SlideShare a Scribd company logo
1 of 11
Download to read offline
Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 65
PENCEGAHAN INFEKSI VIRUS WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) PADA
UDANG WINDU Penaeus monodon DENGAN CAIRAN EKSTRAK POHON
MANGROVE (CEPM) Avicennia sp. DAN Sonneratia sp.
Prevention of White Spot Syndrome Virus Infection on Penaeus monodon by Immersion in
CEPM Extract of Avicennia sp. and Sonneratia sp.
D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680
ABSTRACT
The quality and survival rate are still being the problem that hampers the productivity of black tiger
shrimp, Penaeus monodon culture. Impaired quality of larval shrimp and environmental conditions can confer
shrimp be infected by diseases, including viruses such as white spot syndrome virus (WSSV). Prevention of
disease infection using chemicals can offer negative impacts on water, pathogen resistance and consumers.
This study was conducted to examine the efficacy of an alternative prevention compound as liquid mangrove
extract (CEPM) from Avicennia sp. and Sonneratia sp. By immersion in different dose of CEPM, i.e. 250, 500,
750 and 1000 ppm, the patogenicity of WSSV was found to be different. Patogenicity of WSSV decreased
after treatment by CEPM, hence this could be used to induce shrimp immunity. Optimum dose of CEPM was
250 ppm, which could increased survival rate of shrimp after challenging by WSSV, up to 98.4% shrimp
survived.
Keywrods: WSSV, black tiger shrimp, extract, Avicennia sp., Sonneratia sp.
ABSTRAK
Kualitas dan kelangsungan hidup merupakan masalah yang masih membatasi produktivitas budidaya
udang windu Penaeus monodon. Kondisi udang dan kualitas lingkungan yang kurang baik dapat menyebabkan
udang terserang penyakit, termasuk yang disebabkan oleh virus termasuk white spot syndrome virus (WSSV).
Upaya pengendaliannya menggunakan bahan kimia secara berlebih dapat menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan perairan, kesehatan konsumen dan menimbulkan resistensi patogen. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui efektivitas bahan alternatif berupa cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM) dari jenis Avicennia
sp. dan Sonneratia sp. sebagai upaya pencegahan. Dengan perendaman beberapa konsentrasi yang berbeda
(250, 500, 750 dan 1000 ppm) penggunaan cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM) Avicennia sp. dan
Sonneratia sp., memberikan pengaruh yang berbeda terhadap patogenitas WSSV dan udang uji pada setiap
perlakuan. Tingkat patogenitas WSSV relatif menurun setelah perlakuan tersebut sehingga dapat digunakan
untuk merangsang kekebalan tubuh udang. Perlakuan yang optimal yaitu pada dosis 250 ppm, dimana pada
perlakuan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang uji yang diuji tantang dengan white spot
syndrome virus (WSSV) dengan tingkat kelangsungan hidup 98,4 %.
Kata kunci: WSSV, udang windu, ekstrak, Avicennia sp., Sonneratia sp.
PENDAHULUAN
Masalah utama pada budidaya udang
windu Penaeus monodon adalah kualitas dan
kelangsungan hidup udang yang rendah. Hal
ini disebabkan karena kualitas lingkungan
yang kurang baik dan pada stadia larva udang
telah menjadi pembawa penyakit, termasuk
yang disebabkan oleh virus. Jenis virus yang
sering menyerang yaitu white spot syndrome
virus (WSSV).
Beberapa hasil penelitian dan
pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa
kualitas benih dapat ditingkatkan antara lain
melalui rekayasa genetik, aplikasi probiotik,
pengelolaan lingkungan dan perbaikan nutrisi
Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(1): 65-75 (2006) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai
http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id
D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati66
(Mardjono, et al. 1999). Lingkungan yang
kurang baik akan menjadi penyebab
datangnya bakteri dan virus, oleh karena itu
pengelolaan lingkungan merupakan salah
satu langkah utama dalam mengantisipasi
timbulnya penyakit pada larva udang di
hatchery.
Pengendalian perluasan penyakit perlu
dilakukan secara dini agar kerugian ekonomi
tidak terjadi. Peningkatan kualitas benih
udang windu khususnya peningkatan
ketahanan terhadap penyakit adalah hal yang
sangat penting. Salah satu prosedur
pencegahan penyakit di hatchery yang
disarankan oleh Wang, et al. (1998) adalah
pemberian immunostimulan untuk
meningkatkan daya tahan atau kekebalan
alami benih udang terhadap penyakit.
Upaya penggunaan bahan kimia yang
berlebihan dapat menimbulkan dampak bagi
lingkungan perairan, kesehatan konsumen
dan menimbulkan resistensi patogen
(Alifuddin, 1998 dalam Fadli, 2000). Upaya-
upaya yang dilakukan untuk menanggulangi
masalah penyakit sudah dilakukan mulai dari
screening formalin sampai pada penggunaan
antibiotik, yang dilakukan pada kegiatan
pembenihan sampai pembesaran. Tetapi
pemakaian antibiotik secara terus menerus
dan dosis yang tidak tepat akan
mengakibatkan bakteri menjadi resisten
(Lightner et al., 1992 dalam Zulham. 2004).
Dampak lain dari pemberian antibiotik
adalah terakumulasinya antibiotik dalam
tubuh udang sehingga membahayakan
konsumen. Untuk menghindari hal tersebut
penggunaan bahan yang bersifat alamiah
merupakan pilihan yang tepat.
Suatu bahan alamiah yang mempunyai
fungsi memperbaiki kondisi lingkungan dan
sebagai immunostimulan bagi tubuh udang
sangat diharapkan, sehingga tidak terjadi
pemakaian beberapa macam obat yang
berlebihan dan menyebabkan resisten bagi
patogen. Bahan alternatif untuk
menanggulangi masalah ini adalah cairan
ekstrak pohon mangrove (CEPM), khususnya
dari jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp.
Pohon mangrove diketahui mengandung
senyawa aktif tannin, flavonoid, saponin dan
steroid. Senyawa aktif tersebut dapat
digunakan sebagai antivirus dan antibakteri
(Robinson, 1991; Hara 1993 dalam Harismah
2002; Minocha and Tiwar dalam Maryani,
2003). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh Cairan Ekstrak
Pohon Mangrove Avicennia sp. dan
Sonneratia sp. dengan dosis yang berbeda
sebagai pencegahan terhadap infeksi White
Spot Syndrome Virus pada udang windu.
BAHAN DAN METODE
Prosedur penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
beberapa tahap yaitu tahap awal, penyediaan
CEPM, perendaman larva udang windu
dengan CEPM, pemeliharaan dan
pengamatan harian udang uji, penyediaan
virus, uji tantang dengan WSSV, pengamatan
fisiologi dan tingkah laku, pengambilan
sample dan pengamatan morfologi, preparasi
dan pengamatan histologi serta analisis data.
Sterilisasi alat dan wadah
Alat dan wadah yang akan digunakan
disterilisasi menggunakan KMnO4, dan
sterilisasi media (air) menggunakan kaporit.
Screening formalin 400 ppm dan polymerase
chain reaction (PCR) dilakukan sebelum
udang uji diberi perlakuan dan diadaptasikan
selama 7 hari.
Penyediaan Cairan Ekstrak Pohon
Mangrove (CEPM)
Cairan ekstrak pohon mangrove
(CEPM) dari jenis Avicennia sp. dan
Sonneratia sp. diperoleh dengan cara
membakar seluruh bagian pohon mangrove
didalam alat pembakar tertutup. Uap yang
dihasilkan didestilasi dan ditampung
sehingga menghasilkan uap cair. Cairan
tersebut diambil sebagai cairan ekstrak pohon
mangrove (CEPM).
Perendaman larva udang windu dengan
Cairan Ekstrak Pohon Mangrove
(CEPM)
Udang uji dengan kepadatan 7
ekor/liter direndam dengan CEPM dengan
dosis masing-masing akuarium 0 ppm
(Kontrol), 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm,
Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 67
1000 ppm. Hal ini dilakukan karena dengan
perendaman udang windu dalam ekstrak
daun Sonneratia caseolaris diperoleh
kelangsungan hidup udang tertinggi dalam
konsentrasi 500 ppm (Zulham 2004).
Pemeliharaan dilakukan dari stadia PL20
sampai PL45. Sebelum dilakukan
perendaman, terlebih dahulu dilakukan uji
fisiologis terhadap udang meliputi respon
makan, gerak, kemerahan pada tubuh dan
bintik putih.
Pemeliharaan dan pengamatan harian
udang uji
Udang stadia PL20 dengan kepadatan 7
ekor/liter dipelihara dalam akuarium selama
25 hari dengan aerasi yang cukup untuk
setiap perlakuan. Pakan yang diberikan
adalah Artemia sp. dan pakan buatan berupa
pellet komersil dengan frekuensi pemberian
sebanyak 5 kali yaitu pada pukul 07.00,
11.00, 15.00 dan 19.00. Setelah 25 hari,
dilakukan uji tantang dengan WSSV.
Pengamatan harian meliputi: Perkembangan
dan kondisi larva, kelangsungan hidup serta
pengecekan kualitas air diantaranya
penyiponan, pergantian air 30-50 %/hari
(Murtidjo, 1989), suhu, salinitas dan pH.
Penyediaan virus
Virus diambil dari organ insang udang
windu terinfeksi WSSV yang berasal dari
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau (BBPBAP) Jepara. Sebanyak 1 gram
organ udang yang terinfeksi WSSV digerus
sampai halus dan dilarutkan dalam 9 ml air
laut steril, kemudian di sentrifuse dengan
kecepatan 3000 g selama 30 menit dan 8000
g selama 20 menit. Supernatan yang
dihasilkan disaring dengan kertas miliphore
0,45 μm menggunakan filter holder dan
syringe (Hameed et al., 1997).
Uji tantang dengan White Spot Syndrome
Virus (WSSV)
Uji penularan WSSV dilakukan melalui
perendaman dalam 1 liter larutan virus
dengan pengenceran 10-3
(konsentrasi 20
µg/ml) kedalam wadah penularan selama 90
menit. Udang uji dipelihara selama 14 hari.
Pengamatan hari pertama uji tantang setiap
12 jam dan untuk selanjutnya dilakukan
setiap 24 jam. Sebelumnya dilakukan
pengenceran sediaan virus sampai 10-3
.
Pengamatan dan pengambilan sampel
Pengamatan fisiologi yang dilakukan
antara lain respon makan, cara berenang,
kemerahan pada tubuh (perubahan warna
tubuh), bintik putih pada karapas serta
penghitungan udang yang mati selama
pemeliharaan (Wang et al., 1998; Lightner,
1996; Hameed et al.,1997). Pengambilan
sampel udang uji dilakukan setiap 12 jam
pada hari pertama dan 24 jam sekali pada
hari berikutnya sebanyak 2 ekor untuk setiap
perlakuan. Dari 2 ekor udang uji yang
diambil dilakukan pengamatan morfologi
yang meliputi warna tubuh, kelainan bentuk
maupun warna pada rostrum, karapas
maxiliped, antenna, antenulla, periopod,
pleopod, hepatopankreas, telson dan uropod
serta kelengkapan organnya dan keadaan
tubuh secara visual (Alday-Sanz, 1995).
Setelah melakukan pengamatan kemudian
difiksasi dalam larutan Davidson selama 24
jam dan diganti dengan alkohol setiap 24 jam
sebagai tahap awal dari preparasi histologi.
Sedangkan udang yang mati difiksasi dalam
wadah tersendiri dan dibedakan untuk setiap
perlakuan.
Preparasi dan pengamatan histologi
Preparasi meliputi proses fiksasi,
dehidrasi, clearing, embedding, pemotongan
serta pewarnaan berdasarkan metode
Lightner (1996). Preparat histologi diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran
400 x, 600x dan 1000x. Dari data ini
diperoleh frekuensi infeksi (prevalensi) serta
tingkat keganasan dari infeksi WSSV pada
udang uji berdasarkan standart Lighner
(1996).
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif yang meliputi tingkat keganasan
WSSV, prevalensi organ dan tingkat
kelangsungan hidup (Lightner, 1996; Ellis,
1988).
D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati68
%100
diperiksayangorgan
nfeksiorgan teri
organPrevalensi
%100
awaludang
akhirudang
hidupanKelangsung
%100
K
V
1RPS
Keterangan : RPS = Relative percent Survival
(%)
V = Mortalitas udang yang di
vaksin (%)
K = Mortalitas ikan Kontrol
(%)
RPS > 60 % : bahan layak digunakan sebagai
vaksin.
RPS < 60 % : Suatu tidak layak digunakan
sebagai vaksin
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala klinis
Gejala klinis yang timbul pada udang
terinfeksi WSSV antara lain penurunan
konsumsi pakan, lemah, kutikula lepas,
hepatopankreas pucat dan anoreksia. Juga
terlihat letargi, berenang dengan kondisi
tidak stabil, warna kemerahan pada abdomen
dan bintik putih pada karapas.
Saat perendaman cairan ekstrak pohon
mangrove (CEPM), gejala klinis yang
terdeteksi pada hari ke-1 yaitu
hepatopankreas pucat kecuali pada perlakuan
750 ppm. Perubahan aktivitas renang ke arah
lebih aktif terjadi pada semua perlakuan
CEPM yaitu pada hari ke-1 kecuali pada
kontrol yaitu pada hari ke-6. Prubahan warna
tubuh menunjukkan semakin tinggi dosis
perlakuan semakin cepat terjadi perubahan
warna tubuh menjadi bening, perubahan
paling cepat pada hari ke-9 yaitu perlakuan
1000 ppm. Respon makan menurun pada hari
terakhir (hari ke-25) pada perlakuan kontrol
yang terlihat dari jumlah sisa pakan yang
diberikan mencapai setengah dari pakan yang
diberikan, selebihnya tidak terlihat
penurunan nafsu makan karena semakin
tinggi dosis perlakuan CEPM kecernaan
semakin baik dengan melihat sisa pakan yang
semakin sedikit dan kotoran yang semakin
halus.
Respon makan udang kontrol pasca uji
tantang WSSV menurun paling cepat yaitu
terjadi pada hari ke-1. Aktivitas renang
semakin aktif terjadi pada hari ke-1 terlihat
pada perlakuan 500 ppm, 750 ppm dan 1000
ppm. Sedangkan perlakuan 250 ppm,
aktivitas renang meningkaat pada hari ke-2.
Aktivitas renang pada kontrol menurun sejak
hari ke-2 dan meningkat pada hari ke-5 pasca
uji tantang WSSV. Semakin tinggi dosis
perlakuan, perubahan warna tubuh semakin
hari semakin bening sejak hari pertama.
Hepatopankreas pucat paling cepat terjadi
pada hari ke-2 yaitu pada perlakuan 750
ppm, kemudian kontrol pada hari ke-8.
Untuk perlakuan yang lain tidak ditemukan
hepatopankreas yang pucat.
Kemunculan bintik putih pada karapas
dapat diketahui dari hasil pangamatan pada
mikroskop. Pada kontrol, kemunculan bintik
putih terjadi pada hari ke-2, berikutnya hari
ke-3 terjadi pada perlakuan 250 ppm, 750
ppm dan 1000 ppm. Kemunculan bintik putih
terakhir terjadi pada perlakuan 500 ppm yaitu
pada hari ke-4. Setelah diketahui hari
pertama penyerangan WSSV pada masing-
masing perlakuan, maka dapat dilihat
kematian awal terjadi setelah penyerangan
WSSV yaitu pada hari ke-3 terjadi pada
kontrol, kemudian hari ke-4 terjadi pada
perlakuan 500 ppm, 750 ppm dan 1000 ppm.
Kematian paling rendah pada perlakuan 250
ppm.
Pengamatan udang uji terhadap respon
makan, aktivitas renang, perubahan warna,
hepatopankreas pucat, mata memerah dan
bintik putih menunjukkan bahwa secara
umum udang uji telah terinfeksi WSSV. Hal
ini sesuai dengan ciri gejala klinis serangan
white spot yang dilaporkan oleh Hameed, et
al. (1998) yaitu terjadi penurunan konsumsi
makan, lemah, kutikula lepas, dan terjadi
pelunturan warna pada hepatopankreas dari
warna merah muda hingga menjadi coklat
kemerahan, anoreksia, lethargi, warna
kemerahan pada abdomen dan bintik putih.
Respon makan semakin baik dengan
meningkatnya dosis perlakuan. Semakin
tinggi dosis perlakuan maka semakin bening
Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 69
tubuh udang yang menunjukkan tanda-tanda
udang sehat, tidak terlihat mata memerah.
Bintik putih merupakan gejala yang spesifik
pada udang yang terserang WSSV sedangkan
letargi seperti penurunan nafsu makan dan
aktifitas renang merupakan gejala umum
hewan terinfeksi WSSV (Vlak, et al., 2002).
Munculnya bintik putih pada kontrol
lebih cepat dan terjadi kematian lebih awal
dibanding perlakuan yang lain. Hal ini
dikarenakan pada perlakuan kontrol tidak
mendapat perlakuan perendaman CEPM
yang berfungsi sebagai immunostimulan,
hasil refres sebelum uji tantang WSSV
menunjukkan hasil yang sempurna dan
perendaman udang uji dengan WSSV dengan
tingkat patogenitas 300 kali yaitu dengan
waktu perendaman 1,5 jam. Pengaruh ini
juga terlihat pada akhir kematian yaitu terjadi
kematian total paling cepat pada kontrol pada
hari ke-9.
Pada saat perendaman CEPM,
hepatopankreas berwarna pucat dan antenna
terdeteksi dengan kelainan organ yang paling
tinggi yaitu 50%. Kelainan organ rostrum,
antenula, periopod dan ekor terjadi sebanyak
25%. Namun tidak ditemukan kelainan pada
organ lainnya. Kelainan organ pada ekor
terjadi hanya pada satu perlakuan yaitu
perlakuan 500 ppm dengan prosentase 25%.
Kerusakan organ pada antenulla terjadi hanya
pada 2 perlakuan yaitu 250 ppm dan 1000
ppm, dengan persentase 25%. Kemerahan
tubuh, bintik putih, mata memerah dan
pleopod berada pada prosentase paling
rendah yaitu 0%. Dari data diatas
menunjukkan bahwa pemberian
immunostimulan pada hewan uji tidak
memberikan pengaruh negatif yang
signifikan terhadap perkembangan hidup
hewan uji, hal ini terjadi dalam taraf
kewajaran dan proses penyerapan CEPM
kedalam tubuh udang masih dapat ditolelir.
Setelah dilakukan uji tantang dengan
WSSV persentase kelainan organ paling
tinggi terjadi pada perlakuan kontrol yaitu
pada antenna (88,23%) dan periopod
(82,35%). Persentase bintik putih paling
tinggi juga terjadi pada kontrol (70,58%),
sedangkan persentase paling rendah pada
perlakuan 500 ppm yaitu 14,28%. Untuk
kelainan organ hepatopankreas pucat hanya
terjadi pada kontrol dengan persentase
17,64% dan tidak terjadi pada masing-
masing perlakuan kecuali pada perlakuan 750
ppm sebesar 4%. Sementara rostrum,
pleopod dan ekor kelainan organ berada pada
persentase rendah dibawah 30 %.
Kondisi klinis terbaik terjadi pada
perlakuan 250 ppm, bintik putih muncul pada
hari ke-3 saat dilakukan pengamatan
morfologi tubuh secara mikroskopis.
Kematian awal terjadi pada awal hari ke-9
dengan indikasi kanibal karena udang
ditemukan dengan kondisi kepala terputus.
Hal ini juga diperkuat dengan frekuensi
kematian yang terjadi hanya satu kali. Pada
perlakuan 250 ppm, hasil pengamatan gejala
klinis menunjukkan WSSV menyerang pada
udang uji namun tidak virulen lagi akibat
pemberian perlakuan CEPM yang berfungsi
sebagai immunostimulan pada udang.
Tabel 1. Perubahan kondisi udang uji selama pemeliharaan
Parameter
Waktu Awal Kemunculan (Hari ke-)
Perendaman CEPM Uji Tantang WSSV
0 250 500 750 1000 0 250 500 750 1000
Nafsu makan turun 25 25 - - - 1 6 4 4 -
Aktivitas renang
meningkat
6 1 1 1 1 5 2 1 1 1
Warna tubuh menjadi
bening
17 12 13 11 9 1 1> 1>> 1>> 1>>>
Hepatopangkreas pucat 1 1 1 - 1 8 - - 2 -
Mata memerah - - - - - - - - - -
Bintik Putih - - - - - 2 3 4 3 3
Kematian Pasca Infeksi
WSSV
- - - - - 3 9 4 4 4
Kematian Total - - - - - 9 - 11 12 9
Keterangan: > = Menunjukkan tingkat kebeningan tubuh.
D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati70
Dari pengamatan parameter gejala
klinis udang uji selama pemeliharaan,
khususnya bintik putih pada karapas,
menunjukan bahwa WSSV masih dapat
menginfeksi udang uji yang direndam dengan
CEPM pada semua perlakuan. Waktu
kemunculan gejala klinis yang berbeda tiap
perlakuan dan kontrol menunjukan bahwa
tingkat infeksi WSSV berbeda bahkan tidak
virulen terhadap tubuh udang. Munculnya
bintik putih dan kematian yang terjadi lebih
awal atau lebih cepat pada kontrol daripada
kelompok perlakuan. Hal ini menunjukan
bahwa perlakuan secara perendaman udang
uji dalam CEPM Avicennia sp. dan
Sonneratia sp., berpengaruh terhadap
patogenisitas WSSV.
Terjadinya peningkatan kelainan pada
beberapa organ dan infeksi white spot setelah
uji tantang WSSV pada kontrol dan
perlakuan yang diberikan selain perlakuan
250 ppm, diduga karena aktifnya WSSV
dalam menyerang inang. Hal ini ditunjukkan
pada hasil refres WSSV yang diperoleh dari
udang yang terserang WSSV, refres
menggunakan udang berukuran 15-20 gram.
Hasil tersebut menggambarkan Virulennya
WSSV, sehingga seluruh karapas pada udang
refres terdapat banyak bintik putih pada hari
ke-2 dan ke-3 dan seluruh tubuh memerah.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Wijayati et al. (2001) bahwa udang
windu terlihat menunjukkan bercak putih
pada seluruh tubuhnya dalam waktu 48 jam
setelah diinfeksi. Hal ini juga dipicu oleh
perendaman udang uji dengan WSSV dengan
tingkat patogenitas 300 kali yaitu dengan
waktu perendaman 1,5 jam. Sesuai dengan
hasil penelitian Baidi (2002) menunjukkan
bahwa frekuensi kejadian 100% sudah terjadi
pada inokulasi 30 menit, dengan kata lain
bahwa pada perendaman udang uji dengan
WSSV selama 30 menit patogenitas WSSV
100%. Terdapat kemungkinan juga karena
infeksi ganda baik oleh virus aktif dan
perlakuan CEPM, walaupun sebelum
dilakukan uji tantang perlakuan CEPM tidak
berdampak yang merugikan bagi kehidupan
udang, hal itu dimungkinkan karena udang
masih dapat mentolelir. Tetapi jika perlakuan
CEPM yang diberikan optimal maka justru
akan meningkatkan daya tahan tubuh udang
sehingga udang kebal terhadap virus. Hal ini
dapat dilihat dari kematian pada kontrol dan
semua perlakuan kecuali pada perlakuan 250
ppm adalah 100%, dengan kematian paling
cepat terjadi pada kontrol dan 1000 ppm.
Diduga senyawa dalam pohon
mangrove yang berpengaruh terhadap
patogenitas WSSV adalah flavonoid dan
tannin. Kemungkinan yang juga berpengaruh
adalah saponin dan steroid. Flavonoid adalah
senyawa yang digunakan sebagai
antimikroba dan antivirus dan dapat bekerja
sebagai inhibitor kuat pernafasan. Beberapa
flavonoid menghambat fosfodiesterase,
aldoreduktase, monoamina oksidase, protein
kinase, transkriptase balik, DNA polymerase
dan lipooksigenase (Robinson, 1991).
Tabel 2. Prosentase kelainan organ
Parameter
Perendaman CEPM (%) Uji Tantang WSSV (%)
0 250 500 750 1000 0 250 500 750 1000
Warna kemerahan
pada tubuh
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Hepatopankreas
pucat
50,00 25,00 50,00 0,00 50,00 17,64 0,00 0,00 4,00 0,00
Mata memerah 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Bintik putih pada
karapas
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 70,58 32,14 14,28 16,00 43,75
Rostrum 25,00 25,00 50,00 25,00 0,00 11,76 17,85 19,04 16,00 12,50
Antena 50,00 50,00 50,00 50,00 50,00 88,23 82,14 66,66 72,00 75,00
Antenulla 0,00 25,00 0,00 0,00 25,00 52,94 28,57 14,28 28,00 25,00
Pleopod 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29,41 14,28 14,28 24,00 25,00
Periopod 25,00 0,00 25,00 25,00 25,00 82,35 39,28 38,09 48,00 56,25
Ekor geripis 0,00 0,00 25,00 0,00 0,00 11,76 28,57 23,80 20,00 12,50
Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 71
Aktivitas antivirus oleh flavonoid juga
terjadi dengan menghambat ATP dan enzim
phospholipase yaitu enzim yang membantu
asam nukleat dalam proses replikasi sehingga
virus menjadi lemah (Jesekera, 1991 dalam
Supriatna, 2004). Sedangkan tannin
digunakan sebagai antimikrobia.
Sebagaimana dikatakan oleh Hara (1993)
dalam Harismah (2002) bahwa senyawa
tannin dapat digunakan sebagai antimikroba
dan antivirus. Pada stuktur kimia tannin
terdapat gugus pirogalol dan gugus galoil
sebagai anti mikrobia dan sifat
penghambatan terhadap mikrolen oleh
stuktur tersier persenyawaan gugus katekol
atau pirogalol dengan gugus galoil-nya
(Shimamura et al, 1998 dalam Supriatna,
2004).
Saponin adalah senyawa toksik yang
kuat dengan mempengaruhi hemolisis sel
darah merah (Robinson, 1991). Dalam
larutan yang sangat encer, saponin digunakan
sebagai racun ikan selama beratus-ratus
tahun. Beberapa saponin bekerja juga sebagai
antimikroba. Dikenal dua jenis saponin yaitu
glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida
stuktur steroid tertentu yang mempunyai
rantai samping spiroketal. Kedunya larut
dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam
eter. Saponin dari jenis triterpenoid mudah
berikatan dengan gula sehingga mudah
masuk kedalam sistem tubuh, mudah di
hidrolisis dan bersifat seperti surfaktan.
Beberapa senyawa dari triterpenoid bekerja
sebagai antifungus, insektisida atau
antipemangsa, menstimulasi serangga
bertelur dan sebagai antibakteri dan
antivirus. Sedangkan steroid berfungsi
sebagai pembawa bagi senyawa lain untuk
memudahkan masuk kedalam sel, karena
memiliki molekul yang berukuran kecil
sehingga dapat masuk keseluruh sel (Alwir,
2001).
Dengan menggunakan ekstrak CEPM
Avicennia sp. dan Sonneratia sp diharapkan
senyawa aktif yang terkandung di dalamnya
dapat berfungsi sebagai imonostimulan bagi
tubuh udang dan dapat melemahkan virus
white spot. Dari hasil uji ini, diduga bahwa
CEPM dapat digunakan sebagai bahan
pembuat vaksin yang berguna untuk
meningkatkan kekebalan tubuh udang.
Seperti yang dikatakan Purbomartono (1993)
bahwa vaksin berguna untuk memperoleh
kekebalan aktif dan khas yang berguna untuk
perlindungan terhadap serangan penyakit.
Salah satu cara untuk membuat vaksin
adalah dengan inaktivasi virus. Dari hasil
penelitian Supriatna (2004) menunjukkan
bahwa ekstrak biji mangrove Xylocarpus
granatum dengan dosis tertentu membuat
virus lebih lemah dan mampu meningkatkan
sistem imunitas tubuh udang yang
ditunjukkan dengan tingkat kelangsungan
hidup yang tinggi. Vaksin ini bertujuan untuk
menginaktifkan asam nukleat tanpa
mengganggu selubungnya sehingga sifat
antigen virus benar-benar utuh sedangkan
virus tidak dapat berkembangbiak dalam sel
inang sehingga masih dapat di kenal sebagai
patogen yang dapat merangsang udang uji
untuk menghasilkan antibodi. Tetapi
permasalahannya untuk invertebrate seperti
udang yang merupakan krustacea kecil,
kemampuan non-spesifik antibody lebih
berkembang dibandingkan kemampuan
spesifik antibody. Sesuai dengan pernyataan
Hobart and Mc Connel (1975) bahwa sistem
kekebalan tubuh udang terdiri dari 2
komponen utama yaitu mekanisme kekebalan
non-spesifik dan mekanisme kekebalan
spesifik. Mekanisme kekebalan non-spesifik
menempati bagian paling depan dari sistem
pertahanan tubuh dan secara luas
bertanggungjawab terhadap kekebalan alami
yang dimiliki hewan terhadap sebagian
mikroorganisme yang berasal dari
lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan
berulang-ulang dalam pemberian vaksin
(diperbaharui) dalam waktu yang singkat.
Oleh karena itu pemberian immunostimulan
dengan perendaman dalam air atau media itu
lebih efektif di banding penyuntikan vaksin.
Metode perendaman dilakukan dengan
melihat kandungan senyawa flavonoid,
saponin, tannin dan steroid bahwa dalam air
tidak bersifat volatil, karena senyawa
tersebut adalah struktur molekul yang besar
dan didalamnya terdapat gugus OH sehingga
mudah berikatan dengan air (Robinson,
1991). Senyawa yang sudah berikatan
dengan air tidak akan mudah untuk lepas ke
udara.
D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati72
Kelangsungan hidup udang windu
Penaeus monodon
Tingkat kelangsungan hidup kontrol
saat perendaman CEPM sebelum uji tantang
WSSV tercatat paling rendah dibandingkan
semua perlakuan (54,7%). Hal ini
dikarenakan pada kontrol tidak ada
pemberian CEPM sehingga diduga
kemungkinan daya tahan tubuh dan
kecernaan kurang baik yang ditunjukkan oleh
banyaknya sisa pakan dan kotoran kasar.
Kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada
perlakuan 250 ppm dengan nilai 63,0%. Hal
ini menunjukkan bahwa perendaman CEPM
pada perlakuan ini paling optimal, sehingga
memberikan pengaruh yang bagus terhadap
kekebalan/daya tahan tubuh udang uji.
Pasca uji tantang WSSV terjadi
peningkatan kelangsungan hidup yang sangat
signifikan pada perlakuan 250 ppm, sebesar
98,4%. Sesuai dengan penjelasan diawal
bahwa sebelum uji tantang, udang uji diberi
perlakuan CEPM yang berfungsi sebagai
immunostimulan tubuh. Proses ini diduga
telah mampu merangsang sistem kekebalan
tubuh udang terhadap serangan penyakit
khususnya WSSV karena prinsip dari
pemberian immonostimulan adalah
meningkatkan aktivitas dan reaktivitas
pertahanan, baik seluler maupun humoral
karena dapat meningkatkan aktivitas
fagositik dari sel hemosit. Hemosit
merupakan faktor yang berperan penting
dalam pertahanan seluler non spesifik.
Pemanfaatan immunostimulan dapat
mengoptimalkan produksi budidaya melalui
peningkatan ketahanan tubuh udang windu
atau ikan terhadap penyakit infeksi
(Alifuddin, 2002.). Krustasea memiliki
mekanisme spesifik untuk mendeteksi
senyawa-senyawa asing, dengan mengenali
karakteristik senyawa seperti
lipopolisakarida (LPS) dan β-glucan yang
terdapat pada bakteri dan fungi. Pada udang,
komponen mikrobial ini dapat mengaktifkan
fungsi pertahanan seluler seperti fagositosis,
melanisasi, enkapsulasi, dan koagulasi
(Chanratchakool and Limsuwan, 1998 dalam
Fadli, 2000).
Baik saat perendaman CEPM dan pasca
uji tantang, perlakuan 250 ppm merupakan
perlakuan yang paling optimal. Sedangkan
pada kontrol dan perlakuan lainnya
mengalami penurunan bahkan kematian total
dengan kelangsungan hidup 0,00%.
Terjadinya kematian total ini
menggambarkan keganasan WSSV. Tngkat
keganasan yang tinggi dari WSSV
merupakan hasil refres WSSV pada udang
untuk inokulan yang sempurna, tingkat
patogenitas perendaman WSSV 300% dan
kemungkinan terjadi infeksi ganda terhadap
udang uji akibat perendaman dengan CEPM.
Sesuai dengan berbagai data dari awal bahwa
saat perendaman CEPM dan pasca uji
tantang menunjukkan pada kontrol dan
perlakuan selain perlakuan 250 ppm tidak
optimal.
0
20
40
60
80
100
0 250 500 750 1000
Konsentrasi CEPM (ppm)
KelangsunganHidup(%)
Perendaman CEPM Uji Tantang WSSV
Gambar 1. Grafik tingkat kelangsungan hidup udang uji perendaman CEPM dan pasca uji
tantang WSSV
Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 73
Dari data tingkat kelangsungan hidup
dapat diketahui pola hubungan antara dosis
CEPM dengan peningkatan kelangsungan
hidup hewan uji, tingkat kelangsungan hidup
akan turun diatas perlakuan 250 ppm dan
perlahan naik lagi sampai perlakuan 1000
ppm. Jika digambarkan adalah bentuk
setengah parabola terbalik (-). Dengan jelas
dapat dilihat bahwa perlakuan 250 ppm
menunjukkan tingkat kelangsungan hidup
tertinggi baik sebelum dan sesudah uji
tantang. Hal ini menunjukkan udang uji
dalam perlakuan ini lebih mampu bertahan
dari serangan WSSV dari pada kontrol dan
kelompok perlakuan lainnya. Sehingga
dengan dosis 250 ppm membuat kekebalan
tubuh udang meningkat serta virus menjadi
lemah (tidak virulen), walaupun udang tetap
terinfeksi tetapi mampu meningkatkan
imunitas tubuhnya.
Dengan demikian, perlakuan 250 ppm,
merupakan perlakuan yang paling baik/ideal
untuk digunakan. Ada dua kemungkinan
yang dapat dijelaskan dengan perendaman
CEPM. Pertama, CEPM yang masuk
kedalam tubuh udang telah membentuk
ketahanan tubuh udang semakin meningkat.
Kedua, WSSV yang menyerang udang
dengan tingkat patogenitas 300% menjadi
lemah (tidak virulen) terhadap udang uji.
Terdapat pengertian bahwa vaksin adalah
bahan atau bakteri dan virus yang
dilemahkan untuk meningkatkan ketahanan
tubuh makhluk hidup. Dengan pengertian
tersebut apabila alasan yang kedua dapat
diduga sebagai vaksin maka perlakuan 250
ppm memiliki tingkat kelayakan yang tinggi
dengan nilai RPS (Relatif Percen survival)
sebesar 98,4%. Menurut Ellis (1988)
menyatakan bahwa suatu vaksin dianggap
cukup layak apabila nilai RPS-nya lebih dari
60%.
Tingkat kerusakan sel dan patogenitas
WSSV
Dari analisis secara histologi terhadap
beberapa jaringan organ udang uji
menggambarkan tingkat patogenitas WSSV.
Perkembangan harian inti sel yang
mengalami hipertropi karena serangan
WSSV pada kontrol dan perlakuan di sajikan
pada Tabel 3.
Pengamatan histologi yang dilakukan
secara mikroskopis menggambarkan
penginfeksian secara seluler, tingkat
keganasan yang digunakan sebagai acuan
adalah menurut Lightner (1996) yaitu;
Stadia 0 : inti sel normal, tidak ada infeksi
Stadia 1 : Sel sedikit membengkak,
berbadan inklusi, inti sel di tengah
berwarna kemerahan
Stadia 2 : Sel bengkak dengan inti sel ke
pinggir berwarna kemerahan
Stadia 3 : Sel membengkak, inti sel
berwarna biru kehitaman
Stadia 4 : Sel pecah, inti sel keluar dari sel,
warna biru kehitaman.
Infeksi yang terjadi sampai stadia-4
yang merupakan stadia infeksi tertinggi
ditunjukkan dengan pecahnya inti sel
(Lightner, 1996). Kemunculan stadia 4 saat
perendaman CEPM hanya terjadi pada
perlakuan 750 ppm, pada organ usus (hari
ke-13). Hal ini disebabkan karena preparat
histologi memiliki irisan yang terlalu tebal
dan pewarnaan yang terlalu pekat sehingga
dalam pengamatan dengan mikroskop sel
terlihat gelap seperti sel stadia 4.
Tabel. 3. Waktu awal kemunculan stadia 4 infeksi WSSV pada organ udang uji selama
pemeliharaan
Parameter
Waktu Kemunculan (Hari)
Perendaman CEPM Uji Tantang WSSV
0 250 500 750 1000 0 250 500 750 1000
Limfoid 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Usus 0 0 0 13 0 0 0 0 8 0
Epidermis Kulit 0 0 0 0 0 9 0 0 6 0
Insang 0 0 0 0 0 7 14 7 8 7
Hepatopankrteas 0 0 0 0 0 0 12 8 0 8
D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati74
Dan sebetulnya usus bukan organ target
utama inveksi WSSV, sesuai dengan
pendapat Vlak et al (2002) bahwa organ
target WSSV adalah jaringan yang berasal
dari epidermis dan mesodermal seperti
insang, limfoid dan epithelium kutikular.
Pasca uji tantang kelompok perlakuan
mengalami kerusakan paling cepat adalah
perlakuan 750 ppm (hari ke-6). Perlakuan
yang paling bagus kembali terjadi pada
perlakuan 250 ppm dengan kemunculan
paling akhir yaitu hari ke-12.
Pola waktu kemunculan stadia 4 pada
masing-masing perlakuan adalah semakin
cepat dengan semakin meningkatnya dosis
CEPM Avicennia dan sonneratia kecuali
perlakuan 1000 ppm. Akan tetapi perbedaan
kecepatannya tidak signifikan terhadap
kontrol yaitu selisih 1 hari lebih cepat pada
perlakuan dengan rata-rata kemunculan pada
hari ke-7 kecuali perlakuan 250 ppm. Hal ini
menunjukkan bahwa patogenitas WSSV pada
perlakuan 250 ppm tidak virulen. Dapat
dilihat dari Lampiran 6 awal munculnya
stadia 4 dan frekuensi munculnya stadia 4
paling awal dan paling sering muncul pada
perlakuan 750 ppm, yaitu hari ke-6 dengan
frekuensi kemunculan 9 kali. Hal ini
dimungkinkan karena infeksi ganda yang
disebabkan oleh virus dan CEPM. Pada
perlakuan lainnya rata-rata frekeunsi
munculnya stadia 4 yaitu 2 kali.
Terinfeksinya sel udang oleh WSSV sampai
stadia terparah (stadia 4) tidak langsung
mematikan fungsi organ, namun tergantung
pada banyaknya sel yang terinfeksi hingga
stadia 4.
Perubahan kualitas air baik pada saat
perendaman CEPM dan uji tantang WSSV
tidak menunjukkan perbedaan yang
siknifikan. Semua parameter yang diamati
berada pada kondisi normal dengan nilai
rata-rata suhu pagi dan malam hari berturut-
turut adalah 26 0
C dan 27 0
C, salinitas awal
dan akhir berturut adalah 33 0
/00 dan 30 0
/00
dan pH awal dan akhir adalah 8. menurut
Lee dalam Wijayanti (1996) bahwa udang
dapat hidup dan tumbuh normal diperairan
dengan suhu 25-32 0
C, pH 8-9 dan DO
(Disolved Oxygen) 4-8 mg/l dan udang
windu dapat hidup dengan kadar salinitas 3-
35 0
/00 (Murtidjo, 1989), oleh karena itu
udang windu bersifat euryhalin.
KESIMPULAN
Penggunaan cairan ekstrak pohon
mangrove (CEPM) Avicennia sp. dan
Sonneratia sp., memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap patogenitas WSSV dan
udang uji pada setiap perlakuan. Perlakuan
yang optimal yaitu pada dosis 250 ppm,
dimana pada perlakuan ini dapat
meningkatkan kelangsungan hidup udang uji
yang diuji tantang dengan white spot
syndrome virus (WSSV) dengan tingkat
kelangsungan hidup 98,4%.
DAFTAR PUSTAKA
Alday-Sanz. 1995. Technical report short
course on shrimp disease and health
management. English Ed. Ministry of
Higher Education, Republic
Indonesia.SCN-Lavalin Internasional,
Inc. In association with International
Development Program of Australia
University and Colleges. PT. Hasfarm
Dian Consultan.
Alifuddin, M. 2002. Immunostimulan pada
hewan akuatik. Jurnal Akuakultur
Indonesia 1(2). Hal 87-90
Alwir, Y. 2001. Isolasi, penentuan komposisi
kimia dan uji biologi senyawa steroid
dari cacing laut, Eunice siciliensis.
Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Baidi, B. 2002. Uji patogenitas White Spot
Syndrome Virus (WSSV) terhadap
udang windu (Penaeus monodon
Fabricus) pada konsentrasi 20 mg/ml
secara perendaman selama 30, 60 dan
90 menit.
Ellis, A. E. 1988. Fish vaccination. Academic
Press. New York. 255 hal.
Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 75
Fadli, N. 2000. Evaluasi perlakuan
pemberian immunostimulan terhadap
larva udang windu (Penaeus
monodon Fabr.) di Hatchery. Skripsi.
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Bogor
Hameed, A. S. S, M. Anilkumar, M.L.S.Raj
and K. Jayaraman.1998. Studies on
the pathogenicity of systemic
ectodermal mesodermal baculovirus
and its detection in shrimp by
immunological methods. Aquaculture
160 : 31- 45
Harismah, K. 2002. Daun jambu biji untuk
sariawan. suara merdeka 15 Juni.
http://www.suaramerdeka.com/harian
/0206/15/ragam2.htm
Hobart M.J. and Mc. Connel. 1975. The
Immune system: a course on the
molecular and cellular basis on
immunity. Blackwell Scientific
Publications. Alden Press, Oxford.
Great Britain. p:317-318.
Lightner, D.V.1996. A Handbook of shrimp
patology and diagnostic prosedurs for
diseases of culture penaeid shrimp in
Asia. World Aquaculture Society.
Baton Rounge, LA. USA.350 p.
Mardjono, M., D. Suwoyo, dan E.
Kusnendar. 1999. Perbaikan daya
hahan benih udang windu melalui
perbaikan nutrisi. Laporan Kegiatan
th. 1998-1999. Dirjen Perikanan.
BBPBAP Jepara. Jepara. Hal : 26-29.
Maryani, 2003. Peranan ekstrak kelopak dan
buah mangrove Sonneratia caseolaris
(L) terhadap infeksi bakteri Vibrio
harveyi pada udang windu (Penaeus
monodon Fabr.). Tesis. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Murtidjo, B. A. 1989. Budidaya udang dan
bandeng. Kanisius, Yogyakarta. 138
hal.
Purbomartono, C. 1993. Kemungkinan
vaksin pada udang penaeid.
Departemen Pertanian, Direktorat
Jendral Perikanan. Balai Budidaya
Air Payau. Jepara.
Robinson, T. 1991. Kandungan organik
tumbuhan tinggi. Terjemahan
Kosasih Padmawinata 1995. Penerbit
ITB. Bandung. 367 hal.
Supriatna, A. 2004. Pengaruh perendaman
ekstrak biji mangrove, Xylocarpus
granatum ( 25, 50 dan 100 ppm
selama 30 menit) terhadap
Patogenitas White Spot Syndrom
Virus (WSSV) pada udang windu
(Panaeus monodon Fabr.). Skripsi.
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Vlak, Just M., Jean-Robert Bonami, Tim W.
Flegel, Guang-Hsiung Kou, Donald
V. Lighner, Chu-fang Lo, Philip C.
Loh and Peter J. Walker. 2002. A
New virus family infecting aquatik
invertebrates. XIIth International
Congress of Virology. Paris.
Wang, Y. G., M. Shariff, P.M. Sudha, P.S.
Srinivasa Rao, M.D. Hassan and L.T.
Tan. 1998. Managing white spot
disease in shrimp, Infofish
International.p : 30-36.
Wijayanti, A. 1996. Diagnosis penyakit viral
pada udang windu. BBPBAP Jepara.
Zulham, R. 2004. Potensi ekstrak mangrove
Sonneratia Caseolaris dan Avicennia
marina untuk pengendalian bakteri
Vibrio harveyi pada larva udang
windu (Panaeus monodon Farb.).
Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

More Related Content

What's hot

04. Rancangan Acak Lengkap
04. Rancangan Acak Lengkap04. Rancangan Acak Lengkap
04. Rancangan Acak LengkapIr. Zakaria, M.M
 
Pengendalian Kualitas Statistik #3
Pengendalian Kualitas Statistik #3Pengendalian Kualitas Statistik #3
Pengendalian Kualitas Statistik #3Adhitya Akbar
 
05. p berganda
05. p berganda05. p berganda
05. p bergandaUNTAN
 
Klasifikasi jamur Ascomycota
Klasifikasi jamur AscomycotaKlasifikasi jamur Ascomycota
Klasifikasi jamur AscomycotaDhynie Wahyudi
 
Rancangan acak lengkap (ral)
Rancangan acak lengkap (ral)Rancangan acak lengkap (ral)
Rancangan acak lengkap (ral)Muhammad Luthfan
 
Pewarnaan histokimia
Pewarnaan histokimiaPewarnaan histokimia
Pewarnaan histokimiaIrwin Septian
 
Analisis Regresi dan Korelasi.ppt
Analisis Regresi dan Korelasi.pptAnalisis Regresi dan Korelasi.ppt
Analisis Regresi dan Korelasi.pptssusera89b03
 
Kel 5 plasmodium malariae
Kel 5 plasmodium malariaeKel 5 plasmodium malariae
Kel 5 plasmodium malariaeKen Ken
 
Manajemen kesehatan ternak kambing & domba
Manajemen kesehatan ternak kambing & dombaManajemen kesehatan ternak kambing & domba
Manajemen kesehatan ternak kambing & dombaRahardi Gautama
 
08. data hilang (missing data)
08. data hilang (missing data)08. data hilang (missing data)
08. data hilang (missing data)Jauhar Anam
 
Rancangan acak lengkap (RAL)
Rancangan acak lengkap (RAL)Rancangan acak lengkap (RAL)
Rancangan acak lengkap (RAL)Muhammad Eko
 
Rancangan Petak Berjalur (Split Blok)
Rancangan Petak Berjalur (Split Blok)Rancangan Petak Berjalur (Split Blok)
Rancangan Petak Berjalur (Split Blok)Ade Setiawan
 
Kelompok 4
Kelompok 4Kelompok 4
Kelompok 4progsus6
 
16. modul peluang (probabilitas) pak sukani
16. modul peluang (probabilitas) pak sukani16. modul peluang (probabilitas) pak sukani
16. modul peluang (probabilitas) pak sukanisukani
 

What's hot (20)

04. Rancangan Acak Lengkap
04. Rancangan Acak Lengkap04. Rancangan Acak Lengkap
04. Rancangan Acak Lengkap
 
RANCANGAN ACAK KELOMPOK
RANCANGAN ACAK KELOMPOKRANCANGAN ACAK KELOMPOK
RANCANGAN ACAK KELOMPOK
 
Tabel tukey-hsd bnj
Tabel tukey-hsd bnjTabel tukey-hsd bnj
Tabel tukey-hsd bnj
 
Modul konservasi tanah
Modul konservasi tanahModul konservasi tanah
Modul konservasi tanah
 
Pengendalian Kualitas Statistik #3
Pengendalian Kualitas Statistik #3Pengendalian Kualitas Statistik #3
Pengendalian Kualitas Statistik #3
 
05. p berganda
05. p berganda05. p berganda
05. p berganda
 
Klasifikasi jamur Ascomycota
Klasifikasi jamur AscomycotaKlasifikasi jamur Ascomycota
Klasifikasi jamur Ascomycota
 
Rancangan acak lengkap (ral)
Rancangan acak lengkap (ral)Rancangan acak lengkap (ral)
Rancangan acak lengkap (ral)
 
Pewarnaan histokimia
Pewarnaan histokimiaPewarnaan histokimia
Pewarnaan histokimia
 
Analisis Regresi dan Korelasi.ppt
Analisis Regresi dan Korelasi.pptAnalisis Regresi dan Korelasi.ppt
Analisis Regresi dan Korelasi.ppt
 
Kel 5 plasmodium malariae
Kel 5 plasmodium malariaeKel 5 plasmodium malariae
Kel 5 plasmodium malariae
 
Manajemen kesehatan ternak kambing & domba
Manajemen kesehatan ternak kambing & dombaManajemen kesehatan ternak kambing & domba
Manajemen kesehatan ternak kambing & domba
 
manajemen kesehatan ternak
manajemen kesehatan ternakmanajemen kesehatan ternak
manajemen kesehatan ternak
 
08. data hilang (missing data)
08. data hilang (missing data)08. data hilang (missing data)
08. data hilang (missing data)
 
Rancangan acak lengkap (RAL)
Rancangan acak lengkap (RAL)Rancangan acak lengkap (RAL)
Rancangan acak lengkap (RAL)
 
Rancangan Petak Berjalur (Split Blok)
Rancangan Petak Berjalur (Split Blok)Rancangan Petak Berjalur (Split Blok)
Rancangan Petak Berjalur (Split Blok)
 
Uji BNT
Uji BNTUji BNT
Uji BNT
 
Kelompok 4
Kelompok 4Kelompok 4
Kelompok 4
 
Mikroba rumen ruminansia
Mikroba rumen ruminansiaMikroba rumen ruminansia
Mikroba rumen ruminansia
 
16. modul peluang (probabilitas) pak sukani
16. modul peluang (probabilitas) pak sukani16. modul peluang (probabilitas) pak sukani
16. modul peluang (probabilitas) pak sukani
 

Similar to PENCEGAHAN INFEKSI VIRUS WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) PADA UDANG WINDU Penaeus monodon DENGAN CAIRAN EKSTRAK POHON MANGROVE (CEPM) Avicennia sp. DAN Sonneratia sp.

PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...Repository Ipb
 
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...Repository Ipb
 
merekayasa-teknik-pembesaran-ikan-ramah-lingkungan_compress.pptx
merekayasa-teknik-pembesaran-ikan-ramah-lingkungan_compress.pptxmerekayasa-teknik-pembesaran-ikan-ramah-lingkungan_compress.pptx
merekayasa-teknik-pembesaran-ikan-ramah-lingkungan_compress.pptxMansurJaya
 
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER CAPIT MERAH Cherax quadricarinatus...
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER CAPIT MERAH Cherax quadricarinatus...PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER CAPIT MERAH Cherax quadricarinatus...
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER CAPIT MERAH Cherax quadricarinatus...Repository Ipb
 
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversiFidara Aprionika
 
Andrew hidayat 93209-id-kajian-perbedaan-konsentrasi-larutan-gar
 Andrew hidayat   93209-id-kajian-perbedaan-konsentrasi-larutan-gar Andrew hidayat   93209-id-kajian-perbedaan-konsentrasi-larutan-gar
Andrew hidayat 93209-id-kajian-perbedaan-konsentrasi-larutan-garAndrew Hidayat
 
PROSPEK BUAH MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTIL...
PROSPEK BUAH MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTIL...PROSPEK BUAH MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTIL...
PROSPEK BUAH MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTIL...Repository Ipb
 
Mt lasut 2002-diazinon-seaurchin-ekoton
Mt lasut 2002-diazinon-seaurchin-ekotonMt lasut 2002-diazinon-seaurchin-ekoton
Mt lasut 2002-diazinon-seaurchin-ekotonMarkus T Lasut
 
Uji Efektivitas UV Dalam Mereduksi Beberapa Bakteri Pathogen Dari Sumber Med...
Uji Efektivitas UV  Dalam Mereduksi Beberapa Bakteri Pathogen Dari Sumber Med...Uji Efektivitas UV  Dalam Mereduksi Beberapa Bakteri Pathogen Dari Sumber Med...
Uji Efektivitas UV Dalam Mereduksi Beberapa Bakteri Pathogen Dari Sumber Med...BBAP takalar
 
Efikasi_Oxytetracycline_Terhadap_Kesehatan_Ikan_Le.pdf
Efikasi_Oxytetracycline_Terhadap_Kesehatan_Ikan_Le.pdfEfikasi_Oxytetracycline_Terhadap_Kesehatan_Ikan_Le.pdf
Efikasi_Oxytetracycline_Terhadap_Kesehatan_Ikan_Le.pdfekohendrigunawan1
 
pengaruh vitamin c terhadap efikasi vaksin sel utuh pada ikan nila terhadap p...
pengaruh vitamin c terhadap efikasi vaksin sel utuh pada ikan nila terhadap p...pengaruh vitamin c terhadap efikasi vaksin sel utuh pada ikan nila terhadap p...
pengaruh vitamin c terhadap efikasi vaksin sel utuh pada ikan nila terhadap p...sefti dwinanti
 
pengendalian hama penyakit untuk ikan .ppt
pengendalian hama penyakit untuk ikan .pptpengendalian hama penyakit untuk ikan .ppt
pengendalian hama penyakit untuk ikan .pptYulyaFitria1
 
Laporan Magang Kantor kesehatan pelabuhan kelas 1 surabya
Laporan Magang Kantor kesehatan pelabuhan kelas 1 surabyaLaporan Magang Kantor kesehatan pelabuhan kelas 1 surabya
Laporan Magang Kantor kesehatan pelabuhan kelas 1 surabyaAzmi Umi A
 

Similar to PENCEGAHAN INFEKSI VIRUS WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) PADA UDANG WINDU Penaeus monodon DENGAN CAIRAN EKSTRAK POHON MANGROVE (CEPM) Avicennia sp. DAN Sonneratia sp. (20)

PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
 
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
 
Balai perikanan budidaya laut batam Identifikasi keberadaan Nervous Necrosis ...
Balai perikanan budidaya laut batam Identifikasi keberadaan Nervous Necrosis ...Balai perikanan budidaya laut batam Identifikasi keberadaan Nervous Necrosis ...
Balai perikanan budidaya laut batam Identifikasi keberadaan Nervous Necrosis ...
 
Identifikasi keberadaan nervous necrosis virus dan iridovirus pada budidaya i...
Identifikasi keberadaan nervous necrosis virus dan iridovirus pada budidaya i...Identifikasi keberadaan nervous necrosis virus dan iridovirus pada budidaya i...
Identifikasi keberadaan nervous necrosis virus dan iridovirus pada budidaya i...
 
merekayasa-teknik-pembesaran-ikan-ramah-lingkungan_compress.pptx
merekayasa-teknik-pembesaran-ikan-ramah-lingkungan_compress.pptxmerekayasa-teknik-pembesaran-ikan-ramah-lingkungan_compress.pptx
merekayasa-teknik-pembesaran-ikan-ramah-lingkungan_compress.pptx
 
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER CAPIT MERAH Cherax quadricarinatus...
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER CAPIT MERAH Cherax quadricarinatus...PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER CAPIT MERAH Cherax quadricarinatus...
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER CAPIT MERAH Cherax quadricarinatus...
 
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
 
Andrew hidayat 93209-id-kajian-perbedaan-konsentrasi-larutan-gar
 Andrew hidayat   93209-id-kajian-perbedaan-konsentrasi-larutan-gar Andrew hidayat   93209-id-kajian-perbedaan-konsentrasi-larutan-gar
Andrew hidayat 93209-id-kajian-perbedaan-konsentrasi-larutan-gar
 
PROSPEK BUAH MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTIL...
PROSPEK BUAH MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTIL...PROSPEK BUAH MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTIL...
PROSPEK BUAH MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MOTIL...
 
Mt lasut 2002-diazinon-seaurchin-ekoton
Mt lasut 2002-diazinon-seaurchin-ekotonMt lasut 2002-diazinon-seaurchin-ekoton
Mt lasut 2002-diazinon-seaurchin-ekoton
 
Uji Efektivitas UV Dalam Mereduksi Beberapa Bakteri Pathogen Dari Sumber Med...
Uji Efektivitas UV  Dalam Mereduksi Beberapa Bakteri Pathogen Dari Sumber Med...Uji Efektivitas UV  Dalam Mereduksi Beberapa Bakteri Pathogen Dari Sumber Med...
Uji Efektivitas UV Dalam Mereduksi Beberapa Bakteri Pathogen Dari Sumber Med...
 
PPT Mikro Kel. 5.pdf
PPT Mikro Kel. 5.pdfPPT Mikro Kel. 5.pdf
PPT Mikro Kel. 5.pdf
 
Dampak poly β-hydroxybutirate pada pemeliharaan larva udang galah macrobrachi...
Dampak poly β-hydroxybutirate pada pemeliharaan larva udang galah macrobrachi...Dampak poly β-hydroxybutirate pada pemeliharaan larva udang galah macrobrachi...
Dampak poly β-hydroxybutirate pada pemeliharaan larva udang galah macrobrachi...
 
Efikasi_Oxytetracycline_Terhadap_Kesehatan_Ikan_Le.pdf
Efikasi_Oxytetracycline_Terhadap_Kesehatan_Ikan_Le.pdfEfikasi_Oxytetracycline_Terhadap_Kesehatan_Ikan_Le.pdf
Efikasi_Oxytetracycline_Terhadap_Kesehatan_Ikan_Le.pdf
 
pengaruh vitamin c terhadap efikasi vaksin sel utuh pada ikan nila terhadap p...
pengaruh vitamin c terhadap efikasi vaksin sel utuh pada ikan nila terhadap p...pengaruh vitamin c terhadap efikasi vaksin sel utuh pada ikan nila terhadap p...
pengaruh vitamin c terhadap efikasi vaksin sel utuh pada ikan nila terhadap p...
 
pengendalian hama penyakit untuk ikan .ppt
pengendalian hama penyakit untuk ikan .pptpengendalian hama penyakit untuk ikan .ppt
pengendalian hama penyakit untuk ikan .ppt
 
Laporan Magang Kantor kesehatan pelabuhan kelas 1 surabya
Laporan Magang Kantor kesehatan pelabuhan kelas 1 surabyaLaporan Magang Kantor kesehatan pelabuhan kelas 1 surabya
Laporan Magang Kantor kesehatan pelabuhan kelas 1 surabya
 
Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan
Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguanPemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan
Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan
 
Romi novriadi pengendalian hama dan penyakit ikan
Romi novriadi pengendalian hama dan penyakit ikanRomi novriadi pengendalian hama dan penyakit ikan
Romi novriadi pengendalian hama dan penyakit ikan
 
Romi novriadi pengendalian hama dan penyakit ikan
Romi novriadi pengendalian hama dan penyakit ikanRomi novriadi pengendalian hama dan penyakit ikan
Romi novriadi pengendalian hama dan penyakit ikan
 

More from Repository Ipb

Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Repository Ipb
 
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Repository Ipb
 
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...Repository Ipb
 
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...Repository Ipb
 
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...Repository Ipb
 
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...Repository Ipb
 
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...Repository Ipb
 
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUMTHERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUMRepository Ipb
 
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIKSTUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIKRepository Ipb
 
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIATHERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIARepository Ipb
 
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...Repository Ipb
 
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...Repository Ipb
 
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...Repository Ipb
 
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIFBRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIFRepository Ipb
 
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...Repository Ipb
 
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...Repository Ipb
 
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...Repository Ipb
 
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...Repository Ipb
 
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...Repository Ipb
 

More from Repository Ipb (20)

Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
 
Peta ipb
Peta ipbPeta ipb
Peta ipb
 
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
 
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
 
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
 
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
 
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
 
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
 
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUMTHERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
 
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIKSTUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
 
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIATHERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
 
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
 
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
 
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
 
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIFBRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
 
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
 
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
 
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
 
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
 
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
 

Recently uploaded

OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxDedeRosza
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...nuraji51
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaAndreRangga1
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKgamelamalaal
 
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptxPPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptxJawahirIhsan
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"baimmuhammad71
 
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptKenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptnovibernadina
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxsalmnor
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAppgauliananda03
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Program Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - PerencanaanProgram Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - PerencanaanAdePutraTunggali
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxMaskuratulMunawaroh
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptnabilafarahdiba95
 
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024ssuser0bf64e
 
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxContoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxIvvatulAini
 

Recently uploaded (20)

OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
 
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptxPPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptKenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Program Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - PerencanaanProgram Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - Perencanaan
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024
 
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxContoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
 

PENCEGAHAN INFEKSI VIRUS WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) PADA UDANG WINDU Penaeus monodon DENGAN CAIRAN EKSTRAK POHON MANGROVE (CEPM) Avicennia sp. DAN Sonneratia sp.

  • 1. Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 65 PENCEGAHAN INFEKSI VIRUS WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) PADA UDANG WINDU Penaeus monodon DENGAN CAIRAN EKSTRAK POHON MANGROVE (CEPM) Avicennia sp. DAN Sonneratia sp. Prevention of White Spot Syndrome Virus Infection on Penaeus monodon by Immersion in CEPM Extract of Avicennia sp. and Sonneratia sp. D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680 ABSTRACT The quality and survival rate are still being the problem that hampers the productivity of black tiger shrimp, Penaeus monodon culture. Impaired quality of larval shrimp and environmental conditions can confer shrimp be infected by diseases, including viruses such as white spot syndrome virus (WSSV). Prevention of disease infection using chemicals can offer negative impacts on water, pathogen resistance and consumers. This study was conducted to examine the efficacy of an alternative prevention compound as liquid mangrove extract (CEPM) from Avicennia sp. and Sonneratia sp. By immersion in different dose of CEPM, i.e. 250, 500, 750 and 1000 ppm, the patogenicity of WSSV was found to be different. Patogenicity of WSSV decreased after treatment by CEPM, hence this could be used to induce shrimp immunity. Optimum dose of CEPM was 250 ppm, which could increased survival rate of shrimp after challenging by WSSV, up to 98.4% shrimp survived. Keywrods: WSSV, black tiger shrimp, extract, Avicennia sp., Sonneratia sp. ABSTRAK Kualitas dan kelangsungan hidup merupakan masalah yang masih membatasi produktivitas budidaya udang windu Penaeus monodon. Kondisi udang dan kualitas lingkungan yang kurang baik dapat menyebabkan udang terserang penyakit, termasuk yang disebabkan oleh virus termasuk white spot syndrome virus (WSSV). Upaya pengendaliannya menggunakan bahan kimia secara berlebih dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perairan, kesehatan konsumen dan menimbulkan resistensi patogen. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas bahan alternatif berupa cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM) dari jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp. sebagai upaya pencegahan. Dengan perendaman beberapa konsentrasi yang berbeda (250, 500, 750 dan 1000 ppm) penggunaan cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM) Avicennia sp. dan Sonneratia sp., memberikan pengaruh yang berbeda terhadap patogenitas WSSV dan udang uji pada setiap perlakuan. Tingkat patogenitas WSSV relatif menurun setelah perlakuan tersebut sehingga dapat digunakan untuk merangsang kekebalan tubuh udang. Perlakuan yang optimal yaitu pada dosis 250 ppm, dimana pada perlakuan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang uji yang diuji tantang dengan white spot syndrome virus (WSSV) dengan tingkat kelangsungan hidup 98,4 %. Kata kunci: WSSV, udang windu, ekstrak, Avicennia sp., Sonneratia sp. PENDAHULUAN Masalah utama pada budidaya udang windu Penaeus monodon adalah kualitas dan kelangsungan hidup udang yang rendah. Hal ini disebabkan karena kualitas lingkungan yang kurang baik dan pada stadia larva udang telah menjadi pembawa penyakit, termasuk yang disebabkan oleh virus. Jenis virus yang sering menyerang yaitu white spot syndrome virus (WSSV). Beberapa hasil penelitian dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kualitas benih dapat ditingkatkan antara lain melalui rekayasa genetik, aplikasi probiotik, pengelolaan lingkungan dan perbaikan nutrisi Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(1): 65-75 (2006) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id
  • 2. D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati66 (Mardjono, et al. 1999). Lingkungan yang kurang baik akan menjadi penyebab datangnya bakteri dan virus, oleh karena itu pengelolaan lingkungan merupakan salah satu langkah utama dalam mengantisipasi timbulnya penyakit pada larva udang di hatchery. Pengendalian perluasan penyakit perlu dilakukan secara dini agar kerugian ekonomi tidak terjadi. Peningkatan kualitas benih udang windu khususnya peningkatan ketahanan terhadap penyakit adalah hal yang sangat penting. Salah satu prosedur pencegahan penyakit di hatchery yang disarankan oleh Wang, et al. (1998) adalah pemberian immunostimulan untuk meningkatkan daya tahan atau kekebalan alami benih udang terhadap penyakit. Upaya penggunaan bahan kimia yang berlebihan dapat menimbulkan dampak bagi lingkungan perairan, kesehatan konsumen dan menimbulkan resistensi patogen (Alifuddin, 1998 dalam Fadli, 2000). Upaya- upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah penyakit sudah dilakukan mulai dari screening formalin sampai pada penggunaan antibiotik, yang dilakukan pada kegiatan pembenihan sampai pembesaran. Tetapi pemakaian antibiotik secara terus menerus dan dosis yang tidak tepat akan mengakibatkan bakteri menjadi resisten (Lightner et al., 1992 dalam Zulham. 2004). Dampak lain dari pemberian antibiotik adalah terakumulasinya antibiotik dalam tubuh udang sehingga membahayakan konsumen. Untuk menghindari hal tersebut penggunaan bahan yang bersifat alamiah merupakan pilihan yang tepat. Suatu bahan alamiah yang mempunyai fungsi memperbaiki kondisi lingkungan dan sebagai immunostimulan bagi tubuh udang sangat diharapkan, sehingga tidak terjadi pemakaian beberapa macam obat yang berlebihan dan menyebabkan resisten bagi patogen. Bahan alternatif untuk menanggulangi masalah ini adalah cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM), khususnya dari jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp. Pohon mangrove diketahui mengandung senyawa aktif tannin, flavonoid, saponin dan steroid. Senyawa aktif tersebut dapat digunakan sebagai antivirus dan antibakteri (Robinson, 1991; Hara 1993 dalam Harismah 2002; Minocha and Tiwar dalam Maryani, 2003). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Cairan Ekstrak Pohon Mangrove Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dengan dosis yang berbeda sebagai pencegahan terhadap infeksi White Spot Syndrome Virus pada udang windu. BAHAN DAN METODE Prosedur penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap yaitu tahap awal, penyediaan CEPM, perendaman larva udang windu dengan CEPM, pemeliharaan dan pengamatan harian udang uji, penyediaan virus, uji tantang dengan WSSV, pengamatan fisiologi dan tingkah laku, pengambilan sample dan pengamatan morfologi, preparasi dan pengamatan histologi serta analisis data. Sterilisasi alat dan wadah Alat dan wadah yang akan digunakan disterilisasi menggunakan KMnO4, dan sterilisasi media (air) menggunakan kaporit. Screening formalin 400 ppm dan polymerase chain reaction (PCR) dilakukan sebelum udang uji diberi perlakuan dan diadaptasikan selama 7 hari. Penyediaan Cairan Ekstrak Pohon Mangrove (CEPM) Cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM) dari jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp. diperoleh dengan cara membakar seluruh bagian pohon mangrove didalam alat pembakar tertutup. Uap yang dihasilkan didestilasi dan ditampung sehingga menghasilkan uap cair. Cairan tersebut diambil sebagai cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM). Perendaman larva udang windu dengan Cairan Ekstrak Pohon Mangrove (CEPM) Udang uji dengan kepadatan 7 ekor/liter direndam dengan CEPM dengan dosis masing-masing akuarium 0 ppm (Kontrol), 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm,
  • 3. Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 67 1000 ppm. Hal ini dilakukan karena dengan perendaman udang windu dalam ekstrak daun Sonneratia caseolaris diperoleh kelangsungan hidup udang tertinggi dalam konsentrasi 500 ppm (Zulham 2004). Pemeliharaan dilakukan dari stadia PL20 sampai PL45. Sebelum dilakukan perendaman, terlebih dahulu dilakukan uji fisiologis terhadap udang meliputi respon makan, gerak, kemerahan pada tubuh dan bintik putih. Pemeliharaan dan pengamatan harian udang uji Udang stadia PL20 dengan kepadatan 7 ekor/liter dipelihara dalam akuarium selama 25 hari dengan aerasi yang cukup untuk setiap perlakuan. Pakan yang diberikan adalah Artemia sp. dan pakan buatan berupa pellet komersil dengan frekuensi pemberian sebanyak 5 kali yaitu pada pukul 07.00, 11.00, 15.00 dan 19.00. Setelah 25 hari, dilakukan uji tantang dengan WSSV. Pengamatan harian meliputi: Perkembangan dan kondisi larva, kelangsungan hidup serta pengecekan kualitas air diantaranya penyiponan, pergantian air 30-50 %/hari (Murtidjo, 1989), suhu, salinitas dan pH. Penyediaan virus Virus diambil dari organ insang udang windu terinfeksi WSSV yang berasal dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Sebanyak 1 gram organ udang yang terinfeksi WSSV digerus sampai halus dan dilarutkan dalam 9 ml air laut steril, kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 3000 g selama 30 menit dan 8000 g selama 20 menit. Supernatan yang dihasilkan disaring dengan kertas miliphore 0,45 μm menggunakan filter holder dan syringe (Hameed et al., 1997). Uji tantang dengan White Spot Syndrome Virus (WSSV) Uji penularan WSSV dilakukan melalui perendaman dalam 1 liter larutan virus dengan pengenceran 10-3 (konsentrasi 20 µg/ml) kedalam wadah penularan selama 90 menit. Udang uji dipelihara selama 14 hari. Pengamatan hari pertama uji tantang setiap 12 jam dan untuk selanjutnya dilakukan setiap 24 jam. Sebelumnya dilakukan pengenceran sediaan virus sampai 10-3 . Pengamatan dan pengambilan sampel Pengamatan fisiologi yang dilakukan antara lain respon makan, cara berenang, kemerahan pada tubuh (perubahan warna tubuh), bintik putih pada karapas serta penghitungan udang yang mati selama pemeliharaan (Wang et al., 1998; Lightner, 1996; Hameed et al.,1997). Pengambilan sampel udang uji dilakukan setiap 12 jam pada hari pertama dan 24 jam sekali pada hari berikutnya sebanyak 2 ekor untuk setiap perlakuan. Dari 2 ekor udang uji yang diambil dilakukan pengamatan morfologi yang meliputi warna tubuh, kelainan bentuk maupun warna pada rostrum, karapas maxiliped, antenna, antenulla, periopod, pleopod, hepatopankreas, telson dan uropod serta kelengkapan organnya dan keadaan tubuh secara visual (Alday-Sanz, 1995). Setelah melakukan pengamatan kemudian difiksasi dalam larutan Davidson selama 24 jam dan diganti dengan alkohol setiap 24 jam sebagai tahap awal dari preparasi histologi. Sedangkan udang yang mati difiksasi dalam wadah tersendiri dan dibedakan untuk setiap perlakuan. Preparasi dan pengamatan histologi Preparasi meliputi proses fiksasi, dehidrasi, clearing, embedding, pemotongan serta pewarnaan berdasarkan metode Lightner (1996). Preparat histologi diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 x, 600x dan 1000x. Dari data ini diperoleh frekuensi infeksi (prevalensi) serta tingkat keganasan dari infeksi WSSV pada udang uji berdasarkan standart Lighner (1996). Analisis data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang meliputi tingkat keganasan WSSV, prevalensi organ dan tingkat kelangsungan hidup (Lightner, 1996; Ellis, 1988).
  • 4. D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati68 %100 diperiksayangorgan nfeksiorgan teri organPrevalensi %100 awaludang akhirudang hidupanKelangsung %100 K V 1RPS Keterangan : RPS = Relative percent Survival (%) V = Mortalitas udang yang di vaksin (%) K = Mortalitas ikan Kontrol (%) RPS > 60 % : bahan layak digunakan sebagai vaksin. RPS < 60 % : Suatu tidak layak digunakan sebagai vaksin HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala klinis Gejala klinis yang timbul pada udang terinfeksi WSSV antara lain penurunan konsumsi pakan, lemah, kutikula lepas, hepatopankreas pucat dan anoreksia. Juga terlihat letargi, berenang dengan kondisi tidak stabil, warna kemerahan pada abdomen dan bintik putih pada karapas. Saat perendaman cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM), gejala klinis yang terdeteksi pada hari ke-1 yaitu hepatopankreas pucat kecuali pada perlakuan 750 ppm. Perubahan aktivitas renang ke arah lebih aktif terjadi pada semua perlakuan CEPM yaitu pada hari ke-1 kecuali pada kontrol yaitu pada hari ke-6. Prubahan warna tubuh menunjukkan semakin tinggi dosis perlakuan semakin cepat terjadi perubahan warna tubuh menjadi bening, perubahan paling cepat pada hari ke-9 yaitu perlakuan 1000 ppm. Respon makan menurun pada hari terakhir (hari ke-25) pada perlakuan kontrol yang terlihat dari jumlah sisa pakan yang diberikan mencapai setengah dari pakan yang diberikan, selebihnya tidak terlihat penurunan nafsu makan karena semakin tinggi dosis perlakuan CEPM kecernaan semakin baik dengan melihat sisa pakan yang semakin sedikit dan kotoran yang semakin halus. Respon makan udang kontrol pasca uji tantang WSSV menurun paling cepat yaitu terjadi pada hari ke-1. Aktivitas renang semakin aktif terjadi pada hari ke-1 terlihat pada perlakuan 500 ppm, 750 ppm dan 1000 ppm. Sedangkan perlakuan 250 ppm, aktivitas renang meningkaat pada hari ke-2. Aktivitas renang pada kontrol menurun sejak hari ke-2 dan meningkat pada hari ke-5 pasca uji tantang WSSV. Semakin tinggi dosis perlakuan, perubahan warna tubuh semakin hari semakin bening sejak hari pertama. Hepatopankreas pucat paling cepat terjadi pada hari ke-2 yaitu pada perlakuan 750 ppm, kemudian kontrol pada hari ke-8. Untuk perlakuan yang lain tidak ditemukan hepatopankreas yang pucat. Kemunculan bintik putih pada karapas dapat diketahui dari hasil pangamatan pada mikroskop. Pada kontrol, kemunculan bintik putih terjadi pada hari ke-2, berikutnya hari ke-3 terjadi pada perlakuan 250 ppm, 750 ppm dan 1000 ppm. Kemunculan bintik putih terakhir terjadi pada perlakuan 500 ppm yaitu pada hari ke-4. Setelah diketahui hari pertama penyerangan WSSV pada masing- masing perlakuan, maka dapat dilihat kematian awal terjadi setelah penyerangan WSSV yaitu pada hari ke-3 terjadi pada kontrol, kemudian hari ke-4 terjadi pada perlakuan 500 ppm, 750 ppm dan 1000 ppm. Kematian paling rendah pada perlakuan 250 ppm. Pengamatan udang uji terhadap respon makan, aktivitas renang, perubahan warna, hepatopankreas pucat, mata memerah dan bintik putih menunjukkan bahwa secara umum udang uji telah terinfeksi WSSV. Hal ini sesuai dengan ciri gejala klinis serangan white spot yang dilaporkan oleh Hameed, et al. (1998) yaitu terjadi penurunan konsumsi makan, lemah, kutikula lepas, dan terjadi pelunturan warna pada hepatopankreas dari warna merah muda hingga menjadi coklat kemerahan, anoreksia, lethargi, warna kemerahan pada abdomen dan bintik putih. Respon makan semakin baik dengan meningkatnya dosis perlakuan. Semakin tinggi dosis perlakuan maka semakin bening
  • 5. Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 69 tubuh udang yang menunjukkan tanda-tanda udang sehat, tidak terlihat mata memerah. Bintik putih merupakan gejala yang spesifik pada udang yang terserang WSSV sedangkan letargi seperti penurunan nafsu makan dan aktifitas renang merupakan gejala umum hewan terinfeksi WSSV (Vlak, et al., 2002). Munculnya bintik putih pada kontrol lebih cepat dan terjadi kematian lebih awal dibanding perlakuan yang lain. Hal ini dikarenakan pada perlakuan kontrol tidak mendapat perlakuan perendaman CEPM yang berfungsi sebagai immunostimulan, hasil refres sebelum uji tantang WSSV menunjukkan hasil yang sempurna dan perendaman udang uji dengan WSSV dengan tingkat patogenitas 300 kali yaitu dengan waktu perendaman 1,5 jam. Pengaruh ini juga terlihat pada akhir kematian yaitu terjadi kematian total paling cepat pada kontrol pada hari ke-9. Pada saat perendaman CEPM, hepatopankreas berwarna pucat dan antenna terdeteksi dengan kelainan organ yang paling tinggi yaitu 50%. Kelainan organ rostrum, antenula, periopod dan ekor terjadi sebanyak 25%. Namun tidak ditemukan kelainan pada organ lainnya. Kelainan organ pada ekor terjadi hanya pada satu perlakuan yaitu perlakuan 500 ppm dengan prosentase 25%. Kerusakan organ pada antenulla terjadi hanya pada 2 perlakuan yaitu 250 ppm dan 1000 ppm, dengan persentase 25%. Kemerahan tubuh, bintik putih, mata memerah dan pleopod berada pada prosentase paling rendah yaitu 0%. Dari data diatas menunjukkan bahwa pemberian immunostimulan pada hewan uji tidak memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap perkembangan hidup hewan uji, hal ini terjadi dalam taraf kewajaran dan proses penyerapan CEPM kedalam tubuh udang masih dapat ditolelir. Setelah dilakukan uji tantang dengan WSSV persentase kelainan organ paling tinggi terjadi pada perlakuan kontrol yaitu pada antenna (88,23%) dan periopod (82,35%). Persentase bintik putih paling tinggi juga terjadi pada kontrol (70,58%), sedangkan persentase paling rendah pada perlakuan 500 ppm yaitu 14,28%. Untuk kelainan organ hepatopankreas pucat hanya terjadi pada kontrol dengan persentase 17,64% dan tidak terjadi pada masing- masing perlakuan kecuali pada perlakuan 750 ppm sebesar 4%. Sementara rostrum, pleopod dan ekor kelainan organ berada pada persentase rendah dibawah 30 %. Kondisi klinis terbaik terjadi pada perlakuan 250 ppm, bintik putih muncul pada hari ke-3 saat dilakukan pengamatan morfologi tubuh secara mikroskopis. Kematian awal terjadi pada awal hari ke-9 dengan indikasi kanibal karena udang ditemukan dengan kondisi kepala terputus. Hal ini juga diperkuat dengan frekuensi kematian yang terjadi hanya satu kali. Pada perlakuan 250 ppm, hasil pengamatan gejala klinis menunjukkan WSSV menyerang pada udang uji namun tidak virulen lagi akibat pemberian perlakuan CEPM yang berfungsi sebagai immunostimulan pada udang. Tabel 1. Perubahan kondisi udang uji selama pemeliharaan Parameter Waktu Awal Kemunculan (Hari ke-) Perendaman CEPM Uji Tantang WSSV 0 250 500 750 1000 0 250 500 750 1000 Nafsu makan turun 25 25 - - - 1 6 4 4 - Aktivitas renang meningkat 6 1 1 1 1 5 2 1 1 1 Warna tubuh menjadi bening 17 12 13 11 9 1 1> 1>> 1>> 1>>> Hepatopangkreas pucat 1 1 1 - 1 8 - - 2 - Mata memerah - - - - - - - - - - Bintik Putih - - - - - 2 3 4 3 3 Kematian Pasca Infeksi WSSV - - - - - 3 9 4 4 4 Kematian Total - - - - - 9 - 11 12 9 Keterangan: > = Menunjukkan tingkat kebeningan tubuh.
  • 6. D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati70 Dari pengamatan parameter gejala klinis udang uji selama pemeliharaan, khususnya bintik putih pada karapas, menunjukan bahwa WSSV masih dapat menginfeksi udang uji yang direndam dengan CEPM pada semua perlakuan. Waktu kemunculan gejala klinis yang berbeda tiap perlakuan dan kontrol menunjukan bahwa tingkat infeksi WSSV berbeda bahkan tidak virulen terhadap tubuh udang. Munculnya bintik putih dan kematian yang terjadi lebih awal atau lebih cepat pada kontrol daripada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan secara perendaman udang uji dalam CEPM Avicennia sp. dan Sonneratia sp., berpengaruh terhadap patogenisitas WSSV. Terjadinya peningkatan kelainan pada beberapa organ dan infeksi white spot setelah uji tantang WSSV pada kontrol dan perlakuan yang diberikan selain perlakuan 250 ppm, diduga karena aktifnya WSSV dalam menyerang inang. Hal ini ditunjukkan pada hasil refres WSSV yang diperoleh dari udang yang terserang WSSV, refres menggunakan udang berukuran 15-20 gram. Hasil tersebut menggambarkan Virulennya WSSV, sehingga seluruh karapas pada udang refres terdapat banyak bintik putih pada hari ke-2 dan ke-3 dan seluruh tubuh memerah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wijayati et al. (2001) bahwa udang windu terlihat menunjukkan bercak putih pada seluruh tubuhnya dalam waktu 48 jam setelah diinfeksi. Hal ini juga dipicu oleh perendaman udang uji dengan WSSV dengan tingkat patogenitas 300 kali yaitu dengan waktu perendaman 1,5 jam. Sesuai dengan hasil penelitian Baidi (2002) menunjukkan bahwa frekuensi kejadian 100% sudah terjadi pada inokulasi 30 menit, dengan kata lain bahwa pada perendaman udang uji dengan WSSV selama 30 menit patogenitas WSSV 100%. Terdapat kemungkinan juga karena infeksi ganda baik oleh virus aktif dan perlakuan CEPM, walaupun sebelum dilakukan uji tantang perlakuan CEPM tidak berdampak yang merugikan bagi kehidupan udang, hal itu dimungkinkan karena udang masih dapat mentolelir. Tetapi jika perlakuan CEPM yang diberikan optimal maka justru akan meningkatkan daya tahan tubuh udang sehingga udang kebal terhadap virus. Hal ini dapat dilihat dari kematian pada kontrol dan semua perlakuan kecuali pada perlakuan 250 ppm adalah 100%, dengan kematian paling cepat terjadi pada kontrol dan 1000 ppm. Diduga senyawa dalam pohon mangrove yang berpengaruh terhadap patogenitas WSSV adalah flavonoid dan tannin. Kemungkinan yang juga berpengaruh adalah saponin dan steroid. Flavonoid adalah senyawa yang digunakan sebagai antimikroba dan antivirus dan dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernafasan. Beberapa flavonoid menghambat fosfodiesterase, aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, transkriptase balik, DNA polymerase dan lipooksigenase (Robinson, 1991). Tabel 2. Prosentase kelainan organ Parameter Perendaman CEPM (%) Uji Tantang WSSV (%) 0 250 500 750 1000 0 250 500 750 1000 Warna kemerahan pada tubuh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Hepatopankreas pucat 50,00 25,00 50,00 0,00 50,00 17,64 0,00 0,00 4,00 0,00 Mata memerah 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Bintik putih pada karapas 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 70,58 32,14 14,28 16,00 43,75 Rostrum 25,00 25,00 50,00 25,00 0,00 11,76 17,85 19,04 16,00 12,50 Antena 50,00 50,00 50,00 50,00 50,00 88,23 82,14 66,66 72,00 75,00 Antenulla 0,00 25,00 0,00 0,00 25,00 52,94 28,57 14,28 28,00 25,00 Pleopod 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29,41 14,28 14,28 24,00 25,00 Periopod 25,00 0,00 25,00 25,00 25,00 82,35 39,28 38,09 48,00 56,25 Ekor geripis 0,00 0,00 25,00 0,00 0,00 11,76 28,57 23,80 20,00 12,50
  • 7. Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 71 Aktivitas antivirus oleh flavonoid juga terjadi dengan menghambat ATP dan enzim phospholipase yaitu enzim yang membantu asam nukleat dalam proses replikasi sehingga virus menjadi lemah (Jesekera, 1991 dalam Supriatna, 2004). Sedangkan tannin digunakan sebagai antimikrobia. Sebagaimana dikatakan oleh Hara (1993) dalam Harismah (2002) bahwa senyawa tannin dapat digunakan sebagai antimikroba dan antivirus. Pada stuktur kimia tannin terdapat gugus pirogalol dan gugus galoil sebagai anti mikrobia dan sifat penghambatan terhadap mikrolen oleh stuktur tersier persenyawaan gugus katekol atau pirogalol dengan gugus galoil-nya (Shimamura et al, 1998 dalam Supriatna, 2004). Saponin adalah senyawa toksik yang kuat dengan mempengaruhi hemolisis sel darah merah (Robinson, 1991). Dalam larutan yang sangat encer, saponin digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja juga sebagai antimikroba. Dikenal dua jenis saponin yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida stuktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedunya larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter. Saponin dari jenis triterpenoid mudah berikatan dengan gula sehingga mudah masuk kedalam sistem tubuh, mudah di hidrolisis dan bersifat seperti surfaktan. Beberapa senyawa dari triterpenoid bekerja sebagai antifungus, insektisida atau antipemangsa, menstimulasi serangga bertelur dan sebagai antibakteri dan antivirus. Sedangkan steroid berfungsi sebagai pembawa bagi senyawa lain untuk memudahkan masuk kedalam sel, karena memiliki molekul yang berukuran kecil sehingga dapat masuk keseluruh sel (Alwir, 2001). Dengan menggunakan ekstrak CEPM Avicennia sp. dan Sonneratia sp diharapkan senyawa aktif yang terkandung di dalamnya dapat berfungsi sebagai imonostimulan bagi tubuh udang dan dapat melemahkan virus white spot. Dari hasil uji ini, diduga bahwa CEPM dapat digunakan sebagai bahan pembuat vaksin yang berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh udang. Seperti yang dikatakan Purbomartono (1993) bahwa vaksin berguna untuk memperoleh kekebalan aktif dan khas yang berguna untuk perlindungan terhadap serangan penyakit. Salah satu cara untuk membuat vaksin adalah dengan inaktivasi virus. Dari hasil penelitian Supriatna (2004) menunjukkan bahwa ekstrak biji mangrove Xylocarpus granatum dengan dosis tertentu membuat virus lebih lemah dan mampu meningkatkan sistem imunitas tubuh udang yang ditunjukkan dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Vaksin ini bertujuan untuk menginaktifkan asam nukleat tanpa mengganggu selubungnya sehingga sifat antigen virus benar-benar utuh sedangkan virus tidak dapat berkembangbiak dalam sel inang sehingga masih dapat di kenal sebagai patogen yang dapat merangsang udang uji untuk menghasilkan antibodi. Tetapi permasalahannya untuk invertebrate seperti udang yang merupakan krustacea kecil, kemampuan non-spesifik antibody lebih berkembang dibandingkan kemampuan spesifik antibody. Sesuai dengan pernyataan Hobart and Mc Connel (1975) bahwa sistem kekebalan tubuh udang terdiri dari 2 komponen utama yaitu mekanisme kekebalan non-spesifik dan mekanisme kekebalan spesifik. Mekanisme kekebalan non-spesifik menempati bagian paling depan dari sistem pertahanan tubuh dan secara luas bertanggungjawab terhadap kekebalan alami yang dimiliki hewan terhadap sebagian mikroorganisme yang berasal dari lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan berulang-ulang dalam pemberian vaksin (diperbaharui) dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu pemberian immunostimulan dengan perendaman dalam air atau media itu lebih efektif di banding penyuntikan vaksin. Metode perendaman dilakukan dengan melihat kandungan senyawa flavonoid, saponin, tannin dan steroid bahwa dalam air tidak bersifat volatil, karena senyawa tersebut adalah struktur molekul yang besar dan didalamnya terdapat gugus OH sehingga mudah berikatan dengan air (Robinson, 1991). Senyawa yang sudah berikatan dengan air tidak akan mudah untuk lepas ke udara.
  • 8. D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati72 Kelangsungan hidup udang windu Penaeus monodon Tingkat kelangsungan hidup kontrol saat perendaman CEPM sebelum uji tantang WSSV tercatat paling rendah dibandingkan semua perlakuan (54,7%). Hal ini dikarenakan pada kontrol tidak ada pemberian CEPM sehingga diduga kemungkinan daya tahan tubuh dan kecernaan kurang baik yang ditunjukkan oleh banyaknya sisa pakan dan kotoran kasar. Kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan 250 ppm dengan nilai 63,0%. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman CEPM pada perlakuan ini paling optimal, sehingga memberikan pengaruh yang bagus terhadap kekebalan/daya tahan tubuh udang uji. Pasca uji tantang WSSV terjadi peningkatan kelangsungan hidup yang sangat signifikan pada perlakuan 250 ppm, sebesar 98,4%. Sesuai dengan penjelasan diawal bahwa sebelum uji tantang, udang uji diberi perlakuan CEPM yang berfungsi sebagai immunostimulan tubuh. Proses ini diduga telah mampu merangsang sistem kekebalan tubuh udang terhadap serangan penyakit khususnya WSSV karena prinsip dari pemberian immonostimulan adalah meningkatkan aktivitas dan reaktivitas pertahanan, baik seluler maupun humoral karena dapat meningkatkan aktivitas fagositik dari sel hemosit. Hemosit merupakan faktor yang berperan penting dalam pertahanan seluler non spesifik. Pemanfaatan immunostimulan dapat mengoptimalkan produksi budidaya melalui peningkatan ketahanan tubuh udang windu atau ikan terhadap penyakit infeksi (Alifuddin, 2002.). Krustasea memiliki mekanisme spesifik untuk mendeteksi senyawa-senyawa asing, dengan mengenali karakteristik senyawa seperti lipopolisakarida (LPS) dan β-glucan yang terdapat pada bakteri dan fungi. Pada udang, komponen mikrobial ini dapat mengaktifkan fungsi pertahanan seluler seperti fagositosis, melanisasi, enkapsulasi, dan koagulasi (Chanratchakool and Limsuwan, 1998 dalam Fadli, 2000). Baik saat perendaman CEPM dan pasca uji tantang, perlakuan 250 ppm merupakan perlakuan yang paling optimal. Sedangkan pada kontrol dan perlakuan lainnya mengalami penurunan bahkan kematian total dengan kelangsungan hidup 0,00%. Terjadinya kematian total ini menggambarkan keganasan WSSV. Tngkat keganasan yang tinggi dari WSSV merupakan hasil refres WSSV pada udang untuk inokulan yang sempurna, tingkat patogenitas perendaman WSSV 300% dan kemungkinan terjadi infeksi ganda terhadap udang uji akibat perendaman dengan CEPM. Sesuai dengan berbagai data dari awal bahwa saat perendaman CEPM dan pasca uji tantang menunjukkan pada kontrol dan perlakuan selain perlakuan 250 ppm tidak optimal. 0 20 40 60 80 100 0 250 500 750 1000 Konsentrasi CEPM (ppm) KelangsunganHidup(%) Perendaman CEPM Uji Tantang WSSV Gambar 1. Grafik tingkat kelangsungan hidup udang uji perendaman CEPM dan pasca uji tantang WSSV
  • 9. Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 73 Dari data tingkat kelangsungan hidup dapat diketahui pola hubungan antara dosis CEPM dengan peningkatan kelangsungan hidup hewan uji, tingkat kelangsungan hidup akan turun diatas perlakuan 250 ppm dan perlahan naik lagi sampai perlakuan 1000 ppm. Jika digambarkan adalah bentuk setengah parabola terbalik (-). Dengan jelas dapat dilihat bahwa perlakuan 250 ppm menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi baik sebelum dan sesudah uji tantang. Hal ini menunjukkan udang uji dalam perlakuan ini lebih mampu bertahan dari serangan WSSV dari pada kontrol dan kelompok perlakuan lainnya. Sehingga dengan dosis 250 ppm membuat kekebalan tubuh udang meningkat serta virus menjadi lemah (tidak virulen), walaupun udang tetap terinfeksi tetapi mampu meningkatkan imunitas tubuhnya. Dengan demikian, perlakuan 250 ppm, merupakan perlakuan yang paling baik/ideal untuk digunakan. Ada dua kemungkinan yang dapat dijelaskan dengan perendaman CEPM. Pertama, CEPM yang masuk kedalam tubuh udang telah membentuk ketahanan tubuh udang semakin meningkat. Kedua, WSSV yang menyerang udang dengan tingkat patogenitas 300% menjadi lemah (tidak virulen) terhadap udang uji. Terdapat pengertian bahwa vaksin adalah bahan atau bakteri dan virus yang dilemahkan untuk meningkatkan ketahanan tubuh makhluk hidup. Dengan pengertian tersebut apabila alasan yang kedua dapat diduga sebagai vaksin maka perlakuan 250 ppm memiliki tingkat kelayakan yang tinggi dengan nilai RPS (Relatif Percen survival) sebesar 98,4%. Menurut Ellis (1988) menyatakan bahwa suatu vaksin dianggap cukup layak apabila nilai RPS-nya lebih dari 60%. Tingkat kerusakan sel dan patogenitas WSSV Dari analisis secara histologi terhadap beberapa jaringan organ udang uji menggambarkan tingkat patogenitas WSSV. Perkembangan harian inti sel yang mengalami hipertropi karena serangan WSSV pada kontrol dan perlakuan di sajikan pada Tabel 3. Pengamatan histologi yang dilakukan secara mikroskopis menggambarkan penginfeksian secara seluler, tingkat keganasan yang digunakan sebagai acuan adalah menurut Lightner (1996) yaitu; Stadia 0 : inti sel normal, tidak ada infeksi Stadia 1 : Sel sedikit membengkak, berbadan inklusi, inti sel di tengah berwarna kemerahan Stadia 2 : Sel bengkak dengan inti sel ke pinggir berwarna kemerahan Stadia 3 : Sel membengkak, inti sel berwarna biru kehitaman Stadia 4 : Sel pecah, inti sel keluar dari sel, warna biru kehitaman. Infeksi yang terjadi sampai stadia-4 yang merupakan stadia infeksi tertinggi ditunjukkan dengan pecahnya inti sel (Lightner, 1996). Kemunculan stadia 4 saat perendaman CEPM hanya terjadi pada perlakuan 750 ppm, pada organ usus (hari ke-13). Hal ini disebabkan karena preparat histologi memiliki irisan yang terlalu tebal dan pewarnaan yang terlalu pekat sehingga dalam pengamatan dengan mikroskop sel terlihat gelap seperti sel stadia 4. Tabel. 3. Waktu awal kemunculan stadia 4 infeksi WSSV pada organ udang uji selama pemeliharaan Parameter Waktu Kemunculan (Hari) Perendaman CEPM Uji Tantang WSSV 0 250 500 750 1000 0 250 500 750 1000 Limfoid 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Usus 0 0 0 13 0 0 0 0 8 0 Epidermis Kulit 0 0 0 0 0 9 0 0 6 0 Insang 0 0 0 0 0 7 14 7 8 7 Hepatopankrteas 0 0 0 0 0 0 12 8 0 8
  • 10. D. Wahjuningrum, S. H. Sholeh dan S. Nuryati74 Dan sebetulnya usus bukan organ target utama inveksi WSSV, sesuai dengan pendapat Vlak et al (2002) bahwa organ target WSSV adalah jaringan yang berasal dari epidermis dan mesodermal seperti insang, limfoid dan epithelium kutikular. Pasca uji tantang kelompok perlakuan mengalami kerusakan paling cepat adalah perlakuan 750 ppm (hari ke-6). Perlakuan yang paling bagus kembali terjadi pada perlakuan 250 ppm dengan kemunculan paling akhir yaitu hari ke-12. Pola waktu kemunculan stadia 4 pada masing-masing perlakuan adalah semakin cepat dengan semakin meningkatnya dosis CEPM Avicennia dan sonneratia kecuali perlakuan 1000 ppm. Akan tetapi perbedaan kecepatannya tidak signifikan terhadap kontrol yaitu selisih 1 hari lebih cepat pada perlakuan dengan rata-rata kemunculan pada hari ke-7 kecuali perlakuan 250 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa patogenitas WSSV pada perlakuan 250 ppm tidak virulen. Dapat dilihat dari Lampiran 6 awal munculnya stadia 4 dan frekuensi munculnya stadia 4 paling awal dan paling sering muncul pada perlakuan 750 ppm, yaitu hari ke-6 dengan frekuensi kemunculan 9 kali. Hal ini dimungkinkan karena infeksi ganda yang disebabkan oleh virus dan CEPM. Pada perlakuan lainnya rata-rata frekeunsi munculnya stadia 4 yaitu 2 kali. Terinfeksinya sel udang oleh WSSV sampai stadia terparah (stadia 4) tidak langsung mematikan fungsi organ, namun tergantung pada banyaknya sel yang terinfeksi hingga stadia 4. Perubahan kualitas air baik pada saat perendaman CEPM dan uji tantang WSSV tidak menunjukkan perbedaan yang siknifikan. Semua parameter yang diamati berada pada kondisi normal dengan nilai rata-rata suhu pagi dan malam hari berturut- turut adalah 26 0 C dan 27 0 C, salinitas awal dan akhir berturut adalah 33 0 /00 dan 30 0 /00 dan pH awal dan akhir adalah 8. menurut Lee dalam Wijayanti (1996) bahwa udang dapat hidup dan tumbuh normal diperairan dengan suhu 25-32 0 C, pH 8-9 dan DO (Disolved Oxygen) 4-8 mg/l dan udang windu dapat hidup dengan kadar salinitas 3- 35 0 /00 (Murtidjo, 1989), oleh karena itu udang windu bersifat euryhalin. KESIMPULAN Penggunaan cairan ekstrak pohon mangrove (CEPM) Avicennia sp. dan Sonneratia sp., memberikan pengaruh yang berbeda terhadap patogenitas WSSV dan udang uji pada setiap perlakuan. Perlakuan yang optimal yaitu pada dosis 250 ppm, dimana pada perlakuan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang uji yang diuji tantang dengan white spot syndrome virus (WSSV) dengan tingkat kelangsungan hidup 98,4%. DAFTAR PUSTAKA Alday-Sanz. 1995. Technical report short course on shrimp disease and health management. English Ed. Ministry of Higher Education, Republic Indonesia.SCN-Lavalin Internasional, Inc. In association with International Development Program of Australia University and Colleges. PT. Hasfarm Dian Consultan. Alifuddin, M. 2002. Immunostimulan pada hewan akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia 1(2). Hal 87-90 Alwir, Y. 2001. Isolasi, penentuan komposisi kimia dan uji biologi senyawa steroid dari cacing laut, Eunice siciliensis. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Baidi, B. 2002. Uji patogenitas White Spot Syndrome Virus (WSSV) terhadap udang windu (Penaeus monodon Fabricus) pada konsentrasi 20 mg/ml secara perendaman selama 30, 60 dan 90 menit. Ellis, A. E. 1988. Fish vaccination. Academic Press. New York. 255 hal.
  • 11. Pencegahan infeksi virus white spot syndrome virus 75 Fadli, N. 2000. Evaluasi perlakuan pemberian immunostimulan terhadap larva udang windu (Penaeus monodon Fabr.) di Hatchery. Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor Hameed, A. S. S, M. Anilkumar, M.L.S.Raj and K. Jayaraman.1998. Studies on the pathogenicity of systemic ectodermal mesodermal baculovirus and its detection in shrimp by immunological methods. Aquaculture 160 : 31- 45 Harismah, K. 2002. Daun jambu biji untuk sariawan. suara merdeka 15 Juni. http://www.suaramerdeka.com/harian /0206/15/ragam2.htm Hobart M.J. and Mc. Connel. 1975. The Immune system: a course on the molecular and cellular basis on immunity. Blackwell Scientific Publications. Alden Press, Oxford. Great Britain. p:317-318. Lightner, D.V.1996. A Handbook of shrimp patology and diagnostic prosedurs for diseases of culture penaeid shrimp in Asia. World Aquaculture Society. Baton Rounge, LA. USA.350 p. Mardjono, M., D. Suwoyo, dan E. Kusnendar. 1999. Perbaikan daya hahan benih udang windu melalui perbaikan nutrisi. Laporan Kegiatan th. 1998-1999. Dirjen Perikanan. BBPBAP Jepara. Jepara. Hal : 26-29. Maryani, 2003. Peranan ekstrak kelopak dan buah mangrove Sonneratia caseolaris (L) terhadap infeksi bakteri Vibrio harveyi pada udang windu (Penaeus monodon Fabr.). Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Murtidjo, B. A. 1989. Budidaya udang dan bandeng. Kanisius, Yogyakarta. 138 hal. Purbomartono, C. 1993. Kemungkinan vaksin pada udang penaeid. Departemen Pertanian, Direktorat Jendral Perikanan. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. Robinson, T. 1991. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Terjemahan Kosasih Padmawinata 1995. Penerbit ITB. Bandung. 367 hal. Supriatna, A. 2004. Pengaruh perendaman ekstrak biji mangrove, Xylocarpus granatum ( 25, 50 dan 100 ppm selama 30 menit) terhadap Patogenitas White Spot Syndrom Virus (WSSV) pada udang windu (Panaeus monodon Fabr.). Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Vlak, Just M., Jean-Robert Bonami, Tim W. Flegel, Guang-Hsiung Kou, Donald V. Lighner, Chu-fang Lo, Philip C. Loh and Peter J. Walker. 2002. A New virus family infecting aquatik invertebrates. XIIth International Congress of Virology. Paris. Wang, Y. G., M. Shariff, P.M. Sudha, P.S. Srinivasa Rao, M.D. Hassan and L.T. Tan. 1998. Managing white spot disease in shrimp, Infofish International.p : 30-36. Wijayanti, A. 1996. Diagnosis penyakit viral pada udang windu. BBPBAP Jepara. Zulham, R. 2004. Potensi ekstrak mangrove Sonneratia Caseolaris dan Avicennia marina untuk pengendalian bakteri Vibrio harveyi pada larva udang windu (Panaeus monodon Farb.). Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.