1. Kejang Demam| 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering terjadi pada
anak, 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini dikarenakan,
anak yang masih berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit
disebabkan sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara sempurna (Harjaningrum,
2011).
Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidaklah sama,
tergantung nilai ambang kejang masing-masing. Oleh karena itu, setiap serangan kejang
harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat, apalagi kejang yang berlangsung
lama dan berulang.Sebab, keterlambatan dan kesalahan prosedur bisa mengakibatkan
gejala sisa pada anak, bahkan bisa menyebabkan kematian (Fida&Maya, 2012).
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai apneu (henti nafas) yang dapat
mengakibatkan terjadinya hipoksia (berkurangnya kadar oksigen jaringan) sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak.Apabila anak sering kejang, akan semakin banyak sel otak
yang rusak dan mempunyai risiko menyebabkan keterlambatan perkembangan,
retardasi mental, kelumpuhan dan juga 2-10% dapat berkembang menjadi epilepsi
(Mohammadi, 2010)
WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat lebih dari 21,65 juta penderita
kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal. Selain itu di Kuwait dari
400 anak berusia 1 bulan-13 tahun dengan riwayat kejang, yang mengalami kejang
demam sekitar 77% (WHO, 2005).
Insiden terjadinya kejang demam diperkirakan mencapai 4-5% dari jumlah
penduduk di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat.Namun di Asia angka
kejadian kejang demam lebih tinggi, seperti di Jepang dilaporkan antara 6-9% kejadian
kejang demam, 5-10% di India, dan 14% di Guam (Hernal, 2010).
2. Kejang Demam| 2
Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2-4% tahun 2008
dengan 80% disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan. Angka kejadian di wilayah
Jawa Tengah sekitar2-5% pada anakusia 6 bulan-5 tahun disetiap tahunnya. 25-50%
kejang demam akan mengalami bangkitan kejang demam berulang (Gunawan, 2008).
Kejang pada anak dapat mengganggu kehidupan keluarga dan kehidupan sosial
orang tua khususnya ibu, karena ibu dibuat stress dan rasa cemas yang luar
biasa.Bahkan, ada yang mengira anaknya bisa meninggal karena kejang. Beberapa ibu
panik ketika anak mereka demam dan melakukan kesalahan dalam mengatasi demam
dan komplikasinya. Kesalahan yang dilakukan ibu salah satunya disebabkan karena
kurang pengetahuan dalam menangani. Memberikan informasi kepada ibu tentang
hubungan demam dan kejang itu sendiri merupakan hal yang penting untuk
menghilangkan stress dan cemas mereka (Hazaveh, 2011)..
Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan ibu dalam mengatasi demam pada
anak sebelum terjadi kejang dan selanjutnya membawa ke rumah sakit.Mengukur suhu
dan memberi obat penurun panas, kompres air hangat (yang suhunya kurang lebih sama
dengan suhu badan anak) dan memberikan cairan yang cukup dapat menurunkan suhu
tubuh anak.Ibu harus menyadar ibahwa demam merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kejang, dikarenakan adanya peningkatan suhu tubuh yang cepat (Raftery,
2008).
1.2 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami tentang teori dan kasus kejang demam
3. Kejang Demam| 3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat ataupun epilepsi yang kebetulan
terjadi bersamaan dengan timbulnya demam (Wardhani AK, 2013).
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan
suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,8C aksila. Pendapat para ahli terbanyak
kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar
2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari
90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan
22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan
(Pasaribu AS, 2013).
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di
Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa dan di
Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Sedangkan di Hong
Kong angka kejadian kejang demam sebesar 0,35%. Dan di China mencapai 0,5 –
1,5%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14% (Pasaribu AS, 2013).
4. Kejang Demam| 4
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bankitan
kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf
tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam terjadi pada anak
berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang demam terjadi pada anak
berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam
tertinggi pada usia 18 bulan (American Academy of Pediatrics, 1999).
2.3 Klasifikasi Kejang Demam
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks.
Tabel 2.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks
No Klinis KD Sederhana KD Kompleks
1 Durasi < 15 Menit >15 Menit
2 Tipe Kejang Umum Umum/Fokal
3 Berulang dalam 1 episode 1Kali >1 Kali
4 Defisit Neurologis - +/-
5 Riwayat Keluarga Kejang Demam +/- +/-
6 Riwayat Keluarga Tanpa Kejang
Demam
+/- +/-
7 Abnormalitas Neurologis Sebelumnya +/- +/-
Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan 35%
berupa kejang demam kompleks.
2.4 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat
keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat badan
lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang
akibat toksik, trauma kepala).
5. Kejang Demam| 5
a. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80C
aksila atau diatas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi
pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan
penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam sebesar 80% (Graves dkk, 2012).
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang
kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal
ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu
derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga dengan
adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan
oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk
jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake
asam glutamate oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion
Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel. Timbunan
asam glutamate akan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap ion Na+
sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke
dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan
mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na+
intra dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel
neuron sehingga membrane sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam
dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu (Fuadi,
2010).
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan kadar
asam glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya kenaikan
suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate.
Perubahan glutamin menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh.
Asam glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak
dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak (Fuadi,2010).
6. Kejang Demam| 6
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2)
perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi dan
6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai
migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai
bertahun-tahun pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal
dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam
glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif, sedangkan GABA sebagai inhibitor
yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih dominan dibandingkan inhibisi.
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi
sebagai prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi
sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam
(Fuadi, 2010).
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila
salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan
apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang
tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam maka resiko terjadinya
kejang demam hanya 9% (Fuadi, 2010).
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan
dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai konplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi
kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah,
penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan
7. Kejang Demam| 7
asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia
dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan
primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita
kejang pada anak sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama
kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat
berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke
plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi
berat lahir rendah (Fuadi,2010).
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang
ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan
yang mungkin terjadi adalah partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak.
Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat
berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak.
Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi
klinisnya (Fuadi, 2010).
g. Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan
ibu, seperti menelan obat-obatan tertentu yang daopat merusak otak janin,
mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat
penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan
perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan
meningkatkan resiko kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok pada saat
hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan
8. Kejang Demam| 8
perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehingga
diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat
terjadinya kejang (Fuadi, 2010).
h. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah
intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses
persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan
selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan
iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada
stadium akut dengan frekuensi bergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan
lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam
setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang
menjadi lebih sering dan hebat.
Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis yaitu
diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan
Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya
faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul
kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).
i. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak
dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan
BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia.
Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal.
Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya
(Fuadi, 2010).
j. Kelahiran premature dan postmatur
Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga
belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia
9. Kejang Demam| 9
berat, dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini
menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap
serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang
permanen lebih besar. Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan
terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan
menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu
yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic (Fuadi, 2010).
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1
jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan
pada multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar
dan lama meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin.
Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang (Fuadi,
2010).
l. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan
letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi.
Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi
sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat
terjadi pada bayi premature dan cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis
dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena
kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan
perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya
berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan
disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya
10. Kejang Demam| 10
disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan
subarachnoid terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama
dengan perdarahan intraventrikular Keadaan ini akan menimbulkan gangguan
struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya (Fuadi,
2010).
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis,
dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling
umum adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang
yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan
umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan
daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada
meningitis dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa
cerebral palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta
kejang. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada
sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy
yang dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang (Fuadi,2010).
12. Kejang Demam| 12
2.5 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik
yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik
berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti juga sel hidup
umumnya, mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu selisih
potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan
dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membrane berkisar antara 30 – 100
mV, selisih potensial membrane ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan. Potensial membrane ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion
terutama ion Na+ , K+ , dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi akan
mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial membrane ini
akan mengakibatkan permeabilitas membrane tehadap ion Na+ akan lebih banyak
masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membrane masih
dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+ , sehingga selisih potensial
kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak
menjalar, yang disebut sebagai respon local (Fuadi, 2010).
Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap
(firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+ akan meningkat secara
besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini
akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan perantara zat kimia
yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesa, maka
permeabilitas membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali
ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na – K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen (Fuadi, 2010).
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang
sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
13. Kejang Demam| 13
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan
kejang. Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan
bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang
lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi
neuron karena kegagalan metabolisme otak (Fuadi, 2010).
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permeabilitas membrane sel
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron
d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran
ion-ion keluar masuk sel.
14. Kejang Demam| 14
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya diikuti dengan apnea, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh
metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan 24 selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan
peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya
terjadi kerusakan sel neuron (Fuadi, 2010).
2.6 Penegakan Diagnosa
Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk membuat
diagnosis kejang demam sederhana, yaitu (Fuadi, 2010)
1. Dari anamnesa yang didapatkan
- Umur pasien kurang dari 6 tahun (1 tahun 11 bulan)
- Kejang didahului demam
- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 5 menit
- Kejang umum dan tonik klonik
- Kejang berhenti sendiri
- Pasien tetap sadar setelah kejang
2. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan
- Suhu tubuh aksila 38,20C
- Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall
Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang lama kejangnya
kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang
demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit baik bersifat
fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada
15. Kejang Demam| 15
lebih dari satu episode demam. Penggolongan tidak lagi menurut kejang demam
sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam tetapi dibagi menjadi pasien yang
memerlukan dan tidak memerlukan pengobatan rumat (Fuadi, 2010).
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada
anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi
traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-
9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan
ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan
kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam
mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang terjadi pada suhu
antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC (Pasaribu, 2013).
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium
tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan
serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%- 6,7%. Pungsi
lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18
bulan (Pasaribu, 2013).
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang
lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang
mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal
diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk me- nyingkirkan
adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan demielinasi,
dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang menderita kejang demam
(Deliana, 2002)..
16. Kejang Demam| 16
2.7 Tatalaksana
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:
a. Mencegah kejang demam berulang
b. Mencegah status epilepsy
c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
d. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.
Pengobatan fase akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga
berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus
dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan,
kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres
air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10 mg/kgBB, 4 kali
sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari) (Deliana, 2002).
Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase
akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat
diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya
lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena
pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal pada anak yang
lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal
dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan
lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta dapat
pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak tersedia, dapat
diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus,
50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun.
Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk
mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke
aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek
terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena (Deliana, 2002).
17. Kejang Demam| 17
Mencari dan Mengobati Penyebab
Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti
meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal
diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena
gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok umur tersebut.
Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula kontraindikasinya.
Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,
seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-
Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan
pertama kali terjadi (Deliana, 2002).
Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu: (Deliana, 2002)
- Profilaksis intermittent pada waktu demam
- Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai
dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien
mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 6 jam.
Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat
diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50C untuk mencegah timbulnya
kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan
pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah
antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan
pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya diberikan Diazepam oral
sebagai profilaksis, karena kondisi pasien kompos mentis dan masih dapat
mengkonsumsi obat oral (Deliana, 2002).
18. Kejang Demam| 18
Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
- Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua
atau saudara kandung.
- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
- Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan. Pemberian
profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Pemberian
fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah
menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi
dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat yang
memejiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane meneliti
kejadian kang berulang sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati dengan asam
valproate dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam valproat. Dosis
asam valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping yang ditemukan adalah
hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek
profilaksis terus menerus.
Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan menghadapi
kejang demam diantara lain adalah sebagai berikut:
- Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai
penanganan demam dan kejang.
19. Kejang Demam| 19
- Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis 0,5
mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam. Sebagai
alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan fenobarbital.
- Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang. Pemberian fenobarbital
profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian sebaiknya dibatasi sampai 6 –
12 bulan kejang tidak berulang lagi dan kadar fenobarbital dalam darah
dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga dipantau keadaan tingkah laku dan
psikologis anak.
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres
pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik.
Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup informasi mengenai
penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat,
maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian
(Pasaribu, 2013).
2.8 Prognosis
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam
dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan
pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna
mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun
prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi
orangtuanya (Aliaba dkk, 2013).
Pada kasus ini pasien mengalami batuk dan pilek sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tonsil tidak
membesar tetapi hiperemis dan faring yang juga hiperemis. Sehingga dapat dipastikan
bahwa demam disebabkan karena telah terjadi peradangan pada tonsil dan faring
pasien. Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan
dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah
20. Kejang Demam| 20
mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan
kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14 - 40% kejang
terjadi pada suhu antara 38° - 38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C - 39,9ºC.
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak
dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah
perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan
serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% - 6,7%. Pungsi
lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18
bulan. Pada kasus ini pasien telah berumur 23 bulan dan secara klinis tidak ditemukan
gejala yang mengarah pada infeksi intrakranial sehingga pemeriksaan pungsi tidak
perlu dilakukan.
Kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi oksidasi
berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan terjadi keadaan
hipoksia. Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen, serta
terganggunya berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi perubahan
konsentrasi ion natrium, sehingga lebih baik jika dilakukan pemeriksaan
elektrolit dan glukosa darah.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini hanya
keadaan tonsil dan faring yang hiperemis. Pemeriksaan penunjang berupa hasil
laboratorium darah rutin mengarahkan adanya infeksi bakteri berupa kadar
leukosit yang meningkat, sehingga pemberian antibiotik diberikan pada kasus ini.
Sedangkan terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam
sudah sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama
pasien mengalami demam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis
intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai
38,50C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai
profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain.
21. Kejang Demam| 21
Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah
terulangnya kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja.
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres
pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik.
Orang tua anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam
dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada
pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian.
Simpulan, telah ditegakkan diagnosis Kejang Demam Sederhana e.c
tonsilofaringitis pada seorang anak perempuan berusia 2 tahun atas dasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini demam terjadi karena
adanya infeksi bakteri pada tonsil dan faring. Penatalaksanaan Kejang Demam dengan
memberikan oksigen, cairan intravena untuk memenuhi kebutuhan elektrolit, serta
kalori yang seimbang sebagai terapi supportif, serta pemberian antipiretik dan
antikonvulsan sebagai terapi medikamentosa. Dengan penatalaksanaan yang cepat dan
tepat maka prognosis akan lebih baik.
22. Kejang Demam| 22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Status Orang Sakit
I. Anamnese Pribadi O.S
Nama : Nayla Wandira
Umur : 1 Tahun 6 Bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Melayu/Indonesia
BB Masuk : 11 kg
PB masuk : 74 cm
Tanggal masuk : 29 November 2019
Alamat : Simpang Ladang, Cempa, Tg.Pura
II. Riwayat Kelahiran O.S
Jenis persalinan : Spontan pervaginam
Tempat lahir : Tg. Pura
Tanggal lahir : 02 Juni 2018
Tenaga penolong : Bidan
Usia kehamilan : 9 Bulan 2 Minggu
BB lahir : 2900 gram
PB lahir : 45 cm
III. Perkembangan Fisik
Saat lahir : Menangis spontan
5-7 bulan : Telungkup
10 bulan : Belajar duduk
17 bulan : Belajar berdiri
20 bulan : Mulai berjalan dengan tertatih
36 bulan : Mulai bicara
23. Kejang Demam| 23
IV. Anamnese Makanan
0-6 bulan : Asi eksklusif
6-8 bulan : Asi + bubur susu + nasi tim
9 bulan- sekarang : Makanan biasa
V. Imunisasi
Jenis Vaksin Jadwal Pemberian
Hepatitis B 0,1,6 bulan
Polio 0,2,4,6 bulan
BCG 2 bulan
DTP 2,4,6 bulan
Campak 9 bulan
Kesan : imunisasi dasar lengkap
VI. Penyakit yang Pernah di Derita
Tidak jelas
VII. Anamnese Mengenai Penyakit O.S
1. Keluhan utama : Kejang
2. Telaah : Pasien datang dibawa ibunya ke IGD RS Tg. Pura dengan
keluhan kejang dialami 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang dialami
selama < 5 menit dengan frekuensi 1x. Kejang diawali demam. Demam
dialami 1 hari ini bersifat naik-turun. Pasien juga mengeluhkan muntah
frekuensi 1x 1 hari ini dan juga nyeri menelan dialami sejak 1 hari ini.
BAK (+)N
BAB (+) N
- RPO = Paraceramol
VIII. Pemeriksaan Fisik
1. Status Presens
KU/KP/KG : Sedang/Sedang/Baik
Frekuensi Nadi : 110 x/i
24. Kejang Demam| 24
Frekuensi Nafas : 24 x/i
Temperature : 38,6 °C
BB masuk : 11 kg
PB masuk : 74 cm
Anemis : (-)
Sianosis : (-)
Dyspnoe : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)
2. Status Lokalis
a. Kepala
Mata : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor, conjungtiva
palpebra inferior anemis (-/-)
Hidung : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Mulut : Tonsil: T2/T2 Hiperemis, Faring Hiperemis
b. Leher
Trakea letak medial, pembengkakan KGB (-)
c. Thorax
Inspeksi : Simetris Fusiformis
Palpasi : Stem Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP = vesikuler, ST (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, turgor kulit kembali lambat, H/L : tidak teraba
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
25. Kejang Demam| 25
e. Extremitas
Atas : Akral hangat, Nadi 110 x/i reguler, CRT < 3’, T/V
cukup, rumpel leed test (-)
Bawah : Akral hangat, CRT <3’, T/V cukup
f. Genitalia
Os perempuan dan tidak ditemukan kelainan genitalia.
IX. Status Neurologi
a. Syaraf Otak : Tidak dilakukan pemeriksaan
b. Sistem Motorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pertumbuhan otot : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kekuatan otot : Tidak dilakukan pemeriksaan
Neuro muskular : Tidak dilakukan pemeriksaan
Involuntary movement : Tidak dilakukan pemeriksaan
c. Koordinasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
d. Sensibilitas : Tidak dilakukan pemeriksaan
X. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan Tanggal Hasil
Pemeriksaan
Laboratorium
29/11/2019 WBC 10,4x103 g/dl
RBC 4,28x106 /mm3
HGB 11,6 g/dL
HCT 32,1%
MCV 75 fL
MCH 27,1 pg
MCHC 36,2 g/dl
PLT 281 x103 /uL
XI. Ringkasan
1. Anamnese
Pasien datang dibawa ibunya ke IGD RS Tg. Pura dengan keluhan kejang
dialami 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang dialami selama < 5 menit
dengan frekuensi 1x. Kejang diawali demam. Demam dialami 1 hari ini
26. Kejang Demam| 26
bersifat naik-turun. Pasien juga mengeluhkan muntah frekuensi 1x 1 hari ini
dan juga nyeri menelan dialami sejak 1 hari ini.
BAK (+)N
BAB (+) N
RPO = Paraceramol
2. Pemeriksaan Fisik
- Status Presens
KU/KP/KG : Sedang/Sedang/Baik
Frekuensi Nadi : 110 x/i
Frekuensi Nafas : 24 x/i
Temperature : 38,6 °C
BB masuk : 11 kg
PB masuk : 74 cm
- Status Lokalis
Mulut : Tonsil T2/T2 Hiperemis, Faring Hiperemis
3. Laboratorium
HGB : 11,6 g/dL
PLT : 281x103 /uL
WBC : 10,6x103/uL
XII. Diagnosa Kerja
Kejang Demam Sederhana + Obs. Febris ec Tonsilofaringitis
XIII. Therapy
- Tirah baring
- IVFD D5% NaCl 0,225% 43 gtt/menit mikro
- Inj. Cefotaxime 500 mg/ 12 jam/iv (ST)
- Inj. Ondansetron 1mg/ 8 jam/ iv
- Inj. Diazepam 4mg (kalau pasien kejang)
- Paracetamol Drip 150 mg/ 8 jam/iv
- Diazepam Pulv 1,5 mg 3x1
28. Kejang Demam| 28
3.2 FOLLOW UP PASIEN 30 November-02 Desember2019
Pemeriksaan Hari Rawatan 2
30 November 2018
Hari Rawatan 3
01 Desember 2019
Keluhan Demam (+), Nyeri Menelan
(+) Kejang (-), Muntah (-)
Demam (-), Nyeri Menelan (-
) Kejang (-), Muntah (-)
KU/KP/KG Sedang/Sedang/Baik Sedang/Sedang/Baik
Sensorium Compos Mentis Compos Mentis
Frekuensi Nadi 100 x/i 92 x/i
Frekuensi Nafas 24 x/i 24 x/i
Temperature 38,4 °C 37,2 °C
BB 11 kg 11 kg
Status Lokalisata
Kepala Mata : Refleks cahaya
(+/+), pupil isokor,
conjungtiva palpebra
inferior anemis (-/-)
Hidung : Dalam batas
normal
Telinga : Dalam batas
normal
Mulut : Tonsil T2/T2
Hiperemis, Faring
Hiperemis
Mata : Refleks cahaya
(+/+), pupil isokor,
conjungtiva palpebra
inferior anemis (-/-)
Hidung : Dalam batas
normal
Telinga : Dalam batas
normal
Mulut : Dalam batas
normal
Leher Trakea letak medial,
pembengkakan KGB (-)
Trakea letak medial,
pembengkakan KGB (-)
Thoraks Inspeksi : Simetris
Fusiformis
Palpasi : Stem
Fremitus kiri = kanan
Inspeksi : Simetris
Fusiformis
Palpasi : Stem Fremitus
kiri = kanan
29. Kejang Demam| 29
Perkusi : Sonor pada
kedua lapangan paru
Auskultasi : SP =
vesikuler, ST (-)
Perkusi : Sonor pada
kedua lapangan paru
Auskultasi : SP =
vesikuler, ST (-)
Abdomen Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, turgor
kulit kembali lambat,
H/L/R : tidak teraba, nyeri
epigastrium (+)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Normal
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, turgor
kulit kembali lambat,
H/L/R : tidak teraba, nyeri
epigastrium (+)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik
(+) Normal
Ekstremitas Atas : Akral hangat, Nadi
100 x/i reguler, CRT <3’,
T/V cukup
Bawah : Akral hangat,
CRT <3’, T/V Cukup
Atas : Akral hangat, Nadi
92 x/i reguler, CRT <3’,
T/V cukup
Bawah : Akral hangat,
CRT <3’, T/V Cukup
Genitalia Os perempuan dan tidak
ditemukan kelainan genitalia.
Os perempuan dan tidak
ditemukan kelainan genitalia.
Diagnosa Kejang Demam Sederhana +
Obs. Febris ec
Tonsilofaringitis
Kejang Demam Sederhana +
Obs. Febris ec
Tonsilofaringitis
Terapi - Tirah baring
- IVFD D5% NaCl 0,225%
43 gtt/menit mikro
- Inj. Cefotaxime 500 mg/
12 jam/iv (ST)
- Inj. Ondansetron 1mg/ 8
jam/ iv
- Inj. Diazepam 4mg (kalau
- Tirah baring
- IVFD D5% NaCl 0,225%
43 gtt/menit mikro
- Inj. Cefotaxime 500 mg/
12 jam/iv (ST)
- Inj. Ondansetron 1mg/ 8
jam/ iv (aff)
- Inj. Diazepam 4mg (kalau
30. Kejang Demam| 30
kejang)
- Paracetamol Drip 150
mg/ 8 jam/iv
- Diazepam Pulv 1,5 mg
3x1
kejang) aff
- Paracetamol Drip 150
mg/ 8 jam/iv (aff)
- Paracetamol syr 3xcth1
(k/p)
- Diazepam Pulv 1 mg 3x1
aff
Pemeriksaan Hari Rawatan 4
30 November 2018
Keluhan Demam (-), Nyeri Menelan (-
) Kejang (-), Muntah (-)
KU/KP/KG Sedang/Sedang/Baik
Sensorium Compos Mentis
Frekuensi Nadi 92 x/i
Frekuensi Nafas 24 x/i
Temperature 36,4 °C
BB 11 kg
Status Lokalisata
Kepala Mata : Refleks cahaya
(+/+), pupil isokor,
conjungtiva palpebra
inferior anemis (-/-)
Hidung : Dalam batas
normal
Telinga : Dalam batas
normal
Mulut : Dalam batas
31. Kejang Demam| 31
normal
Leher Trakea letak medial,
pembengkakan KGB (-)
Thoraks Inspeksi : Simetris
Fusiformis
Palpasi : Stem
Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor pada
kedua lapangan paru
Auskultasi : SP =
vesikuler, ST (-)
Abdomen Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, turgor
kulit kembali lambat,
H/L/R : tidak teraba, nyeri
epigastrium (+)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Normal
Ekstremitas Atas : Akral hangat, Nadi
92 x/i reguler, CRT <3’,
T/V cukup
Bawah : Akral hangat,
CRT <3’, T/V Cukup
Genitalia Os perempuan dan tidak
ditemukan kelainan genitalia.
Diagnosa Kejang Demam Sederhana +
Obs. Febris ec
Tonsilofaringitis
Terapi - Os PBJ
32. Kejang Demam| 32
- Terapi
- Cefixime syr 2x 4,5 cc
- Paracetamol syr 3xcth1
(k/p)
33. Kejang Demam| 33
BAB IV
PENUTUP
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan
suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para ahli terbanyak
kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar
2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih
dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun.
Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan
sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada
usia 18 bulan.
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu:
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau
fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat
pilihan utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada
diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuscular ataupun yang lebih
praktis midazolam intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi
lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga dianjurkan
pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis sulit
ditemukan. Pemeriksaan laboratorium penunjang lain dilakukan sesuai
indikasi.
Pengobatan profilaksis.
- Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam
(suhu rektal lebih dari 380C) dengan menggunakan diazepam oral / rektal,
klonazepam supositoria.
34. Kejang Demam| 34
- Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat tiap
hari untuk mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obat- obatan
untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus
dipertimbangkan antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam
dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan
pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna
mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun
prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup menkhawatirkan bagi
orangtuanya.
35. Kejang Demam| 35
DAFTAR PUSTAKA
1. Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan karena
Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71.
2. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological and
Laboratory Characteristics of Patients with Febrile Convulsion. Journal of
Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7.
3. Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun.
Medula. 2013;1(1):57-64.
4. American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter: Long-term Treatment of
the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103 (6): 1307-9.
5. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas
Diponegoro; 2010.
6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and
Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53.
7. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri.
2002;4(2):59 - 62.