING DAN
NATION BUILDING
Karena mengarah pada kesinambungan memori bangsa dan
pemeliharaan sumber-sumber kekuatan bangsa ini, maka
pesantren menjadi alat dan mekanisme efektif dan satu-satunya
(perhatikan: satu-satunya dan tidak tertandingi oleh sistem
manapun) untuk mengembangkan segenap kekuatan dan
potensi sumber daya bangsa ini di masa depan, yang nanti akan
dituangkan dalam berbagai displin pengetahuan dan dalam unit-unit
pengajaran
Pesantren adalah sarana untuk membentuk kemampuan bekerja
penduduk negeri ini, dan juga sebagai sarana yang utama untuk
memahami pengalaman bangsa-bangsa di dunia ini, untuk
menguji berbagai kecenderungan (paham, aliran, ideologi,
politik) di dunia ini, serta untuk memahami dan membentuk
karakter khusus bangsa kita dengan sebuah pandangan untuk
membangkitkan segenap kekuatan mereka ke depan dengan
sebuah pandangan yang optimis dan kritis
4. PESANTREN SALAF ADALAH
PERGURUAN ASLI BANGSA
INDONESIA
“Lihatlah buah dari perguruan asli kita [pesantren] itu, coba bercakap
dengan kiai-kiai itu, sungguh mengherankan pada siapa yang berdekatan
dengan mereka, logic mereka, pengetahuan mereka yang didapati dari
buku-buku yang dipelajari mereka, pengetahuan yang sungguh ‘hidup’.
Janganlah orang memandang ‘cara mengaji’ saja yang oleh beberapa
debaters dipandang buruk itu. Timbanglah juga semua keuntungan dan
kerugian yang didapati secara perguruan pesantren itu dan yang didapati
secara Barat dan lazim pada waktu ini, barulah orang mendapat
bandingan yang sepadan. Bandingkan kegembiraan orang-orang yang
hanya keluaran pesantren dengan orang didikan cara yang lazim
sekarang. Orang akan heran bahwa mereka yang disebut pertama itu
biasa memasuki semua lapangan pekerjaan, bisa menduduki pekerjaan-pekerjaan
yang seakan-akan bersifat merdeka, sedang angan-angan
anak-anak kita zaman sekarang hanya akan mencari pemburuhan [yakni
sebagai pegawai adminsitrasi atau kuli yang digaji – AB], kebanyakan.
--- Dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, dalam Polemik Kebudayaan (tahun
1930-an).
5. “SYSTEEM PONDOK DAN ASRAMA ITULAH
SYSTEEM NASIONAL” (KI HAJAR DEWANTARA DAN
DR SOETOMO MEMAKNAI HAKIKAT PESANTREN)
dokterSoetomo menyebut sejumlah karakter yang hidup
pada sistem pesantren, sehingga layak mengisi ideologi
kebangsaan-keindonesiaan. Karakter pertama,
“pengetahoean pada moerid-moeridnja”; Karakter kedua,
“memberi ala-alat goena berdjoeang di doenia ini”;
Karakter ketiga, “pendidikan jang bersemangat
kebangsa’an, tjinta kasih pada Noesa dan Bangsa
choesoesnya, dan pada doenia dan sesama oematnja
oemoemnja”; Karakter keempat, “moerid-moerid akan
menjediakan diri oentoek menoendjang keperloean
oemoem”; Karakter kelima, “kekoeatan batin dididik;
ketjerdasan roh diperhatikan dengan sesoenggoeh-soenggoehnja,
sehingga pengetahoean jang diterima
olehnja itoe akan dapat dipergoenakan dan disediakan
oentoek melajani keperloean oemoem teroetamanja”.
6. PANDANGAN KI HAJAR DEWANTARA
“Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah
pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau
sekarang “pondok pesantren”, kalau di jaman kabudan [Hindu-
Budha] dinamakan “pawiyatan’ atau “asrama”. Adapun sifatnya
pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumahnya kiai guru (ki
Hajar) yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan
buat pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap-tiap hari,
siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendiri
selalu berhubungan dengan pendidikan.
Pada jaman sekarang pondok itu hanya terpakai buat pengajaran agama
saja, tetapi pada jaman asrama rumah guru itu tidak cuma rumah
pengajaran agama saja, tetapi juga jadi rumah pengajaran rupa-rupa
ilmu, yaitu: agama, ilmu alam, falakia, ilmu hukum, bahasa, filsafat,
seni, keprajuritan, dan lain-lain pengetahuan yang dulu sudah
dipelajari oleh kaum terpelajar (para sarjana sujana)” [“Systeem
Pondok dan Asrama itulah Systeem Nasional”. Wasita, vol. 1, no. 2,
November 1928. Dimuat kembali dalam Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki
Hadjar Dewantara(Bagian Pertama: Pendidikan) (Yogyakarta: Madjelis
Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), hal. 370-2.]
7. MADRASAH ADALAH BAGIAN DARI PESANTREN
SALAF, BUKAN ANTAGONISME TERHADAP
PESANTREN SALAF, TAPI PELENGKAP
TERHADAP SISTEM SALAF
1. Adalah sesuatu yang menyesatkan kalau pembentukan
madrasah dibaca sebagai “pembaruan pesantren”
2. KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim mendirikan
madrasah salafiyah dan madrasah nizhamiyah di tahun
1916 dan tahun 1930-an untuk melengkapi sistem
pesantren salaf
3. KH Saifuddin Zuhri menulis dalam Guruku Orang-orang
dari Pesantren (1974) bahwa madrasah di tahun 1930-an
didirikan oleh para kiai di Banyumas untuk tujuan-tujuan
khusus: madrasah arabiyah (pendalaman bahasa Arab),
al-Huda school (pendalaman ilmu-ilmu umum) dan
islamitisch westerse school (pendalaman ilmu-ilmu
umum dengan pengantar bahasa Belanda)
8. KEBIJAKAN PEMERINTAH
TENTANG PESANTREN 1945-1972
1. Polarisasi antara pendidikan formal dan non-formal
2. Hatta dan Jend Nasution memberlakukan ijazah kertas untuk mencabut
hak para kiai menjadi komandan pasukan dalam TNI
3. SK Menteri Dalam Negeri 1946 tentang pencabutan tanah-tanah perdikan
(yang sebagian besar menopang kehidupan pesantren)
4. Dualisme kelembagaan pendidikan nasional antara Departemen Agama
dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dimana pesantren
menjadi subordinat dari sistem besar pendidikan nasional) [mengikuti
pola dualisme politik, ekonomi dan kebudayaan yang diperkenalkan
kolonialisme Belanda kepada Indonesia; di satu sisi ada pembaratan
atau westernisasi; di sisi lain ada pemeliharaan kebudayaan nasional,
dengan menjadikan yang kedua ini melayani kepentingan yang pertama
dan tidak mengganggunya]
5. Seminar Pesantren di Yogyakarta awal tahun 1965: menempatkan
madrasah dalam pesantren dengan tetap mengakui dan
mempertahankan eksistensi pesantren dan rekomendasi pentingnya
negara melindungi tanah-tanah waqaf pesantren
6. Seminar Pesantren di Tugu, Bogor, tahun 1970: Mukti Ali muncul dengan
ide pembaruan pesantren
9. KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG
PESANTREN PASCA 1972 (ERA MUKTI ALI
DENGAN IDE PEMBARUAN PESANTREN )
1. Mempertanyakan kepemimpinan kiai dan mengarahkan
kepemimpinan pesantren dalam bentuk yayasan
2. Pengenalan ijazah (kertas)
3. Standarisasi kurikulum pesantren: memasukkan ilmu-ilmu
umum untuk mencapai tujuan standarisasi, bukan sebagai
penguatan materi pendidikan keilmuan pesantren dari dalam
(matematika misalnya wajib diajarkan dalam semua jenjang
untuk menentukan kualitas pengajaran dan ouput, padahal
matematika sudah diajarkan kepada kaum santri untuk
mendalami ilmu falak, ilmu hisab dan fiqih mawartits (hukum
waris).
4. Penyederhanaan materi kurikulum: materi pengajaran
bahasa Arab disederhanakan menjadi lebih simpel dan
ringan (tidak lagi menganjurkan ngaji kitab Alfiyah dan
syarahnya)
10. PESANTREN DALAM REZIM
UU SISDIKNAS 2003
1. Problem sistem: melanjutkan polarisasi pendidikan
formal dan non-formal
2. Problem standarisasi mutu dan kualitas ouput: sistem
formal sebagai ukuran terhadap yang non-formal
3. Problem kurikulum: materi diseragamkan
11. PESANTREN DALAM KEBIJAKAN
MENTERI AGAMA
PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM (yang
dibatalkan)
1. Pengertian pesantren: “4. Pesantren adalah lembaga pendidikan
keagamaan Islam berbasis masyarakat baik sebagai satuan pendidikan
dan/atau sebagai wadah penyelenggara pendidikan” (ada pembedaan antara
pesantren sebagai satuan pendidikan dan pesantren sebagai wadah
penyelenggara pendidikan ... Dan pesantren salafiyah dikategorikan masuk
yang pertama)
2. Pengertian pesantren salafiyah: “5.Pesantren salafiyah adalah pesantren
yang menyelenggarakan pendidikan dengan menggunakan kitab kuning dan
sistem pengajaran yang ditetapkan oleh kyai atau pengasuh”
3. Pengertian kitab kuning: “6. Kitab kuning adalah kitab klasik berbahasa
Arab (kutub al-turats) yang memiliki akar tradisi keilmuan di pondok
pesantren dan sesuai dengan nilai-nilai Islam keindonesiaan”
4. Pesantren salafiyah masuk kategori “pendidikan diniyah nonformal” tanpa
gelar akademik
12. PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG
PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM (YANG BERLAKU
KINI)
1. Tidak ada lagi pengertian “pesantren salafiyah”. Pesantren sebagai
satuan pendidikan dibedakan antara pesantren yang
menyelenggarakan pengajian kitab kuning (masuk kategori
salafiyah) dan dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan
mu’allimin (masuk kelompok pesantren modern seperti Gontor)
2. “3. kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab yang
menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren”
3. Ada pengakuan terhadap kekahsan masing-masing pesantren, tapi
ada juga pagar-pagar standarisasi mutu dan output yang harus
tunduk pada sistem pendidikan formal
4. Pesantren salafiyah masuk kategori pendidikan non-formal dan
output-nya harus distandarisasi kalau ingin disetarakan atau di-muadalah-
kan: Pasal 18 “Hasil pendidikan pesantren sebagai
satuan pendidikan dapat dihargai sederajat dengan pendidikan
formal setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi dan ditunjuk oleh Direktur jenderal”
13. USULAN SOLUTIF BAGI PEMBARUAN SISTEM DAN
KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL MENUJU
PENGAKUAN DAN PENGHORMATAN PESANTREN
SEBAGAI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (PENDEKATAN
SISTEMIK DAN REVOLUSIONER)
1. SOAL SISTEM= PESANTREN ADALAH SEBUAH SISTEM NASIONAL
(PERGURUAN BANGSA YG ASLI) YANG TIDAK TERGANTIKAN OLEH
SISTEM MANAPUN (KARENA ITU HARUS MENGHAPUS DUALISME
PENDIDIKAN NASIONAL YANG ADA SELAMA INI ANTARA DEPAG DAN
DIKNAS)
2. SOAL KEBIJAKAN (1) = PESANTREN ADALAH ROH PENDIDIKAN
MODERN (berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada
anak-anak bangsa ini
3. SOAL KEBIJAKAN (2) = PESANTREN ADALAH MODEL PENDIDIKAN
KEBANGSAAN (karena itu PPKN atau pendidikan kewarganegaraan
tidak berlaku kalau tidak menggunakan model pesantren, karena
pesantren lah yang teruji mengawal dan mengisi pemaknaan
kebangsaan kita)
4. Perubahan UU Sisdiknas dengan UU pendidikan baru
5. Mengakui kembali dan melindungi hak-hak pesantren atas tanah-tanah
perdikan dan tanah-tanah waqaf
14. USULAN SOLUTIF (PENDEKATAN PARSIAL DAN
GRADUAL) = SOAL STANDARISASI MUTU,
OUTPUT DAN MATERI KURIKULUM
1. STANDARISASI MUTU (prinsipnya: pakai standarisasi
yang diberlakukan oleh orang-orang pesantren sendiri,
bukan dari luar)
2. MISALNYA: (lihat bagan berikut)
15. KEMENAG:
REGULASI, PENGANGGARAN, LEGALISASI
DEWAN KEPESANTRENAN NASIONAL
(PARA ULAMA PESANTREN)
TUPOKSI:
STANDARISASI KEILMUAN PESANTREN (KUALITAS/KUANTITAS)
(mirip fungsi IDI untuk para lulusan fakultas kedokteran)
REGULASI
PROGRAM
MEWAKILI KOMUNITAS PESANTREN DALAM PEMBAHASAN TTG
KEPENTINGAN PESANTREN DI DPR/PEMERINTAH
PESANTREN UNGGULAN SEBAGAI CENTER OF EXCELLENCE
PROGRAM UNGGULAN (BEA SISWA, PEMBIBITAN KADER
MUFTI/ULAMA TAKHASSUS
REKRUTMEN/KADERISASI/SANTRI KELANA