Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Semester 3 Prodi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Anggota Kelompok
Adhe Permana, Aulia Rahma, Nailul Ummah, Reny Afrita Dewi
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
Faktor Risiko DBD di Tambang Batubara
1. PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jl. Achmad Yani Km. 36 Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714 Telp: (0511)
4773868 Fax: (0511) 4781730, Kalimantan Selatan, Indonesia
2. i
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada :
1. Rektor Universitas Lambung Mangkurat
Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
2. Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung
Mangkurat
Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, S.T., M.T.
3. Kepala Prodi Teknik Lingkungan Universitas
Lambung Mangkurat
Rijali Noor, S.T.,M.T.
4. Dosen Mata Kuliah Epidemiologi
Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp., S.T., Mkes.
5. Anggota Kelompok :
1) Adhe Permana
2) Aulia Rahma
3) Nailul Ummah
4) Reny Afrita Dewi
3. ii
TUGAS MATA KULIAH
EPIDEMIOLOGI
Faktor Risiko Akibat Penambangan Batubara Terhadap Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) Di Asam-Asam Kabupaten Tanah Laut Kalimantan
Selatan
OLEH :
Adhe Permana (H1E113221)
Aulia Rahma (H1E113007)
Nailul Ummah (H1E113210)
Reny Afrita Dewi (H1E113218)
Dosen :
Dr. Qomariyatus Sholihah,Dipl. hyp, ST,M.Kes
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2014
4. iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan
segala rahmat dan hidayah-Nya serta kesehatan kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan tugas skripsi tentang “Faktor Risiko Kejadian Deman Berdarah
dengue (DBD) Terhadap Penduduk Sekitar Tambang Batubara di Kelurahan Asam-
asam Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan ”ini tepat pada waktunnya.
Penulis Mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Epidemiologi
Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp.ST,M.Kes serta semua pihak yang telah
memberikan saran dan arahan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini sangat jauh dari kata kesempurnaan,mengingat refrensi yang
didapat tidak terlalu banyak. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini di masa
mendatang.
Banjarbaru, Desember 2014
Penulis
5. iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................iii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iv
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................3
BAB II ..........................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................4
2.1 Pertambangan Batubara..................................................................................4
2.2 Perkembangan Pertambangan Batubara.........................................................5
2.3 Lingkungan Pertambangan................................................................................10
2.4 Aktivitas Pertambangan Batubara................................................................10
2.5 Dampak Aktivitas Pertambangan.................................................................11
2.6 Kasus yang Berkaitan dengan Kegiatan Pertambangan ...............................16
2.7 Epidemiologi DBD.......................................................................................23
2.8 Etiologi DBD................................................................................................24
2.9 Patogenesis DBD..........................................................................................25
6. v
3.1 Alat Pengumpulan Data................................................................................29
3.2 Rencana Pengolahan dan Analisis Data .......................................................30
BAB IV.......................................................................................................................31
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................31
4.1 Lingkungan Perusahaan Tambang Batubara PT X ......................................31
4.2 Lingkungan Pemukiman...............................................................................31
4.3 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku (PSP) Masyarakat ...................................32
4.4 Lingkungan Fisik..........................................................................................37
BAB V.........................................................................................................................40
PENUTUP..................................................................................................................40
5.1 Kesimpulan...................................................................................................40
5.2 Saran.............................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................41
LAMPIRAN...............................................................................................................45
7. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang banyak terdapat industri
pertambangan mineral salah satunya yaitu pertambangan batubara, baik secara
legal maupun ilegal. Saat ini usaha pemanfaatan sumber daya alam batubara yang
secara resmi (legal) di Kalimantan Selatan dilakukan oleh beberapa perusahaan
besar, menengah dan skala kecil ataupun perorangan. Selain yang legal,
pertambangan batubara juga banyak terdapat yang ilegal, dimana aktivitasnya
sampai saat ini semakin marak berkembang. Pada umumnya semua aktivitas
pertambangan batubara tersebut dilakukan dengan menggunakan metode
penambangan secara terbuka atau open pit (Mardiana, 2010).
Menurut Bapedalda 2007, areal tambang batubara di Kalimantan Selatan
yang belum direklamasi sebanyak 10.444 ha dari 12.944 ha yang berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan diwaktu mendatang. Sebagian besar lahan bekas
galian pertambangan batubara dibiarkan terbuka berupa lubang besar atau berupa
danau karena sudah terisi oleh air hujan, dan kemungkinan hal tersebut dalam
jangka waktu yang lama akan berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk. Akibat adanya perluasan tambang dengan cara membuka areal baru
aktivitas pertambangan menyebabkan kerusakan lingkungan kawasan hutan,
sawah, ladang atau kebun milik penduduk serta ekosistem areal sekitar tambang,
kondisi seperti ini terjadi hampir disemua lokasi tambang yang ada di Kalimantan
Selatan.
Sejak kemunculan lubang-lubang bekas galian tambang yang dibiarkan
begitu saja di sekitar kawasan pengerukan batubara, warga mulai mengeluhkan
berbagai penyakit yang muncul. Terdapat ratusan lubang bekas galian yang
tersebar diberbagai kabupaten penghasil batubara. Selain air didalam lubang
beresiko mengganggu kesehatan warga jika dikonsumsi, lubang bekas galian
tambang tersebut juga menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Malaria dan
8. 2
nyamuk Demam Berdarah serta keong. Menurut dr Zairullah Ashar, kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Kalsel (kini Bupati Kabupaten Tanah Bumbu), penyakit yang
berpotensi adalah Demam Berdarah, Malaria, pastiulos buski, elephantis dan
penyakit lainnya yang disebabkan oleh nyamuk dan keong (Walhi, 2013).
Kabupaten Tanah Laut termasuk salah satu wilayah yang banyak terdapat
pertambangan batubara. Secara geografis letak Kabupaten Tanah Laut sebelah
barat dan sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa, sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Banjar dan sebelah timur dengan Kabupaten Tanah Bumbu.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2012
terdapat 94 kasus penyakit demam berdarah sedangkan pada 2011, terdapat satu
warga meninggal dunia dari 36 kasus. Pada 2010 empat meninggal dunia dari 234
kasus. Kabupaten Tanah Laut termasuk salah satu kasus serangan DBD terbanyak
di Kalimantan Selatan dengan prevalansi 0,26% (rentang: 0,14 – 0,59). (Anjar,
2012).
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi tular vektor
yang sering menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB), dan tidak sedikit
menyebabkan kematian. Penyakit ini bersifat musiman yaitu biasanya musim
hujan yang memungkinkan vektor penular (Aedes Aegypti) hidup di genangan air
bersih. Untuk memahami faktor-faktor dari perubahan lingkungan penambangan
batubara maka akan dilakukan penelitian faktor risiko lingkungan, pengetahuan,
sikap dan perilaku masyarakat yang bermukim di sekitar daerah pertambangan
batubara tersebut (Mardiana, 2010).
Pada penelitian ini kegiatan yang akan dilakukan adalah studi kondisi
lingkungan di sekitar tempat penambangan dan pemukiman. Dan untuk
mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) masyarakat setempat
dilakukan wawancara (kuantitaf) dengan menggunakan kuesioner. Data yang
diperoleh akan dianalisis secara statistik menggunakan komputer dan hasilnya
berbentuk tabulasi dan narasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai data dasar dan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
.
9. 3
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hubungan faktor lingkungan fisik berupa lingkungan tambang batubara,
lingkungan tempat tinggal, sarana sanitasi dan Tempat Penampungan Air
(TPA).
2. Hubungan faktor lingkungan sosial dan budaya berupa PSP (pengetahuan,
sikap dan perilaku) dan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) pada
masyarakat.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan faktor risiko
kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang berbasis
lingkungan, dan PSP masyarakat akibat penambangan batubara.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui kondisi lingkungan tempat tinggal masyarakat sekitar
tambang batubara sebagai faktor kejadian demam berdarah.
2. Mengetahui aspek lingkungan sosial dan budaya berupa PSP
(Pengetahuan, Sikap dan Perilaku) masyarakat di pemukiman
penambangan batubara.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah daerah
setempat mengenai faktor risiko lingkungan terhadap kejadian demam
berdarah di sekitar pemukiman penambangan batubara.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberi informasi bagi penduduk
di sekitar pemukiman penambangan batubara yang berhubungan dengan
penyakit demam berdarah.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka
meningkatkan upaya-upaya pencegahan demam berdarah khususnya di
wilayah sekitar pertambangan batubara.
10. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertambangan Batubara
Batubara Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang
terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Pertambangan adalah sebagian
atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangltutan dan penjualan,
serta kegiatan pascatambang. Jadi tambang batubara adalah seluruh tahapan kegiatan
dalam rangka penelitian dan pengusahaan mineral berupa batubara (Wicaksono,
2009)
Potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh negara Indonesia sangat
melimpah. Potensi tersebut merupakan modal berharga yang dimiliki dalam rangka
upaya-upaya pembangunan nasional dibidang wisata alam dan devisa dari sektor non-
migas. Sumber daya yang ada harus dimanfaatkan secara efektif dan maksimal
dengan mengacu pada program yang berkelanjutan dengan memperhaikan upaya-
upaya konservasi agar hasilnya memuaskan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga
dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan secara berkesinambungan.
Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan
untuk komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan
komoditas batubara. Selain komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas
batuan memiliki peran yang sama pentingnya terutama dalam memberikan dukungan
material untuk pembangunan infrastruktur antara lain: pendirian sarana infrastruktur
jalan, pembangunan perumahan, dan gedungperkantoran. (Pangeran Ricky, 2013).
Perlu diketahui, sektor pertambangan di Indonesia merupakan sektor
penyumbang devisa negara terbesar.. Sektor ini menyumbang 36% dari pendapatan
negara pada tahun 2008 (Kementerian ESDM, 2009 dalam Pertiwi, 2011). Sektor
pertambangan selain sebagai sumber devisa, juga dapat menyerap tenaga kerja dalam
jumlah yang besar sehingga akan berdampak positif dalam pembukaan lapangan
11. 5
kerja. Salah satu komoditi yang menjadi unggulan pada sektor pertambangan adalah
batubara, dimana menyumbang penerimaan negara sebesar 2,57 trilyun pada 2004,
dan meningkat menjadi 8,7 trilyun pada tahun 2007 (Ermina, 2008), artinya telah
terjadi peningkatan penerimaan negara dari komoditi ini, seiring dengan peningkatan
produksi batubara untuk memenuhi kebutuhan baik dalam negeri maupun untuk
keperluan ekspor. Sektor pertambangan merupakan sektor yang strategis, selain itu
bagi daerah yang kaya sumberdaya alamnya, pertambangan merupakan tulang
punggung bagi pendapatan daerah tersebut (Djajadiningrat, 2007 dalam Dedek
Apriyanto ).
2.2 Perkembangan Pertambangan Batubara
2.2.1 Perkembangan Pertambangan Batubara Di Indonesia
Pada suatu ketika, di awal decade 70-an, dunia dicekam ketegangan. Perang
menjalar di Timur Tengah. Negara – Negara Arab menyerang Israel dan terjadilah
krisis minyak Presiden Soeharto, waktu itu, memandang bahwa batu bara layak
menjadi sumber energi alternatif. Ia pun menginstruksikan para menteri untuk
mengembangkan batu bara. Pada 1980, pemerintah RI mengundang kalangan investor
dunia untuk pengembangan potensi batu bara di Kalimantan dan Sumatra. Para
investor asing itulah yang kemudian menjadi kontraktor pengembangan batu bara di
bawah naungan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) generasi pertama.
PKP2B generasi pertama diteken antara kurun 1981 hingga 1990. Tercatat,
ada 11 perusahaan pertambangan yang dibentuk untuk menjalankan kontrak itu.
Volume produksi batu bara dari para kontraktor PKP2B generasi pertama itu amat
besar. Hingga saat ini, pemerintah sudah meneken 376 kontrak pertambangan batu
bara. Ada 141 kontrak PKP2B dari generasi I hingga VII. Volume produksi
kontraktor PKP2B generasi pertama tercatat menyumbang 75% dari seluruh total
produksi.Para pemain pertama itu memang mendapat banyak keuntungan. Semua
kontraktor PKP2B generasi pertama, misalnya mendapat ketentuan system
perpajakan yang telah tetap. Jadi sepanjang masa kontraknya, perusahaan tidak
12. 6
terkena aturan pajak baru. Jika ada pajak baru yang tidak tercatat dalam kontrak,
maka pemerintah akan me-reimburse nilai yang sama pada kontraktor.
Pada tahun 2005, Mentri Keuangan merilis peraturan No 95 tentang pungutan
ekspor batu bara untuk meningkatkan pasokan batu bara ke pasar domestik.
Nyatanya, beleid itu tidak efektif. Para kontraktor PKP2B generasi I tidak terkena
aturan baru itu. Padahal 75% produksi batu bara berada di tangan mereka. Alhasil,
pungutan ekspor yang didapat sangat minim.
Pada tahun 1983, lahir UU tentang pajak pertambahan nilai (PPN). Karena
PPN lahir setelah sejumlah PKP2B diberlakukan, maka PPN juga tidak masuk dalam
kewajiban kontraktor PKP2B generasi pertama. Kalau PPN itu dibayar oleh
perusahaan PKP2B, pemerintah wajib mengganti. Enak nian, memang. Belakangan,
mekanisme pengembalian itu tersendat. Dari situlah, konflik antara konraktor PKP2B
generasi pertama dengan Lapangan Banteng Berkobar.
Saat ini, perusahaan–perusahaan PKP2B generasi pertama sudah tidak lagi
merupakan perusahaan asing. Sesuai kontrak PKP2B itu pula, asing-asing tadi
memang harus menjual sahamnya ke perusahaan domestic dalam kurun tertentu
setelah kontrak berjalan. Di saat harga batu bara mahal seperti saat ini, kontrak
PKP2B generasi pertama itu sekarang telah berhasil menjadikan para pemilik barunya
masuk dalam daftar orang-orang terkaya di negeri ini. Mungkin ini yang membuat
mereka terlihat begitu pede ketika harus berhadapan dengan para pejabat Departemen
Keuangan.
Contoh 5 perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia
1. PT KALTIM PRIMA COAL (KPC)
Awalnya, KPC merupakan perusahaan patungan milik Rio Tinto Australia
(50%) dan British Petroleum (50%) dari Inggris. KPC adalah operator batu bara
terbesar di Indonesia. Kegiatan produksi secara komersial di KPC dimulai pada tahun
1991. setelah itu KPC sanggup memproduksi batu bara secara stabil di level stabil 15
juta metric ton per tahun. Kini, KPC berada di bawah kepemilikan PT Bumi
13. 7
Resources, unit usaha kelompok Bakrie. Pada tahun 2007 silam produksi KPC
mencapai 50 juta metric ton.
2. PT ARUTMIN INDONESIA
Sejak awal kelompok Bakrie terlibat di Arutmin. Perusahaan ini tadinya
merupakan hasil; kongsi antara Bakrie (20%) dengan BHP Minerals Australia (80%).
Arutmin mengoperasikan dua tambang terbuka di Kalimantan Selantan. Arutmin bias
memproduksi 19 juta metric ton batu bara setiap tahun. Kini, Arutmin juga
sepenuhnya berada di bawah naungan PT Bumi resource.
3. PT ADARO INDONESIA
Perusahaan ini sekarang dimiliki PT Adaro Energy. Awalnya, Adaro dimiliki
oleh New Hope Corporation Australia (50%), PT Asminco Bara Utama Indonesia
(40%), dan Mission Energy Amerika (10%). Adaro memiliki sumber daya batu bara
sekitar 2,803 milliar ton-separuhnya merupakan cadangan. Saat ini, produksi tahunan
Adaro sekitar 40 juta ton- nyaris setara dengan 20 % produksi nasional yang,
sepanjang tahun 2007, mencapai 205 juta ton. Adaro pernah dilaporkan melakukan
transfer pricing pajak. Selain itu, Adaro punya kasus sengketa saham dengan Beckett
Pte. Ltd. gara-gara kredit yang diberikan Deutsche Bank sebesar US$ 100 juta kepada
Asminco. Pemilik Asminco adalah PT Swabara Mining energy. Beckett adalah
pemilik utama Swabara. Asmingo mengalami gagal bayar dan Deutsche Bank
mengeksekusi jaminan utang asminco di Adaro dan IBT kepada pemilik Adaro
sekarang, seharga US$ 46 juta. Syahdan, penjualan itu dilakukan secara diam-diam
dan harganya kemurahan.
4. PT BERAU COAL
PT Berau Coal saat ini berada di tangan kendali PT Armadaian Tritunggal (51%)-
milik Rizal Risjad (anak Ibrahim Risjad). Selain itu, ada juga Rognar holding BV
Belanda (39%), dan Sojitc Corp dari Jepang. Tadinya, Berau dimiliki oleh United
Tractors (60%), PT Pandua Dian Pertiwi (20%), dan Nissho Iwai (20%). Berau
memiliki tiga lokasi tambang di kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yaitu Lati,
Binungan, dan Sambrata. Berau memegang Perjanjian Karya Pengusahaan
14. 8
Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan pemerintah Indonesia atas konsesi sekitar
118 ribu hectare (ha) dengan lahan produksi 40 ribu ha. Tahun ini perusahaan
menargetkan produksi 15 juta metric ton batu bara setelah tahun lalu mebukukan 12,5
juta ton.
5. PT KIDECO JAYA AGUNG
Saat ini, Kideco adalah andalan utama PT Indika Energy ( milik keluarga
Sudwikatmono). Tadinya, seluruh saham Kideco dimiliki amtan Co. Ltd. Dari Korea
Selatan. Di tahun 2008, Kideco menargetkan volume penjualan sebesar 22 juta metric
ton dengan perkiraan harga rata-rata antara US$ 45-48 per ton. Tahun depan, Kideco
berniat menggenjot produksi hingga 30 juta metric ton.
2.3 2.. Perkembangan Pertambangan Batubara Di Kalsel
Kalimantan Selatan dikenal kaya dengan potensi batubara, nomor 3 di Indonesia
setelah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Keberadaannya menyebar di
seluruh Kabupaten di Kalsel. Pengerukannya ada yang secara legal, dengan
menggunakan ijin KK(kontrak karya),PKP2B(perjanjian karya pengusaha batubara)
atau KP(kuasa penambang) yang diterbitkan pemerintah daerah. Namun tidak sedikit
yang merupakan tambang ilegal4. Semuanya menggunakan metode penambangan
secara terbuka, yang berbiaya murah namun memiliki ongkos ekologi yang sangat
besar, termasuk dampaknya terhadap masyarakat di sekitar kawasan, lingkungan dan
keberlanjutan alam. Tambang batu bara merupakan salah satu penggerak roda
perekonomian dan pembangunan nasional baik sebagai sumber energi maupun
sumber devisa Negara. Produksi batubara Indonesia yang di ekspor sebesar 75% dari
327 juta ton total produksi batu bara,sedangkan sisanya 25% hanya untuk mremenuhi
kebutuhan dalam negeri (Rakhmad Wicaksono, 2014).
Saat ini di Kal-Sel ada 510 kuasa pertambangan, dan 23 PKP2B luas seluruh
perizinan mencapai 1.2 juta hektar , Ada 700 ribu Ha izin kebun sawit dari realisasi
1,1 juta perkebunan, HPH sebesar 261.966,67 hektar, izin konsesi HTI seluas
383.683,46 ha. Total perizinan 2,5 juta Ha (luas daratan Kalsel 3,7 juta Ha, Produksi
15. 9
tambang batu bara di Tahun 2010 tercatat 86 juta ton atau turun 10 juta ton
dibandingkan produksi 2009 yang mencapai 96 juta ton., Namun secara umum,
sepanjang 10 tahun terakhir produksi batubara Kal-Sel terus mengalami peningkatan
cukup signifikan, bahkan dalam lima tahun tercatat 444 juta ton batubara dikeruk dari
bumi Kal-Sel. Masa Orde lama kebijakan Nasional menutup perusahaan asing
termasuk batubara di Kal-Sel. Sampai dengan berakhirnya masa regim pemerintahan
Orde Lama ditahun 1965/1966. Tetapi Masa Orde baru kegiatan eksploitasi sumber
daya alam secaraumum di Indonesia secara besar besaran di mulai dengan
berkuasanya pemerintahan Soeharto.
Di awali dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS Tahun
1966, Pembaharuan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Perubahan
kebijakan ekonomi pada tahun 1966. Keluarnya UU No 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing yang membuka pintu kepada negara melakukan eksploitasi
sumber daya alam Indonesia. Kemudian UU tersebut di dukung oleh UU No 5 Tahun
1967 tentang Pokok Kehutanan yang menyebabkan hutan diserahkan pemerintah
kepada pengusaha.Sektor pertambangan di Kalimantan Selatan di mulai dengan di
keluarkannya kebijakan Kepres No. 49/1981 mengenai Kontrak Pengusahaan Batu
bara Generasi I atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batu bara (PKP2B).
Di Kalimantan Selatan ada 3 perusahaan, yaitu PT. Arutmin, PT. Adaro dan
PT. Chong Hua OMD (yang kemudian dicabut izinnya). Ketiga kontraktor ini diberi
cadangan areal sekitar 230.000 hektar. Lokasi tambang Arutmin berada di Kabupaten
Kota Baru, sementara Adaro di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Tabalong,
sedangkan Chung Hua OMD di Kabupaten Banjar. Pada tahun 1993, jumlah
perusahaan pertambangan dengan menggunakan PKP2B bertambah dengan
dikeluarkannya Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi II melalui kebijakan Kepres
No. 21/1993 terdiri dari 5 perusahaan yaitu PT. BCS, Bantala CM, Antang Gunung
Meratus, Jorong Barutama, Borneo Indobara. Kontrak Pengusahaan Batubara
Generasi III di keluarkan dengan kebijakan Kepres No. 75/1996 terdiri dari 11
perusahaan yaitu PT. Mantimin Coal Mining, Bara Pramulya Abadi, PT. Generalindo
16. 10
Prima Coal, Wahana barata Mining, Ekasatya Yanatama, Lianganggang Cemerlang,
Sinarindo Barakarya, Adibara Bansatra, Bukit Kalimantan Indah, PT. Senamas
Energindo Mulai, PT. Kalimantan Energi Lestari.
Hingga saat ini, hutan kalsel dieksploitasi khusus pertambangan batubara,
sebelumnya eksploitassi hutan kayu telah terjadi secara besar-besaran baik secara
legal maupun ilegal. Menurut Ketua ASPERA (Asosiasi Penambang Rakyat) kalsel
untuk tahun 2004 produksi batubara yang dihasilkan oleh PETI mencapai 10 juta
metrik ton (Akhmad Sukris Sarmadi, 2012).
2.3 Lingkungan Pertambangan
Pertambangan batubara memiliki banyak dampak positif bagi kehidupan
banyak orang, selain karena pertumbuhan ekonomi yang akan meningkat, pembukaan
area tambang akan berdampak baik bagi perkembangan infrastruktur untuk daerah
tersebut. Akan tetapi pembukaan area tambang juga akan membawa dampak negatif
bagi rusaknya lingkungan. Pembukaan lahan batubara akan banyak memakan area
hutan. Selain iu, air asam tambang yang memiliki ph rendah juga berpotensi untuk
mencemari air sungai maupun air tanah di daerah tersebut (Alistiqomah, 2013). Air
asam tambang tersebut terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral sulfida tertentu yang
terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara pada lingkungan berair (Sayoga, 2007
dalam Dyah, 2010)
2.4 Aktivitas Pertambangan Batubara
Kegiatan pertambangan batubara merupakan kegiatan eksploitasi sumberdaya
alam yang memerlukan investasi yang besar dan terutama dalam membangun fasilitas
infrastuktur. Kegiatan penambangan batub ara dapat dilakukan dengan menggunakan
dua metode yaitu (Sitorus, 2000)
1. Penambangan permukaan (surface/ shallow mining), meliputi tambang
terbuka, penambangan dalam jalur dan penambangan hidrolik.
2. Penambangan dalam (subsurfarcel deep mining).
Tahap Persiapan Penambangan Batubara
17. 11
Beberapa tahap persiapan penambangan batubara khususnya pada
penambangan terbuka (open cut mining) adalah kegiatan yang dilakukan sebelum
penambangan yang mencakup :
a. Perintisan (Pioneering)
b. Pembersihan Lahan (Land Clearing)
c. Penggalian dan Pemindaha Tanah Penutup (Overburden)
d. Penggalian Batubara
e. Reklamasi dan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Batubara
2.5 Dampak Aktivitas Pertambangan
Batubara merupakan salah satu galian termahal yang sangat
menguntungakan dan menjadi sumber energi terbesar di Indonesia. Saat ini
pertambangan batubara adalah suatu kegiatan yang membutuhkan kerja sama antar
pihak asing ataupun lokal, membutuhkan sarana dan prasana yang tentu saja tidak
sedikit biayanya serta sumber daya manusia yang cukup banyak. Tidak dipungkiri
dengan adanya kegiatan pertambangan tersebut dapat mensejahterakan pengusaha
yang terlibat maupun orang-orang yang berkaitan didalamnya.
Keuntungan yang didapat dari pertambangan tersebut memang berlimpah,
namun tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Maraknya kerusakan
lingkungan, berkurangnya produktivitas hutan, semakin menyusutnya area
perkebunan dan lahan milik rakyat dan perubamakanhan pada ekonomi masyarakat
sekitar tamabang bahkan bisa jadi menimbulkan penyakit bagi masyarakat sekitar
dekat dengan pertambangan batubara tersebut. Hal ini tentu saja merugikan bagi
masyarakat area tambang (Ziraa’ah, 2010).
Dari kegiatan pertambangan banyak dampak yang dapat terjadi baik itu positif
maupun negatif. Berikut penjelasannya :
2.5.1 Dampak Positif
Dampak positif yang didapat dari pertambangan yaitu :
18. 12
masyarakat yang bermukim disekitar pertambangan memang
mendapatkan bantuan operasinal desa dari pemilik pertambangan.
Pada dasarnya yang bekerja ditambang kebanyakan adalah orang-orang
luar pulau hanya sedikit orang lokal yang bekerja ditambang. Dilihat dari segi
keahlian orang luar pulau biasanya lebih terampil dibanding orang lokal yang
hanya bekerja sebagai petani saja, namun hal itu tidak menutup kemungkinan
peluang dan usaha kerja bagi warga masyarakat.
Dengan adanya pertambangan warga sekitar dapat meningkatkan kualitas
ekonomi keluarganya. Misalnya saja didaerah Tanjung Tabalong harga
makanan ataupun minuman yang lumayan mahal karena 80 % daerah tersebut
merupakan area pertambangan.
Perusahaan pertambangan yang memiliki keuntungan berlipah tidak akan
ragu untuk memberikan bantuan terhadap tempat peribatan dan bantuan untuk
pendidikan.
Alat transportasi yang digunakan dalam membawa hasil tambang tentu
saja membutuhkan akses jalan yang lebih terbuka dan lancar (Ziraa’ah, 2010).
2.5.2 Dampak Negatif
Dampak negatif dari aktivitas pertambangan diantaranya adalah sebagai
berikut :
Dampak buruk terhadap tanah :pertambangan membutuhkan lahan yang luas
sehingga bumi yang digali oleh para penambang. Kegiatan penambangan batubara
yang dialkukan dengan cara yang tidak tepat, dapat menimbulkan dampak negatif
tehadap lingkungan sekitar, terutama terjadinya gangguan pada keseimbangan
permukaan tanah yang cukup besar seperti, terjadinya penurunan produktivitas tanah,
pemadatan tanah, erosi, sedimentasi, longsor, terganggunya kehidupan flora dan
fauna, terganggunya kesehatan dan keamanan penduduk sekitar, perubahan iklim
yang drastis dan degradasi kesuburan tanah.
19. 13
Hutan yang digunakan untuk pertambangan adalah rumah bagi sebagian besar
orgasme. Hal ini menyebabkan musnahnya sebagian besar hewan dan
mempertaruhkan kehidupan spesies hewan lainnya. Penebangan dari pohon itu
sendiri adalah ancaman besar bagi beberapa tanaman dan hewan yang berada di
hutan. Hal ini berpengaruh negatif pada keanekaragaman hayati.
Penambangan batubara juga dapat menyebabkan perubahan sistem
geohidrologi (air dalam tanah), perubahan ruang, lahan, tanah, kestabilan lahan,
perubahan hidrologi (air) pencemaran pada kulitas air yang disebabkan oleh air asam
tambang, perubahan kualitas udara, getaran dan kebisingan, terjadinya sedimentasi
permukaan air sungai, erosi dan menurunnya biota perairan (Said, 2010).
Job site mining
Penambangan batubara secara terbuka (open mining) dengan mengeruk tanah
dipermukaanuntuk mencapai bahan galian dibagian dalam tanah menyebabkan
terbentuknya lubang-lubang yang sangat besar, lalu tanah hasil galian tersebut
dikumpulkan disatu tempat, untuk menutupi bekas galian tersebut lalu ditanami
dengan tanaman yang cepat tumbuh. Kebanyakan tanaman yang dibudiyakan
dipertambangan dan area sekitarnya adalah tanaman sawit.
Penambangan batubara yang dilakukan secara terbuka berpotensi
menimbulkan kerusakan lahan, seperti terjadinya perubahan sifat tanah, munculnya
20. 14
lapisan bahan induk yang memiliki produktivitas rendah, tanah bereaksi asam,
timbulnya garam yang mengandung sulfat tinggi sehingga dapat meracuni tanaman,
berubahnya bentang alam dan terjadinya erosi.Dampak lainnya yaitu mengganggu
proses penanaman kembali atau reklamasi pada galian tambang yang ditutupi kembali
atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun. Pada kondisi demikian
hanya tanaman tertentu saja yang dapat tumbuh (Zulkarnain, 2014).
Sebuah penilitian yang memantau tentang aktivitas pertambangan menyatakan
bahwa dampak negatif dalam jangka panjang adalah keluhan masyarakat terhadap
pencemaran pada lingkungan akibat air pembuangan atau limbah yang bocor dari
pipa ke yang mengalir ke badan sungai. Kondisi tersebut menyebabkan air sungai
sangat keruh dan tidak dapat dikonsumsi terutama saat musim penghujan tiba
akibatnya aktivitas warga sekitar terganggu (Ziraa’ah,2010).Masalah lingkungan pada
aktivitas pertambangan batubara yang selalu muncul yaitu air asam tambang (AAT)
atau acid mine drainage (AMD) (Marganingrum, 2010).
Air asam tambang adalah air yang terbentuk di lokasi penambangan dengan
pH rendah (pH <6) disebabkan karena dibukanya suatu potensi keasaman batuan
sehingga menimbulkan masalah kualitas air, pembentukannya dipengaruhi oleh tiga
faktor utama yaitu air, oksigen, dan batuan yang mengandung mineral–mineral
sulfida. Air yang asalnya dari daerah tambang mempunyai karakteristik yaitu
berwarna merah kecoklatan, bisa saja kuning atau terkadang putih keruh. Air tersebut
bisa saja bersifat asam maupun basa tergantung dari tingkat konsentrasi sulfat (SO4
2-
),
besi (Fe), mangan (Mn) juga di pengaruhi elemen-elemen seperti kalsium, sodium,
potassium, dan magnesium.
Air asam tambang akan timbul jika mineral-mineral sulfida yang terkandung
dalam bebatuan terpapar sebagai akibat dari pembukaan lahan atau pembongkaran
batuan pada saat penambangan berlangsung dan bereaksi dengan air dan oksigen.
Bakteri yang ada secara alami dapat mempercepat reaksi yang bisa menyebabkan
terjadinya air asam. Tanpa mineral sulfida pada batuan seperti pyrite atau besi sulfida,
udara dan air, air asam tambang tidak akan muncul.
21. 15
Air Asam Tambang
Munculnya air asam tambang tidak bisa diabaikan begitu saja karena
berdampak besar bagi kelestarian lingkungan baik tanah maupun air dan bagi
masyarakat sekitar baik secara langsung maupun tidak langsung, tentu ini merupakan
tantangan besar bagi perusahaan pertambangan yang berwawasan lingkungan. Air
asam tambang terbentuk dari proses tersingkapnya batuan sulfida yang kaya akan
pyrite dan mineral sulfida lainnya yang bereaksi dengan air dan udara. Air asam
tambang dapat terbentuk secara alamiah dimanapun pada setiap kondisi yang cocok.
Apabila air asam tambang tersebut terkontaminasi pada air sungai maka akan
menyebabkan rusaknya biota yang ada disungai sehingga biota perairan tersebut sulit
bertahan hidup (Nurisman, 2012).
Kegiatan penambangan tidak hanya menganggu produktivitas tanah dan air
namun juga dapat menyebabkan polusi udara akibat debu yang dihalsilkan dari batu
dan tanah timbun. Debu yang berterbangan dapat menganggu aktivitas pekerja
tambang maupun warga sekitar tambang . Debu tersebut juga tidak hanya menganggu
namun dapat menyebabkan penyakit bagi pekerja dan warga sekitar.
22. 16
Sumber dokumentasi observasi di PT. X tanggal 8 november 2014
Lubang-lubang yang digali cukup dalam pada penambangan dan penumpukan
tanah bekas penggalian suatu waktu bisa saja menyebabkan longsor pada area
tersebut. Akibat pengerukan yang cukup dalam maka alam kehilangan keindahan dan
pemandangan hijau tetapi yang terlihat hanya bebatuan dan tanah yang tandus.
2.6 Kasus yang Berkaitan dengan Kegiatan Pertambangan
Berbagai Kasus yang Berkaitan dengan Pertambangan
Kegiatan pertambangan yang menguntungkan ternyata bisa menjadi momok
yang menakutkan bagi sebagian orang. Dari kegitan penggalian bumi tersebut
tersimpan banyak bahaya yang mengintai keselamatan pekerjanya. Bukan hanya alat
pelindung diri saja yang perlu diperhatikan, namun kesehatan pekerja dan masyarakat
sekitar juga berpengaruh terhadap jalannya kegiatan pertambangan tersebut. Berikur
beberapa penyakit yang sering terjadi dipertambangan atau warga sekitarnya :
2.6.1 Malaria
Malaria adalah suatu penyakit yang mudah menular, bisa berupa bakteri atau
kronis yang dapat menyebabkan kematian. Malaria disebabkan oleh protozoa
plasmodium aseksual, protozoa ini masuk ke dalam tubuh manusia yang ditularkan
23. 17
melalui gigitan nyamuk Anhopeles betina (Junita, 2010). Penyakit malaria banyak
ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Parasit Plasmodium dapat berkembang
dengan parasit Anhopeles. Gejala yang dialami oleh penderita adalah demam yang
terjadi dengan suhu yang turun naik secara teratur, kurang darah, terjadi pembesaran
pada limpa dan adanya pigmen dalam jaringan tubuh (Arsin, 2012).
Vektor penyakit malaria
2.6.2 DBD
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok arbovirus B,
yaitu arthropod-borne virus yang disebarkan oleh filum artropoda. Virus tersebut
merupakan genus flafivivrus dan famili flaviviridae. DBD biasanya ditandai dengan
timbulnya demam tinggi selama 27 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan
lainnya seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, nyeri tulang, nyeri sendi, mual dan
muntah (Khoiriyah, 2013).
24. 18
Vektor penyakit DBD
2.6.3 HIV
Menurut Family Health Internasional, Human Immunodeficiency Virus
(HIV) yaitu virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini
adalah retrovirus, yaitu virus yang berkembang dengan menggunakan sel
tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Infeksi virus ini dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh yang menimbulkan gejala penyakit infeksi
oportunistik atau kanker dan bersifat sindrom yang disebut AIDS (Duarsa dalam
Siregar, 2013).
Virus HIV/AIDS
Penularan HIV dapat melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air
mani, cairan vagina, Air Susu Ibu (ASI) dan cairan lain yang mengandung darah
25. 19
(family health internasional). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara,
yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau secret yang infeksius, ibu ke
anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Zein dalam Siregar,
2012).
Dari segi cara penularan, yang paling sering terjadi yaitu cara penularan
dengan melakukan hubungan seksual (baik heteroseksual atau homoseksual) hal
ini sangat mendominasi sekitar 60%. Penularan lainnya yaitu melalui jarum
suntik yaitu sebesar 30%, sisanya bisa terjadi antara ibu dan anak ataupun
transfusi darah (HTA dalam Siregar, 2012).
Dilihat dari uraian diatas, perilaku yang mempunyai risiko tinggi dan
sangat berhubungan dengan virus HIV/AIDS adalah perilaku seksual, baik itu
heteroseksual maupun homoseksual (Anastasya dalam Siregar, 2010) hubungan
seksual yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi. Hubungan
heteroseksual adalah yang paling dominan untuk semua cara penularan (Zein
dalam Siregar, 2010)
2.7. DBD
Sampai saat ini, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan
penyakit endemis di Indonesia yang jumlah kasusnya terus meningkat baik dalam
jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan selalu terjadi KLB (Kejadian Luar
Biasa) setiap tahunnya. Infeksi virus Dengue di Indonesia sejak abad ke- 18. Infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai demam lima hari
(vijfdaagse koorts), atau juga disebut sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut
demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan
gejala nyeri pada sendi, nyeri otot, dan kepala.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B,
yaitu arthropod-borne virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus tersebut
merupakan genus Flafivivrus dan famili Flaviviridae (buku penyakit tropis). DBD
biasanya ditandai dengan demam tinggi, mendadak 27 hari, disertai muka kemerahan.
26. 20
Keluhan lainnya seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual dan
muntah. Masa berkembangnya virus dengue pada tubuh manusia berkisar antara 3
sampai dengan 14 hari sebelum gejalanya muncul, gejala rata-rata akan muncul pada
hari ke empat atau ketujuh, sedangkan masa inkubasi pada nyamuk sendiri berkisar
pada 8-10 hari.
Virus Dengue
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet positif, kulit
memar dan perdarahan pada bekas suntikan ataupun pada bekas pengambilan darah.
Kebanyakan kasus, bercak merah halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas,
aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam.
Vektor utama penyebaran kasus DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes
aegypti. Penularannya terjadi melaui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Para ahli
taksonomi menggolongkan nyamuk tersebut ke dalam:
Phylum: Antrhopods, Class: Hexapoda, Ordo: Diptera, Subordo: Nematoda Familia:
Culicidae, Genus: Aedes, Species: Aedes aegypti (Khoiriyah, 2013).
27. 21
2.7.1 Nyamuk Aides aegypti (blm edit)
Nyamuk Aedes aegypti dewasa biasanya beukuran lebih kecil dibandingkan
dengan nyamuk-nyamuk lain. Nyamuk ini memiliki warna dasar hitam dan pada
bagian dada dan bulu kaki memiliki bintik-bintik putih. Perbedaan morfologi nyamuk
Aedes aegypti dewasa dengan betina yaitu pada bentuk antenanya. Aedes aegypti
betina antenanya berbulu jarang, sedangkan yang jantan memiliki antena yang
berbulu lebat.
Aedes agypti dewasa berukuran sedang dengan warna tubuh hitam kecoklatan.
Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis berwarna keperakan. Di bagian
punggung nyamuk ini, tubuhnya terlihat tampak dua garis melengkung vertikal pada
bagian kiri dan kanan. Umumnya nyamuk jantan lebih kecil dari nyamuk betina.
Pada nyamuk betina, probosis (mulut yang runcing) dipakai untukk menghisap darah,
sedangkan pada jantan untuk mengisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuhan,
buah-buahan dan keringat. Pada kiri kanan probosis terdapat palpus dan sepasang
antena.
Aides aegypti ini mengeluarkan telur yang berwarna putih dan berubah
menjadi hitam dalam waktu kurang lebih 30 menit. Telur tersebut diletakkan di
permukaan air atau sedikit di bawah permukaan air dengan jarak kurang lebih 2,5 cm
dari tempat perindukannya. Larva ini dapat bertahan hidup pada air got atau air
comberan, dan genangan air yang terdiam cukup lama. Telurnya mampu mampu
bertahan berbulan-bulan pada suhu 20o
C – 40o
C. Telur pada kelembaban rendah akan
menetas dalam waktu 1-2 hari . Telur nyamuk Aedes aegypti ukurannya 5 mikron,
tampak bulat panjang dan berbentuk lonjong (oval) memiliki torpedo.
Setelah menetas telur akan menjadi larva atau jentik. Kelangsungan hidup
larva ini dipengaruhi oleh pH air, suhu, cahaya serta kelembaban fertilitas telur itu
sendiri. Pada kondisi optimal, waktu yang dibutuhkan sejak telur menetas hingga
menjadi nyamuk dewasa sekitar tujuh hari termasuk dua hari masa pupa.
28. 22
Bentuk larva Aedes Aegypti
Larva Aedes aegypti bergerak dengan lincah dan aktif, yaitu dengan bergerak-
gerak naik ke permukaan air dan turun ke dasar secara berulang-ulang. Saat larva
Aedes Aegypty mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan corong udara
(siphon) pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi yang
membentuk sudut pada permukaan air.
Larva instar IV akan mengalami perubahan menjadi pupa yang berbentuk bulat
gemuk menyerupai koma (,). Diperlukan pula waktu 2-3 hari untuk menjadi nyamuk
Aedes Aegypti dewasa. Suhu yang diperlukan untuk perkembangan pupa optimal
sekitar 270C-300C dan tidak membutuhkan makanan tetapi udara. Pada fase pupa ini,
alat-alat tubuh nyamuk seperti sayap, alat kelamin, kaki dan bagian tubuh lainnya
akan terbentuk.
Aedes aegypti mengalami proses metamorfosis sempurna, yaitu dari bentuk telur,
jentik, kepompong dan nyamuk dewasa. Perkembangan pada telur, kepompong, dan
jentik hidup di dalam air (aquatik), sedangkan nyamuk dewasa hidup secara
teresterial (di udara bebas). Nyamuk betina yang bertelur akan menghasilkan telur
kira-kira sebanyak 100 butir. Fase aquatik berlangsung selama 8-12 hari, yaitu pada
perkembangan jentik berlangsung 6-8 hari, dan perkembangan pupa (kepompong)
berlangsung 2-4 hari sedangkan pertumbuhan telur sampai menjadi nyamuk Aedes
Aegypti dewasa berlangsung selama 10-14 hari. Lama waktu hidup nyamuk dapat
berlangsung sekitar 2-3 bulan.
29. 23
2.7 Epidemiologi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang serius disebabkan
oleh virus dengue dan mengakibatkan gejala yang bervariasi antara yang paling
ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai kejang atau
dengue shock syndrome (DSS) ditularkan nyamuk Aedes aegypti. Penderita yang
mengalami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke
dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-
2, Den3 dan Den-4.
Pertama kalinya, penyakit DBD ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953
dan selanjutnya mewabah ke Indonesia. Kasus demam berdarah yang terjadi di
Indonesia untuk pertama kali dilaporkan terjadi di Jakarta dan Surabaya pada tahun
1968 dengan jumlah kasus sebanyak 58 orang dan 24 orang diantaranya meninggal
dunia. Selama tahun 2003-2007 angka kenaikan kasus penyakit DBD mengalami
penaikan yang cukup signifikan. Selama 2003 tercatat kasusnya 515,16 kasus, 2004
sebanyak 79, 462 kasus, 2005 terjadi 95,279 kasus, tahun 2006 tercatat 114,656 kasus
dan pada 2007 158,155 kasus (Profil Kesehatan Indonesia dalam Hairani, 2009).
Dari data yang tercatat penderita DBD tertinggi adalah pada kelompok umur
< 15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan
perbandingan penderita pada kelompok umur 15 - 44 tahun, sedangkan penderita
DBD pada kelompok umur > 45 tahun sangat rendah seperti halnya yang terjadi di
Jawa Timur berkisar 3,64% (Candra, 2010).
Dalam 50 tahun terakhir ini, kasus DBD mengalami peningkatan sekitar 30
kali lipat dengan peningkatan wilayah geografis ke negara- negara baru dan dalam
dekade ini dari kota menuju ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, meliputi daerah Asia Tenggara, Amerika
Tengah, Amerika dan Karibia (Candra, 2010).
Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko besar untuk terjangkit
penyakit DBD karena virus yang dibawa nyamuk tersebut penularnya tersebarluas
baik di rumah maupun tempat-tempat umum, kecuali ketinggian wilayah tersebut
30. 24
melebihi 1000 meter diatas permukaan laut. Saat ini seluruh propinsi di Indonesia
sudah terjangkit penyakit DBD, baik di kota maupun desa terutama yang padat
penduduknya dan arus transportasinya lancar (Khoiriyah, 2013).
Menurut perkiraan WHO, dalam setiap tahun 500.000 pasien penderita DBD
membutuhkan perawatan dirumah sakit, dimana mayoritas penderitanya adalah anak-
anak. Diperkirakan sekitar 2,5 persen pasien dari anak-anak tersebut meninggal. Hal
ini terjadi karena kurangnya penanganan yang tepat dan karena kurangnya
pengetahuan tentang DBD, maka hal terebut harus diktingkatkan agar mengurangi
angka kematian sebanyak 1 persen (WHO dalam Hairani, 2009).
2.8 Etiologi DBD
Penyebab penyakit DBD adalah virus dengue. Virus ini termasuk kelompok
Arthropoda Borneo viruses (arbovirosis). Sampai saat ini dikenal dengan empat
serotype virus yaitu:
1. Dengue 1 disolasi oleh Sabin pada tahun 1944
2. Dengue 2 disolasi oleh Sabin pada tahun 1944
3. Dengue 2 disolasi oleh Sather
4. Dengue 4 disolasi oleh Sather
Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang
terbanyak adalah tipe 2 dan tipe 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan dengue tipe
3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat.
Keempatnya saling berkaitan sifat antigennya. Infeksi pertama dengan salah satu
serotype hanya akan memberikan proteksi sebagian terhadap ketiga serotype lainnya,
dan memungkinkan terjadi infeksi dengan ketiga serotype yang lain tersebut.
Teori infeksi sekunder menyatakan bahwa seorang dapat menderita DBD jika
mendapat infeksi ulangan tipe virus dengue berbeda. Misalnya, infeksi pertama oleh
virus dengan tipe-1 (DEN-1) menyebabkan terbentuknya antibodi DEN-1, apabila
kemudian terkena infeksi berikut oleh virus dengan tipe-2 (DEN-2) dalam waktu 6
bulan sampai 5 tahun pada sebagian dari yang mendapat infeksi kedua itu dapat
31. 25
terjadi suatu reaksi imnulogis antara virus DEN-2 sebagai antigen dengan antibody
DEN-1 yang dapat mengakibatkan gejala DBD.
Demam berdarah baru terjadi apabila telah terinfeksi oleh virus dengue untuk
kedua kalinya, atau mendapat virus dari sumber yang tidak sama. Infeksi yang
pertama dengan atau tanpa obat, demam tersebut sering sembuh sendiri atau berlalu
begitu saja tanpa disadari oleh penderitanya. Orang yang terinfeksi kedua kalinya
pada darah atau pipa-pipa pembuluh darah di dalam tubuh yang terkontaminasi virus
dengue itu menjadi lebih sensitive terhadap serangan yang kedua kali sehingga dalam
tubuh mereka yang telah terkena virus dengue biasanya akan terjadi reaksi yang lebih
dahsyat atau hypersensitivity, reaksi yang berlebihan atau terlalu sensitive itulah yang
sesungguhnya menimbulkan tanda-tanda atau gejala yang disebut dengan DBD.
2.9 Patogenesis DBD
Patogenesis DBD sampai saat ini masih controversial dan belum dapat diketahui
secara jelas. Terdaoat 2 teori yang dikemukakan dan paling sering dianut adalah
virulensi virus dan immunopatologi yaitu hipotesis infeksi sekunder heterolog (The
Secondary Heterologous Infection). Teori lainnya adalah teori endotel. Endotoksin,
mediator dan apoptosis.
1. Virulensi virus
Virus dengue merupakan keluarga flaviviridae dengan 4 serotip (DEN
1,2,3,4), terdiri dari genom RNA stranded yang dikelilingi oleh nukleokapsid.
Virus dengue memerlukan asam nukleat untuk bereplikasi, sehingga
mengganggu sintesis protein sel pejamu. Kapasitas virus untuk
mengakibatkan penyakit pada pejamu disebut virulensi. Virulensi virus
berperan melalui kemampuan virus untuk:
a. Menginfeksi lebih banyak sel,
b. Membentuk virus progenik,
c. Menyebabkan reaksi inflamasi hebat,
d. Menghindari respon imun mekanisme efektor.
32. 26
2. Teori Immunopatologi
Hipotesis infeksi sekunder oleh virus yang heterologous (secondary
heterologous infection) menyatakan bahwa pasien yang megalami infeksi
kedua kalinya dengan serotype virus dengue yang heterolog akan mempunyai
risiko yang lebih besar untuk menderita DBD. Antibody heterolog yang telah
ada sebelumnya akan mengenali virus lain yang telah menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen antibody yang kemudian berikatan
dengan reseptor dari membrane sel leukosit, terutama makrofag. Antibodi
yang heterolog menyebabkan virus tidak dinetralisasi oleh tubuh sehingga
akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antobodi dependent enhancement
(ADE), yaitu suatu proses yang akan meningkatkan infeksi sekunder pada
replikasi virus dengue di dalam sel mononuclear yaitu terbentuknya komplek
imun dengan virus yang berkadar antibosdi rendah dan bersifat subnetral dan
infeksi primer.kompleks imun melekat pada reseptor sel mononukleua fagosit
(terutama makrofag) untuk mempermudah virus masuk ke sel dan
meningkatkan multiplikasi. Kejadian ini menimbulkanviremia yang lebih
hebat dan semakin banyak sel makrofag yang terkena. Sedangkan respon
pada infeksi tersebut terjadi sekresi mediator vasoaktif yang mengakibatkan
terjadinya keadaan hipovolemia dan syok.
3. Teori endotoksin
Syok pada DBD menyebabkan iskemia usus, yang kemudian
menyebabkan translokasi bakteri dari lumen usus ke dalam sirkulasi.
Endotoksin sebagai komponen kapsul luar bakteri gram negative akan mudah
masuk ke dalam sirkulasi pada keadaan iskemia berat.
4. Teori mediator
Makrofag yang terinfeksi virus dengue mengeluarkan sitokin yang
disebut monokin dan mediator lain yang memacu terjadinya peningkatan
permeabilitas vaskuler dan aktivasi koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi
kebocoran vaskuler dan pendarahan.
33. 27
5. Teori apoptosis
Apoptosis adalah proses kematian sel secara fidiologis yang merupaka
reaksi terhadap beberapa stimuli. Akibat dari apoptosis adalah fragmentasi
DNA inti sel, Vakuolisasi sitoplasma, peningkatan granulasi membrane
plasma menjadi DNA subseluler yang berisi badan apoptotic.
6. Teori endotel
Virus dengue dapat menginfeksi sel endotel secara in vitro dan
menyebabkan pengeluaran sitokin dan kemokin. Sel endotel yang telah terinfeksi
virus dengue dapat menyebabkan aktivasi komplomen dan selanjutnya
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan dilepaskannya
trombomodulin yang merupakan pertanda kerusakan sel endotel. Bukti yang
mendukung adalah kebocoran plasma yang berlangsung cepat dan meningkatnya
hematokrit dengan mendadak. Terdapat dua teori atau hipotesis
immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih controversial yaitu infeksi
sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody dependent enhancement
(ADE).
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibody spesifik terhadap jenis
virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus
tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodynya tidak dapat menetralisasi virus,
justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik
virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM,
IgGI dan IgG3. Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang
pathogenesis DBD diantaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan
pada perbedaan serotype virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4 yang
kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah
satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan
pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas system komplemen
yang ditandai penurunan kadar C3, C4. Dan C5. Dalam teori atau hipotesis
infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh
satu serotype virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi
34. 28
serotype virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang
tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotype virus dengue lainnya, maka
akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang
terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus
dengue serotype baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan
cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi
internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL-6, tumor
necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF), akibatnya
akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue.
TNF-A akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan
endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui
dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan
merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat
vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock
hipolemik) dan pendarahan.
Anak dibawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus
dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non
neutralizing antibodies akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya bila
terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses
enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF-A juga PAF.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam
beberapa hari dapat terjadi infeksi dibeberapa tempat tapi derajat kerusakan
jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan
kematian karena infeksi virus, kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh
gangguan metabolic.
Mekanisme sebenarnya tentang pathogenesis DBD hinga kini belum
diketahui secara pasti, tetapi sebgaian besar menganut “ the secondary
heterologus infection hypothesis “yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi
35. 29
apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang
dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang
diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Pathogenesis terjadinya renjatan
berdasarkan hipotese infeksi sekunder dicoba dirumuskan oleh suvatte. Akibat
infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita
dengan kadar antibody anti dengue yang rendah, respons antibody anamnestik
yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit imun dengan menghasilkan antibody IgG anti dengue titer tinggi.
Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibody yang selanjutnya akan mengaktivasi system
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Renjatan yang tidak ditanggulangi secara kuat akan menimbulkan anoksis
jaringan, asidosis metabolic dan kematian.
Penyebab lain dari kematian pada DBD ialah pendarahan saluran
pencernaan hebat yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan
tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang
ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai data. Data
sekunder diperoleh peneliti dengan studi dokumen dari laporan DBD di instansi
terkait seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut, Puskesmas Kintap serta
data dari PT tambang batubara X.
3.1 Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang akan digunakan untuk pengumpulan data
yaitu berupa kuesioner (daftar pertanyaan) yang berkaitan berupa kondisi
lingkungan tempat tinggal dan PSP (Pengetahuan, Sikap dan Perilaku) pada
masyarakat.
36. 30
3.2 Rencana Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan melalui empat tahapan yang meliputi editing,
coding/scoring, entry, dan tabulating. Tahap terakhir yang dilakukan dalam
proses pengolahan data adalah entry data (memasukkan data) yang diperoleh
menggunakan fasilitas komputer dengan menggunakan program SPSS for
Windows versi 13.0.
Peneliti melakukan penyampaian kuesioner kepada responden dan
mengambil kembali yang kemudian diperiksa dan dilakukan entry data untuk
dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Hasil uji validitas dan reliabilitas terhadap
pernyataan pada variabel pengetahuan menunjukan bahwa semua item pertanyaan
mempunyai nilai r hitung > 0,361 sehingga dapat dinyatakan valid. Nilai alpha
sebesar 0,8814 (> 0,60) menunjukan bahwa kuesioner pengetahuan dalam
penelitian ini adalah reluabel.
Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa instrument
atau kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini telah layak digunakan sebagai
alat untuk digunakan untuk mengukur konstruk-konstruk kondisi tempat tinggal,
pengetahuan dan perilaku kepala keluarga mengenai kejadian demam berdarah.
Analisis data dilakukan menggunakan komputer program SPSS for
Windows versi 13.0 dengan analisis deskriptif mencari frekuensi tiap variabel dan
jumlah persen yang didapat. Data yang telah dianalisis digunakan untuk
memberikan gambaran karakteristik masing-masing variabel yang diteliti
(Hastono, 2001). Data tersebut disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi
sebagai bahan informasi meliputi, tingkat pengetahuan, perilaku responden dan
kondisi lingkungan tempat tingal.
37. 31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Lingkungan Perusahaan Tambang Batubara PT X
Survei kondisi lingkungan di perusahaan tambang batubara PT X,
Kelurahan Asam-asam Kabupaten Tanah Laut. Hasil survei dari data kejadian 5
tren penyakit di PT X demam berdarah tidak termasuk kasus penyakit yang paling
banyak dan sering diderita oleh pekerja penambangan batubara.
Menurut kepala bagian HSE PT X, check kesehatan pekerja dilakukan
secara rutin, yaitu 1 tahun 2 kali di awal tahun dan setiap pekerja selesai cuti. PT
X bekerjasama dengan Puskesmas Kintap dan Poliklinik Medika dalam
penunjang kesehatan pekerjanya. Sistem yang dilakukan untuk pencegahan sudah
sangat baik, dilakukan foging secara periodik oleh Tim khusus. Menu makanan
untuk pekerja sudah disesuaikan oleh Tim katering yang bekerja. Wilayah dapur
selalu dilakukan insfeksi setiap minggunya untuk menjaga kebersihannya. Serta
setiap pekerja diberikan tips dan cara penanganan tentang penyakit yang sedang
menjadi tern di areal kerja melalui email.
Penyakit yang sering diderita oleh pekerja tambang salah satunya yaitu
influenza yang termasuk 5 tren penyakit yang ada di areal kerja penambangan,
demam berdarah tidak termasuk didalamnya namun menurut kepala bagian HSE
tidak menutup kemungkinan akan resiko terjadinya penyakit demam berdarah
pada pekerja. Faktor yang menjadi resiko terjadinya demam berdarah pada
pekerja yaitu lingkungan mess pekerja, dapur, sanitasi dan kebersihan lingkungan
kerja.
4.2 Lingkungan Pemukiman
Desa Kintap merupakan wilayah/desa yang dekat dengan penambangan
batubara yang dikelola oleh perusahaan swasta, walaupun berjarak kurang lebih
38. 32
10 km. Pada survei awal dilakukan ada beberapa informasi menyatakan bahwa
ada sekelompok masyarakat yang tinggal di sekitar penambangan batubara.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut untuk kasus demam
berdarah tahun 2014 yaitu terdapat 3 kasus demam berdarah di Kecamatan
Kintap. Hal tersebut terjadi karena program pemerintah setempat yang telah
melakukan foging secara rutin di setiap tempat yang berpotensial terkena demam
berdarah. Berdasarkan data tersebut angka kasus demam berdarah di Kabupaten
Tanah Laut telah menurun dibandingkan denga tahun-tahun sebelumnya, terutama
tahun 2010 dengan 234 kasus demam berdarah dan empat meninggal dunia.
4.3 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku (PSP) Masyarakat
Wawancara yang dilakukan pada masyarakat untuk mengetahu
Pengetahuan, Sika dan Perilaku tentang demam berdarah telah dilakukan terhadap
28 responden di Desa Kintap. Data berupa kuesioner terstruktur dan dilakukan
pengeditan, koding dan entri data dengan program komputer SPSS.
Data pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat atau PSP tentang
demam berdarah dikumpulkan untuk mengetahui masyarakat yang berisiko
tertular demam berdarah. Data wawancara yang didapatkan dilakukan analisa
untuk mengetahu PSP masyarakat terhadap kejadian demam berdarah.
Pengetahuan tentang demam berdarah dari 28 orang responden yang
diwawancarai, ternyata sebanyak 27 (96,4%) responden menyatakan pernah
mendengar tentang demam berdarah dan hanya 1 (3,6%) responden yang
menyatakan tidak pernah mendengar tentang demam berdarah (Tabel 4.1).
Responden pernah mendengar tentang demam berdarah umumnya didapatkan dari
orang lain seperti tetangga dan lainnya.
39. 33
Tabel 4.1 Pengetahuan responden pernah mendengar tentang DBD di
Desa Kintap, Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Pengetahuan Tentang DBD Frekuensi %
1 Pernah 27 96.4
2 Tidah pernah 1 3.6
Pada table 4.2, responden yang diwawancarai ternyata masing-masing
sebesar 9 (32,14%) dan 5 (17,86%) reponden mengetahui gejala-gejala demam
berdarah. Pada umumnya masyarakat di daerah penelitian telah banyak yang
mengetahi tentang malaria, karena mereka ada yang pernah mengalami menderita
demam berdarah walaupun ada juga yang tidak terkena demam berdarah.
Tabel 4.2 Pengetahuan responden tentang gejala sakit DBD di Desa
Kintap, Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Gejala DBD Frekuensi %
1 Demam 4 14.29
2 Bintik-bintik merah 9 32.14
3 Pendarahan pada hudung & gusi 5 17.86
4 Nyeri seluruh tubuh 4 14.29
5 Tidak tahu 2 7.14
6 Lainnya 4 14.29
Responden yang mengetahui penyebab demam berdarah melalui gigitan
nyamuk adalah sebesar 89,29% dan sisanya 10,71% menyatakan tidak tahu
(Tabel 4.3). Untuk penularan DBD hamper semua responden mengetahui melalui
gigitan nyamuk.
Tabel 4.3 Pengetahuan responden tentang penyebab DBD di Desa Kintap,
Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Penyebab DBD Frekuensi %
1 Gigitan nyamuk 25 89.29
2 Tidak tahu 3 10.71
40. 34
Pada Tabel 4.4, responden yang mengetahui ciri-ciri nyamuk demam
berdarah secara benar adalah masing sebesar 764,29% dengan menyebutkan
bahwa penularan DBD dari nyamuk berwarna hitam dengan loreng putih.
Tabel 4.4 Pengetahuan responden tentang ciri-ciri nyamuk DBD di Desa
Kintap, Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Ciri-ciri nyamuk DBD Frekuensi %
1 Berwarna hitam dengan loreng putih 18 64.29
2 Tidak tahu 2 7.14
3. Lainnya 8 28.57
Pada Tabel 4.5, menunjukan bahwa sebesar 25,0% responden tidak
mengetahui kapan nyamuk DBD menggigit. Hanya 17,86% dan 10,71% saja
yang mengetahui dengan benar nyamuk DBD menggigit pada pagi dan siang hari.
Responden yang menjawab malam hari sebanyak 17,86% mungkin terdapat
kekeliruan responden antara nyamuk penular malaria denga DBD.
Tabel 4.5 Pengetahuan responden tentang waktu nyamuk menggigit di
Desa Kintap, Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Waktu menggigit nyamuk DBD Frekuensi %
1 Malam hari 5 17.86
2 Siang hari 5 17.86
3 Pagi hari 3 10.71
4 Tidak tahu 7 25.00
5 Lainnya 6 21.43
Pada umumnya responden mengetahui cara mencegah gigitan DBD
dengan menggunakan obat nyamuk bakar atau semprot sebanyak 35,71% dan
28,57% responden mengetahui cara pencegahan DBD dengan 3M (Tabel 4.6).
Masyarakat umumnya tahu pencegahan dengan memakai kelambu namun
kadang-kadang kelambu tidak digunakan dengan alasan panas.
41. 35
Tabel 4.6 Pengetahuan responden tentang cara mencegah gigitan di DBD
Desa Kintap, Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Mencegah DBD Frekuensi %
1 Obat nyamuk bakar/semprot 10 35.71
2 Pakai kelambu 6 21.43
3 Pasang kawat kassa 4 14.29
4 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) 8 28.57
5 Tidak tahu -
6 Lainnya -
Pada Tabel 4.7, ternyata bahwa secara umum pengetahuan responden
mengenai tempat perkembangbiakan jentik nyamuk di selokan, yaitu sebanyak
35,71% responden. Untuk tempat perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes
aegypti masih banyak yang tidak mengetahuinya, hal ini disebabkan kurangnya
pengetahuan responden mengenai habitat nyamuk tersebut.
Tabel 4.7 Pengetahuan responden tentang tempat perkembangbiakan
jentik nyamuk Desa Kintap, Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Tempat perkembangbiakan nyamuk DBD Frekuensi %
1 Selokan 10 35.71
2 Rawa-rawa 4 14.29
3 Pakaian yang bergantung 6 21.43
4 Bekas galian 1 3.57
5 Tempat Penampungan air 7 25.00
6 Lainnya -
Pengetahuan responden dalam upaya pemberantasan jentik nyamuk
menunjukan sebesar 28,57% untuk penggunaan abate dan foging, dalam
kenyataannya kebanyakan masyarakat tidak mengguanakan abate untuk
memberantas jentik nyamuk di penampungan air karena malas membelinya.
42. 36
Sebesar 14,29% responden menjawab menggunakan insektisida dan
membersihkan lingkungan (Tabel 4.8).
Tabel 4.8 Pengetahuan responden tentan pemberantasan jentik DBD di
Desa Kintap, Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Cara memberantas jentik nyamuk DBD Frekuensi %
1 Mengeringkan genangan air 3 10.71
2
Menaburkan/memelihara ikan pemakan
jentik
5 17.86
3 Menggunakan insektisida 4 14.29
4
Menggunakan bubuk abate pada tempat
penampungan air
8 28.57
5 Fogging 8 28.57
6 Membersihkan lingkungan 4 14.29
7 Lainnya -
Pengetahuan tentang oba malarian responden menjawab bervariasi, hanya
6 orang rseponden yang mnegetahui Sari kurma yang merupakan salah satu obat
untuk DBD. Sedangkan sebanyak 39,29% menjawab parasetamol dan obat
lainnya. Responde yang menjawab lainnya seperti obat untuk sakit kepala
misalnnya bodrex dan mexakuin serta obat herbal (Tabel 4,9).
Tabel 4.9 Pengetahuan responden tentang obat DBD DBD Desa Kintap,
Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Obat DBD Frekuensi %
1 Parasetamol 11 39.29
2 Sari kurma 6 21.43
3 Lainnya 11 39.29
Pada Tabel 4.10, persepsi responden cukup baik tentang bahaya DBD.
Sebanyak 53,57% responden menyatakan bahwa persepsi mereka tentang bahaya
DBD dapat menyebabkan kematian, dan sebanyak sebanyak 32,14% persepsi
43. 37
mereka menyatakan mengganggu aktivitas, tidak bisa bekerja, sekolah. Dan
sisanya menyatakan masih bisa bekerja, sekola dsb sebanyak 14,29%.
Tabel 4.10 Persepsi responden tentang bahaya malaria di Desa Kintap,
Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Persepsi responden mengenai DBD Frekuensi %
1 Biasa-biasa saja masih bisa bekerja,
sekolah, dsb
4 14.29
2 Mengganggu aktivitas, tidak bisa bekerja,
sekolah
9 32.14
3 Menghawatirkan/gawat, dapat
menyebabkan kematian
15 53.57
4 Lainnya
Demikian pula sikap responden terhadap pemberian penyuluhan malaria,
sebagian besar 16 (57,14%) responden memiliki sikap positif bahwa dengan
melalui penyuluhan makan pengetahuan mereka tentang malaria dapat
ditingkatkan (Tabel 4.11).
Tabel 4.11 Sikap responden terhadap pemberian penyuluhan malaria di
Desa Kintap, Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Penyuluhan dapat membuat masyarakat
paham DBD
Frekuensi %
1 Positif 16 57.14
2 Kurang Positif 12 42.86
4.4 Lingkungan Fisik
Pada Tabel 4.12, kondisi lingkungan fisik tempat tinggal responden yaitu
sebanyak 14 (50,0%) berdinding papan/triplek, dan sebanyak 28,57% berdinding
tembok. Kebanyakan responden memiliki dinding rumah papan karena memang
44. 38
kondisi kebanyakan rumah di Desa penelitian masih belum modern seperti di
kota.
Tabel 4.12 Jenis dinding rumah responden di Desa Kintap, Kab.Tanah
Laut Kalimantan Selatan.
No Jenis dinding rumah responden Frekuensi %
1 Tembok 8 28.57
2 Papan/triplek 14 50.00
3 Bambu 1 3.57
4 Lainnya 5 17.86
Pada Tabel 4.13, kondisi lingkungan fisik tempat tinggal responden yaitu
sebanyak 13 (546,43%) dengan jenis atap genteng, dan sebanyak 35,71%
responden rumahnya beratapkan seperti asbes, multiroof dan lainnya.
Tabel 4.13 Jenis atap rumah responden di Desa Kintap, Kab.Tanah Laut
Kalimantan Selatan.
No Jenis atap rumah responden Frekuensi %
1 Genteng 13 46.43
2 Seng 5 17.86
3 Rumbia -
4 Lainnya 10 35.71
Pada Tabel 4.14, kondisi lingkungan fisik tempat tinggal responden yaitu
sebanyak 24 (85,71%) dengan kondisi ventilasi rumah responden tidak dipasang
kawat kassa, dan sebanyak 14,29% responden rumahnya dipasang kawat kassa
pada ventilasi.
Tabel 4.14 Kondisi ventilasi rumah responden di Desa Kintap, Kab.Tanah
Laut Kalimantan Selatan.
No Kondisi ventilasi rumah responden Frekuensi %
1 Dipasang kawat kassa 4 14.29
2 Tidak ada kawat kassa 24 85.71
45. 39
3 Tidak ada ventilasi -
Pada Tabel 4.15, sebanyak 16 (57,14%) responden memiliki ternak sapi
atau kerbau dengan jarak kandang < 100 meter dengan rumah, hal ini dikarnakan
pikiran penduduk yang takut akan hilangnya ternak mereka bila letaknya berada
jauh dari rumah. Dan sebanyak (21,43%) tidak memiliki hewan ternak.
Table 4.15 Jarak kandang ternak dengan rumah responden di Desa Kintap,
Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Jarak kandang ternak dengan rumah (sapi,
kerbau)
Frekuensi %
1 < 100 meter 16 57.14
2 100 meter – 300 meter 4 14.29
3 > 300 meter 2 7.14
4 Tidak ada 6 21.43
Pada Tabel 4.16, diketahui jarak antara pemukiman dengan bekas galian
penambangan yaitu kurang lebih 10 km.
Tabel 4.16 Jarak pemukiman dengan bekas galian di Desa Kintap,
Kab.Tanah Laut Kalimantan Selatan.
No Jarak pemukiman dengan bekas galian
penambangan
Frekuensi %
1 < 100 meter -
2 100 meter – 200 meter -
3 > 200 meter 28 100.00
46. 40
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Data Dinkes Kabupaten Tanah Laut Tahun 2014 yaitu ada3 Kasus demam
berdarah yang terdapat di Kecamatan Kintap.
2. Pada PT X tidak ditemukan kasus DBD hanya saja tidak menutup
kemungkinan terdapat faktor risiko kejadian DBD.
3. Responden di Desa Kintap, kabupaten Tanah Laut menggambarkan bahwa
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat mengenai demam berdarah
terhadap cara pengobatan, pencegahan, penanggulangan dan tempat
perkembangbiakan jentik nyamuk masih kurang.
4. Faktor yang berupa bekas galian tambang batubara dalam penelitian ini bukan
merupakan risiko demam berdarah karena adanya program pencegahan yang
dilakukan pemerintah dan masyarakat itu sendiri berupa foging dan lainnya
yang menyebabkan kurang adanya kasus DBD. Dan habitat nyamuk Aedes
aegypti yaitu pada genangan air yang bersih tidak bersentuhan langsung
dengan tanah seperti halnya beks galian tambang.
5.2 Saran
1. Untuk hasil penelitian yang lebih akurat dan efektif diperlukannya waktu yang
lebih lama agar peneliti mendapatkan hasil data yang lebih banyak.
2. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya mengenai
pengobatan, cara-cara pencegahan dan penanggulangan demam berdarah,
diperlukan program penyuluhan yang tepat guna dan dilingkungan secara
efektif.
47. 41
DAFTAR PUSTAKA
Anjar. 2012. Warga Tanah Laut Waspada Demam Berdarah Dengue.
http://Kalteng.tribunnews.com/2012/12/06/warga-tanahlaut-waspada-demam-
berdarah-dengue#
Anton sitio. 2008. Hubungan Perilaku TentangPemberantasan Sarang Nyamuk dan
Kebiasan Keluarga dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di
Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. Universitas Diponegoro
Semarang.
Apriyanto, Dedek. 2012. Damapak Kegiatan Pertambangan Batubara Terhadap
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Kelurahan LOA Ipuh Darat,
Tenggarong Kutai Kartanegara. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
Arsin, Andi A. 2012. Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Masgena
Press. Makassar.
Candra, Aryu. 2010. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis dan
Faktor Risiko Penularan. UNDIP Semarang.
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten
Banyumas tahun 2005. Purokerto.
Faziah A. Siregar. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue (DBD) Di Indonesia. Universitas Sumatera Utara.
Junita. 2010. Epidemiologi Penyakit Malaria.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21104/4/Chapter%20II.pdf
Keri Lestari. 2007. Epidemiologi dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Di Indonesia. Universitas Padjadajaran.
Khoiriyah. 2013. Epidemiologi DBD.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/140/jtptunimus-gdl-khoiriyahn-6972-3-
babii.pdf
Lawuyan, S. 2006. Pembasmian Penyakit Demam Berdarah Dengue Kontroversi
Program Pengasapan dengan Insektisida. Litbang.depkes.
http://www.litbang.depkes.go.id.
48. 42
Mafazi, M Atras. 2011. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Siswa SD Kelas 4-
6Terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Pencegahannya di SD
Islam Ruhama. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Mardiana, dkk. 2010. Faktor Risiko Akibat Penambangan Batubara Terhadap
Kejadian Malaria dan Kecacingan di Kalimantan Selatan. Puslitbang
Ekologi dan Status Kesehatan Badan Litbang Kesehatan Kementerian
Kesehatan. Jakarta.
Marganingrum Dyah & R. Noviardi. 2010. Pencemaran Air dan Tanah di Kawasan
Pertambangan Batubara di PT. Berau Coal, Kalimantan Timur.
Marini, Dina. 2009. Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Mengenai DBD
pada Keluarga di Kleurahan Padang Bulan. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Musthofa, Arief. 2012. Faktor-Faktor yang Berpengaruh dengan Perilaku Pencarian
Pengobatan Malaria Klinis Pekerja Musiman ke Luar Pulau Jawa di
Puskesmas Tegalombo Kabupaten Pacitan. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Studi Epidemiologi Kekhususan Epidemiologi Lapangan (FETP).
Depok, Jakarta.
Nalim, Sustriayu 1987. Pemberantasan Vektor Penyakit Malaria dan Hubungannya
dengan Masalah Sosial Ekonomi, Prosiding Lokakarya Penelitian sosial dan
ekonomi pemberantasan penyakit tropis di Indonesia. Badan litbang kesehatan
dan UNDP/World Bank/WHO
Nurisman, Enggal. Dkk. 2012. Studi Terhadap Penggunaan Kapur Tohor (CaO)
PADA Proses Pengolahan Air Asam Tambang Pada Kolam Lumpur
Pengendapan Air Laya PT. (Bukit Asam) Persero, Tbk. Universitas Sriwijaya.
Panjaitan, Pangeran A.P. 2013. Penegkan Hukum Terhadap Pelaku Kegiatan
Pertambangan Bahan Galian Golongsn C Di Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi Kabupaten Magelang. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.
Saepudin, M. 2001. Kajian Peseptivitas Lingkungan dan Vulnerabilitas Penduduk
serta Kaitannya dengan Endemisitas Malaria pada Tiga Dusun di Tiga
49. 43
Kecamatan Kabupaten Kulon Progo. Tesis, Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran, UGM, Yogyakarta
Salawati, Trixie, dkk. 2010. Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor
Lingkungan dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk (studi Kasus Di
Wilayah Kerja Puskesmas Srondol Kecamatan Banyumanik Kota Semarang).
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang.
Semarang.
Samardi, Akhmad. S. 2012. Penerapan Hukum Berbasis Hukum Progresif pada
Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan. Fakultas Syariah IAIN
Antasari Banjarmasin.
Siregar, CP. 2013. HIV.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35119/4/Chapter%20II.pdf
Suharti R, Sri. 2010. Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Kepala
Keluarga dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue
(Di Wilayah Kerja Puskesmas Loa Ipuh Kabepaten Kutai Kartanegara).
Surakarta.
Sukohar A. 2014. Demam Berdarah Dengue (DBD) . Universitas Lampung
Sumarmo, S.P. 1999. Masalah Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Demam
Berdarah Dengue. Hal 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Suroso T., Umar I., Ali,. 1999. Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia Saat ini. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
Teguh Widiyanto. 2007. KAjian Managemen Lingkungan Terhadap Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Purwokerto Jawa Tengah.
Universitas Diponegoro Semarang.
Walhi. 2013. Menggali Kubur Sendiri Batubara.
http://issuu.com/walhi/docs/buku_walhi_kalsel_menggali_kubur_se/40
Widyana. 1998. Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian DBD di
Kabupaten Bantul, Jurnal Epidemiologi Indonesi. Volume 2. Eedisi I.
50. 44
Ziraa’ah. 2010. Dampak Pertambangan Batubara Terhadap Aspek Sosial Ekonomi
Masyarakat di Kecamatan Sei Pinang Kabupaten Banjar. Fakultas Pertanian
Universitas Islam Banjarmasin.
Zulkarnain. 2014. Status Sifat Kimia Tanah pada Lahan Bekas Tambang Batubara
yang Telah Direklamasi. Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman.
51. 45
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN
Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Terhadap Penduduk Sekitar
Tambang Batubara di Kelurahan Asam-Asam Kabupaten Tanah Laut Kalimantan
Selatan Tahun 2014
No. Responden :
NO I. KARAKTERISTIK RESPONDEN KODING
1. Umur Responden ……… tahun
2. Jenis Kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
3. Status perkawinan 1. Kawin
2. Tidak kawin
3. Janda
4. Duda
5. Pendidikan 1. Tidak sekolah
2. Tdk tamat SD
3. Tamat SD
4. Tamat SLTP
5. Tamat SLTA
6. Tamat D3/Perguruan Tinggi
6. Pekerjaan 1. PNS/TNI
2. Swasta
3. Wiraswasta
4. Pedagang
5. Petani
6. Nelayan
7. Lainnya ………………..
II. PENGETAHUAN SIKAP DAN PERILAKU
DEMAM BERDARAH
7. Apakah Bpk/Ibu pernah mendengar tentang penyakit Demam
Berdarah?
1. Pernah
2. Tidak pernah
8. Bagaimana gejala/tanda2 orang sakit Demam Berdarah?
52. 46
1. Demam
2. Bintik-bintik merah
3. Pendarahan pada hidung dan gusi
4. Nyeri seluruh tubuh
5. Tidak tahu
6. Lainnya sebutkan ……..
9. Menurut Bpk/Ibu orang sakit Demam Berdarah ditularkan oleh apa?
1. Gigitan nyamuk
2. Tidak tahu
10. Menurut Bpk/Ibu bagaimana ciri-ciri nyamuk Demam Berdarah?
1. Berwarna hitam dengan loreng putih
2. Tidak tahu
3. Lainnya sebutkan ……….
11. Menurut Bpk/Ibu kapan nyamuk Demam Berdarah menggigit?
1. Malam hari
2. Siang hari
3. Pagi hari
4. Tidak Tahu
5. Lainnya sebutkan ……………
12. Bagaimana cara mencegah gigitan nyamuk Demam Berdarah?
1. Obat nyamuk bakar/semprot
2. Pakai kelambu
3. Pasang kawat kassa
4. 3M (Menguras, Menutup, Mengubur)
5. Tidak tahu
6. Lainnya sebutkan …………..
13. Dimana tempat perkembangbiakan jentik nyamuk Demam Berdarah?
1. Selokan
2. Rawa-rawa
3. Pakaian yang bergantungan
4. Bekas galian
5. Tempat penampungan air
6. Lainnya sebutkan …………
14. Bagaimana cara memberantas jentik nyamuk Demam Berdarah?
1. Mengeringkan air tergenang
2. Menaburkan / memelihara ikan pemakan jentik
3. Menggunakan insektisida
4. Memberikan bubuk abate pada tempat penampungan air
5. Fogging
53. 47
6. Membersihkan lingkungan
7. Lainnya sebutkan ………………
15. Obat Demam Berdarah apa saja yang Bapak/Ibu ketahui?
1. Parasetamol
2. Sari kurma
3. Lainnya sebutkan ………
16. Bagaimana anggapan/persepsi Bpk/Ibu terhadap gangguan atau
bahaya dari Demam Berdarah?
1. Biasa-biasa saja masih bisa bekerja, sekolah, dsb
2. Mengganggu aktivitas, tidak bisa bekerja, sekolah
3. Mengkhawatirkan/gawat, dapat menyebabkan kematian
4. Lainnya sebutkan …………….
17. Untuk mengetahui parasite Demam Berdarah perlu pemeriksaan
darahnya ke laboratorium (Puskesmas).
1. Setuju
2. Tidak setuju
18. Anak-anak lebih rentan (mudah) terserang Demam Berdarah
dibandingkan orang dewasa
1. Setuju
2. Tidak setuju
19. Melalui penyuluhan Demam Berdarah masyarakat dapat mengerti
cara penularan, pencegahan dan pengobatannya
1. Setuju
2. Tidak setuju
20. Penyakit Demam Berdarah itu sama dengan malaria karena waktu
menggigitnya juga malam hari
1. Setuju
2. Tidak setuju
III. OBSERVASI LINGKUNGAN
21. Jenis dinding rumah terluas :
1. Tembok
2. Papan/triplek
3. Bambu
4. Lainnya sebutkan ……..
22. Jenis atap terluas :
54. 48
1. Genteng
2. Seng
3. Rumbia
4. Lainnya sebutkan …………
23. Kondisi ventilasi
1. Dipasang kawat kassa
2. Tidak ada kawat kassa
3. Tidak ada ventilasi
24. Kandang ternak (sapi, kerbau)
1. < 100 meter
2. 100 meter – 300 meter
3. > 300 meter
4. Tidak ada
25 . Jenis lantai rumah terluas
1. Tanah
2. Ubin/keramik
3. Semen
4. Lainnya sebutkan ……….
26. Jarak pemukiman dengan bekas penambangan
1. < 100 meter
2. 100-200 meter
3. > 200 meter
27. Kebersihan sekitar rumah dan pekarangan
1. Banyak sampah
2. Kotor
3. Bersih