Dokumen tersebut membahas tentang pengaruh pendidikan keperawatan terhadap komunikasi antara pasien dan tenaga kesehatan di rumah sakit di Malawi. Penelitian menemukan bahwa komunikasi yang efektif antara pasien dan tenaga kesehatan berpengaruh positif terhadap kepuasan pasien, kepatuhan terhadap pengobatan, dan kesembuhan. Namun, banyak tenaga kesehatan di Malawi masih kurang dalam berkomunikasi dengan pasien. Ole
1. 1
JOURNAL REVIEW
Penulis : Precious Madula
Tahun : 2013
Judul : Nursing education and its impact on patient-healthcare
provider communication in Malawian hospitals
Pendidikan Keperawatan Dan Dampaknya Terhadap Pasien-
Komunikasi Penyedia Layanan Kesehatan Di Rumah Sakit
Malawi
Jurnal : Journal of Media and Communication Studies
Vol. dan halaman : Vol. 5, No. 8 (page:123-131)
Reviewer : Taufik Hidayat
A. Latar Belakang
Efektifitas komunikasi inter personal (Interpersonal Communication) antara penyedia
layanan kesehatan dengan pasien merupakan salah satu elemen yang paling penting untuk
meningkatkan kepuasan klien, kepatuhan minum obat dan kecepatan kesembuhan. Pasien yang
memahami sifat penyakit dan pengobatannya serta percaya tidakan pelayanan kesehatan akan
meningkatkan kesejahteraan mereka, menunjukkan sikap kepuasan yang lebih besar pada
perawatan yang diterima dan lebih patuh terhadap tindakan medis dan pengobatan.
Penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi apakah perguruan tinggi keperawatan di
Malawi membekali kemampuan komunikasi yang dapat mempersiapkan siswa untuk
mengatasi keterampilan komunikasi interpersonal dalam praktek. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa banyak perguruan tinggi lebih banyak menekankan pada mata pelajaran
ilmu biomedis dan mengurangi kemampuan komunikasi padahal ini adalah kompetensi utama
dalam perawatan.
Ada dugaan yang salah bahwa komunikasi interpersonal adalah keterampilan yang
sangat mudah dan tidak perlu dilatih. Namun komunikasi yang efektif ternyata tidak tumbuh
secara alami, juga tidak mudah diperoleh. Penyedia layanan kesehatan ternyata sangat
memerlukan dalam peran komunikasi interpersonal yang berfungsi terapetik sehingga
seharusnya menjadi bagian integral dari pendidikan keperawatan.
2. 2
Di Malawi, masalah komunikasi yang buruk antara pasien dan penyedia layanan
kesehatan bukan hal yang aneh. Selama bertahun-tahun keluhan sering dilaporkan ada masalah
komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien melalui media koran dan radio bahwa banyak
tenaga kesehatan yang gagal untuk berkomunikasi secara efektif dengan pasien. Banyak resiko
yang muncul sebagai akibatnya seperti kematian, komplikasi dan biaya perawatan yang besar..
Salah satu kasus komunikasi yang buruk terjadi ketika seorang pasien pergi ke ruang diagnostik
dan farmasi. Selama ini, kurangnya keterampilan Interpersonal Communication pada pasien
membuat keadaan menjadi lebih buruk, pengobatan yang diberikan kepada pasien tidak efektif
bekerja karena beberapa pekerja kesehatan tidak efektif berkomunikasi tentang bagaimana
pasien harus minum obat. Oleh karena itu tugas penelitian ini untuk menilai apakah pendidikan
komunikasi yang ditawarkan kepada siswa perawat yang memadai atau perlu ditingkatkan di
beberapa daerah.
B. Desain Penelitian, Metodologi dan Sampel
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional yang menggunakan metode-metode
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Tempat penelitian adalah Malawi dan data dikumpulkan di
dua lokasi pertama di rumah sakit pemerintah dan kedua perguruan tinggi keperawatan. Total
sampel berjumlah (N=280). Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan SPSS Versi
20 dan Chi-Square tes statistik yang dilakukan untuk menentukan apakah ada hubungan antara
dua variabel kategori.
Karakteristik Sampel
Variabel
Frekuensi
(F)
Persentase
(%)
Chi-square
(X2)
Derajat
kebebasan
(Df)
Asymp.
Sig.(P-value)
Pasien
Perempuan 91 76
32.033 1 .000
Pria 29 24
Usia pasien
18-25 60 50
77.8 3 0.000
26-40 47 39.2
41-60 11 9.2
60+ 2 1.7
Mahasiswa-
perawat
Perempuan 36 60
2.400 1 0.121
Pria 24 40
3. 3
Usia siswa-
perawat
18-25 51 85
72.700 2 0.00026-40 7 11.7
41-60 2 2.3
Penyedia
layanan
kesehatan
Perempuan 60 60
2.400 1 0.121
Pria 40 40
Usia penyedia
layanan
kesehatan
18-25 35 35
25.340 2 0.000
26-40 53 53
C. Pembahasan
Komunikasi antara penyedia layanan kesehatan dan pasien telah diteliti dalam berbagai
studi dari berbagai perspektif. Kebanyakan fokus peneliti pada proses transfer informasi antara
penyedia dengan pasien, studi fenomena tersebut menerangkan: gejala-gejala yang diungkap
oleh pasien, jumlah informasi yang diberikan oleh dokter, pemahaman tentang informasi yang
diberikan dan jumlah waktu yang dihabiskan dalam komunikasi terapetik.
1. Sifat komunikasi terapetik
Pentingnya komunikasi pelayanan tenaga kesehatan yang baik dan efektif seharusnya
terdokumentasikan dengan baik. Temuan penelitian bahwa komunikasi berpengaruh positif
terhadap kesehatan. Linney (2007) berpendapat komunikasi telah terbukti memiliki dampak
positif pada sejumlah hasil kesehatan dalam studi sebelumnya khususnya komunikasi efektif
dan terapiutik. Dalam sebuah studi yang menyelidiki efek dari pelatihan keterampilan
komunikasi pada proses dan hasil perawatan yang berhubungan dengan gangguan emosi
pasien, peningkatan kemampuan komunikasi petugas kesehatan terbukti berhubungan dengan
penurunan tekanan emosional pada pasien. Dimana komunikasi antara pasien dan penyedia
layanan kesehatan ada, umpan balik yang baik dan Peringkat interaksi sering sangat tinggi
(Negri, 2009; Tuohy, 2003).
Di Malawi issu komunikasi penyedia layanan/ tenaga kesehatan dengan pasien
terdengar banyak keluhan. Penelitian ini melalui persepsi pasien menunjukkan temuan bahwa
komunikasi mereka (14,2%) mengatakan sangat baik, (60%) mengatakan baik, (15,8%)
mengatakan biasa saja dan hanya (10%) menunjukkan buruk. Demikian pula, dari penyedia
4. 4
layanan/ tenaga kesehatan mereka sepakat menilai komunikasi interpersonal (47%)
mengatakan sangat baik (26%) mengatakan baik sedangkan hanya (6%) menunjukkan kurang.
Komunikasi yang efektif diwujudkan pada pasien dengan cara memahami komunikasi
interpersonal antara penyedia dengan pasien. Dari 92 responden (76,7%) menunjukkan bahwa
mereka menyadari tentang keadaan kesehatannya, dari 28 responden (23,3%) mengatakan
tidak mengerti. Hasil ini sangat signifikan berhubungan kepuasan pasien. Dari 89 responden
(72,4%) menunjukkan bahwa tenaga kesehatan memberikan informasi penyakit secara rinci
tentang keadaan penyakit. Sedangkan (15,8%) atau dari 12 paeien mengatakan bahwa tenaga
kesehatan tidak menjelaskan hal-hal secara rinci dan 12 pasien atau (10%) mengatakan teanga
kesehatan kadang-kadang memberikan informasi penyakit kepada mereka.
2. Kepercayaan pasien dalam komunikasi
Kepercayaan pasien pada penyedia layanan atau tenaga kesehatan merupakan variabel
yang juga dapat mempengaruhi kepuasan pasien. Ketika pasien percaya bahwa tenaga
kesehatan dapat menyimpan informasi dengan rahasia, akan membantu mereka untuk
menemukan obat secara emosional dan dapat menemukan kebebasan berkomunikasi dalam
unsur-unsur terapiutik. Pengembangan kepercayaan tidak dapat dikaitkan dengan salah satu
penyebab tunggal dan ada banyak strategi untuk meningkatkan kepercayaan dalam pengaturan
kesehatan. misalnya, sikap humor dalam rangka rapport atau hubungan saling percaya dengan
pasien mereka (Johnson, 2002).
Kepercayaan memberikan dampak luar biasa, bentuk interaksi, emosional, dan
perasaan bebas serta membangun sikap interest/ minat serta motivasi yang besar untuk sembuh.
Menurut Linney (2007), mendengarkan secara aktif merupakan kunci dalam tindakan
membangun kepercayaan untuk tetap fokus pada pesan orang lain. Ini juga berarti menjaga
pikiran yang terbuka untuk ide-ide orang lain bahkan jika mereka tidak setuju. Sebuah penyedia
layanan kesehatan dapat menunjukkan minat pada pasien melalui kontak mata, postur, tubuh
dan ekspresi wajah.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa (77,5%) responden mengatakan bahwa tenaga
kesehatan mampu menunjukkan minat mendengarkan yang baik saat berkomunikasi
interpersonal, sedangkan 27 responden atau (22,5%) mengatakan bahwa penyedia layanan/
tenaga kesehatan tidak menunjukkan acuh tak acuh.
5. 5
3. Durasi kontak komunikasi terapiutik dengan pasien
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penyedia layanan hanya menghabiskan
sedikit waktu untuk berkomunikasi dengan pasien mereka. Misalnya, dalam penelitian mereka,
Bell et al. (2008) mengungkapkan bahwa penyedia layanan kesehatan hampir tidak diberikan
pasien kesempatan untuk mengekspresikan diri atau mengklarifikasi informasi sebelum
mengganggu. Studi lain oleh Claramita et al. (2011) juga menemukan bahwa dalam beberapa
kasus pasien hanya diberikan detik untuk memberikan informasi tentang penyakit mereka.
Mereka mengidentifikasi waktu sebagai penghalang utama bagi pasien-kesehatan komunikasi
provider. Keterbatasan waktu yang melekat dalam sistem perawatan kesehatan dan dalam
kebanyakan kasus jumlah pasien yang tinggi tidak memberikan waktu yang cukup untuk
kesehatan pasien yang tepat penyedia.
Dalam penelitian ini, (17%) dari penyedia layanan kesehatan mengatakan bahwa
mereka menghabiskan kurang dari satu menit dalam berkomunikasi dengan pasien mereka,
(31%) mengatakan kurang dari lima menit, sementara (52%) menyatakan bahwa mereka
menghabiskan lebih dari lima menit berbicara dengan pasien mereka. Beberapa alasan yang
muncul menunjukkan bawa sulit secara tepat menentukan jumlah aktual yang dihabiskan untuk
berkomunikasi dengan pasien karena mereka ditangani dengan kasus berbeda yang memiliki
kebutuhan komunikasi yang berbeda pula.
Para responden juga menunjukkan bahwa itu umumnya sulit bagi mereka untuk
berkomunikasi secara memadai dengan pasien karena beban kerja yang berat, rasio pasien yang
tinggi dan jadwal yang sibuk. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kato et
al. (1996). Temuan mereka menunjukkan bahwa penyedia layanan kesehatan dianggap sebagai
pekerjaan-beban hambatan komunikasi asa utama kesehatan dengan pasien. Penelitian lain,
McCabe (2003) mengungkapkan bahwa penyedia layanan kesehatan dapat membentuk
hubungan yang baik dengan pasien jika mereka bekerja di klien daripada sistem organisasi
berbasis tugas. Ini berarti bahwa penyedia layanan kesehatan harus bertujuan berkomunikasi
secara efektif dengan pasien bukan bertujuan menyelesaikan beban kerja yang berat.
6. 6
D. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, penelitian ini menyoroti pendidikan keterampilan komunikasi
dalam aplikatif pada sarana kesehatan. Temuan literatur menunjukkan bahwa kemampuan
komunikasi penting bahwa beberapa penyedia layanan kesehatan memiliki masalah ketika
berkomunikasi dengan klien mereka. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
komunikasi petugas kesehatan harus dibangun dan selaras antara lembaga pendidikan dengan
institusi pelayanan kesehatan. Komunikasi interpersonal yang bersifat terapiutik ternyata
menjadi elemen penting dalam perawatan dan pengobatan kepada pasien. Komunikasi
interpersonal yang baik dan cukup berhubungan erat dengan kepuasan, loyalitas dan
kesembuhan serta dapat menurunkan resiko kematian dalam proses perawatan. Oleh karena itu
sangat penting bagi pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang bertanggungjawab
pelayanan kepada masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang disebutkan untuk
menerapkan/ melakukan perubahan pola komunikasi interpersonal terapiutik yang ramah
santun.
7. 7
REFERENSI
Bell CM, Schnipper JL, Auerbach AD, Kaboli PJ, Wetterneck TB, Gonzalez DV, Vineet MA,
Zhang
JX, Meltzer DO (2008). Asosiasi komunikasi antara dokter rumah sakit berbasis dan
penyedia
perawatan primer dengan hasil pasien. J. Jenderal Int. Med. 24 (3): 381-386.
Claramita M, Utarini A, Soebono H, Van Dalen J, Van de Vleuten C (2011). Dokter-pasien
komunikasi dalam pengaturan Asia Tenggara: Konflik antara ideal dan realitas. Adv. Sci
Kesehatan. Educ. 16: 69- 80.
Ely JW, Levinson W (1995). Penyebab dirasakan kesalahan keluarga dokter. J. Fam. 40 (4):
337-344.
Fiscella K, S Meldrum, Frank P, Shields CG, Duberstein PR, McDaniel SH, Epstein RM
(2004).
Kepercayaan pasien: Apakah itu terkait dengan perilaku dokter perawatan primer berpusat
pada
pasien? Perawatan Medis, 42: 1049-1055.
Johnson P(2002). Penggunaan humor dan pengaruh pada spiritualitas dan coping pada survivor
kanker
payudara. Oncol. Nurs. Forum 29 (4): 691- 695.
Kamwendo GH (2004). Kebijakan bahasa dalam pelayanan kesehatan: Sebuah studi
sosiolinguistik
dari rumah sakit rujukan Malawi. Lembaga Studi Asia dan Afrika, Helsinki.
Leonard M, Graham S, Bonacum D (2004). Faktor manusia: The pentingnya kerja tim yang
efektif dan
komunikasi di memberikan perawatan yang aman. Qual. Saf. HC. 13 (1): 185-190.
8. 8
Linney G (2007). Keterampilan komunikasi memprediksi kesuksesan. Phys. Exec. pp.72-74.
Negri B, Brown LP, Hernandez O, Rosenbaun J, Roter D (2009). Meningkatkan komunikasi
interpersonal antara kesehatan penyedia dan klien. Bethseda: Quality Assurance Project.
Roter DL, Balai JA (1993). Penyedia layanan kesehatan berbicara dengan pasien / penderita
berbicara
dengan penyedia layanan kesehatan: Meningkatkan komunikasi dalam kunjungan medis.
Auburn
House, Westport, C.T.
Roter DL (2004). Pasien berpusat komunikasi: lebih dari serangkaian kata-kata. BMJ USA. 4:
279-
280.
Shukla AK, Yadav VS, Kastury N (2010). Kesehatan penyedia patientcommunication: Sebuah
aspek
penting tetapi sering diabaikan dalam kedokteran klinis. J. Ind. Acad. Clin. Med. 11: 3.
Tuohy D (2003). Mahasiswa perawat-tua seseorang komunikasi [Version Electronic]. Perawat
Pendidikan Hari ini, 23: 19-26.
Willems S, De Maesschalck S, M Deveugele, Derese A, De Maeseneer J (2005). Status sosial-
ekonomi komunikasi pasien dan dokter-pasien: Apakah ada bedanya? Pat. Edu. Penasehat.
Tersedia di 56 (2): 139-146. Tersedia di
https://biblio.ugent.be/input/download?func=downFile&fileOId=55827 2 & recordOId =
315.110.