Dokumen tersebut membahas tentang euthanasia dan bunuh diri dalam perspektif Islam. Euthanasia dibedakan menjadi aktif dan pasif, tetapi keduanya dilarang karena dianggap sebagai pembunuhan yang dapat mendatangkan hukuman berat. Bunuh diri juga dilarang lantaran hidup dan mati hanya ditentukan oleh Allah. Pengobatan pasien boleh dihentikan jika tidak ada harapan penyembuhan, tetapi pasien harus bersabar
1. EUTHANASIA DAN BUNUH DIRI DALAM ISLAM
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setiap makhluk, termasuk manusia, mengalami siklus kehidupan yang di mulai dari
proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta di
akhiri dengan kematiannya.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih
mengandung misteri besar & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat
menentukan kematian seseorang sebagai individu di perlakukan kriteria diagnostik yang
benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat di pertanggung-jawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Allah SWT.
Tak seorang pun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu
kematian.
Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini semakin
pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral
dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah
Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial,
sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu
yang pro dan kubu yang kontra.
Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di
tangan Allah AWT yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia
terhadap Tuhan, karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan
manusia sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi
keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum
perdana dan perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had
dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan
oleh ulul amri atau lembaga peradilan, maupun hukuman di akhirat berupa siksaan Allah di
neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan Allah, maka islam melarang orang melakukan
pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani “eu” yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma
atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya.
2. 2. Klasifikasi Euthanasia
Dalam praktik kedokteran dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia
aktif dan euthanasia pasif.
a. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan
penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut
perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah. (Utomo, 2003: 176).
Contoh: Euthanasia aktif, misalnya, ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit
yang luar biasa sehingga pasien sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus. (Utomo, 2003: 178).
b. Euthanasia pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, dan fungsi pengobatan menurut perhitungan
dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia
pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana
pengobatan yang sangat tinggi. (Utomo, 2003: 176).
Pada kebanyakan kasus, contoh lain euthanasia pasif dilakukan pada pasien/penderita
yang dalam keadaan tidak sadar (koma), karena berdasarkan pengalaman maupun ukuran
medis sudah tidak ada harapan hidup bagi pasien, mungkin salah satu organ pentingnya sudah
rusak atau lemah, seperti bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke)
akibat tekanan darah tinggi, tidak berfungsinya jantung, dan sebagainya. Hal ini sering
disebut dengan “fase antara”, dikalangan awam menyebut “antara hidup dan mati”. Kondisi
euthanasia negatif ini bagi pasien, yakni dengan cara menghentian pengobatan maka
kemungkinan besar akan mempercepat kematian pasien, hal ini dibolehkan, mugkin karena
alasan dana yang tak sanggup, atau rasa kasihan terhadap pasien.
Contoh: Euthanasia pasif, misalnya, penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk
sembuh, atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka
penderita bisa meninggal. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan,
akan dapat mempercepat kematiannya. (Utomo, 2003: 177).
3. 3. Pandangan syariah islam terhadap Euthanasia
a. Pendapat para Ulama
Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disampaikan KH Ma`ruf
Amin yang dikutip dari tulisan pada tahun 2004 mengatakan bahwa MUI telah lama
mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan Euthanasia (tindakan
mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat).
"Euthanasia, menurut fatwa tidak diperkenankan, karena itu merupakan melakukan
pembunuhan". Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa
MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa
orang lain.
Lebih lanjut, KH Ma`ruf Amin mengatakan, euthanasia kondisi aktif adalah kondisi
orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus
dimatikan. Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan "euthanasia", dia
menjelaskan bahwa dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor
keputus-asaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
Hal ini didasari firman Allah SWT bahwa sangatlah jelas euthanasia sangat dilarang.
Baik melakukannya untuk diri sendiri maupun orang lain
رحيما بكم كان هللا إن أنفسكم تقتلوا ال .......و...:(النساء .اآلية .92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa`: 29)
Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”
(QS. Al-An’am 151).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-
qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
:اآلية.(البقرة ....القتلى في القصاص عليكم كتب آمنوا الذين ايها يا871)
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
4. Firman Allah SWT :
بإحسان إليه أداء و بالمعروف فاتباع شيء أخيه من له عفي فمن .......:اآلية.(البقرة ....871)
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4
tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i. Jika dibayar dalam bentuk dinar
(uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250
gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak
(1 dirham = 2,975 gram perak).
Dan mengenai euthanasia pasif, bagaimanakah pandangan hukum Islam tentang
euthanasia pasif? Menurut ajaran Islam, bahwa sakit yang menimpa seseorang itu dapat
menghapuskan dosa. Meskipun demikian, bukan berarti penyakit yang menimpa seseorang
itu dibiarkan saja tanpa upaya pengobatan karena agama Islam memerintahkan untuk
mengobati setiap penyakit yang menimpa manusia, berdasarkan hadis-hadis Nabi SAW
menurut Iman Al-Syaukany, bahwa penyakit yang oleh dokter telah dinyatakan tidak ada
obatnya sekalipun, tidak ada upaya untuk mengupayakan pengobatannya.
Kesabaran dan ketabahan terhadap rasa sakit dan penderitaan sangat dihargai dan
mendapat pahala yang besar dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW :
“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan dari yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu” (HR.
Bukhari Muslim)
Apabila dokter mengatakan, bahwa penyakit tersebut sudah tidak bisa disembuhkan
atau keadaanya sudah masuk dalam stadium terminal dan pihak pasien atau keluarganya
dengan beberapa pertimbangan meminta atau menyetujui dihentikannya upaya pengobatan,
maka penghentian pengobatan pasien tersebut akhirnya meninggal. Dalam situasi dan
kondisi yang demikian, tindakan yang bisa dilakukan ialah bersabar dan tawakal serta berdoa
kepada Allah SWT.
HUKUM BUNUH DIRI MENURUT PANDANGAN AJARAN ISLAM
A. Bunuh diri
Orang yang nekad bunuh diri, biasanya karena putus asa diantara penyebabnya adalah
penderitaan hidup. Ada orang yang menderita fisiknya (jasmaninya), karena memikirkan
sesuap nasi untuk diri dan keluarganya. Keperluan pokok dalam kehidupan sehari-hari tidak
terpenuhi, apalagi pada jaman sekarang ini, pengeluaran lebih besar dari pemasukan.
Adapula orang yang menderita batinnya yang bertakibat patah hati, hidup tiodak
bergairah, masa depannya keliatan siuram, tidak bercahaya. Batinnya kosong dari cahaya
5. iman dan berganti dengan kegelapan yang menakutkan. Penderitaan kelompok kedua ini,
belum tentu karena tidak punya uang, tidak punya kedudukan, dan tidak punya nama, karena
semua itu belum tentu dan ada kalanya tidak dapat membahagiakan seseorang, pada media
masa kita baca ada jutawan, artis dan ada tokoh yang memilih mati untuk mengakhiri
penderitaanya itu, apakah penderitaan jasmani atau penderitaan batin.
Kalau kita perhatikan, mak tampak jelas, baik kelompok pertama maupun kedua,
sama-sama tidak mampu menghadapi kenyataan dalam hidup ini. Mereka tidak mampu
menghayati dalam memahami, bahwa dunia ini dengan segala isinya adalah pemberian Allah
dan pinjaman yang akan dikembalikan, dan suka dukapun silih berganti dalam
menghadapinya.
Hidup dan mati itu ada ditangan Allah SWT dan merupakan karunia dan wewenang
Allah SWT, maka Islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain
(kecuali, dengan alasan yang dibenarkan oleh agama) maupun terhadap dirinya sendiri
(bunuh diri) dengan alasan apapun.
B. Motif bunuh diri
Pada dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat (ini adalah
sistematika). Dalam hubungan sebab akibat ini akan menghasilkan suatu alasan atau sebab
tindakan yang disebut motif.
Motif bunuh diri ada banyak macamnya, misalkan :
1) Dilanda keputusasaan dan depresi
2) Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
3) Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).
4) Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)
5) Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan
Dalam ilmu sosiologi, ada tiga penyebab bunuh diri dalam masyarakat, yaitu :
1) Egoistic suicide (bunuh diri karena urusan pribadi),
2) Altruistic suicide (bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain), dan
3) Anomic suicide (bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan).
Mengenai bunuh diri, Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Telah berkata: Abu Bakar Ibn
Arabi: "Didalamnya tidak ada hadits shahih dan tidak pula hadits hasan. Sedangkan Ibnul
Jauzi telah Bunuh diri adalah telah menjelaskan bahwa orang yang bunuh diri suatu dosa
besar. Nabi akan disiksa sepadan dengan cara yang ia gunakan untuk membunuh dirinya.
bersabda: Nabi Dari Abu Hurairah
"Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung, lalu membunuh dirinya, maka ia berada
didalam neraka Jahannam meluncur didalamnya dengan kekal selama-lamanya didalamnya,
barangsiapa meminum racun lalu membunuh dirinya, maka racun itu berada ditangannya, ia
selalu meminumnya didalam neraka Jahannam kekal selama-lamanya didalamnya, dan
barangsiapa membunuh dirinya dengan sebuah besi, maka besinya berada ditangannya, ia
akan menusuk-nusukkannya di perutnya didalam neraka Jahannam dengan kekal selama-
lamnya didalamnya." (HR. Bukhari 5442, Muslim 109)
6. C. KESIMPULAN
Pada prinsipnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti
mendahului takdir. Begitu juga dengan bunuh diri. Allah telah menentukan batas akhir usia
manusia. Dengan mempercepat kematiannya, seorang manusia tidak mendapatkan manfaat
dari ujian yang diberikan Allah SWT kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya
Rasulullah SAW bersabda: “ Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah,
baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya,
kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya
itu.” (HR Bukhari dan Muslim).