SlideShare a Scribd company logo
1 of 47
Download to read offline
1
Daftar isi
Sekapur sirih tentang Pesantren
1.Melecutkan pesantren lepas dari feudal
2. Memaknai Islam kembangkan Pesantren
3. Menciptakan sekulerisasi pendidikan di Pesantren
4. masa depan Pesantren
5. Tantangan dan tanggung jawab sosial masa depan Pesantren
6. Pesantren dan Kyai
7. Sepak bola di Pesantren
8. Pesantren

9. Menjadikan pesantren sebagai media pemberdayaan
10. untuk perempuan korban kekerasan

11. Peran pesantren dalam pemberdayaan umat
12. Mengembalikan Pesantren ke ranah cultural
13. Pesantren sebagai lembaga sosial




                                       2
Sekapur Sirih Tentang Pesantren

        Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari
segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di
Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan
pengajaran agama Hindu.
        Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia,sistem tersebut kemudian
diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar,
atau surau di Minangkabau, Rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab,
melainkan India (Karel A Steenbrink, 1986)
        Namun bila kita menengok waktu sebelum tahun 60-an, pusat-pusat
pendidikan tradisioanal di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan pondok,
barangkali istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan
atau penginapan bagi para musafir.
        Kata pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan
akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Profesor (Zamakhsari;1983)
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional
dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah
bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa
tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal. Disamping
itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi
dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek
kepemimpinan pesantren kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak.
        Pondok, Masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima
elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat
pesantren.
        Mengapa pesantren dapat survive sampai hari ini Ketika lembaga-lembaga
pendidikan Islam tradisional peserti pesantren di Dunia Islam tidak dapat bertahan
menghadapi perubahan atau modernitas sistem pendidikannya.
        Secara implisit pertanyaan tadi mengisyaratkan bahwa ada tradisi lama yang
hidup ditengah-tengah masyarakat Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan.
Disamping itu, bertahannya pesantren karena ia tidak hanya identik dengan makna ke-
Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia
(indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari
pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita
tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan
mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-
perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM,
UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak,
Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik
setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri.
Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-
perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah
dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaaan seperti
kita lihat sekarang.


                                          3
Dari keterangan sederhana ini saja kita dapat menarik garis linear tentang apa
peranan pesantren dan dimana letak pendidikan pesantren dalam masyarakat
Indonesia merdeka. Untuk bangsa yang lebih berkepribadian. Gambaran konkretnya
dapat dianalogikan sebua pesantren Indonesia (ambil sebagai misal Tebuireng)
sebagai sebuah kelanjutan pesantren di Amerika Serikat (ambil sebagai missal
"pesantren" yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston): Tebuireng
menghasilkan apa yang dapat dilihat oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dan
pesantrennya Pendeta Harvard telah tumbuh menjadi universitas yang paling
prestigious di Amerika modern. (Nurcholish Majid, 1997).
        Kini di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang selalu berubah-rubah
dalam jeda waktu yang tidak lama, apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap
pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based
Institusion kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah
kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan,Pekanbaru,
Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung,
Cilangkap. Atau misalnya pesantren yang muncul pada tahun 1980-an seperti
Pesantren Darun Najah, Cianjur, dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul hakim,
al-Kautsar, Darul Arafah di Medan,mustafawiyyah Purba Baru di Mandiiling-Natal
dan ada disekitarnya sekarang,Darul Hadits Hutabaringin,Darul Ikhlas di Dalan-
lidang,dan Pesantren Muara Mais, Darul Hikmah di Mumbulsari Jember dll


                                              Lengkong, 1 Desember 2008




                                          4
Melecut Pesantren Lepas dari Feodal
Oleh M. Mas'ud Adnan *
Sumber : http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=267743




"Silakan bicara (kritik) apa saja di sini, asal jangan membakar pondok,"
Kata KH M. Yusuf Hasyim (Pak Ud) kepada ribuan santri Tebuireng. Pidato itu
disampaikan Pak Ud pada 1980-an, ketika Orde Baru di bawah Soeharto masih gagah
perkasa. Saat itu, jangankan mengkritik pemerintah, beda pendapat saja dituding
subversif.

Uniknya, Pak Ud malah ngajangi santri untuk berani bicara, termasuk mengkritik Pak
Ud sendiri selaku pengasuh pesantren. Konsekuensinya, pidato-pidato santri sangat
kritis, baik kepada pemerintah maupun Pak Ud. Tapi, Pak Ud tenang-tenang saja.

Bahkan, kadang Pak Ud mengintip santri yang pidato vokal dari balik jendela ndalem.
Besoknya, si santri dipanggil, diberi buku atau informasi aktual, terutama terkait isu
nasional.


Kontroversial

Dalam perspektif budaya pesantren, pidato Pak Ud itu memang kontroversial. Jamak
diketahui bahwa hubungan santri-kiai cenderung bersifat patron-klien. Tapi, Pak Ud
justru bersikap sebaliknya. Dia berusaha mengajari santri berpikir kritis, demokratis
dan -ini yang penting- tidak disandra budaya feodal.

Hasilnya memang luar biasa. Selain memiliki keterampilan organisasi dan memimpin,
rata-rata alumni Pesantren Tebuireng berwawasan luas dan rasional, tanpa harus
kehilangan jati diri selaku santri dengan basis budaya tradisional. Bahkan, beberapa
santri yang kemudian belajar di Amerika Serikat, Mesir, Saudi Arabia, dan negara-
negara lain tetap committed terhadap basis budaya tradisional pesantren.

Artinya, di tengah era globalisasi, mereka mampu merespons tantangan perubahan
sesuai dengan kapasitas, bidang, dan profesi masing-masing, namun tetap berdiri
kukuh dalam bingkai budaya pesantren.

Sikap Pak Ud itu, tampaknya, sesuai dengan pandangan KH Abdul Wahid Hasyim,
ayah Gus Dur, yang menjadi pengasuh kedua Pesantren Tebuireng, pasca
Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari selaku pendiri. Menurut Kiai Wahid, tak semua santri
yang mondok di Tebuireing berorientasi jadi kiai. Memang mereka semua ingin
mempelajari agama. Namun, cita-cita mereka belum tentu ingin jadi kiai. Artinya,
cita-cita mereka beragam.




                                                          5
Ada yang ingin jadi pengusaha, ulama, jaksa, hakim, wartawan, politisi, menteri,
presiden, dan sebagainya. Karena itu, mereka tak hanya dididik agama, tapi perlu
bekal ilmu pengetahuan yang kuat dan luas. Nah, untuk membuka cakrawala
pemikiran santri itu, mereka perlu dirangsang dengan iklim dialogis, rasional, kritis,
dan demokratis, tidak menabukan kritik dan beda pendapat, termasuk dengan kiainya.

Karena itu, ketika kiai-kiai di lingkungan pesantren masih pro-kontra soal kehadiran
pelajaran umum, pada 1975 Pak Ud sudah berani mendirikan SMP dan SMA di
Tebuireng dengan siswa putra-putri tanpa sekat. Kritik pun meledak dengan dahsyat,
termasuk dari kiai-kiai di lingkungan Tebuireng. Bertahun-tahun Pak Ud mendapat
kritik keras. Namun, Pak Ud yang dikenal teguh pendirian pantang menyerah. Kini
SMP-SMA Wahid Hasyim itu menjadi salah satu sekolah terbaik di Jombang.

Bahkan, pada 1967 Pak Ud mendirikan Universitas Hasyim Asy'ari yang terbuka bagi
mahasiswa putra-putri. Padahal, saat itu belajar satu ruangan bagi mahasiswa-
mahasiswi di lingkungan pesantren sangat tabu. Tapi, Pak Ud punya alasan kuat.

Menurut dia, kalau kita konsisten dengan pemisahan laki-perempuan, jangan hanya di
ruangan belajar. Tapi, di bus-bus dan transportasi lain, penumpang laki-perempuan
juga harus dipisah. Lalu berapa kita harus menyediakan bus untuk kepentingan itu.
Belum lagi jika ditinjau dari segi efektivitas dan dananya. Yang penting, bagaimana
menata hati dan moralitas mahasiswa-mahasiswi agar tak punya niat melanggar
syariat agama. Sebab, begitu keluar dari pesantren, mereka juga dihadapkan pada
realitas masyarakat yang tanpa sekat pemisah antara laki-laki dan perempuan.


Keluar dari Ndalem

Karakter kekiaian Pak Ud sangat kuat. Maklum, Pak Ud adalah putra ulama besar,
yaitu Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, pendiri NU yang juga dikenal sebagai
pahlawan nasional. Namun, karakter kekiaian Pak Ud tak pernah ditunjukkan dalam
simbol-simbol artifisial. Sebaliknya, dimanifestasikan dalam integritas moral dan
perilaku sehari-hari.

Selain dikenal sebagai kiai bersih, secara moral Pak Ud juga sangat bersahaya.
Buktinya, meski Pak Ud dikenal sebagai tokoh nasional dan pernah menjadi anggota
DPR, ndalem yang ditempati di Tebuireng jauh dari kesan mewah. Bahkan, cat dan
kondisi rumahnya sudah kusam.

Yang mengenaskan, tempat tidur Pak Ud jauh dari layak. Berpuluh-puluh tahun Pak
Ud tidur di kamar pengap dengan tempat tidur seadanya.

Sedemikian tak layak sampai beberapa santri dan alumni terheran-heran. "Kamar Pak
Ud masih lebih baik kamar santri," kata seorang alumni.

Pada 2006 Pak Ud menyerahkan kepemimpinan Tebuireng kepada KH Salahuddin
Wahid (Gus Solah). Yang menarik, Pak Ud langsung keluar dari ndalem yang selama
ini



                                          6
ditempati. "Saya sudah tak berhak tinggal di sini," katanya. Keruan saja para alumni
yang diundang untuk bahas suksesi itu tertegun. Saya coba menyela, "Kiai, ini kan
bukan suksesi pejabat pemerintah sehingga kiai harus keluar dari ndalem."

Tapi, sikap Pak Ud bulat, tak mau menempati rumah yang bukan haknya. Sejak itu,
Pak Ud tinggal di kediaman pribadinya.

Kini Pak Ud telah menghadap sang khalik. Semoga Allah SWT membalas semua
amal perjuangannya yang tanpa kenal lelah membela hak-hak rakyat dan agama. Kita
berharap semoga para santri, alumni, bahkan masyarakat luas bisa meneladani dan
meneruskan perjuangannya. Amin.
* M Mas'ud Adnan, alumnus Pesantren Tebuireng, kini direktur utama Harian
Bangsa, Surabaya




                                         7
Memaknai Islam Kembangkan Pesantren
                               Oleh : Lily Zakiyah Munir

Pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial
yang dikenal sangat kukuh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat
akomodatif terhadap budaya lokal. Beberapa pesantren bisa saja tidak mampu
bertahan sebagai sub-kultur tersendiri seperti tesis yang pernah dikemukakan Gus Dur
dulunya.

Sebatas pemahaman kita selama ini, ada tiga elemen yang membuat pesantren mampu
menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak
terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat
penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada
kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa
mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola kepemimpinan seperti itu
membuat pesantren menjadi unik.

Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di banyak pesantren, umumnya terdiri dari
warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang
akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak
hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja,
tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan
kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman
yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar
pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan.

Sementara elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai atau values system
yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan
dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai-
nilai dasar pesantren, seperti al-ush?amsah (lima prinsip dasar) yang diadopsi dari
paham Ahli Sunnah.?

Demikian Lily Zakiyah Munir (57), Direktur CePDeS (Center for Pesantren and
Democracy Studies), aktivis Muslimat Nahdlatul Ulama, memberikan pemahaman
akan citra tentang pesantren ? lingkungan yang sejak kecil diakrabinya di Jombang. Ia
adalah putri almaghfurlah KH Machfudz Anwar dari Jombang. Kini, meskipun lebih
banyak tinggal di Jakarta, namun juga memberikan sedikit waktunya untuk
pengembangan pesantren yang diwarisinya di Jombang.

Lebih jauh ia memberikan penjelasan tentang al-ush?-khamsah atau ?pancasila?-nya
pesantren itu. Menurutnya, yang pertama prinsip tawasuth yang berarti tidak memihak
atau moderasi. Kedua tawasun, atau menjaga keseimbangan dan harmoni. Ketiga,
tasammuh, atau toleransi. Keempat adl atau sikap adil; dan kelima tasyⷵr atau
prinsip musyawarah. Nah, ?pancasila? pesantren itu tidak hanya sekadar hiasan kata,
tapi terinternalisasi dan diprektikkan dalam dunia pesantren. Sebab, komunitas
pesantren itu hidup seperti dalam akademi militer selama 24 jam, dan menjalankan

                                          8
aktivitas pendidikan sejak sebelum subuh sampai kembali tidur. Jadi, dunia pesantren
sesungguhnya membuat miniatur dunia ideal mereka sendiri.

Pesantren sebagai institusi, dalam pandangannya, tentunya juga termasuk dalam
lingkup dunia global yang tidak bisa lepas dari pengaruh luar dirinya. Derasnya arus
informasi lewat media, hubungan antar-negara, antar-institusi, antar-organisasi,
seperti jalur sumbangan dan bantuan dengan berbagai motifnya, tentu ikut
mempengaruhi dunia pesantren. Pesantren sedikit banyaknya tidak bisa lepas dari
pengaruh global itu. Pesantren yang tidak mampu mempertahankan „pancasila‟-nya
tadi, bisa jadi akan terjebak dalam permainan politik global. Dengan begitu, mereka
tanpa sadar dapat saja berada dalam jaringan yang punya egenda tertentu, tidak lagi
seperti yang dimaui pesantren itu secara konvensional

Artinya, kalaupun sebuah pesantren mengalami disorientasi, itu bisa disebabkan oleh
dua faktor. Faktor internal berupa merosotnya etos elemen-elemen yang telah kita
sebutkan tadi, sementara faktor eksternal seperti pengaruh jaringan global. Keduanya
saling berkaitan.

”Lemahnya peran kiai atau kepemimpinan pesantren yang selama ini dikenal
independen, mandiri, dan tidak terkooptasi oleh kepentingan politik, ekonomi,
ataupun ideologi di luar pesantren, bisa berakibar buruk bagi sebuah pesantren. Dulu,
pesantren benar-benar bagaikan sebuah kerajaan kecil. Tapi sekarang, banyak
kepemimpinan pesantren sudah tidak jadi panutan lagi,” kata Lily Zakiyah Munir

Kedua, kurikulum pesantren juga sebuah problem yang harus diselesaikan secara
komprehensif. Tapi yang kita harapkan sebenarnya bukan hanya perbaikan
kurikulum, tapi koreksi dan kritik ke dalam pesantren dan masyarakat.

Dalam soal aktivitas, ia memang tak bisa dilepas dari pelbagai kegiatan. Bepergian ke
luar negeri, adalah kesibukan Lily Zakiyah, yang lain. Ia yang menekuni hak-hak
perempuan, paling sering, sebagai pembicara dalam suatu forum. Ia tercatat pernah
mengajar tentang perempuan dan hukum Islam di University of South Carolina,
Amerika Serikat. Selain itu, ia pernah hidup enam bulan di Afghanistan, ketika
diminta menjadi anggota International Commissioner pada Joint Electoral
Management Body. ?Kegiatan yang sama pernah saya jalani di Nepal pada saat
transisi dari pemerintahan monarki ke republik,? Lily menjelaskan.

Putri almaghfurlah KH Machfudz Anwar dari Jombang, ini menyinggung tentang
peran perempuan dalam Islam. Bidang itu bukan hal asing bagi Lily. Anak kelima
dari sebelas bersaudara putra-putri ini sejak kecil bisa merasakan kemajuan pemikiran
sang ayah. ?Bayangkan pada tahun 1960-an, beliau mengizinkan salah satu kakak
perempuan saya meneruskan pendidikan ke kedokteran. Beliau jalan terus, walaupun
menerima banyak kritik,? ia mengenang sang ayah yang fisioner.

Pun bukan hal aneh, karena Kiai Machfudz sebelumnya telah membuka pesantren
putri di Seblak, di Jombang selatan. Hingga kini, pesantren itu masih berjalan baik,
dikelola oleh kakak Lily yang lain.

Sang ayah pula yang membimbing sang ibu untuk menjadi perempuan yang
berpikiran maju. ?Beliau sendiri yang mengajari ibu, mulai dari membaca huruf Arab,

                                         9
Latin, hingga kemudian menjadi hakim agama pertama di Indonesia ini,? Lily, seperti
dikutip Pembaruan, seraya tersenyum.

Lily sendiri, walau mengecap pendidikan dasar hingga lanjutan atas di sekolah agama,
didorong sang ayah untuk mengecap pendidikan tinggi di IKIP (kini universitas
negeri), jurusan bahasa Inggris. Pendidikan itu kemudian mengantarnya mengecap
pendidikan lanjutan di Belanda, memperdalam medical anthtropologist di University
of Amsterdam.

Lily tak henti memperdalam ilmu. Ia kemudian belajar manajemen di Northern
Illinois University di Dekalb. Wajahnya berbinar ketika menceritakan mendapatkan
kesempatan menjadi research fellow dalam Islam and Human Rights di Fakultas
Hukum Emory University, di Atlanta, Amerika Serikat. Ia sangat terkesan kepada
pembimbingnya, Prof Abdullahi A An-Na‟im.

Aktif di Muslimat NU, Lily pernah aktif di lembaga perempuan Partai Kebangkitan
Bangsa. Namun, ia kemudian memilih mundur. Ia berhak memaknai dirinya. (riadi
ngasiran)




                                        10
Menciptakan Sekularisasi Pendidikan di Pesantren
MUHIBIN                                                                                 A.M.
Peneliti pada   FKiY,   santri   di   Pesantren   Mahasiswa   Hasyim   Asy?ari,   Yogyakarta


eberadaan pesantren sebagai lembaga keagamaan kultural yang ingin bisa menjawab
tantangan zaman, saat ini masih belum jelas kedudukannya. Peranannya dalam dunia
global masih belum terlihat. Maka, tidak sedikit kemudian banyak orang yang merasa
sangat pesimistis terhadap peran dan fungsi pesantren saat ini. Apalagi saat melihat
kondisi dunia yang saat ini makin menantang siapa pun untuk berlomba-lomba
membangun puncak peradaban. Sementara, pesantren tetap pada tempatnya tanpa ada
pembaharuan yang cukup berarti.

Pendidikan pondok pesantren yang saat ini telah banyak berdiri dengan megah di
berbagai tempat, baik di desa atau di perkotaan, secara keseluruhan belum mampu
membekali santrinya memiliki keterampilan yang dapat ditawarkan kepada
masyarakat luas, dan tentunya selain dari bidang fikih yang sudah mentradisi.
Sedangkan dunia kini makin maju dan membutuhkan kemampuan keahlian yang
kompetitif dalam menghadapinya. Maka, tak dapat dielakkan jika pesantren selama
ini tertuduh sebagai pencetak generasi pengangguran dan pencetak generasi miskin.

Meski saat ini pesantren memiliki pendidikan formal yang berada di bawah naungan
Departemen Agama (Depag), tampaknya hal itu belum mampu menjawab tantangan
zaman. Pasalnya, kurikulum yang ditawarkan Depag lagi-lagi banyak memiliki
kesamaan dengan kurikulum pendidikan pesantren yang diberikan secara kultural.
Sehingga keinginan pesantren untuk ikut tampil dalam membekali anak-anak muda
yang berbakat masih dalam taraf yang serba tanggung dan meragukan.

Jika diteliti lebih jauh, dunia pesantren sangat erat kaitannya dengan Nahdlatul Ulama
(NU), dan NU sarat dengan golongan tradisionalis. Kaum tradisionalis, dalam
pandangan umum, sangat erat kaitannya dengan masyarakat pedesaan yang
kebanyakan buta akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataan itu sebenarnya
bisa menjadi pertimbangan kalangan pesantren untuk membekali santri-santrinya
dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) jika ingin ikut serta
mencerdaskan masyarakat Indonesia dari buta iptek, terutama masyarakat pedesaan.
Sehingga kepulangan santri ke tengah-tengah masyarakatnya akan dapat memberikan
manfaat yang besar terhadap perbaikan ekonomi keluarga dan masyarakatnya dengan
bekal keahliannya.

Melihat kondisi yang demikian memprihatinkan itu, maka sudah saatnya pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang ingin ikut serta mencerdaskan bangsa ini, mau tidak
mau dituntut untuk melakukan perubahan yang sangat signifikan. Jika perlu dilakukan
dengan radikal. Karena bagaimana pun, kurikulum Depag, sama saja dengan
kurikulum pendidikan pesantren yang diajarkan secara kultural melalui metode
bandongan dan sorogan. Sehingga tidak lagi memberikan kesempatan bagi santri-
santrinya untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya.


                                             11
Secara kualitatif, metode sorogan dan bandongan ini memang memiliki akuntabilitas
yang tidak bisa dipandang remeh jika dibandingkan dengan metode pendidikan yang
diajarkan berdasarkan kurikulum Depag. Apalagi ketika dua hal itu dihadapkan
kepada publik.
Maka, cukuplah kiranya pendidikan formal pesantren hanya mengajarkan kurikulum
pendidikan yang bersifat umum dan pengembangan keterampilan. Sementara,
pendidikan agama hanya cukup diberikan kiai dalam bentuk sorogan dan bandongan,
sebagai pendalaman terhadap pengetahuan agama para santrinya.

Upaya ini akan lebih disebut sebagai sekularisasi pendidikan pesantren. Sekulerisasi
pendidikan pesantren bukan berarti menghilangkan aspek tradisionalis pesantren yang
telah lama berkembang. Justru di sini memiliki peran yang sama antara tradisionalis
dengan modern, antara satu dengan yang lain tidak saling ikut mengurusi, tapi
keduanya sama-sama memengaruhi satu obyek dengan seimbang, yakni santri sebagai
obyek formalnya yang akan mengembangkan nantinya sesuai kondisi riil
masyarakatnya.

Dalam hal ini pendidikan formal diharapkan hanya memberikan kurikulum yang
bersifat pengetahuan umum dan keterampilan tanpa sedikit pun memasukkan
kurikulum agama, dan terfokus pada bidang-bidang umum seperti (manjahit, teknik
komputer, teknik informasi, tehnik mesin, perbankan, ilmu matematika, fisika, kimia,
biologi, kesehatan, bahasa asing, dan lain-lain). Sementara, para ulama dan kiai,
secara kultural, tetap memberikan pendidikan agama melalui metode kulturalnya,
seperti (hadist, fikih, tasawuf, akidah akhlaq, bahasa Arab, tafsir, lain-lain). Keduanya
memang sengaja disekulerkan (dipisahkan), tetapi keduanya ini akan tetap menyatu
dalam diri santri sebagai obyeknya. Hanya, metode penyampaiannya yang sengaja
dipisahkan.

Jadi, begitu dihapuskan kurikulum pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan
formal, maka akan lebih menghindarkan santrinya dalam pengulangan-pengulangan
kurikulum yang memiliki banyak persamaan, baik dalam cara penyampaian, dalil-
dalil yang digunakan, dan lain-lain, seperti dalam pembahasan masalah fikih
kebersihan (thaharah).

Hal semacam ini sebenarnya telah dimulai oleh ulama pesantren masa lalu seperti
yang pernah dilakukan KH Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy?ary, Pendiri NU)
yang pernah mendirikan Madrasah Nidhamiah, yang tujuh puluh persen kurikulum
pendidikannya bersifat pendidikan umum. Alasan Wahid Hasyim mendirikan
pesantren model seperti ini tidak lain atas buah pikirannya yang menyatakan bahwa
dari keseluruhan santri yang ada di pondok pesantren, tidak serta merta memiliki cita-
cita yang sama untuk menjadi ulama. Namun, mereka memiliki beragam cita-cita.

Sehingga dimungkinkan jika di pesantren secara monoton hanya mengajarkan
pendidikan agama, maka cita-cita santri akan kandas di tengah jalan dan kembali ke
masyarakat dengan tidak memiliki keahlian apa pun kecuali sebagai ahli di bidang
agama. Namun, sayangnya ide pembaharuan ini ditolak mentah-mentah kalangan
tradisionalis lainnya, yang pada saat itu sangat anti terhadap Barat.

Maka, kemudian, mampukah kita kalangan muda santri saat ini untuk menghidupkan

                                           12
kembali buah pikiran Wahid Hasyim yang telah banyak kita lupakan. Yang jelas, ilmu
Allah bukan hanya ilmu agama dan ilmu Allah bukan hanya ilmu fikih.
Ilmu Allah tidak ada yang mampu untuk menghitungnya. Jika kita membatasi diri
terhadap ilmu pengetahuan, berarti kita telah membatasi ilmu Allah. (al Kahfi: 109)
Generasi hipokritkah kita saat ini?
                       Masa Depan Pesantren
                  Ditulis oleh AM Fatwa (Wakil Ketua MPR RI)

Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia
menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Tidak ada
data yang pasti tentang awal kehadiran pesantren di Nusantara (Ensiklopedi Islam,
2005). Baru setelah abad ke-16 diketahui bahwa terdapat ratusan pesantren yang
mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fikih, tasawuf,
dan akidah.
Dalam perkembangannya, pesantren mencatat kemajuan dengan dibukanya pesantren
putri dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran
umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi. Eksistensi pesantren menjadi
istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang
dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir
orang. Pesantren menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya
(pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.

Kini perkembangan pesantren dengan sistem pendidikannya mampu menyejajarkan
diri dengan pendidikan pada umumnya. Bahkan di pesantren dibuka sekolah umum
(selain madrasah) sebagaimana layaknya pendidikan umum lainnya. Kedua model
pendidikan (sekolah dan madrasah) sama-sama berkembang di pesantren.


Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan
pesantren maupun pendidikan nasional pada masa yang akan datang. Dari sana
diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual
yang kuat.


Pesantren dan Negara
Eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kultural yang
digeluti pesantren selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi
negara. Perjuangan pesantren baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa
dihapus dari catatan sejarah negeri ini. Dan kini generasi santri tersebut mulai
memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah) yang dulunya hanya sebatas mimpi.


Landasan kultural yang ditanamkan kuat di pesantren diharapkan menjadi guidence
dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun
politik baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan
akuntabel. Ini penting karena pesantren merupakan kawah candradimuka bagi

                                        13
munculnya agent of social change. Dan negara sangat berkepentingan atas tumbuhnya
generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian
negara bagi perkembangan pesantren sangat diperlukan.
Kalau selama ini pesantren telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan
warga negara (negara), maka harus ada simbiosis mutualistis antara keduanya. Sudah
waktunya negara (pemerintah) memberikan perhatian serius atas kelangsungan
pesantren. Kalau selama ini pesantren bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi
tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh negara. Apalagi tantangan ke
depan tentu lebih berat karena dinamika sosial juga semakin kompleks. Oleh sebab
itu, diperlukan revitalisasi relasi antara pesantren dan pemerintah yang selama ini
berjalan apa adanya.
Selama ini sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya ditangani secara maksimal.
Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan
arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara
berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal
bagi kepentingan nasional, bukan hanya kepentingan sektoral.
Inilah salah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan nasional saat ini.
Terpencarnya penyelenggaraan pendidikan menyebabkan banyak masalah. Salah
satunya adalah alokasi anggaran yang tidak maksimal. Selama ini pemerintah
memandang pendidikan sebagai bagian Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas). Oleh sebab itu, seluruh anggaran pendidikan dialokasikan untuk
Depdiknas. Konsekuensinya pendidikan di bawah departemen lain mendapatkan
alokasi dana seadanya.
Kenyataan tersebut tentu merupakan konsekuensi dari paradigma struktural yang
melihat pendidikan hanya merupakan tanggung jawab Depdiknas. Kita bisa
menyaksikan kesenjangan dana yang diterima madrasah (Depag) dengan sekolah
umum atau antara perguruan tinggi Islam seperti IAIN/UIN yang dibawah kendali
Depag dengan perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Depdiknas.
Menambah alokasi dana pendidikan pada Depag akan berkonsekuensi pada
membengkaknya anggaran pendidikan nasional yang sampai saat ini negara belum
mampu memenuhinya sesuai ketentuan konstitusi, yaitu 20 persen dari APBN. Di
samping itu, secara struktural kerja pendidikan yang dilakukan beberapa departemen
tidak efektif dan merupakan pemborosan anggaran negara. Oleh sebab itu,
pengelolaan pendidikan di bawah satu atap (Depdiknas) akan lebih efektif dan efisien
dibandingkan diserahkan pada beberapa departemen.
Begitupun pesantren dan madrasah yang selama ini eksistensinya lebih bersifat
swadaya akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan
yang lebih memadai. Apalagi saat ini pesantren mulai menyesuaikan diri dengan
pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah
umum. Berangkat dari realitas tersebut, dengan kesiapan dan penyesuaian yang
dilakukan pesantren serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, maka
sudah waktunya pengelolaan pendidikan pesantren dimasukkan di bawah Depdiknas.


                                        14
Pesantren masa depan
Eksistensi pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan.
Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng
pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng
pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan
masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi
muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam
kehampaan spiritual.
Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab
tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren
untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan.
Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan
dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa
kehilangan jati dirinya.
Langkah ke arah tersebut tampaknya telah dilakukan pesantren melalui sikap
akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan
kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif pesantren atas
perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan
keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren
menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dari pesantren
sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu
menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Inilah pesantren masa
depan.
Republika, Sabtu, 26 Mei 2007




                                         15
Tantangan dan Tanggung Jawab Sosial Masa Depan Pesantren
                Oleh : Muhibin AM, Peneliti pada FKiY Yogyakarta

Keberadaan pesantren ditengah hiruk pikuk dunia hedonis saat ini merupakan suatu
pilihan yang dianggap perlu, demi untuk menyelamatkan moral anak-anak bangsa kita
yang saat ini sudah banyak terkontaminasi oleh kehidupam modern yang materialis-
individual, bahkan hingga mencapai pada titik kekhawatiran semua orang. Lembaga
pendidikan pesantren yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, masih lekat di benak
masyarakat sebagai prototype lembaga yang akuntable untuk mengemban tugas dalam
membentuk karakter keber-Agama-an bagi masyarakat Indonesia selama ini.

Namun seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, eksistensi lembaga
pendidikan kultural pesantren ini tidak luput dari amukan gelombang globalisasi ilmu
pengetahuan modern yang tidak mengenal agama. Pesantren yang selama ini
mempertahankan model pendidikan cultural juga dipaksa harus menerima arus deras
ini guna untuk mengikuti perkembangan zaman. Namun sayangnya, meskipun telah
mengadopsi system ilmu pengetahuan modern, tapi sampai saat ini masih ditemui
banyak kekurangan yang tampaknya kurang mendapat perhatian yang serius dari
pesantren itu sendiri dan terutama lembaga terkait.

Padahal keseriusan dalam menangani masalah ini akan lebih memberikan dampak
yang positif bagi pesantren dimasa depan, terutama untuk menjaga akuntabilitas
public yang akhir-akhir ini mulai menurun. Masuknya departemen agama (depag)
sebagai bentuk pendidikan formal modern yang diadoppsi oleh pesantren dinilai
belum mampu untuk mengantarkan para santri dalam menjawab tantangan zaman
yang membutuhkan keahlian (skill). selain dibidang keagamaan yang memang
menjadi icon dari kepesantrenan. Memang, siapapun orangnya tidak pernah
meragukan, bahwa setiap santri memiliki tingkat pemahaman keagamaan yang lebih,
jika dibandingkan dengan yang belum pernah sama sekali mengenyam pendidikan
pesantren.

Sementara kurikulum pendidikan departemen agama (depag) yang masuk kedalam
pesantren dengan diboncengi warna pendidikan moderm, terkesan masih ragu-ragu
dalam mengembangkan pendidikannya. Salah satunya adalah intensitas pendidikan
umum yang masih kurang mendapat perhatian yang serius. Pendidikan umum yang
masuk kedalam kurikulum pendidikan departemen agama diberikan sebatas hanya
untuk sekedar memenuhi syarat masuk pendidikan modern dan untuk dapat mengikuti
ujian negara. Sementara materi keagamaan yang diajarkan tidak kurang lebih sama
bahkan lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan oleh pesantren.

Maka demi melihat kondisi yang demikian itu, saat ini sangat perlu untuk
dikembangkan system pendidikan yang berbasis kompetensi yang benar-benar
terwujud. Pendidikan umum agar lebih dapat dikembangkan secara serius dan
diharapakan para santri dapat menjawab semua tantangan zaman yang semakin
komplek, dan tentunya tanpa hambatan yang serius. Dalam hal ini, secara spesifik
departemen agama, sebagai model pendidikan formal modern agar lebih berperan
aktif dalam memperhatikan pendidikan keahlian dan pengetahuan yang bersifat umum

                                        16
untuk pengembangan sklill para santri, agar pada saat santri menyelesaikan
pendidikan pesantren tidak dalam kebingungan mencari pekerjaan yang menuntut
keahlian (skill). Namun model pendidikan salaf pesantren tetap dipertahankan sebagai
ciri khas model pendidikan yang secara orisinil lahir dari rahim bangsa Indonesia
sendiri.

Kasus yang banyak terjadi pada alumni-alumni pesantren, setelah meyelesaikan
pendidikannya di pesantren adalah tidak dimilikinya daya tawar (bargaining position)
yang akan diberikan kepada masyarakat luas, kecuali hanya sebatas bidang
keagamaan, yang memang menjadi ikon santri. Sementara masyarakat dan kehidupan
modern saat ini, tidak hanya membutuhkan pengetahuan agama secara an sich, akan
tetapi mereka juga membutuhkan suatu perubahan daya fikir maju yang diharapkan
datang dari dan oleh anak-anak muda yang telah menyelesaikan pendidikannya di
pesantren.

Tidak dapat dipungkiri, ketika pesantren hanya memberikan pengetahuan agama
secara monoton, tanpa memberikan pendidikan skill, maka yang terjadi adalah
semakin bertambahnya angka pengangguran yang seperti sengaja diciptakan oleh
lembaga pendidikan ini. Bagi kalangan yang terlibat di dalam masalah ini, sudah pasti
semua itu tidak ada yang menghendakinya, namun selama ini itulah yang terus terjadi,
sebagai akibat sikap kurang responsifnya pesantren terhadap keilmuan-keilmuan
umum, Karena terfokus pada bidang keagamaan.

Keberadaan pesantren dalam melihat masa depan yang menantang diharapkan mampu
untuk memberikan solusi kongrit atas permasalahan sosial yang sedang dihadapai
oleh umat Islam saat ini, terutama masyarakat Islam indonesia yang sedang
membutuhkan suatu jalan penyelesaian kemiskinan. Maka demi melihat situasi dan
kondisi zaman yang semakin maju tak terkendali ini, agar nantinya pesantren mampu
untuk memberikan jalan tengah diantara berbagia macam kebisingan kemajuan dan
kehedonisan yang telah banyak menimpa umat manusia.

Harapannya dimasa mendatang pesantren mampu untuk membawa generasi muda kita
kedalam beragam keilmuan dan keahlian (skill) yang bernilai modern dan kompetitif
sehingga semua ilmu pengetahuan modern nantinya dapat berpusat di pesantren-
pesantren dengan serta diiringi dengan ruh-ruh keimanan yang selalu menjadi
landasan berfikirnya. Dan pada akhirnya semua ilmu pengetahuan modern ini akan
kembali kepada umat islam dan ulama, sebagaimana yang pernah dibuktikan oleh
sejarah islam pada masa kejayaan bani Abbasiyah dan Umayyah2.

Bertolak dari tantangan masa depan pesantren tersebut, maka diharapakan pesantren
nantinya tidak hanya mengembangkan model pengembangna fiqih sentris, akan tetapi
nantinya akan bermunculan pesantren-pesantren yang memiliki warna-warni dan
corak pendidikannuya, seperti pesantren kedokteran, pesantren teknolgi, pesantren
pertanian, pesantren kebidanan, pesantren keperawatan, pesantren teknisi
penerbangan dan lain sebagainya, disamping tidak meninggalkan tradisi keilmuan
fikih yang menjadi ikon kepesantrenan. (***)




                                         17
PESANTREN DAN KYAI
                             KH. A. Mustofa Bisri:
Pesantren kembali menjadi perhatian dan sorotan ketika ada teroris yang mengaku
jebolan pesantren dan Ustadz Baasyir, salah satu pengasuh pesantren di Solo
ditangkap (meski tidak pernah jelas duduk perkaranya). Sebelumnya sudah banyak
pengamat dan penulis, baik dari luar maupun dalam negeri yang berusaha berbicara
tentang pesantren, yaitu suatu lembaga pendidikan khas Indonesia yang dikenal
sebagai tempat mencetak ahli-ahli agama (Islam). Istilahnya Tafaqquh fid diin.
Umumnya para pengamat dan penulis tentang pesantren itu terlalu sederhana dalam
pengamatannya dan menganggap bahwa jenis pesantren itu hanya satu. Memang
secara umum, pesantren memilki tipologi yang sama. Sebuah lembaga yang dipimpin
dan diasuh oleh kyai dalam satu komplek yang bercirikan adanya masjid atau surau
sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal para santri, disamping
rumah tempat tinggal kyai, dengan kitab kuning sebagai buku wajib/pegangan.
Disamping ciri lahiriah itu, masih ada ciri umum yang menandai karkteristik
pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada kyai yang sering ditanggapi
sinis sebagai pengkultusan.

Kalupun ada yang lebih teliti, paling-paling hanya menyinggung adanya dua model
pesantren, yakni tradisional (atau yang biasa disebut salaf) dan modern. Ini bisa
dimaklumi, karena pengamatan biasanya didasarkan pada sampel ‘ayyinah’, beberapa
pesantren yang ghalibnya diambil dari pesantren-pesantren yang terkenal. Padahal
meski mempunyai tipologi umum yang sama, pesantren juga sangat ditentukan
karakternya oleh kyai yang memimpinnya.

Memang lazimnya kyai pesantren berasal dari jebolan pesantren pula. Para kyai yang
berasal dari jebolan pesantren sama, umumnya akan memilki kemiripan satu sama
lain dalam memimpin pesantrennya. Namun harus diingat bahwa lazimnya para kyai
tidak berguru hanya pada satu pesantren, tapi berpindah-pindah dari satu pesantren ke
pesantren yang lain. Bahkan sebagai contoh, almarhum Kyai Machrus Ali Lirboyo
Kediri (yang sudah banyak menjelajahi banyak pesantren di Jawa) ketika putra-
putranya sudah menjadi kyai, Kyai Machrus masih terus berguru ke pesantren lain
meskipun hanya di bulan Ramadhan.

Kecenderungan dan pribadi kyai sendiri biasanya jarang dijadikan variabel. Padahal
sebagai pendiri dan „pemilik‟ pesantren (terutama yang salaf) dalam menentukan
corak pesantrennya, yang tidak terlepas dari karakter dan kecenderungan pribadinya.

                                         18
Pesantren yang kyainya cenderung kepada politik, misalnya, akan berbeda dengan
pesantren yang kyainya tidak suka politik. Kyai yang sufi corak pesantrennya berbeda
dengan pesantren yang dipimpin oleh „kyai syariat‟. (Kyai sufi dan Kyai syareat ini
inipun masih berbeda sesuai dengan aliran-aliran masing-masing). Pesantren yang
dipimpin oleh hikmah berbeda dengan pesantren yang kyainya sama sekali tidak
tertarik pada ilmu hikmah. Demikian seterusnya. Maka, meskipun ciri kyai/pesantren
sama-sama ingin memberi manfaat kepada umat/masyarakat, kita bisa melihat
tampilan-tampilannya yang berbeda.

Ada lagi yang luput dari pengamatan „orang luar‟ termasuk para pengamat, yaitu
tentang hubungan kyai-santri. Khususnya kepatuhan santri terhadap kyai yang mereka
anggap berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan sebagainya. Inipun bisa
dimaklumi, karena mereka hanya melihat mazhahir luar ditambah perilaku ikut-ikutan
dari masyarakat yang tidak mengerti hakikat hubungan kyai-santri itu dan adanya
„kyai-kyai‟ baru yang memanfaatkan keawaman masyarakat tersebut.

Mazhahir luar itulah yang menjebak para pengamat, menganggap bahwa kepatuhan
santri kepada kyai itu merupakan sesuatu yang sengaja ditekankan di pesantren.
Karena hanya melihat mazhahir luar itu saja, ada pengamat yang berkesimpulan
bahwa kepatuhan yang „berlebih-lebihan‟ ini merupakan gabungan dua hal yaitu
kepatuhan doktrinal dan kesadaran mitologis. Maksudnya, kepatuhan yang dibentuk
oleh-peraturan-peraturan pesantren dan kesadaran yang dibentuk oleh melalui
konstruk pemikiran-pemikiran dengan memupuk kepercayaan-kepercayaan magis dan
kekuatan-kekuatan adikodrati.

Pengamatan sederhana atau anggapan sederahana itu merupakan gebyah uyah,
generalisasi dan secara tidak lagsung mendiskretkan kyai-kyai yang mukhlis yang
menganggap tabu beramal lighoirillah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati
orang.

Pesantren salaf (yang lama) umumnya benar-benar milik kyainya. Santri hanya datang
dengan bekal untuk hidupnya sendiri di pesantren. Bahkan ada atau banyak santri
yang untuk hidupnya pun nunut (ditanggung) kyainya. Boleh dikata kyai pesantren
salaf seperti itu, ibaratnya mewakafkan diri dan seluruh miliknya untuk para santri.
Dia memikirkan, mendidik, mengajar, dan mendoakan santri tanpa pamrih. Bukan
saja saat santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga ketika mereka sudah terjun di
masyarakat.

Almarhum ayah, Kyai Bisri Mustofa sering diundang ke luar kota dan tidak jarang
panitia memaksanya untuk mengisi pengajian pada hari-hari di mana pesantrenya
tidak libur. Bila harus melakukan hal yang seperti itu, beliau selalu bermunajat kepada

                                          19
Allah sebelum naik mimbar, ”Ya Allah, engkau tahu hamba datang kemari karena
diminta saudara-saudara hamba untuk menyampaikan firman-firman-Mu dan sabda-
sabda rasul-Mu, namun semantara hamba d isini, santri-santri hamba yang saya
tinggal dipesantren prei, tidak hamba ajar. Oleh karena itu, Ya Allah, apabila amal
hamba disini ada pahalanya, hamba mohon tidak usah Engkau berikan kepada hamba,
ganti saja pahala itu dengan kefutuhnya hati santri-santri hamba tersebut.”

Almarhum Kyai Umar Mangkuyudan Sala, pernah meminta kepada lurah pondok
pesantrennya untuk menuliskan dafatar santri yang ternakal agar ketika bertahajud
dan mendoakan santri-santrinya, beliau bisa menngkhususkan nama-nama santri
ternakal itu.

Almarhum Kyai Maksum Lasem bukan saja setiap waktu membangunkan santri-
santrinya untuk sholat dan belajar, mendoakan mereka setiap berdoa. Namun
kemanapun beliau pergi selalu menyempatkan berkunjung ke rumah santri beliau
yang beliau lewati, sekedar untuk melihat keadaannya.

Almarhum Kyai Ali Maksum Krapyak Yogya (satu-satunya kyai yang tidak dipanggil
„kyai‟ oleh santri-santrinya, tapi dengan panggilan “Bapak/Pak”) apabila punya gawe
mantu atau apa saja, selalu mengundang santri-santrinya yang sudah berumah tangga
dan selalu diembel-embeli tulisan tangan beliau seperti ”Ya waladii Fulan, ojo lali
lho” (Hai anakku Anu, jangan lupa lho!).

Beberapa kyai itu hanya sekedar contoh dari tradisi kyai bersama santrinya. Hampir
semua kyai yang saya kenal, memiliki hubungan batin dengan santrinya sedemikian
rupa, sehingga saya mengangggap wajar apabila sikap santri terhadap kyai yang
seperti itu mengesankan pengkultusan. Pak Ali Maksum adalah kyai saya yang tidak
digdaya, pesantrennya tidak memiliki aturan harus menghormat kyai. Beliau tidak
pernah mendoktrin santri-santri dengan semacam maqolah “ana ‘abdu man ‘allamani
walau harfan waahidan” (saya adalah budak orang yang mengajariku meski hanya
satu huruf saja). Saya sering diajak diskusi, diminta membantah beliau bila dilihatnya
saya tidak setuju pendapat beliau. Namun sebagai santrinya, saya menghormatinya
secara khusus, tak peduli orang akan mengatakan saya mengkultuskannnya.

Wa Ba‟du, pesantren yang memang merupakan sumber yang tak kering-kering untuk
dibicarakan. Dewasa ini di mana pesantren lagi-lagi sedang menjadi perhatian dan
sorotan, percakapan tentang pesantren jadi semakin semarak. Apabila diingat bahwa
seiring banyaknya „jenis kyai‟, pesantren pun mengalami banyak perubahan (baik
yang positif maupun yang negatif) dan semakin banyak jenisnya. Ini tentunya
memberi pengaruh yang tidak kecil kepada masyarakat yang selama ini
menjadikannya kiblat. Seharusnya ini menjadikan kyai „model lama‟, terutama kyai-

                                         20
kyai pengasuh pesantren, lebih serius memikirkan dan memperhatikan atbaa’-nya
para santri dan umatnya

                      Sepak Bola di Pesantren
MEMASUKI bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia,
seperti biasa di warga Buntet Pesantren disuguhi olahraga yang paling populer di
dunia, yaitu bal-balan atau sepak bola. Pesertaya bukan saja kalangan santri atau
warga Buntet, namun dari keluarga kyai pun ikut serta.



"Lomba ini disebut kambing cup karena hadiahnya berupa kambing untuk juara
pertama, juara kedua ayam dan juara ketiga Indomie," Ujar Abdullah Sidik manajer
kambing cup kepada redaksi.


Pertandingan masih berlangsung dan sangat meriah. Karena warga seakan
mendapatkan hiburan gratis dan yang ditonton itu adalah adalah keluarga kyai dan
warga sendiri. Orang-orang ramai memberikan dukungan pada masing-masing
kelompoknya.


Sarana
Anehnya warga Buntet yang cinta sepak bola ini sudah lama tidak memiliki lapangan
sepak bola sendiri. Justru setiap melangsungkan pertandingan sepak bola, mereka
menggunakan lahan kosong milik warga Buntet yang kebunnya tidak ditanami.
Bahkan secara tidak tertulis, lapangan yang tidak layak itu sudah menjadi "lapangan
resmi" mereka.


Namun meskipun sarana yang begini minim, bahkan lapangan tersebut tanahnya
miring, namun kemeriahan dan semangatnya tidak kalah dengan lapangan permanen
berstandar yang pernah dibuat di lahan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) namun kini
sudah beralih fungsi.


Ada lima grup sepak bola di Buntet Pesantren yang akan ambil bagian. Grup itu
mengambil nama yang aneh: Kraton, Ankid, Glampok, Akper dan Gaden. Grup
Kraton dimiliki kelompok warga Buntet bagian tengah, karena konon para pemainnya
adalah warga keturunan kraton alias elang.


Adapun Ankid, singkatan dari anak Kidul di bawah asuhan Keluarga Kyai Adib yang
memberikan support dan pendanaan. Sementara Glampok yang berarti Gabungan
anak glampok yang berasal dari Buntet bagian kulon dimanajeri oleh Kyai


                                          21
Amiruddin. Sementara Akper (Akademi Perawat) adalah klub sepak bola yang
anggotanya para karyawan Akper Buntet Pesantren. Dan GADN klub sepak bola
gabungan anak Dauwan dimanajeri oleh Kyai Imat.
Kesemua grup itu kini masih berlangsung mengisi waktu sore hari untuk mengadakan
pertandingan di lapangan sepak bola bagian paling barat kampung Buntet Pesantren.
Kemeriahan warga yang menonton sepak bola terdengar cukup gempita. Namun saat
malam hari para putra-putra kyai ini tetap terlibat dalam mengasuh para santrinya,
sementara orang Buntet sendiri juga aktif mengaji di kyai-nya masing-masing. (kurt)




                                        22
PESANTREN
Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut
serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya
jumlah Santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan
dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral.
Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan terhadap pesantren, baik
dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren
keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa
pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena
keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan
jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C.
Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada
zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi.
Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas, karena
keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari,
oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok
pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara
yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat
berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara
umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada
dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah
Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam.
Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-niali
keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk
mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat
menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya. Kemudian, mereka
dapat mengajarkannya kepada masyarakat, di mana para santri kembali setelah selesai
menamatkan pelajarannya di pesantren.
Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik
tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi,
sejak kapan mulai munculnya pesantren, belum ada pendapat yang pasti dan
kesepakatan tentang hal tersebut. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa
pesantren pertama kali muncul sebagai pusat-pusat pendidikan-agama di Indonesia.
Pesantren yang paling lama di Indonesia namanya Tegalsari di Jawa Timur. Tegalsari
didirikan pada ahkir abad ke-18, walaupun sebetulnya pesantren di Indonesia mulai
muncul banyak pada akhir abad ke-19.
Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan beberapa sarjana, seperti
Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya, ada indikasi bahwa munculnya
pesantren tersebut diperkirakan sekitar abad ke-19. Akan tetapi, terlepas dari

                                        23
persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa
itu.
Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah
satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader-
kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan
protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut
selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya
misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984)
Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-
1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren
mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia.
(Steenbrink; 1984)
Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren yang tersebar di
seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang
dari tiga juta santri. Pendidikan Islam sekarang di Indonesia kini begitu luas.
Sehingga, beranekaragam dan bagaimanapun aliran Islam yang dianut oleh seseorang,
pasti ada pesantren atau sekolah Islam yang sesuai.
Karena itu, menurut Tholkhah, pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-
fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan
transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues); 2)
pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3)
pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social
engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu,
menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan
tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru
yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change.
Pesantren dan Tuntutan Perubahan Zaman
Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman modernisme dan
nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan.
Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di
masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda.
(Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari
sebelumnya. Tapi, penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra
abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan
manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan pesantren di Indonesia pada saat itu
sama sekali belum testandardisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu
jaringan pesantren Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren
mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran
yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti. Sehingga, ada pesantren
yang menerapkan kurikulum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan
menerapkan juga kurikulum agama. Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin
memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja. Yang berarti bahwa tingkat
keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi.
Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak transisi ke Orde Baru dan
ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan pesantren menjadi

                                          24
semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap. Misalnya, selain
kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata
pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum
Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang ditetapkannya, yaitu 70 persen
mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam
yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.
Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan
masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan
upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban,
kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu
mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.
Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam
pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang
dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat
kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu
berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar
kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh
para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus
akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita
dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu
mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah
hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya
melalui produk-produk teknologi.
Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren adalah al
muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap
memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru
yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa
dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya
dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan
kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial
keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan
pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi
belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan
perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.
Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan
pengembangannya, yaitu:
Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak
modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan
terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia
pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera
mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan
saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat

                                         25
pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya
santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan
kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam
melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan
penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang
keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi
dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan
perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam
bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan
kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan
salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan
networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren
yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan
pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam
pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola
secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih
belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base)
santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi
kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan
pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak
sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya
menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan
penggalangan dana di pinggir jalan.
Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren
masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri
dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan
kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata,
tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Saifuddin Amir,
2006)

Format Pesantren Masa Depan
Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut
berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang
telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan
yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju
dari salafiyah ke mu'asyir (moderen), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-
nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji.
Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan
mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal
Pesantren khususnya kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib
santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus
computer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk
mendapatkan Ijazah formalnya. Atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain


                                        26
untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi, akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan
fuqoha yang mumpuni.
Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni
munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan
penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama
lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti
pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan
pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam
anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara
intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran
agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan
ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan
teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai
ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama,
lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam
khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup
tua.
Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren,
pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah
banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia.
Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya
adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan
ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita
kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak
lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat
tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah
masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku
masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda
pula.
Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap
bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan intelektual dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat
yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar
seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul
akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-
posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan
mereka.
Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi
anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya. Ketiga, cara
pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah.
Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin
religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai
kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya
ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak
ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk
melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik
mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.


                                         27
Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan
pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari
lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan
asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya
dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai
sarana mengejar cita-cita.
Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga
menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar
terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi
semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara
kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta
didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara
iman dan amal soleh.
Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model
pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius
dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga,
pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai
spiritual yang handal.
Pesantren dalam Kebijakan Sisdiknas
Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam
pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki
pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat.
Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali
potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau
masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk
dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan
mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan.
Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari
proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal
pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan
pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses
pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah,
bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis
(degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan
mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator
pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan
lebih bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau
kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh
kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah
disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan
Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik
pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan
dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan

                                         28
bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma
Pondok pesantren" yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2)
Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama,
masyarakat, dan negara.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang
istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim.
Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan
usia perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem
pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam
Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren
sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa
serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan
kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4
dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan
sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3)
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai
saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren sebetulnya
telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai
dengan Sistem pendidikan nasional.
Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan
atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang
Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8
menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal
9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya
dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan
keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat
dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal
15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan.

                                        29
Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal
30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3)
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Labih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan
keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga pesantren
yang berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para santrinya
dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup
sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan
nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga
kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan,
kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi,
bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan.
Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan
juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan
dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta
sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui
keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah
daerah. Pasal 55 menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan
berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan
agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2)
Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan
kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai
dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis
masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah

                                         30
daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat
memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan
merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memilki
tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan
pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas
serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan
tahun 2005 - 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan
dicapai, yaitu: 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2)
meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata
kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, dunia
pesantren harus bisa merespon dan berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di
bidang pendidikan tersebut. Pesantren tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau
terbelakang. Karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki
tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.




                                        31
Menjadikan Pesantren sebagai Media Pemberdayaan
         untuk Perempuan Korban Kekerasan
Wawancara dengan
Dra. Hj. Enung Nursaidah Rahayu, MPd

Bu Nung, demikian kami menyapa adalah putri Kyai H. Moh. Ilyas Ruhiat dan ibu
Nyai HJ. Dedeh Fuadah yang lahir di Tasikmalaya, 11 Maret 1968. Setelah lulus IKIP
Bandung, istri dari dr. H. Jajang Rudi Haman ini melanjutkan studi ke S2 di UPI
Bandung Jurusan Pendidikan Biologi Sekolah Lanjutan. Disamping sekarang
menjabat sebagai Ketua PUAN Amal Hayati Cipasung, beliau juga dipercaya menjadi
Ketua MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Biologi MAS/MAN Kab
Tasikmalaya. Ibu tiga orang anak ini juga aktif di beberapa organisasi diantaranya
Anggota POKJA PKTP (Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) Kab.
Tasikmalaya dan Anggota Komisi Kesehatan Reproduksi (Kespro) Kab. Tasikmalaya.
Berikut petikan wawancara dengan Ibu Nung:
Sebagai aktivis yang bekerja untuk upaya penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, menurut anda mengapa kaum perempuan selalu menjadi obyek
tindak kekerasan?
Ada beberapa faktor yang menurut saya menjadi penyebab munculnya Kekerasan
Terhadap Perempuan (KTP), Pertama, faktor budaya masyarakat yang sudah terbiasa
dengan tradisi bias gender. Tradisi ini akan menjadi semakin parah ketika pembedaan
peran dan fungsi antara kaum laki – laki dan perempuan diperkuat dengan ideologi
patriarki yang menempatkan fungsi laki-laki lebih utama di banding perempuan.
Dominasi patriarki ini memberi pengaruh yang sangat signifikan bagi masyarakat
ketika menerapkan norma serta cara berhubungan satu sama lain dalam berbagai
struktur sosial, mulai dari ranah rumah tangga, tempat kerja, maupun ranah publik
sekaligus.
Dapatkan Anda menyebutkan beberapa contoh dari persoalan tersebut?
Contoh yang gamblang dari semua itu ada dalam keluarga. Dalam keluarga masih
banyak dijumpai kebiasaan yang memberikan kesempatan lebih besar kepada anak
laki-laki dalam pendidikan, dalam hal makanan biasanya bapak yang harus
didahulukan, padahal seorang ibu yang sedang mengandung atau menyusui jauh lebih
membutuhkan makanan bergizi, begitu pula seorang anak yang sedang menginjak
masa tumbuh kembang, baik otot maupun otaknya lebih membutuhkan sumber
makanan bergizi. Tapi karena seorang laki-laki adalah kepala rumah tangga, maka
porsi makanannya baik itu kuantitas maupun kwalitasnya harus diutamakan, dan
banyak lagi contoh-contoh lain yang menunjukan superioritas dalam kehidupan
masyarakat. Budaya ini selanjutnya melahirkan kekerasan terhadap perempuan karena
telah mengakibatkan munculnya kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki. Berangkat
dari kenyataan tersebut yang terjadi kemudian adalah munculnya ketimpangan relasi
antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan yang tidak memiliki wewenang
atau kekuasaan menjadi kelompok yang subordinatif dan mengalami diskriminasi.
Justru dalam situasi budaya seperti inilah perempuan rentan mengalami berbagai
bentuk Kekerasan.


                                        32
Selain faktor yang pertama tadi, faktor-faktor apa lagi yang menyebabkan
perempuan rentan mengalami kekerasan ?
Yang kedua, faktor relasi dalam keluarga. Sistem kemasyarakatan kita pada umumnya
menempatkan peran isteri berada di dunia domestik yang hanya terbatas pada dapur,
sumur dan kasur, dengan persepsi bahwa suami sebagai pemimpin atau penguasa. Hal
ini mendorong isteri tergantung pada suami, khususnya secara ekonomi sepenuhnya
dibawah kekuasaan suami. Dengan demikian, relasi suami isteri menjadi tidak setara
atau timpang. Dan salah satu akibat dari ketimpangan isteri seringkali diperlakukan
semena-mena oleh suaminya. Ketiga adalah faktor individu. Bisa jadi temperamen
atau karakter individual menyebabkan seseorang melakukan tindak kekerasan. Hal
inipun tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga. Dapat dipastikan anak-anak
yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan akan tumbuh menjadi manusia yang kejam;
manusia pelaku kekerasan. Faktor keempat, adanya pandangan agama yang bias
gender. Hal ini tidak lepas dari akar budaya patriarkhi, yang mempengaruhi
masyarakat dalam menafsirkan ajaran agama. Misalnya ayat tentang nusyuz dalam al-
Qur‟an membuat banyak yang berkeyakinan bahwa suami sah-sah saja memukul
isterinya, padahal jika dipelajari secara seksama justru pesan yang dikandung
menyiratkan perintah agar suami berlaku baik terhadap isteri. Dari ayat tersebut kita
sebenarnya bisa mengambil kesimpulan bahwa ada dua tahapan yang harus ditempuh
seorang suami yang ingin memperingati isterinya yaitu pertama memberi nasehat dan
kedua pisah ranjang. Pada kenyataannya dua tahap ini tidak ditempuh oleh suami
yang memukul isterinya.
Lalu bagaimana soal tindak kekerasan yang dalam sehari – hari justru tak
jarang seolah – olah teramini oleh teks – teks agama ?
Memang benar sebagian masyarakat seolah mentolelir kekerasan terhadap perempuan
terutama perilaku kekerasan suami terhadap isteri dengan “pijakan” teks-teks agama
yang ditafsirkan secara bias gender. Tentunya hal ini harus dikoreksi karena akibatnya
hanya akan semakin menguatkan mata rantai pelanggengan budaya patriarkhi yang
sekaligus membiarkan secara sengaja kekerasan terhadap perempuan khususnya
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ini seolah menjadi sesuatu yang “lumrah”
dan “seharusnya” terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Dalam keseharian tindakan
kekerasan terhadap isteri kadang justru dinilai sebagai amal shaleh yang berpahala
seperti tindakan melarang isteri keluar rumah, mencari ilmu, silaturahmi, mengajar,
melakukan kegiatan sosial, dengan berpijak pada penafsiran teks agama yang
memerintahkan perempuan Islam untuk menetap di rumah. (Al Ahzab : 33).
Demikian juga dalam relasi seksual suami isteri. Pemaksaan hubungan seksual oleh
suami terhadap isteri tidak dianggap kekerasan, tapi justru dianggap kewajiban isteri.
Isteri adalah pelayan hasrat seksual suami yang senantiasa siaga kapan saja, dimana
saja, dan dengan gaya apapun sesuai keinginan suami.
Bisakah Anda sebutkan contoh ajaran agama yang dijadikan legitimasi
kesewenang-wenangan hak seksual suami terhadap istri ?
Misalnya Hadis yang menyebutkan “Jika seorang isteri diajak suaminya untuk
berhubungan, maka hendaklah isteri menurutinya sekalipun di dapur atau di atas
punggung onta”. Selain itu ada juga Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim yang mengatakan bahwa “Apabila suami mengajak isterinya ke kasur lalu ia
menolak, maka malaikat melaknatnya sampai subuh”. Padahal dalam Islam, hubungan
ragawi atau seksual ini selalu dilukiskan sebagai salah satu “kesenangan dan
kenikmatan” dari Allah yang bukan hanya ditujukan kepada laki-laki tapi juga kepada
perempuan. Hubungan seksual dalam Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan

                                         33
biologis dan melengkapi hubungan sosial antara suami dengan isteri, juga bernilai
ibadah. Bentuk-bentuk kekerasan lain yang seolah dilegitimasi teks agama adalah
praktik kawin paksa, wali mujbir, kekerasan dalam talak, poligami yang tidak adil dan
tuduhan nusyuz sepihak. Saya berpendapat penyebab terjadinya kekerasan terhadap
perempuan sama sekali bukan ajaran agama. Ajaran Islam yang paling mendasar
justru adalah menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat. Sehingga sangat tidak
mungkin agama yang pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan, melegitimasi
kedzaliman terhadap perempuan. Jika hal tersebut terjadi, saya pikir perlu
dipertanyakan, karena hal ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan dan
kemaslahatan umat. Jadi masalahnya adalah kembali pada bagaimana upaya kita
semua dalam mengeliminasi kesalahpahaman terhadap teks agama tersebut.
Sebagai orang yang selama ini aktif di dunia pesantren, bisa Anda ceritakan
bagaimana secara kultural pesantren-pesantren memperlakukan perempuan ?
Sepanjang yang saya alami dan amati, “perempuan pesantren” nasibnya tidak seburuk
yang dibayangkan oleh sebagian masyarakat yang menganggap pesantren sebagai
lembaga yang cenderung memasung hak-hak perempuan. Tidak sedikit perempuan
yang hidup di pesantren dapat berperan aktif di ranah publik baik itu sebagai ulama,
pendidik, birokrat, aktifis, dsb. Itu artinya perempuan diberi kesempatan yang sama
dalam pendidikan. Demikian pula dalam relasi keluarga di kalangan Kyai-Nyai. Di
Tasikmalaya, saya melihat sudah jarang Kyai yang berpoligami. Malahan sekarang
saya lihat kalangan birokrat yang berlomba adu cepat supaya bisa beristeri lebih dari
satu (sambil tertawa).
Banyak orang yang mencurigai di lingkungan pesantren terjadi praktek
kekerasan? Kalau itu benar, bagaimanakah (bentuk) praktek Kekerasan yang
selama ini terjadi di lembaga berbasis agama seperti pesantren ?

Saya tidak begitu yakin. Tapi memang saya pernah juga mendengar bahwa kalangan
pesantren kerap melakukan “tindakan kekerasan” terhadap perempuan. Adapun
praktek kekerasan itu dalam bentuk pembatasan akses dan peran di ranah publik,
tuntutan kepatuhan mutlak kepada isteri dalam segala hal lingkup kehidupan rumah
tangga, tindak kawin paksa terhadap anak perempuan serta poligami yang tidak adil.
Adakah upaya-upaya khusus yang dilakukan oleh PUAN Amal Hayati untuk
mengatasi tindak kekerasan di sekitar lingkungan pesantren ?
Sebagai sebuah lembaga yang didirikan kalangan civitas pesantren dan aktivis sosial,
kami selama ini selalu berusaha mengoptimalkan peran pesantren supaya lebih terlibat
aktif dalam penanganan perempuan korban kekerasan. PUAN Amal Hayati juga
senantiasa melakukan rangkaian aktivitas yang berfungsi sebagai upaya menegakkan
keadilan dan pemberdayaan perempuan. Adapun kegiatan – kegiatan ini bisa melalui
pendampingan, pengkajian kitab-kitab agama yang sensitif gender, workshop
“Pesantren sebagai Pusat Pendampingan Perempuan”, training pendampingan
berperspektif gender, training pengelolaan pusat pendampingan perempuan berbasis
pesantren, reinterpretasi penafsiran dan pemahaman Islam yang patriarkhal, serta
sosialisasi pemahaman Islam yang sensitif terhadap perempuan. Pokoknya kami
secara maksimal berusaha menjadikan pesantren sebagai pusat pemberdayaan
perempuan.
Apakah di PUAN Amal Hayati Cipasung ada divisi khusus yang menangani dan
melakukan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan ?


                                         34
Untuk kegiatan pendampingan dan penanganan bagi perempuan korban kekerasan,
PUAN Amal Hayati memiliki divisi khusus yakni PUSPITA (Pusat Perlindungan
Wanita). PUSPITA melayani pengaduan dan pendampingan bagi perempuan dan anak
yang mengalami kekerasan melalui konseling, mediasi, konsultasi, pendampingan
korban ketika berhubungan dengan lembaga terkait (RS, Polisi, PN, PA, Pengacara,
dll), serta penyediaan tempat aman sementara (Shelter) bagi korban yang terancam
keselamatannya dan memerlukan perlindungan. Jadi secara umum, PUSPITA serupa
dengan Women Crisis Center (WCC) baik dari segi pengelolaan maupun tata cara
konseling. Namun demikian, PUSPITA sebagai WCC berbasis Pesantren memiliki
ciri khas, seperti dalam layanan konseling dilengkapi dengan konseling spiritual
keagamaan, dan layanan pendampingan diarahkan pada kesadaran terhadap
kesetaraan laki-laki-perempuan melalui pendekatan agama dan didasarkan pada
pandangan agama. Demikian pula dalam hal pemberdayaan korban diintegrasikan
dengan kegiatan pesantren baik kegiatan spiritual, keilmuan atau sosial. Hal ini bisa
dilakukan karena keberadaan shelter terintegrasi dengan fasilitas pesantren. Dan
sebagai ujung tombak penanganan kasus kekerasan yang dialami perempuan,
PUSPITA bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti RS, Kepolisian, LBH,
PA, PN, NGO (Non Government Organisation), CBO (Community Based
Organisation) dan Pemerintah Daerah. Alhamdulillah jaringan kerja ini sudah berjalan
baik.
Bisakah Anda sebutkan jumlah data yang Anda temukan di PUSPITA berkaitan
dengan masalah kekerasan terhadap perempuan?
Sampai saat ini, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk ke
PUSPITA ada 62 kasus: 47 kasus (77%) KDRT, 4 diantaranya incest; 3 kasus (4%)
perkosaan; 14 kasus (9%) traficking. Untuk memberikan informasi seputar masalah
Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan keadilan gender sebagai upaya
penyadaran kepada masyarakat, selain dilakukan melalui kegiatan ceramah, seminar,
diskusi atau workshop juga melalui penyebaran brosur, leafleat dan factsheet. Selain
itu, kami sedang merintis program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan korban
(survivor) melalui pinjaman modal tanpa bunga dengan cicilannya dibayar sesuai
kesanggupan setiap minggu. Tujuannya, agar survivor bisa kembali hidup di tengah
masyarakat secara bermartabat dan mandiri sehingga bisa bangkit dari keterpurukan
akibat kekerasan yang dialaminya. Tapi ya,… belum banyak yang kita bantu karena
ternyata dalam pelaksanaannya belum begitu lancar. Makanya ketika saya baca di
surat kabar tentang Dr. Yunus mendapat anugerah Nobel dengan program Grameen-
Banknya, saya sangat bersyukur dan berharap moga-moga saja kita bisa bercermin
dari pengalaman beliau.
Apakah upaya yang dilakukan oleh pesantren dalam mengatasi tindak
kekerasan yang terjadi di lingkungannya sendiri maupun di masyarakat
sekitarnya?
Pesantren sebagai lembaga yang memiliki pengaruh dan daya dukung kuat dari
masyarakat serta fasilitas yang dimilikinya berpotensi besar bisa turut berperan aktif
menangani perempuan korban kekerasan. Dengan peran strategi itulah pesantren
sebenarnya bisa melakukan upaya-upaya mengatasi maraknya tindak kekerasan.
Dalam Hadis Shahih riwayat Bukhori dan Muslim, Rasulullah bersabda : “Tolonglah
saudara yang mendzalimi dan didzalimi”. Hadis di atas dapat memberikan gambaran
bahwa kita tidak bisa hanya berfokus pada upaya menolong perempuan yang menjadi
korban, tetapi juga bagaimana menumbuhkan kesadaran bagi pelaku agar tidak lagi
mengulang tindak kekerasannya. Dengan demikian, secara umum ada dua upaya

                                         35
penting yang harus dilakukan pesantren untuk mengeliminasi kekerasan terhadap
perempuan, yaitu upaya preventif dan kuratif. Upaya preventif dilakukan untuk
mengantisipasi agar tindak kekerasan tidak semakin berkembang misalnya pertama,
dengan membongkar akar pandangan budaya dan reinterpretasi pandangan agama
yang bias gender, yang dengan itu menjadi legitimasi tindak kekerasan terhadap
perempuan. Kedua, dengan mengupayakan penyadaran kepada masyarakat agar
peduli terhadap perilaku kekerasan terhadap perempuan, wa bil khusus penyadaran
kepada pelaku bahwa kekerasan oleh dan terhadap siapapun adalah bertentangan
dengan moral kemanusiaan serta ajaran agama. Adapun upaya kuratif dilakukan pada
saat tindak kekerasan terhadap perempuan sudah terjadi, untuk menolong perempuan
yang menjadi korban melalui pelayanan kasus yang menyangkut penanganan fisik,
pemulihan psikologis, upaya hukum, penyediaan rumah aman, serta pemberdayaan
sosial dan ekonomi. Dengan pelayanan ini diharapkan perempuan korban dapat
kembali hidup di tengah-tengah masyarakat dengan martabat kemanusiaannya yang
utuh.
Apa sumbangan pesantren untuk mengatasi KDRT ?
Ada beberapa kekuatan pesantren yang bisa disumbangkan dalam mengatasi KDRT.
Secara ideal-normatif pesantren mengemban misi amar makruf nahi munkar dan
sumber nilai-nilai sosial masyarakat. Pada hakekatnya pesantren merupakan lembaga
pemberdayaan, pembebasan dan pendampingan masyarakat dan kaum yang lemah
(mustadh‟afin). Di samping memiliki fungsi edukatif (taswhifiyah), pesantren juga
berperan dalam pengembangan masyarakat (tahwiliyah) dan ta‟yidiyah (pembelaan
masyarakat yang menjadi korban). Pesantren sampai sekarang masih dikenal sebagai
lembaga keagamaan tradisional yang menjadi bagian masyarakat. Ia menyatu dengan
komunitas sosial, dan menjadi problem solver sosial kemanusiaan. Secara
institusional, pesantren didukung oleh berbagai fasilitas yang dapat dijadikan sarana
pembentukan Woman Crisis Center (WCC) atau Pusat Perlindungan bagi Wanita
(PUSPITA). Sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, pesantren menjadi
wadah yang tepat bagi korban dan anak-anak korban kekerasan. Bila korbannya anak
usia sekolah maka ia tidak harus putus sekolah, atau bila seorang ibu yang menjadi
korbannya, anak-anaknya yang ia bawa dan kebetulan masih sekolah maka
sekolahnya bisa terus menimba ilmu dan melanjutkan sekolah secara formal di
pesantren.
Pesan-pesan Anda terkait dengan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Internasional yang jatuh pada 25 November ?
Kekerasan terhadap perempuan mau tidak mau akan berdampak pada kesehatan fisik
dan emosional para perempuan dalam waktu yang panjang. Bahkan ini bisa jadi akan
mempengaruhi kemampuan perempuan untuk bertindak serta mempengaruhi
perkembangan kepribadian dan rasa keamanan diri dan anak-anaknya. Jadi saya pikir
sangat wajar jika kekerasan terhadap perempuan dinilai sebagai salah satu bentuk
kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Melalui peringatan Hari Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan Internasional ini, saya berharap semoga ini bisa menjadi
momentum bagi kita dalam mencegah terulangnya berbagai tindakan buruk terhadap
perempuan. Sudah seharusnya masalah ini, mendapat perhatian khusus dari semua
elemen masyarakat mengingat dampak yang ditimbulkannya bisa menjadi
berpengaruh besar bagi kelangsungan hidup bangsa. Namun satu hal yang harus selalu
disadari bahwa sesungguhnya upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan
adalah upaya penegakkan harkat dan martabat kemanusiaan yang tidak hanya sesuai
dengan nilai kemanusiaan tetapi juga merupakan tugas agama. Dengan demikian,

                                         36
siapapun kita, apapun profesi kita, mari berbuat sesuatu untuk mencegah kekerasan
dan terus kita perjuangankan sampai kapan pun sesuai kemampuan kita masing-
masing.]
         Peran Pesantren Dalam Pemberdayaan Umat
                               Oleh SAEPURROHMAN

KELAHIRAN pondok pesantren di tanah air, tidak dapat dipisahkan dari sejarah
masuknya Islam ke Indonesia. Kehadiran pondok pesantren sampai saat ini menjadi
kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Pada awal berdirinya, pondok pesantren
umumnya sangat sederhana. Sistem yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran
adalah wetonan, sorogan dan bandongan. Akan tetapi, sejak 1970-an bersamaan
dengan program modernisasi pondok pesantren, mulai membuka diri untuk
mempelajari pelajaran umum. Pada mulanya, tujuan utama pondok pesantren adalah
menyiapkan santri untuk mendalami ilmu pengetahuan agama (tafaqqul fi al-din).
Dewasa ini, pertumbuhan dan penyebaran pesantren sangat pesat. Dengan
menjamurnya pondok pesantren yang penyuguhkan spesialisasi kajian baik tradisional
ataupun modern, membawa dampak positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
di negeri ini. Kehadiran pondok pesantreen telah nyata membantu pemerintah dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu, pesantren telah menawarkan
jenis pendidikan alternatif bagi pengembangan pendidikan nasional. Sejak awal
berdirinya pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pengkaderan ulama, tempat
pengajaran ilmu agama, dan memelihara tradisi Islam. Fungsi ini semakin
berkembang akibat tuntutan pembangunan nasional yang mengharuskan pesantren
terlibat di dalamnya.
Kini, di abad ke-21, sebagaimana disebut orang abad milenium, peran pondok
pesantren bukan saja sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga
keagamaan dan lembaga sosial. Peran pesantren pun melebar menjadi agen perubahan
dan pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran bila sekarang, pemerintah
atau lembaga sosial kemasyarakatan menginginkan pondok pesantren menjadi pusat
pemberdayaan masyarakat, melalui berbagai kegiatan yang sangat menunjang untuk
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi yang tinggi.
Tantangan globalisasi
DI tengah terpaan arus globalisasi, para pakar ramai menyatakan bahwa dunia akan
semakin kompleks dan saling ketergantungan. Dikatakan pula bahwa perubahan yang
akan terjadi dalam bentuk non-linear, tidak bersambung, dan tidak bisa diramalkan.
Masa depan merupakan suatu ketidaksinambungan. Kita memerlukan pemikiran
ulang dan rekayasa ulang terhadap masa depan yang akan dilewati. Kita berani tampil
dengan pemikiran yang terbuka dan meninggalkan cara-cara lama yang tidak
produktif. The road stop here where we go next? Semua pernyataan tersebut
menggambarkan bahwa dunia akan kekurangsiapan dan sekaligus sebagai dorongan
untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi.
Fenomena globalisasi banyak melahirkan sifat individualisme dan pola hidup
materialistik yang kian mengental. Di sinilah keunikan pondok pesantren masih
konsisten dengan menyuguhkan suatu sistem pendidikan yang mampu menjembatani
kebutuhan fisik (jasmani) dan kebutuhan mental spiritual (rohani) manusia.
Eksistensi pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya
memiliki komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu
melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang handal. Kekuatan otak (berpikir), hati

                                        37
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan
Pesantren dan tantangan masa depan

More Related Content

What's hot

PPT Sejarah Nabi Muhammad smt 1
PPT Sejarah Nabi Muhammad smt 1PPT Sejarah Nabi Muhammad smt 1
PPT Sejarah Nabi Muhammad smt 1dayat7
 
Sejarah perkembangan islam di dunia
Sejarah perkembangan islam di duniaSejarah perkembangan islam di dunia
Sejarah perkembangan islam di duniaAbi Hutomo
 
PPT SKI Bani Umayyah kelas VII
PPT SKI Bani Umayyah kelas VIIPPT SKI Bani Umayyah kelas VII
PPT SKI Bani Umayyah kelas VIIdayat7
 
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modernPPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modernelifitriani
 
Pengaruh perkembangan dan kebudayaan islam di asia tenggara
Pengaruh perkembangan dan kebudayaan islam di asia tenggaraPengaruh perkembangan dan kebudayaan islam di asia tenggara
Pengaruh perkembangan dan kebudayaan islam di asia tenggaraLa Mone
 
ISlam Asia Tenggara
ISlam Asia Tenggara ISlam Asia Tenggara
ISlam Asia Tenggara LBB. Mr. Q
 
Ppt bani umayyah
Ppt bani umayyahPpt bani umayyah
Ppt bani umayyahsangmonyed
 
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modernPPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modernkiatbelajar95
 
Pengertian Pendidikan Islam secara etimologi dan terminologi
Pengertian  Pendidikan Islam secara etimologi dan terminologiPengertian  Pendidikan Islam secara etimologi dan terminologi
Pengertian Pendidikan Islam secara etimologi dan terminologiSyarifatul Marwiyah
 
Perkembangan islam di dunia
Perkembangan islam di duniaPerkembangan islam di dunia
Perkembangan islam di duniaweny maniez
 
Tugas pembuatan makalah studi al qur’an
Tugas pembuatan makalah studi al qur’anTugas pembuatan makalah studi al qur’an
Tugas pembuatan makalah studi al qur’anNur Alfiyatur Rochmah
 
Pentingnya Dakwah untuk Kita
Pentingnya Dakwah untuk KitaPentingnya Dakwah untuk Kita
Pentingnya Dakwah untuk KitaErwin Wahyu
 
RPP Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MA Kelas XI
RPP Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MA Kelas XIRPP Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MA Kelas XI
RPP Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MA Kelas XIDiva Pendidikan
 

What's hot (20)

PPT Sejarah Nabi Muhammad smt 1
PPT Sejarah Nabi Muhammad smt 1PPT Sejarah Nabi Muhammad smt 1
PPT Sejarah Nabi Muhammad smt 1
 
Islam kejawen
Islam kejawenIslam kejawen
Islam kejawen
 
Sejarah perkembangan islam di dunia
Sejarah perkembangan islam di duniaSejarah perkembangan islam di dunia
Sejarah perkembangan islam di dunia
 
PPT SKI Bani Umayyah kelas VII
PPT SKI Bani Umayyah kelas VIIPPT SKI Bani Umayyah kelas VII
PPT SKI Bani Umayyah kelas VII
 
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modernPPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
 
Aswaja
AswajaAswaja
Aswaja
 
Pengaruh perkembangan dan kebudayaan islam di asia tenggara
Pengaruh perkembangan dan kebudayaan islam di asia tenggaraPengaruh perkembangan dan kebudayaan islam di asia tenggara
Pengaruh perkembangan dan kebudayaan islam di asia tenggara
 
Ilmu aqsam
Ilmu aqsamIlmu aqsam
Ilmu aqsam
 
ISlam Asia Tenggara
ISlam Asia Tenggara ISlam Asia Tenggara
ISlam Asia Tenggara
 
Makalah ijaz alquran
Makalah ijaz alquranMakalah ijaz alquran
Makalah ijaz alquran
 
Ppt bani umayyah
Ppt bani umayyahPpt bani umayyah
Ppt bani umayyah
 
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modernPPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
PPT Perkembangan islam-pada-masa-modern
 
Pengertian Pendidikan Islam secara etimologi dan terminologi
Pengertian  Pendidikan Islam secara etimologi dan terminologiPengertian  Pendidikan Islam secara etimologi dan terminologi
Pengertian Pendidikan Islam secara etimologi dan terminologi
 
Perkembangan islam di dunia
Perkembangan islam di duniaPerkembangan islam di dunia
Perkembangan islam di dunia
 
Ruang lingkup studi islam
Ruang lingkup studi islamRuang lingkup studi islam
Ruang lingkup studi islam
 
Tugas pembuatan makalah studi al qur’an
Tugas pembuatan makalah studi al qur’anTugas pembuatan makalah studi al qur’an
Tugas pembuatan makalah studi al qur’an
 
Pentingnya Dakwah untuk Kita
Pentingnya Dakwah untuk KitaPentingnya Dakwah untuk Kita
Pentingnya Dakwah untuk Kita
 
israiliyyat
 israiliyyat israiliyyat
israiliyyat
 
Ppt Dinasti Abbasiyah
Ppt Dinasti AbbasiyahPpt Dinasti Abbasiyah
Ppt Dinasti Abbasiyah
 
RPP Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MA Kelas XI
RPP Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MA Kelas XIRPP Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MA Kelas XI
RPP Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MA Kelas XI
 

Viewers also liked

Pendidikan Pondok pesantren nurul islam
Pendidikan Pondok pesantren nurul islamPendidikan Pondok pesantren nurul islam
Pendidikan Pondok pesantren nurul islamArlin Muzdalifah
 
Ppt pondok pesantren
Ppt pondok pesantrenPpt pondok pesantren
Ppt pondok pesantrenabdusshofi
 
MATERI PENYULUHAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DI SEKOLAH DASAR
MATERI PENYULUHAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DI SEKOLAH DASAR MATERI PENYULUHAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DI SEKOLAH DASAR
MATERI PENYULUHAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DI SEKOLAH DASAR Dayu Agung Dewi Sawitri
 
Artikel Muatan Lokal
Artikel Muatan LokalArtikel Muatan Lokal
Artikel Muatan LokalFAJAR MENTARI
 
Asli manajemen pengelolaan pesantren
Asli manajemen pengelolaan pesantren Asli manajemen pengelolaan pesantren
Asli manajemen pengelolaan pesantren Feni Prasetiya
 
Keterampilan Berbahasa
Keterampilan BerbahasaKeterampilan Berbahasa
Keterampilan Berbahasataufiq99
 
HURUF JAR DAN HURUF ATHAF
HURUF JAR DAN HURUF ATHAFHURUF JAR DAN HURUF ATHAF
HURUF JAR DAN HURUF ATHAFNurul Husna
 
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...Ahmad Wahyudin Rock'n Roll
 
Pengaruh pendidikan islam terhadap tingkah laku remaja
Pengaruh pendidikan islam terhadap tingkah laku remajaPengaruh pendidikan islam terhadap tingkah laku remaja
Pengaruh pendidikan islam terhadap tingkah laku remajaFataha Fatih
 
Makalah Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Tiga Keterampilan Berbahasa La...
Makalah Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Tiga Keterampilan Berbahasa La...Makalah Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Tiga Keterampilan Berbahasa La...
Makalah Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Tiga Keterampilan Berbahasa La...FAJAR MENTARI
 
Hubungan Keterampilan Membaca dengan Keterampilan Bahasa yang lain
Hubungan Keterampilan Membaca dengan Keterampilan Bahasa yang lainHubungan Keterampilan Membaca dengan Keterampilan Bahasa yang lain
Hubungan Keterampilan Membaca dengan Keterampilan Bahasa yang lainIjal Mustofa
 

Viewers also liked (20)

Pendidikan Pondok pesantren nurul islam
Pendidikan Pondok pesantren nurul islamPendidikan Pondok pesantren nurul islam
Pendidikan Pondok pesantren nurul islam
 
Poskestren
PoskestrenPoskestren
Poskestren
 
Ppt pondok pesantren
Ppt pondok pesantrenPpt pondok pesantren
Ppt pondok pesantren
 
penyuluhan kesehatan di ponpes
penyuluhan kesehatan di ponpespenyuluhan kesehatan di ponpes
penyuluhan kesehatan di ponpes
 
Power Point PHBS
Power Point PHBSPower Point PHBS
Power Point PHBS
 
MATERI PENYULUHAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DI SEKOLAH DASAR
MATERI PENYULUHAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DI SEKOLAH DASAR MATERI PENYULUHAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DI SEKOLAH DASAR
MATERI PENYULUHAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DI SEKOLAH DASAR
 
Corak pesantren
Corak pesantrenCorak pesantren
Corak pesantren
 
Artikel Muatan Lokal
Artikel Muatan LokalArtikel Muatan Lokal
Artikel Muatan Lokal
 
Asli manajemen pengelolaan pesantren
Asli manajemen pengelolaan pesantren Asli manajemen pengelolaan pesantren
Asli manajemen pengelolaan pesantren
 
Keterampilan Berbahasa
Keterampilan BerbahasaKeterampilan Berbahasa
Keterampilan Berbahasa
 
HURUF JAR DAN HURUF ATHAF
HURUF JAR DAN HURUF ATHAFHURUF JAR DAN HURUF ATHAF
HURUF JAR DAN HURUF ATHAF
 
Jenis teks
Jenis teksJenis teks
Jenis teks
 
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
 
Pengaruh pendidikan islam terhadap tingkah laku remaja
Pengaruh pendidikan islam terhadap tingkah laku remajaPengaruh pendidikan islam terhadap tingkah laku remaja
Pengaruh pendidikan islam terhadap tingkah laku remaja
 
KARYA ILMIAH
KARYA ILMIAHKARYA ILMIAH
KARYA ILMIAH
 
Makalah Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Tiga Keterampilan Berbahasa La...
Makalah Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Tiga Keterampilan Berbahasa La...Makalah Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Tiga Keterampilan Berbahasa La...
Makalah Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Tiga Keterampilan Berbahasa La...
 
Pidato
PidatoPidato
Pidato
 
Phbs ppt
Phbs pptPhbs ppt
Phbs ppt
 
Hubungan Keterampilan Membaca dengan Keterampilan Bahasa yang lain
Hubungan Keterampilan Membaca dengan Keterampilan Bahasa yang lainHubungan Keterampilan Membaca dengan Keterampilan Bahasa yang lain
Hubungan Keterampilan Membaca dengan Keterampilan Bahasa yang lain
 
Karya Tulis Ilmiah
Karya Tulis IlmiahKarya Tulis Ilmiah
Karya Tulis Ilmiah
 

Similar to Pesantren dan tantangan masa depan

Makalah pesantren madrasah sekolah
Makalah pesantren madrasah sekolahMakalah pesantren madrasah sekolah
Makalah pesantren madrasah sekolahsyaifulanam27
 
Sejarah Pendidikan Islam.pdf
Sejarah Pendidikan Islam.pdfSejarah Pendidikan Islam.pdf
Sejarah Pendidikan Islam.pdfZukét Printing
 
Sejarah Pendidikan Islam.docx
Sejarah Pendidikan Islam.docxSejarah Pendidikan Islam.docx
Sejarah Pendidikan Islam.docxZukét Printing
 
Pendidikan Pesantren.docx
Pendidikan Pesantren.docxPendidikan Pesantren.docx
Pendidikan Pesantren.docxZukét Printing
 
Pendidikan Pesantren.pdf
Pendidikan Pesantren.pdfPendidikan Pesantren.pdf
Pendidikan Pesantren.pdfZukét Printing
 
Dinamika pesantren11 55-1-pb
Dinamika pesantren11 55-1-pbDinamika pesantren11 55-1-pb
Dinamika pesantren11 55-1-pbahmad al haris
 
Sepuluh Ciri Pesantren Masa Depan
Sepuluh Ciri Pesantren Masa DepanSepuluh Ciri Pesantren Masa Depan
Sepuluh Ciri Pesantren Masa DepanSupriadi Fadel
 
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfPESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfReskipernanda
 
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfPESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfReskipernanda
 
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfPESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfReskipernanda
 
Kurikulum berbasis kompetensi di pesantren
Kurikulum berbasis kompetensi di pesantrenKurikulum berbasis kompetensi di pesantren
Kurikulum berbasis kompetensi di pesantrenOmay Komarudin
 
Pesantren dan Perbaikan Moral
Pesantren dan Perbaikan MoralPesantren dan Perbaikan Moral
Pesantren dan Perbaikan MoralAlvin Lazuardy
 
Institusi institusi pendidikan islam di indonesia
Institusi institusi pendidikan islam di indonesiaInstitusi institusi pendidikan islam di indonesia
Institusi institusi pendidikan islam di indonesiasadiman dimas
 

Similar to Pesantren dan tantangan masa depan (20)

Makalah pesantren madrasah sekolah
Makalah pesantren madrasah sekolahMakalah pesantren madrasah sekolah
Makalah pesantren madrasah sekolah
 
Makalah rara
Makalah raraMakalah rara
Makalah rara
 
Sejarah Pendidikan Islam.pdf
Sejarah Pendidikan Islam.pdfSejarah Pendidikan Islam.pdf
Sejarah Pendidikan Islam.pdf
 
Sejarah Pendidikan Islam.docx
Sejarah Pendidikan Islam.docxSejarah Pendidikan Islam.docx
Sejarah Pendidikan Islam.docx
 
Pendidikan Pesantren.docx
Pendidikan Pesantren.docxPendidikan Pesantren.docx
Pendidikan Pesantren.docx
 
Pendidikan Pesantren.pdf
Pendidikan Pesantren.pdfPendidikan Pesantren.pdf
Pendidikan Pesantren.pdf
 
Dinamika pesantren11 55-1-pb
Dinamika pesantren11 55-1-pbDinamika pesantren11 55-1-pb
Dinamika pesantren11 55-1-pb
 
Aswaja x -bab3
Aswaja x -bab3Aswaja x -bab3
Aswaja x -bab3
 
Dayah (Pesantren)
Dayah (Pesantren)Dayah (Pesantren)
Dayah (Pesantren)
 
Sepuluh Ciri Pesantren Masa Depan
Sepuluh Ciri Pesantren Masa DepanSepuluh Ciri Pesantren Masa Depan
Sepuluh Ciri Pesantren Masa Depan
 
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfPESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
 
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfPESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
 
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdfPESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.pdf
 
Tugas SPI
Tugas SPITugas SPI
Tugas SPI
 
Kurikulum berbasis kompetensi di pesantren
Kurikulum berbasis kompetensi di pesantrenKurikulum berbasis kompetensi di pesantren
Kurikulum berbasis kompetensi di pesantren
 
Pesantren dan Perbaikan Moral
Pesantren dan Perbaikan MoralPesantren dan Perbaikan Moral
Pesantren dan Perbaikan Moral
 
Lembaga
LembagaLembaga
Lembaga
 
Slamettt
SlametttSlamettt
Slamettt
 
Institusi institusi pendidikan islam di indonesia
Institusi institusi pendidikan islam di indonesiaInstitusi institusi pendidikan islam di indonesia
Institusi institusi pendidikan islam di indonesia
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 

More from Bagoes Bhaghazkharaa

More from Bagoes Bhaghazkharaa (6)

Keutaan ilmu materi mos
Keutaan ilmu materi mosKeutaan ilmu materi mos
Keutaan ilmu materi mos
 
Bacaan shalat
Bacaan shalatBacaan shalat
Bacaan shalat
 
Mengenal pemikiran gus dur
Mengenal pemikiran gus durMengenal pemikiran gus dur
Mengenal pemikiran gus dur
 
Bukti adanya tradisi tahlilan sejak zaman salaf
Bukti adanya tradisi tahlilan sejak zaman salafBukti adanya tradisi tahlilan sejak zaman salaf
Bukti adanya tradisi tahlilan sejak zaman salaf
 
Materi ski bab 2 kls 7
Materi ski bab 2 kls 7Materi ski bab 2 kls 7
Materi ski bab 2 kls 7
 
Dalil maulid nabi
Dalil maulid nabiDalil maulid nabi
Dalil maulid nabi
 

Recently uploaded

Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Model Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsModel Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsAdePutraTunggali
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxawaldarmawan3
 
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfLAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfChrodtianTian
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDmawan5982
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxnerow98
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxc9fhbm7gzj
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)3HerisaSintia
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 

Recently uploaded (20)

Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Model Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public RelationsModel Manajemen Strategi Public Relations
Model Manajemen Strategi Public Relations
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
 
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfLAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 

Pesantren dan tantangan masa depan

  • 1. 1
  • 2. Daftar isi Sekapur sirih tentang Pesantren 1.Melecutkan pesantren lepas dari feudal 2. Memaknai Islam kembangkan Pesantren 3. Menciptakan sekulerisasi pendidikan di Pesantren 4. masa depan Pesantren 5. Tantangan dan tanggung jawab sosial masa depan Pesantren 6. Pesantren dan Kyai 7. Sepak bola di Pesantren 8. Pesantren 9. Menjadikan pesantren sebagai media pemberdayaan 10. untuk perempuan korban kekerasan 11. Peran pesantren dalam pemberdayaan umat 12. Mengembalikan Pesantren ke ranah cultural 13. Pesantren sebagai lembaga sosial 2
  • 3. Sekapur Sirih Tentang Pesantren Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia,sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar, atau surau di Minangkabau, Rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India (Karel A Steenbrink, 1986) Namun bila kita menengok waktu sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisioanal di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan pondok, barangkali istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan atau penginapan bagi para musafir. Kata pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Profesor (Zamakhsari;1983) berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak. Pondok, Masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren. Mengapa pesantren dapat survive sampai hari ini Ketika lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional peserti pesantren di Dunia Islam tidak dapat bertahan menghadapi perubahan atau modernitas sistem pendidikannya. Secara implisit pertanyaan tadi mengisyaratkan bahwa ada tradisi lama yang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan. Disamping itu, bertahannya pesantren karena ia tidak hanya identik dengan makna ke- Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan- perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan- perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaaan seperti kita lihat sekarang. 3
  • 4. Dari keterangan sederhana ini saja kita dapat menarik garis linear tentang apa peranan pesantren dan dimana letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia merdeka. Untuk bangsa yang lebih berkepribadian. Gambaran konkretnya dapat dianalogikan sebua pesantren Indonesia (ambil sebagai misal Tebuireng) sebagai sebuah kelanjutan pesantren di Amerika Serikat (ambil sebagai missal "pesantren" yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston): Tebuireng menghasilkan apa yang dapat dilihat oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dan pesantrennya Pendeta Harvard telah tumbuh menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika modern. (Nurcholish Majid, 1997). Kini di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang selalu berubah-rubah dalam jeda waktu yang tidak lama, apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based Institusion kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan,Pekanbaru, Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung, Cilangkap. Atau misalnya pesantren yang muncul pada tahun 1980-an seperti Pesantren Darun Najah, Cianjur, dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul hakim, al-Kautsar, Darul Arafah di Medan,mustafawiyyah Purba Baru di Mandiiling-Natal dan ada disekitarnya sekarang,Darul Hadits Hutabaringin,Darul Ikhlas di Dalan- lidang,dan Pesantren Muara Mais, Darul Hikmah di Mumbulsari Jember dll Lengkong, 1 Desember 2008 4
  • 5. Melecut Pesantren Lepas dari Feodal Oleh M. Mas'ud Adnan * Sumber : http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=267743 "Silakan bicara (kritik) apa saja di sini, asal jangan membakar pondok," Kata KH M. Yusuf Hasyim (Pak Ud) kepada ribuan santri Tebuireng. Pidato itu disampaikan Pak Ud pada 1980-an, ketika Orde Baru di bawah Soeharto masih gagah perkasa. Saat itu, jangankan mengkritik pemerintah, beda pendapat saja dituding subversif. Uniknya, Pak Ud malah ngajangi santri untuk berani bicara, termasuk mengkritik Pak Ud sendiri selaku pengasuh pesantren. Konsekuensinya, pidato-pidato santri sangat kritis, baik kepada pemerintah maupun Pak Ud. Tapi, Pak Ud tenang-tenang saja. Bahkan, kadang Pak Ud mengintip santri yang pidato vokal dari balik jendela ndalem. Besoknya, si santri dipanggil, diberi buku atau informasi aktual, terutama terkait isu nasional. Kontroversial Dalam perspektif budaya pesantren, pidato Pak Ud itu memang kontroversial. Jamak diketahui bahwa hubungan santri-kiai cenderung bersifat patron-klien. Tapi, Pak Ud justru bersikap sebaliknya. Dia berusaha mengajari santri berpikir kritis, demokratis dan -ini yang penting- tidak disandra budaya feodal. Hasilnya memang luar biasa. Selain memiliki keterampilan organisasi dan memimpin, rata-rata alumni Pesantren Tebuireng berwawasan luas dan rasional, tanpa harus kehilangan jati diri selaku santri dengan basis budaya tradisional. Bahkan, beberapa santri yang kemudian belajar di Amerika Serikat, Mesir, Saudi Arabia, dan negara- negara lain tetap committed terhadap basis budaya tradisional pesantren. Artinya, di tengah era globalisasi, mereka mampu merespons tantangan perubahan sesuai dengan kapasitas, bidang, dan profesi masing-masing, namun tetap berdiri kukuh dalam bingkai budaya pesantren. Sikap Pak Ud itu, tampaknya, sesuai dengan pandangan KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, yang menjadi pengasuh kedua Pesantren Tebuireng, pasca Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari selaku pendiri. Menurut Kiai Wahid, tak semua santri yang mondok di Tebuireing berorientasi jadi kiai. Memang mereka semua ingin mempelajari agama. Namun, cita-cita mereka belum tentu ingin jadi kiai. Artinya, cita-cita mereka beragam. 5
  • 6. Ada yang ingin jadi pengusaha, ulama, jaksa, hakim, wartawan, politisi, menteri, presiden, dan sebagainya. Karena itu, mereka tak hanya dididik agama, tapi perlu bekal ilmu pengetahuan yang kuat dan luas. Nah, untuk membuka cakrawala pemikiran santri itu, mereka perlu dirangsang dengan iklim dialogis, rasional, kritis, dan demokratis, tidak menabukan kritik dan beda pendapat, termasuk dengan kiainya. Karena itu, ketika kiai-kiai di lingkungan pesantren masih pro-kontra soal kehadiran pelajaran umum, pada 1975 Pak Ud sudah berani mendirikan SMP dan SMA di Tebuireng dengan siswa putra-putri tanpa sekat. Kritik pun meledak dengan dahsyat, termasuk dari kiai-kiai di lingkungan Tebuireng. Bertahun-tahun Pak Ud mendapat kritik keras. Namun, Pak Ud yang dikenal teguh pendirian pantang menyerah. Kini SMP-SMA Wahid Hasyim itu menjadi salah satu sekolah terbaik di Jombang. Bahkan, pada 1967 Pak Ud mendirikan Universitas Hasyim Asy'ari yang terbuka bagi mahasiswa putra-putri. Padahal, saat itu belajar satu ruangan bagi mahasiswa- mahasiswi di lingkungan pesantren sangat tabu. Tapi, Pak Ud punya alasan kuat. Menurut dia, kalau kita konsisten dengan pemisahan laki-perempuan, jangan hanya di ruangan belajar. Tapi, di bus-bus dan transportasi lain, penumpang laki-perempuan juga harus dipisah. Lalu berapa kita harus menyediakan bus untuk kepentingan itu. Belum lagi jika ditinjau dari segi efektivitas dan dananya. Yang penting, bagaimana menata hati dan moralitas mahasiswa-mahasiswi agar tak punya niat melanggar syariat agama. Sebab, begitu keluar dari pesantren, mereka juga dihadapkan pada realitas masyarakat yang tanpa sekat pemisah antara laki-laki dan perempuan. Keluar dari Ndalem Karakter kekiaian Pak Ud sangat kuat. Maklum, Pak Ud adalah putra ulama besar, yaitu Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, pendiri NU yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional. Namun, karakter kekiaian Pak Ud tak pernah ditunjukkan dalam simbol-simbol artifisial. Sebaliknya, dimanifestasikan dalam integritas moral dan perilaku sehari-hari. Selain dikenal sebagai kiai bersih, secara moral Pak Ud juga sangat bersahaya. Buktinya, meski Pak Ud dikenal sebagai tokoh nasional dan pernah menjadi anggota DPR, ndalem yang ditempati di Tebuireng jauh dari kesan mewah. Bahkan, cat dan kondisi rumahnya sudah kusam. Yang mengenaskan, tempat tidur Pak Ud jauh dari layak. Berpuluh-puluh tahun Pak Ud tidur di kamar pengap dengan tempat tidur seadanya. Sedemikian tak layak sampai beberapa santri dan alumni terheran-heran. "Kamar Pak Ud masih lebih baik kamar santri," kata seorang alumni. Pada 2006 Pak Ud menyerahkan kepemimpinan Tebuireng kepada KH Salahuddin Wahid (Gus Solah). Yang menarik, Pak Ud langsung keluar dari ndalem yang selama ini 6
  • 7. ditempati. "Saya sudah tak berhak tinggal di sini," katanya. Keruan saja para alumni yang diundang untuk bahas suksesi itu tertegun. Saya coba menyela, "Kiai, ini kan bukan suksesi pejabat pemerintah sehingga kiai harus keluar dari ndalem." Tapi, sikap Pak Ud bulat, tak mau menempati rumah yang bukan haknya. Sejak itu, Pak Ud tinggal di kediaman pribadinya. Kini Pak Ud telah menghadap sang khalik. Semoga Allah SWT membalas semua amal perjuangannya yang tanpa kenal lelah membela hak-hak rakyat dan agama. Kita berharap semoga para santri, alumni, bahkan masyarakat luas bisa meneladani dan meneruskan perjuangannya. Amin. * M Mas'ud Adnan, alumnus Pesantren Tebuireng, kini direktur utama Harian Bangsa, Surabaya 7
  • 8. Memaknai Islam Kembangkan Pesantren Oleh : Lily Zakiyah Munir Pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kukuh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Beberapa pesantren bisa saja tidak mampu bertahan sebagai sub-kultur tersendiri seperti tesis yang pernah dikemukakan Gus Dur dulunya. Sebatas pemahaman kita selama ini, ada tiga elemen yang membuat pesantren mampu menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik. Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di banyak pesantren, umumnya terdiri dari warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan. Sementara elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai atau values system yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai- nilai dasar pesantren, seperti al-ush?amsah (lima prinsip dasar) yang diadopsi dari paham Ahli Sunnah.? Demikian Lily Zakiyah Munir (57), Direktur CePDeS (Center for Pesantren and Democracy Studies), aktivis Muslimat Nahdlatul Ulama, memberikan pemahaman akan citra tentang pesantren ? lingkungan yang sejak kecil diakrabinya di Jombang. Ia adalah putri almaghfurlah KH Machfudz Anwar dari Jombang. Kini, meskipun lebih banyak tinggal di Jakarta, namun juga memberikan sedikit waktunya untuk pengembangan pesantren yang diwarisinya di Jombang. Lebih jauh ia memberikan penjelasan tentang al-ush?-khamsah atau ?pancasila?-nya pesantren itu. Menurutnya, yang pertama prinsip tawasuth yang berarti tidak memihak atau moderasi. Kedua tawasun, atau menjaga keseimbangan dan harmoni. Ketiga, tasammuh, atau toleransi. Keempat adl atau sikap adil; dan kelima tasyⷵr atau prinsip musyawarah. Nah, ?pancasila? pesantren itu tidak hanya sekadar hiasan kata, tapi terinternalisasi dan diprektikkan dalam dunia pesantren. Sebab, komunitas pesantren itu hidup seperti dalam akademi militer selama 24 jam, dan menjalankan 8
  • 9. aktivitas pendidikan sejak sebelum subuh sampai kembali tidur. Jadi, dunia pesantren sesungguhnya membuat miniatur dunia ideal mereka sendiri. Pesantren sebagai institusi, dalam pandangannya, tentunya juga termasuk dalam lingkup dunia global yang tidak bisa lepas dari pengaruh luar dirinya. Derasnya arus informasi lewat media, hubungan antar-negara, antar-institusi, antar-organisasi, seperti jalur sumbangan dan bantuan dengan berbagai motifnya, tentu ikut mempengaruhi dunia pesantren. Pesantren sedikit banyaknya tidak bisa lepas dari pengaruh global itu. Pesantren yang tidak mampu mempertahankan „pancasila‟-nya tadi, bisa jadi akan terjebak dalam permainan politik global. Dengan begitu, mereka tanpa sadar dapat saja berada dalam jaringan yang punya egenda tertentu, tidak lagi seperti yang dimaui pesantren itu secara konvensional Artinya, kalaupun sebuah pesantren mengalami disorientasi, itu bisa disebabkan oleh dua faktor. Faktor internal berupa merosotnya etos elemen-elemen yang telah kita sebutkan tadi, sementara faktor eksternal seperti pengaruh jaringan global. Keduanya saling berkaitan. ”Lemahnya peran kiai atau kepemimpinan pesantren yang selama ini dikenal independen, mandiri, dan tidak terkooptasi oleh kepentingan politik, ekonomi, ataupun ideologi di luar pesantren, bisa berakibar buruk bagi sebuah pesantren. Dulu, pesantren benar-benar bagaikan sebuah kerajaan kecil. Tapi sekarang, banyak kepemimpinan pesantren sudah tidak jadi panutan lagi,” kata Lily Zakiyah Munir Kedua, kurikulum pesantren juga sebuah problem yang harus diselesaikan secara komprehensif. Tapi yang kita harapkan sebenarnya bukan hanya perbaikan kurikulum, tapi koreksi dan kritik ke dalam pesantren dan masyarakat. Dalam soal aktivitas, ia memang tak bisa dilepas dari pelbagai kegiatan. Bepergian ke luar negeri, adalah kesibukan Lily Zakiyah, yang lain. Ia yang menekuni hak-hak perempuan, paling sering, sebagai pembicara dalam suatu forum. Ia tercatat pernah mengajar tentang perempuan dan hukum Islam di University of South Carolina, Amerika Serikat. Selain itu, ia pernah hidup enam bulan di Afghanistan, ketika diminta menjadi anggota International Commissioner pada Joint Electoral Management Body. ?Kegiatan yang sama pernah saya jalani di Nepal pada saat transisi dari pemerintahan monarki ke republik,? Lily menjelaskan. Putri almaghfurlah KH Machfudz Anwar dari Jombang, ini menyinggung tentang peran perempuan dalam Islam. Bidang itu bukan hal asing bagi Lily. Anak kelima dari sebelas bersaudara putra-putri ini sejak kecil bisa merasakan kemajuan pemikiran sang ayah. ?Bayangkan pada tahun 1960-an, beliau mengizinkan salah satu kakak perempuan saya meneruskan pendidikan ke kedokteran. Beliau jalan terus, walaupun menerima banyak kritik,? ia mengenang sang ayah yang fisioner. Pun bukan hal aneh, karena Kiai Machfudz sebelumnya telah membuka pesantren putri di Seblak, di Jombang selatan. Hingga kini, pesantren itu masih berjalan baik, dikelola oleh kakak Lily yang lain. Sang ayah pula yang membimbing sang ibu untuk menjadi perempuan yang berpikiran maju. ?Beliau sendiri yang mengajari ibu, mulai dari membaca huruf Arab, 9
  • 10. Latin, hingga kemudian menjadi hakim agama pertama di Indonesia ini,? Lily, seperti dikutip Pembaruan, seraya tersenyum. Lily sendiri, walau mengecap pendidikan dasar hingga lanjutan atas di sekolah agama, didorong sang ayah untuk mengecap pendidikan tinggi di IKIP (kini universitas negeri), jurusan bahasa Inggris. Pendidikan itu kemudian mengantarnya mengecap pendidikan lanjutan di Belanda, memperdalam medical anthtropologist di University of Amsterdam. Lily tak henti memperdalam ilmu. Ia kemudian belajar manajemen di Northern Illinois University di Dekalb. Wajahnya berbinar ketika menceritakan mendapatkan kesempatan menjadi research fellow dalam Islam and Human Rights di Fakultas Hukum Emory University, di Atlanta, Amerika Serikat. Ia sangat terkesan kepada pembimbingnya, Prof Abdullahi A An-Na‟im. Aktif di Muslimat NU, Lily pernah aktif di lembaga perempuan Partai Kebangkitan Bangsa. Namun, ia kemudian memilih mundur. Ia berhak memaknai dirinya. (riadi ngasiran) 10
  • 11. Menciptakan Sekularisasi Pendidikan di Pesantren MUHIBIN A.M. Peneliti pada FKiY, santri di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy?ari, Yogyakarta eberadaan pesantren sebagai lembaga keagamaan kultural yang ingin bisa menjawab tantangan zaman, saat ini masih belum jelas kedudukannya. Peranannya dalam dunia global masih belum terlihat. Maka, tidak sedikit kemudian banyak orang yang merasa sangat pesimistis terhadap peran dan fungsi pesantren saat ini. Apalagi saat melihat kondisi dunia yang saat ini makin menantang siapa pun untuk berlomba-lomba membangun puncak peradaban. Sementara, pesantren tetap pada tempatnya tanpa ada pembaharuan yang cukup berarti. Pendidikan pondok pesantren yang saat ini telah banyak berdiri dengan megah di berbagai tempat, baik di desa atau di perkotaan, secara keseluruhan belum mampu membekali santrinya memiliki keterampilan yang dapat ditawarkan kepada masyarakat luas, dan tentunya selain dari bidang fikih yang sudah mentradisi. Sedangkan dunia kini makin maju dan membutuhkan kemampuan keahlian yang kompetitif dalam menghadapinya. Maka, tak dapat dielakkan jika pesantren selama ini tertuduh sebagai pencetak generasi pengangguran dan pencetak generasi miskin. Meski saat ini pesantren memiliki pendidikan formal yang berada di bawah naungan Departemen Agama (Depag), tampaknya hal itu belum mampu menjawab tantangan zaman. Pasalnya, kurikulum yang ditawarkan Depag lagi-lagi banyak memiliki kesamaan dengan kurikulum pendidikan pesantren yang diberikan secara kultural. Sehingga keinginan pesantren untuk ikut tampil dalam membekali anak-anak muda yang berbakat masih dalam taraf yang serba tanggung dan meragukan. Jika diteliti lebih jauh, dunia pesantren sangat erat kaitannya dengan Nahdlatul Ulama (NU), dan NU sarat dengan golongan tradisionalis. Kaum tradisionalis, dalam pandangan umum, sangat erat kaitannya dengan masyarakat pedesaan yang kebanyakan buta akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataan itu sebenarnya bisa menjadi pertimbangan kalangan pesantren untuk membekali santri-santrinya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) jika ingin ikut serta mencerdaskan masyarakat Indonesia dari buta iptek, terutama masyarakat pedesaan. Sehingga kepulangan santri ke tengah-tengah masyarakatnya akan dapat memberikan manfaat yang besar terhadap perbaikan ekonomi keluarga dan masyarakatnya dengan bekal keahliannya. Melihat kondisi yang demikian memprihatinkan itu, maka sudah saatnya pesantren sebagai lembaga pendidikan yang ingin ikut serta mencerdaskan bangsa ini, mau tidak mau dituntut untuk melakukan perubahan yang sangat signifikan. Jika perlu dilakukan dengan radikal. Karena bagaimana pun, kurikulum Depag, sama saja dengan kurikulum pendidikan pesantren yang diajarkan secara kultural melalui metode bandongan dan sorogan. Sehingga tidak lagi memberikan kesempatan bagi santri- santrinya untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya. 11
  • 12. Secara kualitatif, metode sorogan dan bandongan ini memang memiliki akuntabilitas yang tidak bisa dipandang remeh jika dibandingkan dengan metode pendidikan yang diajarkan berdasarkan kurikulum Depag. Apalagi ketika dua hal itu dihadapkan kepada publik. Maka, cukuplah kiranya pendidikan formal pesantren hanya mengajarkan kurikulum pendidikan yang bersifat umum dan pengembangan keterampilan. Sementara, pendidikan agama hanya cukup diberikan kiai dalam bentuk sorogan dan bandongan, sebagai pendalaman terhadap pengetahuan agama para santrinya. Upaya ini akan lebih disebut sebagai sekularisasi pendidikan pesantren. Sekulerisasi pendidikan pesantren bukan berarti menghilangkan aspek tradisionalis pesantren yang telah lama berkembang. Justru di sini memiliki peran yang sama antara tradisionalis dengan modern, antara satu dengan yang lain tidak saling ikut mengurusi, tapi keduanya sama-sama memengaruhi satu obyek dengan seimbang, yakni santri sebagai obyek formalnya yang akan mengembangkan nantinya sesuai kondisi riil masyarakatnya. Dalam hal ini pendidikan formal diharapkan hanya memberikan kurikulum yang bersifat pengetahuan umum dan keterampilan tanpa sedikit pun memasukkan kurikulum agama, dan terfokus pada bidang-bidang umum seperti (manjahit, teknik komputer, teknik informasi, tehnik mesin, perbankan, ilmu matematika, fisika, kimia, biologi, kesehatan, bahasa asing, dan lain-lain). Sementara, para ulama dan kiai, secara kultural, tetap memberikan pendidikan agama melalui metode kulturalnya, seperti (hadist, fikih, tasawuf, akidah akhlaq, bahasa Arab, tafsir, lain-lain). Keduanya memang sengaja disekulerkan (dipisahkan), tetapi keduanya ini akan tetap menyatu dalam diri santri sebagai obyeknya. Hanya, metode penyampaiannya yang sengaja dipisahkan. Jadi, begitu dihapuskan kurikulum pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan formal, maka akan lebih menghindarkan santrinya dalam pengulangan-pengulangan kurikulum yang memiliki banyak persamaan, baik dalam cara penyampaian, dalil- dalil yang digunakan, dan lain-lain, seperti dalam pembahasan masalah fikih kebersihan (thaharah). Hal semacam ini sebenarnya telah dimulai oleh ulama pesantren masa lalu seperti yang pernah dilakukan KH Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy?ary, Pendiri NU) yang pernah mendirikan Madrasah Nidhamiah, yang tujuh puluh persen kurikulum pendidikannya bersifat pendidikan umum. Alasan Wahid Hasyim mendirikan pesantren model seperti ini tidak lain atas buah pikirannya yang menyatakan bahwa dari keseluruhan santri yang ada di pondok pesantren, tidak serta merta memiliki cita- cita yang sama untuk menjadi ulama. Namun, mereka memiliki beragam cita-cita. Sehingga dimungkinkan jika di pesantren secara monoton hanya mengajarkan pendidikan agama, maka cita-cita santri akan kandas di tengah jalan dan kembali ke masyarakat dengan tidak memiliki keahlian apa pun kecuali sebagai ahli di bidang agama. Namun, sayangnya ide pembaharuan ini ditolak mentah-mentah kalangan tradisionalis lainnya, yang pada saat itu sangat anti terhadap Barat. Maka, kemudian, mampukah kita kalangan muda santri saat ini untuk menghidupkan 12
  • 13. kembali buah pikiran Wahid Hasyim yang telah banyak kita lupakan. Yang jelas, ilmu Allah bukan hanya ilmu agama dan ilmu Allah bukan hanya ilmu fikih. Ilmu Allah tidak ada yang mampu untuk menghitungnya. Jika kita membatasi diri terhadap ilmu pengetahuan, berarti kita telah membatasi ilmu Allah. (al Kahfi: 109) Generasi hipokritkah kita saat ini? Masa Depan Pesantren Ditulis oleh AM Fatwa (Wakil Ketua MPR RI) Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Tidak ada data yang pasti tentang awal kehadiran pesantren di Nusantara (Ensiklopedi Islam, 2005). Baru setelah abad ke-16 diketahui bahwa terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fikih, tasawuf, dan akidah. Dalam perkembangannya, pesantren mencatat kemajuan dengan dibukanya pesantren putri dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi. Eksistensi pesantren menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Pesantren menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah. Kini perkembangan pesantren dengan sistem pendidikannya mampu menyejajarkan diri dengan pendidikan pada umumnya. Bahkan di pesantren dibuka sekolah umum (selain madrasah) sebagaimana layaknya pendidikan umum lainnya. Kedua model pendidikan (sekolah dan madrasah) sama-sama berkembang di pesantren. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan pesantren maupun pendidikan nasional pada masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat. Pesantren dan Negara Eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti pesantren selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara. Perjuangan pesantren baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa dihapus dari catatan sejarah negeri ini. Dan kini generasi santri tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah) yang dulunya hanya sebatas mimpi. Landasan kultural yang ditanamkan kuat di pesantren diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel. Ini penting karena pesantren merupakan kawah candradimuka bagi 13
  • 14. munculnya agent of social change. Dan negara sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian negara bagi perkembangan pesantren sangat diperlukan. Kalau selama ini pesantren telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan warga negara (negara), maka harus ada simbiosis mutualistis antara keduanya. Sudah waktunya negara (pemerintah) memberikan perhatian serius atas kelangsungan pesantren. Kalau selama ini pesantren bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh negara. Apalagi tantangan ke depan tentu lebih berat karena dinamika sosial juga semakin kompleks. Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara pesantren dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Selama ini sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal bagi kepentingan nasional, bukan hanya kepentingan sektoral. Inilah salah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan nasional saat ini. Terpencarnya penyelenggaraan pendidikan menyebabkan banyak masalah. Salah satunya adalah alokasi anggaran yang tidak maksimal. Selama ini pemerintah memandang pendidikan sebagai bagian Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Oleh sebab itu, seluruh anggaran pendidikan dialokasikan untuk Depdiknas. Konsekuensinya pendidikan di bawah departemen lain mendapatkan alokasi dana seadanya. Kenyataan tersebut tentu merupakan konsekuensi dari paradigma struktural yang melihat pendidikan hanya merupakan tanggung jawab Depdiknas. Kita bisa menyaksikan kesenjangan dana yang diterima madrasah (Depag) dengan sekolah umum atau antara perguruan tinggi Islam seperti IAIN/UIN yang dibawah kendali Depag dengan perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Depdiknas. Menambah alokasi dana pendidikan pada Depag akan berkonsekuensi pada membengkaknya anggaran pendidikan nasional yang sampai saat ini negara belum mampu memenuhinya sesuai ketentuan konstitusi, yaitu 20 persen dari APBN. Di samping itu, secara struktural kerja pendidikan yang dilakukan beberapa departemen tidak efektif dan merupakan pemborosan anggaran negara. Oleh sebab itu, pengelolaan pendidikan di bawah satu atap (Depdiknas) akan lebih efektif dan efisien dibandingkan diserahkan pada beberapa departemen. Begitupun pesantren dan madrasah yang selama ini eksistensinya lebih bersifat swadaya akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apalagi saat ini pesantren mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Berangkat dari realitas tersebut, dengan kesiapan dan penyesuaian yang dilakukan pesantren serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, maka sudah waktunya pengelolaan pendidikan pesantren dimasukkan di bawah Depdiknas. 14
  • 15. Pesantren masa depan Eksistensi pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah ke arah tersebut tampaknya telah dilakukan pesantren melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dari pesantren sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Inilah pesantren masa depan. Republika, Sabtu, 26 Mei 2007 15
  • 16. Tantangan dan Tanggung Jawab Sosial Masa Depan Pesantren Oleh : Muhibin AM, Peneliti pada FKiY Yogyakarta Keberadaan pesantren ditengah hiruk pikuk dunia hedonis saat ini merupakan suatu pilihan yang dianggap perlu, demi untuk menyelamatkan moral anak-anak bangsa kita yang saat ini sudah banyak terkontaminasi oleh kehidupam modern yang materialis- individual, bahkan hingga mencapai pada titik kekhawatiran semua orang. Lembaga pendidikan pesantren yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, masih lekat di benak masyarakat sebagai prototype lembaga yang akuntable untuk mengemban tugas dalam membentuk karakter keber-Agama-an bagi masyarakat Indonesia selama ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, eksistensi lembaga pendidikan kultural pesantren ini tidak luput dari amukan gelombang globalisasi ilmu pengetahuan modern yang tidak mengenal agama. Pesantren yang selama ini mempertahankan model pendidikan cultural juga dipaksa harus menerima arus deras ini guna untuk mengikuti perkembangan zaman. Namun sayangnya, meskipun telah mengadopsi system ilmu pengetahuan modern, tapi sampai saat ini masih ditemui banyak kekurangan yang tampaknya kurang mendapat perhatian yang serius dari pesantren itu sendiri dan terutama lembaga terkait. Padahal keseriusan dalam menangani masalah ini akan lebih memberikan dampak yang positif bagi pesantren dimasa depan, terutama untuk menjaga akuntabilitas public yang akhir-akhir ini mulai menurun. Masuknya departemen agama (depag) sebagai bentuk pendidikan formal modern yang diadoppsi oleh pesantren dinilai belum mampu untuk mengantarkan para santri dalam menjawab tantangan zaman yang membutuhkan keahlian (skill). selain dibidang keagamaan yang memang menjadi icon dari kepesantrenan. Memang, siapapun orangnya tidak pernah meragukan, bahwa setiap santri memiliki tingkat pemahaman keagamaan yang lebih, jika dibandingkan dengan yang belum pernah sama sekali mengenyam pendidikan pesantren. Sementara kurikulum pendidikan departemen agama (depag) yang masuk kedalam pesantren dengan diboncengi warna pendidikan moderm, terkesan masih ragu-ragu dalam mengembangkan pendidikannya. Salah satunya adalah intensitas pendidikan umum yang masih kurang mendapat perhatian yang serius. Pendidikan umum yang masuk kedalam kurikulum pendidikan departemen agama diberikan sebatas hanya untuk sekedar memenuhi syarat masuk pendidikan modern dan untuk dapat mengikuti ujian negara. Sementara materi keagamaan yang diajarkan tidak kurang lebih sama bahkan lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan oleh pesantren. Maka demi melihat kondisi yang demikian itu, saat ini sangat perlu untuk dikembangkan system pendidikan yang berbasis kompetensi yang benar-benar terwujud. Pendidikan umum agar lebih dapat dikembangkan secara serius dan diharapakan para santri dapat menjawab semua tantangan zaman yang semakin komplek, dan tentunya tanpa hambatan yang serius. Dalam hal ini, secara spesifik departemen agama, sebagai model pendidikan formal modern agar lebih berperan aktif dalam memperhatikan pendidikan keahlian dan pengetahuan yang bersifat umum 16
  • 17. untuk pengembangan sklill para santri, agar pada saat santri menyelesaikan pendidikan pesantren tidak dalam kebingungan mencari pekerjaan yang menuntut keahlian (skill). Namun model pendidikan salaf pesantren tetap dipertahankan sebagai ciri khas model pendidikan yang secara orisinil lahir dari rahim bangsa Indonesia sendiri. Kasus yang banyak terjadi pada alumni-alumni pesantren, setelah meyelesaikan pendidikannya di pesantren adalah tidak dimilikinya daya tawar (bargaining position) yang akan diberikan kepada masyarakat luas, kecuali hanya sebatas bidang keagamaan, yang memang menjadi ikon santri. Sementara masyarakat dan kehidupan modern saat ini, tidak hanya membutuhkan pengetahuan agama secara an sich, akan tetapi mereka juga membutuhkan suatu perubahan daya fikir maju yang diharapkan datang dari dan oleh anak-anak muda yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Tidak dapat dipungkiri, ketika pesantren hanya memberikan pengetahuan agama secara monoton, tanpa memberikan pendidikan skill, maka yang terjadi adalah semakin bertambahnya angka pengangguran yang seperti sengaja diciptakan oleh lembaga pendidikan ini. Bagi kalangan yang terlibat di dalam masalah ini, sudah pasti semua itu tidak ada yang menghendakinya, namun selama ini itulah yang terus terjadi, sebagai akibat sikap kurang responsifnya pesantren terhadap keilmuan-keilmuan umum, Karena terfokus pada bidang keagamaan. Keberadaan pesantren dalam melihat masa depan yang menantang diharapkan mampu untuk memberikan solusi kongrit atas permasalahan sosial yang sedang dihadapai oleh umat Islam saat ini, terutama masyarakat Islam indonesia yang sedang membutuhkan suatu jalan penyelesaian kemiskinan. Maka demi melihat situasi dan kondisi zaman yang semakin maju tak terkendali ini, agar nantinya pesantren mampu untuk memberikan jalan tengah diantara berbagia macam kebisingan kemajuan dan kehedonisan yang telah banyak menimpa umat manusia. Harapannya dimasa mendatang pesantren mampu untuk membawa generasi muda kita kedalam beragam keilmuan dan keahlian (skill) yang bernilai modern dan kompetitif sehingga semua ilmu pengetahuan modern nantinya dapat berpusat di pesantren- pesantren dengan serta diiringi dengan ruh-ruh keimanan yang selalu menjadi landasan berfikirnya. Dan pada akhirnya semua ilmu pengetahuan modern ini akan kembali kepada umat islam dan ulama, sebagaimana yang pernah dibuktikan oleh sejarah islam pada masa kejayaan bani Abbasiyah dan Umayyah2. Bertolak dari tantangan masa depan pesantren tersebut, maka diharapakan pesantren nantinya tidak hanya mengembangkan model pengembangna fiqih sentris, akan tetapi nantinya akan bermunculan pesantren-pesantren yang memiliki warna-warni dan corak pendidikannuya, seperti pesantren kedokteran, pesantren teknolgi, pesantren pertanian, pesantren kebidanan, pesantren keperawatan, pesantren teknisi penerbangan dan lain sebagainya, disamping tidak meninggalkan tradisi keilmuan fikih yang menjadi ikon kepesantrenan. (***) 17
  • 18. PESANTREN DAN KYAI KH. A. Mustofa Bisri: Pesantren kembali menjadi perhatian dan sorotan ketika ada teroris yang mengaku jebolan pesantren dan Ustadz Baasyir, salah satu pengasuh pesantren di Solo ditangkap (meski tidak pernah jelas duduk perkaranya). Sebelumnya sudah banyak pengamat dan penulis, baik dari luar maupun dalam negeri yang berusaha berbicara tentang pesantren, yaitu suatu lembaga pendidikan khas Indonesia yang dikenal sebagai tempat mencetak ahli-ahli agama (Islam). Istilahnya Tafaqquh fid diin. Umumnya para pengamat dan penulis tentang pesantren itu terlalu sederhana dalam pengamatannya dan menganggap bahwa jenis pesantren itu hanya satu. Memang secara umum, pesantren memilki tipologi yang sama. Sebuah lembaga yang dipimpin dan diasuh oleh kyai dalam satu komplek yang bercirikan adanya masjid atau surau sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal para santri, disamping rumah tempat tinggal kyai, dengan kitab kuning sebagai buku wajib/pegangan. Disamping ciri lahiriah itu, masih ada ciri umum yang menandai karkteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada kyai yang sering ditanggapi sinis sebagai pengkultusan. Kalupun ada yang lebih teliti, paling-paling hanya menyinggung adanya dua model pesantren, yakni tradisional (atau yang biasa disebut salaf) dan modern. Ini bisa dimaklumi, karena pengamatan biasanya didasarkan pada sampel ‘ayyinah’, beberapa pesantren yang ghalibnya diambil dari pesantren-pesantren yang terkenal. Padahal meski mempunyai tipologi umum yang sama, pesantren juga sangat ditentukan karakternya oleh kyai yang memimpinnya. Memang lazimnya kyai pesantren berasal dari jebolan pesantren pula. Para kyai yang berasal dari jebolan pesantren sama, umumnya akan memilki kemiripan satu sama lain dalam memimpin pesantrennya. Namun harus diingat bahwa lazimnya para kyai tidak berguru hanya pada satu pesantren, tapi berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Bahkan sebagai contoh, almarhum Kyai Machrus Ali Lirboyo Kediri (yang sudah banyak menjelajahi banyak pesantren di Jawa) ketika putra- putranya sudah menjadi kyai, Kyai Machrus masih terus berguru ke pesantren lain meskipun hanya di bulan Ramadhan. Kecenderungan dan pribadi kyai sendiri biasanya jarang dijadikan variabel. Padahal sebagai pendiri dan „pemilik‟ pesantren (terutama yang salaf) dalam menentukan corak pesantrennya, yang tidak terlepas dari karakter dan kecenderungan pribadinya. 18
  • 19. Pesantren yang kyainya cenderung kepada politik, misalnya, akan berbeda dengan pesantren yang kyainya tidak suka politik. Kyai yang sufi corak pesantrennya berbeda dengan pesantren yang dipimpin oleh „kyai syariat‟. (Kyai sufi dan Kyai syareat ini inipun masih berbeda sesuai dengan aliran-aliran masing-masing). Pesantren yang dipimpin oleh hikmah berbeda dengan pesantren yang kyainya sama sekali tidak tertarik pada ilmu hikmah. Demikian seterusnya. Maka, meskipun ciri kyai/pesantren sama-sama ingin memberi manfaat kepada umat/masyarakat, kita bisa melihat tampilan-tampilannya yang berbeda. Ada lagi yang luput dari pengamatan „orang luar‟ termasuk para pengamat, yaitu tentang hubungan kyai-santri. Khususnya kepatuhan santri terhadap kyai yang mereka anggap berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan sebagainya. Inipun bisa dimaklumi, karena mereka hanya melihat mazhahir luar ditambah perilaku ikut-ikutan dari masyarakat yang tidak mengerti hakikat hubungan kyai-santri itu dan adanya „kyai-kyai‟ baru yang memanfaatkan keawaman masyarakat tersebut. Mazhahir luar itulah yang menjebak para pengamat, menganggap bahwa kepatuhan santri kepada kyai itu merupakan sesuatu yang sengaja ditekankan di pesantren. Karena hanya melihat mazhahir luar itu saja, ada pengamat yang berkesimpulan bahwa kepatuhan yang „berlebih-lebihan‟ ini merupakan gabungan dua hal yaitu kepatuhan doktrinal dan kesadaran mitologis. Maksudnya, kepatuhan yang dibentuk oleh-peraturan-peraturan pesantren dan kesadaran yang dibentuk oleh melalui konstruk pemikiran-pemikiran dengan memupuk kepercayaan-kepercayaan magis dan kekuatan-kekuatan adikodrati. Pengamatan sederhana atau anggapan sederahana itu merupakan gebyah uyah, generalisasi dan secara tidak lagsung mendiskretkan kyai-kyai yang mukhlis yang menganggap tabu beramal lighoirillah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati orang. Pesantren salaf (yang lama) umumnya benar-benar milik kyainya. Santri hanya datang dengan bekal untuk hidupnya sendiri di pesantren. Bahkan ada atau banyak santri yang untuk hidupnya pun nunut (ditanggung) kyainya. Boleh dikata kyai pesantren salaf seperti itu, ibaratnya mewakafkan diri dan seluruh miliknya untuk para santri. Dia memikirkan, mendidik, mengajar, dan mendoakan santri tanpa pamrih. Bukan saja saat santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat. Almarhum ayah, Kyai Bisri Mustofa sering diundang ke luar kota dan tidak jarang panitia memaksanya untuk mengisi pengajian pada hari-hari di mana pesantrenya tidak libur. Bila harus melakukan hal yang seperti itu, beliau selalu bermunajat kepada 19
  • 20. Allah sebelum naik mimbar, ”Ya Allah, engkau tahu hamba datang kemari karena diminta saudara-saudara hamba untuk menyampaikan firman-firman-Mu dan sabda- sabda rasul-Mu, namun semantara hamba d isini, santri-santri hamba yang saya tinggal dipesantren prei, tidak hamba ajar. Oleh karena itu, Ya Allah, apabila amal hamba disini ada pahalanya, hamba mohon tidak usah Engkau berikan kepada hamba, ganti saja pahala itu dengan kefutuhnya hati santri-santri hamba tersebut.” Almarhum Kyai Umar Mangkuyudan Sala, pernah meminta kepada lurah pondok pesantrennya untuk menuliskan dafatar santri yang ternakal agar ketika bertahajud dan mendoakan santri-santrinya, beliau bisa menngkhususkan nama-nama santri ternakal itu. Almarhum Kyai Maksum Lasem bukan saja setiap waktu membangunkan santri- santrinya untuk sholat dan belajar, mendoakan mereka setiap berdoa. Namun kemanapun beliau pergi selalu menyempatkan berkunjung ke rumah santri beliau yang beliau lewati, sekedar untuk melihat keadaannya. Almarhum Kyai Ali Maksum Krapyak Yogya (satu-satunya kyai yang tidak dipanggil „kyai‟ oleh santri-santrinya, tapi dengan panggilan “Bapak/Pak”) apabila punya gawe mantu atau apa saja, selalu mengundang santri-santrinya yang sudah berumah tangga dan selalu diembel-embeli tulisan tangan beliau seperti ”Ya waladii Fulan, ojo lali lho” (Hai anakku Anu, jangan lupa lho!). Beberapa kyai itu hanya sekedar contoh dari tradisi kyai bersama santrinya. Hampir semua kyai yang saya kenal, memiliki hubungan batin dengan santrinya sedemikian rupa, sehingga saya mengangggap wajar apabila sikap santri terhadap kyai yang seperti itu mengesankan pengkultusan. Pak Ali Maksum adalah kyai saya yang tidak digdaya, pesantrennya tidak memiliki aturan harus menghormat kyai. Beliau tidak pernah mendoktrin santri-santri dengan semacam maqolah “ana ‘abdu man ‘allamani walau harfan waahidan” (saya adalah budak orang yang mengajariku meski hanya satu huruf saja). Saya sering diajak diskusi, diminta membantah beliau bila dilihatnya saya tidak setuju pendapat beliau. Namun sebagai santrinya, saya menghormatinya secara khusus, tak peduli orang akan mengatakan saya mengkultuskannnya. Wa Ba‟du, pesantren yang memang merupakan sumber yang tak kering-kering untuk dibicarakan. Dewasa ini di mana pesantren lagi-lagi sedang menjadi perhatian dan sorotan, percakapan tentang pesantren jadi semakin semarak. Apabila diingat bahwa seiring banyaknya „jenis kyai‟, pesantren pun mengalami banyak perubahan (baik yang positif maupun yang negatif) dan semakin banyak jenisnya. Ini tentunya memberi pengaruh yang tidak kecil kepada masyarakat yang selama ini menjadikannya kiblat. Seharusnya ini menjadikan kyai „model lama‟, terutama kyai- 20
  • 21. kyai pengasuh pesantren, lebih serius memikirkan dan memperhatikan atbaa’-nya para santri dan umatnya Sepak Bola di Pesantren MEMASUKI bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, seperti biasa di warga Buntet Pesantren disuguhi olahraga yang paling populer di dunia, yaitu bal-balan atau sepak bola. Pesertaya bukan saja kalangan santri atau warga Buntet, namun dari keluarga kyai pun ikut serta. "Lomba ini disebut kambing cup karena hadiahnya berupa kambing untuk juara pertama, juara kedua ayam dan juara ketiga Indomie," Ujar Abdullah Sidik manajer kambing cup kepada redaksi. Pertandingan masih berlangsung dan sangat meriah. Karena warga seakan mendapatkan hiburan gratis dan yang ditonton itu adalah adalah keluarga kyai dan warga sendiri. Orang-orang ramai memberikan dukungan pada masing-masing kelompoknya. Sarana Anehnya warga Buntet yang cinta sepak bola ini sudah lama tidak memiliki lapangan sepak bola sendiri. Justru setiap melangsungkan pertandingan sepak bola, mereka menggunakan lahan kosong milik warga Buntet yang kebunnya tidak ditanami. Bahkan secara tidak tertulis, lapangan yang tidak layak itu sudah menjadi "lapangan resmi" mereka. Namun meskipun sarana yang begini minim, bahkan lapangan tersebut tanahnya miring, namun kemeriahan dan semangatnya tidak kalah dengan lapangan permanen berstandar yang pernah dibuat di lahan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) namun kini sudah beralih fungsi. Ada lima grup sepak bola di Buntet Pesantren yang akan ambil bagian. Grup itu mengambil nama yang aneh: Kraton, Ankid, Glampok, Akper dan Gaden. Grup Kraton dimiliki kelompok warga Buntet bagian tengah, karena konon para pemainnya adalah warga keturunan kraton alias elang. Adapun Ankid, singkatan dari anak Kidul di bawah asuhan Keluarga Kyai Adib yang memberikan support dan pendanaan. Sementara Glampok yang berarti Gabungan anak glampok yang berasal dari Buntet bagian kulon dimanajeri oleh Kyai 21
  • 22. Amiruddin. Sementara Akper (Akademi Perawat) adalah klub sepak bola yang anggotanya para karyawan Akper Buntet Pesantren. Dan GADN klub sepak bola gabungan anak Dauwan dimanajeri oleh Kyai Imat. Kesemua grup itu kini masih berlangsung mengisi waktu sore hari untuk mengadakan pertandingan di lapangan sepak bola bagian paling barat kampung Buntet Pesantren. Kemeriahan warga yang menonton sepak bola terdengar cukup gempita. Namun saat malam hari para putra-putra kyai ini tetap terlibat dalam mengasuh para santrinya, sementara orang Buntet sendiri juga aktif mengaji di kyai-nya masing-masing. (kurt) 22
  • 23. PESANTREN Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah Santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral. Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan terhadap pesantren, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren. Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam. Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya. Kemudian, mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat, di mana para santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren. Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya pesantren, belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pesantren pertama kali muncul sebagai pusat-pusat pendidikan-agama di Indonesia. Pesantren yang paling lama di Indonesia namanya Tegalsari di Jawa Timur. Tegalsari didirikan pada ahkir abad ke-18, walaupun sebetulnya pesantren di Indonesia mulai muncul banyak pada akhir abad ke-19. Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya, ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan sekitar abad ke-19. Akan tetapi, terlepas dari 23
  • 24. persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu. Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader- kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786- 1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink; 1984) Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santri. Pendidikan Islam sekarang di Indonesia kini begitu luas. Sehingga, beranekaragam dan bagaimanapun aliran Islam yang dianut oleh seseorang, pasti ada pesantren atau sekolah Islam yang sesuai. Karena itu, menurut Tholkhah, pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi- fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change. Pesantren dan Tuntutan Perubahan Zaman Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi, penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan pesantren di Indonesia pada saat itu sama sekali belum testandardisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti. Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan menerapkan juga kurikulum agama. Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja. Yang berarti bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi. Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan pesantren menjadi 24
  • 25. semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah. Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan. Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri. Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya. Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi. Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren adalah al muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas). Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren. Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu: Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini. Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat 25
  • 26. pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai. Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren. Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas. Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur. Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan. Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006) Format Pesantren Masa Depan Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu'asyir (moderen), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai- nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji. Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya. Atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain 26
  • 27. untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi, akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoha yang mumpuni. Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing. Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua. Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi- posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya. Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif. 27
  • 28. Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita. Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh. Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal. Pesantren dalam Kebijakan Sisdiknas Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah. Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna. Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan 28
  • 29. bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren" yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut: Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia. Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional. Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan. 29
  • 30. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis. Labih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah 30
  • 31. daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 - 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, dunia pesantren harus bisa merespon dan berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Pesantren tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau terbelakang. Karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. 31
  • 32. Menjadikan Pesantren sebagai Media Pemberdayaan untuk Perempuan Korban Kekerasan Wawancara dengan Dra. Hj. Enung Nursaidah Rahayu, MPd Bu Nung, demikian kami menyapa adalah putri Kyai H. Moh. Ilyas Ruhiat dan ibu Nyai HJ. Dedeh Fuadah yang lahir di Tasikmalaya, 11 Maret 1968. Setelah lulus IKIP Bandung, istri dari dr. H. Jajang Rudi Haman ini melanjutkan studi ke S2 di UPI Bandung Jurusan Pendidikan Biologi Sekolah Lanjutan. Disamping sekarang menjabat sebagai Ketua PUAN Amal Hayati Cipasung, beliau juga dipercaya menjadi Ketua MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Biologi MAS/MAN Kab Tasikmalaya. Ibu tiga orang anak ini juga aktif di beberapa organisasi diantaranya Anggota POKJA PKTP (Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) Kab. Tasikmalaya dan Anggota Komisi Kesehatan Reproduksi (Kespro) Kab. Tasikmalaya. Berikut petikan wawancara dengan Ibu Nung: Sebagai aktivis yang bekerja untuk upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, menurut anda mengapa kaum perempuan selalu menjadi obyek tindak kekerasan? Ada beberapa faktor yang menurut saya menjadi penyebab munculnya Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP), Pertama, faktor budaya masyarakat yang sudah terbiasa dengan tradisi bias gender. Tradisi ini akan menjadi semakin parah ketika pembedaan peran dan fungsi antara kaum laki – laki dan perempuan diperkuat dengan ideologi patriarki yang menempatkan fungsi laki-laki lebih utama di banding perempuan. Dominasi patriarki ini memberi pengaruh yang sangat signifikan bagi masyarakat ketika menerapkan norma serta cara berhubungan satu sama lain dalam berbagai struktur sosial, mulai dari ranah rumah tangga, tempat kerja, maupun ranah publik sekaligus. Dapatkan Anda menyebutkan beberapa contoh dari persoalan tersebut? Contoh yang gamblang dari semua itu ada dalam keluarga. Dalam keluarga masih banyak dijumpai kebiasaan yang memberikan kesempatan lebih besar kepada anak laki-laki dalam pendidikan, dalam hal makanan biasanya bapak yang harus didahulukan, padahal seorang ibu yang sedang mengandung atau menyusui jauh lebih membutuhkan makanan bergizi, begitu pula seorang anak yang sedang menginjak masa tumbuh kembang, baik otot maupun otaknya lebih membutuhkan sumber makanan bergizi. Tapi karena seorang laki-laki adalah kepala rumah tangga, maka porsi makanannya baik itu kuantitas maupun kwalitasnya harus diutamakan, dan banyak lagi contoh-contoh lain yang menunjukan superioritas dalam kehidupan masyarakat. Budaya ini selanjutnya melahirkan kekerasan terhadap perempuan karena telah mengakibatkan munculnya kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki. Berangkat dari kenyataan tersebut yang terjadi kemudian adalah munculnya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan yang tidak memiliki wewenang atau kekuasaan menjadi kelompok yang subordinatif dan mengalami diskriminasi. Justru dalam situasi budaya seperti inilah perempuan rentan mengalami berbagai bentuk Kekerasan. 32
  • 33. Selain faktor yang pertama tadi, faktor-faktor apa lagi yang menyebabkan perempuan rentan mengalami kekerasan ? Yang kedua, faktor relasi dalam keluarga. Sistem kemasyarakatan kita pada umumnya menempatkan peran isteri berada di dunia domestik yang hanya terbatas pada dapur, sumur dan kasur, dengan persepsi bahwa suami sebagai pemimpin atau penguasa. Hal ini mendorong isteri tergantung pada suami, khususnya secara ekonomi sepenuhnya dibawah kekuasaan suami. Dengan demikian, relasi suami isteri menjadi tidak setara atau timpang. Dan salah satu akibat dari ketimpangan isteri seringkali diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Ketiga adalah faktor individu. Bisa jadi temperamen atau karakter individual menyebabkan seseorang melakukan tindak kekerasan. Hal inipun tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga. Dapat dipastikan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan akan tumbuh menjadi manusia yang kejam; manusia pelaku kekerasan. Faktor keempat, adanya pandangan agama yang bias gender. Hal ini tidak lepas dari akar budaya patriarkhi, yang mempengaruhi masyarakat dalam menafsirkan ajaran agama. Misalnya ayat tentang nusyuz dalam al- Qur‟an membuat banyak yang berkeyakinan bahwa suami sah-sah saja memukul isterinya, padahal jika dipelajari secara seksama justru pesan yang dikandung menyiratkan perintah agar suami berlaku baik terhadap isteri. Dari ayat tersebut kita sebenarnya bisa mengambil kesimpulan bahwa ada dua tahapan yang harus ditempuh seorang suami yang ingin memperingati isterinya yaitu pertama memberi nasehat dan kedua pisah ranjang. Pada kenyataannya dua tahap ini tidak ditempuh oleh suami yang memukul isterinya. Lalu bagaimana soal tindak kekerasan yang dalam sehari – hari justru tak jarang seolah – olah teramini oleh teks – teks agama ? Memang benar sebagian masyarakat seolah mentolelir kekerasan terhadap perempuan terutama perilaku kekerasan suami terhadap isteri dengan “pijakan” teks-teks agama yang ditafsirkan secara bias gender. Tentunya hal ini harus dikoreksi karena akibatnya hanya akan semakin menguatkan mata rantai pelanggengan budaya patriarkhi yang sekaligus membiarkan secara sengaja kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ini seolah menjadi sesuatu yang “lumrah” dan “seharusnya” terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Dalam keseharian tindakan kekerasan terhadap isteri kadang justru dinilai sebagai amal shaleh yang berpahala seperti tindakan melarang isteri keluar rumah, mencari ilmu, silaturahmi, mengajar, melakukan kegiatan sosial, dengan berpijak pada penafsiran teks agama yang memerintahkan perempuan Islam untuk menetap di rumah. (Al Ahzab : 33). Demikian juga dalam relasi seksual suami isteri. Pemaksaan hubungan seksual oleh suami terhadap isteri tidak dianggap kekerasan, tapi justru dianggap kewajiban isteri. Isteri adalah pelayan hasrat seksual suami yang senantiasa siaga kapan saja, dimana saja, dan dengan gaya apapun sesuai keinginan suami. Bisakah Anda sebutkan contoh ajaran agama yang dijadikan legitimasi kesewenang-wenangan hak seksual suami terhadap istri ? Misalnya Hadis yang menyebutkan “Jika seorang isteri diajak suaminya untuk berhubungan, maka hendaklah isteri menurutinya sekalipun di dapur atau di atas punggung onta”. Selain itu ada juga Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim yang mengatakan bahwa “Apabila suami mengajak isterinya ke kasur lalu ia menolak, maka malaikat melaknatnya sampai subuh”. Padahal dalam Islam, hubungan ragawi atau seksual ini selalu dilukiskan sebagai salah satu “kesenangan dan kenikmatan” dari Allah yang bukan hanya ditujukan kepada laki-laki tapi juga kepada perempuan. Hubungan seksual dalam Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan 33
  • 34. biologis dan melengkapi hubungan sosial antara suami dengan isteri, juga bernilai ibadah. Bentuk-bentuk kekerasan lain yang seolah dilegitimasi teks agama adalah praktik kawin paksa, wali mujbir, kekerasan dalam talak, poligami yang tidak adil dan tuduhan nusyuz sepihak. Saya berpendapat penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan sama sekali bukan ajaran agama. Ajaran Islam yang paling mendasar justru adalah menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat. Sehingga sangat tidak mungkin agama yang pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan, melegitimasi kedzaliman terhadap perempuan. Jika hal tersebut terjadi, saya pikir perlu dipertanyakan, karena hal ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan umat. Jadi masalahnya adalah kembali pada bagaimana upaya kita semua dalam mengeliminasi kesalahpahaman terhadap teks agama tersebut. Sebagai orang yang selama ini aktif di dunia pesantren, bisa Anda ceritakan bagaimana secara kultural pesantren-pesantren memperlakukan perempuan ? Sepanjang yang saya alami dan amati, “perempuan pesantren” nasibnya tidak seburuk yang dibayangkan oleh sebagian masyarakat yang menganggap pesantren sebagai lembaga yang cenderung memasung hak-hak perempuan. Tidak sedikit perempuan yang hidup di pesantren dapat berperan aktif di ranah publik baik itu sebagai ulama, pendidik, birokrat, aktifis, dsb. Itu artinya perempuan diberi kesempatan yang sama dalam pendidikan. Demikian pula dalam relasi keluarga di kalangan Kyai-Nyai. Di Tasikmalaya, saya melihat sudah jarang Kyai yang berpoligami. Malahan sekarang saya lihat kalangan birokrat yang berlomba adu cepat supaya bisa beristeri lebih dari satu (sambil tertawa). Banyak orang yang mencurigai di lingkungan pesantren terjadi praktek kekerasan? Kalau itu benar, bagaimanakah (bentuk) praktek Kekerasan yang selama ini terjadi di lembaga berbasis agama seperti pesantren ? Saya tidak begitu yakin. Tapi memang saya pernah juga mendengar bahwa kalangan pesantren kerap melakukan “tindakan kekerasan” terhadap perempuan. Adapun praktek kekerasan itu dalam bentuk pembatasan akses dan peran di ranah publik, tuntutan kepatuhan mutlak kepada isteri dalam segala hal lingkup kehidupan rumah tangga, tindak kawin paksa terhadap anak perempuan serta poligami yang tidak adil. Adakah upaya-upaya khusus yang dilakukan oleh PUAN Amal Hayati untuk mengatasi tindak kekerasan di sekitar lingkungan pesantren ? Sebagai sebuah lembaga yang didirikan kalangan civitas pesantren dan aktivis sosial, kami selama ini selalu berusaha mengoptimalkan peran pesantren supaya lebih terlibat aktif dalam penanganan perempuan korban kekerasan. PUAN Amal Hayati juga senantiasa melakukan rangkaian aktivitas yang berfungsi sebagai upaya menegakkan keadilan dan pemberdayaan perempuan. Adapun kegiatan – kegiatan ini bisa melalui pendampingan, pengkajian kitab-kitab agama yang sensitif gender, workshop “Pesantren sebagai Pusat Pendampingan Perempuan”, training pendampingan berperspektif gender, training pengelolaan pusat pendampingan perempuan berbasis pesantren, reinterpretasi penafsiran dan pemahaman Islam yang patriarkhal, serta sosialisasi pemahaman Islam yang sensitif terhadap perempuan. Pokoknya kami secara maksimal berusaha menjadikan pesantren sebagai pusat pemberdayaan perempuan. Apakah di PUAN Amal Hayati Cipasung ada divisi khusus yang menangani dan melakukan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan ? 34
  • 35. Untuk kegiatan pendampingan dan penanganan bagi perempuan korban kekerasan, PUAN Amal Hayati memiliki divisi khusus yakni PUSPITA (Pusat Perlindungan Wanita). PUSPITA melayani pengaduan dan pendampingan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan melalui konseling, mediasi, konsultasi, pendampingan korban ketika berhubungan dengan lembaga terkait (RS, Polisi, PN, PA, Pengacara, dll), serta penyediaan tempat aman sementara (Shelter) bagi korban yang terancam keselamatannya dan memerlukan perlindungan. Jadi secara umum, PUSPITA serupa dengan Women Crisis Center (WCC) baik dari segi pengelolaan maupun tata cara konseling. Namun demikian, PUSPITA sebagai WCC berbasis Pesantren memiliki ciri khas, seperti dalam layanan konseling dilengkapi dengan konseling spiritual keagamaan, dan layanan pendampingan diarahkan pada kesadaran terhadap kesetaraan laki-laki-perempuan melalui pendekatan agama dan didasarkan pada pandangan agama. Demikian pula dalam hal pemberdayaan korban diintegrasikan dengan kegiatan pesantren baik kegiatan spiritual, keilmuan atau sosial. Hal ini bisa dilakukan karena keberadaan shelter terintegrasi dengan fasilitas pesantren. Dan sebagai ujung tombak penanganan kasus kekerasan yang dialami perempuan, PUSPITA bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti RS, Kepolisian, LBH, PA, PN, NGO (Non Government Organisation), CBO (Community Based Organisation) dan Pemerintah Daerah. Alhamdulillah jaringan kerja ini sudah berjalan baik. Bisakah Anda sebutkan jumlah data yang Anda temukan di PUSPITA berkaitan dengan masalah kekerasan terhadap perempuan? Sampai saat ini, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk ke PUSPITA ada 62 kasus: 47 kasus (77%) KDRT, 4 diantaranya incest; 3 kasus (4%) perkosaan; 14 kasus (9%) traficking. Untuk memberikan informasi seputar masalah Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan keadilan gender sebagai upaya penyadaran kepada masyarakat, selain dilakukan melalui kegiatan ceramah, seminar, diskusi atau workshop juga melalui penyebaran brosur, leafleat dan factsheet. Selain itu, kami sedang merintis program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan korban (survivor) melalui pinjaman modal tanpa bunga dengan cicilannya dibayar sesuai kesanggupan setiap minggu. Tujuannya, agar survivor bisa kembali hidup di tengah masyarakat secara bermartabat dan mandiri sehingga bisa bangkit dari keterpurukan akibat kekerasan yang dialaminya. Tapi ya,… belum banyak yang kita bantu karena ternyata dalam pelaksanaannya belum begitu lancar. Makanya ketika saya baca di surat kabar tentang Dr. Yunus mendapat anugerah Nobel dengan program Grameen- Banknya, saya sangat bersyukur dan berharap moga-moga saja kita bisa bercermin dari pengalaman beliau. Apakah upaya yang dilakukan oleh pesantren dalam mengatasi tindak kekerasan yang terjadi di lingkungannya sendiri maupun di masyarakat sekitarnya? Pesantren sebagai lembaga yang memiliki pengaruh dan daya dukung kuat dari masyarakat serta fasilitas yang dimilikinya berpotensi besar bisa turut berperan aktif menangani perempuan korban kekerasan. Dengan peran strategi itulah pesantren sebenarnya bisa melakukan upaya-upaya mengatasi maraknya tindak kekerasan. Dalam Hadis Shahih riwayat Bukhori dan Muslim, Rasulullah bersabda : “Tolonglah saudara yang mendzalimi dan didzalimi”. Hadis di atas dapat memberikan gambaran bahwa kita tidak bisa hanya berfokus pada upaya menolong perempuan yang menjadi korban, tetapi juga bagaimana menumbuhkan kesadaran bagi pelaku agar tidak lagi mengulang tindak kekerasannya. Dengan demikian, secara umum ada dua upaya 35
  • 36. penting yang harus dilakukan pesantren untuk mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, yaitu upaya preventif dan kuratif. Upaya preventif dilakukan untuk mengantisipasi agar tindak kekerasan tidak semakin berkembang misalnya pertama, dengan membongkar akar pandangan budaya dan reinterpretasi pandangan agama yang bias gender, yang dengan itu menjadi legitimasi tindak kekerasan terhadap perempuan. Kedua, dengan mengupayakan penyadaran kepada masyarakat agar peduli terhadap perilaku kekerasan terhadap perempuan, wa bil khusus penyadaran kepada pelaku bahwa kekerasan oleh dan terhadap siapapun adalah bertentangan dengan moral kemanusiaan serta ajaran agama. Adapun upaya kuratif dilakukan pada saat tindak kekerasan terhadap perempuan sudah terjadi, untuk menolong perempuan yang menjadi korban melalui pelayanan kasus yang menyangkut penanganan fisik, pemulihan psikologis, upaya hukum, penyediaan rumah aman, serta pemberdayaan sosial dan ekonomi. Dengan pelayanan ini diharapkan perempuan korban dapat kembali hidup di tengah-tengah masyarakat dengan martabat kemanusiaannya yang utuh. Apa sumbangan pesantren untuk mengatasi KDRT ? Ada beberapa kekuatan pesantren yang bisa disumbangkan dalam mengatasi KDRT. Secara ideal-normatif pesantren mengemban misi amar makruf nahi munkar dan sumber nilai-nilai sosial masyarakat. Pada hakekatnya pesantren merupakan lembaga pemberdayaan, pembebasan dan pendampingan masyarakat dan kaum yang lemah (mustadh‟afin). Di samping memiliki fungsi edukatif (taswhifiyah), pesantren juga berperan dalam pengembangan masyarakat (tahwiliyah) dan ta‟yidiyah (pembelaan masyarakat yang menjadi korban). Pesantren sampai sekarang masih dikenal sebagai lembaga keagamaan tradisional yang menjadi bagian masyarakat. Ia menyatu dengan komunitas sosial, dan menjadi problem solver sosial kemanusiaan. Secara institusional, pesantren didukung oleh berbagai fasilitas yang dapat dijadikan sarana pembentukan Woman Crisis Center (WCC) atau Pusat Perlindungan bagi Wanita (PUSPITA). Sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, pesantren menjadi wadah yang tepat bagi korban dan anak-anak korban kekerasan. Bila korbannya anak usia sekolah maka ia tidak harus putus sekolah, atau bila seorang ibu yang menjadi korbannya, anak-anaknya yang ia bawa dan kebetulan masih sekolah maka sekolahnya bisa terus menimba ilmu dan melanjutkan sekolah secara formal di pesantren. Pesan-pesan Anda terkait dengan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional yang jatuh pada 25 November ? Kekerasan terhadap perempuan mau tidak mau akan berdampak pada kesehatan fisik dan emosional para perempuan dalam waktu yang panjang. Bahkan ini bisa jadi akan mempengaruhi kemampuan perempuan untuk bertindak serta mempengaruhi perkembangan kepribadian dan rasa keamanan diri dan anak-anaknya. Jadi saya pikir sangat wajar jika kekerasan terhadap perempuan dinilai sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Melalui peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional ini, saya berharap semoga ini bisa menjadi momentum bagi kita dalam mencegah terulangnya berbagai tindakan buruk terhadap perempuan. Sudah seharusnya masalah ini, mendapat perhatian khusus dari semua elemen masyarakat mengingat dampak yang ditimbulkannya bisa menjadi berpengaruh besar bagi kelangsungan hidup bangsa. Namun satu hal yang harus selalu disadari bahwa sesungguhnya upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah upaya penegakkan harkat dan martabat kemanusiaan yang tidak hanya sesuai dengan nilai kemanusiaan tetapi juga merupakan tugas agama. Dengan demikian, 36
  • 37. siapapun kita, apapun profesi kita, mari berbuat sesuatu untuk mencegah kekerasan dan terus kita perjuangankan sampai kapan pun sesuai kemampuan kita masing- masing.] Peran Pesantren Dalam Pemberdayaan Umat Oleh SAEPURROHMAN KELAHIRAN pondok pesantren di tanah air, tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Kehadiran pondok pesantren sampai saat ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umumnya sangat sederhana. Sistem yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran adalah wetonan, sorogan dan bandongan. Akan tetapi, sejak 1970-an bersamaan dengan program modernisasi pondok pesantren, mulai membuka diri untuk mempelajari pelajaran umum. Pada mulanya, tujuan utama pondok pesantren adalah menyiapkan santri untuk mendalami ilmu pengetahuan agama (tafaqqul fi al-din). Dewasa ini, pertumbuhan dan penyebaran pesantren sangat pesat. Dengan menjamurnya pondok pesantren yang penyuguhkan spesialisasi kajian baik tradisional ataupun modern, membawa dampak positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini. Kehadiran pondok pesantreen telah nyata membantu pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu, pesantren telah menawarkan jenis pendidikan alternatif bagi pengembangan pendidikan nasional. Sejak awal berdirinya pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pengkaderan ulama, tempat pengajaran ilmu agama, dan memelihara tradisi Islam. Fungsi ini semakin berkembang akibat tuntutan pembangunan nasional yang mengharuskan pesantren terlibat di dalamnya. Kini, di abad ke-21, sebagaimana disebut orang abad milenium, peran pondok pesantren bukan saja sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial. Peran pesantren pun melebar menjadi agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran bila sekarang, pemerintah atau lembaga sosial kemasyarakatan menginginkan pondok pesantren menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, melalui berbagai kegiatan yang sangat menunjang untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi yang tinggi. Tantangan globalisasi DI tengah terpaan arus globalisasi, para pakar ramai menyatakan bahwa dunia akan semakin kompleks dan saling ketergantungan. Dikatakan pula bahwa perubahan yang akan terjadi dalam bentuk non-linear, tidak bersambung, dan tidak bisa diramalkan. Masa depan merupakan suatu ketidaksinambungan. Kita memerlukan pemikiran ulang dan rekayasa ulang terhadap masa depan yang akan dilewati. Kita berani tampil dengan pemikiran yang terbuka dan meninggalkan cara-cara lama yang tidak produktif. The road stop here where we go next? Semua pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dunia akan kekurangsiapan dan sekaligus sebagai dorongan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi. Fenomena globalisasi banyak melahirkan sifat individualisme dan pola hidup materialistik yang kian mengental. Di sinilah keunikan pondok pesantren masih konsisten dengan menyuguhkan suatu sistem pendidikan yang mampu menjembatani kebutuhan fisik (jasmani) dan kebutuhan mental spiritual (rohani) manusia. Eksistensi pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang handal. Kekuatan otak (berpikir), hati 37