SlideShare a Scribd company logo
1 of 25
KATA PENGANTAR

       Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat,
hidayah, dan inayyah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ―
Euthenesia ― tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama.

       Makalah yang kami buat ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

   1. Ns. Susana , S.Kep selaku coordinator mata kuliah Pendidikan Agama
   2. Orangtua yang senantiasa memberi doa dan semangat kepada penulis
   3. Teman-teman A10.2
   4. Teman-teman kelompok 11 yang telah menyumbangkan pikiran demi
       terselesainya makalah ini

       Kami menyadari bahwa tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan
makalah ini pasti ada kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata
semoga makalah ini dapat berguna, tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi
pembaca.




                                                   Semarang . Desember 2010




                                                                       Penulis




                                                                                 1
BAB I

                            PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
     Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti
  oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau
  kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu
  menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat
  dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal
  kejadiannya.       Euthanasia     memungkinkan      hal     tersebut     terjadi.
  Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan
  legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini
  pun ada beragam jenisnya.
     Praktek eutanasia sebenarnya telah dimulai pada tahun yang sama
  (kira-kira abad 4 SM), beberapa tempat seperti Yunani dan Roma
  eutanasia merupakan tindakan yang dibolehkan secara hukum.
  Sampai saat ini eutanasia merupakan polemik, etik dan perdebatan
  panjang yang tidak pernah terselesaikan, pro-kontra mengenai
  eutanasia sepertinya tidak akan pernah usai, kecuali beberapa negara
  yang      menyetujui            praktek      ini,      Belanda         misalnya.
     Di Amerika Serikat dikenal adanya beberapa organisasi yang
  menentang eutanasia yang dibantu oleh dokter; American Medical
  Association dan The New York State Committee on Bioethical Issues
  telah menentang praktek eutanasia secara bertahun-tahun, bagi mereka
  praktek bunuh diri atas permintaan pasien maupun keluarga tidak
  boleh dilakukan, tindakan ini sama halnya dengan melakukan
  pembunuhan.        Organisasi      ini    menekankan      penting      dilakukan
  pengobatan secara terus-menerus untuk mempertahankan hidup pasien
  (life-sustaining     treatment).
     Bagi beberapa orang yang mendukung eutanasia beranggapan
  bahwa cara eutanasia lebih manusiawi dibandingkan melihat pasien



                                                                                      2
kesakitan (sekarat) dalam waktu yang panjang, eutanasia dianggap
  sebagai satu-satunya cara ―mempermudah‖ dan mempersingkat rasa
  sakit tersebut. Mereka beranggapan bahwa rasa sakit yang diderita
  secara berkepanjangan yang telah diidap pasien, maka eutanasia
  dilakukan untuk mengakhiri atau mengurangi penderitaan itu dengan
  cara mengakhiri hidup pasien yang lebih baik dibanding melihat pasien
  kesakitan (sekarat).
     Pada jaman modern, isu awal perdebatan mengenai eutanasia
  sendiri secara terbuka mencuat di Journal of the American Medical
  Association pada tahun 1988, dimana jurnal tersebut membahas
  kematian pasien yang bernama Debbie yang sekarat mengidap kanker
  ovarium, dalam kasus tersebut seorang dokter yang tidak disebut
  identitasnya telah menyuntik morfin dalam dosis yang mematikan.
  Alasannya karena merasa iba melihat Debbie sekarat karena
  penyakitnya.
     Kasus tersebut memicu New England Journal of Medicine setahun
  kemudian untuk mempublikasikan pernyataan beberapa dokter bahwa
  tindakan eutanasia bukanlah tindakan tidak bermoral bila dokter
  melakukan cara-cara yang perlu untuk mengakhiri hidup pasien yang
  sakit (sekarat) dan tidak mempunyai harapan untuk hidup lagi.
     Tahun-tahun berikutnya beberapa laporan lain mulai membuka
  diri, seperti terprovokasi, eutanasia menjadi pembicaraan mendalam
  pada masyarakat dunia, media massa berperan serta dalam
  menyebarkan isu-isu eutanasia secara meluas.


B. TUJUAN
  Adapun tujuan dari pembahasan euthenesia adalah :
     1. Menjelaskan pengertian euthanasia dan jenisnya
     2. Mengetahui bentuk penggunaan euthanasia
     3. Dapat membedakan pandangan mengenai euthanasia menurut
         Islam dan dunia kedokteran



                                                                          3
4. Dapat menyelesaikan kasus      yang berhubungan dengan
   euthanasia untuk orang sakit
5. Aspek legal penggunaan Euthanasia




                                                            4
BAB II
                                 EUTHANASIA


I. PENGERTIAN EUTHANASIA

  Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti ―baik‖, dan
 thanatos, yang berarti ―kematian‖ (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal
 dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Euthanasia adalah tindakan
 mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan
 tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari
 individu yang akan mengakhiri hidupnya.

    a. Ada empat metode euthanasia:

     a.1 Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar
         menginginkan kematian.

    a.2 Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk
         menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental.
         Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan
         minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).

    a.3 Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat
         dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus
         serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan
         ditolak.

    a.4 Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
         euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi
         dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat
         dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika
         dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‗bunuh




                                                                                      5
diri atas pertolongan dokter‘. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah
         dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.

b. Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:

  b.1 Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan
       dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah
       memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.

  b.2 Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh
       penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian
       pemberian nutrisi, air, dan ventilator.



        Argumen Pro Euthanasia


       Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad,
berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka
menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi
individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau
berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan
untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan.
Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk
meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus,
perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.
       Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter
Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika
ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek
kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan
instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada
kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi,
menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak




                                                                                   6
berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status
moral.
         Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral
antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah
kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih
disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.


          Oposisi terhadap Euthanasia


         Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara
religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan
mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan.
Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi,
maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena
ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan,
diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan
provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam
kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus
dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah
kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang
mengizinkan mereka untuk mati.

         Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu
euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh
pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah
sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan
medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya
akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang
memang             sudahparah (Utomo2003:176).




                                                                                     7
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus
(Utomo,2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien
yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan
dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis
masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai
dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo,2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada
harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru
yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian,
jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya
(Utomo,2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan
dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan
euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik
kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di
sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode
etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).



                                                                                    8
II. Pandangan Syariah Islam
   Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala
   persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap
   euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia     pasif.


   A.     Euthanasia      Aktif


         Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
   kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad), walaupun niatnya baik yaitu
   untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
   permintaan pasien      sendiri atau   keluarganya.
   Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
   mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
   membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT:


  “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
  membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An‘aam :
  151)

  “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
  kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…‖ (QS An-Nisaa` : 92)

  “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
  Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

          Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter
  melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
  pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah)
  dan     dosa   besar.
  Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan




                                                                                  9
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati
karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai
dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

       Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i
(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham
(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1
dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1
dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki,     1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu
kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik
itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak
mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,
yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,‖Tidaklah menimpa kepada
seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan,
maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan
kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.‖ (HR Bukhari dan
Muslim).




                                                                                   10
C. Euthanasia Pasif


          Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam
       praktik     menghentikan     pengobatan.     Tindakan    tersebut   dilakukan
       berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada
       gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
       Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya
       dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
       Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama,
       mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib.
       Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan
       ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam
       Ibnu      Taimiyah      (Utomo,       2003:180).
       Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub
       (Tidak wajib). Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi
       Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada
       qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib),
       tapi         tuntutan        yag           tidak        tegas       (sunnah).
       Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW
       bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat.
Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya
tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai
kaidah ushul :

Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab




                                                                                       11
―Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.‖ (An-
Nabhani, 1953)

    Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam
hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib.
Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa
perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak
berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,‖Sesungguhnya
aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh].
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!‖ Nabi SAW berkata,‖Jika kamu
mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa
kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.‖ Perempuan itu berkata,‖Baiklah aku
akan bersabar,‖ lalu dia berkata lagi,‖Sesungguhnya auratku sering tersingkap
[saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak
tersingkap.‖   Maka   Nabi   SAW     lalu   berdoa   untuknya.   (HR    Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir
ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib. (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk
dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini
hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis
keadaannya?
   Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian




                                                                                    12
otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan
   bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap
   tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ
   ini pun akan segera    tidak   berfungsi.
       Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu
   kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya
   sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan
   dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ
   otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut
   alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa
   dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum,
   1998:69;Zuhaili,1996:500;Utomo,2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung
   jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi
   adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien
   tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
   penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah,1992:522-523).

III.   CONTOH KASUS EUTHANASIA


       Contoh kasus Euthenesia pasif :

       1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan
          koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk
          sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika
          tidak diobati akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika
          pengobatan      terhadapnya     dihentikan   akan   dapat   mempercepat
          kematiaannya.


       2. Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita
          kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada
          kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar.
          Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu



                                                                                       13
membutuhkan bantuan        khusus   selama hidupnya.      Atau penderita
       kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan
       kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita
       penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan
       bantuan khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja
       dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa
       kematiannya.


Dalam contoh tersebut, ―penghentian pengobatan‖ merupakan salah satu bentuk
eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu
terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si
anak atau kedua orang tuanya.

       Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif
lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori
eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan
syari‘ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya
dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam
pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi
aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak
dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan
sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak.

       Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan
biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu
juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang
membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-
apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan
menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.




                                                                                  14
Contoh kasus Euthenesia aktif :


   1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
       hingga penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang
       bersangkutan akan meningggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat
       dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan
       rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
   2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena
       bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami
       benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin
       dapat hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter
       ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan.

Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan
menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut
dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan
pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.

       Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak
Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian
secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari‘ah. Sebab
yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis atau cara lainnya.

       Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram
hukumnya, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas
dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada
si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter
tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi



                                                                                    15
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah di tetapkan-Nya.

       Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat
menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk
selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada
alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab
kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw
disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR
Ahmad dan Muslim)

       Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini,
meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan
hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai
dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta
melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya
tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang
berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk
membantu     meringankan    penderitaan   pasien,   akan   tetapi   dipihak   lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundang-
undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak
dibenarkan oleh Undang-undang.

       Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan
hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik
yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang
berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana
Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash,
hadd, dan diat.




                                                                                     16
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat
matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan,
kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal
membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu:
pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati);
seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia
harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian
memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan
dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa‘i)

       Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian
orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‗jarimah/tindak pidana‘ (jinayat),
yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah
satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam
dengan hukuman pidana. Dalil syari‘ah yang menyatakan pelarangan terhadap
pembunuhan antara lain Al-Qur‘an surat Al-Isra‘:33, An-Nisa‘:92, Al-An‘am:151.
Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang
keharaman     membunuh       orang     kafir   yang     sudah    minta     suaka
(mu‘ahad).(HR.Bukhari).

       Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang
sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia.
Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian
yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya
Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu
musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan
duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

       Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia
hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak




                                                                                    17
atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56,
Al-Mulk:1-2).

       Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif
sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu termasuk dalam
kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan
dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah
terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan
hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakah
wajib atau sekedar sunnah.

       Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya
sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang
mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi‘iyah dan hanbali sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.

       Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar
(tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan
dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu
meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: ―Jika engkau
mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika
engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.‖
Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan
kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga
auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh.

       Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi‘in
yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang
memilih sakit, seperti Ubay bin Ka‘ab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian
tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun generasi tabai‘in




                                                                                 18
lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri
yang berjudul ―Kitab at-Tawakal‖ dalam kitab Ihya ‗Ulumuddinnya.

       Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat
adalah pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif
berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt
untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah
pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam
kitabnya Zadul-Ma‘ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal
menunjukkan hukum sunnah.

       Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara
perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada
harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang
dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang
mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.

       Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada
pemberian berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat,
suntikan, infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan
peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu
tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-
Qardhawi dalam Fatawa Mu‘ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni
tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.

       Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam
ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-
rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena
dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain.
Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap




                                                                                     19
meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga
  tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari‘ah maupun hukum positif.
  Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh)
  dan dibenarkan syari‘ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi
  meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.

         Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu
  menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter
  ahli ia sudah ―mati‖ atau ―dikategorikan telah mati‖ karena jaringan otak ataupun
  fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang
  dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini
  sama dengan tidak memberikan pengobatan.

         Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi
  kepada sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang
  diselenggarakan oleh sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di
  Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat
  menerima pendapat tersebut.

         Adapun hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat
  merasakan apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali. Namun jika
  tidak kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut.

IV.   ASPEK LEGAL PENGGUNAAN EUTHANASIA

      A. Euthanasia dipandang dari aspek HAM

         Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir.
      Setiap manusia tentunya memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mati.
      Namun, hak asasi manusia lebih sering dikaitkan dengan hak untuk hidup
      ,akan tetapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak untuk mati.




                                                                                        20
Dalam berbagai hal, kematian lebih sering dihubungkan dengan pelanggaran
hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang mana
cenderung menyalahkan tenaga medis, khususnya pihak dokter. ( Wibudi,
2008 ).
    Jika kita lihat secara sepintas, memang melakukan euthanasia pada pasien
merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk
hidup. Karena secara tidak langsung, tindakan ini dapat diartikan merampas
hak hidup manusia. Namun, adanya hak untuk hidup, secara tidak langsung
seharusnya ada juga hak untuk mati. Terlebih lagi jika untuk menghindarkan
diri dari segala ketidaknyamanan khususnya penderitaan akibat penyakit yang
diderita pasien, yang mana menrut medis sudah tidak ada harapan untuk
sembuh.
    Oleh karena itu, dari aspek Hak asasi manusia, euthanasia tidak dapat
dipandang sebelah mata sebagai tindakan yang melanggar HAM, karena hak
manusia bukan hanya hak untuk hidup namun juga hak untuk mati. Ditambah
lagi jika tindakan euthanasia tersebut telah mendapat persetujuan dari pasien
itu sendiri.


B. Euthanasia Menurut Hukum di Indonesia ( KUHP)

    Aturan hukum mengenai masalah euthanasia ini sangat berbeda-beda di
seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma
budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara,
tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap
melanggar hokum ( Wibudi, 2008 ).
    Di Indonesia, persoalan euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang
diakui secara yuridis (Farid, 2008). Secara yuridis formal dalam hukum pidana
positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary
euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP
(Titto,2006) .




                                                                                21
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :

―Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun‖.

   Berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan
bahwa pembunuhan atas permintaan korban / pasien sekalipun tetap diancam
pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang karena
dianggap sebagai tindak pidana.
   Selain ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang
menyatakan (Tittto,2006) :


―Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya
bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum‖.

Pasal ini menegaskan bahwa dalam hukum positif di Indonesia melarang
tindakan euthanasia aktif .

Selajutnya, dalam ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan
Pasal 306 (2) ditegaskan bahwa tindakan euthanasia pasif juga dilarang oleh
hukum positif di Indonesia (Tittto,2006).

Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,

―Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah‖.




                                                                                22
Dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan,

―Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara
maksimal sembilan tahun‖.




                                                                            23
BAB III


                             PENUTUP

A. Kesimpulan

Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah
pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu
berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan
untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab
kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw
disebutkan    betapapun    beratnya    penyakit    itu,   tetap   ada   obat
penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim) . Karena bagaimanapun dokter
tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah di tetapkan-Nya.

B. Saran

Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya,
bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari
kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada
si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Bagaimanapun dokter
tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah di tetapkan-Nya.




                                                                                24
DAFTAR PUSTAKA

http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/hukum-euthanasia-
dan-kode-etik-kedokteran.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia

http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-
tinjauan-bioetika/

http://shinta91.wordpress.com/2010/04/28/isu-kontemporer/




                                                                          25

More Related Content

What's hot

Euthanasia dalam islam bersih
Euthanasia dalam islam bersihEuthanasia dalam islam bersih
Euthanasia dalam islam bersihHaakikii
 
pembahasan Eutanasia
pembahasan Eutanasiapembahasan Eutanasia
pembahasan EutanasiaMuhtarom
 
Euthanasia dalam perspektif hukum islam
Euthanasia dalam perspektif hukum islamEuthanasia dalam perspektif hukum islam
Euthanasia dalam perspektif hukum islamhanunropi
 
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)Ramipratama
 
Transplantasi organ di pandang dari kode etika
Transplantasi organ di pandang dari kode etikaTransplantasi organ di pandang dari kode etika
Transplantasi organ di pandang dari kode etikaAKPER PEMDA INDRAMAYU
 
Euthanasia dalam islam (analisis fiqh dan hukum positif di indonesia)
Euthanasia dalam islam (analisis fiqh dan hukum positif di indonesia)Euthanasia dalam islam (analisis fiqh dan hukum positif di indonesia)
Euthanasia dalam islam (analisis fiqh dan hukum positif di indonesia)hanunropi
 
Makalah agama tentang asi AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
Makalah agama tentang asi AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA Makalah agama tentang asi AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
Makalah agama tentang asi AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
Bahan pemikat 12 agustus 2014
Bahan pemikat 12 agustus 2014Bahan pemikat 12 agustus 2014
Bahan pemikat 12 agustus 2014karangpanas
 
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsiFiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsiDrnoor Tahir Lubis
 
Dahulukan Pengobatan Medis terutama Fisioterapi daripada Pengobatan Alternatif
Dahulukan Pengobatan Medis terutama Fisioterapi daripada Pengobatan AlternatifDahulukan Pengobatan Medis terutama Fisioterapi daripada Pengobatan Alternatif
Dahulukan Pengobatan Medis terutama Fisioterapi daripada Pengobatan AlternatifGrace Pandiangan
 

What's hot (14)

Makalah euthanasia
Makalah euthanasiaMakalah euthanasia
Makalah euthanasia
 
Euthanasia dalam islam bersih
Euthanasia dalam islam bersihEuthanasia dalam islam bersih
Euthanasia dalam islam bersih
 
pembahasan Eutanasia
pembahasan Eutanasiapembahasan Eutanasia
pembahasan Eutanasia
 
Euthanasia dalam perspektif hukum islam
Euthanasia dalam perspektif hukum islamEuthanasia dalam perspektif hukum islam
Euthanasia dalam perspektif hukum islam
 
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
 
Transplantasi organ di pandang dari kode etika
Transplantasi organ di pandang dari kode etikaTransplantasi organ di pandang dari kode etika
Transplantasi organ di pandang dari kode etika
 
Euthanasia rahma
Euthanasia rahmaEuthanasia rahma
Euthanasia rahma
 
Euthanasia dalam islam (analisis fiqh dan hukum positif di indonesia)
Euthanasia dalam islam (analisis fiqh dan hukum positif di indonesia)Euthanasia dalam islam (analisis fiqh dan hukum positif di indonesia)
Euthanasia dalam islam (analisis fiqh dan hukum positif di indonesia)
 
Makalah agama tentang asi AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
Makalah agama tentang asi AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA Makalah agama tentang asi AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
Makalah agama tentang asi AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
 
Bahan pemikat 12 agustus 2014
Bahan pemikat 12 agustus 2014Bahan pemikat 12 agustus 2014
Bahan pemikat 12 agustus 2014
 
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsiFiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
 
Dahulukan Pengobatan Medis terutama Fisioterapi daripada Pengobatan Alternatif
Dahulukan Pengobatan Medis terutama Fisioterapi daripada Pengobatan AlternatifDahulukan Pengobatan Medis terutama Fisioterapi daripada Pengobatan Alternatif
Dahulukan Pengobatan Medis terutama Fisioterapi daripada Pengobatan Alternatif
 
Askep jiwa bu asminarsih
Askep jiwa bu asminarsihAskep jiwa bu asminarsih
Askep jiwa bu asminarsih
 
Makalah agama tentang asi
Makalah agama tentang asiMakalah agama tentang asi
Makalah agama tentang asi
 

Similar to Euthanesia

MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdfMAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdfNurmaYanti40
 
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_islaEuthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_islahanunropi
 
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasialitekaizen
 
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN  DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONALISSUE LEGAL DAN TANTANGAN  DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONALpjj_kemenkes
 
Kb 5 m 2 konsep dasar praktik keperawatan profesional
Kb 5 m 2  konsep dasar praktik keperawatan profesionalKb 5 m 2  konsep dasar praktik keperawatan profesional
Kb 5 m 2 konsep dasar praktik keperawatan profesionalUwes Chaeruman
 
Modul Kesehatan Masyarakat untuk pendidikan kebidanan
Modul Kesehatan Masyarakat untuk pendidikan kebidananModul Kesehatan Masyarakat untuk pendidikan kebidanan
Modul Kesehatan Masyarakat untuk pendidikan kebidananSiti Putri
 
makalah falsafah.pptx
makalah falsafah.pptxmakalah falsafah.pptx
makalah falsafah.pptxTomyAR1
 
Pembedahan plastik dan euthanasia
Pembedahan plastik dan euthanasiaPembedahan plastik dan euthanasia
Pembedahan plastik dan euthanasiaPak Cik Nan
 
Konsep Kesehatan Masyarakat
Konsep Kesehatan MasyarakatKonsep Kesehatan Masyarakat
Konsep Kesehatan Masyarakatpjj_kemenkes
 

Similar to Euthanesia (20)

MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdfMAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
 
Eutanasia
EutanasiaEutanasia
Eutanasia
 
Euthanasia PPT
Euthanasia PPTEuthanasia PPT
Euthanasia PPT
 
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_islaEuthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
 
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
 
Dr. death
Dr. deathDr. death
Dr. death
 
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN  DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONALISSUE LEGAL DAN TANTANGAN  DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
 
Kb 5 m 2 konsep dasar praktik keperawatan profesional
Kb 5 m 2  konsep dasar praktik keperawatan profesionalKb 5 m 2  konsep dasar praktik keperawatan profesional
Kb 5 m 2 konsep dasar praktik keperawatan profesional
 
Makalah bioetik
Makalah bioetikMakalah bioetik
Makalah bioetik
 
BUNUH DIRI.pdf
BUNUH DIRI.pdfBUNUH DIRI.pdf
BUNUH DIRI.pdf
 
Makalah euthanasia
Makalah euthanasiaMakalah euthanasia
Makalah euthanasia
 
KEMATIAN
KEMATIANKEMATIAN
KEMATIAN
 
Kedaruratan psikiatri
Kedaruratan psikiatriKedaruratan psikiatri
Kedaruratan psikiatri
 
Modul Kesehatan Masyarakat untuk pendidikan kebidanan
Modul Kesehatan Masyarakat untuk pendidikan kebidananModul Kesehatan Masyarakat untuk pendidikan kebidanan
Modul Kesehatan Masyarakat untuk pendidikan kebidanan
 
makalah falsafah.pptx
makalah falsafah.pptxmakalah falsafah.pptx
makalah falsafah.pptx
 
Pembedahan plastik dan euthanasia
Pembedahan plastik dan euthanasiaPembedahan plastik dan euthanasia
Pembedahan plastik dan euthanasia
 
Askep menjelang kematian
Askep menjelang kematianAskep menjelang kematian
Askep menjelang kematian
 
Konsep Kesehatan Masyarakat
Konsep Kesehatan MasyarakatKonsep Kesehatan Masyarakat
Konsep Kesehatan Masyarakat
 
Askep jiwa bu asminarsih AKPER PEMKAB MUNA
Askep jiwa bu asminarsih AKPER PEMKAB MUNA Askep jiwa bu asminarsih AKPER PEMKAB MUNA
Askep jiwa bu asminarsih AKPER PEMKAB MUNA
 
sosiologi kesehatan
sosiologi kesehatansosiologi kesehatan
sosiologi kesehatan
 

Recently uploaded

362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptxAzwarArifkiSurg
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfhurufd86
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diriandi861789
 
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufLAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufalmahdaly02
 
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptToksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptRoniAlfaqih2
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptDwiBhaktiPertiwi1
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasmufida16
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptxrachmatpawelloi
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatSyarifahNurulMaulida1
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitIrfanNersMaulana
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxpuspapameswari
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesNadrohSitepu1
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptbekamalayniasinta
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANDianFitriyani15
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptKianSantang21
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfHilalSunu
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptbambang62741
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 

Recently uploaded (20)

362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
362259940-Kista-Duktus-Tiroglosus-ppt.pptx
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
 
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufLAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
 
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptToksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 

Euthanesia

  • 1. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat, hidayah, dan inayyah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ― Euthenesia ― tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama. Makalah yang kami buat ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ns. Susana , S.Kep selaku coordinator mata kuliah Pendidikan Agama 2. Orangtua yang senantiasa memberi doa dan semangat kepada penulis 3. Teman-teman A10.2 4. Teman-teman kelompok 11 yang telah menyumbangkan pikiran demi terselesainya makalah ini Kami menyadari bahwa tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah ini pasti ada kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna, tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi pembaca. Semarang . Desember 2010 Penulis 1
  • 2. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi. Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya. Praktek eutanasia sebenarnya telah dimulai pada tahun yang sama (kira-kira abad 4 SM), beberapa tempat seperti Yunani dan Roma eutanasia merupakan tindakan yang dibolehkan secara hukum. Sampai saat ini eutanasia merupakan polemik, etik dan perdebatan panjang yang tidak pernah terselesaikan, pro-kontra mengenai eutanasia sepertinya tidak akan pernah usai, kecuali beberapa negara yang menyetujui praktek ini, Belanda misalnya. Di Amerika Serikat dikenal adanya beberapa organisasi yang menentang eutanasia yang dibantu oleh dokter; American Medical Association dan The New York State Committee on Bioethical Issues telah menentang praktek eutanasia secara bertahun-tahun, bagi mereka praktek bunuh diri atas permintaan pasien maupun keluarga tidak boleh dilakukan, tindakan ini sama halnya dengan melakukan pembunuhan. Organisasi ini menekankan penting dilakukan pengobatan secara terus-menerus untuk mempertahankan hidup pasien (life-sustaining treatment). Bagi beberapa orang yang mendukung eutanasia beranggapan bahwa cara eutanasia lebih manusiawi dibandingkan melihat pasien 2
  • 3. kesakitan (sekarat) dalam waktu yang panjang, eutanasia dianggap sebagai satu-satunya cara ―mempermudah‖ dan mempersingkat rasa sakit tersebut. Mereka beranggapan bahwa rasa sakit yang diderita secara berkepanjangan yang telah diidap pasien, maka eutanasia dilakukan untuk mengakhiri atau mengurangi penderitaan itu dengan cara mengakhiri hidup pasien yang lebih baik dibanding melihat pasien kesakitan (sekarat). Pada jaman modern, isu awal perdebatan mengenai eutanasia sendiri secara terbuka mencuat di Journal of the American Medical Association pada tahun 1988, dimana jurnal tersebut membahas kematian pasien yang bernama Debbie yang sekarat mengidap kanker ovarium, dalam kasus tersebut seorang dokter yang tidak disebut identitasnya telah menyuntik morfin dalam dosis yang mematikan. Alasannya karena merasa iba melihat Debbie sekarat karena penyakitnya. Kasus tersebut memicu New England Journal of Medicine setahun kemudian untuk mempublikasikan pernyataan beberapa dokter bahwa tindakan eutanasia bukanlah tindakan tidak bermoral bila dokter melakukan cara-cara yang perlu untuk mengakhiri hidup pasien yang sakit (sekarat) dan tidak mempunyai harapan untuk hidup lagi. Tahun-tahun berikutnya beberapa laporan lain mulai membuka diri, seperti terprovokasi, eutanasia menjadi pembicaraan mendalam pada masyarakat dunia, media massa berperan serta dalam menyebarkan isu-isu eutanasia secara meluas. B. TUJUAN Adapun tujuan dari pembahasan euthenesia adalah : 1. Menjelaskan pengertian euthanasia dan jenisnya 2. Mengetahui bentuk penggunaan euthanasia 3. Dapat membedakan pandangan mengenai euthanasia menurut Islam dan dunia kedokteran 3
  • 4. 4. Dapat menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan euthanasia untuk orang sakit 5. Aspek legal penggunaan Euthanasia 4
  • 5. BAB II EUTHANASIA I. PENGERTIAN EUTHANASIA Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti ―baik‖, dan thanatos, yang berarti ―kematian‖ (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. a. Ada empat metode euthanasia: a.1 Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian. a.2 Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). a.3 Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak. a.4 Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‗bunuh 5
  • 6. diri atas pertolongan dokter‘. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian. b. Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif: b.1 Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia. b.2 Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.  Argumen Pro Euthanasia Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka. Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak 6
  • 7. berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral. Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.  Oposisi terhadap Euthanasia Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati. Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudahparah (Utomo2003:176). 7
  • 8. Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo,2003:178). Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo,2003:176). Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo,2003:177). Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178). 8
  • 9. II. Pandangan Syariah Islam Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. A. Euthanasia Aktif Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An‘aam : 151) “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…‖ (QS An-Nisaa` : 92) “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29). Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan 9
  • 10. mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : “Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178) Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178) Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,‖Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.‖ (HR Bukhari dan Muslim). 10
  • 11. C. Euthanasia Pasif Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180). Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub (Tidak wajib). Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA) Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab 11
  • 12. ―Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.‖ (An- Nabhani, 1953) Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,‖Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!‖ Nabi SAW berkata,‖Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.‖ Perempuan itu berkata,‖Baiklah aku akan bersabar,‖ lalu dia berkata lagi,‖Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.‖ Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari) Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib. (Zallum, 1998:69). Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian 12
  • 13. otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69;Zuhaili,1996:500;Utomo,2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah,1992:522-523). III. CONTOH KASUS EUTHANASIA Contoh kasus Euthenesia pasif : 1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiaannya. 2. Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu 13
  • 14. membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya. Dalam contoh tersebut, ―penghentian pengobatan‖ merupakan salah satu bentuk eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang tuanya. Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari‘ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak. Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa- apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. 14
  • 15. Contoh kasus Euthenesia aktif : 1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meningggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus. 2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya. Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari‘ah. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya. Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi 15
  • 16. kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya. Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim) Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundang- undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang. Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash, hadd, dan diat. 16
  • 17. Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa‘i) Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‗jarimah/tindak pidana‘ (jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari‘ah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur‘an surat Al-Isra‘:33, An-Nisa‘:92, Al-An‘am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu‘ahad).(HR.Bukhari). Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim). Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak 17
  • 18. atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2). Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu termasuk dalam kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakah wajib atau sekedar sunnah. Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi‘iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: ―Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.‖ Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh. Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi‘in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Ka‘ab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun generasi tabai‘in 18
  • 19. lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri yang berjudul ―Kitab at-Tawakal‖ dalam kitab Ihya ‗Ulumuddinnya. Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma‘ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah. Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib. Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al- Qardhawi dalam Fatawa Mu‘ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah. Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar- rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap 19
  • 20. meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari‘ah maupun hukum positif. Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syari‘ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya. Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah ―mati‖ atau ―dikategorikan telah mati‖ karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat menerima pendapat tersebut. Adapun hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat merasakan apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali. Namun jika tidak kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut. IV. ASPEK LEGAL PENGGUNAAN EUTHANASIA A. Euthanasia dipandang dari aspek HAM Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir. Setiap manusia tentunya memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mati. Namun, hak asasi manusia lebih sering dikaitkan dengan hak untuk hidup ,akan tetapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak untuk mati. 20
  • 21. Dalam berbagai hal, kematian lebih sering dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang mana cenderung menyalahkan tenaga medis, khususnya pihak dokter. ( Wibudi, 2008 ). Jika kita lihat secara sepintas, memang melakukan euthanasia pada pasien merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup. Karena secara tidak langsung, tindakan ini dapat diartikan merampas hak hidup manusia. Namun, adanya hak untuk hidup, secara tidak langsung seharusnya ada juga hak untuk mati. Terlebih lagi jika untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan khususnya penderitaan akibat penyakit yang diderita pasien, yang mana menrut medis sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Oleh karena itu, dari aspek Hak asasi manusia, euthanasia tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai tindakan yang melanggar HAM, karena hak manusia bukan hanya hak untuk hidup namun juga hak untuk mati. Ditambah lagi jika tindakan euthanasia tersebut telah mendapat persetujuan dari pasien itu sendiri. B. Euthanasia Menurut Hukum di Indonesia ( KUHP) Aturan hukum mengenai masalah euthanasia ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hokum ( Wibudi, 2008 ). Di Indonesia, persoalan euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis (Farid, 2008). Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP (Titto,2006) . 21
  • 22. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : ―Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun‖. Berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa pembunuhan atas permintaan korban / pasien sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang karena dianggap sebagai tindak pidana. Selain ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang menyatakan (Tittto,2006) : ―Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum‖. Pasal ini menegaskan bahwa dalam hukum positif di Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif . Selajutnya, dalam ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2) ditegaskan bahwa tindakan euthanasia pasif juga dilarang oleh hukum positif di Indonesia (Tittto,2006). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, ―Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah‖. 22
  • 23. Dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, ―Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun‖. 23
  • 24. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim) . Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya. B. Saran Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya. 24