Dokumen tersebut membahas tentang asuhan keperawatan pada klien dengan spina bifida. Secara ringkas, dokumen tersebut membahas konsep medik dan diagnosa spina bifida serta penatalaksanaannya, konsep asuhan keperawatan yang mencakup pengkajian, diagnosa, dan perencanaan tindakan keperawatan.
3. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Spina Bifida (Sumbing Tulang
Belakang) adalah suatu kondisi
dimana terdapat suatu celah
pada
tulang
belakang
(vertebra), yang terjadi karena
bagian dari satu atau beberapa
vertebra gagal menutup atau
gagal terbentuk secara utuh.
Keadaan ini biasanya terjadi
pada minggu ke empat masa
embrio.
4. 2. Etiologi
Penyebab spesifik tidak diketahui. Diduga akibat:
Kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada awal
kehamilan.
Resiko akan melahirkan anak dengan spina bifida 8 kali
lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak spina
bifida.
5. 3. Klasifikasi
• Spina bifida terbagi menjadi dua yaitu, spina bifida okulata
(tidak terlihat dari luar) dan spina bifida aperta (terlihat dari
luar).
1. Spina bifida okulta Merupakan defek
yang tidak terlihat dari luar. Defek ini
dapat terjadi lebih sering pada area
lumbosakral ( L5 dan S1 ). ( Donna L.
Wong, 2008: 1425 )
6. 2. Spina bifida aperta Merupakan
defek yang dapat terlihat dengan
penonjolan mirip kantong. Dua
bentuk utama spina bifida aperta
adalah meningokel, yang
menutupi meninges dan cairan
spinal tetapi bukan elemen neural;
dan mielomeningokel yang berisi
meninges, cairan spinal dan
nervosus. ( Donna L. Wong, 2008:
1425 )
7. 4. Manifestasi Klinis
• Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah
pada bayi baru lahir jika disinari, kantung tersebut tidak
tembus cahaya
• Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki
• Penurunan sensasi.
• Inkontinensia urin
• Lekukan pada daerah sakrum.
8. 5. Patofisiologi
Penyebab terjadinya spina bifida dipengaruhi dari
factor congenital dan konsumsi asam folat ibunya.
Kekurangan konsumsi asam folat oleh ibu saat
hamil membuat proses maturasi organ-organ
tubuh bayi terganggu sehingga berakibat lahir
spina bifida. Pengaruh perkembangan embrio
yang terganggu mengakibatkan kanalis vertebra
tidak mampu menutup dengan sempurna sehingga
mengakibatkan kegagalan fungsi arkus pada
lumbal dan sacral yang mengakibatkan adanya
benjolan massa pada tulang vertebra di
lumbosacral.
9. Lanjutan…
Spina bifida terbagi menjadi dua yaitu, spina
bifida okulata dan spina bifida aperta. Spina
bifida okulta mengakibatkan paralisis spastik.
Sedangkan spina bifida aperta berpengaruh
terhadap struktur saraf sehingga berakibat
deficit neuorologis. Deficit neurologis
menyebabkan paralisis sensorik dan motorik
yang berakibat paralisis anggota gerak bagian
bawah.
11.
Pemeriksaan spina bifida didasarkan pada manifestasi klinis
dan pemeriksaan sakus meningeal. Pemeriksaan diagnostik
yang dilakukan untuk mengevaluasi otak dan medulla spinalis
meliputi pencitraan resonansi magnetic (Magnetic Resonance
Imaging, MRI), Ultrasuara, tomografi terkomputerisasi
(Computed
Tomography,
CT),
dan
mielografi.
12. 8. Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan untuk menutup lubang yang terbentuk
dan untuk memperbaiki kelainan bentuk fisik yang sering
menyertai spina bifida. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan
sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk
mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih
dan infeksi lainnya, diberikan antibiotik.
Untuk mengatasi gejala muskuloskeletal (otot dan kerangka
tubuh) perlu campur tangan dari ortopedi (bedah tulang)
maupun terapi fisik. Kelainan saraf lainnya diobati sesuai
dengan jenis dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi.
13. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Identitas Pasien
Keluhan utama
Riwayat Penyakit Saat Ini
Adanya keluhan defisit neurologis dapat bermanifestasi sebagai gangguan motorik
(paralisis anggota gerak bawah) dan sensorik pada ekstremitas inferior dan atau
gangguana kandung kemih dan sfingter lambung. Keluhan adanya deformitas kaki
dan
kelemahan
otot
kaki
merupakan
cacat
yang
tersering.
14. Lanjutan….
• Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
perumbuhan dan perkembangan anak, riwayat pernahkah
mengalami mielomeningokel sebelumnya, riwayat infeksi
ruang subaraknoid (terkadang juga meningitis kronis atau
rekuren) riwayat tumor medulla spinalis, poliomielitis, cacat
perkembangan tulang belakang seperti diastematomielia, dan
deformitas kaki (Arif Muttaqin, 2008: 418).
15. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan persistem (B1B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
klien.
16. 1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan yang berhubungan dengan
inaktivitas yang berat. Pada beberapa keadaan hasil dari
pemeriksaan fisik ini tidak ada kelainan.
2) B2 (Blood)
Nadi bradikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan
otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok.
17. 3) B3 (Brain)
Spina bifida menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama disebabkan
pengaruh peningkatan tekanan intracranial. Pengkajian B3 (Brain)
merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian
pada sistem lainnya.
a) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indicator
paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Tingkat kesadaran spina
bifida biasanya adalah compos mentis.
b) Pemeriksaan fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien spina
bifida tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status mental.
Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan klien spina bifida tidak
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori jangka pendek maupun
jangka panjang.
18. c) Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I
Saraf II
Saraf III, IV dan VI
Saraf V
Saraf VII
Saraf VIII
Saraf IX dan X
Saraf XI
Saraf XII
: fungsi penciuman normal
: fungsi penglihatan baik, kecuali apabila spina
bifida disertai peningkatan TIK yang lama
akan didapatkan papiledema.
: biasanya tidak ada kelainan pada saraf-saraf
ini
: biasanya tidak ada kelainan dalam prose
mengunyah
: persepsi pengecapan biasanya tdk ada
perubahan
: biasanya tidak didapatkan adanya perubahan
fungsi pendengaran
: kemampuan menelan baik, tidak ada
kesukaran membuka mulut
: mobilitas leher biasanya normal
: indra pengecapan tidak mengalami
perubahan
19. d) Sistem motorik
Inspeksi umum, didapatkan paralisis spastik,
deformitas kaki unilateral (kaki kecil) dan
kelemahan otot kaki merupakan cacat yang
tersering. Paralisis motorik terutama mengenai
anggota gerak bawah.
e) Sistem sensorik
Kehilangan sensasi sensorik anggota gerak bawah.
Paralisis sensorik biasanya bersama-sama dengan
paralisis motorik dengan distribusi yang sama.
20. 4) B4 (Bladder)
Pada spina bifida tahap lanjut klien mungkin
mengalami inkontinensia urin karena konfusi dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena
kerusakan kontrol motorik dan pascaural. Kadangkadang kontrol sfingter urinarius eksternal.
(Arif Muttaqin, 2008:
5) B5 (Bowel)
Tanda-tanda inkontinensia alfi.
6) B6 (Bone)
Kaji adanya kelumpuhan atau kelemahan.Tanda-tanda
decubitus karena tirah baring lama dan kekuatan otot.
21. g) Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan cairan amnion janin,
ultrasonografi, atau konsentrasi alpha –
fetoprotein serum maternal (MSAFP) akan
dapat mendeteksi masalah prenatal.
Ultrasonografi, CT scan, MRI, dan mielografi
akan mengevaluasi lesi, jumlah saraf yang
terlibat. (Mary E. Muscari, 2005 : 410)
22.
Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien dan keluarga (orang tua) untuk menilai respon
terhadap penyakit yang diderita dan perubahan
peran dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah
ada dampak yang timbul pada klien dan orang
tua, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakuakan
aktivitas secara optimal.
24. 2. Diagnosa Keperawatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Risiko cedera berhubungan dengan lesi spinal.
Resiko Infeksi berhubungan trauma jaringan (insisi luka
opersi)
Nyeri akut berhubungan dengan injuri fisik
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kendali otot
Inkontinensia urinarius refleks berhubungan dengan
gangguan neurologis
Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
imobilisasi fisik.
Ansietas (ortu) berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang penyakit anak
25. 3. Perencanaan Keperawatan
Dx 1: Risiko cedera berhubungan dengan
lesi spinal.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pasien tidak mengalmi cedera pada sisi
lesi spinal.
Kriteri Hasil:
1) Kantong meningeal tetap utuh
Free Powerpoint Templates
Page 25
26. 1.
2.
3.
4.
Rawat bayi dengan cermat. Rasional: Untuk mencegah
kerusakan pada kantung meningeal atau sisi pembedahan.
Tempatkan bayi pada posisi telungkup atau miring.
Rasional: Untuk menghindarkan tegangan pada kantong
meningeal atau sisi pembedahan.
Gunakan alat pelindung di sekitar kantong misal: selimut
plastic bedah. Rasional: Untuk memberi lapisan pelindung
agar tidak terjadi iritasi serta infeksi.
Berikan materi edukasi yang berhubungan dengan strategi
dan tindakan untuk mencegah cedera. Rasional:
menambah pengetahuan keluarga.
27. Dx 2 : Resiko Infeksi berhubungan dengan trauma
jaringan (insisi bedah)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam pasien akan terbebas dari tanda dan
gejala infeksi.
Kriteria Hasil :
1) Suhu normal 36.5-37.5○ C
2) leukosit dlm batas normal (5700-18000, bayi)
28. I
n
t
e
r
v
e
n
s
i
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pantau tanda dan gejala infeksi (suhu tubuh, denyut
jantung dan penampilan luka). Rasional: peningkatan suhu
tubuh dan denyut jantung mengindikasikan adanya infeksi.
Lakukan perawatan luka. Rasional: mencegah terjadinya
komplikasi pada luka dan memfasilitasi penyembuhan
luka.
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah melakukan
tindakan keperawatan. Rasional: mencegah terjadi infeksi
nosokomial.
Monitor nilai leukosit. Rasional: nilai leukosit merupakan
indicator adanya infeeksi.
Tingkatkan intake nutirsi. Rasional: Nutrisi yang baik dapat
meningkatkan imun.
Kolaborasi dalam pemberian antibiotik. Rasional:
mencegah terjadinya infeksi.
29.
Dx 3 : Nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera fisik (luka insisi bedah) ditandai dengan:
DO: ekspresi wajah meringis, menangis.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam nyeri pasien berkurang hingga
hilang.
Kriteria hasil :
1)
Tanda-tanda vital dalam batas normal
2)
Klien tidak menangis
3)
Klien tampak rileks
30. Intervensi
1. Kaji tingkat nyeri. Rasional: mengetahui tingkat
nyeri dan kualitas nyeri.
2. Observasi tanda vital. Rasional: mengetahui
keadaan umum pasien1
3. Ajak keluarga untuk hadir dekat klien untuk
memberikan rasa nyaman seperti dengan
mengusap-usap klien. Rasional: klien merasa lebih
tengan bila dekat dengan keluarganya.
4. Kolaborasi dengan dokter pemberian analgesik dan
antibiotik. Rasional: analgesik dapat mengurangi
nyeri dan antibiotik dapat menghilangkan infeksi.
31. • Dx4: hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
penurunan kendali otot ditandai dengan keterbatasan
menggerakan ekstremitas bawah.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam klien akan memperlihatkan mobilitas
Kriteria hasil:
Tidak mengalami gangguan pergerakan sendi dan otot
pada ekstremitas bawah
32. 1. Kaji kemampuan mobilitas yang ada.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan
klien dalam mobilisasi.
2. Ubah posisi klien setiap dua jam sekali.
Rasional: menurunkan risiko terjadinya
trauma iskemia jringan. Daerah yang
terkena mengalami perburukan sirkulasi.
3. Atur jadwal dan berikan pasien latihan
ROM. Rasional: mencegah komplikasi dari
paralisis.
4. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
Rasional: meningkatkan kemampuan
dalam mobilisasi ekstremitas
33. Dx5: Inkontinensia urinarius refleks berhubungan
dengan gangguan neurologis
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan integritas kulit
dekat kelamin tetap baik
Kriteria hasil:
1)
Tidak mengalami kerusakan kulit
karena selalu basah terkena urine.
34. Interven
si Kaji pola berkemih dan tingkat inkontinensia urin.
1.
2.
3.
4.
Rasional: sebagai data dasar untuk intervensi
selanjutnya
Berikan perawatan pada kulit klien yang basah
karena urin (dilap dengan aitr hangat kemudian
dilap kering dan diberi bedak). Rasional:
perawatan yang baik dapat mencegah iritasi
pada kulit klien.
Ajarkan keluarga perawatan kulit klien. Rasional:
agar keluarga dapat berpartisipasi dalam
perawatan klien.
Beri terapi antibakteri, sesuai program dokter.
Rasional: mencegah terjadinya infeksi.
35. • Dx 6: Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan imobilisasi fisik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit tidak
terjadi.
Kriteria hasil:
1. Pasien akan memiliki warna kulit normal.
2. Tidak ada ulkus dekubitus
36. Intervensi
1. Monitor adanya kemerahan pada kulit. Rasional:
melihat adanaya tanda-tanda kerusakan integritas kulit.
2. Gunakan kasur penurun tekanan. Rasional:
mengurangi tekanan kulit/jaringan.
3. Ubah posisi pasien setiap dua jam sekali. Rasional:
mengubah posisi dapat mengurangi lama penekanan
jaringan yg dapat menyebabkan dekubitus dan dapat
meningkatkan sirkulasi darah.
4. Pertahankan tempat tidur bersih, kering dan bebas
kerutan. Rasional: mencegah ulkus dekubitus.
37.
Dx 7: Ansietas (ortu) berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang prosedur opersi anak ditandai
dengan:
DO: klien tampak gelisah, klien menangis
DS: klien mengantakan khawatir terhadap anaknya yg
akan dioperasi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan ansietas berkurang
Kriteria Hasil:
1.
klien tidak menangis
2.
Klien menggunakan teknik distraksi untuk
meredahkan ansietas.
38. I
n
t
e
r
v
e
n
s
i
1.
2.
3.
4.
5.
6.
kaji tingkat kecemasan. Rasional: mengetahui koping
individu
Jelaskan tentang semua prosedur operasi yang akan
dijalani anak. Rasional: khayalan yang disebabkan
kesalahpahaman dapat miningkatkan tingkat ansietas.
Berikan kesempatan kepada keluarga untuk
mengungkapkan perasaan. Rasional: membina
hubungan saling percaya.
Ajarkan klien teknik distraksi seperti menonton tv untuk
meredahkan ansietas. Rasional: mengalihkan pikiran
klien dari ansietas.
Rujuk pasien pada perawat keluarga atau
komunitas, bila perlu. Rasional: membantu orangtua
menghadapi keadaan sakit pada anaknya.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat untuk
menurunkan ansietas, bila perlu. Rasional: membantu
menenangkan klien.