arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
Pintu yang terkunci (azizah hefni)
1. Jawa Pos
Minggu, 01 Juli 2007
Pintu yang Terkunci
Cerpen: Azizah Hefni
Ia pergi dengan gayanya yang gagah. Tangannya meraih kemeja dan celana, lantas
mengenakannya. Ia sisir rambutnya, ia tuangkan minyak pelicin di atasnya. Laki-laki itu
meraih jam tangan di meja sisi ranjang tempatku rebah, menyemprotkan minyak wangi,
mengambil tas, dan memakai sepatu. Tanpa menolehku yang pura-pura terpejam, ia
membuka pintu terkunci itu. Tak ada bunyi derit. Cukup halus ia membuka dan
menutupnya. Barulah suasana tenang. Seperti lautan yang sepi gulungan ombak. Seperti
pasar yang jelang petang. Seperti sekolahan yang ditinggalkan para murid.
Aku beranjak, membuka selimut yang sedari tadi menutupiku. Selimut ini kugunakan untuk
mendukung peranku di hadapan laki-laki gagah tadi. Aku selalu berperan sebagai
perempuan yang masih nyenyak dengan rangkaian mimpi bila menjelang pagi. Padahal aku
melihatnya berkemas, melihatnya bergegas. Sampai dia berlalu dari balik pintu terkunci itu.
Sampai kudengar deru motor dari luar rumah. Sampai kurasakan sepi panjang kembali
hadir di rumah ini.
Langkah lemah. Berkali-kali aku mendesah. Semalam aku telah selesaikan tugasku lagi.
Seperti beberapa malam yang lalu. Sungguh aku letih, aku perih. Tubuhku makin banyak
deret-deret luka merah muda. Di leher, bawah puting, punggung, dada, selakangan, dan
kemaluan. Laki-laki itu masih tetap dengan gaya harimau buas menyerangku. Ia lupa
bahwa sebetulnya aku adalah kayu apung di atas lautan. Tak bisa apa-apa, tak tahu apa-apa.
Mungkin dalam matanya aku adalah rusa gemuk, sehingga ia menyantapku puas-puas,
mengulitiku, mencucup keringatku, menyedot energiku, membobol isi perutku, dan
membuat garis-garis darah tertahan di punggung dan leherku. Tak hanya itu, ia merenangi
sumurku yang berlumut tak sudah-sudah. Seribu kali aku mengerang, seribu kali pula ia
berganti gaya. Aku nyaris pingsan, tapi ia memintaku bertahan.
Di depan sebuah cermin, aku melihat diriku yang telanjang. Tubuhku banyak goresan,
banyak darah tertahan. Paling banyak di bagian kemaluan. Mataku berat dan serat. Aku
seperti gunung yang mual dengan panas dalam tubuhku. Dalam tubuhku, cairan mendidih.
Sementara tubuhku amat letih, tak bisa menahan rasa nyeri dan mual yang kian memutih.
Kutatap diriku yang sayu dalam cermin. Tatapan mataku redup. Bibirku pucat. Napasku
terengah. Beberapa jenak aku jatuh sampai membentur cermin. Tubuhku tergeletak begitu
saja. Sebelumnya, aku sempat melihat air mataku menetes dua butir. Setelah itu gelap.
Gelap yang sungguh pengap.
***
Jam dinding di kamar masih terus menambah angka. Sedang ruangan berpintu itu masih
berdiri dengan angkuh. Waktu dan ruangan seolah-olah berkolaborasi mempermainkanku.
Hari-hariku tetap saja hambar. Tak ada tambahan warna atau rasa baru. Semuanya seperti
ini. Hitam. Putih. Hitam lagi. Putih lagi. Padahal, berapa banyak sebenarnya warna yang
ada dalam plastik kehidupan? Bukankah hidup adalah ragam? Pilihan? Aku tak tahu,
kenapa nasibku begitu angkuh. Ia tak izinkan aku memilih apa pun. Aku tetaplah
perempuan dalam ruangan, menunggu detak-detak waktu yang terus melangkah tanpa
bosan, menunggu laki-laki gagah itu pulang dari kerja, dan memintaku rebah di atas tempat
tidur dengan telanjang. Sementara pintu itu tetap tertutup. Seolah ada yang menguncinya
dari luar. Padahal kunci di lubang pintu masih menggantung. Aku bisa saja membukanya
sekali waktu. Tapi aku selalu menyaksikan Mikail mengawasi gerakanku. Siap menyerang
bila berani lewati batas pintu.
2. Kuobati luka memar akibat cakaran atau goresan kuku panjang laki-laki gagah tadi.
Sesekali aku merintih pelan, sesekali aku sontak tersentak karena nyeri. Bahkan sesekali
aku terpaksa menangisi tubuhku yang kian terluka. Ia melemparku tiap pagi serupa
melempar handuk dari bahunya. Ia memungutku tiap malam serupa ia memungut air dalam
gelas karena haus. Ia membiarkanku sepanjang siang dan sore, serupa ia membiarkan asap
keluar dari lubang knalpot motornya. Entahlah, sebenarnya ia anggap aku apa. Apakah
sebagai perempuan yang menyandang gelar istri atau cuma sebuah benda? Benda yang tak
bersuara. Benda yang terkunci di balik pintu ruangan yang angkuh.
Telepon berdering. Tubuhku yang terbalut kain tipis sedikit terkejut. Apakah laki-laki
gagah itu yang meneleponku? Ataukah orang lain? Kotak obat-obatan kuletakkan. Aku
bergegas menuju meja telepon.
"Hallo?"
"Ini aku, Gesti."
Aku mengangguk. Dia tetanggaku. Aku selalu melihatnya keluar rumah setiap pukul tujuh
pagi. Ia pekerja keras. Posturnya yang cantik membuatnya diterima bekerja pada sebuah
hotel bintang lima di kota. Rumahnya tepat di depan rumahku. Pernah aku beberapa kali
berbincang dengannya di daun jendela. Saat itu ia memintaku untuk keluar supaya bisa
berbicara dengan bebas. Tapi aku mengatakan, kalau ruangan yang kuhuni adalah ruangan
yang angkuh. Pintu tak pernah mau terbuka. Ada penjaga --walaupun entah apakah itu--
yang berdiri dan selalu mengawasi gerakanku.
"Aku melihat suamimu bersama seorang wanita ke restoran hotel tempatku bekerja."
Jantungku tiba-tiba berhenti. Tak hanya jantung, semua organ yang berdenyut seperti
memberikan kesempatan waktu pada otakku untuk terkejut. Tapi, sepanjang pikiranku
berjalan, hanya menemukan gang-gang buntu. Aku tak bisa pikirkan apa-apa lagi. Hanya
hatiku yang tiba-tiba tercekat, merasakan sesuatu yang berat.
"Dan...dan aku...." Gesti menyetop kata-katanya. Aku menunggu dengan ketegangan luar
biasa. "Aku melihat mereka sangat mesra. Bahkan..." Ketegangan itu memuncak. Aku
seperti terdakwa yang sedang mendengarkan vonis hukuman mati dari majelis hakim. Satu-satu
varian tubuhku melonjak ketakutan. Inilah ketegangan yang melahirkan sepi. Sepi
yang siap dengan udara luka masuk di setiap sudut jendelanya. "...mereka memesan sebuah
kamar hotel."
Tit! Aku mematikan benda yang menghadirkan suara Gesti. Barulah kurasakan semuanya
berputar-putar, mengaduk-aduk isi tubuhku sampai datar. Baru sekali ini aku mendengar
kalimat baru. Kalimat yang kejam. Langit siap copot dari atap yang menggantungnya. Aku
nyaris jatuh pingsan seperti tadi pagi. Tapi lagi-lagi aku tertahan sesuatu yang bulat dari
bilik nuraniku. Itu adalah kumpulan diamku menilai hidupku pasca-pernikahan.
Ketidakmengertian, kepasrahan, ketidakberdayaan, kelemahan. Benar, semua menumpuk
membentuk bulatan-bulatan kasar serupa batu bayangan dalam ruanganku (ruanganku ini
memang dipenuhi batu abstrak sehingga membuatku sulit bergerak). Aku ingin muntah.
Aku tak betah.
Tumpahlah. Segalanya menjelma aliran air dari mata yang tak punya muara. Ini lebih deras
dari tsunami yang melipat ratusan hektare daratan. Lebih sakit dari seribu Izrail mencabut
ruh jiwa yang menggigil. Kesakitan apakah. Ketidakmengertian apakah. Ya Tuhan, bau
neraka sepertinya sudah mulai masuk ke dalam cuping hidung sempitku. Dia tak sekadar
melemparku seperti handuk dari lingkaran lehernya, ia sekarang memotong-motong tubuh
lusuhku untuk dijadikan alas kaki atau penghilang debu.
***
3. Pintu masih terkunci. Ini kali pertama malam tanpa laki-laki gagah. Pintu masih diam
dengan keangkuhannya. Ia sama sekali tak iba melihatku menangis sendiri. Sebab laki-laki
gagah tak datang, makin gelisahlah aku. Layaknya gelombang lautan, aku bergulung-gulung
meruntuhkan diri. Diriku adalah manusia yang terbentur berbagai macam perasaan,
pikiran, dan peristiwa. Semuanya tak pernah kumengerti. Satu pun tidak. Aku hanya
mengerti bahwa laki-laki gagah memerintahku untuk diam di dalam rumah, menyediakan
makanan dan minuman, membersihkan perabotan, menunggu pagar terbuka dan pintu
kamar angkuh itu melebar. Aku juga hanya mengerti bahwa setiap ia memintaku untuk
rebah di atas ranjang, wajiblah bagiku rebah. Tanpa gerakan penolakan apalagi perlawanan.
Sudah kewajiban, begitu ia menjelaskan. Bahwa seorang perempuan yang berada dalam
sarang laki-laki adalah budak. Budak yang harus menahan sakit dan lelah.
Semua kuanggap amat sakral. Seolah ada jagal siap memotong leherku bila aku meronta.
Aku tak punya siapa-siapa sebagai labuhan. Aku hanya punya sepi yang terluka ini, dalam
ruangan berpintu yang selamanya terkunci untukku. Aku istri yang dibelinya atas nama
Tuhan. Dan, ia katakan, kalau fungsiku adalah sebagai penafkah batinnya. Cuma itu, tak
ada yang lain.
Sampai malam berkemas dan pagi menyongsong lekas. Laki-laki gagah tak juga datang.
Pikiranku kian mengambang. Aku ingin membuka pintu yang seolah terkunci itu dan
mencarinya. Apakah benar laki-laki gagahku masih bersama perempuan asing dalam kamar
hotel? Dunia ini ada untuk dikendalikan, tapi setiap kisah yang terbentang di wilayah
duniaku seperti mengendalikanku. Aku tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan.
Entah karena statusku, entah karena ketakutanku sendiri. Tapi ketahuilah, aku sungguh
khawatir. Khawatir laki-laki itu benar-benar akan meludahi namaku sebagai manusia!
***
Malam kedua, ketiga, dan keempat. Baru malam ini, malam keempat, tiba-tiba aku
mendengar suara pagar rumahku terbuka. Aku bangkit dan mengenakan pakaian setelah
separuh hari telanjang. Gores-gores luka akibat cakaran kasar laki-laki gagah itu sudah
mengering. Kulitku kembali padat. Kemaluanku kembali rapi. Selangkangan juga sudah tak
mengeluarkan darah tertahan. Sementara aku merasakan suasana ringan karena tak ada lagi
lelah. Kuintip sumber suara dari balik jendela. Kulihat laki-lakiku pulang dengan motornya.
Wajahnya tetap sangar. Matanya tetap menyembunyikan benda tajam. Aku menutup tirai
dan duduk tegang di bibir ranjang.
Pintu terkunci itu terbuka. Laki-laki gagah dengan tas punggungnya berdiri tegap di tengah
lubang keluar masuknya udara. Ia menatapku lama. Aku menunduk.
Tak seperti biasanya ia berjalan lemas. Ia lempar tas dan sepatu. Tanpa sepatah kata pun, ia
mendekati ranjang. Aku terpejam. Menunggu pecah sesuatu yang bungkam. Sementara
pintu perlahan-lahan tertutup. Sejujurnya karena angin, namun aku kira karena ulah Mikail
yang siaga di depan pintu. Ia rebah begitu saja. Pejamkan mata begitu saja. Mendengkur
begitu saja. Tanpa bilang, "Bersiaplah, buka pakaianmu! Layani aku dengan baik!"
Aku menelan ludah.
***
Laki-laki gagah tak pernah menjadikanku santapan makan malamnya lagi. Hari-hariku
terasa begitu longgar. Tapi kelonggaran ini bukan malah membuatku bebas bernapas.
Makin banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Apakah laki-laki gagah sudah mulai
merasa kalau selama ini ia telah melukai tubuhku? Kenapa ia tak pernah berbicara
denganku lagi? Kenapa dia tak melihat ulahku lagi?
Dunia ini memang selalu bergeser dan berubah. Seperti waktu ia melangkah mencari hal
dan suasana baru. Tak ada yang tahu ada apa dengan esok, nanti malam, nanti sore,
beberapa jam ke depan, atau bahkan beberapa detik kemudian. Semuanya bergeser tanpa
4. suara, membuat makin linglung manusia-manusia. Lantas apa tugasku? Bukahkah ia bilang,
tugas perempuan dalam sangkar laki-laki adalah pelayan. Budak. Bila tak lagi difungsikan,
lantas?
Nampaknya aku diubahnya menjadi seonggok benda tanpa guna.
Malam ini, aku heran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba menghardikku. Ia menjambak
rambutku, menatapku dengan hunusan pandang beracun. Aku terbata, tapi masih bisa
bertahan. Kakiku tak selemah dulu. Kakiku kuat menyangga tubuhku. Beberapa hari ini,
luka di tubuhku memang memulih. Dan aku rasakan aku sedikit semangat.
"Kau sudah tidak berguna!" Kurasakan percikan ludahnya masuk ke telaga mataku yang
gugup. Bau alkohol busuk membuatku mual. "Pergi sekarang!!"
Tanpa tahu apa pun, ia memerintahkanku pergi. Ia melemparku ke lantai. Sampai kepalaku
membentur tembok. Sampai kakiku membentur ranjang. Sampai tanganku membentur meja
rias. Darah mulai mengalir lagi.
Akhirnya, sekalipun tersengal, aku mencoba berdiri. Matanya yang meradang kulawan
dengan keluguan air mata. Kukatakan, "Kenapa kau menyuruhku pergi? Apa memang
begitu aturannya?! Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa aku harus menjadi penghuni
tetap ruangan ini, sekalipun kau berangkat bekerja?! Pintu itu selalu mengunciku, dan aku
selalu terima dia mengunciku!"
"Ya, aturannya memang begitu! Kau sudah bebas, pergi dari sini! Bahkan aku
memerintahkanmu untuk tak kembali ke rumah ini!!"
Maka, untuk pertama kalinya, aku melewati pintu yang mengunciku selama setahun itu.
Aku diusir laki-laki gagah dengan begitu tak manusiawi. Bibit dendam muncul pada mata
batinku yang telah ia lukai. Aku baru tahu kalau cinta tak pernah kukulum selama ini. Yang
kukulum adalah kepasrahan yang selalu ditertawakan kegagahannya!
***
Tapi setiap malam aku mengintai rumahku. Dengan taksi atau mobil tumpangan tetangga
baruku, selalu kuselipkan mataku pada dinding rumah bercat coklat. Selalu ada motor itu.
Selalu ada sandal itu. Selalu ada cahaya lampu itu.
Pertemuan dan perpisahan tidak pernah berada dalam jalan yang sama untuk bisa saling
menjelaskan keduanya. Ia datang dan pergi seperti angin. Ia tinggalkan kotoran atau emas
dalam tungku tanpa mengatakan untuk apa. Aku dipertemukan dan tiba-tiba dipisahkan.
Tanpa ada kejelasan kenapa aku dipertemukan dan kenapa aku dipisahkan. Semuanya
menjadi garis nasib yang cukup kejam untukku, entah untuk laki-laki gagah itu. Aku selalu
ingat ulah binatang bila melihat laki-laki gagah keluar dari pintu yang terkunci. Kucing
yang bersetubuh di jalan, ayam yang bertahi di jalan, sapi yang kencing di jalan, dan
seterusnya. Wanita yang ia rengkuh bahunya itu diizinkannya melewati pintu yang
terkunci. Ia juga diizinkan untuk berjalan-jalan di sebuah pasar swalayan atau diskotek
kota. Kukira ia telah memiliki ragam warna. Ia telah mengenal merah, hijau, kuning atau
bahkan campuran-campuran. Matanya senantiasa berbinar, kulitnya masih padat dan halus.
Aku yakin, tak ada darah di sekitar tubuhnya setiap kali usai melaksanakan tugasnya
melayani laki-laki gagah. Ada perbedaan perlakuan. Dan perbedaan itu justru ada pada
jenis manusia yang sama. Perempuan. Wanita. Aku dan wanita itu.
Dia jauh lebih cantik. Jauh lebih muda. Benar, setiap hari aku mengawasi keduanya. Setiap
hari aku mencari jawaban atas nasib yang selama ini kuterima. Aku selalu pulang dengan
hal baru. Hal yang tak pernah kutahu sebelumnya.
5. Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan
pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di
ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk
punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan
mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki
gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi, lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu
tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah
miliknya.
Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan
wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi.
Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap
dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air
dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita
dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan
yang mengubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi.
Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru!
***
Malang, 01 September 2006
*) Juara II Lomba Cipta Cerpen yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) berkerja
sama dengan Kantor Kementrian Pemuda & Olahraga 2006