SlideShare a Scribd company logo
1 of 37
Download to read offline
Laporan Kasus
KEJANG DEMAM
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah BPK RSUDZA
Banda Aceh
oleh
BERLIAN MIZA
1407101030057
Pembimbing
dr. Darnifayanti, M.Ked (Ped), Sp.A
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BPK RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2015
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat beriring salam penulis
sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan
panutan bagi umatnya.
Adapun tugas laporan kasus ini berjudul “Kejang Demam”. Diajukan
Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unsyiah BPK RSUD
dr. Zainoel Abidin, Kota Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada dr. Darnifayanti, M.Ked (Ped), Sp.A yang telah meluangkan
waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan
tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.
Banda Aceh, Mei 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN....................................................................................3
BAB III ANALISA KASUS.................................................................................13
3.1 Definisi ................................................................................................... 13
3.2 Epidemiologi............................................................................................ 13
3.3 Klasifikasi................................................................................................ 14
3.4 Faktor Resiko........................................................................................... 14
3.5 Patofisiologi............................................................................................. 22
3.6 Penegakan Diagnosis............................................................................... 24
3.7 Tatalaksana .............................................................................................. 25
3.8 Prognosis ................................................................................................. 29
BAB IV KESIMPULAN....................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
kenaikan suhu tubuh di atas 380
C rektal atau di atas 37,80
C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1)
Di Amerika Serikatdan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.
Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14%.(1)
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf tersering pada anak. Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi
kejang demam yaitu faktor demam, usia dan riwayat keluarga, dan riwayat
prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi
berat badan lahir rendah).(2)
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
menkhawatirkan bagi orangtuanya.(2)
Tindakan pencegahan terhadap bangkitan kejang demam berupa
pemberian antipiretik dan antikonvulsan. Pemberian antipiretik tanpa disertai
2
pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah tidak efektif untuk
mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis obat yang sering digunakan
adalah fenobarbital, asam valproate, dan fenitoin. Pemberian obat antikonvulsan
jangka panjang tersebut diatas dapat mencegah timbulnya kejang demam akan
tetapi tidak akan mencegah timbulnya epilepsi maupun cacat neurologis akibat
kejang demam. Tetapi pemberian obat anti kejang mempunyai efek samping tidak
baik. Tindakan pencegahan kejang dengan pemakaian obat fenobarbital maupun
asam valproate dan fenitoin dilakukan atas indikasi yang tepat. Indikasi
pemberian pengobatan pencegehan terhadap penderita kejang demam apabila
demam tersebut mempunyai resiko terjadi bangkitan kejang demam.(2)
3
BAB II
STATUS PASIEN
2.1.Identitas Pasien
Nama : Adinda Rahmadina
CM : 0-96-53-18
Umur : 2 tahun
Alamat : Banda Aceh
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Aceh
Masuk Rumah Sakit : 28 April 2015
Tanggal Pemeriksaan : 30 April 2015
2.2. Anamnesis
Keluhan Utama: kejang
Keluhan Tambahan: demam, batuk, flu, muntah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 30 menit sebelum
masuk rumah sakit. Kejang terjadi lebih kurang selama 2 menit. Saat kejang
terjadi tubuh pasien kelonjotan, mata melotot, mulut keluar busa tidak ada.
Setelah pasien mengalami kejang, pasien muntah dan langsung menangis. Muntah
berisi kue yang dimakan pasien saat pagi. Ibu pasien mengatakan 5 hari sebelum
masuk rumah sakit pasien mengalami batuk dan flu yang kemudian diikuti dengan
demam. Awalnya demam yang dialami tidak begitu tinggi, dan demam turun
setelah pemberian obat penurun demam. Kemudian dimalam harinya pasien
kembali demam dan demam tidak turun setelah pemberian obat penurun demam.
Ibu pasien mengatakan demam yang dialami demam tinggi, saat diukur suhu
tubuh pasien mencapai 39,40
C. Riwayat kejang sebelum demam tidak ada.
4
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat trauma disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.
Riwayat Penggunaan Obat:
Pemakaian obat paracetamol sirup. Saat kejang tidak diberikan
Riwayat Penyakit Keluarga:
Kejang/epilepsi disangkal, abang pasien (anak pertama) pernah mengalami
hal yang serupa dengan pasien.
Riwayat Kehamilan:
Ibu pasien ANC teratur ke bidan dan dokter kandungan. Sakit sewaktu
hamil disangkal oleh ibu pasien. Ibu pasien rutin mengkonsumsi obat yang
diberikan oleh dokter kandungan. Selain itu disangkal.
Riwayat Persalinan :
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang lahir secara section
cesarea dengan berat badan lahir 3200 gr yang segera menangis.
Riwayat Imunisasi:
Menurut pengakuan ibu pasien, pasien hanya belum di imunisasi campak
karena sedang sakit.
Riwayat Pemberian makanan:
0 - 6 bulan: ASI
6 bulan - 2 tahun: MPASI + makanan keluarga
Data antropometri
Berat Badan : 13 kg
Tinggi badan : 90 cm
BB/U : -2SD s/d +2 SD
PB/U : -2SD s/d +2 SD
5
BB/PB : -2SD s/d +2 SD
Status Gizi : Normal
2.3. Vital Sign
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 109 x/menit
Pernafasan : 26 x/menit
Suhu : 38,70
C (axial)
Keadaan Gizi : Gizi baik
2.4. PemeriksaanFisik
a. Kulit
Warna : sawo matang
Turgor : cepat kembali
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Oedema : tidak ada
Anemia : tidak ada
b. Kepala
Rambut : Hitam, sukar dicabut
Wajah : Simetris, edema (-), deformitas(-)
Mata : Conjunctiva pucat (-
/-), ikterik (-
/-)
Pupil : Bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung
(+
/+), refleks cahaya tidak langsung (+
/+)
Telinga : Serumen (-
/-), Sekret (-
/-)
Bibir : pucat (-), mukosa basah (-), sianosis (-)
Lidah : lidah kotor(-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (+)
Faring : Hiperemis (+)
6
c. Leher
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Kaku kuduk (-)
Pembesaran KGB : Tidak ada
d. Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris.
Anterior-Posterior Kanan Kiri
Palpasi Fremitus normal Fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal
Ronchi (-) wheezing (-)
Vesikuler Normal
Ronchi (-) wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular, bising (-)
e. Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor(-), vena collateral(-)
Palpasi : Soepel, NT (-), H/L/R tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)
f. Genitalia : Tidak diperiksa
g. Anus : Tidak diperiksa
h. Tulang Belakang : Simetris, nyeri tekan (-)
7
i. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB (-)
j. Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -
2.5.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan 28/04/2015
Hb 10,9 gr/dl
Ht 28 %
Eritrosit 6,2 x 106
/mm3
Leukosit 24.700/mm3
Trombosit 423000 U/L
E/B/NS/L/M 0/0/66/27/7
Na/K/Cl 139/4,0/100 mmol/L
Ur/Cr 14/0,20 mg/dL
2.6. Diagnosis
Kejang demam sederhana e.c tonsilofaringitis
2.7.Terapi
 O2 nasal kanul 2 L/i
 IVFD RL 30 gtt/i
 Inj. Cefotaxime 200 mg/24 jam
 Inj. Ampicilin 400 mg/12 jam
 Stesolid supp 10 mg  bila kejang
 Paracetamol syr 3 x 11/2
Cth
8
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
9
FOLLOW UP HARIAN
Tanggal/Hari
Rawatan
Catatan Instruksi
29 April 2015
H-1
KU: batuk (+), demam (+)
menurun, kejang (-)
TANDA VITAL
HR:101 x/menit
RR : 23 x/menit
T : 37,8o
C
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : normocephali, rambut
normal
Mata : konj palp inferior pucat
(-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia, serumen (-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut : tonsil hiperemis (+),
faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorak :
Inspeksi: Simetris
Palpasi : tidak ada bagian dada
yang tertinggal
Perkusi : Sonor diseluruh lapangan
paru
Ausk : Ves (+/+), Rh (-/-),
Wh (-/-)
TERAPI :
 IVFD RL 30 gtt/i
 Inj. Cefotaxime 200
mg/24 jam
 Inj. Ampicilin 400
mg/12 jam
 Stesolid supp 10 mg 
bila kejang
 Paracetamol syr 3 x 11/2
Cth

10
Cor : BJ I > BJ II, regular,
bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, Distensi (-)
Palpasi : Soepel
Perkusi :Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Extremitas :
Pucat (-/-), Ikterus (-/-), sianosis (-
/-), edema (-/-)
ASSESSMENT:
Kejang demam e.c tonsilofaringitis
11
FOLLOW UP HARIAN
Tanggal/Hari
Rawatan
Catatan Instruksi
30 April 2015
H-2
KU: batuk (-), demam (-), kejang
(-)
TANDA VITAL
HR: 103 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,8o
C
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : normocephali, rambut
normal
Mata : konj palp inferior pucat
(-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia, serumen (-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut : tonsil hiperemis (+),
faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorak :
Inspeksi: Simetris
Palpasi : tidak ada bagian dada
yang tertinggal
Perkusi : Sonor diseluruh lapangan
paru
Ausk : Ves (+/+), Rh (-/-),
Wh (-/-)
TERAPI :
 IVFD RL 30 gtt/i
 Inj. Cefotaxime 200
mg/24 jam
 Inj. Ampicilin 400
mg/12 jam
 Stesolid supp 10 mg 
bila kejang
 Paracetamol syr 3 x 11/2
Cth

12
Cor : BJ I > BJ II, regular,
bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, Distensi (-)
Palpasi : Soepel
Perkusi :Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Extremitas :
Pucat (-/-), Ikterus (-/-), sianosis (-
/-), edema (-/-)
ASSESSMENT:
Kejang demam e.c tonsilofaringitis
13
BAB III
ANALISA KASUS
KEJANG DEMAM
3.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 380
C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5
tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat
ataupun epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.(3)
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
kenaikan suhu tubuh di atas 380
C rektal atau di atas 37,80
C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1)
3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.
Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
Sedangkan di Hong Kong angka kejadian kejang demam sebesar 0,35%. Dan di
China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai
14%.(1)
14
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda
bankitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah
mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam
terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.(4)
3.3 Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks.(5)
Tabel 3.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks
No Klinis KD
Sederhana
KD Kompleks
1 Durasi < 15 menit > 15 menit
2 Tipe Kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam 1 episode 1 kali > 1 kali
4 Defisit neurologis - +/-
5 Riwayat keluarga kejang demam +/- +/-
6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam +/- +/-
7 Abnormalitas neurologis sebelumnya +/- +/-
Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan
35% berupa kejang demam kompleks.
3.4 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat
keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat
badan lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal
(kejang akibat toksik, trauma kepala).
15
a. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas
37,80
C aksila atau diatas 38,30
C rektal. Demam dapat disebabkan oleh
berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi.
Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang demam.
Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak
timbul bangkitan kejang demam sebesar 80%.(6)
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai
ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi
ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan
meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga dengan
adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan
hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu
fungsi normal pompa Na+
dan reuptake asam glutamate oleh sel glia.
Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+
ke dalam sel
meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel. Timbunan asam
glutamate akan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap
ion Na+
sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+
ke dalam sel.
Masuknya ion Na+
ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam,
sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap
membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na+
intra dan ekstrasel
tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel
neuron sehingga membrane sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping
itu, demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi
inhibisi terganggu.(5)
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan
kenaikan kadar asam glutamate dan menurunkan kadar glutamin.
Tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak
menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate. Perubahan glutamin
menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam
16
glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai inhibitor
tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.(5)
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2)
perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5)
organisasi dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri
dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan
organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun
pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal
dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang
reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif,
sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga
eksitasi lebih dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing
hormon (CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus
tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila
terpicu oleh demam.(5)
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan
paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan
sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan
riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk
terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila
kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi
sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai
riwayat kejang demam maka resiko terjadinya kejang demam hanya
9%.(5)
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi
yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
17
tahun dapat mengakibatkan berbagai konplikasi dalam kehamilan dan
persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan
prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus
lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada
asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai.(5)
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa
dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat
terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30
tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9%
disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan.
Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat
berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan
aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan
pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.(5)
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden
kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi
penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah
partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit
persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan
atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
g. Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama
kehamilan ibu, seperti menelan obat-obatan tertentu yang daopat
merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau
18
mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan
kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan
janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan
meningkatkan resiko kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok
pada saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa
dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan
dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini
dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang.(5)
h. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau
perdarah intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan
prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan
menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya
menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan
iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan
kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada
derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung.
Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan
didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi
lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala
sisa gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan
iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler
sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya
faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.(5)
i. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau
iskemia otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat
menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan
metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya
19
kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan
selanjutnya.(5)
j. Kelahiran premature dan postmatur
Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang
sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi
premature menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan
pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan
aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap
serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan
otak yang permanen lebih besar.(5)
Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi
proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen
akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir
postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan
neurologic.(5)
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II
lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan
kala II 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida , kala I selama 7 jam dan
kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko
terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari
cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.(5)
l. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan
kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik
pada kepala bayi. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan
letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan
subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi premature dan
cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga
20
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan
kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh
gangguan perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan
subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama
terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat
terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral
yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama
dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan
gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu
manifestasi klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya.
Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di
Negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah Herpes
Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti
serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini
dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan
kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi
sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis,
serta kejang. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa
sikatrik pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga
terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian
menimbulkan kejang.(5)
21
22
3.5 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti juga
sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu
selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif
dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membrane
berkisar antara 30 – 100 mV, selisih potensial membrane ini akan tetap sama
selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane ini terjadi akibat
perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+
, K+
, dan Ca++
. Bila sel saraf
mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane.
Penurunan potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane
tehadap ion Na+
akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini
lemah, perubahan potensial membrane masih dapat dikompensasi oleh transport
aktif ion Na+
dan ion K+
, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.
Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut sebagai
respon lokal.(5)
Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang
tetap (firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+
akan meningkat
secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial
aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan
perantara zat kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan
telah selesa, maka permeabilitas membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan
cara Na+
akan kembali ke luar sel dan K+
masuk ke dalam sel melalui mekanisme
pompa Na – K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.(5)
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan
pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi
hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia
dan hipomagnesemia.
23
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate
akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan
bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat.(5)
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.
Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,
hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini
akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme otak.(5)
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membrane sel
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron
d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan
pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya diikuti dengan apnea, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
(disebabkan oleh metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan
24
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia
dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.(5)
3.6 Penegakan Diagnosis
Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk
membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:(1)
a. Dari anamnesa yang didapatkan
- Umur pasien kurang dari 6 tahun (1 tahun 11 bulan)
- Kejang didahului demam
- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari
5 menit
- Kejang umum dan tonik klonik
- Kejang berhenti sendiri
- Pasien tetap sadar setelah kejang
b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan
- Suhu tubuh aksila 38,20
C
- Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria
Nationall Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang
lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode
demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit baik bersifat fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang
demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Penggolongan tidak lagi
menurut kejang demam sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam tetapi
dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan tidak memerlukan pengobatan
rumat.(7)
25
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada
anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi
traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis
(7-9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan
dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah
mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan
kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang
terjadi pada suhu antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC.(1)
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium
tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa
cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-
6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia
pasien kurang dari 18 bulan.(1)
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang
lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang
unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak
yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal
diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk me-
nyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau
gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang
menderita kejang demam.(7)
3.7 Tatalaksana
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:
a. Mencegah kejang demam berulang
b. Mencegah status epilepsy
c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
d. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.
26
Pengobatan fase akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat
juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen
harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan
cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan
dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral
10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).(7)
Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase
akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat
diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya
lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara
intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal
pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat
diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman
dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam
tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal
30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia
lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan
efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi
midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik.
Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam
intravena.(7)
Mencari dan Mengobati Penyebab
Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain,
seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2
tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok
umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula
27
kontraindikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk
mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan
elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak
diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi.(7)
Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu: (7)
• Profilaksis intermittent pada waktu demam
• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah
sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama
pasien mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap
6 jam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana
Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50
C untuk
mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis
intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian
Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya
kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya
diberikan Diazepam oral sebagai profilaksis, karena kondisi pasien kompos
mentis dan masih dapat mengkonsumsi obat oral.(7)
Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:
• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang
tua atau saudara kandung.
• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
28
• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun
setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan.
Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya
kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian
hari. Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16
mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulangnya kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi
dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat
yang memejiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane
meneliti kejadian kang berulang sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati
dengan asam valproate dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam
valproat. Dosis asam valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping
yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan
karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.
Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan
menghadapi kejang demam diantara lain adalah sebagai berikut:
 Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai
penanganan demam dan kejang.
 Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis
0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam.
Sebagai alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan
fenobarbital.
 Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.
 Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian
sebaiknya dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan
kadar fenobarbital dalam darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga
dipantau keadaan tingkah laku dan psikologis anak.
29
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori
dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan
mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan
pemberian antipiretik. Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup
informasi mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan
yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak
menyebabkan kematian.(1)
3.8 Prognosis
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
mengkhawatirkan bagi orangtuanya.(2)
Pada kasus ini pasien mengalami batuk dan pilek sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tonsil
tidak membesar tetapi hiperemis dan faring yang juga hiperemis. Sehingga dapat
dipastikan bahwa demam disebabkan karena telah terjadi peradangan pada tonsil
dan faring pasien. Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila
dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan
lebih mudah mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11%
anak dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14
- 40% kejang terjadi pada suhu antara 38° - 38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara
39°C - 39,9ºC.
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium
tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa
30
cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% -
6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia
pasien kurang dari 18 bulan. Pada kasus ini pasien telah berumur 23 bulan dan
secara klinis tidak ditemukan gejala yang mengarah pada infeksi intrakranial
sehingga pemeriksaan pungsi tidak perlu dilakukan.
Kenaikan suhu 10
C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi
oksidasi berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan terjadi
keadaan hipoksia. Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan
oksigen, serta terganggunya berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi
perubahan konsentrasi ion natrium, sehingga lebih baik jika dilakukan
pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini hanya
keadaan tonsil dan faring yang hiperemis. Pemeriksaan penunjang berupa hasil
laboratorium darah rutin mengarahkan adanya infeksi bakteri berupa kadar
leukosit yang meningkat, sehingga pemberian antibiotik diberikan pada kasus ini.
Sedangkan terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam
sudah sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan
selama pasien mengalami demam. Pemakaian Diazepam penting sebagai
profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang
suhunya mencapai 38,50
C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian
Diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat
anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif
untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja.
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori
dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan
mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan
pemberian antipiretik. Orang tua anak juga harus diberi cukup informasi
mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai
dan cepat, maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian.
31
Simpulan, telah ditegakkan diagnosis Kejang Demam Sederhana e.c
tonsilofaringitis pada seorang anak perempuan berusia 2 tahun atas dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini demam
terjadi karena adanya infeksi bakteri pada tonsil dan faring. Penatalaksanaan
Kejang Demam dengan memberikan oksigen, cairan intravena untuk memenuhi
kebutuhan elektrolit, serta kalori yang seimbang sebagai terapi supportif, serta
pemberian antipiretik dan antikonvulsan sebagai terapi medikamentosa. Dengan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat maka prognosis akan lebih baik.
32
BAB IV
KESIMPULAN
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
kenaikan suhu tubuh di atas 380
C rektal atau di atas 37,80
C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu:
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau
fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat
pilihan utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak
ada diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuscular ataupun
yang lebih praktis midazolam intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi
lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga
dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis
sulit ditemukan. Pemeriksaan laboratorium penunjang lain dilakukan
sesuai indikasi.
3. Pengobatan profilaksis.
 Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien
demam (suhu rektal lebih dari 380
C) dengan menggunakan diazepam
oral / rektal, klonazepam supositoria.
 Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat
tiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obat-
obatan untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus
dipertimbangkan antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.
33
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
menkhawatirkan bagi orangtuanya.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan
karena Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71.
2. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological
and Laboratory Characteristics of Patients with Febrile Convulsion.
Journal of Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7.
3. Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun.
Medula. 2013;1(1):57-64.
4. American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter: Long-term
Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103
(6): 1307-9.
5. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas
Diponegoro; 2010.
6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and
Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53.
7. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri.
2002;4(2):59 - 62.

More Related Content

Similar to Laporan_Kasus_KEJANG_DEMAM.pdf

Asuhan keperawatan kejang demam pada an
Asuhan keperawatan kejang demam pada anAsuhan keperawatan kejang demam pada an
Asuhan keperawatan kejang demam pada an
Rismayanti Hairil
 
TATALAKSANA DEMAM PADA ANAK (EFIR).docx
TATALAKSANA DEMAM PADA ANAK (EFIR).docxTATALAKSANA DEMAM PADA ANAK (EFIR).docx
TATALAKSANA DEMAM PADA ANAK (EFIR).docx
UGDPKMMARIDAN
 
Kasus asuhan kejang 1
Kasus asuhan kejang 1Kasus asuhan kejang 1
Kasus asuhan kejang 1
rikiab
 
Seminar meningitis
Seminar meningitisSeminar meningitis
Seminar meningitis
bowosaja
 

Similar to Laporan_Kasus_KEJANG_DEMAM.pdf (20)

Askep hipertermi AKPER PEMDA MUNA
Askep hipertermi AKPER PEMDA MUNA Askep hipertermi AKPER PEMDA MUNA
Askep hipertermi AKPER PEMDA MUNA
 
Asuhan keperawatan kejang demam pada an
Asuhan keperawatan kejang demam pada anAsuhan keperawatan kejang demam pada an
Asuhan keperawatan kejang demam pada an
 
Askep anak kejang demam
Askep anak kejang demamAskep anak kejang demam
Askep anak kejang demam
 
Kejang demam kompleks
Kejang demam kompleksKejang demam kompleks
Kejang demam kompleks
 
TATALAKSANA DEMAM PADA ANAK (EFIR).docx
TATALAKSANA DEMAM PADA ANAK (EFIR).docxTATALAKSANA DEMAM PADA ANAK (EFIR).docx
TATALAKSANA DEMAM PADA ANAK (EFIR).docx
 
KDS.pptx
KDS.pptxKDS.pptx
KDS.pptx
 
Ppt lapsus ika
Ppt lapsus ikaPpt lapsus ika
Ppt lapsus ika
 
Askep febris AKPER PEMDA MUNA
Askep febris AKPER PEMDA MUNA Askep febris AKPER PEMDA MUNA
Askep febris AKPER PEMDA MUNA
 
Preskas dhf
Preskas dhfPreskas dhf
Preskas dhf
 
Bab I k.anak pada kejang dan demam
Bab I k.anak pada kejang dan demam Bab I k.anak pada kejang dan demam
Bab I k.anak pada kejang dan demam
 
Kejang abyi
Kejang abyiKejang abyi
Kejang abyi
 
Kejang abyi AKPER PEMKAB MUNA
Kejang abyi AKPER PEMKAB MUNA Kejang abyi AKPER PEMKAB MUNA
Kejang abyi AKPER PEMKAB MUNA
 
Kasus asuhan kejang 1
Kasus asuhan kejang 1Kasus asuhan kejang 1
Kasus asuhan kejang 1
 
127179612 case-anemia-aplastik
127179612 case-anemia-aplastik127179612 case-anemia-aplastik
127179612 case-anemia-aplastik
 
Cbd kd dr.sri
Cbd kd dr.sriCbd kd dr.sri
Cbd kd dr.sri
 
Seminar meningitis
Seminar meningitisSeminar meningitis
Seminar meningitis
 
Asma pada anak
Asma pada anakAsma pada anak
Asma pada anak
 
Bst dhf (guntur)
Bst dhf (guntur)Bst dhf (guntur)
Bst dhf (guntur)
 
Kejang demam
Kejang demamKejang demam
Kejang demam
 
Kejang demam
Kejang demamKejang demam
Kejang demam
 

Recently uploaded

Presentasi contoh Visum et Repertum.ppt
Presentasi contoh  Visum et Repertum.pptPresentasi contoh  Visum et Repertum.ppt
Presentasi contoh Visum et Repertum.ppt
SuwandiKhowanto1
 
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank MaybankUNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
csooyoung073
 
askep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
askep hiv dewasa.pptxcvbngccccccccccccccccaskep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
askep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
anangkuniawan
 
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksiTM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
haslinahaslina3
 
seminar kasus Preaterm premature rupture of membrane.pptx
seminar kasus Preaterm premature rupture of membrane.pptxseminar kasus Preaterm premature rupture of membrane.pptx
seminar kasus Preaterm premature rupture of membrane.pptx
sariakmida
 
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratioIMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
Safrina Ramadhani
 

Recently uploaded (20)

regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkbregulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
 
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologijenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
 
Presentasi contoh Visum et Repertum.ppt
Presentasi contoh  Visum et Repertum.pptPresentasi contoh  Visum et Repertum.ppt
Presentasi contoh Visum et Repertum.ppt
 
KONSEP DASAR LUKA DAN PENANGANANNYA, PROSES PENYEMBUHAN
KONSEP DASAR LUKA DAN PENANGANANNYA, PROSES PENYEMBUHANKONSEP DASAR LUKA DAN PENANGANANNYA, PROSES PENYEMBUHAN
KONSEP DASAR LUKA DAN PENANGANANNYA, PROSES PENYEMBUHAN
 
Kartu Kembang Anak - Pemantauan Perkembangan Anak Bina Keluarga Balita (BKB)
Kartu Kembang Anak - Pemantauan Perkembangan Anak Bina Keluarga Balita (BKB)Kartu Kembang Anak - Pemantauan Perkembangan Anak Bina Keluarga Balita (BKB)
Kartu Kembang Anak - Pemantauan Perkembangan Anak Bina Keluarga Balita (BKB)
 
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank MaybankUNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
UNIKBET Situs Slot Habanero Deposit Bisa Pakai Bank Maybank
 
PPT Kebijakan Regulasi RME - Dir 28 -29 Feb 2024 s.d 1 Maret.pdf
PPT Kebijakan Regulasi RME - Dir 28 -29 Feb 2024 s.d 1 Maret.pdfPPT Kebijakan Regulasi RME - Dir 28 -29 Feb 2024 s.d 1 Maret.pdf
PPT Kebijakan Regulasi RME - Dir 28 -29 Feb 2024 s.d 1 Maret.pdf
 
askep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
askep hiv dewasa.pptxcvbngccccccccccccccccaskep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
askep hiv dewasa.pptxcvbngcccccccccccccccc
 
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smeardokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
 
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksiTM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
TM 6_KESPRO REMAJA.ppt kesehatan reproduksi
 
partograf. pencatatan proses kelahiran.ppt
partograf. pencatatan proses kelahiran.pptpartograf. pencatatan proses kelahiran.ppt
partograf. pencatatan proses kelahiran.ppt
 
Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus (farmasi klinis)
Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus (farmasi klinis)Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus (farmasi klinis)
Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus (farmasi klinis)
 
asuhan keperawatan manajemen bencana pada pasien bencana konsep bencana
asuhan keperawatan manajemen bencana pada pasien bencana konsep bencanaasuhan keperawatan manajemen bencana pada pasien bencana konsep bencana
asuhan keperawatan manajemen bencana pada pasien bencana konsep bencana
 
seminar kasus Preaterm premature rupture of membrane.pptx
seminar kasus Preaterm premature rupture of membrane.pptxseminar kasus Preaterm premature rupture of membrane.pptx
seminar kasus Preaterm premature rupture of membrane.pptx
 
PPT Antibiotik amoxycillin, erytromycin.ppt
PPT Antibiotik amoxycillin, erytromycin.pptPPT Antibiotik amoxycillin, erytromycin.ppt
PPT Antibiotik amoxycillin, erytromycin.ppt
 
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.pptParasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
 
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
 
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptx
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptxASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptx
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptx
 
Penyuluhan Kesehatan gigi dan mulut.pptx
Penyuluhan Kesehatan gigi dan mulut.pptxPenyuluhan Kesehatan gigi dan mulut.pptx
Penyuluhan Kesehatan gigi dan mulut.pptx
 
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratioIMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
IMR, MMR, ASDR infertility fertility sex ratio
 

Laporan_Kasus_KEJANG_DEMAM.pdf

  • 1. Laporan Kasus KEJANG DEMAM Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah BPK RSUDZA Banda Aceh oleh BERLIAN MIZA 1407101030057 Pembimbing dr. Darnifayanti, M.Ked (Ped), Sp.A BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BPK RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2015
  • 2. ii KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya. Adapun tugas laporan kasus ini berjudul “Kejang Demam”. Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unsyiah BPK RSUD dr. Zainoel Abidin, Kota Banda Aceh. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada dr. Darnifayanti, M.Ked (Ped), Sp.A yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang. Banda Aceh, Mei 2015 Penulis
  • 3. iii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .................................................................................................i KATA PENGANTAR..............................................................................................ii DAFTAR ISI ...........................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1 BAB II STATUS PASIEN....................................................................................3 BAB III ANALISA KASUS.................................................................................13 3.1 Definisi ................................................................................................... 13 3.2 Epidemiologi............................................................................................ 13 3.3 Klasifikasi................................................................................................ 14 3.4 Faktor Resiko........................................................................................... 14 3.5 Patofisiologi............................................................................................. 22 3.6 Penegakan Diagnosis............................................................................... 24 3.7 Tatalaksana .............................................................................................. 25 3.8 Prognosis ................................................................................................. 29 BAB IV KESIMPULAN....................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34
  • 4. 1 BAB I PENDAHULUAN Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 380 C rektal atau di atas 37,80 C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1) Di Amerika Serikatdan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14%.(1) Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor demam, usia dan riwayat keluarga, dan riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi berat badan lahir rendah).(2) Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup menkhawatirkan bagi orangtuanya.(2) Tindakan pencegahan terhadap bangkitan kejang demam berupa pemberian antipiretik dan antikonvulsan. Pemberian antipiretik tanpa disertai
  • 5. 2 pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah tidak efektif untuk mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis obat yang sering digunakan adalah fenobarbital, asam valproate, dan fenitoin. Pemberian obat antikonvulsan jangka panjang tersebut diatas dapat mencegah timbulnya kejang demam akan tetapi tidak akan mencegah timbulnya epilepsi maupun cacat neurologis akibat kejang demam. Tetapi pemberian obat anti kejang mempunyai efek samping tidak baik. Tindakan pencegahan kejang dengan pemakaian obat fenobarbital maupun asam valproate dan fenitoin dilakukan atas indikasi yang tepat. Indikasi pemberian pengobatan pencegehan terhadap penderita kejang demam apabila demam tersebut mempunyai resiko terjadi bangkitan kejang demam.(2)
  • 6. 3 BAB II STATUS PASIEN 2.1.Identitas Pasien Nama : Adinda Rahmadina CM : 0-96-53-18 Umur : 2 tahun Alamat : Banda Aceh Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Suku : Aceh Masuk Rumah Sakit : 28 April 2015 Tanggal Pemeriksaan : 30 April 2015 2.2. Anamnesis Keluhan Utama: kejang Keluhan Tambahan: demam, batuk, flu, muntah Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi lebih kurang selama 2 menit. Saat kejang terjadi tubuh pasien kelonjotan, mata melotot, mulut keluar busa tidak ada. Setelah pasien mengalami kejang, pasien muntah dan langsung menangis. Muntah berisi kue yang dimakan pasien saat pagi. Ibu pasien mengatakan 5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami batuk dan flu yang kemudian diikuti dengan demam. Awalnya demam yang dialami tidak begitu tinggi, dan demam turun setelah pemberian obat penurun demam. Kemudian dimalam harinya pasien kembali demam dan demam tidak turun setelah pemberian obat penurun demam. Ibu pasien mengatakan demam yang dialami demam tinggi, saat diukur suhu tubuh pasien mencapai 39,40 C. Riwayat kejang sebelum demam tidak ada.
  • 7. 4 Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat trauma disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal. Riwayat Penggunaan Obat: Pemakaian obat paracetamol sirup. Saat kejang tidak diberikan Riwayat Penyakit Keluarga: Kejang/epilepsi disangkal, abang pasien (anak pertama) pernah mengalami hal yang serupa dengan pasien. Riwayat Kehamilan: Ibu pasien ANC teratur ke bidan dan dokter kandungan. Sakit sewaktu hamil disangkal oleh ibu pasien. Ibu pasien rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter kandungan. Selain itu disangkal. Riwayat Persalinan : Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang lahir secara section cesarea dengan berat badan lahir 3200 gr yang segera menangis. Riwayat Imunisasi: Menurut pengakuan ibu pasien, pasien hanya belum di imunisasi campak karena sedang sakit. Riwayat Pemberian makanan: 0 - 6 bulan: ASI 6 bulan - 2 tahun: MPASI + makanan keluarga Data antropometri Berat Badan : 13 kg Tinggi badan : 90 cm BB/U : -2SD s/d +2 SD PB/U : -2SD s/d +2 SD
  • 8. 5 BB/PB : -2SD s/d +2 SD Status Gizi : Normal 2.3. Vital Sign Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis Nadi : 109 x/menit Pernafasan : 26 x/menit Suhu : 38,70 C (axial) Keadaan Gizi : Gizi baik 2.4. PemeriksaanFisik a. Kulit Warna : sawo matang Turgor : cepat kembali Sianosis : tidak ada Ikterus : tidak ada Oedema : tidak ada Anemia : tidak ada b. Kepala Rambut : Hitam, sukar dicabut Wajah : Simetris, edema (-), deformitas(-) Mata : Conjunctiva pucat (- /-), ikterik (- /-) Pupil : Bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung (+ /+), refleks cahaya tidak langsung (+ /+) Telinga : Serumen (- /-), Sekret (- /-) Bibir : pucat (-), mukosa basah (-), sianosis (-) Lidah : lidah kotor(-) Tonsil : T1/T1, hiperemis (+) Faring : Hiperemis (+)
  • 9. 6 c. Leher Inspeksi : Simetris Palpasi : Kaku kuduk (-) Pembesaran KGB : Tidak ada d. Thorax Paru Inspeksi : Simetris. Anterior-Posterior Kanan Kiri Palpasi Fremitus normal Fremitus normal Perkusi Sonor Sonor Auskultasi Vesikuler Normal Ronchi (-) wheezing (-) Vesikuler Normal Ronchi (-) wheezing (-) Jantung Inspeksi : Ictus cordis terlihat Palpasi : Ictus cordis teraba. Perkusi : Tidak dilakukan Auskultasi : BJ I > BJ II, regular, bising (-) e. Abdomen Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor(-), vena collateral(-) Palpasi : Soepel, NT (-), H/L/R tidak teraba Perkusi : Timpani Auskultasi : Peristaltik (+) f. Genitalia : Tidak diperiksa g. Anus : Tidak diperiksa h. Tulang Belakang : Simetris, nyeri tekan (-)
  • 10. 7 i. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB (-) j. Ekstremitas Superior Inferior Kanan Kiri Kanan Kiri Sianosis - - - - Oedema - - - - Fraktur - - - - 2.5.Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan 28/04/2015 Hb 10,9 gr/dl Ht 28 % Eritrosit 6,2 x 106 /mm3 Leukosit 24.700/mm3 Trombosit 423000 U/L E/B/NS/L/M 0/0/66/27/7 Na/K/Cl 139/4,0/100 mmol/L Ur/Cr 14/0,20 mg/dL 2.6. Diagnosis Kejang demam sederhana e.c tonsilofaringitis 2.7.Terapi  O2 nasal kanul 2 L/i  IVFD RL 30 gtt/i  Inj. Cefotaxime 200 mg/24 jam  Inj. Ampicilin 400 mg/12 jam  Stesolid supp 10 mg  bila kejang  Paracetamol syr 3 x 11/2 Cth
  • 11. 8 2.8 Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
  • 12. 9 FOLLOW UP HARIAN Tanggal/Hari Rawatan Catatan Instruksi 29 April 2015 H-1 KU: batuk (+), demam (+) menurun, kejang (-) TANDA VITAL HR:101 x/menit RR : 23 x/menit T : 37,8o C PEMERIKSAAN FISIK Kepala : normocephali, rambut normal Mata : konj palp inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-) Telinga : Normotia, serumen (-) Hidung : NCH (-), sekret (-) Mulut : tonsil hiperemis (+), faring hiperemis (-) Leher : Pembesaran KGB (-) Thorak : Inspeksi: Simetris Palpasi : tidak ada bagian dada yang tertinggal Perkusi : Sonor diseluruh lapangan paru Ausk : Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) TERAPI :  IVFD RL 30 gtt/i  Inj. Cefotaxime 200 mg/24 jam  Inj. Ampicilin 400 mg/12 jam  Stesolid supp 10 mg  bila kejang  Paracetamol syr 3 x 11/2 Cth 
  • 13. 10 Cor : BJ I > BJ II, regular, bising (-) Abdomen : Inspeksi : Simetris, Distensi (-) Palpasi : Soepel Perkusi :Timpani Auskultasi : Peristaltik (+) Extremitas : Pucat (-/-), Ikterus (-/-), sianosis (- /-), edema (-/-) ASSESSMENT: Kejang demam e.c tonsilofaringitis
  • 14. 11 FOLLOW UP HARIAN Tanggal/Hari Rawatan Catatan Instruksi 30 April 2015 H-2 KU: batuk (-), demam (-), kejang (-) TANDA VITAL HR: 103 x/menit RR : 24 x/menit T : 36,8o C PEMERIKSAAN FISIK Kepala : normocephali, rambut normal Mata : konj palp inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-) Telinga : Normotia, serumen (-) Hidung : NCH (-), sekret (-) Mulut : tonsil hiperemis (+), faring hiperemis (-) Leher : Pembesaran KGB (-) Thorak : Inspeksi: Simetris Palpasi : tidak ada bagian dada yang tertinggal Perkusi : Sonor diseluruh lapangan paru Ausk : Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) TERAPI :  IVFD RL 30 gtt/i  Inj. Cefotaxime 200 mg/24 jam  Inj. Ampicilin 400 mg/12 jam  Stesolid supp 10 mg  bila kejang  Paracetamol syr 3 x 11/2 Cth 
  • 15. 12 Cor : BJ I > BJ II, regular, bising (-) Abdomen : Inspeksi : Simetris, Distensi (-) Palpasi : Soepel Perkusi :Timpani Auskultasi : Peristaltik (+) Extremitas : Pucat (-/-), Ikterus (-/-), sianosis (- /-), edema (-/-) ASSESSMENT: Kejang demam e.c tonsilofaringitis
  • 16. 13 BAB III ANALISA KASUS KEJANG DEMAM 3.1 Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat ataupun epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.(3) Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 380 C rektal atau di atas 37,80 C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1) 3.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Sedangkan di Hong Kong angka kejadian kejang demam sebesar 0,35%. Dan di China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14%.(1)
  • 17. 14 Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bankitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.(4) 3.3 Klasifikasi Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.(5) Tabel 3.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks No Klinis KD Sederhana KD Kompleks 1 Durasi < 15 menit > 15 menit 2 Tipe Kejang Umum Umum/fokal 3 Berulang dalam 1 episode 1 kali > 1 kali 4 Defisit neurologis - +/- 5 Riwayat keluarga kejang demam +/- +/- 6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam +/- +/- 7 Abnormalitas neurologis sebelumnya +/- +/- Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan 35% berupa kejang demam kompleks. 3.4 Faktor Resiko Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat badan lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).
  • 18. 15 a. Faktor Demam Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80 C aksila atau diatas 38,30 C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam sebesar 80%.(6) Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel. Timbunan asam glutamate akan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intra dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel neuron sehingga membrane sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.(5) Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate. Perubahan glutamin menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam
  • 19. 16 glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.(5) b. Faktor usia Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2) perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif, sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.(5) c. Faktor riwayat keluarga Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam maka resiko terjadinya kejang demam hanya 9%.(5) d. Usia saat ibu hamil Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
  • 20. 17 tahun dapat mengakibatkan berbagai konplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.(5) e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.(5) f. Kehamilan primipara atau multipara Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5) g. Pemakaian bahan toksik Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan ibu, seperti menelan obat-obatan tertentu yang daopat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau
  • 21. 18 mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan resiko kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang.(5) h. Asfiksia Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.(5) i. Bayi berat lahir rendah Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya
  • 22. 19 kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya.(5) j. Kelahiran premature dan postmatur Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar.(5) Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic.(5) k. Partus lama Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.(5) l. Persalinan dengan alat Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi premature dan cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga
  • 23. 20 terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5) m. Perdarahan intrakranial Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.(5) n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP) Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)
  • 24. 21
  • 25. 22 3.5 Patofisiologi Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membrane berkisar antara 30 – 100 mV, selisih potensial membrane ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+ , K+ , dan Ca++ . Bila sel saraf mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane tehadap ion Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membrane masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+ , sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut sebagai respon lokal.(5) Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan perantara zat kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesa, maka permeabilitas membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na – K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.(5) Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori: a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia. b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
  • 26. 23 c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang. Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.(5) Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme otak.(5) Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut: a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan permeabilitas membrane sel c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya diikuti dengan apnea, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan
  • 27. 24 selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.(5) 3.6 Penegakan Diagnosis Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:(1) a. Dari anamnesa yang didapatkan - Umur pasien kurang dari 6 tahun (1 tahun 11 bulan) - Kejang didahului demam - Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 5 menit - Kejang umum dan tonik klonik - Kejang berhenti sendiri - Pasien tetap sadar setelah kejang b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan - Suhu tubuh aksila 38,20 C - Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit baik bersifat fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Penggolongan tidak lagi menurut kejang demam sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam tetapi dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan tidak memerlukan pengobatan rumat.(7)
  • 28. 25 Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang terjadi pada suhu antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC.(1) Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%- 6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18 bulan.(1) Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk me- nyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang menderita kejang demam.(7) 3.7 Tatalaksana Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk: a. Mencegah kejang demam berulang b. Mencegah status epilepsy c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi d. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.
  • 29. 26 Pengobatan fase akut Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).(7) Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.(7) Mencari dan Mengobati Penyebab Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula
  • 30. 27 kontraindikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi.(7) Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu: (7) • Profilaksis intermittent pada waktu demam • Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari. Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 6 jam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50 C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya diberikan Diazepam oral sebagai profilaksis, karena kondisi pasien kompos mentis dan masih dapat mengkonsumsi obat oral.(7) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah: • Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan perkembangan neurologis. • Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung. • Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap.
  • 31. 28 • Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat yang memejiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane meneliti kejadian kang berulang sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati dengan asam valproate dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam valproat. Dosis asam valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus. Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan menghadapi kejang demam diantara lain adalah sebagai berikut:  Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam dan kejang.  Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis 0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam. Sebagai alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan fenobarbital.  Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.  Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian sebaiknya dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan kadar fenobarbital dalam darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga dipantau keadaan tingkah laku dan psikologis anak.
  • 32. 29 Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik. Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian.(1) 3.8 Prognosis Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orangtuanya.(2) Pada kasus ini pasien mengalami batuk dan pilek sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tonsil tidak membesar tetapi hiperemis dan faring yang juga hiperemis. Sehingga dapat dipastikan bahwa demam disebabkan karena telah terjadi peradangan pada tonsil dan faring pasien. Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14 - 40% kejang terjadi pada suhu antara 38° - 38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C - 39,9ºC. Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa
  • 33. 30 cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% - 6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18 bulan. Pada kasus ini pasien telah berumur 23 bulan dan secara klinis tidak ditemukan gejala yang mengarah pada infeksi intrakranial sehingga pemeriksaan pungsi tidak perlu dilakukan. Kenaikan suhu 10 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi oksidasi berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan terjadi keadaan hipoksia. Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen, serta terganggunya berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi perubahan konsentrasi ion natrium, sehingga lebih baik jika dilakukan pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah. Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini hanya keadaan tonsil dan faring yang hiperemis. Pemeriksaan penunjang berupa hasil laboratorium darah rutin mengarahkan adanya infeksi bakteri berupa kadar leukosit yang meningkat, sehingga pemberian antibiotik diberikan pada kasus ini. Sedangkan terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien mengalami demam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50 C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja. Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik. Orang tua anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian.
  • 34. 31 Simpulan, telah ditegakkan diagnosis Kejang Demam Sederhana e.c tonsilofaringitis pada seorang anak perempuan berusia 2 tahun atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini demam terjadi karena adanya infeksi bakteri pada tonsil dan faring. Penatalaksanaan Kejang Demam dengan memberikan oksigen, cairan intravena untuk memenuhi kebutuhan elektrolit, serta kalori yang seimbang sebagai terapi supportif, serta pemberian antipiretik dan antikonvulsan sebagai terapi medikamentosa. Dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat maka prognosis akan lebih baik.
  • 35. 32 BAB IV KESIMPULAN Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 380 C rektal atau di atas 37,80 C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu: 1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuscular ataupun yang lebih praktis midazolam intranasal. 2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis sulit ditemukan. Pemeriksaan laboratorium penunjang lain dilakukan sesuai indikasi. 3. Pengobatan profilaksis.  Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 380 C) dengan menggunakan diazepam oral / rektal, klonazepam supositoria.  Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat tiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obat- obatan untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus dipertimbangkan antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.
  • 36. 33 Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup menkhawatirkan bagi orangtuanya.
  • 37. 34 DAFTAR PUSTAKA 1. Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan karena Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71. 2. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological and Laboratory Characteristics of Patients with Febrile Convulsion. Journal of Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7. 3. Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun. Medula. 2013;1(1):57-64. 4. American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement, Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter: Long-term Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103 (6): 1307-9. 5. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas Diponegoro; 2010. 6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53. 7. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002;4(2):59 - 62.