Cerita pendek ini menceritakan seorang wanita janda bernama Nurul yang merawat seorang anak laki-laki bernama Izan setelah ibunya meninggal. Izan sering bercerita tentang melihat malaikat di rumah sebelah. Suatu hari hujan deras, Izan menghilang dan ditemukan tewas di rumah kosong sebelah sambil memegang kertas gambarannya.
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
1. Suara Karya
Sabtu, 28 Juli 2007
Sayap Malaikat
Cerpen: Hamzah Puadi Ilyas
Saya memberi nama anak laki-laki itu Izan, sebab ia lahir saat azan berkumandang setelah
petang tak lagi datang. Saat itu terdengar jeritan ibunya yang menyumpah-nyumpah nama
seorang pria. Ia bilang pria itu bajingan, binatang, setan dan segala macam.
Jelas sekali saya mendengar sumpah serapah itu. Kontrakan kami hanya berbatas dinding
tua yang mungkin akan runtuh dengan sekali hentakan keras kaki lelaki kekar. Saya tak
tahan mendengar caci maki seperti itu. Akhirnya saya pergi, meninggalkan jahitan yang
sebenarnya sebentar lagi selesai. Setelah balik puluhan menit kemudian, saya mendengar
suara tangisan bayi.
Ketika saya datang menjenguk sambil membawa pakaian bayi yang saya jahit sendiri,
ibunya berkata, "Dia tidak punya nama sebab dia bukan anak manusia. Dia anak setan yang
berwujud lelaki jalang."
"Anak Setan?"
Wanita itu mengangguk. Rambutnya yang terurai panjang seolah berubah menjadi tambang
ijuk yang melilit-lilit tak karuan. Ia tidak mengucapkan terimakasih atas pemberian saya,
malah menatap wajah saya dengan sorot menakutkan. Cahaya matanya seolah menjelma
makhluk buas yang siap menerkam. Saya tiba-tiba merasa ngeri. Apakah ia benar-benar
setan yang telah melahirkan seorang anak?
Malam-malam berikutnya sering terdengar suara tangisan Izan yang menyayat hati. Sebagai
seorang wanita yang telah melahirkan, saya tahu Izan lapar. Ingin rasanya saya keluar,
mengetuk pintu rumah wanita itu, dan memberi Izan susu. Tapi lagi-lagi saya ngeri dengan
tatapan ibunya yang bagai memancarkan api.
Ternyata ketakutan itu bukan cuma saya yang merasakan. Tetangga-tetangga lain juga
bilang bahwa mereka tidak berani berbicara dengan wanita itu karena bila diberi saran ia
akan berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan berkata bahwa anak setan tak perlu
dikasihani. Orang-orang menjadi malas dan tak mau ambil peduli.
Pernah sekali saya tak mendengar suara tangisan Izan pada puncak malam ketika kamar
kecil memanggil saya. Itu membuat saya sedikit penasaran. Keluar dari kamar kecil, saya
tak langsung ke tempat tidur, tapi menuju ke tembok yang berbatasan dengan rumah wanita
itu. Pelan-pelan saya tempelkan telinga ke tembok yang terasa sangat dingin.
Saya mulai mendengar suara tangisan wanita. Saya berpikir bahwa itu pasti suara ibu Izan.
Tangisan itu lambat laun makin keras terdengar dan menyayat. Tiba-tiba jantung saya
meledak saat ada teriakan yang mengutuk seseorang. Wanita itu kembali mengucapkan
kata-kata paling kasar yang pernah saya dengar. Puncaknya, saya mendengar suara
lemparan -yang menurut saya adalah gelas dan piring- membentur dinding tepat di tempat
saya menguping. Pecahannya seperti menembus ke gendang telinga.
"Dasar setan. Buaya! Enyah kau! Kamu hanya mau menikmati tubuhku. Penipu. Bajingan.
Anjiiing."
Daun telinga saya sontak kaku, pori-pori kulit membesar dan membuat bulu-bulu halus di
sekujur tubuh berdiri. Mata wanita itu terbayang, dengan rambut ijuknya yang berubah
2. menjadi ular berbisa yang menjulurkan lidah bercabang dua. Langsung saya menuju kamar
tidur dan memeluk anak saya yang sedang pulas di balik selimut.
* * *
Seorang wanita muda saya perhatikan sedang melihat-lihat kontrakan sebelah. Rambutnya
hitam, lurus, dan ujungnya yang rata hampir menyentuh ikat pinggang. Celana putih
ketatnya mencetak garis tepian celana dalam dengan jelas. Dan saya bisa menebak jika
warnanya merah muda. Tiba-tiba ada ketukan di pintu setelah saya masuk ke dalam. Saya
terkejut melihat wanita tadi telah berada di depan saya. Saya mematung sesaat melihat
matanya yang gelap, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang ungu, dan tulang pipinya
yang menonjol dengan sinar kemerahan.
"Permisi." Katanya. "Siapa yang memiliki kontrakan di sini?"
"Ini kontrakan haji Jamil." Kata saya. "Rumahnya tepat di pinggir jalan dengan cat biru
muda, dan ada warung di depannya."
Ia mengucapkan terimakasih dengan suara datar, lalu cepat-cepat pergi, menunjukkan
punggungnya yang mulus. Dan keesokan harinya saya lihat beberapa lelaki mengangkut
barang-barang ke rumah itu.
Hari-hari berikutnya saya jarang bertemu dia. Sebagai tetangga, sebetulnya saya ingin
mengenal dirinya. Tapi kesempatan itu tak pernah saya dapatkan. Pernah saya sengaja
datang ke rumahnya dengan membawa semangkuk kolak pisang. Maksudnya agar saya bisa
berbincang-bincang dan menjalin persahabatan dengannya. Tetapi ia mengatakan sedang
sakit perut sehingga menolak pemberian saya.
Wanita itu selalu keluar rumah saat langit telah hitam dan selalu dengan dandanan yang
sama. Menor. Sebagai wanita, saya akui jika saya iri melihat bentuk tubuhnya. Tapi saya
tak tahu kapan jam pulangnya. Cuma siangnya saya sering melihat dia membeli sayuran.
Anehnya, ia memanggil tukang sayur saat ibu-ibu yang lain selesai berbelanja.
Saya mencoba tak ambil pusing dengan keberadaannya, toh ia tak pernah mengganggu
saya. Pernah beberapa kali saya mendengar suara cekikikan dua orang dari rumahnya. Lagi-lagi
saat tengah malam ketika saya harus ke kamar kecil. Pada awalnya saya kira itu hanya
perasaan saja. Tapi ketika saya tempelkan telinga ke tembok, saya mendengar suara
erangan yang mendesah. Salah satunya adalah suara laki-laki. Memang ada perasaan kaget,
namun cepat-cepat saya kembali tidur.
Lalu para tetangga mulai membicarakannya. Terutama ibu-ibu yang datang untuk menjahit
baju kepada saya atau saat berbelanja sayuran. Ada yang mengatakan bahwa ia wanita
simpanan, wanita panggilan, atau apalah. Saya diam saja karena takut menyebar fitnah.
Akhirnya saya mendengar bahwa ada yang melapor kepada haji Jamil agar mengusir wanita
itu. Tapi lelaki tua itu mengatakan bahwa ia tak bisa melakukannya mengingat wanita itu
tak pernah membuat masalah dan telah membayar kontrakan untuk tiga tahun.
* * *
Subuh tiba. Saya cepat bangun karena sulit memejamkan mata akibat suara Izan yang tak
berhenti menangis. Suara tangis itu mengiris hati saya. Saya jadi bingung apa yang akan
saya lakukan karena tangis itu seolah memanggil-manggil saya untuk segera datang ke
sana. Walau berat, akhirnya saya membuat keputusan.
Saya keluar. Rumah sebelah terlihat gelap. Tangis Izan masih terdengar. Lalu saya
membuka pagar, ke jalan setapak yang hanya bisa dilalui dua motor, dan kemudian masuk
3. ke halaman rumah wanita itu. Dengan perasaan ragu saya ketuk pintunya. Tidak ada
jawaban. Lalu saya ketuk beberapa kali dengan lebih keras, tetap tak ada jawaban. Saya
dorong pintu itu. Keras. Suara tangis Izan makin jelas terdengar. Saya merasakan detak
jantung yang memukul dada tak karuan.
Saya menoleh ke berbagai arah. Sisa-sisa malam belum menghilang, dan masih dipagut
sepi. Tembok tinggi bercat hitam di depan rumah kami juga belum menampakkan coretan-coretannya.
Namun tiba-tiba muncul beberapa lelaki yang pulang dari Mushola.
"Ada apa, Mbak Nurul?"
Mereka berhenti dan berkumpul di depan pagar. Saya cerita tentang suara tangis Izan yang
telah berlangsung beberapa jam. Awalnya mereka tampak ragu, tapi ketika tangisan Izan
terdengar mereka masuk ke halaman satu-persatu. Lalu salah seorang mengetuk pintu
setelah menempelkan telinganya beberapa detik dan mencari-cari celah untuk melihat ke
dalam. Mula-mula pelan, lambat laun keras. Yang lain juga ikut-ikutan mengetuk pintu.
Tapi tetap tak ada jawaban.
Salah seorang kemudian berinisiatif untuk memanggil haji Jamil. Tak lama kemudian haji
Jamil datang dengan membawa kunci duplikat. Jalannya tergopoh-gopoh, sehingga suara
kain sarung yang melilit di pinggangnya terdengar.
Pintu dibuka. Gelap. Suara Izan kini terdengar bagai orang kecegukan. Saya tahu suara itu
berasal dari kamar. Setelah lampu dinyalakan oleh haji Jamil, saya segera menuju ke kamar
dan menemukan tubuh Izan yang telah membiru. Tak ada lagi tangis. Matanya terpejam,
namun mulutnya menyerupai ikan mujair.
Tiba-tiba suara haji Jamil terdengar keras sambil membaca istigfar, diikuti oleh beberapa
lelaki lain. Saya segera keluar kamar sambil mendekap Izan. Saat berjalan beberapa
langkah ke pintu kamar mandi badan saya gemetar, jantung saya berhenti berdetak, dan
tengkuk saya seperti disiram air es. Bila tak ada tembok, mungkin saya telah jatuh
terduduk. Saya melihat seorang wanita tergantung dengan lidah menjulur dan mata
mendelik. Ada wajah setan.
* * *
"Kamu sedang menggambar apa, Izan?" Tanya Saya.
"Sayap malaikat."
Ucapan Izan sulit dimengerti. Mulanya saya juga mengalami kesulitan. Tapi karena setiap
saat berhubungan dengannya, lambat-laun saya bisa menangkap artinya. Yang paling
mengherankan adalah matanya yang tak pernah menatap saya bila diajak bicara. Tapi jika
diperhatikan, mata itu seperti menatap sesuatu.
"Kamu pernah melihat malaikat?"
"Pernah." Kata Izan. Tangannya terus saja menggambar. "Di rumah sebelah."
Saya teringat rumah itu yang kini kosong. Tak ada orang yang mau menempati meskipun
haji Jamil telah menurunkan biaya sewanya hingga setengah. Banyak yang bilang telah
mendengar suara-suara aneh dari rumah itu bila lewat di depannya. Entah benar atau tidak,
katanya ada yang pernah melihat wanita berambut panjang dari balik kaca sedang
menjulurkan lidah. Matanya bagai mata kucing dalam gelap, namun berwarna seperti api.
Lalu katanya lagi ada bau darah, terkadang bangkai. Tapi untungnya saya tak pernah
mendengar apa-apa dan tidak ada perasaan takut sedikit pun.
Yang saya takutkan hanya Izan. Gurunya di sekolah bilang ia berbeda dengan anak-anak
4. lainnya. Fisiknya agak lemah dan kecerdasannya sangat kurang. Akhirnya Izan tak lagi
sekolah. Untuk menyekolahkannya di tempat khusus saya tidak punya uang. Berapalah
pendapatan seorang penjahit yang tak memiliki suami seperti saya dan harus menghidupi
dua anak.
"Kok sayapnya cuma satu?" Saya bertanya lagi.
"Sebentar lagi dua."
Saya menatap Izan. Matanya yang berbentuk aneh kini tampak layu. Muncul rasa bersalah
yang tak mampu saya ungkapkan. Yang saya mampu lakukan hanya memberinya makan
dan menceritakan kisah-kisah malaikat sebelum tidur bersama anak kandung saya.
Untungnya anak kandung saya juga baik pada Izan.
Izan sangat menyukai cerita itu, terutama cerita malaikat yang sebenarnya saya karang
sendiri. Saya katakan bahwa malaikat itu memiliki dua sayap, bisa terbang, dan suka
menemui anak-anak yang berperilaku baik. Tapi mereka akan menyamar menjadi manusia
bila bertemu anak-anak. Kadang Izan bertanya walaupun kata-kata yang keluar terasa sulit
sekali.
"Izan mau ketemu malaikat lagi."
Kata-kata itu lagi yang diucapkan. Sudah beberapa hari ini. Mulanya saya tidak
menanggapi.
"Dimana, Izan?" Akhirnya saya bertanya.
"Di rumah sebelah."
Saya menarik napas. Saya pikir izan mungkin terlalu serius dengan cerita saya selama ini.
Lalu saya biarkan ia melanjutkan menggambar, sedangkan perhatian saya tercurah pada
jahitan.
Sore itu tiba-tiba langit gelap. Hujan turun dengan deras selama hampir satu jam. Saya terus
saja menjahit, karena besok akan diambil. Setelah itu saya membantu anak kandung saya
menyelesaikan PR. Saya melupakan Izan sama sekali. Saya baru sadar Izan tak ada saat
azan Magrib terdengar dan hujan telah berhenti.
Saya memanggil-manggil Izan. Karena tak ada jawaban saya keluar. Dari sana saya melihat
seorang anak kecil terbaring di rumah sebelah di atas bale bambu. Langsung saya menuju
ke sana. Jantung saya berdegup sangat keras saat saya tahu itu adalah Izan.
Anak itu diam dengan wajah tersenyum sambil memegang selembar kertas. Putih dan
pucat. Matanya tertutup. Saya membungkuk. Dengan gemetar saya sentuh dia sambil
menyebut namanya. Ia diam. Telapak tangan saya merasakan dingin. Lalu saya guncangkan
badannya perlahan. Tapi tubuh itu kaku.
"Izaaan." Saya berteriak. Ia tetap diam.
Tiba-tiba ada angin yang menggerakkan ujung kertas yang tertindih tangannya. Saya tarik
kertas itu pelan-pelan dari dekapan Izan. Mata saya tak mampu berkedip. Terlihat gambar
menyerupai sosok manusia yang kini telah memiliki dua sayap berwarna biru. Izan telah
menggambar sayap malaikat. ***