SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Download to read offline
160
PERMASALAHAN DAN KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
Kurniawan
Fakultas Hukum Universitas Mataram
E-mail: kurniawan3377@yahoo.co.id.
Abstract
Consumer dispute can be resolved through on courts or outside the court based on voluntary choice
of the parties. Settlement of dispute through the court provisions on the article 45. Dispute of the
settlement can be solved out the court by using Consumer Dispute Settlement Body (BPSK).The
purpose of establshing BPSK is to protec consumer and producer by designing consumer protection
system that contain legal certainty and transparency the information. The existence of BPSK
expected equality of justice especially to consumer that aggrieved by consumer. It because the
dispute between consumer and producer generally involved in small value so that the consumer
hesitate to registered his case to judicial process. There is no adequate between the court fee and
indemnification perceived. The problems that the decision of BPSK has characteristic final and
binding however it can be carried out to the district court and the decision cannot be executed
directly or realized.
Keywords: consumers right, consumer’s protection, dispute resolution.
Abstrak
Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui Pengadilan ataupun luar Pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela dari para pihak. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan mengacu kepada
ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 UUPK.
Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan dengan memanfaatkan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK). Tujuan pembentukan BPSK adalah untuk melindungi konsumen maupun pelaku
usaha dengan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi. Keberadaan BPSK diharapkan akan menjadi bagian dari pemerataan
keadilan, karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha biasanya nominalnya kecil sehingga
konsumen enggan untuk mengajukan sengketanya di Pengadilan. Hal yang menjadi persoalan adalah
putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat, hanya saja putusan tersebut dapat dilakukan upaya
keberatan ke pengadilan negeri dan putusan tersebut tidak dapat langsung eksekusi atau
dilaksanakan.
Kata kunci : hak konsumen, perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa
Pendahuluan
Pesatnya perkembangan ekonomi nasio-
nal telah menghasilkan diversifikasi produk ba-
rang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh
masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan, tek-
nologi komunikasi dan informatika juga turut
mendukung perluasan ruang gerak transaksi ba-
rang dan/jasa hingga melintasi batas-batas wi-
layah suatu negara. Kondisi yang demikian pada
satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan
konsumen karena kebutuhan akan barang dan/
atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memi-
lih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan kemampuannya. Di sisi lain, kon-
disi dan fenomena tersebut dapat mengakibat-
kan kedudukan pelaku usaha dan konsumen
menjadi tidak seimbang, dimana konsumen
cende-rung dijadikan obyek aktivitas bisnis dari
pelaku usaha untuk meraup keuntungan sebe-
sar-besarnya melalui kiat iklan, promosi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian standar
Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 161
yang merugikan konsumen.1
Kerugian konsumen
secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu: pertama, kerugian yang diakibatkan oleh
perilaku penjual yang memang secara tidak
bertanggung jawab merugikan konsumen; ke-
dua, kerugian konsumen yang terjadi karena
tindakan melawan hukum yang dilakukan pihak
ketiga sehingga konsumen disesatkan yang pada
akhirnya dirugikan.2
Faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen
akan hak-haknya yang masih rendah. Hal ini di-
sebabkan oleh rendahnya pendidikan konsu-
men. Oleh karena itu kehadiran Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi
landasan hukum kuat bagi pemerintahan dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya ma-
syarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.
Perhatian dunia internasional terhadap
perlindungan konsumen sebagai korban mulai
muncul dengan ditetapkannya Resolusi PBB No.
39/248 tanggal 16 April 1985 yang isinya me-
nentukan bahwa perlindungan konsumen dari
bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan ke-
amanannya, promosi dan perlindungan kepen-
tingan sosial ekonomi konsumen, tersediannya
informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pi-
lihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuh-
an pribadi, pendidikan konsumen, tersedianya
ganti rugi yang efektif dan kebebasan untuk
membentuk organisasi konsumen atau yang re-
levan melindungi konsumen.3
Didukung oleh perkembangan politik dan
ekonomi di Indonesia, maka lahirlah UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(untuk selanjutnya disebut UUPK) yang disah-
kan oleh Presiden RI pada tanggal 20 April 1999
1
Penjelasan umum atas Undang-Undang Republik Indo-
nesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(Lembagan Negara RI Tahun 1999 Nomor 42).
2
Ahmad Ramli, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Dalam Transaksi E-Commerce”, Jurnal Hukum Bisnis,
Volume 18 Nomor 3 Tahun 2002, hlm. 14.
3
L. Parman, “Perlindungan Konsumen Dengan Sarana
Hukum Pidana”, Majalah Ilmiah Ilmu Hukum Jatiswara
Terakreditasi DirjenDikti No. 34/Dikti/Kep/2003, Fakul-
tas Hukum Universitas Mataram, Vol. 20 No. 2 April 2005,
hlm. 168-169.
dan berlaku efektif tanggal 20 April 2000. UUPK
diharapkan melindungi kepentingan konsumen
secara integratif dan komprehensif serta dapat
diterapkan secara efektif di masyarakat. UUPK
pada dasarnya melakukan pengaturan pada 2
(dua) subyek, yaitu pelaku usaha dan konsu-
men. Dalam perlindungan konsumen, sendi uta-
ma pengaturannya adalah pada kesederajatan
antara konsumen dan pelaku usaha. Keberada-
an pelaku usaha baru memiliki arti apabila juga
terdapat keberadaan konsumen. Hal ini meru-
pakan konsekuensi logis dari sendi-sendi peng-
aturan di bidang usaha, yaitu hak berusaha
yang sama bagi setiap orang dan kepentingan
konsumen merupakan tujuan akhir. Namun, fe-
nomena yang nampak adalah kedudukan antara
pelaku usaha dengan konsumen tidak seimbang
dimana konsumen berada pada posisi yang le-
mah. Faktor Inilah yang kemudian menyebab-
kan terjadi perselisihan atau sengketa antara
pelaku usaha dengan konsumen.4
Penyelesaian sengketa dalam memperta-
hankan hak-hak konsumen diatur pada Pasal 45
UUPK, yang menyebutkan bahwa penyelesaian
sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan
atau luar pengadilan berdasarkan pilihan suka-
rela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh
melalui BPKS yang tugas dan wewenangnya an-
tara lain meliputi pelaksanaan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi, yang
selain sebagai media penyelesaian sengketa ju-
ga dapat menjatuhkan sanksi administratif bagi
pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan
ter-tentu yang dikenakan bagi pelaku usaha.5
Permasalahannya adalah putusan BPSK yang
bersifat final dan mengikat masih dapat dilaku-
kan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri dan
putusan tersebut tidak dapat langsung diekse-
kusi. Di samping itu masih terdapat beberapa
kendala lain dalam BPSK.
4
Ari Purwadi, “Telaah Singkat tentang Undang Undang
Perlindungan Konsumen”, Jurnal Hukum & Keadilan,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Vol. 3. No.
3. 2000, hlm. 117.
5
Abdul Halim Barkatullah, “Urgensi Perlindungan Konsu-
men Dalam Transaksi di E-Commerce”, Jurnal Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia No. 2 Vol. 14
April 2007, hlm. 260.
162 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012
Pembahasan
Secara harafiah arti consumer itu adalah
(lawan dari produsen) setiap orang yang meng-
gunakan barang. Tujuan penggunaan barang
atau jasa itu nanti menentukan termasuk kon-
sumen kelompok mana pengguna tersebut. Be-
gitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia mem-
beri arti kata consumer sebagai "pemakai atau
konsumen".6
Dalam peraturan perundangan di
Indonesia, istilah “konsumen“ sebagai definisi
yuridis formal ditemukan pada UUPK. Konsu-
men adalah setiap orang pemakai barang dan
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan (Pasal 1 angka 2 UUPK).
Pelaku usaha, masyarakat umum biasanya
menyebutnya dengan sebutan produsen. Ter-
kadang masyarakat mengartikan produsen seba-
gai pengusaha, namun ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa produsen hanya penghasil
barang saja dan merupakan salah satu unsur
dari pengusaha. UUPK menggunakan istilah Pe-
laku Usaha. Menurut Pasal 1 Angka 3, pengerti-
an Pelaku Usaha adalah Setiap orang perorang-
an atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum
negara Repu-blik Indonesia, baik sendiri mapun
bersama-sama melalui perjanjian penyeleng-
garaan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
Setiap orang pada suatu waktu tertentu
dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelom-
pok bersama orang lain, dalam keadaan apa
pun, pasti menjadi konsumen untuk suatu pro-
duk atau jasa tertentu. Keadaan yang universal
ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya
berbagai kelemahan pada konsumen sehingga
konsumen tidak memiliki kedudukan yang
”aman”. Oleh karena itu secara men-dasar kon-
sumen juga membutuhkan perlindungan hukum
yang sifatnya universal juga.7
6
Ibid
7
Sri Redjeki Hartono, “Perlindungan Konsumen di Indo-
nesia (Tinjauan Makro)”, Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Edisi Khusus No. 39/X/
2001, hlm. 147.
Perlindungan konsumen menurut Pasal 1
angka 1 UUPK adalah segala upaya yang mem-
berikan kepastian untuk memberikan perlindu-
ngan kepada konsumen. Kepastian hukum yang
dimaksud dalam pengertian ini meliputi segala
upaya untuk memberdayakan konsumen mem-
peroleh atau menentukan pilihannya atas ba-
rang/atau jasa kebutuhannya serta memper-
tahankan atau membela hak-haknya apabila di
rugikan oleh prilaku pelaku usaha penyedia ke-
butuhan konsumen tersebut.8
Perlindungan hukum terhadap konsumen
dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, No
Conflict (pre-purchase), yaitu apabila tidak ter-
dapat konflik atau tidak ada pertentangan, ma-
ka dapat dilakukan dengan dua cara yaitu legis-
lation, dimana perlindungan hukum dilakukan
dengan cara merancang dan menetapkan pelba-
gai peraturan perundang-undangan. Voluntary
self-regulation, dimana perlindungan konsumen
dilakukan melalui cara perancangan dan pene-
tapan peraturan oleh pelaku usaha sendiri seca-
ra sukarela (voluntary) di dalam perusahaan-
nya (baik barang maupun jasa). Kedua, apabila
terjadi Conflict (post-purchase). Apabila terja-
di konflik atau pertentangan antara konsumen
dengan pelaku usaha, maka dapat diselesaikan
melalui litigation, yaitu perlindungan hukum
kepada konsumen yang terakhir adalah meng-
ajukan perkara yang terjadi antara konsumen
dengan pelaku usaha ke pengadilan atau ke
BPSK.9
BPSK diadopsi dari model Small Claim
Tribunal (SCT) yang telah berjalan efektif di
negara-negara maju, namun BPSK ternyata ti-
dak serupa dengan SCT. Sebagaimana diketa-
hui SCT berasal dari negara-negara yang ber-
tradisi atau menganut sistem hukum Com-mon
Law atau Anglo Saxon memiliki cara berhukum
yang sangat dinamis dimana yurisprudensi men-
jadi hal utama dalam penegakan hukum. Se-
dangkan Indonesia sistem hukumnya adalah
8
Az. Nasution, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen”,
Jurnal Teropong, Edisi Mei 2003, Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia, hlm. 6-7.
9
Johannes Gunawan, “Pemberlakuan Undang-undang Per-
lindungan Konsumen Terhadap PT. PLN Sebagai Lembaga
Pelayanan Umum”, Pro Justitia, Jurnal Hukum Triwulan
Universitas Katolik Parahyangan, Tahun 19, Nomor 4,
Oktober 2001.
Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 163
Civil Law atau Eropa Kontinental yang cara
berhukumnya bersumber dari hukum tertulis
(peraturan perundang-undangan).10
BPSK nam-
paknya didesain dengan memadukan kedua sis-
tem hukum tersebut, dimana model SCT di-
adaptasikan dengan model pengadilan dan mo-
del ADR (Alternative Dispute Reso-lution) khas
Indonesia.
BPSK adalah badan yang bertugas mena-
ngani dan menyelesaikan sengketa antara pela-
ku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya di-
bentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus seng-
keta konsumen yang berskala kecil dan bersifat
sederhana (Pasal 1 butir 11 UUPK). Dasar hu-
kum pembentukan BPSK adalah Pasal 49 Ayat 1
UUPK dan Kepmenperindag Nomor 350/MPP/
Kep/12/2001 yang mengatur bahwa di setiap
kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK. BPSK
pertama kali diresmikan pada tahun 2001, yaitu
dengan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun
2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Me-
dan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota
Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang,
Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang
dan Kota Makasar. Selanjutnya, dalam Keputus-
an Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi
BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten beri-
kutnya, yaitu di Kota Kupang, Kota Sama-rinda,
Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota
Mataram, Kota Palangkaraya dan pada Kabupa-
ten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Se-
rang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabu-
paten Jeneponto. Pada tanggal 12 Juli 2005,
pemerintah dengan Keputusan Presiden No. 18
Tahun 2005 membentuk BPSK di Kota Padang,
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung, dan
Kabupaten Tange-rang. Terakhir Pemerintah
membentuk BPSK sebagaimana tertuang dalam
Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006. Ke-
putusan Presiden ini membentuk BPSK di Kota
Pekalongan, Parepare, Pekanbaru, Denpasar,
10
Di Indonesia dikenal Asas Nullun Delictum Nulla Poena
Sine Praevia Lege Poenali atau asas Legalitas dimana
asas ini mengandung arti tidak ada suatu perbuatan yang
dapat dijatuhi pidana kecuali atas kekuatan peraturan
pidana dalam Perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Batam, Kabupaten Aceh Utara, dan Kabupaten
Serdang Bedagai. Menurut ketentuan Pasal 90
Keppres No. 9 Tahun 2001, biaya pelaksanaan
tugas BPSK dibebankan pada Anggaran Penda-
patan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seba-
gai upaya untuk memudahkan konsumen men-
jangkau BPSK, maka dalam keputusan presiden
tersebut, tidak dicantumkan pembatasan wila-
yah yurisdiksi BPSK, sehingga konsumen dapat
mengadukan masalahnya pada BPSK mana saja
yang dikehendakinya.
Keanggotaan BPSK diatur dalam Pasal 49
UUPK. Menurut Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4)
UUPK, keanggotaan BPSK terdiri dari 3 (tiga)
unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen
dan unsur pelaku usaha. Anggota setiap unsur
berjumlah sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, sehing-
ga jumlah anggota BPSK minimal 9 (sembilan)
orang dan maksimal 15 (lima belas) orang. Se-
mentara pengangkatan dan pemberhentian ang-
gota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustri-
an dan Perdagangan (saat sekarang kementeri-
an ini di pisah menjadi 2 (dua) yaitu Kementeri-
an Perindustrian dan Kementerian Perdagang-
an). Pasal 50 UUPK menjelaskan, setelah terpi-
lih anggota BPSK, kemudian diisi struktur orga-
nisasi yang terdiri dari seorang ketua merang-
kap anggota, wakil ketua merangkap anggota
dan anggota yang dalam pelaksanaan tugas di
bantu oleh sekre-tariat yang terdiri dari kepala
sekretariat dan anggota sekretariat. Pengang-
katan dan pemberhentian sekretariat BPSK
ditetapkan oleh menteri. UUPK memberikan
persyaratan bahwa untuk dapat diangkat seba-
gai anggota BPSK harus memenuhi syarat umum
dan syarat khusus (Pasal 6 Kepmenperindag No.
301/MPP/Kep/10/2001)
Tugas dan wewenang Badan Penyelesai-
an Sengketa Konsumen (BPSK) diatur pada Pasal
52 UUPK jo. SK. Menperindag Nomor 350/MPP/
Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 ten-
tang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu: (a)
Melaksanakan penanganan dan penyelesaian
sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, me-
diasi, dan arbitrase; (b) Memberikan konsultasi
164 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012
perlindungan konsumen; (c) Melakukan penga-
wasan terhadap pencantuman klausula baku;
(d) Melaporkan kepada penyidik umum jika ter-
jadi pelanggaran Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK); (e) Menerima pengaduan
tertulis maupun tidak dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen; (f) Melakukan penelitian dan peme-
riksaan sengketa perlindungan konsumen; (g)
Memanggil pelaku usaha yang diduga telah me-
lakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen; (h) Memanggil dan menghadirkan
saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang di-
duga mengetahui pelanggaran Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK); (i) Meminta
bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan
saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g
dan butir h yang tidak bersedia memenuhi
panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsu-
men (BPSK); (j) Mendapatkan, meneliti dan/
atau menilai surat, dokumen, atau bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; (k)
Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya ke-
rugian di pihak konsumen; (l) Memberitahukan
putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
(m)Menjatuhkan sanksi administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK.
Menunjuk pada Pasal 49 ayat (1) dan
Pasal 54 ayat (1) UUPK jo. Pasal 2 SK Menper-
indag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, fungsi
utama BPSK yaitu: sebagai instrumen hukum
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Se-
dangkan tugas-tugas BPSK diatur pada Pasal 52
butir e, butir f, butir g, butir h, butir i, butir j,
butir k, butir l dan butir m UUPK sebenarnya
telah terserap dalam fungsi utama BPSK terse-
but. Tugas BPSK memberikan konsultasi perlin-
dungan konsumen (Pasal 52 butir b UUPK) da-
pat dipandang sebagai upaya sosialisasi UUPK,
baik terhadap konsumen maupun pelaku usaha.
Dalam hal konsultasi diberikan, jika suatu Per-
mohonan Sengketa Konsumen (PSK) sudah ter-
daftar di Sekretariat BPSK, maka konsultasi
yang diberikan BPSK tentu dalam rangka penye-
lesaian sengketa konsumen, baik dengan cara
konsiliasi, mediasi, maupun arbitrase (Pasal 6
Kepmenperindag No. 301/MPP/Kep/10/2001).
Prosedur penyelesaian sengketa konsu-
men melalui BPSK ini terdiri dari tiga tahapan.
Pertama, tahap permohonan yang meliputi per-
syaratan pengaduan penyelesaian penyelesaian
sengketa tanpa pengacara; kedua, tahap per-
sidangan yang dapat dilaksanakan dengan cara
konsiliasi, mediasi dan arbitrase; dan ketiga,
tahap putusan yang harus diselesaikan selam-
bat-lambatnya 21 hari kerja terhitung sejak gu-
gatan diterima yang dilanjutkan dengan ekse-
kusi putusan.11
Permasalahan–permasalahan dalam BPSK
Suatu putusan badan peradilan tidak akan
ada artinya, manakala tidak dapat dilaksana-
kan atau dieksekusi. Pada dasarnya suatu pu-
tusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang pasti atau inkracht van gewijsde harus da-
pat dijalankan. Oleh karena itulah, putusan
suatu badan peradilan harus mempunyai ke-
kuatan eksekutorial, yaitu “kekuatan untuk di-
laksanakan apa yang telah ditetapkan dalam
putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat
negara.
Menurut Sudikno Mertokusumo, eksekusi
atau pelaksanaan putusan dapat dibagi menjadi
2 jenis yaitu: eksekusi yang menghukum pihak
yang kalah untuk membayar sejumlah uang (di
atur dalam Pasal 195 HiR atau Pasal 208 RBg);
dan eksekusi putusan yang menghukum orang
untuk melakukan suatu perbuatan (diatur da-
lam Pasal 225 HiR atau Pasal 259 RBg). Kemu-
dian eksekusi riil untuk memerintahkan pengo-
songan benda tetap, diatur Pasal 1033 RV.12
Adapun yang memberi kekuatan ekseku-
torial atau yang menjadi persyaratan pada sua-
tu putusan untuk dapat dilaksanakan secara
paksa baik putusan pengadilan maupun putusan
arbitrase harus memuat kepala putusan atau
disebut irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan
11
Kurniawan dan Abdul Wahab, “Tinjauan Yuridis Terhadap
Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK
di Indonesia”, Jurnal Hukum Jatiswara, Fakultas Hukum
Universitas Mataram, Vol. 23, No. 2, Juli 2008. hlm. 54.
12
Sudikno Mertokusumo dalam Muhammad Jailani, “Faktor-
faktor Yang Mempengaruhi dan Menghambat pelaksanaan
Putusan Hakim (eksekusi) dalam Perkara Perdata”,
Majalah Ilmiah Ilmu Hukum Jatiswara, Terakreditasi
DirjenDikti No. 34/Dikti/Kep/2003, Fakultas Hukum
Universitas Mataram, Vol. 20, No. 3, Juli 2005, hlm. 336-
337.
Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 165
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepa-
la putusan inilah yang memberi kekuatan ekse-
kutorial terhadap suatu putusan.13
Bahkan ti-
dak hanya putusan pengadilan dan putusan ar-
bitrase yang harus mencantumkan irah-irah
atau kepala putusan, akan tetapi akte notaris
seperti grose akta hipotik (grose akta van hypo-
theek) dan grose akta pengakuan hutang (nota-
rieele schuld-brieven) harus mencantumkan ke-
pala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-
tuhanan Yang Maha Esa”. Kepala akta tersebut
merupakan syarat yang mesti ada agar kata no-
tariil di muka memiliki nilai kekuatan sama
dengan putusan pengadilan yang telah memper-
oleh kekuatan hukum tetap atau inkrah.14
Eman
Suparman juga menjelaskan, selain dimiliki
oleh putusan pengadilan, putusan arbitrase dan
grose akta notariil, kepala putusan atau irah-
irah juga dimiliki oleh akta perdamaian se-
bagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) HIR
yang dibuat dipersidangan juga mempunyai
kekuatan untuk dilaksanakan seperti putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.15
Permohonan eksekusi dapat dilakukan
baik terhadap putusan BPSK maupun putusan
keberatan, namun UUPK tidak menyediakan
peraturan yang lebih rinci berkaitan dengan hal
tersebut. Pelaksanaan putusan arbitrase dise-
rahkan dan menjadi wewenang penuh dari Pe-
ngadilan Negeri yang menjalankan fungsi ke-
kuasaan kehakiman, dan mempunyai legitimasi
sebagai lembaga pemaksa. Adapun tata cara
melaksanakan putusan Hakim diatur dalam Pa-
sal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR. Keten-
tuan mengenai prosedur permohonan eksekusi
tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK.
Pasal 57 UUPK menjelaskan bahwa putusan ma-
jelis dimintakan penetapan eksekusinya kepada
Pengadilan Negeri di tempat konsumen dirugi-
13
Ketentuan mengenai irah-irah atau kepala putusan untuk
lembaga peradilan dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (1) UU
Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sedangkan untuk
ketentuan irah-irak untuk arbitase diatur dalam Paal 54
UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.
14
Eman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam
Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan. Jakarta:
PT. Tatanusa, hlm. 198-199
15
Ibid
kan. Kemudian ketentuan Pasal 57 UUPK ini di-
perjelas dengan Pasal 42 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001 bahwa pihak yang mengaju-
kan eksekusi adalah BPSK.
Pada putusan arbitrase BPSK, terdapat
kendala dalam pelaksanaan permohonan ekse-
kusi yang disebabkan tidak adanya pencantum-
an irah-irah pada putusan arbitase BPSK terse-
but. Hal ini berbeda dengan isi suatu putusan
arbitrase yang dalam putusannya mengandung
irah-irah. Pasal 54 Ayat (1) butir a Undang-Un-
dang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
APS, menyatakan suatu putusan arbitrase harus
memuat kepala putusan atau irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Ketentuan Pasal 57 UUPK bertentangan
dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 14
tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa suatu putusan harus me-
muat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-
tuhanan yang Maha Esa”. Pencantuman irah-
irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pa-
da putusan tersebut sehingga penghapusan
irah-irah mengakibatkan putusan menjadi batal
demi hukum.
Sebagai suatu contoh kasus, BPSK Kota
Bandung pernah mengajukan fiat eksekusi ter-
hadap putusan BPSK Nomor 66/Pts-BPSK/VII/
2005 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, na-
mun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyata-
kan bahwa putusan BPSK tidak dapat dieksekusi
karena tidak mempunyai irah-irah, padahal
dalam putusan BPSK, tidak dikenal adanya irah-
irah.16
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui
Surat Nomor W7.Db.Ht.04.10.3453.2005 mem-
berikan tanggapan terhadap permohonan pene-
tapan eksekusi putusan BPSK Kota Bandung
yang pada intinya menyatakan bahwa permo-
honan pelaksanaan eksekusi putusan BPSK
belum dapat diproses karena belum memenuhi
beberapa syarat yaitu: Bahwa sesuai dengan UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS
dalam Pasal 54 ayat (1) bahwa Putusan Arbitra-
16
Tim pembuatan PERMA Tata Cara Pengajuan Keberatan
terhadap Putusan BPSK, lebih jelas lihat Susanti Adi
Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen
Di Tinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implemen-
tasinya, Jakarta: Kencana, hlm. 341
166 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012
se Penyelesaian Sengketa harus memuat kepala
putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDA-
SARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dan
merujuk ketentuan tersebut, sebagaimana di-
atur dalam Bab V pelaksanaan putusan arbitra-
se nasional bagian pertama Pasal 59 yaitu: (1)
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan,
lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbi-
trase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter
atau kuasanya kepada Pengadilan Negeri; (2)
Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana di-
maksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pen-
catatan dan penandatangan pada bagian akhir
atau dipinggir putusan oleh panitera Pengadilan
negeri dan arbiter atau kuasanya yang menye-
rahkan, dan catatan tersebut merupakan akta
pendaftaran; (3) Arbiter atau kuasanya wajib
menyerahkan putusan dan lembar asli pengang-
katan arbiter atau salinan otentiknya kepada
Panitera Pengadilan Negeri.
UUPK maupun SK Menperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur tentang
pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga BP-
SK, tidak mengatur mengenai kewajiban pen-
cantuman irah-irah pada putusan BPSK. Hal ini
disebabkan kedudukan BPSK yang secara struk-
tural berada di bawah Departemen (baca: Ke-
menterian) Perdagangan, sedangkan HIR/ RBg
dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman me-
rupakan peraturan yang berlaku bagi badan
peradilan. Penulis berpendapat, sebenarnya
persoalannya bukan pada BPSK dibawah Depar-
temen Perdagangan atau Kementerian mana,
melainkan bahwa BPSK melaksanakan pena-
nganan dan penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara arbitrase, sehingga mengandung
konsekuensi bahwa putusan arbitrase juga ha-
rus dicantumkan irah-irah atau kepala putusan
“Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhahan Yang
Maha Esa” sebagaimana ketentuan dalam UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS
sebagai ketentuan khusus yang mengatur me-
ngenai Arbitrase di Indonesia. Pasal 48 UUPK
menyatakan “penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan mengacu pada ketentuan
tentang peradilan umum yang berlaku dengan
memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UU-
PK.” Sedangkan Pasal 45 UUPK secara garis be-
sar menyatakan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
ataupun di luar pengadilan. Penyelesaian di
luar pengadilan ini yang dilaksanakan dengan
konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Atas pende-
katan inilah, maka permohonan eksekusi putus-
an BPSK berda-sarkan ketentuan Pasal 57 UUPK
jo. Pasal 42 SK Menperindag Nomor 350/MPP/
Kep/12/2001 dapat dilaksanakan karena meru-
pakan kekhususan dari pelaksanaan eksekusi
secara umum menurut ketentuan hukum acara
perdata sesuai dengan asas hukum lex specialis
derogat legi generalis yang berarti bahwa ke-
tentuan khusus menyampingkan ketentuan yang
bersifat umum.17
Menjadi sebuah pertanyaan berkaitan de-
ngan pertentangan antara Pasal 57 UUPK jo.
Pasal 42 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/
12/2001 dengan ketentuan hukum acara per-
data pada umumnya mengenai lembaga BPSK
yang harus mengajukan permohonan eksekusi
ke pengadilan atas putusan yang dihasilkannya,
bukan pihak yang dimenangkan. BPSK merupa-
kan lembaga yang menyelesaikan sengketa kon-
sumen, di mana ia memiliki kewajiban untuk
memutus sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha dalam menetapkan kerugiannya, oleh ka-
rena itu, kedudukan BPSK harus netral dan ti-
dak berpihak sehingga memberikan keseimba-
ngan antara kepentingan konsumen, dan pelaku
usaha/produsen. Meskipun tujuan utama pen-
dirian BPSK adalah untuk memberikan perlin-
dungan hukum terhadap konsumen, tetapi ini
tidak berarti bahwa dalam upaya pelaksanaan
ganti kerugian, BPSK yang harus mengajukan
per-mohonan eksekusinya ke pengadilan. Oleh
karena ganti kerugian diberikan untuk kepen-
tingan konsumen, maka yang dapat mengajukan
eksekusi terhadap putusan BPSK hanyalah
konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK.
Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk
mengajukan eksekusi seperti yang ditentukan
dalam Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 SK Menperin-
dag No. 350/MPP/Kep/12/2001, maka keduduk-
an BPSK sebagai badan yang netral dan impar-
17
Ibid
Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 167
sial menjadi diragukan. Selain itu, apabila BPSK
melakukan pengajuan permohonan eksekusi,
maka akan menambah beban kerja dari BPSK
itu sendiri. Untuk itulah, dengan adanya ke-
tentuan Pasal 7 Ayat (1) PERMA No. 1 Tahun
2006 yang menegaskan bahwa “pengadilan me-
ngeluarkan penetapan eksekusi atas perminta-
an pihak yang berperkara (konsumen) atas
putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan”,
dapat mendorong kinerja BPSK yang lebih baik.
Menurut penulis, apabila dikaitkan dengan asas
hukum, maka ketentuan Pasal 7 ayat (1) PERMA
No. 1 Tahun 2006 sebenarnya tidak bisa dijadi-
kan dasar hukum atau pegangan dalam menje-
lasakan pihak mana yang berhak mengajukan
eksekusi, hal ini disebabkan karena ketentuan
Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2006 ber-
tentangan dengan Pasal 57 jo. Pasal Pasal 42 SK
Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Menu-
rut asas hukum yang berlaku yaitu lex superior
legi imperior atau ketentuan yang lebih tinggi
mengalahkan ketentuan yang lebih rendah, ma-
ka dengan sendirinya PERMA No. 1 Tahun 2006
ini tidak bisa dijadikan patokan atau dasar
karena dikalahkan oleh aturan yang lebih tinggi
yaitu Pasal 57 UUPK. Eksekusi terhadap putusan
arbitrase BPSK seharusnya memperhatikan ke-
tentuan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dan
Hukum Acara Perdata yang berlaku. Pemilihan
arbitrase dalam penyelesaian sengketa melalui
BPSK, menjadikan BPSK menjadi suatu lembaga
arbitrase dan untuk itu harus memperhatikan
ketentuan arbitrase nasional. Tata cara ekse-
kusi yang dilakukan setelah penetapan eksekusi
diberikan menyangkut ketentuan dalam HIR/
RBg sebagai induk peraturan dalam Hukum Aca-
ra Perdata, karena sengketa antara konsumen
dengan pelaku usaha yang diselesaikan melalui
jalur arbitrase juga merupakan ranah hukum
perdata.
Kendala-kendala dalam BPSK
Pengadilan merupakan salah satu institu-
si untuk mengupayakan supremasi hukum yang
merupakan salah satu ciri dari negara hukum.
Perselisihan antara pelaku usaha dengan konsu-
men dapat diselesaikan melalui Pengadilan Ne-
geri. Tetapi setidaknya upaya non litigasi, bisa
menjadi alternatif untuk menyelesaikan perse-
lisihan antara pihak-pihak yang bersengketa.
Penggunaan salah satu jalur penyelesaian seng-
keta dipengaruhi oleh konsep tujuan, ketajam-
an cara berfikir, serta budaya sosial masyara-
kat. Penggunaan model penyelesaian sengketa
non-litigasi lebih mengutamakan pendekatan
”konsensus” dan berusaha mempertemukan ke-
pentingan pihak-pihak yang bersengketa serta
bertujuan mendapatkan hasil penyelesaian ke
arah win-win solution, sehingga keadilan yang
ingin dicapai melalui mekanisme non-litigasi ini
adalah keadilan komutatif.18
Menurut Erman Rajagukguk, budaya hu-
kum masyarakat termasuk faktor yang mempe-
ngaruhi arti penting penyelesaian sengketa bis-
nis di luar pengadilan. Budaya tradisional yang
menekankan kepada komunitas, kekerabatan,
harmoni, primus inter pares telah mendorong
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
formal. Demikian budaya yang menekankan
kepada efisiensi dan efektifitas sama kuatnya
mendorong penye-lesaian sengketa bisnis tanpa
melalui pengadilan.19
Keberadaan BPSK diharapkan menjadi al-
ternatif bagi kejenuhan dan keperihatinan ma-
syarakat terhadap sistem peradilan di Indone-
sia. Namun, ternyata UUPK tidak secara tuntas
memberikan peran kepada BPSK sebagai suatu
lembaga alternatif penyelesaian sengketa kon-
sumen. Ada beberapa persoalan yang dihadapi
dalam praktik, yaitu menyangkut eksistensi dari
lembaga BPSK. Persoalan lainnya yang krusial
adalah menyangkut tugas dan kewenangan BP-
SK. Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa
putusan BPSK bersifat “final dan mengikat” ke-
hilangan makna dan menjadi tidak berarti bagi
konsumen yang mencari keadilan melalui BPSK,
ketika dihadapkan dengan ketentuan Pasal 56
ayat (2) dimana terbukanya peluang mengaju-
kan keberatan ke Pengadilan Negeri. Padahal
dalah sistem hukum acara di Indonesia, baik
18
Adi Sulistiyono, “Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian
Sengketa Win-Win Solution Dalam Perspektif Hukum”,
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 25 No. 1, tahun 2006, hlm.
72.
19
Erman Rajagukguk, “Budaya Hukum dan Penyelesaian
Sengketa Perdata di Luar Pengadilan”, Jurnal Magister
Hukum, PPs-UII, Yogyakarya, Volume. 2 No. 4, Oktober
2000. hlm. 7
168 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012
hukum acara pidana maupun hukum acara
perdata tidak mengenal istilah keberatan. Ter-
minologi keberatan hanya dikenal dalam hukum
administrasi negara yang disebut sebagai admi-
nistrative beroef system dan dalam hukum aca-
ra PTUN digunakan sebagai upaya hukum terha-
dap putusan pejabat Tata Usaha Negara.20
Da-
lam proses pengajuan keberatan terhadap pu-
tusan BPSK, muncul permasalahan mengenai
bagaimana pengadilan harus memperlakukan
keberatan atas putusan BPSK tersebut. Hal ini
tampak dari beberapa pengajuan keberatan
atas putusan BPSK yang didasarkan atas bebe-
rapa alasan, antara lain: BPSK salah menerap-
kan hukum acara sehingga hukum formal, kon-
sumen sebagai penggugat telah salah menggu-
gat (error in persona), BPSK dianggap salah
menjatuhkan putusan, keberatan ditafsirkan
sebagai gugatan oleh Pengadilan Negeri sehing-
ga membawa BPSK sebagai tergugat, atau ke-
beratan ditafsirkan sebagai upaya hukum ban-
ding.21
Terhadap permasalahan ini, Mahkamah
Agung RI mengeluarkan PERMA No.1 Tahun 2006
tentang Tata Cara Penggunaan Upaya Hukum
Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Mahkamah
Agung menetapkan bahwa keberatan merupa-
kan upaya hukum yang hanya dapat diajukan
terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan
BPSK, tidak meliputi putusan BPSK yang timbul
dari mediasi dan konsiliasi. Putusan mediasi
dan konsiliasi dapat disepadankan dengan ada-
nya suatu perdamaian (dading) di luar pengadil-
an atau di dalam pengadilan sehingga putusan-
nya bersifat final dan mengikat.22
Namun tetap
saja keluarnya PERMA ini belum dapat menye-
lesaikan perso-alan upaya ”keberatan” ini. Se-
lain itu, ketentuan Pasal 57 UUPK mengenai
permintaan eksekusi putusan BPSK kepada Pe-
ngadilan Negeri di tempat konsumen yang di-
rugikan membawa persoalan hukum yang sa-
20
Bernadette T. Wulandari, “Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Sebagai Alternatif Upaya Penegakan
Hak Konsumen di Indonesia”, Jurnal Gloria Juris, Fakul-
tas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta, Volume 6, Nomor
2. Mei-Agustus 2006, hlm. 147
21
Ibid.
22
Maslihat Nur Hidayati, “Analisis Tentang Alternatif Pe-
nyelesaian Sengketa Konsumen: Studi Tentang Efektifitas
Badan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen”,
Jurnal Hukum Lex Jurnalica, Universitas Indonusa Esa
Unggul, Volume 5 No.3 Tahun 2008, hlm. 175-176.
ngat luas, misalnya mengenai pengajuan per-
mohonan eksekusi serta tata cara mengajukan
upaya keberatan ke Pengadilan Negeri.
Berikut ini dikemukakan beberapa kele-
mahan dari UUPK berkaitan dengan keberada-
an BPSK, yaitu antara lain sebagai berikut.23
Pertama, peluang untuk mengajukan keberatan
terhadap putusan BPSK ke Pengadilan Negeri;
kedua, tidak jelas tugas dan kewenangan BPSK;
ketiga, tidak adanya pengaturan jika pelaku
usaha selaku tergugat di BPSK tidak memenuhi
panggilan meski telah dipanggil secara patut;
keempat, UUPK menugaskan BPSK untuk mela-
kukan pengawasan pencantuman klausula baku;
kelima, tidak adanya perlindungan bagi anggo-
ta BPSK; dan keenam, belum adanya keseraga-
man honor BPSK se-Indonesia yang diatur dalam
APBN, sementara biaya operasional dibebankan
pada APBD Kabupaten/Kota.
Susanti Adi Nugroho (Hakim Agung Repu-
blik Indonesia) berpen-dapat bahwa ada bebe-
rapa kendala/kelemahan sehingga BPSK selama
ini tidak dapat berjalan dengan optimal. Ken-
dala-kendala atau kelemahan tersebut antara
lain, pertama, kendala kelembagaan; kedua,
kendala pendanaan; ketiga, kendala sumber
daya manusia BPSK; keempat, kendala per-
aturan; kelima, kendala pembinaan dan peng-
awasan, dan minimnya koordinasi antar aparat
penanggung jawab; kelima, kurangnya sosiali-
sasi dan rendahnya kesadaran hukum konsu-
men; keenam, kurangnya respon dan pemaha-
man dari badan peradilan terhadap kebijakan
perlindungan konsumen; dan ketujuh, kurang-
nya respon masyarakat terhadap UU Perlindu-
ngan Konsumen dan lembaga BPSK.24
Mas Achmad Sentosa menilai problem
atau masalah besar yang dihadapi oleh BPSK
adalah peran-nya yang terlalu berat sehingga
sulit menjalankan perannya tersebut secara
efektif. UUPK menjelaskan terdapat 5 (lima)
peran yang dibebankan pada BPSK, yaitu: per-
tama, peran sebagai penyedia jasa penyelesai-
an sengketa sebagai mediator, konsiliator, arbi-
23
Suherdi Sukandi, 6 November 2008, UUPK, Strategis Bagi
Pergerakan Perlindungan Konsumen, BPSK Kota Bandung,
tersedia di website www.google.com, diakses tanggal. 19
Desember 2009.
24
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 234-235.
Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 169
ter; kedua, peran konsultan masyarakat atau
public defender; ketiga, peran administrative
regulator sebagai pengawas dan pemberi san-
ksi; keempat, peran ombudsman serta; dan ke-
lima, peran ajudicator atau pemutus.25
Kelima
peran yang dibebankan pada BPSK ini tidak di-
imbangi dengan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang mampu untuk mengemban tugas yang di-
berikan. Selain itu peran-peran tersebut juga
berpotensi menimbulkan pertentangan kepenti-
ngan. Misalnya, peran mediator yang membu-
tuhkan peran netral, dengan regulator, atau
peran mediator dengan ajudicator.
Penulis sependapat, sebaiknya ke depan
BPSK diberikan tugas khusus untuk menyelesai-
kan sengketa konsumen dengan pelaku usaha,
sedangkan tugas lain seperti pengawasan terha-
dap klausula baku menjadi tugas dari Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Ber-
kaitan dengan amandemen UUPK, terdapat be-
berapa hal penting yang diusulkan penulis.
Pertama, pembatasan atau pengurangan
tugas BPSK. Tugas BPSK sebagaimana diatur da-
lam Pasal 52 UUPK jo. SK. Menperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 adalah: (a) Melaksana-
kan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan
arbitrase; (b) Memberikan konsultasi perlindu-
ngan konsumen; (c) Melakukan pengawasan ter-
hadap pencantuman klausula baku; (d) Mela-
porkan kepada penyidik umum jika terjadi pe-
langgaran Undang-Undang Perlindungan Konsu-
men (UUPK); (e) Menerima pengaduan tertulis
maupun tidak dari konsumen tentang terjadi-
nya pelanggaran terhadap perlindungan konsu-
men; (f) Melakukan penelitian dan pemeriksaan
sengketa perlindungan konsumen; (g) Memang-
gil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
(h) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi
ahli dan/atau setiap orang yang diduga menge-
tahui pelanggaran Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK); (i) Meminta bantuan kepada
penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli,
atau se-tiap orang pada butir g dan butir h yang
25
Mas Achmad Sentosa, 20 Juli 2005, Peranan BPSK Terlalu
Berat, tersedia di website www.hukumonline.com,
diakses tanggal 5 Oktober 2009.
tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Pe-
nyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); (j) Men-
dapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, do-
kumen, atau bukti lain guna penyelidikan dan/
atau pemeriksaan; (k) Memutuskan dan mene-
tapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsu-
men; (l) Memberitahukan putusan kepada pela-
ku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen; (m) Menjatuhkan san-
ksi administratif kepada pelaku usaha yang me-
langgar ketentuan Undang-Undang Perlindung-
an Konsumen (UUPK).
Tugas ini terlalu berat dan kompleks oleh
BPSK, sehingga BPSK ke depan hendaknya di-
batasi tugasnya hanya menyelesaikan sengketa
konsumen tanpa dibebani tugas lainnya. Hal ini
dimaksudkan agar BPSK benar-benar fokus da-
lam melaksanakan tugasnya dengan baik dan
juga sesuai dengan namanya yaitu Badan Pe-
nyelesaian Sengketa Konsumen artinya tugas
utamanya adalah menyelesaikan sengketa yang
terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha.
Sedangkan tugas-tugas lain sebaiknya dibeban-
kan pada Badan Perlindungan Konsumen Nasio-
nal (BPKN). BPSK yang diposisikan menjalankan
multi peran yang sangat kompleks dalam pe-
negakan hukum perlindungan konsumen (Pasal
52 UUPK) akan sangat sulit menjalankan peran-
nya dengan efektif dikarenakan faktor-faktor
berikut:26
(a) Peran yang dimiliki terlalu berat
yang mencakup peran dispute settlement ser-
vice pro-vider (mediator, konsiliator dan arbi-
trator), konsultan masyarakat/public defender,
admi-nistratif regulator (pengawas dan pembe-
ri sanksi), ombudsman, dan adjudicator. Andai
katapun BPSK dilaksanakan dengan cara mem-
bentuk multidoors (dengan membagi bidang-
bidang berdasarkan peran-peran tersebut), ma-
ka akan sulit dilaksanakan karena peran-peran
tersebut membutuhkan SDM yang highly skills,
dimana saat ini sangat sulit dikembangkan di
tingkat kota/kabupaten; (b) Diantara peran-pe-
ran tersebut apabila dilaksanakan sangat ber-
potensi terjadi pertentangan kepentingan (con-
flict of interest), sebagai contoh antara peran
mediator (yang membutuhkan peran netral)
26
Kurniawan dan Abdul Wahab , op.cit.
170 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012
dan regulator (penegak hukum), mediator (pe-
nengah) dan adjudicator (pemutus), serta pub-
lic defender (advocate masyarakat) dengan ad-
judicator (mensyaratkan peran netral dan im-
parsial).
Kedua, dukungan dana yang optimal pada
BPSK. Salah satu faktor yang menyebabkan BP-
SK tidak berjalan optimal adalah karena ku-
rangnya dukungan dana dari pemerintah pusat
maupun daerah. Pasal 3 Keppres No. 90 tahun
2001 tentang Pembentukan BPSK pada Pemerin-
tah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta
Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya,
Kota Malang dan Kota Makassar mengemukakan
”biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan ke-
pada Anggaran Pendapatan Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)”.
Pembagian alokasi anggaran dana ini adalah
untuk honor anggota/sekretariat BPSK dibeban-
kan pada APBN, sementara biaya operasional
dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota ma-
sing-masing. Hanya saja mengenai besarannya
alokasi anggaran ini tidak diatur dengan jelas
dan rinci.
Persoalan yang juga muncul adalah me-
nyangkut kesiapan dan alokasi dana APBD dari
masing-masing daerah yang tidak maksimal ter-
hadap BPSK, partisipasi daerah selama ini da-
lam pemberian alokasi dana untuk efektivitas
BPSK masih minim, hal ini sangat mempenga-
ruhi kinerja dari BPSK selama ini di daerah. Ke
depan, persoalan alokasi pendanaan untuk BP-
SK harus diatur dengan jelas dan rinci artinya
pendanaan dari APBN presentasenya jelas, de-
mikian juga pendanaan dari APBD harus diting-
katkan. Jangan sampai masalah honor saja ti-
dak ada kesamaan atau terjadi perbedaan an-
tara BPSK di daerah yang satu dengan daerah
yang lain, karena hal ini akan menyebabkan ke-
cemburuan antar kelembagaan BPSK di daerah
yang satu dengan daerah yang lain sendiri.
Lahirnya UUPK diharapkan mampu mem-
berikan solusi bagi konsumen dalam menyele-
saikan persoalan-persoalan yang terjadi, ter-
nyata selama ini dalam penegakan hukum per-
lindungan konsumen masih terjadi ketimpangan
dan menimbulkan kebingungan bagi konsumen,
hal ini terjadi manakala masuknya peran lem-
baga pengadilan dalam memeriksa perkara ”ke-
beratan” atas putusan BPSK yang sudah bersifat
final dan mengikat, kemudian pelaksanaan ek-
sekusi yang harus melalui pengadilan, dan upa-
ya hukum kasasi atas putusan Pengadilan Nege-
ri yang memeriksa perkara keberatan atas pu-
tusan BPSK. Ke depan, agar BPSK bekerja de-
ngan optimal dan konsumen maupun pelaku
usaha mendapatkan kepastian hukum dalam
penyelesaian sengketa, maka harus dipisahkan
antara penyelesaian sengketa melalui litigasi
(pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui
BPSK. Apabila konsumen sudah memilih jalur
BPSK untuk menyelesaian sengketanya, maka
kewenangan penuh harus diberikan kepada
BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen
tersebut dengan putusan BPSK yang final dan
mengikat serta dapat di eksekusi langsung, tan-
pa kemudian diberikan kesempatan pada badan
peradilan (Pengadilan Negeri) untuk masuk di
tengah jalan menyelesaikan sengketa konsu-
men yang sudah berjalan. Hal ini dimaksudkan
agar konsumen maupun pelaku usaha menda-
patkan kepastian hukum dalam penyelesaian
sengketa konsumen dan tidak memakan waktu
yang lama sehingga ada perbedaan antara pe-
nyelesaian sengketa melalui pengadilan dengan
penyelesaian melalui BPSK.
Ketiga, Penyempurnaan Kelembagaan BP-
SK. UUPK menjelaskan bahwa terdapat 4 (em-
pat) komponen pengawal dan penegak hukum
perlindungan konsumen di Indonesia yaitu pe-
merintah (Direktorat Perlindungan Konsu-men),
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN),
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BP-
SK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swa-
daya Masyarakat (LPKSM). Tanggungjawab pe-
negakan hukum perlindungan konsumen yang
berada pada berbagai lembaga ini menye-
babkan terjadi tumpang tindih tugas dan kewe-
nangan antara lembaga yang satu dengan lem-
baga yang lain dan kurang terjalin koordinasi
antar lembaga ini, misalnya pemerintah (Direk-
torat Perlindungan Konsumen) oleh UUPK dibe-
rikan kewenangan untuk menyelesaikan sengke-
ta konsumen, padahal tugas ini merupakan ke-
wenangan dari BPSK. Ke depan diperlukan keje-
Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 171
lasan tugas dan kewenangan serta koordinasi
langkah penegakan hukum antar lembaga-lem-
baga pengawal dan penegak hukum perlindung-
an konsumen tersebut. Sehingga penerapan UU-
PK maupun peraturan perundang-undangan
lainnya di bidang perlindungan konsumen dapat
dilaksanakan secara efektif.
Selain persoalan-persoalan di atas, revisi
UUPK harus memperhatikan perihal sosialisasi
keberadaan BPSK. Saat ini, keberadaan UUPK
khususnya BPSK yang sudah 10 (sepuluh) tahun
ternyata belum banyak diketahui oleh masya-
rakat umum. Untuk mengatasi persoalan ini,
maka ke depan perlu dilakukan upaya-upaya
yang sistematis dalam sosialisasi keberadaan
BPSK sebagai lembaga yang menyelesaikan per-
soalan konsumen di luar pengadilan. Adapun
upaya-upaya yang harus dilakukan adalah mem-
perbanyak kampanye perlindungan konsumen
khususnya keberadaan BPSK dan memberikan
pendidikan kepada konsumen sejak usia dini.
Penutup
Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, ada be-
berapa simpulan yang berkaitan dengan per-
masalahan yang dihadapi dalam praktik me-
nyangkut eksistensi dari lembaga BPSK. Perta-
ma, berkaitan dengan eksistensi BPSK sebagai
lembaga yang masuk dalam domain pemerintah
pusat ataukah pemerintah daerah. Jawaban
terhadap hal ini dalam prakteknya tidak sama.
Oleh karena itu, ada BPSK yang mendapat du-
kungan penuh dari pemerintah daerah dan ada
BPSK yang kurang mendapat dukungan Pemerin-
tah Daerah. Kedua, persoalan yang krusial ada-
lah menyangkut tugas dan kewenangan BPSK.
Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa putus-
an BPSK bersifat “final dan mengikat”. Putusan
ini menjadi kehilangan makna dan menjadi ti-
dak berarti bagi konsumen yang mencari keadil-
an melalui BPSK, ketika dihadapkan dengan
ketentuan Pasal 56 ayat (2) dimana terbukanya
peluang mengajukan keberatan ke Pengadilan
Negeri, dan ketentuan Pasal 57 UUPK mengenai
permintaan eksekusi putusan BPSK kepada Pe-
ngadilan Negeri di tempat konsumen yang diru-
gikan. Adapun kendala-kendala yang dihadapi
BPSK adalah kendala kelembagaan, keuangan,
SDM, peraturan, pembinaan dan pengawasan
dan kurangnya sosialisasi serta rendahnya
kesadaran hukum konsumen.
Berkaitan dengan kendala dalam pelaksa-
naan putusan arbitrase BPSK, dapat disimpul-
kan bahwa terdapat kendala dalam pelaksana-
an permohonan eksekusi yang disebabkan tidak
adanya pencantuman irah-irah pada putusan
arbitase BPSK tersebut. Hal ini berbeda dengan
putusan arbitrase menurut Pasal 54 Ayat (1)
butir a UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
yang menyatakan suatu putusan arbitrase harus
memuat kepala putusan atau irah-irah yang
berupa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Saran
Berdasarkan pembahasan atas beberapa
persoalan yang ada dalam UUPK, maka penulis
menyarankan agar segera dilakukan revisi UUPK
agar ke depan lebih memberikan kepastian hu-
kum pada konsumen maupun pelaku usaha. Sa-
lah satu revisi adalah dengan mencantumkan
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan-
an Yang Maha Esa”. Pemerintah hendaknya
memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) pada
sekretariat BPSK mengingat tugas-tugas dari
BPSK yang begitu luas. Di samping itu pemerin-
tah juga hendaknya memberikan anggaran yang
cukup pada BPSK karena salah satu kendala
pelaksanaan tugas BPSK adalah karena faktor
anggaran.
Daftar Pustaka
Barkatullah, Abdul Halim. “Urgensi Perlindung-
an Konsumen Dalam Transaksi di E-Com-
merce”. Jurnal Hukum, No. 2 Vol. 14
April 2007. FH UII Yogyakarta:
Gunawan, Johannes. “Pemberlakuan Undang-
undang Perlindungan Konsumen Terhadap
PT. PLN Sebagai Lembaga Pelayanan
Umum”. Pro Justitia, Jurnal Hukum
Triwulan Tahun 19, Nomor 4, Oktober
2001. Universitas Katolik Parahyangan;
Hartono, Sri Redjeki. “Perlindungan Konsumen
di Indonesia (Tinjauan Makro)”. Jurnal
172 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 1 Januari 2012
Mimbar Hukum, Edisi Khusus No. 39/X/
2001. FH UGM;
Hidayati, Maslihat Nur. “Analisis Tentang Al-
ternatif Penyelesaian Sengketa Konsu-
men: Studi Tentang Efektifitas Badan
Penyelesaian Sengketa Perlindungan Kon-
sumen”. Jurnal Hukum Lex Jurnalica, Vol
5 No.3 Tahun 2008. Universitas Indonusa
Esa Unggul;
Jailani, Muhammad. “Faktor-faktor Yang Mem-
pengaruhi dan Menghambat pelaksanaan
Putusan Hakim (eksekusi) dalam Perkara
Perdata”. Majalah Ilmiah Ilmu Hukum
Jatiswara, Vol. 20, No. 3, Juli 2005. Fa-
kultas Hukum Universitas Mataram;
Kurniawan dan Abdul Wahab. “Tinjauan Yuridis
Terhadap Prosedur Penyelesaian Sengke-
ta Konsumen Melalui BPSK di Indonesia”.
Jurnal Hukum Jatiswara, Vol. 23, No. 2,
Juli 2008 Fakultas Hukum Universitas
Mataram;
Nasution, Az. “Aspek Hukum Perlindungan Kon-
sumen”. Jurnal Teropong, Edisi Mei 2003,
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
Nugroho, Susanti Adi. 2008. Proses Penyelesai-
an Sengketa Konsumen Di Tinjau dari Hu-
kum Acara serta Kendala Implementasi-
nya, Jakarta: Kencana;
Parman, L. “Perlindungan Konsumen Dengan
Sarana Hukum Pidana”. Majalah Ilmiah
Ilmu Hukum Jatiswara Vol. 20 No. 2 April
2005 FH Universitas Mataram,
Purwadi, Ari. “Telaah Singkat tentang Undang
Undang Perlindungan Konsumen”. Jurnal
Hukum & Keadilan, Vol. 3. No. 3. 2000.
FH UII Yogyakarta;
Rajagukguk, Erman. “Budaya Hukum dan Pe-
nyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pe-
ngadilan”. Jurnal Magister Hukum, Vol. 2
No. 4, Oktober 2000. PPs-UII, Yogyakarya;
Ramli, Ahmad. “Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Dalam Transaksi E-Commer-
ce”. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 18
Nomor 3 Tahun 2002;
Sentosa, Mas Achmad. 20 Juli 2005, Peranan
BPSK Terlalu Berat, tersedia di website
www.hukumonline.com, diakses tanggal 5
Oktober 2009.
Sukandi, Suherdi. 6 November 2008, UUPK,
Strategis Bagi Pergerakan Perlindungan
Konsumen, BPSK Kota Bandung, tersedia
di website www.google.com, diakses
tanggal. 19 Desember 2009.
Sulistiyono, Adi. “Budaya Musyawarah Untuk
Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution
Dalam Perspektif Hukum”. Jurnal Hukum
Bisnis, Vol. 25 No. 1, tahun 2006;
Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitra-
se dalam Sengketa Komersial untuk Pene-
gakan Keadilan. Jakarta: PT. Tatanusa;
Wulandari, Bernadette T. “Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Alter-
natif Upaya Penegakan Hak Konsumen di
Indonesia”. Jurnal Gloria Juris, Vol. 6,
Nomor 2. Mei-Agustus 2006. FH Unika
Atma Jaya, Jakarta.

More Related Content

Similar to Sengketa BPSK

Tugas 7. hbl, hayyu safitri, hapzi ali, perlindungan konsumen & tanggung jaw...
Tugas 7. hbl, hayyu safitri, hapzi ali, perlindungan konsumen &  tanggung jaw...Tugas 7. hbl, hayyu safitri, hapzi ali, perlindungan konsumen &  tanggung jaw...
Tugas 7. hbl, hayyu safitri, hapzi ali, perlindungan konsumen & tanggung jaw...Hayyu Safitri
 
Kelompok 3 Hukum Etika Bisnis_20 AK 2-Perlindungan Konsumen.pdf
Kelompok 3 Hukum Etika Bisnis_20 AK 2-Perlindungan Konsumen.pdfKelompok 3 Hukum Etika Bisnis_20 AK 2-Perlindungan Konsumen.pdf
Kelompok 3 Hukum Etika Bisnis_20 AK 2-Perlindungan Konsumen.pdfdikandut30
 
9,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,perlindungan konsumen & tanggung jawab huku...
9,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,perlindungan konsumen & tanggung jawab huku...9,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,perlindungan konsumen & tanggung jawab huku...
9,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,perlindungan konsumen & tanggung jawab huku...An Nisa Rizki Yulianti
 
Ethics of consumer protection
Ethics of consumer protectionEthics of consumer protection
Ethics of consumer protectionpetraaja
 
HBL, ZAHRA KAMILA, ARTIKEL HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN, MERCU BUANA, 2018
HBL, ZAHRA KAMILA, ARTIKEL HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN, MERCU BUANA, 2018HBL, ZAHRA KAMILA, ARTIKEL HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN, MERCU BUANA, 2018
HBL, ZAHRA KAMILA, ARTIKEL HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN, MERCU BUANA, 2018ZahraKamila4
 
3, BE&GG, Wahyu Nor Maryono, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Univer...
3, BE&GG, Wahyu Nor Maryono, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Univer...3, BE&GG, Wahyu Nor Maryono, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Univer...
3, BE&GG, Wahyu Nor Maryono, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Univer...WahyuNorM
 
HBL9. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 9 hbl, perlindungan konsumen ...
HBL9. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 9 hbl, perlindungan konsumen ...HBL9. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 9 hbl, perlindungan konsumen ...
HBL9. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 9 hbl, perlindungan konsumen ...Muhammad Ramadhan
 
Hbl8, agung pangestu, hapzi ali modul 9 hbl, perlindungan konsumen tanggungj...
Hbl8, agung pangestu, hapzi ali modul 9 hbl, perlindungan konsumen  tanggungj...Hbl8, agung pangestu, hapzi ali modul 9 hbl, perlindungan konsumen  tanggungj...
Hbl8, agung pangestu, hapzi ali modul 9 hbl, perlindungan konsumen tanggungj...AgungAgungPangestu
 
Hbl 9, bella tri oktaviana, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawa...
Hbl 9, bella tri oktaviana, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawa...Hbl 9, bella tri oktaviana, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawa...
Hbl 9, bella tri oktaviana, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawa...BellaTriOktaviana2
 
3, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas M...
3, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas M...3, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas M...
3, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas M...SukrasnoSukrasno
 
9 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tangg...
9 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tangg...9 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tangg...
9 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tangg...Teuku Alvin Putra Rezalino
 
3 be gg-salomo roy freddy-hapzi ali-ethic of consumer protection-universitas...
3 be  gg-salomo roy freddy-hapzi ali-ethic of consumer protection-universitas...3 be  gg-salomo roy freddy-hapzi ali-ethic of consumer protection-universitas...
3 be gg-salomo roy freddy-hapzi ali-ethic of consumer protection-universitas...salomoroyfreddy
 
Hbl, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawab huku...
Hbl, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawab huku...Hbl, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawab huku...
Hbl, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawab huku...Dyana Anggraini
 
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, perlindugan konsumen dan tanggungjawab...
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, perlindugan konsumen dan tanggungjawab...Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, perlindugan konsumen dan tanggungjawab...
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, perlindugan konsumen dan tanggungjawab...megiirianti083
 
Hbl minggu 9, hefti juliza, hapzi ali, perlindungan konsumen, universitas mer...
Hbl minggu 9, hefti juliza, hapzi ali, perlindungan konsumen, universitas mer...Hbl minggu 9, hefti juliza, hapzi ali, perlindungan konsumen, universitas mer...
Hbl minggu 9, hefti juliza, hapzi ali, perlindungan konsumen, universitas mer...Hefti Juliza
 
061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai a...
061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai a...061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai a...
061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai a...Alen Pepa
 
HBL, 9, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Perlindungan Konsumen dan Tanggung ...
HBL, 9, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Perlindungan Konsumen dan Tanggung ...HBL, 9, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Perlindungan Konsumen dan Tanggung ...
HBL, 9, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Perlindungan Konsumen dan Tanggung ...intandwik_
 
Hbl 9, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggung jawab h...
Hbl 9, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggung jawab h...Hbl 9, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggung jawab h...
Hbl 9, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggung jawab h...Dyana Anggraini
 

Similar to Sengketa BPSK (20)

Tugas 7. hbl, hayyu safitri, hapzi ali, perlindungan konsumen & tanggung jaw...
Tugas 7. hbl, hayyu safitri, hapzi ali, perlindungan konsumen &  tanggung jaw...Tugas 7. hbl, hayyu safitri, hapzi ali, perlindungan konsumen &  tanggung jaw...
Tugas 7. hbl, hayyu safitri, hapzi ali, perlindungan konsumen & tanggung jaw...
 
Kelompok 3 Hukum Etika Bisnis_20 AK 2-Perlindungan Konsumen.pdf
Kelompok 3 Hukum Etika Bisnis_20 AK 2-Perlindungan Konsumen.pdfKelompok 3 Hukum Etika Bisnis_20 AK 2-Perlindungan Konsumen.pdf
Kelompok 3 Hukum Etika Bisnis_20 AK 2-Perlindungan Konsumen.pdf
 
9,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,perlindungan konsumen & tanggung jawab huku...
9,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,perlindungan konsumen & tanggung jawab huku...9,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,perlindungan konsumen & tanggung jawab huku...
9,hbl,an nisa rizki,hapzi ali,perlindungan konsumen & tanggung jawab huku...
 
Ethics of consumer protection
Ethics of consumer protectionEthics of consumer protection
Ethics of consumer protection
 
HBL, ZAHRA KAMILA, ARTIKEL HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN, MERCU BUANA, 2018
HBL, ZAHRA KAMILA, ARTIKEL HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN, MERCU BUANA, 2018HBL, ZAHRA KAMILA, ARTIKEL HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN, MERCU BUANA, 2018
HBL, ZAHRA KAMILA, ARTIKEL HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN, MERCU BUANA, 2018
 
3, BE&GG, Wahyu Nor Maryono, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Univer...
3, BE&GG, Wahyu Nor Maryono, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Univer...3, BE&GG, Wahyu Nor Maryono, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Univer...
3, BE&GG, Wahyu Nor Maryono, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Univer...
 
HBL9. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 9 hbl, perlindungan konsumen ...
HBL9. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 9 hbl, perlindungan konsumen ...HBL9. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 9 hbl, perlindungan konsumen ...
HBL9. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 9 hbl, perlindungan konsumen ...
 
Hbl8, agung pangestu, hapzi ali modul 9 hbl, perlindungan konsumen tanggungj...
Hbl8, agung pangestu, hapzi ali modul 9 hbl, perlindungan konsumen  tanggungj...Hbl8, agung pangestu, hapzi ali modul 9 hbl, perlindungan konsumen  tanggungj...
Hbl8, agung pangestu, hapzi ali modul 9 hbl, perlindungan konsumen tanggungj...
 
hukum
hukumhukum
hukum
 
Hbl 9, bella tri oktaviana, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawa...
Hbl 9, bella tri oktaviana, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawa...Hbl 9, bella tri oktaviana, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawa...
Hbl 9, bella tri oktaviana, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawa...
 
3, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas M...
3, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas M...3, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas M...
3, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas M...
 
9 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tangg...
9 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tangg...9 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tangg...
9 Hbl, teuku alvin putra rezalino, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tangg...
 
3 be gg-salomo roy freddy-hapzi ali-ethic of consumer protection-universitas...
3 be  gg-salomo roy freddy-hapzi ali-ethic of consumer protection-universitas...3 be  gg-salomo roy freddy-hapzi ali-ethic of consumer protection-universitas...
3 be gg-salomo roy freddy-hapzi ali-ethic of consumer protection-universitas...
 
Hbl, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawab huku...
Hbl, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawab huku...Hbl, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawab huku...
Hbl, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggungjawab huku...
 
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, perlindugan konsumen dan tanggungjawab...
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, perlindugan konsumen dan tanggungjawab...Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, perlindugan konsumen dan tanggungjawab...
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, perlindugan konsumen dan tanggungjawab...
 
Hbl minggu 9, hefti juliza, hapzi ali, perlindungan konsumen, universitas mer...
Hbl minggu 9, hefti juliza, hapzi ali, perlindungan konsumen, universitas mer...Hbl minggu 9, hefti juliza, hapzi ali, perlindungan konsumen, universitas mer...
Hbl minggu 9, hefti juliza, hapzi ali, perlindungan konsumen, universitas mer...
 
061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai a...
061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai a...061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai a...
061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai a...
 
HBL, 9, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Perlindungan Konsumen dan Tanggung ...
HBL, 9, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Perlindungan Konsumen dan Tanggung ...HBL, 9, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Perlindungan Konsumen dan Tanggung ...
HBL, 9, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Perlindungan Konsumen dan Tanggung ...
 
Bab 9
Bab 9Bab 9
Bab 9
 
Hbl 9, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggung jawab h...
Hbl 9, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggung jawab h...Hbl 9, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggung jawab h...
Hbl 9, dyana anggraini, hapzi ali, perlindungan konsumen dan tanggung jawab h...
 

More from RizaJr

08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023_2.pdf
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023_2.pdf08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023_2.pdf
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023_2.pdfRizaJr
 
Dasar-Pemrograman-Modul-1-Pengenalan-Pemrograman.pdf
Dasar-Pemrograman-Modul-1-Pengenalan-Pemrograman.pdfDasar-Pemrograman-Modul-1-Pengenalan-Pemrograman.pdf
Dasar-Pemrograman-Modul-1-Pengenalan-Pemrograman.pdfRizaJr
 
D-tutorial.pdf
D-tutorial.pdfD-tutorial.pdf
D-tutorial.pdfRizaJr
 
Parameter Kinerja Telekomunikasi.pdf
Parameter Kinerja Telekomunikasi.pdfParameter Kinerja Telekomunikasi.pdf
Parameter Kinerja Telekomunikasi.pdfRizaJr
 
allochrt.pdf
allochrt.pdfallochrt.pdf
allochrt.pdfRizaJr
 
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023.pdf
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023.pdf08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023.pdf
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023.pdfRizaJr
 
bab 2.pdf
bab 2.pdfbab 2.pdf
bab 2.pdfRizaJr
 
pembuatan-gui-dengan-matlab.pdf
pembuatan-gui-dengan-matlab.pdfpembuatan-gui-dengan-matlab.pdf
pembuatan-gui-dengan-matlab.pdfRizaJr
 
TEKNIK-MODULASI-QAM.pdf
TEKNIK-MODULASI-QAM.pdfTEKNIK-MODULASI-QAM.pdf
TEKNIK-MODULASI-QAM.pdfRizaJr
 

More from RizaJr (9)

08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023_2.pdf
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023_2.pdf08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023_2.pdf
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023_2.pdf
 
Dasar-Pemrograman-Modul-1-Pengenalan-Pemrograman.pdf
Dasar-Pemrograman-Modul-1-Pengenalan-Pemrograman.pdfDasar-Pemrograman-Modul-1-Pengenalan-Pemrograman.pdf
Dasar-Pemrograman-Modul-1-Pengenalan-Pemrograman.pdf
 
D-tutorial.pdf
D-tutorial.pdfD-tutorial.pdf
D-tutorial.pdf
 
Parameter Kinerja Telekomunikasi.pdf
Parameter Kinerja Telekomunikasi.pdfParameter Kinerja Telekomunikasi.pdf
Parameter Kinerja Telekomunikasi.pdf
 
allochrt.pdf
allochrt.pdfallochrt.pdf
allochrt.pdf
 
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023.pdf
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023.pdf08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023.pdf
08a Single Shunt Open-Circuited Stub 2023.pdf
 
bab 2.pdf
bab 2.pdfbab 2.pdf
bab 2.pdf
 
pembuatan-gui-dengan-matlab.pdf
pembuatan-gui-dengan-matlab.pdfpembuatan-gui-dengan-matlab.pdf
pembuatan-gui-dengan-matlab.pdf
 
TEKNIK-MODULASI-QAM.pdf
TEKNIK-MODULASI-QAM.pdfTEKNIK-MODULASI-QAM.pdf
TEKNIK-MODULASI-QAM.pdf
 

Recently uploaded

2021 - 10 - 03 PAPARAN PENDAHULUAN LEGGER JALAN.pptx
2021 - 10 - 03 PAPARAN PENDAHULUAN LEGGER JALAN.pptx2021 - 10 - 03 PAPARAN PENDAHULUAN LEGGER JALAN.pptx
2021 - 10 - 03 PAPARAN PENDAHULUAN LEGGER JALAN.pptxAnnisaNurHasanah27
 
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaRenaYunita2
 
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptxMuhararAhmad
 
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.pptSonyGobang1
 
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open StudioSlide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studiossuser52d6bf
 
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxPembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxmuhammadrizky331164
 

Recently uploaded (6)

2021 - 10 - 03 PAPARAN PENDAHULUAN LEGGER JALAN.pptx
2021 - 10 - 03 PAPARAN PENDAHULUAN LEGGER JALAN.pptx2021 - 10 - 03 PAPARAN PENDAHULUAN LEGGER JALAN.pptx
2021 - 10 - 03 PAPARAN PENDAHULUAN LEGGER JALAN.pptx
 
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
 
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
 
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
 
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open StudioSlide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
 
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxPembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
 

Sengketa BPSK

  • 1. 160 PERMASALAHAN DAN KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) Kurniawan Fakultas Hukum Universitas Mataram E-mail: kurniawan3377@yahoo.co.id. Abstract Consumer dispute can be resolved through on courts or outside the court based on voluntary choice of the parties. Settlement of dispute through the court provisions on the article 45. Dispute of the settlement can be solved out the court by using Consumer Dispute Settlement Body (BPSK).The purpose of establshing BPSK is to protec consumer and producer by designing consumer protection system that contain legal certainty and transparency the information. The existence of BPSK expected equality of justice especially to consumer that aggrieved by consumer. It because the dispute between consumer and producer generally involved in small value so that the consumer hesitate to registered his case to judicial process. There is no adequate between the court fee and indemnification perceived. The problems that the decision of BPSK has characteristic final and binding however it can be carried out to the district court and the decision cannot be executed directly or realized. Keywords: consumers right, consumer’s protection, dispute resolution. Abstrak Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui Pengadilan ataupun luar Pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 UUPK. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan dengan memanfaatkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Tujuan pembentukan BPSK adalah untuk melindungi konsumen maupun pelaku usaha dengan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi. Keberadaan BPSK diharapkan akan menjadi bagian dari pemerataan keadilan, karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha biasanya nominalnya kecil sehingga konsumen enggan untuk mengajukan sengketanya di Pengadilan. Hal yang menjadi persoalan adalah putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat, hanya saja putusan tersebut dapat dilakukan upaya keberatan ke pengadilan negeri dan putusan tersebut tidak dapat langsung eksekusi atau dilaksanakan. Kata kunci : hak konsumen, perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa Pendahuluan Pesatnya perkembangan ekonomi nasio- nal telah menghasilkan diversifikasi produk ba- rang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan, tek- nologi komunikasi dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi ba- rang dan/jasa hingga melintasi batas-batas wi- layah suatu negara. Kondisi yang demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhan akan barang dan/ atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memi- lih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya. Di sisi lain, kon- disi dan fenomena tersebut dapat mengakibat- kan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen cende-rung dijadikan obyek aktivitas bisnis dari pelaku usaha untuk meraup keuntungan sebe- sar-besarnya melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar
  • 2. Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 161 yang merugikan konsumen.1 Kerugian konsumen secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: pertama, kerugian yang diakibatkan oleh perilaku penjual yang memang secara tidak bertanggung jawab merugikan konsumen; ke- dua, kerugian konsumen yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang dilakukan pihak ketiga sehingga konsumen disesatkan yang pada akhirnya dirugikan.2 Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih rendah. Hal ini di- sebabkan oleh rendahnya pendidikan konsu- men. Oleh karena itu kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum kuat bagi pemerintahan dan lembaga perlindungan konsumen swadaya ma- syarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Perhatian dunia internasional terhadap perlindungan konsumen sebagai korban mulai muncul dengan ditetapkannya Resolusi PBB No. 39/248 tanggal 16 April 1985 yang isinya me- nentukan bahwa perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan ke- amanannya, promosi dan perlindungan kepen- tingan sosial ekonomi konsumen, tersediannya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pi- lihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuh- an pribadi, pendidikan konsumen, tersedianya ganti rugi yang efektif dan kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau yang re- levan melindungi konsumen.3 Didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, maka lahirlah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebut UUPK) yang disah- kan oleh Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 1 Penjelasan umum atas Undang-Undang Republik Indo- nesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembagan Negara RI Tahun 1999 Nomor 42). 2 Ahmad Ramli, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 18 Nomor 3 Tahun 2002, hlm. 14. 3 L. Parman, “Perlindungan Konsumen Dengan Sarana Hukum Pidana”, Majalah Ilmiah Ilmu Hukum Jatiswara Terakreditasi DirjenDikti No. 34/Dikti/Kep/2003, Fakul- tas Hukum Universitas Mataram, Vol. 20 No. 2 April 2005, hlm. 168-169. dan berlaku efektif tanggal 20 April 2000. UUPK diharapkan melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. UUPK pada dasarnya melakukan pengaturan pada 2 (dua) subyek, yaitu pelaku usaha dan konsu- men. Dalam perlindungan konsumen, sendi uta- ma pengaturannya adalah pada kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha. Keberada- an pelaku usaha baru memiliki arti apabila juga terdapat keberadaan konsumen. Hal ini meru- pakan konsekuensi logis dari sendi-sendi peng- aturan di bidang usaha, yaitu hak berusaha yang sama bagi setiap orang dan kepentingan konsumen merupakan tujuan akhir. Namun, fe- nomena yang nampak adalah kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen tidak seimbang dimana konsumen berada pada posisi yang le- mah. Faktor Inilah yang kemudian menyebab- kan terjadi perselisihan atau sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.4 Penyelesaian sengketa dalam memperta- hankan hak-hak konsumen diatur pada Pasal 45 UUPK, yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau luar pengadilan berdasarkan pilihan suka- rela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh melalui BPKS yang tugas dan wewenangnya an- tara lain meliputi pelaksanaan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi, yang selain sebagai media penyelesaian sengketa ju- ga dapat menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan ter-tentu yang dikenakan bagi pelaku usaha.5 Permasalahannya adalah putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat masih dapat dilaku- kan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri dan putusan tersebut tidak dapat langsung diekse- kusi. Di samping itu masih terdapat beberapa kendala lain dalam BPSK. 4 Ari Purwadi, “Telaah Singkat tentang Undang Undang Perlindungan Konsumen”, Jurnal Hukum & Keadilan, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Vol. 3. No. 3. 2000, hlm. 117. 5 Abdul Halim Barkatullah, “Urgensi Perlindungan Konsu- men Dalam Transaksi di E-Commerce”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia No. 2 Vol. 14 April 2007, hlm. 260.
  • 3. 162 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012 Pembahasan Secara harafiah arti consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang meng- gunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk kon- sumen kelompok mana pengguna tersebut. Be- gitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia mem- beri arti kata consumer sebagai "pemakai atau konsumen".6 Dalam peraturan perundangan di Indonesia, istilah “konsumen“ sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada UUPK. Konsu- men adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2 UUPK). Pelaku usaha, masyarakat umum biasanya menyebutnya dengan sebutan produsen. Ter- kadang masyarakat mengartikan produsen seba- gai pengusaha, namun ada pula pendapat yang mengatakan bahwa produsen hanya penghasil barang saja dan merupakan salah satu unsur dari pengusaha. UUPK menggunakan istilah Pe- laku Usaha. Menurut Pasal 1 Angka 3, pengerti- an Pelaku Usaha adalah Setiap orang perorang- an atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum negara Repu-blik Indonesia, baik sendiri mapun bersama-sama melalui perjanjian penyeleng- garaan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Setiap orang pada suatu waktu tertentu dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelom- pok bersama orang lain, dalam keadaan apa pun, pasti menjadi konsumen untuk suatu pro- duk atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak memiliki kedudukan yang ”aman”. Oleh karena itu secara men-dasar kon- sumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga.7 6 Ibid 7 Sri Redjeki Hartono, “Perlindungan Konsumen di Indo- nesia (Tinjauan Makro)”, Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Edisi Khusus No. 39/X/ 2001, hlm. 147. Perlindungan konsumen menurut Pasal 1 angka 1 UUPK adalah segala upaya yang mem- berikan kepastian untuk memberikan perlindu- ngan kepada konsumen. Kepastian hukum yang dimaksud dalam pengertian ini meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen mem- peroleh atau menentukan pilihannya atas ba- rang/atau jasa kebutuhannya serta memper- tahankan atau membela hak-haknya apabila di rugikan oleh prilaku pelaku usaha penyedia ke- butuhan konsumen tersebut.8 Perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, No Conflict (pre-purchase), yaitu apabila tidak ter- dapat konflik atau tidak ada pertentangan, ma- ka dapat dilakukan dengan dua cara yaitu legis- lation, dimana perlindungan hukum dilakukan dengan cara merancang dan menetapkan pelba- gai peraturan perundang-undangan. Voluntary self-regulation, dimana perlindungan konsumen dilakukan melalui cara perancangan dan pene- tapan peraturan oleh pelaku usaha sendiri seca- ra sukarela (voluntary) di dalam perusahaan- nya (baik barang maupun jasa). Kedua, apabila terjadi Conflict (post-purchase). Apabila terja- di konflik atau pertentangan antara konsumen dengan pelaku usaha, maka dapat diselesaikan melalui litigation, yaitu perlindungan hukum kepada konsumen yang terakhir adalah meng- ajukan perkara yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha ke pengadilan atau ke BPSK.9 BPSK diadopsi dari model Small Claim Tribunal (SCT) yang telah berjalan efektif di negara-negara maju, namun BPSK ternyata ti- dak serupa dengan SCT. Sebagaimana diketa- hui SCT berasal dari negara-negara yang ber- tradisi atau menganut sistem hukum Com-mon Law atau Anglo Saxon memiliki cara berhukum yang sangat dinamis dimana yurisprudensi men- jadi hal utama dalam penegakan hukum. Se- dangkan Indonesia sistem hukumnya adalah 8 Az. Nasution, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen”, Jurnal Teropong, Edisi Mei 2003, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, hlm. 6-7. 9 Johannes Gunawan, “Pemberlakuan Undang-undang Per- lindungan Konsumen Terhadap PT. PLN Sebagai Lembaga Pelayanan Umum”, Pro Justitia, Jurnal Hukum Triwulan Universitas Katolik Parahyangan, Tahun 19, Nomor 4, Oktober 2001.
  • 4. Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 163 Civil Law atau Eropa Kontinental yang cara berhukumnya bersumber dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan).10 BPSK nam- paknya didesain dengan memadukan kedua sis- tem hukum tersebut, dimana model SCT di- adaptasikan dengan model pengadilan dan mo- del ADR (Alternative Dispute Reso-lution) khas Indonesia. BPSK adalah badan yang bertugas mena- ngani dan menyelesaikan sengketa antara pela- ku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya di- bentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus seng- keta konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana (Pasal 1 butir 11 UUPK). Dasar hu- kum pembentukan BPSK adalah Pasal 49 Ayat 1 UUPK dan Kepmenperindag Nomor 350/MPP/ Kep/12/2001 yang mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK. BPSK pertama kali diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Me- dan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makasar. Selanjutnya, dalam Keputus- an Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten beri- kutnya, yaitu di Kota Kupang, Kota Sama-rinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota Palangkaraya dan pada Kabupa- ten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Se- rang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabu- paten Jeneponto. Pada tanggal 12 Juli 2005, pemerintah dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 membentuk BPSK di Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tange-rang. Terakhir Pemerintah membentuk BPSK sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006. Ke- putusan Presiden ini membentuk BPSK di Kota Pekalongan, Parepare, Pekanbaru, Denpasar, 10 Di Indonesia dikenal Asas Nullun Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali atau asas Legalitas dimana asas ini mengandung arti tidak ada suatu perbuatan yang dapat dijatuhi pidana kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam Perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Batam, Kabupaten Aceh Utara, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Menurut ketentuan Pasal 90 Keppres No. 9 Tahun 2001, biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada Anggaran Penda- patan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seba- gai upaya untuk memudahkan konsumen men- jangkau BPSK, maka dalam keputusan presiden tersebut, tidak dicantumkan pembatasan wila- yah yurisdiksi BPSK, sehingga konsumen dapat mengadukan masalahnya pada BPSK mana saja yang dikehendakinya. Keanggotaan BPSK diatur dalam Pasal 49 UUPK. Menurut Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) UUPK, keanggotaan BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha. Anggota setiap unsur berjumlah sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, sehing- ga jumlah anggota BPSK minimal 9 (sembilan) orang dan maksimal 15 (lima belas) orang. Se- mentara pengangkatan dan pemberhentian ang- gota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustri- an dan Perdagangan (saat sekarang kementeri- an ini di pisah menjadi 2 (dua) yaitu Kementeri- an Perindustrian dan Kementerian Perdagang- an). Pasal 50 UUPK menjelaskan, setelah terpi- lih anggota BPSK, kemudian diisi struktur orga- nisasi yang terdiri dari seorang ketua merang- kap anggota, wakil ketua merangkap anggota dan anggota yang dalam pelaksanaan tugas di bantu oleh sekre-tariat yang terdiri dari kepala sekretariat dan anggota sekretariat. Pengang- katan dan pemberhentian sekretariat BPSK ditetapkan oleh menteri. UUPK memberikan persyaratan bahwa untuk dapat diangkat seba- gai anggota BPSK harus memenuhi syarat umum dan syarat khusus (Pasal 6 Kepmenperindag No. 301/MPP/Kep/10/2001) Tugas dan wewenang Badan Penyelesai- an Sengketa Konsumen (BPSK) diatur pada Pasal 52 UUPK jo. SK. Menperindag Nomor 350/MPP/ Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 ten- tang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu: (a) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, me- diasi, dan arbitrase; (b) Memberikan konsultasi
  • 5. 164 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012 perlindungan konsumen; (c) Melakukan penga- wasan terhadap pencantuman klausula baku; (d) Melaporkan kepada penyidik umum jika ter- jadi pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK); (e) Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; (f) Melakukan penelitian dan peme- riksaan sengketa perlindungan konsumen; (g) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah me- lakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; (h) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang di- duga mengetahui pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK); (i) Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsu- men (BPSK); (j) Mendapatkan, meneliti dan/ atau menilai surat, dokumen, atau bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; (k) Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya ke- rugian di pihak konsumen; (l) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; (m)Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK. Menunjuk pada Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UUPK jo. Pasal 2 SK Menper- indag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, fungsi utama BPSK yaitu: sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Se- dangkan tugas-tugas BPSK diatur pada Pasal 52 butir e, butir f, butir g, butir h, butir i, butir j, butir k, butir l dan butir m UUPK sebenarnya telah terserap dalam fungsi utama BPSK terse- but. Tugas BPSK memberikan konsultasi perlin- dungan konsumen (Pasal 52 butir b UUPK) da- pat dipandang sebagai upaya sosialisasi UUPK, baik terhadap konsumen maupun pelaku usaha. Dalam hal konsultasi diberikan, jika suatu Per- mohonan Sengketa Konsumen (PSK) sudah ter- daftar di Sekretariat BPSK, maka konsultasi yang diberikan BPSK tentu dalam rangka penye- lesaian sengketa konsumen, baik dengan cara konsiliasi, mediasi, maupun arbitrase (Pasal 6 Kepmenperindag No. 301/MPP/Kep/10/2001). Prosedur penyelesaian sengketa konsu- men melalui BPSK ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama, tahap permohonan yang meliputi per- syaratan pengaduan penyelesaian penyelesaian sengketa tanpa pengacara; kedua, tahap per- sidangan yang dapat dilaksanakan dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase; dan ketiga, tahap putusan yang harus diselesaikan selam- bat-lambatnya 21 hari kerja terhitung sejak gu- gatan diterima yang dilanjutkan dengan ekse- kusi putusan.11 Permasalahan–permasalahan dalam BPSK Suatu putusan badan peradilan tidak akan ada artinya, manakala tidak dapat dilaksana- kan atau dieksekusi. Pada dasarnya suatu pu- tusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti atau inkracht van gewijsde harus da- pat dijalankan. Oleh karena itulah, putusan suatu badan peradilan harus mempunyai ke- kuatan eksekutorial, yaitu “kekuatan untuk di- laksanakan apa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat negara. Menurut Sudikno Mertokusumo, eksekusi atau pelaksanaan putusan dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu: eksekusi yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang (di atur dalam Pasal 195 HiR atau Pasal 208 RBg); dan eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan (diatur da- lam Pasal 225 HiR atau Pasal 259 RBg). Kemu- dian eksekusi riil untuk memerintahkan pengo- songan benda tetap, diatur Pasal 1033 RV.12 Adapun yang memberi kekuatan ekseku- torial atau yang menjadi persyaratan pada sua- tu putusan untuk dapat dilaksanakan secara paksa baik putusan pengadilan maupun putusan arbitrase harus memuat kepala putusan atau disebut irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan 11 Kurniawan dan Abdul Wahab, “Tinjauan Yuridis Terhadap Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK di Indonesia”, Jurnal Hukum Jatiswara, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Vol. 23, No. 2, Juli 2008. hlm. 54. 12 Sudikno Mertokusumo dalam Muhammad Jailani, “Faktor- faktor Yang Mempengaruhi dan Menghambat pelaksanaan Putusan Hakim (eksekusi) dalam Perkara Perdata”, Majalah Ilmiah Ilmu Hukum Jatiswara, Terakreditasi DirjenDikti No. 34/Dikti/Kep/2003, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Vol. 20, No. 3, Juli 2005, hlm. 336- 337.
  • 6. Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 165 Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepa- la putusan inilah yang memberi kekuatan ekse- kutorial terhadap suatu putusan.13 Bahkan ti- dak hanya putusan pengadilan dan putusan ar- bitrase yang harus mencantumkan irah-irah atau kepala putusan, akan tetapi akte notaris seperti grose akta hipotik (grose akta van hypo- theek) dan grose akta pengakuan hutang (nota- rieele schuld-brieven) harus mencantumkan ke- pala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke- tuhanan Yang Maha Esa”. Kepala akta tersebut merupakan syarat yang mesti ada agar kata no- tariil di muka memiliki nilai kekuatan sama dengan putusan pengadilan yang telah memper- oleh kekuatan hukum tetap atau inkrah.14 Eman Suparman juga menjelaskan, selain dimiliki oleh putusan pengadilan, putusan arbitrase dan grose akta notariil, kepala putusan atau irah- irah juga dimiliki oleh akta perdamaian se- bagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) HIR yang dibuat dipersidangan juga mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.15 Permohonan eksekusi dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK maupun putusan keberatan, namun UUPK tidak menyediakan peraturan yang lebih rinci berkaitan dengan hal tersebut. Pelaksanaan putusan arbitrase dise- rahkan dan menjadi wewenang penuh dari Pe- ngadilan Negeri yang menjalankan fungsi ke- kuasaan kehakiman, dan mempunyai legitimasi sebagai lembaga pemaksa. Adapun tata cara melaksanakan putusan Hakim diatur dalam Pa- sal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR. Keten- tuan mengenai prosedur permohonan eksekusi tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK. Pasal 57 UUPK menjelaskan bahwa putusan ma- jelis dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen dirugi- 13 Ketentuan mengenai irah-irah atau kepala putusan untuk lembaga peradilan dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sedangkan untuk ketentuan irah-irak untuk arbitase diatur dalam Paal 54 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. 14 Eman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan. Jakarta: PT. Tatanusa, hlm. 198-199 15 Ibid kan. Kemudian ketentuan Pasal 57 UUPK ini di- perjelas dengan Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 bahwa pihak yang mengaju- kan eksekusi adalah BPSK. Pada putusan arbitrase BPSK, terdapat kendala dalam pelaksanaan permohonan ekse- kusi yang disebabkan tidak adanya pencantum- an irah-irah pada putusan arbitase BPSK terse- but. Hal ini berbeda dengan isi suatu putusan arbitrase yang dalam putusannya mengandung irah-irah. Pasal 54 Ayat (1) butir a Undang-Un- dang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, menyatakan suatu putusan arbitrase harus memuat kepala putusan atau irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan Pasal 57 UUPK bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa suatu putusan harus me- muat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ke- tuhanan yang Maha Esa”. Pencantuman irah- irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pa- da putusan tersebut sehingga penghapusan irah-irah mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Sebagai suatu contoh kasus, BPSK Kota Bandung pernah mengajukan fiat eksekusi ter- hadap putusan BPSK Nomor 66/Pts-BPSK/VII/ 2005 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, na- mun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyata- kan bahwa putusan BPSK tidak dapat dieksekusi karena tidak mempunyai irah-irah, padahal dalam putusan BPSK, tidak dikenal adanya irah- irah.16 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Surat Nomor W7.Db.Ht.04.10.3453.2005 mem- berikan tanggapan terhadap permohonan pene- tapan eksekusi putusan BPSK Kota Bandung yang pada intinya menyatakan bahwa permo- honan pelaksanaan eksekusi putusan BPSK belum dapat diproses karena belum memenuhi beberapa syarat yaitu: Bahwa sesuai dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS dalam Pasal 54 ayat (1) bahwa Putusan Arbitra- 16 Tim pembuatan PERMA Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan BPSK, lebih jelas lihat Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Tinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implemen- tasinya, Jakarta: Kencana, hlm. 341
  • 7. 166 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012 se Penyelesaian Sengketa harus memuat kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDA- SARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dan merujuk ketentuan tersebut, sebagaimana di- atur dalam Bab V pelaksanaan putusan arbitra- se nasional bagian pertama Pasal 59 yaitu: (1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbi- trase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Pengadilan Negeri; (2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana di- maksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pen- catatan dan penandatangan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera Pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya yang menye- rahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran; (3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengang- katan arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri. UUPK maupun SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur tentang pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga BP- SK, tidak mengatur mengenai kewajiban pen- cantuman irah-irah pada putusan BPSK. Hal ini disebabkan kedudukan BPSK yang secara struk- tural berada di bawah Departemen (baca: Ke- menterian) Perdagangan, sedangkan HIR/ RBg dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman me- rupakan peraturan yang berlaku bagi badan peradilan. Penulis berpendapat, sebenarnya persoalannya bukan pada BPSK dibawah Depar- temen Perdagangan atau Kementerian mana, melainkan bahwa BPSK melaksanakan pena- nganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, sehingga mengandung konsekuensi bahwa putusan arbitrase juga ha- rus dicantumkan irah-irah atau kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhahan Yang Maha Esa” sebagaimana ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS sebagai ketentuan khusus yang mengatur me- ngenai Arbitrase di Indonesia. Pasal 48 UUPK menyatakan “penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UU- PK.” Sedangkan Pasal 45 UUPK secara garis be- sar menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan ini yang dilaksanakan dengan konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Atas pende- katan inilah, maka permohonan eksekusi putus- an BPSK berda-sarkan ketentuan Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 SK Menperindag Nomor 350/MPP/ Kep/12/2001 dapat dilaksanakan karena meru- pakan kekhususan dari pelaksanaan eksekusi secara umum menurut ketentuan hukum acara perdata sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis yang berarti bahwa ke- tentuan khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum.17 Menjadi sebuah pertanyaan berkaitan de- ngan pertentangan antara Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/ 12/2001 dengan ketentuan hukum acara per- data pada umumnya mengenai lembaga BPSK yang harus mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan atas putusan yang dihasilkannya, bukan pihak yang dimenangkan. BPSK merupa- kan lembaga yang menyelesaikan sengketa kon- sumen, di mana ia memiliki kewajiban untuk memutus sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dalam menetapkan kerugiannya, oleh ka- rena itu, kedudukan BPSK harus netral dan ti- dak berpihak sehingga memberikan keseimba- ngan antara kepentingan konsumen, dan pelaku usaha/produsen. Meskipun tujuan utama pen- dirian BPSK adalah untuk memberikan perlin- dungan hukum terhadap konsumen, tetapi ini tidak berarti bahwa dalam upaya pelaksanaan ganti kerugian, BPSK yang harus mengajukan per-mohonan eksekusinya ke pengadilan. Oleh karena ganti kerugian diberikan untuk kepen- tingan konsumen, maka yang dapat mengajukan eksekusi terhadap putusan BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK. Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 SK Menperin- dag No. 350/MPP/Kep/12/2001, maka keduduk- an BPSK sebagai badan yang netral dan impar- 17 Ibid
  • 8. Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 167 sial menjadi diragukan. Selain itu, apabila BPSK melakukan pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah, dengan adanya ke- tentuan Pasal 7 Ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2006 yang menegaskan bahwa “pengadilan me- ngeluarkan penetapan eksekusi atas perminta- an pihak yang berperkara (konsumen) atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan”, dapat mendorong kinerja BPSK yang lebih baik. Menurut penulis, apabila dikaitkan dengan asas hukum, maka ketentuan Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2006 sebenarnya tidak bisa dijadi- kan dasar hukum atau pegangan dalam menje- lasakan pihak mana yang berhak mengajukan eksekusi, hal ini disebabkan karena ketentuan Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2006 ber- tentangan dengan Pasal 57 jo. Pasal Pasal 42 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Menu- rut asas hukum yang berlaku yaitu lex superior legi imperior atau ketentuan yang lebih tinggi mengalahkan ketentuan yang lebih rendah, ma- ka dengan sendirinya PERMA No. 1 Tahun 2006 ini tidak bisa dijadikan patokan atau dasar karena dikalahkan oleh aturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 57 UUPK. Eksekusi terhadap putusan arbitrase BPSK seharusnya memperhatikan ke- tentuan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dan Hukum Acara Perdata yang berlaku. Pemilihan arbitrase dalam penyelesaian sengketa melalui BPSK, menjadikan BPSK menjadi suatu lembaga arbitrase dan untuk itu harus memperhatikan ketentuan arbitrase nasional. Tata cara ekse- kusi yang dilakukan setelah penetapan eksekusi diberikan menyangkut ketentuan dalam HIR/ RBg sebagai induk peraturan dalam Hukum Aca- ra Perdata, karena sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha yang diselesaikan melalui jalur arbitrase juga merupakan ranah hukum perdata. Kendala-kendala dalam BPSK Pengadilan merupakan salah satu institu- si untuk mengupayakan supremasi hukum yang merupakan salah satu ciri dari negara hukum. Perselisihan antara pelaku usaha dengan konsu- men dapat diselesaikan melalui Pengadilan Ne- geri. Tetapi setidaknya upaya non litigasi, bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan perse- lisihan antara pihak-pihak yang bersengketa. Penggunaan salah satu jalur penyelesaian seng- keta dipengaruhi oleh konsep tujuan, ketajam- an cara berfikir, serta budaya sosial masyara- kat. Penggunaan model penyelesaian sengketa non-litigasi lebih mengutamakan pendekatan ”konsensus” dan berusaha mempertemukan ke- pentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil penyelesaian ke arah win-win solution, sehingga keadilan yang ingin dicapai melalui mekanisme non-litigasi ini adalah keadilan komutatif.18 Menurut Erman Rajagukguk, budaya hu- kum masyarakat termasuk faktor yang mempe- ngaruhi arti penting penyelesaian sengketa bis- nis di luar pengadilan. Budaya tradisional yang menekankan kepada komunitas, kekerabatan, harmoni, primus inter pares telah mendorong penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang formal. Demikian budaya yang menekankan kepada efisiensi dan efektifitas sama kuatnya mendorong penye-lesaian sengketa bisnis tanpa melalui pengadilan.19 Keberadaan BPSK diharapkan menjadi al- ternatif bagi kejenuhan dan keperihatinan ma- syarakat terhadap sistem peradilan di Indone- sia. Namun, ternyata UUPK tidak secara tuntas memberikan peran kepada BPSK sebagai suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa kon- sumen. Ada beberapa persoalan yang dihadapi dalam praktik, yaitu menyangkut eksistensi dari lembaga BPSK. Persoalan lainnya yang krusial adalah menyangkut tugas dan kewenangan BP- SK. Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa putusan BPSK bersifat “final dan mengikat” ke- hilangan makna dan menjadi tidak berarti bagi konsumen yang mencari keadilan melalui BPSK, ketika dihadapkan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (2) dimana terbukanya peluang mengaju- kan keberatan ke Pengadilan Negeri. Padahal dalah sistem hukum acara di Indonesia, baik 18 Adi Sulistiyono, “Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution Dalam Perspektif Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 25 No. 1, tahun 2006, hlm. 72. 19 Erman Rajagukguk, “Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan”, Jurnal Magister Hukum, PPs-UII, Yogyakarya, Volume. 2 No. 4, Oktober 2000. hlm. 7
  • 9. 168 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012 hukum acara pidana maupun hukum acara perdata tidak mengenal istilah keberatan. Ter- minologi keberatan hanya dikenal dalam hukum administrasi negara yang disebut sebagai admi- nistrative beroef system dan dalam hukum aca- ra PTUN digunakan sebagai upaya hukum terha- dap putusan pejabat Tata Usaha Negara.20 Da- lam proses pengajuan keberatan terhadap pu- tusan BPSK, muncul permasalahan mengenai bagaimana pengadilan harus memperlakukan keberatan atas putusan BPSK tersebut. Hal ini tampak dari beberapa pengajuan keberatan atas putusan BPSK yang didasarkan atas bebe- rapa alasan, antara lain: BPSK salah menerap- kan hukum acara sehingga hukum formal, kon- sumen sebagai penggugat telah salah menggu- gat (error in persona), BPSK dianggap salah menjatuhkan putusan, keberatan ditafsirkan sebagai gugatan oleh Pengadilan Negeri sehing- ga membawa BPSK sebagai tergugat, atau ke- beratan ditafsirkan sebagai upaya hukum ban- ding.21 Terhadap permasalahan ini, Mahkamah Agung RI mengeluarkan PERMA No.1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penggunaan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Mahkamah Agung menetapkan bahwa keberatan merupa- kan upaya hukum yang hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan BPSK, tidak meliputi putusan BPSK yang timbul dari mediasi dan konsiliasi. Putusan mediasi dan konsiliasi dapat disepadankan dengan ada- nya suatu perdamaian (dading) di luar pengadil- an atau di dalam pengadilan sehingga putusan- nya bersifat final dan mengikat.22 Namun tetap saja keluarnya PERMA ini belum dapat menye- lesaikan perso-alan upaya ”keberatan” ini. Se- lain itu, ketentuan Pasal 57 UUPK mengenai permintaan eksekusi putusan BPSK kepada Pe- ngadilan Negeri di tempat konsumen yang di- rugikan membawa persoalan hukum yang sa- 20 Bernadette T. Wulandari, “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Alternatif Upaya Penegakan Hak Konsumen di Indonesia”, Jurnal Gloria Juris, Fakul- tas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta, Volume 6, Nomor 2. Mei-Agustus 2006, hlm. 147 21 Ibid. 22 Maslihat Nur Hidayati, “Analisis Tentang Alternatif Pe- nyelesaian Sengketa Konsumen: Studi Tentang Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen”, Jurnal Hukum Lex Jurnalica, Universitas Indonusa Esa Unggul, Volume 5 No.3 Tahun 2008, hlm. 175-176. ngat luas, misalnya mengenai pengajuan per- mohonan eksekusi serta tata cara mengajukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri. Berikut ini dikemukakan beberapa kele- mahan dari UUPK berkaitan dengan keberada- an BPSK, yaitu antara lain sebagai berikut.23 Pertama, peluang untuk mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK ke Pengadilan Negeri; kedua, tidak jelas tugas dan kewenangan BPSK; ketiga, tidak adanya pengaturan jika pelaku usaha selaku tergugat di BPSK tidak memenuhi panggilan meski telah dipanggil secara patut; keempat, UUPK menugaskan BPSK untuk mela- kukan pengawasan pencantuman klausula baku; kelima, tidak adanya perlindungan bagi anggo- ta BPSK; dan keenam, belum adanya keseraga- man honor BPSK se-Indonesia yang diatur dalam APBN, sementara biaya operasional dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota. Susanti Adi Nugroho (Hakim Agung Repu- blik Indonesia) berpen-dapat bahwa ada bebe- rapa kendala/kelemahan sehingga BPSK selama ini tidak dapat berjalan dengan optimal. Ken- dala-kendala atau kelemahan tersebut antara lain, pertama, kendala kelembagaan; kedua, kendala pendanaan; ketiga, kendala sumber daya manusia BPSK; keempat, kendala per- aturan; kelima, kendala pembinaan dan peng- awasan, dan minimnya koordinasi antar aparat penanggung jawab; kelima, kurangnya sosiali- sasi dan rendahnya kesadaran hukum konsu- men; keenam, kurangnya respon dan pemaha- man dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen; dan ketujuh, kurang- nya respon masyarakat terhadap UU Perlindu- ngan Konsumen dan lembaga BPSK.24 Mas Achmad Sentosa menilai problem atau masalah besar yang dihadapi oleh BPSK adalah peran-nya yang terlalu berat sehingga sulit menjalankan perannya tersebut secara efektif. UUPK menjelaskan terdapat 5 (lima) peran yang dibebankan pada BPSK, yaitu: per- tama, peran sebagai penyedia jasa penyelesai- an sengketa sebagai mediator, konsiliator, arbi- 23 Suherdi Sukandi, 6 November 2008, UUPK, Strategis Bagi Pergerakan Perlindungan Konsumen, BPSK Kota Bandung, tersedia di website www.google.com, diakses tanggal. 19 Desember 2009. 24 Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 234-235.
  • 10. Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 169 ter; kedua, peran konsultan masyarakat atau public defender; ketiga, peran administrative regulator sebagai pengawas dan pemberi san- ksi; keempat, peran ombudsman serta; dan ke- lima, peran ajudicator atau pemutus.25 Kelima peran yang dibebankan pada BPSK ini tidak di- imbangi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu untuk mengemban tugas yang di- berikan. Selain itu peran-peran tersebut juga berpotensi menimbulkan pertentangan kepenti- ngan. Misalnya, peran mediator yang membu- tuhkan peran netral, dengan regulator, atau peran mediator dengan ajudicator. Penulis sependapat, sebaiknya ke depan BPSK diberikan tugas khusus untuk menyelesai- kan sengketa konsumen dengan pelaku usaha, sedangkan tugas lain seperti pengawasan terha- dap klausula baku menjadi tugas dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Ber- kaitan dengan amandemen UUPK, terdapat be- berapa hal penting yang diusulkan penulis. Pertama, pembatasan atau pengurangan tugas BPSK. Tugas BPSK sebagaimana diatur da- lam Pasal 52 UUPK jo. SK. Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 adalah: (a) Melaksana- kan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase; (b) Memberikan konsultasi perlindu- ngan konsumen; (c) Melakukan pengawasan ter- hadap pencantuman klausula baku; (d) Mela- porkan kepada penyidik umum jika terjadi pe- langgaran Undang-Undang Perlindungan Konsu- men (UUPK); (e) Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadi- nya pelanggaran terhadap perlindungan konsu- men; (f) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; (g) Memang- gil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; (h) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang diduga menge- tahui pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK); (i) Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau se-tiap orang pada butir g dan butir h yang 25 Mas Achmad Sentosa, 20 Juli 2005, Peranan BPSK Terlalu Berat, tersedia di website www.hukumonline.com, diakses tanggal 5 Oktober 2009. tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Pe- nyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); (j) Men- dapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, do- kumen, atau bukti lain guna penyelidikan dan/ atau pemeriksaan; (k) Memutuskan dan mene- tapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsu- men; (l) Memberitahukan putusan kepada pela- ku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; (m) Menjatuhkan san- ksi administratif kepada pelaku usaha yang me- langgar ketentuan Undang-Undang Perlindung- an Konsumen (UUPK). Tugas ini terlalu berat dan kompleks oleh BPSK, sehingga BPSK ke depan hendaknya di- batasi tugasnya hanya menyelesaikan sengketa konsumen tanpa dibebani tugas lainnya. Hal ini dimaksudkan agar BPSK benar-benar fokus da- lam melaksanakan tugasnya dengan baik dan juga sesuai dengan namanya yaitu Badan Pe- nyelesaian Sengketa Konsumen artinya tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha. Sedangkan tugas-tugas lain sebaiknya dibeban- kan pada Badan Perlindungan Konsumen Nasio- nal (BPKN). BPSK yang diposisikan menjalankan multi peran yang sangat kompleks dalam pe- negakan hukum perlindungan konsumen (Pasal 52 UUPK) akan sangat sulit menjalankan peran- nya dengan efektif dikarenakan faktor-faktor berikut:26 (a) Peran yang dimiliki terlalu berat yang mencakup peran dispute settlement ser- vice pro-vider (mediator, konsiliator dan arbi- trator), konsultan masyarakat/public defender, admi-nistratif regulator (pengawas dan pembe- ri sanksi), ombudsman, dan adjudicator. Andai katapun BPSK dilaksanakan dengan cara mem- bentuk multidoors (dengan membagi bidang- bidang berdasarkan peran-peran tersebut), ma- ka akan sulit dilaksanakan karena peran-peran tersebut membutuhkan SDM yang highly skills, dimana saat ini sangat sulit dikembangkan di tingkat kota/kabupaten; (b) Diantara peran-pe- ran tersebut apabila dilaksanakan sangat ber- potensi terjadi pertentangan kepentingan (con- flict of interest), sebagai contoh antara peran mediator (yang membutuhkan peran netral) 26 Kurniawan dan Abdul Wahab , op.cit.
  • 11. 170 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012 dan regulator (penegak hukum), mediator (pe- nengah) dan adjudicator (pemutus), serta pub- lic defender (advocate masyarakat) dengan ad- judicator (mensyaratkan peran netral dan im- parsial). Kedua, dukungan dana yang optimal pada BPSK. Salah satu faktor yang menyebabkan BP- SK tidak berjalan optimal adalah karena ku- rangnya dukungan dana dari pemerintah pusat maupun daerah. Pasal 3 Keppres No. 90 tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK pada Pemerin- tah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar mengemukakan ”biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan ke- pada Anggaran Pendapatan Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)”. Pembagian alokasi anggaran dana ini adalah untuk honor anggota/sekretariat BPSK dibeban- kan pada APBN, sementara biaya operasional dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota ma- sing-masing. Hanya saja mengenai besarannya alokasi anggaran ini tidak diatur dengan jelas dan rinci. Persoalan yang juga muncul adalah me- nyangkut kesiapan dan alokasi dana APBD dari masing-masing daerah yang tidak maksimal ter- hadap BPSK, partisipasi daerah selama ini da- lam pemberian alokasi dana untuk efektivitas BPSK masih minim, hal ini sangat mempenga- ruhi kinerja dari BPSK selama ini di daerah. Ke depan, persoalan alokasi pendanaan untuk BP- SK harus diatur dengan jelas dan rinci artinya pendanaan dari APBN presentasenya jelas, de- mikian juga pendanaan dari APBD harus diting- katkan. Jangan sampai masalah honor saja ti- dak ada kesamaan atau terjadi perbedaan an- tara BPSK di daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena hal ini akan menyebabkan ke- cemburuan antar kelembagaan BPSK di daerah yang satu dengan daerah yang lain sendiri. Lahirnya UUPK diharapkan mampu mem- berikan solusi bagi konsumen dalam menyele- saikan persoalan-persoalan yang terjadi, ter- nyata selama ini dalam penegakan hukum per- lindungan konsumen masih terjadi ketimpangan dan menimbulkan kebingungan bagi konsumen, hal ini terjadi manakala masuknya peran lem- baga pengadilan dalam memeriksa perkara ”ke- beratan” atas putusan BPSK yang sudah bersifat final dan mengikat, kemudian pelaksanaan ek- sekusi yang harus melalui pengadilan, dan upa- ya hukum kasasi atas putusan Pengadilan Nege- ri yang memeriksa perkara keberatan atas pu- tusan BPSK. Ke depan, agar BPSK bekerja de- ngan optimal dan konsumen maupun pelaku usaha mendapatkan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa, maka harus dipisahkan antara penyelesaian sengketa melalui litigasi (pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui BPSK. Apabila konsumen sudah memilih jalur BPSK untuk menyelesaian sengketanya, maka kewenangan penuh harus diberikan kepada BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen tersebut dengan putusan BPSK yang final dan mengikat serta dapat di eksekusi langsung, tan- pa kemudian diberikan kesempatan pada badan peradilan (Pengadilan Negeri) untuk masuk di tengah jalan menyelesaikan sengketa konsu- men yang sudah berjalan. Hal ini dimaksudkan agar konsumen maupun pelaku usaha menda- patkan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa konsumen dan tidak memakan waktu yang lama sehingga ada perbedaan antara pe- nyelesaian sengketa melalui pengadilan dengan penyelesaian melalui BPSK. Ketiga, Penyempurnaan Kelembagaan BP- SK. UUPK menjelaskan bahwa terdapat 4 (em- pat) komponen pengawal dan penegak hukum perlindungan konsumen di Indonesia yaitu pe- merintah (Direktorat Perlindungan Konsu-men), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BP- SK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swa- daya Masyarakat (LPKSM). Tanggungjawab pe- negakan hukum perlindungan konsumen yang berada pada berbagai lembaga ini menye- babkan terjadi tumpang tindih tugas dan kewe- nangan antara lembaga yang satu dengan lem- baga yang lain dan kurang terjalin koordinasi antar lembaga ini, misalnya pemerintah (Direk- torat Perlindungan Konsumen) oleh UUPK dibe- rikan kewenangan untuk menyelesaikan sengke- ta konsumen, padahal tugas ini merupakan ke- wenangan dari BPSK. Ke depan diperlukan keje-
  • 12. Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK 171 lasan tugas dan kewenangan serta koordinasi langkah penegakan hukum antar lembaga-lem- baga pengawal dan penegak hukum perlindung- an konsumen tersebut. Sehingga penerapan UU- PK maupun peraturan perundang-undangan lainnya di bidang perlindungan konsumen dapat dilaksanakan secara efektif. Selain persoalan-persoalan di atas, revisi UUPK harus memperhatikan perihal sosialisasi keberadaan BPSK. Saat ini, keberadaan UUPK khususnya BPSK yang sudah 10 (sepuluh) tahun ternyata belum banyak diketahui oleh masya- rakat umum. Untuk mengatasi persoalan ini, maka ke depan perlu dilakukan upaya-upaya yang sistematis dalam sosialisasi keberadaan BPSK sebagai lembaga yang menyelesaikan per- soalan konsumen di luar pengadilan. Adapun upaya-upaya yang harus dilakukan adalah mem- perbanyak kampanye perlindungan konsumen khususnya keberadaan BPSK dan memberikan pendidikan kepada konsumen sejak usia dini. Penutup Simpulan Berdasarkan penjelasan di atas, ada be- berapa simpulan yang berkaitan dengan per- masalahan yang dihadapi dalam praktik me- nyangkut eksistensi dari lembaga BPSK. Perta- ma, berkaitan dengan eksistensi BPSK sebagai lembaga yang masuk dalam domain pemerintah pusat ataukah pemerintah daerah. Jawaban terhadap hal ini dalam prakteknya tidak sama. Oleh karena itu, ada BPSK yang mendapat du- kungan penuh dari pemerintah daerah dan ada BPSK yang kurang mendapat dukungan Pemerin- tah Daerah. Kedua, persoalan yang krusial ada- lah menyangkut tugas dan kewenangan BPSK. Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa putus- an BPSK bersifat “final dan mengikat”. Putusan ini menjadi kehilangan makna dan menjadi ti- dak berarti bagi konsumen yang mencari keadil- an melalui BPSK, ketika dihadapkan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (2) dimana terbukanya peluang mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri, dan ketentuan Pasal 57 UUPK mengenai permintaan eksekusi putusan BPSK kepada Pe- ngadilan Negeri di tempat konsumen yang diru- gikan. Adapun kendala-kendala yang dihadapi BPSK adalah kendala kelembagaan, keuangan, SDM, peraturan, pembinaan dan pengawasan dan kurangnya sosialisasi serta rendahnya kesadaran hukum konsumen. Berkaitan dengan kendala dalam pelaksa- naan putusan arbitrase BPSK, dapat disimpul- kan bahwa terdapat kendala dalam pelaksana- an permohonan eksekusi yang disebabkan tidak adanya pencantuman irah-irah pada putusan arbitase BPSK tersebut. Hal ini berbeda dengan putusan arbitrase menurut Pasal 54 Ayat (1) butir a UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang menyatakan suatu putusan arbitrase harus memuat kepala putusan atau irah-irah yang berupa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Saran Berdasarkan pembahasan atas beberapa persoalan yang ada dalam UUPK, maka penulis menyarankan agar segera dilakukan revisi UUPK agar ke depan lebih memberikan kepastian hu- kum pada konsumen maupun pelaku usaha. Sa- lah satu revisi adalah dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan- an Yang Maha Esa”. Pemerintah hendaknya memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) pada sekretariat BPSK mengingat tugas-tugas dari BPSK yang begitu luas. Di samping itu pemerin- tah juga hendaknya memberikan anggaran yang cukup pada BPSK karena salah satu kendala pelaksanaan tugas BPSK adalah karena faktor anggaran. Daftar Pustaka Barkatullah, Abdul Halim. “Urgensi Perlindung- an Konsumen Dalam Transaksi di E-Com- merce”. Jurnal Hukum, No. 2 Vol. 14 April 2007. FH UII Yogyakarta: Gunawan, Johannes. “Pemberlakuan Undang- undang Perlindungan Konsumen Terhadap PT. PLN Sebagai Lembaga Pelayanan Umum”. Pro Justitia, Jurnal Hukum Triwulan Tahun 19, Nomor 4, Oktober 2001. Universitas Katolik Parahyangan; Hartono, Sri Redjeki. “Perlindungan Konsumen di Indonesia (Tinjauan Makro)”. Jurnal
  • 13. 172 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012 Mimbar Hukum, Edisi Khusus No. 39/X/ 2001. FH UGM; Hidayati, Maslihat Nur. “Analisis Tentang Al- ternatif Penyelesaian Sengketa Konsu- men: Studi Tentang Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Kon- sumen”. Jurnal Hukum Lex Jurnalica, Vol 5 No.3 Tahun 2008. Universitas Indonusa Esa Unggul; Jailani, Muhammad. “Faktor-faktor Yang Mem- pengaruhi dan Menghambat pelaksanaan Putusan Hakim (eksekusi) dalam Perkara Perdata”. Majalah Ilmiah Ilmu Hukum Jatiswara, Vol. 20, No. 3, Juli 2005. Fa- kultas Hukum Universitas Mataram; Kurniawan dan Abdul Wahab. “Tinjauan Yuridis Terhadap Prosedur Penyelesaian Sengke- ta Konsumen Melalui BPSK di Indonesia”. Jurnal Hukum Jatiswara, Vol. 23, No. 2, Juli 2008 Fakultas Hukum Universitas Mataram; Nasution, Az. “Aspek Hukum Perlindungan Kon- sumen”. Jurnal Teropong, Edisi Mei 2003, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Nugroho, Susanti Adi. 2008. Proses Penyelesai- an Sengketa Konsumen Di Tinjau dari Hu- kum Acara serta Kendala Implementasi- nya, Jakarta: Kencana; Parman, L. “Perlindungan Konsumen Dengan Sarana Hukum Pidana”. Majalah Ilmiah Ilmu Hukum Jatiswara Vol. 20 No. 2 April 2005 FH Universitas Mataram, Purwadi, Ari. “Telaah Singkat tentang Undang Undang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Hukum & Keadilan, Vol. 3. No. 3. 2000. FH UII Yogyakarta; Rajagukguk, Erman. “Budaya Hukum dan Pe- nyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pe- ngadilan”. Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 4, Oktober 2000. PPs-UII, Yogyakarya; Ramli, Ahmad. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commer- ce”. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 18 Nomor 3 Tahun 2002; Sentosa, Mas Achmad. 20 Juli 2005, Peranan BPSK Terlalu Berat, tersedia di website www.hukumonline.com, diakses tanggal 5 Oktober 2009. Sukandi, Suherdi. 6 November 2008, UUPK, Strategis Bagi Pergerakan Perlindungan Konsumen, BPSK Kota Bandung, tersedia di website www.google.com, diakses tanggal. 19 Desember 2009. Sulistiyono, Adi. “Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution Dalam Perspektif Hukum”. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 25 No. 1, tahun 2006; Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitra- se dalam Sengketa Komersial untuk Pene- gakan Keadilan. Jakarta: PT. Tatanusa; Wulandari, Bernadette T. “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Alter- natif Upaya Penegakan Hak Konsumen di Indonesia”. Jurnal Gloria Juris, Vol. 6, Nomor 2. Mei-Agustus 2006. FH Unika Atma Jaya, Jakarta.