Dokumen tersebut menceritakan kisah seorang anak yang kehilangan sahabat karibnya, Rosid, saat melakukan pendakian gunung bersama. Mereka tersesat di hutan pinus setelah Rosid terluka parah di kakinya. Anak tersebut berlari mencari pertolongan dan berhasil menemukan pos penjagaan, meski akhirnya pingsan. Ia kemudian bangun dan mengetahui Rosid dibawa ke sana dalam keadaan kritis.
1. MP3 playerku masih setia menemaniku hingga senja tiba. Lagu-lagu
favoritku dan dia terus terputar di playlist yang telah ku buat. Membuat ku
semakin tenggelam dalam kenangan saat masih bersamanya. Sahabatku yang
dulu selalu ada di sampingku. Aku masih terhanyut dalam kenangan di masa lalu
sejak pagi tadi. Kini senja mulai menampakan wujudnya, namun aku masih tak
ingin keluar dari kamarku.“Bayangkan ku melayang seluruh nafasku terbang.
Bayangkan ku menghilang semua tanpamu teman. Bila nafasku lepas, semua
langkah yang lelah, semua waktu yang hilang tapi bayangmu tetap….”
Tak mampu lagi aku menahan air mata ini saat terdengar lagu Peterpan
yang berjudul Sahabat terputar di MP3 player yang ku taruh tepat di
sampingku. Air mataku mulai jatuh membasahi pipiku. Aku hanya bisa menggigit
kecil bibir bawahku untuk menahan kesedihanku. Ku buka satu persatu gambargambar yang penuh kenangan di album fotoku. Gambar-gambar yang
mengingatkan ku akan sosok dia yang pernah menjadi orang paling penting
dalam hidupku. Namanya adalah Rosid. Sahabat terbaik yang pernah ku miliki.
Dahulu kami selalu bersama, dimanapun ada dia maka disitulah aku berada.
Namanya adalah Rosid. Dia adalah seorang anak pecinta alam. Bahkan
karenanya lah kini aku juga menjadi anak pecinta alam juga. Saat itu Rosid dan
teman-teman lainnya yang tergabung dalam ekskul pecinta alam di sekolahku
ingin mengadakan pendakian ke gunung Semeru yang terletak di Malang. Acara
ini memang di khususkan dalam rangka perpisahan untuk angkatan ku yang
memang sebentar lagi akan lulus dan keluar dari sekolah tentunya. Rosid sudah
terbilang sebagai pendaki yang aktif walaupun umurnya masih 18 tahun saat itu.
Dia sudah pernah mendaki ke gunung Gede Pangrango sebanyak dua kali, ke
gunung Salak dan Semeru satu kali. Walaupun aku berteman dengannya tak
lantas membuatku juga aktif sepertinya. Aku hanya pernah mengikutinya
mendaki ke gunung Gede Pangrango, itu pun hanya sekali. Maka dari itu dia
sangat bersikeras untuk mengajakku mendaki lagi. Karena dia pernah
mengatakan padaku “Sahabatku harus menjadi manusia yang kuat, terbiasa
menghadapi tantangan dan menaklukan tantangan itu.”
Hari keberangkatan pun tiba. Kami berkumpul di sekolah tepat pukul 11
pagi. Hari itu tak semendung biasanya. Awan hitam mulai menyelimuti langit
sejak pukul setengah 11 tadi. Membuat langit terlihat gelap seolah sedang
bersedih akan kepergian seseorang. Namun, aku hanya menganggapnya sebagai
tanda akan turun hujan. Sekitar jam 1 siang barulah kami berangkat dengan bis
yang telah di sewa sebelumnya. Hujan yang ku kira akan turun tadinya ternyata
tak turun juga. Tapi saat bis mulai berjalan keluar dan menuju ke jalan besar
barulah rintikan hujan mulai terlihat. Sepanjang perjalanan kami terus
bernyanyi dan tertawa bersama. “Jek, lagunya Mr. Big Jek yang judulnya Bang
Toyib!” Teriak Rosid saat itu meminta sebuah lagu ke Jaka yang sedang
memainkan gitar. “Hahahaha” Kami pun tertawa bersama karena permintaan
Rosid yang aneh itu.“Bangun woi bangun!! Ayo udah sampe nih kita!” teriak salah
satu temanku membangunkan kami satu persatu saat bis sudah sampai ke
2. tujuan. Kami segera terbangun dan mulai turun dari bis. Saat itu kami
diturunkan di pasar Tumpang dan sudah siap dua mobil jeep yang akan membawa
kami menuju resort Ratu Pani. Sesampainya di resort Ratu Pani kami
beristirahat sejenak menghilangkan rasa lelah yang telah menempel di tubuh
sejak tadi. Sudah lama aku tak melihat suasana seperti ini. Suasana para
pendaki yang sudah siap dengan peralatan lengkapnya masing-masing. Berkumpul
dan saling berinteraksi antara satu sama lainnya. Saling berbagi pengalaman
dan memberikan masukan. Waktunya pendakian pun tiba, kami saling berkumpul
membentuk lingkaran. Kami berdoa bersama kepada sang ilahi meminta
perlindungannya agar semua dapat berjalan lancar. Selesai berdoa kami diminta
oleh Rosid untuk bergabung dengan rombongan pendaki lain yang berasal dari
mahasiswa pecinta alam dari Universitas lain di Jakarta.“Loh, kita gabung sama
mereka sid?” Tanyaku yang terheran-heran ke Rosid.
“Iyalah, mana sanggup gue ngejagain lo semua kalo sendirian? Kan kalo ada
mereka banyak yang ngejagain orang amatir kayak lo pastinya. Haha..” Jawab
Rosid sambil menggodaku.
“Emmm… Tau deh yang udah sering naik. Naik berat badan!” Balasku sembari
menepuk bahunya.
“Hahaha…” Rosid hanya membalas dengan tertawa
Sepanjang perjalanan aku dan Rosid selalu bersama. Rosid selalu berada
di belakangku seperti ingin selalu menjagaku. Sempat aku merasa risih karena
aku ingin sesekali berada di belakangnya. Namun, ah sudahlah mungkin memang
belum saatnya aku menjaga dia. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah kami di
Ranu Kumbolo. Pemandangan yang indah dengan rumput-rumput ilalang serta
sekumpulan air jernih yang membentuk danau terlihat berada di tengahtengahnya. Sungguh pemandangan terindah pertama kali yang pernah ku lihat
saat mendaki gunung.“Kita istirahat sebentar ya di sini!” Teriak salah satu
mahasiswa pecinta alam yang mendampingi kami. Lalu kami mulai beristirahat
sembari menikmati pemandangan. Sungguh hanya rasa syukur dan kagum pada
sang ilahi saat itu yang ada di otakku karena aku benar-benar disuguhkan oleh
pemandangan yang indah. Belum lama aku merasa cukup beristirahat,
rombongan kami sudah diminta untuk melanjutkan perjalanan lagi. Aku yang
masih merasa lelah saat itu lalu meminta Rosid untuk tinggal beberapa saat lagi.
Rosid menerima permintaanku dan mempersilahkan rombongan untuk jalan lebih
dulu.
Setelah sudah cukup aku beristirahat barulah aku dan Rosid mulai
melanjutkan perjalanan lagi. “Lo tau jalan kan Sid?” Tanyaku yang ingin
menggodanya. “Iya tau, tau..” Jawab Rosid sambil terus berjalan di belakangku.
Memang aku sudah percaya saat itu dengan Rosid karena dia memang sudah
pernah ke Semeru sebelumnya. Tak lama kami berjalan sampailah kami di
padang rumput yang cukup luas dengan bukit dan hutan yang mengelilingi di
sisinya. Padang rumput itu bernama Oro-oro ombo. Aku terus berjalan sambil
terus menikmati pemandangan, hingga aku sedikit memelankan langkahku. “Ini
jalannya kemana Sid?” tanyaku yang bingung. “Udah jalan lurus aja.” Jawab
3. Rosid yang sempat terdiam beberapa detik saat aku bertanya. Beberapa
langkah aku sudah berjalan aku memutuskan untuk berhenti karena aku tidak
bisa membaca arah saat itu. Aku meminta Rosid untuk berada di depanku dan
dia pun langsung berada di depanku. Baru pertama kalinya saat itu Rosid benarbenar berada di depanku dalam perjalanan pendakian.
Saat itu aku memang benar-benar percaya padanya karena dia memang
sudah pernah ke Semeru sebelumnya. Tapi sepanjang aku di belakangnya Rosid
tampak seperti orang yang mencari arah. Sering dia melihat ke kanan dan ke
kiri, bahkan tak jarang dia memutarkan badannya memperhatikan sekitar
sambil terus melangkah. Sempat aku ingin bertanya padanya tapi rasa tak enak
dalam diriku membuatku membatalkan niatku. Kami terus melangkah hingga
memasuki wilayah hutan pinus. Kami terus melanjutkan langkah kami satu jam
lamanya dan aku masih melangkah di belakang Rosid. “Boy kita nyasar kayaknya
nih..” ucap Rosid padaku. Awalnya aku hanya menganggap itu sebagai candaannya
saja tapi ternyata dia tidak bercanda. “Ya udah kita balik aja ke tempat tadi
Sid!” ucapku mencoba memberikan pendapat pada Rosid. “Nggak bisa, kita udah
terlalu jauh masuk ke hutan, lagi pula tadi aku lupa tak memberi tanda
sepanjang perjalanan kita masuk ke hutan tadi.” Jelas Rosid yang mulai bingung.
Saat itu hari mulai gelap, kami terus berjalan hingga bisa menemukan tempat
yang pas untuk kami bersitirahat sejenak. “Kita istirahat dulu di sini. Kita nggak
akan jalan di malam hari. Terlalu bahaya…” Ucap Rosid padaku. Kami pun
beristirahat, kami tidur dengan sleeping bag masing-masing ditemani api unggun
kecil yang tadi sempat dibuat Rosid. Saat itu aku tak seperti orang yang hilang.
Aku merasa sangat terjaga saat sedang bersamanya. Tak ada rasa ragu dan
takut sedikitpun yang menyelimutiku.
Sudah hampir dua hari kami berada di dalam hutan dan masih belum bisa
menemukan jalan keluar. Kali ini keadaannya benar-benar berbeda. Aku dan
Rosid sudah mulai lelah, persediaan makanan dan air kami sudah habis. Bahkan
saat ini Rosid kakinya terluka akibat tersayat batang pohon saat mencoba
melewati pohon yang sudah tumbang. “Sid gue udah nggak kuat lagi nih..” kata
ku yang berjalan tertatih-tatih sambil menuntun Rosid yang jalan terpincangpincang. “Kita pasti bisa Boy, kita nggak boleh nyerah di sini. Belum waktunya…”
Ucap Rosid yang mencoba memotivasiku. Semangatku kembali tumbuh saat
Rosid terus memotivasiku. “Nah ini dia jalannya, nggak lama lagi kita sampe
Boy!” teriak Rosid dengan penuh semangat. Tapi saat aku mulai melangkah tibatiba dia seperti menjerit kesakitan “Aaarrghh..”. “Lo kenapa sid?” tanyaku
sembari mendudukan dan menyandarkan Rosid di bawah pohon. “Kaki gue sakit
banget Boy..” Rosid merintih kesakitan sambil memegangi kakinya yang terluka.
Aku melihat luka di kakinya semakin parah, mungkin karena infeksi. Memang
saat Rosid mendapatkan luka itu, tak adanya obat membuat ku terpaksa hanya
bisa mengikat luka yang cukup lebar di sekitar tulang keringnya dengan kain.
Pikirku agar darahnya tak terus keluar dan infeksi tak cepat menyebar. Ku lihat
wajahnya mulai pucat. Bibirnya mulai berwarna putih seperti orang yang
kekurangan darah. “Sid lo harus kuat sid! Lo kan yang bilang kalo kita nggak
4. boleh nyerah sekarang!” aku mencoba meyakinkan Rosid jika dia harus berjuang.
“Udah nggak bisa Boy.. udah nggak bisa..Ssshhh..” Rosid menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil memegangi kakinya dan menahan rasa sakitnya. “Lo harus
pergi sekarang Boy, kita udah di jalur yang bener. Nggak jauh dari sini lo akan
nemuin pos Kalimati..” Rosid mencoba menunjukan arah jalannya pada ku.
“Nggak! Gue nggak akan pernah ninggalin lo! Kita bakalan hidup Sid!” Teriak ku
saat itu yang mulai menitikan air mata. “Kalo emang lo mau gue hidup, sekarang
juga pergi ke pos Kalimati dan cari pertolongan di sana. Dan bawa pertolongan
itu ke sini Boy..” Rosid mencoba menyuruhku pergi. Aku benar-benar tak bisa
menahan air mata ku saat itu. Aku tertunduk lalu ku lihat wajahnya yang mulai
pucat tersenyum padaku. Aku putuskan untuk segera berlari menuju ke pos
Kalimati. Aku berlari dan terus berlari agar aku bisa menyelamatkan sahabatku.
Aku terus berlari seolah aku sudah lupa jika badanku sudah letih saat itu.
Akhirnya aku berhasil mencapai Kalimati dan kulihat banyak tenda dan para
pendaki yang berkumpul di situ. Beberapa dari mereka melihat ke arahku.
Langkahku mulai terhenti, aku masih terus mencoba mengangkat kakiku untuk
terus melangkah. Pandanganku mulai buram, badanku mulai terasa berat dan
nafasku sudah sangat terengah-engah. Tubuhku jatuh menghantam tanah,
mereka yang melihatku langsung menghampiriku dan mengangkatku. Dari situ
aku sudah mulai tak ingat apa-apa lagi hingga aku tersadar sudah terbaring di
tandu yang dibawa oleh banyak orang.
Mereka menaruhku di sebuah pos penjagaan, ingatku itu adalah Ratu
Pani. Pos pertama tempat kami mendaftar untuk mendaki. Aku masih belum bisa
benar-benar ingat apa yang terjadi padaku saat itu. Tapi tiba-tiba terdengar
teriakan seseorang “Ada satu lagi di belakang! Lukanya parah!”. Sontak aku
langsung bisa mengingat semuanya dan aku langsung mencoba membangunkan
tubuhku yang sudah benar-benar tak berdaya ini. Aku lihat samar seorang anak
seusiaku yang sedang di bawa oleh petugas dengan menggunakan tandu.
Berbeda denganku, anak itu langsung di berikan pertolongan yang intensif. Saat
itu ramai orang yang berkerumun, berlari ke sana ke mari. “Rosiid.. Rosiid..” Ku
teriak bersusah payah, namun hanya sedikit suara yang mampu keluar dari
mulutku ini. Mereka yang berkerumun mulai pergi dan aku sudah bisa melihat
Rosid dari kejauhan sedang diperiksa oleh petugas medis. Air mataku mulai
berlinang, tubuhku kembali sangat lemas begitu aku melihat petugas medis itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Memberikan isyarat pada petugas lain jika
anak itu sudah tak lagi bisa diselamatkan. Aku benar-benar tak sanggup lagi
menahan air mata saat itu. Aku hanya bisa menangis saat itu sambil terus
melampiaskan kekesalan di dalam pikiranku. “Bahkan saat sedang sekarat pun
kau masih mencoba untuk menjagaku sid. Kau menyuruhku pergi dengan alasan
untuk menyelamatkanmu. Padahal kamu tahu jika kamu tak akan bisa selamat!
Lalu kenapa kamu menyuruhku pergi? Kenapa kamu tak membiarkanku di
sampingmu? kanapa kamu ingin aku hidup? Kenapa kita tak bisa pergi bersama
lagi Sid? kenapa.. kenapa..???”
5. Kini sepuluh tahun sudah kepergian mu kawan. Aku masih sangat ingat
semua pesan yang kau berikan padaku. Aku masih ingat keinginanmu yang
terakhir saat kita tersesat di hutan. Malam itu kau berkata padaku “Aku ingin
bekerja membantu ibuku, membiayai adikku kuliah hingga melihatnya wisuda.”
Kini aku sudah mewujudkan keinginanmu. Ku yakin kau sudah melihat adikmu
wisuda dari tempatmu berada sekarang. Soal ibumu, aku sudah memberikannya
warung kecil-kecilan. Jadi kau tak perlu khawatir lagi dan bisa tenang di sana.
Tenang sahabatku itu semua sama sekali tak merepotkanku. Berkatmu kini aku
telah menemukan alasan mengapa aku masih hidup hingga saat ini dan mengapa
kau menginginkan ku tuk tetap hidup. Sampai jumpa sahabat ku. Jika di
kehidupan lain nanti kita bertemu lagi, aku ingin kau menjadi sahabatku lagi dan
aku lah yang akan selalu berada di belakangmu, melihat punggungmu dan
menjagamu selalu. Terima kasih, sahabatku.