2. Ibnu Ishaq menceritakan bagaimana masyarakat Ansor dan
Muhajirin berbeda pendapat terkait siapa yang menjadi
suksesi Nabi pascawafatnya. Suksesi di sini bukanlah dalam
persoalan kenabian, tetapi menjadi pengganti Rasulullah
Saw. Karena bagi para sahabat sangat mafhum bahwa tidak
ada lagi Nabi setelahku.
Pertentangan terkait proses pengangkatan Abu Bakar ra,
sebagai khalifah berlangsung dramatis. Ketika kaum
Muhajirin dan Ansor berkumpul di Saqifah bani Sa’idah
terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing
mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak
sebagai khalifah.
Kaum Ansor mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang
pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti Nabi.
Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah
bergegas menyampaikan pendirian kaum Muhajirin, yaitu
agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy.
3. Kaum Muhajirin mengklaim bahwa sosok dari merekalah yang
lebih layak menggantikan kepemimpinan nabi. Karena mereka
adalah orang-orang yang lebih awal memeluk Islam.
Sebaliknya, Kaum Anshar mengklaim lebih berhak atas itu,
mengingat merekalah yang mengulurkan tangan dan
menyediakan tempat untuk nabi dan Kaum Muhajirin yang tengah
teraniaya dan hijrah dari kampung halamannya. Di Madinah pula
Islam mulai bisa menata diri dan akhirnya menjelma menjadi
kekuatan baru yang diperhitungkan oleh lawan-lawannya,
termasuk Kaum Quraish Mekkah.
Demikian pula Bani Hasyim dan Abdul Muthalib sebagai keluarga
besar nabi, mereka merasa berhak untuk mewarisi kepemimpinan
tersebut. Persoalan semakin meruncing tatkala masih dalam
suasana berkabung, bahkan jenazah nabi belum dikebumikan,
Kaum Anshar menggelar rapat di Tsaqifah Bani Saidah.
Dalam forum tersebut, mereka menentukan secara sepihak
pengganti kepemimpinan nabi di Madinah dengan menunjuk Saad
bin Ubadah. Hal tersebut sontak membuat Abu Bakar, Umar, Abu
Ubaidah, dan beberapa Kaum Muhajirin panik.
4. Mereka sedianya hendak menghadiri perawatan jenazah
nabi, namun karena kondisi yang dianggap darurat,
akhirnya terpaksa mengurungkan langkah dan memutuskan
untuk bertolak ke Tsaqifah Bani Saidah untuk mencegah
keputusan sepihak Kaum Anshar.
Peristiwa tersebut dan permasalahan pelik seputar siapa
pengganti kepemimpinan nabi menjadi salah satu faktor
yang membuat pemakaman jenazah beliau akhirnya
tertunda selama 3 hari. Setelah sempat terjadi perdebatan
sengit dalam situasi yang panas dan tegang di Tsaqifah Bani
Saidah, akhirnya benih-benih perpecahan tersebut mampu
diredam.
Forum tersebut bahkan berakhir dengan deklarasi antara
perwakilan Muhajirin dan Anshar untuk menunjuk Abu
Bakar sebagai Khalifah pengganti kepemimpinan nabi di
Madinah. Abu Bakar dibaiat oleh kaum Muslimin esok
harinya di depan Masjid Nabawi, setelah jenazah nabi
dimakamkan.
5. Akan tetapi, hal tersebut mendapat perlawanan
keras dari al-Hubab bin Munzir (kaum Ansor). Di
tengah perdebatan tersebut Abu Bakar
mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu
Ubaidah bin Zahrah dan Umar bin Khattab,
namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.
Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan
proses tersebut semakin rumit, maka dengan
suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar
sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah.
Kemudian proses pembaiatan pun terus berlanjut
seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Saad
beserta pengikutnya yang hadir dalam
pertemuan tersebut.
6. Telah terjadi pertemuan sebagian kaum
muhajirin dan Anshar dengan Ali bin Abi
Thalib di rumah Fatimah, mereka bermaksud
membai’at Ali dengan anggapan bahwa Ali
bin Abi Thalib, lebih patut menjadi khalifah
karena Ali berasal dari bani Hasyim yang
berarti ahlul bait.
7. Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai
khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus
karena ada beberapa orang yang belum
memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi Thalib,
Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas,
Zubair bin al-Awwam bin al-Ash, Khalid bin
Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman al-Farisi, Abu
Zar al-Gifari, Amma bin Yasir, Bara bin Azib
dan Ubai bin Ka’ab.
8. Abu Bakar al-Shiddiq mengatakan, kami
adalah pemimpinnya, dan kalian adalah para
menterinya (Nahnu al-Umara’ wa Antum al-
Wuzara’). (lihat Tarikh al-Khulafa’ karya al-
Suyuthi)
9. Suksesi setelah Rasulullah wafat pasti bukan hal yang
mudah, sebab akan sangat menentukan nasib umat Islam.
Perselisihan yang paling populer tentu antara kaum Suni
dan Syiah yang pokok masalahnya bermula dari penentuan
khalifah setelah Rasulullah. Saking rumitnya, kisah tentang
penentuan pemimpin ini memiliki beberapa versi.
Namun sebelum kita mengurai sejumlah versi tersebut,
terlebih dahulu kita bahas tentang provokasi Bani Umayyah
kepada Bani Hasyim, suku tempat Nabi Muhammad
berasal.
Abu Sufyan, mantan gembong Quraisy yang masuk Islam
setelah penaklukkan Makkah, adalah orang yang memanas-
manasi anggota Bani Hasyim atas terpilihnya Abu Bakar
yang berasal dari Bani Taim—sebuah suku yang kurang
terkemuka.
10. “Sungguh, hanya darah yang akan dapat
memadamkan sampah ini. Hai keluarga Abdu
Manaf, mengapa mesti Abu Bakar yang
memerintah kamu? Mana kedua orang yang
dihina itu, yang diperlemah, Ali dan Abbas!”
ucapnya.
Namun, menurut Muhammad Husain Haekal
dalam Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi dan
Studi Analisis Permulaan Sejarah Islam
Sepeninggal Nabi (2003), Ali bin Abi Thalib
segera menjawab dengan tegas, “Abu Sufyan,
engkau selalu mau memusuhi Islam dan
pemeluknya. Tetapi engkau tak akan berhasil.
Aku berpendapat, Abu Bakar memang pantas
untuk itu.”
11. Sementara menurut catatan Salih Suruç
dalam Best Stories of Abu Bakar Shiddiq
(2015), Abu Sufyan bahkan melecehkan Bani
Taim dan hendak berbaiat kepada Ali bin Abi
Thalib.
“Bagaimana mungkin tanggung jawab ini
diberikan kepada seseorang yang berasal dari
sebuah suku kecil kaum Quraisy? Sungguh,
aku sama sekali tidak meridainya. Wahai Abul
Hasan, berikan tanganmu, aku akan
membaiatmu,” kata Abu Sufyan.
12. beberapa versi proses suksesi pasca-Rasulullah, terutama sikap Ali bin Abi
Thalib terhadap Abu Bakar yang dibaiat Umar bin Khattab, Abu Ubaidah
bin Jarrah, dan sebagian kaum Ansar.
Versi pertama yang ia kutip dari sebuah sumber yang bernama Ya’qubi
menjelaskan, setelah Abu Bakar dibaiat, ada sejumlah sahabat yang tidak
ikut membaiat dan justru mendukung Ali bin Abi Thalib, di antaranya:
Abbas bin Abdul Mutthalib (paman Nabi), Fadl bin al-Abbas, Zubair bin
Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amr, Salman al-Farisi, Abu Zar al-
Ghifari, Bara’ bin Azib, dan Ubai bin Ka’ab.
“Kalaupun ini yang akan menjadi hak kami, kami tidak mau sebagian-
sebagian,” kata Abbas bin Abdul Mutthalib kepada para pendukung Abu
Bakar seperti dikutip Ya’qubi. Pernyataan itu menyuratkan bahwa ahlul
bait atau keluarga Rasulullah menghendaki kepemimpinan sepenuhnya.
Versi lain yang lebih keras, masih menurut Ya’qubi, adalah adanya
pertemuan di rumah Fatimah putri Rasulullah. Sejumlah orang Ansar dan
Muhajirin berkumpul di rumah tersebut untuk membaiat Ali, salah
satunya Khalid bin Sa’id yang berkata, “Sungguh, tak ada orang yang
lebih patut menempati kedudukan Muhammad selain engkau.”
13. Konon, pertemuan itu diketahui oleh Umar dan Abu Bakar
yang segera mendatangi rumah Fatimah. Kedatangan
mereka digambarkan amat dramatis oleh Ya’qubi
sebagaimana dikutip Muhammad Husain Haekal.
“Kedua orang ini bersama-sama dengan yang lain datang
dan menyerbu rumah itu. Ketika Ali keluar membawa
pedang, yang disambut oleh Umar, maka terjadi
pertarungan. Pedang Ali dipatahkan dan mereka menyerbu
masuk ke dalam rumah,” tulisnya.
Keributan tersebut berhasil dihentikan oleh Fatimah yang
mengancam akan memperlihatkan rambutnya dan ia akan
berseru kepada Allah. Para penyerbu keluar, namun
kejadian seperti itu berlangsung beberapa hari dan satu-
persatu para pendukung Ali berbaiat kepada Abu Bakar.
14. Ali bin Abi Thalib disebutkan baru berbaiat setelah Fatimah
wafat atau enam bulan setelah Abu Bakar dikukuhkan
sebegai khalifah. Sumber lain menyebutkan Ali baru
berbaiat setelah empat puluh hari setelah pengukuhan.
Versi lain seperti yang diuraikan oleh Ibnu Qutaibah dalam
al-Imamah was-Siyasah menyebutkan bahwa setelah Abu
Bakar dibaiat di Saqifah Bani Sa’idah, ia dan para
pendukungnya mendatangi Ali bin Thalib dan para keluarga
Rasulullah untuk memintanya turut berbaiat kepada Abu
Bakar.
“Aku tidak akan membaiat, karena dalam hal ini aku lebih
berhak daripada kalian. Kamulah yang lebih pantas
membaiat aku. Kamu telah mengambil kekuasaan itu dari
Ansar dengan alasan kalian kerabat Nabi, dan [sekarang
kalian hendak] mengambil dari kami ahlul bait secara
paksa,” ucap Ali saat menolak kepemimpinan Abu Bakar.
15. Abu Ubaidah bin Jarrah mencoba melunakkan
sikap Ali, namun ia justru semakin keras
menolak. Demikianlah menurut beberapa versi,
keterlambatan Ali membaiat Abu Bakar yang
sampai berbulan-bulan dilatari keengganan ahlul
bait menerima kepemimpinan di luar keluarga
Rasulullah.
Selain itu, ada pula versi lain yang sangat
populer di kalangan Muslim Suni, yakni semua
Muhajirin dan Ansar tidak ada yang tertinggal
atau terlambat dalam membaiat Abu Bakar
sebagai khalifah pertama, termasuk Ali bin Abi
Thalib.
16. Pasca pengangkatan Khalifah Abu Bakar al-
Shiddiq, ia diberi gelar dengan khalifat
rasulillah (pengganti Rasulullah). Hal ini
menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak
mengklaim dirinya sebagai ‘pemimpin’ umat
Islam atau amirul mukminin. Adapun gelar
amirul mukminin baru ada ketika
kekhalifahan al-Rasyidin berada di bawah
sahabat Umar bin al-Khattab.
17. Berikut ini adalah petikan pidato Abu Bakar yang bersejarah itu:
“Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat
sebagai pemimpin kalian meski aku bukan yang terbaik di antara kalian.
Jika aku berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya jika aku berbuat salah,
luruskanlah saya.
Kejujuran itu merupakan amanah, sedangkan dusta itu merupakan
pengkhianatan. Kaum yang lemah menempati posisi yang kuat di sisiku
hingga aku dapat mengembalikan padanya haknya dengan izin Allah.
Sedangkan, kaum yang kuat menempati posisi yang lemah di sisiku hingga
aku dapat mengambil darinya hak orang lain dengan izin Allah.
Jika suatu kaum meninggalkan perkara jihad di jalan Allah, mereka akan
ditimpakan kehinaan oleh Allah.
Jika kemaksiatan telah meluas di tengah-tengah suatu kaum, Allah akan
menimpakan bala’ kepada mereka secara menyeluruh.
Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat
kepadaku. Bangunlah untuk melaksanakan shalat, semoga Allah
merahmati kalian.”