SlideShare a Scribd company logo
1 of 55
Download to read offline
INDUKSI MATURASI BELUT SAWAH (Monopterus albus)
SECARA HORMONAL
WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Induksi Maturasi Belut
Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Wiwin Kusuma Atmaja Putra
NRP C151110111
ii
RINGKASAN
WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA. Induksi Maturasi Belut Sawah
(Monopterus albus) Secara Hormonal. Dibimbing AGUS OMAN SUDRAJAT
dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.
Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini. Permasalahan
pada ikan betina adalah kegagalan dalam proses pematangan gonad, ovulasi dan
pemijahan. Belut sawah dengan panjang total 22±2 cm disuntik dengan hormon
Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PMSG), human Chorionic Gonadotropin
(hCG) dan antidopamin (AD). Penelitian ini bertujuan untuk menginduksi
pematangan gonad dan menentukan status kelamin belut sawah. Penelitian ini
menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan
hormon dan tujuh ulangan, seperti: K (NaCl 0,95%), hormon PMSG 20 IU/kg
bobot ikan, hormon hCG 20 IU/kg bobot ikan, antidopamin (AD) 0.01 mg/kg
bobot ikan, hormon PMSG 20 IU+hCG 10 IU/kg bobot ikan, PMSG 20 IU+AD
0.01 mg/kg bobot ikan dan hCG 20 IU+AD 0.01 mg/kg bobot ikan. Akuarium
yang digunakan sebanyak tujuh buah dengan ukuran 79x38x40cm. Hasil
penelitian yang terbaik adalah perlakuan kombinasi hormone PMSG dan
antidopamin dengan konsentrasi hormon estradiol-17β sebesar 235.2 sampai
42.53 pg/ml; nilai GSI sebesar 0.17 sampai 4.36%; nilai HSI sebesar 2.07 sampai
3.52%; diameter telur sebesar 0.48 sampai 3.07 mm; tingkat kematangan gonad
mencapai TKG IV; fekunditas sebanyak 128 butir; pertambahan panjang 0 cm;
pertambahan bobot tubuh sebesar 1.84 g; tingkat kebuntingan 100% dan status
kelamin seluruhnya betina. Hasil ini dikarenakan FSH yang terkandung dalam
PMSG merangsang peningkatan FSH, konsentrasi estradiol-17β akibat kinerja
enzim aromatase, sehingga proses vitellogenesis yang lebih cepat selama 4
minggu, teramati pada peningkatan GSI, HSI, diameter telur, tingkat kematangan
gonad, fekunditas, pertambahan bobot tubuh yang tinggi dan status kelamin.
Kesimpulan penelitian ini adalah induksi maturasi belut sawah dapat dilakukan
dengan penyuntikkan PMSG 20IU +AD 0.01 mg/kg selama empat minggu. Belut
sawah ukuran panjang 22±2 cm dan bobot sekitar 5 sampai 12 g yang diinduksi
dengan PMSG+AD adalah berstatus betina (matang gonad).
Kata kunci: Antidopamin, belut sawah, hCG, maturasi, PMSG
WIWIN KUSUMA ATMAJA
Field Eel (Monopterus albus
BAMBANG PRIYO UTOMO
Rice field eel (Monopterus albus)
fish, often there is a failure in the process of
and spawning. Rice field
hormones Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PSMG), human chorionic
gonadotropin (hCG) and antidopamine (AD).
maturation and determine the status sex
completely randomized design (RAL) with seven treatments and seven
as: Controls (0.95% NaCl
of fish, AD 0.01 mg/kg of fish,
PMSG 20 IU/kg+AD 0.01 mg
mg/kg weight of fish. Aquarium used as many seven pieces with size
cm. The result is best hormone combination treatme
with hormone concentrations of estradiol
0.17 to 4.36%; HSI values
maturity level TKG IV
pregnancy rate 100%;
contained in PMSG stimulates an increase FSH, estradiol
caused performance of the enzyme aromatase
process faster for 4 weeks, look at increasing GSI, H
maturity, fecundity, body weight gain
conclusion of this study is the induction of maturation eel rice can be done with
PMSG 20IU+AD 0.01 mg/kg
with a length of 22±2 cm
results are females (mature)
Keywords: Rice field eel, maturation, PMSG, hCG, antidopamine
SUMMARY
WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA. Hormonal Induction maturation of Rice
Monopterus albus). Guided AGUS OMAN SUDRAJAT and NUR
BAMBANG PRIYO UTOMO
Rice field eel (Monopterus albus) are hermaphroditic protogynous. In the female
fish, often there is a failure in the process of final gonadal maturation, ovulation
Rice field eel with a total length of 22±2 cm by inject
hormones Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PSMG), human chorionic
gonadotropin (hCG) and antidopamine (AD). This study aimed to induce gonadal
maturation and determine the status sex of rice field eel. This study uses a
completely randomized design (RAL) with seven treatments and seven reaply
Controls (0.95% NaCl), PMSG 20 IU/kg weight of fish, hCG 20 IU/kg weight
/kg of fish, PMSG 20 IU/kg+hCG 10 IU/kg weight of fish,
0.01 mg/kg weight of fish, and hCG 20 IU/kg
Aquarium used as many seven pieces with size of
The result is best hormone combination treatment PMSG and antidopamin
hormone concentrations of estradiol-17β 235.2 to 35.43 pg/ml; GSI values
values 2.07 to 3.52%; egg diameter 0.48 to 3.07 mm; gonad
G IV; fecundity 128 eggs; length 0 cm; weights
; and sex status all female. This result because
stimulates an increase FSH, estradiol-17β concentration
ormance of the enzyme aromatase so that affects vitellogenesis
process faster for 4 weeks, look at increasing GSI, HSI, egg diameter, gonad
maturity, fecundity, body weight gain was observed and sexual status
conclusion of this study is the induction of maturation eel rice can be done with
0.01 mg/kg injection for four weeks. Sex status of rice field eel
2 cm and weight of about 5 g until 12 g hormonal induction
(mature).
Keywords: Rice field eel, maturation, PMSG, hCG, antidopamine
iii
Hormonal Induction maturation of Rice
uided AGUS OMAN SUDRAJAT and NUR
In the female
final gonadal maturation, ovulation
2 cm by injecting of
hormones Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PSMG), human chorionic
This study aimed to induce gonadal
This study uses a
reaply such
hCG 20 IU/kg weight
hCG 10 IU/kg weight of fish,
hCG 20 IU/kg +AD 0.01
of 79x38x40
nt PMSG and antidopamin
GSI values
mm; gonad
weights 1.84 g;
This result because of FSH
17β concentration
affects vitellogenesis
I, egg diameter, gonad
and sexual status. The
conclusion of this study is the induction of maturation eel rice can be done with
rice field eel
hormonal induction
iv
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
v
INDUKSI MATURASI BELUT SAWAH (Monopterus albus)
SECARA HORMONAL
WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
vi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Odang Carman MSc
vii
Judul Tesis : Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara
Hormonal
Nama : Wiwin Kusuma Atmaja Putra
NIM : C151110111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana
Budidaya Perairan
Dr Ir Sukenda, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah
Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal yang telah
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Oman Sudrajat,
MSc dan Bapak Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi selaku dosen pembimbing
yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam mengatasi
permasalahan dalam penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
Dr Ir Odang Carman MSc yang telah meluluskan dalam Ujian Tesis. Kepada
Bapak Maranta, kang Abeng, Mbak Lina, Ahya, Farah Diana, Epro Barades, dan
Yudha Lestira D, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dalam
pengambilan data, analsis dan peminjaman alat Laboratorium. Ungkapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan Ayu Puspitasari yang
telah memberi semangat dan doanya sehingga karya ilmiah ini selesai.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi mahasiswa, petani dan peneliti
lainnya, amin.
Bogor, Juli 2013
Wiwin Kusuma Atmaja Putra
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 2
Biologi Belut 2
Tingkat Kematangan Gonad 3
Mekanisme Hormon Reproduksi Ikan 4
Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) 6
Hormon Human Chorionic Gonadotropin (hCG) 6
Antidopamin 7
Kebiasaan Makan dan Pakan Belut 8
3 METODE 9
Bahan 9
Lokasi dan Waktu Penelitian 9
Prosedur Penelitian 9
Analisis Data 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Hasil 15
Pembahasan 25
5 SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 35
RIWAYAT HIDUP 42
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kualitas air media penelitian belut sawah 15
Tabel 4.1 Perkembangan tingkat kematangan gonad belut sawah
pada setiap perlakuan selama penelitian 16
Tabel 4.2 Jumlah belut sawah pada tingkat kematangan gonad
setiap minggu hasil induksi hormonal 19
x
Tabel 4.3 Status kelamin dan ciri-ciri belut sawah matang gonad
hasil induksi hormonal 24
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Belut sawah (Monopterus albus) 2
Gambar 2.2 Mekanisme hormon reproduksi ikan 5
Gambar 2.3 Tahap perkembangan telur pada ikan 5
Gambar 2.4 Mekanisme antidopamin (Domperidone) 7
Gambar 2.5 Cacing tubifex 8
Gambar 4.1 Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi
Hormonal 15
Gambar 4.2 Nilai GSI belut sawah setiap minggu hasil induksi
hormonal 16
Gambar 4.3 Nilai HSI belut sawah setiap minggu hasil induksi
hormonal 16
Gambar 4.4 Nilai GSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu
ke-4 17
Gambar 4.5 Nilai HSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu
ke-4 17
Gambar 4.6 Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah
belut sawah 18
Gambar 4.7 Diameter telur belut sawah hasil induksi secara
hormonal 18
Gambar 4.8 Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu 19
Gambar 4.9 Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-0 dan
minggu ke-1 20
Gambar 4.10 Histologi gonad belut sawah minggu ke-0 dan setiap
perlakuan pada minggu ke-1 20
Gambar 4.11 Hati dan gonad belut sawah pada minggu ke-4 21
Gambar 4.12 Histologi gonad belut sawah setiap perlakuan pada
minggu ke-4 21
Gambar 4.13 Fekunditas belut sawah pada minggu ke-4 22
Gambar 4.14 Pertambahan panjang dan bobot tubuh belut sawah
selama penelitian 22
Gambar 4.15 Pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu
ke-4 23
Gambar 4.16 Pertambahan panjang tubuh belut sawah pada minggu
ke-4 23
Gambar 4.17 Warna perut perut dan anus belut sawah yang belum
matang gonad 24
Gambar 4.18 Warna perut dan anus belut sawah yang matang gonad 24
Gambar 4.19 Hati dan gonad yang belum matang serta telur berwarna
bening 25
Gambar 4.20 Hati dan gonad yang matang gonad serta telur berwarna
Kuning 25
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Gonado Somatik Indeks (GSI) belut sawah setiap
minggu selama penelitian 35
Lampiran 2 Data dan analisis Gonado Somatik Indeks (GSI)
belut sawah pada minggu ke-4 36
Lampiran 3 Data Hepatosomatik Indeks belut sawah setiap minggu
selama penelitian 37
Lampiran 4 Analisis nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) belut sawah
pada minggu ke-4 37
Lampiran 5 Data konsentrasi estradiol-17β belut sawah setiap
minggu selama penelitian 38
Lampiran 6 Data diameter telur belut sawah setiap minggu selama
penelitian 38
Lampiran 7 Data pertambahan bobot dan panjang tubuh belut sawah
setiap minggu selama penelitian 38
Lampiran 8 Data dan analisis pertambahan bobot tubuh belut sawah
pada minggu ke-4 39
Lampiran 9 Data dan analisis pertambahan panjang belut sawah pada
Minggu ke-4 40
Lampiran 10 Biaya pembuatan hormon perlakuan pada penelitian 41
Lampiran 11 Mekanisme kerja hormon perlakuan induksi maturasi
belut sawah 41
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini dengan
perubahan jenis kelamin dari betina, interseks dan jantan (Ye et al. 2007). Ikan ini
dapat ditemukan di wilayah Asia, diantaranya India, Cina, Jepang , Indonesia dan
Malaysia (Froese dan Pauly 2009). Kebutuhan belut di Indonesia masih
mengandalkan penangkapan secara alami yang nantinya akan dipelihara untuk
pembesaran pada media lumpur. Penangkapan belut di alam berdampak negatif
pada ketersediaan belut (induk, benih dan jantan), reproduksi dan produksi benih
di alam semakin menurun. Zohar (1989) mengatakan bahwa hampir semua ikan
yang dipelihara dalam wadah budidaya menunjukkan berbagai bentuk kegagalan
reproduksi. Permasalah reproduksi pada ikan betina yang dipelihara dalam wadah
budidaya diantaranya, pertama, ikan tidak dapat melakukan vitellogenesis; kedua,
ikan tidak mampu melakukan proses pematangan akhir gonad (final oocyte
maturation, FOM); dan ketiga, ikan tidak mampu memijah sebagai tahap akhir
dari siklus reproduksi.
Pembenihan secara buatan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
permasalahan reproduksi ikan. Pembenihan belut sawah sangat bergantung pada
ketersediaan induk matang gonad, tetapi selama ini teknik pematangan gonad dan
status kelamin dari belut sawah belum diketahui. Induksi maturasi secara
manipulasi hormonal merupakan solusi untuk penyediaan induk belut sawah
matang gonad. Perkembangan awal gonad, vitellogenesis dikontrol oleh hormon
FSH dan untuk pematangan gonad-ovulasi oleh hormon LH (Nagahama 1994).
Mekanisme hormon reproduksi ikan pada musim pemijahan secara umum
dikendalikan oleh brain – hypothalamus – pituitary – gonad (Rottmann 1991).
Sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh sistem syaraf
pusat (brain) dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan
melepaskan hormon Gonadotropin Releising Hormone (GnRH) dan dopamin
yang akan bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya, hormon gonadotropin
yang mengandung FSH dan LH akan bekerja pada organ target yaitu gonad.
Hormon FSH berperan merangsang proses vitellogenesis sedangkan LH akan
merangsang proses maturasi hingga ovulasi (Gambar 2.2).
Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan human
Chorionic Gonadotropin (hCG) merupakan salah satu hormon gonadotropin yang
dapat menginduksi proses vitellogenesis dan pematangan akhir pada ikan.
Antidopamin adalah bahan kimia yang bekerja menghambat kerja dopamin,
sehingga sekresi GnRH akan meningkat. Mekasnisme kerja hormon dan bahan
kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah seperti pada Lampiran 11.
Hormon PMSG merupakan Chorionic gonadotropin merupakan hormon yang
berasal dari serum darah kuda betina hamil yang mengandung FSH dan LH,
dimana aktivitasnya lebih condong ke FSH daripada LH sedangkan hCG juga
mengandung FSH dan LH, dimana aktivitasnya lebih condong ke LH daripada
FSH . Induksi hormonal diharapkan mempercepat proses vitellogenesis dan
maturasi sehingga proses ovulasi dan pemijahan dapat dilakukan secara normal
diluar musim. Kriteria status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal
2
diharapkan dapan menjadi acuan penentuan status kelamin belut sawah yang
bersifat morfologi untuk mempermudah pemijahan.
Penyuntikan hormon PMSG pada ikan lele dumbo adalah 10 IU/kg bobot
ikan memberikan pengaruh ovulasi tetapi masih rendah (Rudiana 2000), pada ikan
tor soro dapat merangsang proses maturasi (Wahyuningsih 2012) dan pada ikan
medaka merangsang peningkatan kinerja enzim aromatase (Nagahama 1991).
Dosis terbaik penggunaan hormon PMSG+hCG pada ikan patin adalah 20 IU +10
IU per kg untuk proses rematurasi (Fibriana 2010). Pemberian hormon hCG
dengan dosis 241 sampai 400 IU/kg bobot tubuh ikan baung dapat merangsang
perkembangan, kematangan gonad, dan diameter telur (Nurmahdi 2005).
Menurut Epler et al. (1986), pada beberapa spesies hCG tidak efektif jika
diberikan sendiri karena perkembangan antibodi pada ikan yang disuntik tetapi
dalam kombinasi dengan PMSG atau kelenjar pituitari dapat merangsang ovulasi
ikan Plecoglassus altivelis, dan ikan koan. Penelitian terbaru dalam Wibisono
(2012), dimana penggunaan PMSG+AD dengan dosis 15 IU+0.05 mg/kg pada
belut sawah memberikan pengaruh positif pada nilai Gonado Somatik Indeks
(GSI) sebesar 2,36% dan memacu perkembangan gonad hingga tingkat
kematangan gonad (TKG) IV selama lima minggu. Induksi secara hormonal ini
diharapkan akan memicu proses maturasi hingga belut siap untuk ovulasi dan
memijah secara normal di luar musim pemijahan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
a. Menginduksi pematangan gonad belut sawah secara manipulasi hormonal
b. Penentuan status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Belut
Ada 3 jenis belut yang dikenal yaitu belut rawa (Synbranchus bengalensis),
belut sawah (Monopterus albus) dan belut laut (Macrotema caligans).
Gambar 2.1 Belut sawah (Monopterus albus) (Dokumentasi 2013)
3
Klasifikasi belut menurut Berra (2001) adalah sebagai berikut:
 Phylum : Chordata
 Kelas : Pisces
 Subkelas : Teleostei
 Ordo : Synbranchoidae
 Family : Synbranchidae
 Genus : Synbranchus
 Species : Monopterus albus
Menurut Affandi (2003), jenis kelamin belut sawah pada kisaran panjang
15.6 sampai 28.5 cm (betina), panjang 30 sampai 36.5 cm (peralihan) dan
panjang lebih dari 40 cm (jantan). Chan dan Philips (1967), melakukan Penelitian
didaerah Chungking dan Hongkong mendapat panjang belut betina dibawah
29.9 cm dan jantan diatas 30 cm. Ciri – ciri induk belut sawah jantan dan betina
antara lain (Roy 2009), sebagai berikut :
Jantan
 Berukuran panjang lebih dari 40 cm
 Warna permukaan kulit lebih gelap
 Bentuk kepala tumpul
 Usianya lebih dari10 bulan.
Betina
 Berukuran panjang antara 20 sampai 30 cm
 Warna permukaan kulit lebih cerah
 Warna punggung hijau muda dan warna perut putih kekuningan
 Bentuk kepala runcing
 Usianya kurang dari 9 bulan.
Diameter telur belut sawah sekitar 3 sampai 4 mm, dengan masa fertilisasi
140 jam dan hatching rate 92.8% (Khanh et al. 2010). Menurut Affandi (2003),
fekunditas belut sawah sebanyak 69 sampai 696 butir, tidak jauh berbeda dengan
hasil yang diperoleh pada penelitian Yamin (1997) di daerah persawahan Cibeber,
Cianjur, Jawa Barat yakni 68 sampai 646 butir dan antara 54 sampai 585 butir di
persawahan daerah Parung, Bogor, Jawa Barat (Bahri 2000). Data tentang
fekunditas (jumlah telur/berat tubuh) cenderung berpola kuadratik artinya
meningkat dengan meningkatnya ketinggian (hingga ketinggian 400 m dpl) dan
diatas ketinggian 400 m dpl nilai fekunditas selanjutnya menurun kembali
(Affandi 2003). Habitat belut sawah adalah sawah yang berpengairan teknis
(cukup air), kaya akan bahan organik dan bersuhu relatif tinggi (>26 o
C) (Yusniar
1996), nilai pH berkisar 6.5 sampai 7.0 (Affandi 2003). Kandungan Oksigen
terlarut (DO) yang baik untuk ikan sebesar 4.60 sampai 5.43 mg/L (Boyd 1990).
Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Secara umum peningkatan bobot gonad betina ikan pada saat matang gonad
dapat mencapai 10 sampai 25% dari bobot tubuh dan 5 sampai 10% pada ikan
jantan (Effendie 1997). Perkembangan gonad pada ikan dibagi menjadi dua tahap
yaitu tahap pertumbuhan gonad sejak ikan menetas hingga mencapai tingkat
dewasa kelamin dan tahap kematangan gonad yang berlangsung setelah ikan
4
tersebut dewasa. Gonad akan semakin berat seiring dengan pertambahan ukuran
oosit karena vitellogenesis.
Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri tingkat kematangan gonad (TKG)
belut sawah adalah seperti berikut:
TKG I : Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih
besar dari proporsi jantan
TKG II : Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat berukuran
sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai 90% dari isi gonad
TKG III : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar
antara butiran telur masih rekat sehingga agak sukar dipisahkan,
proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad.
TKG IV : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar,
antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir seluruhnya berisi
dengan proporsi sperma sangat sedikit.
Intersex : Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar.
Sistem Hormon Reproduksi pada Ikan
Menurut Swanson (2008) reproduksi pada ikan, seperti pada vertebrata
tingkat tinggi diatur oleh sistem endokrin reproduksi yang terdiri dari otak
(hypothalamus), kelenjar pituitari dan gonad. Kelenjar pituitari berperan dalam
menginisiasi pematangan reproduksi (puberty), pemeliharaan reproduksi sperma
dan telur pada gonad, merangsang pematangan akhir dan pengeluaran gamet
(spawning).
Faktor yang mempengaruhi reproduksi ikan diantaranya faktor lingkungan,
sistem hormon dan organ reproduksi. Vitellogenesis adalah proses induksi dan
sintesis vitelogenin di hati oleh hormon estradiol-17β, serta penyerapan
vitelogenin yang terbawa aliran darah ke dalam oosit (Tyler et al. 1991). Pada
vitellogenesis sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh
sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan
melepaskan hormon GnRH untuk bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya
hipofisa akan melepas hormon FSH yang bekerja pada lapisan teka pada oosit
sehingga terjadi sintesis testosteron pada lapisan teka. Setelah itu testosteron
masuk kedalam lapisan granulosa dan terjadi proses pengubahan testosteron
menjadi estradiol-17β oleh enzim aromatase. Selanjutnya estradiol-17β akan
merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning
telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan secara selektif
terjadi penyerapan oleh lapisan folikel oosit (Nagahama 1983; Yaron 1995;
Blazquet et al. 1998). Akibat dari proses penyerapan vitelogenin adalah oosit akan
tumbuh membesar sampai kemudian berhenti bila telah mencapai ukuran yang
maksimum. Keadaan ini disebut fase dorman, dimana telur hanya menunggu
sinyal lingkungan untuk memijah. Aktifitas vitellogenesis ini menyebabkan nilai
GSI dan HSI ikan meningkat (Cerda et al. 1996). Sintesis vitelogenin dipengaruhi
oleh estradiol-17β yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin.
Selain itu dipengaruhi juga oleh androgen yang ada dalam tubuh ikan, karena
androgen ini akan diubah menjadi estrogen oleh aeromatase hati (Peyon et al.
dalam Yaron 1995) dan diduga kandungan fitoestrogen pada pakan ikan seperti
5
kedelai dan alfa memberi pengaruh positif pada vitellogenesis ikan (Pelisero dan
Sumter dalam Yaron 1995). Menurut Yaron (1995), ketika proses vitellogenesis
tersebut berlangsung granula atau globul kuning telur bertambah dalam jumlah
dan ukurannya, sehingga volume oosit membesar.
Menurut Affandi et al. (2002), pada pematangan oosit akhir, dimulai dari
perpindahan germinal vesicle yang mudah terlihat dibawah mikroskop. Membran
germinal vesicle kemudian dipecah dan isinya bercampur dengan sitoplasma
sekelilingnya. Perubahan ini meliputi penggabungan butiran kecil lipida dan
globula kuning telur, pembesaran oosit yang berlangsung cepat akibat hidrasi
serta meningkatan kejernihan oosit. Proses Maturasi dan ovulasi dimulai saat
sinyal lingkungan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke
hipotalamus. Hipotalamus akan melepas hormon Gonadotropin Releising
Hormone (GnRH) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisa. Pada tahap ini
hipofisa tidak mengsekrisikan hormon FSH, melainkan hormon LH yang juga
bekerja pada lapisan teka oosit. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis
hormon 17α,20β-dihisroksiprogesteron (Maturation Inducting Steroid, MIS) oleh
enzim 20β-hidroksi steroid dehidrogenase. Selanjutnya seteroid akan merangsang
pembentukan faktor perangsang kematangan (Matiration Promoting Factor,
MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian
melebur. Setelah proses peleburan inti (Germinal Vesicle Break Down, GVBD),
lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari (Yaron 1995
dalam Zairin 2003) (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Mekanisme hormon reproduksi ikan pada tahap (A) vitellogenesis dan
(B) pematangan gonad, ovulasi (Nagahama 1994)
Perkembangan telur pada saat proses vitellogenesis seperti pada Gambar 2.3
dibawah ini:
Gambar 2.3 Tahap perkembangan telur pada ikan (Cabrita et al. 2009).
6
Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG)
Hormon PMSG adalah salah satu chorionic gonadotropin mamalia yang
sering digunakan pada budidaya ikan untuk merangsang vitellogenesis maupun
spermatogenesis (Hoars et al. 1983). Hormon PMSG memiliki pengaruh FSH
lebih kuat dibanding LH sehingga memberikan pengaruh kepada pemasakan
folikel. Hormon PMSG merangsang terjadinya lonjakan kadar GnRH yang
selanjutnya akan mempengaruhi pituitari untuk memproduksi gonadotropin.
Gonadotropin akan merangsang ovari untuk proses akhir pematangan telur pada
gonad ikan (Bolamba et al. 1992). Secara kimiawi PMSG mempunyai struktur
yang mirip FSH dan LH dengan bobot molekul 45000 sampai 65000 Da yang
terdiri atas 2 nonkovalen subunit, yaitu unit α dan subunit ß. Sub unit α tersusun
dari 96 asam amino, sementara sub unit ß tersusun dari 149 asam amino. Masa
paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang
lainnya. Hal ini disebabkan kandungan karbohidrat yang tinggi, terutama pada
gugus asam sialat yang dimiliki PMSG. Penggunaan hormon PMSG ini dalam
meningkatkan ovulasi telah dilakukan pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
dengan kombinasi hormon hCG. Pertambahan persentase telur yang mengalami
matang tahap akhir dan telur yang mengalami ovulasi terus meningkat seiring
dengan peningkatan dosis PMSG. Fungsi PMSG itu sendiri terutama untuk
merangsang pertumbuhan folikel serta mematangkan folikel yang telah terbentuk
(Basuki 1990). Pada ikan medaka (Oryzias latipes), penggunaan 100 IU/mL
PMSG dalam media secara in vitro terhadap beberapa ovari mampu menstimuli
produksi estradiol-17ß pada tahap awal vitelogenin yang diamati pada umur 32
hari sebelum pemijahan. Hal ini menunjukkan bahwa PMSG dapat menginduksi
aktivitas aromatase folikel vitelogenin ikan medaka melalui sistem adenylate
cyclase-cAMP (Nagahama et al. 1991).
Hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG)
Hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG) adalah hormon
gonadotropin yang disintesis oleh sel-sel sinsitio-trophobiast dari palsenta dan
disekresikan dalam urin wanita hamil muda. Hormon ini merupakan hormon
glikoprotein yang mengandung FSH dengan bobot molekul 32000 dan
mengandung 236 asam amino sedangkan LH berbobot molekul 30000 mempunyai
2 rantai asam amino, 1 sub unit α yang dibentuk dari 96 asam amino dan 1 Sub
unit β terdiri dari 199 asam amino dan mengandung karbohidrat sebesar 18
sampai 45% (Combarnous 1988). Aktivitas hCG menyerupai LH dan sedikit
menyerupai FSH. Rantai α sama untuk hormon FSH dan LH, sedangkan rantai β
bersifat spesifik untuk setiap hewan tetapi kekuatan biologisnya akan semakin
menurun bila kedua subunit digabungkan (Groodsky 1984). Hormon hCG
merangsang peningkatan konsentrasi gonadotropin yang berfungsi pada proses
vitellogenessis dan kematangan akhir (Aida et al. 1991).
Hormon hCG sebagai gonadotropin langsung bekerja pada tingkat gonad
untuk menginduksi pematangan gonad akhir dan ovulasi dimana pengaruhnya
lebih cepat dari pada GnRH, namun sirkulasinya dalam tubuh ikan pendek
(Mylonas et al. 1996). Penelitian pengaruh hCG terhadap produksi estradiol-17β
7
pada ikan goldfish dengan dosis 10 IU dan 100 IU dapat merangsang produksi
estradiol-17β pada tingkat kuning telur sekunder dan primer sebesar 0.5 sampai
1.5 ng/ml (Kagawa et al. 1984). Menurut Zairin et al. (1992a), bahwa pada ikan
Clarias batrachus penggunaan hormon hCG dengan dosis 0.8 IU/g bobot tubuh
sukses merangsang ovulasi dan meningkatkan steroid plasma, khususnya
testosteron dan estradiol-17β dalam darah. Menurut Siregar (1999), penyuntikan
hCG secara berkala sebanyak enam kali selama 4 bulan pada ikan jambal siam
(Pangasius hypopthalamus F) dapat menstimulasi pematangan gonad dengan
dosis 50 IU (bobot 1000 g) maupun dosis 200 IU (bobot 500 g). Menurut Barry
(1995), secara in vitro, hormon hCG dapat menginduksi pematangan akhir oosit
bila dibandingkan LHRHa pada ikan walleye, (Suzostedion vitreun) sedangkan
penyuntikan secara intramuskuler dengan dosis 500 IU/kg dapat menstimulir
pematangan akhir oosit dan ovulasi.
Antidopamin (AD)
Dopamin menghambat sekresi GnRH (FSHRH), pematangan gonad dengan
menstimulasi sekresi hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) dan bahan
kimia yang dapat menghambat kinerja dopamin adalah antidopamin. Chen et al.
(2003) dalam Harker (1992) yang menyatakan bahwa antidopamin adalah bahan
kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin. Konsentrasi domperidone
10 mg/ml dalam ovaprim maupun dalam semua perlakuan spawnprim mampu
menghambat kerja dopamin dan mendukung mekanisme percepatan ovulasi
(Syndel Laboratories Ltd. 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Permana
(2009) yang menggunakan dosis domperidone yang sama dalam spawnprim dan
mampu merangsang ovulasi ikan sumatra (Puntius tetrazona). Demikian pula
percobaan penggunaan spawnprim oleh Hidayat (2010) yang mampu menginduksi
ovulasi ikan komet (Carassius auratus auratus) pada komposisi domperidone
10 mg/ml
Gambar 2.4 Mekanisme antidopamin (Domperidone) (Yanong et al. 2009)
Brain
Dopamine
Hypothalamus
Pituitary
Gonad
GnRH +
Domperindone
(Ovaprim)
Gonadotropin
Hormone
Final Maturation
and Release of Egg
dan Sperm
Steroids and
Prostaglandin
X
8
Kebiasaan Makan dan Pakan Alami Belut Sawah
Kebiasaan makan belut sawah tergantung dari individu, penyebaran
keberadaan makanan, dan kondisi perairan. Belut sawah dalam memangsa
makanannya, apabila berukuran lebih kecil dari rongga mulut akan langsung
ditelan, tetapi apabila ukuran mangsanya lebih besar akan dicabik atau dikoyak
terlebih dahulu baru ditelan. Belut sawah menangkap mangsanya dengan cara
menyergap hewan – hewan air yang melintas didekat sarang serta akan keluar dari
sarangnya apabila perburuan harus terpaksa dilakukan (Taufik 2009).
Bricking (2002) menyatakan bahwa belut sawah adalah predator yang
mencari makan ikan, cacing, crustacea dan hewan air kecil lainnya dimalam hari
(nocturnal). Menurut Putra (2010), pemberian pakan hewani berupa cacing
tubifex memberi pengaruh terhadap pertumbuhan mutlak, SGR, FCR dan
kelangsungan hidup berturut-turut sebesar 7.48±1.29 g, 1.09±0.18 g, 2.23±0.21
dan 91.68%. Menurut Affandi (2003), hasil analisis isi lambung mengungkapkan
bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makanan utama anelida
(di persawahan dataran rendah) dan larva insekta (di persawahan dataran tinggi).
Cacing tubifex merupakan salah satu pakan alami hewani belut sawah
dikarenakan memiliki protein tinggi dan banyak terdapat di sawah. Cacing tubifex
dikenal dengan nama cacing sutera atau cacing rambut yang memiliki tubuh lunak
dan sangat lembut. Panjang badan cacing tubifex antara 1 sampai 3 cm dengan
tubuh berwarna merah kecoklatan dan beruas. Cacing tubifex mempunyai
kandungan protein 57%, kadar air 80% dan lemak 13.3% (Istyanto 2002).
Klasifikasi Cacing tubifex adalah sebagai berikut:
Phylum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Family : Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp.
Gambar 2.5 Cacing tubifex (Dokumentasi 2013)
9
3 METODE
Bahan
Penelitian ini menggunakan belut sawah dari Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) Baitul Ilmi di daerah Sentul dengan panjang 22±2 cm dan
bobot tubuh sekitar 5 sampai 12 g. Status belut adalah immature, berdasarkan
pengamatan morfologi (warna perut), pembedahan dilanjutkan histologi gonad
ukuran panjang 20 cm sampai 31 cm dan tinjauan pustaka jurnal tentang tingkat
kematangan gonad pada ukuran 20 sampai 24 cm sebelum penelitian dimulai.
Hormon yang digunakan adalah PMSG (Murni dan PG600), hCG (Prenil 1500IU)
dan antidopamin. Pakan yang digunakan adalah cacing tubifex.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kolam Percobaan Babakan.
Pembuatan preparat histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis konsentrasi hormon estradiol-17β
dalam darah dengan uji ELISA di Laboratorium Hormon, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober
2012 sampai Juni 2013
Prosedur Penelitian
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan dan tujuh ulangan individu.
Perlakuan yang diterapkan diantaranya :
 K : larutan NaCl 0.95% (dosis 1 ml/kg bobot ikan)
 P20 : PMSG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)
 H20 : hCG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)
 A10 : Antidopamin (AD) (dosis 0.01 mg/kg bobot ikan)
 P20H10 : PMSG+hCG (dosis 20 IU+10 IU/kg bobot ikan)
 P20A10 : PMSG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)
 H20A10 : hCG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)
Persiapan wadah
Akuarium yang digunakan sebanyak tujuh buah dengan ukuran 79x38x40
cm. Akuarium dibersihkan dengan menggunakan air hingga bersih, lalu dijemur.
Kemudian setelah kering diisi air setinggi 20 cm, dan diberi larutan kalium
permanganat (PK) dengan dosis 2 ppm dan didiamkan selama satu hari. Setelah
itu air didalam akuarium dibuang, kemudian dibilas dan diisi air setinggi 7 cm.
Akuarium yang telah berisi air diberi aerasi, hiter, pelindung berupa serutan tali
10
rafia dan paralon, kemudian diberi Oxcytetracyxlin (OTC) dengan dosis
0.5 gr/22.1 L volume air media penelitian.
Persiapan induk
Belut sawah diambil dari pembudidaya. Belut sawah kemudian direndam
larutan kalium permanganat dan dimasukkan ke bak aklimasi. Belut sawah
dibiarkan terlebih dahulu satu hari tanpa diberi pakan. Pemberian pakan dilakukan
pada hari berikutnya selama satu minggu. Aklimasi dilakukan dengan tujuan
adaptasi lingkungan, pakan dan seleksi. Setelah satu minggu, dipilih induk
sebanyak 49 ekor sebagai objek perlakuan.
Pemeliharaan pakan
Pakan yang diberikan pada penelitian ini adalah cacing tubifex. Cacing
tubifex dibersihkan dahulu dengan air. Cacing tubifex dipelihara menggunakan
baskom yag diberi air dan aerasi. Cara pemberiannya dengan menggunakan
wadah khusus untuk cacing tubifex yang diletakkan pada sisi akuarium.
Pembiusan dan penyuntikan
Pembiusan belut sawah dilakukan dengan obat bius stabilizer dengan dosis
1 ml/0,5 L air selama tiga menit, kemudian dilakukan penyuntikan secara
intramuscular dengan hormon yang ditentukan. Hormon yang disuntikan adalah
hormon perlakuan sesuai dengan dosis. Suntikan yang digunakan adalah ukuran
1 ml merk Terumo. Ikan yang telah disuntik dimasukkan pada wadah dengan
aerasi yang kuat selama 6 sampai 10 menit. Belut yang telah sadar dimasukkan
kedalam akuarium.
Pemeliharaan belut sawah
Pemberian pakan cacing tubifex sebanyak 3% dari bobot tubuh belut sawah per
akuarium setiap harinya. Pemberian pakan dilakukan pada masa adaptasi dan
penelitian (pagi, siang dan malam). Penyifonan dilakukan satu kali sehari yaitu
siang. Pergantian air dilakukan apabila kualitas air kurang baik (kotor).
Parameter uji
Bobot dan panjang tubuh belut
Belut sawah dibius terlebih dahulu sebelum dilakukan penimbangan bobot
dan pengukuran panjang tubuh. Pengukuran bobot tubuh dilakukan setiap minggu
selama penelitian (empat minggu) menggunakan timbangan digital dengan tingkat
ketelitian 0.01 g. Panjang badan diukur dengan menggunakan penggaris 30 cm.
Pengukuran panjang dan bobot tubuh belut sawah dilakukan sebelum
penyuntikkan. Data pertambahan panjang dan bobot tubuh pada akhir penelitian
dihitung dengan pengurangan data pada minggu ke-4 (M4) dengan minggu ke-0
(M0).
11
Konsentarasi estradiol-17β dalam darah belut sawah
Pengukuran konsentrasi estradiol-17β dalam darah dilakukan pada awal
(M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Mekanisme
pengambilan sampel darah adalah:
1. Ikan yang akan diambil darahnya dibius terlebih dahulu dengan cara
memasukkan satu persatu ke dalam air yang diberi larutan stabilizer
dengan dosis 1 ml/0,5 L selama 5 menit,
2. Ikan yang telah pingsan, darah diambil pada bagian pangkal ekor sebanyak
0.2 sampai 0.5 ml dengan menggunakan syiring 1 ml yang telah diberi
antikoagulan (larutan citrate-phosphate-dextrose, produk Laboratorium
Kesehatan Ikan), kemudian dimasukkan kedalam mikrotube volume 1.5
ml dan disimpan dalam kotak dingin (cool box).
3. Darah yang ditampung dalam mikrotube, kemudian disentrifuge pada
kecepatan 10000 rpm selama 5 sampai 10 menit.
4. Supernatan diambil dan dimasukkan kedalam mikrotube baru. Bila
pengukuran supernatan plasma tidak dilakukan secara langsung, sampel
disimpan dalam freezer pada suhu minus 4 o
C.
Pengukuran konsentrasi hormon estradiol 17β belut sawah dalam plasma
darah dilakukan dengan menggunakan metode ELISA dengan Vidas ELISA kit
untuk 17-estradiol (REF 30 330) dengan langkah kerja sebagai berikut :
1. Semua reagen harus dibiarkan dalam suhu kamar (18 sampai 25 °C)
sebelum digunakan
2. Pipet 50 μl standar, sampel dan QC ke dalam Mikro Plate
3. Tambahkan 100 μl Estradiol Enzym Conjugate untuk tiap Mikro Plate,
kemudian shaker 2 sampai 5 menit
4. Inkubasi pada suhu 37 °C selama 2 jam
5. Setelah diinkubasi, buang larutan yang ada di Mikro Plate kemudian dicuci
dengan Washing Solution sebanyak 300 μl. Pencucian Shaker diulang
sebanyak lima kali selama 3 menit, setelah selesai balikkan shaker dan
tekan kuat dengan kertas penyerap untuk mengeringkan.
6. Tambahkan 100 μl larutan TBM Substrate pada setiap Mikro Plate sesuai
dengan urutan
7. Inkubasi tabung selama 20 menit pada suhu ruang tertutup dengan kaca
film, kemudian dibungkus dengan aluminium poil.
8. Menghentikan reaksi dilakukan dengan menambahkan 50 μl Stop Solution
kedalam tiap Mikro Plate dengan lembut, campuran bahan digoyang
selama 5 detik
9. Kemudian masukkan Mikro Plate ke dalam Elisa Spectrophotometere,
baca dan obserpasi pada panjang gelombang 450 nm.
Gonado Somatik Indeks (GSI)
Pengukuran gonado somatik indeks dilakukan pada awal (M0), minggu ke-
1, ke-2, ke-3 dan akhir penelitian (minggu ke-4). Belut sawah sebelum dibedah
harus dilakukan penimbangan bobot tubuh terlebih dahulu, kemudian diambil
gonadnya dan ditimbang menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian
0.01 g). Gonado Somatik Indeks (GSI) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil
12
dari perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dan
dikalikan dengan 100%. Rumus GSI menurut Crim et al. (1988) yaitu:
%100x
W
Wg
GSI 




Keterangan :
GSI : Gonado Somatik Indeks (%)
Wg : Bobot gonad (g)
W : Bobot tubuh ikan (g)
Hepatosomatik Indeks (HSI)
Belut sawah dibedah, kemudian diambil hatinya dan ditimbang
menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian 0.01 g). Pengukuran HSI
dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 dengan
menggunakan rumus: (Bucacker et al. (1990)
%100x
W
Wh
HSI 




Keterangan :
HSI : Hepatosomatik Indeks (%)
Wh : Bobot hati (g)
W : Bobot tubuh ikan (g)
Histologi gonad
Histologi gonad dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke2, ke-3 dan minggu
ke-4. Histologi gonad dilakukan berdasarkan metode Gunarso (1989) dengan
tahapan proses sebagai berikut:
1. Fiksasi, ikan dibedah dan diambil jaringan gonadnya, kemudian dicuci
dengan NaCl fisiologis 0.65%, difiksasi dalam larutan bouin/BNF
(campuran asam pikrat, formalin dan asam asetat dengan perbandingan
15:5:1) selama 24 jam. Berikutnya dipindahkan kedalam alkohol 70%
beberapa kali selang satu jam sampai kuning telur hilang.
2. Dehidrasi, organ direndam kedalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%,
90% dan 95%) masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan kedalam
alkohol 100% sebanyak empat kali masing-masing selama 1 jam.
3. Clearing, organ direndam dalam alkohol 100%+xylol (1:1) selama 45 menit,
kemudian kedalam xylol I, II dan III masing-masing selama 45 menit.
4. Infitrasi, organ direndam dalam xylol + parafin (1:1) selama 45 menit pada
suhu 60 o
C. Kemudian direndam dalam parafin I, II dan III masing-masing
selama 45 menit dalam suhu 63 o
C.
5. Embeding, organ ditanam dalam blok parafin cair pada suhu 60 o
C sampai
parafin mengeras selama 24 jam.
6. Pemotongan, spesimen dipotong setebal 6 sampai 7 µm, ditempel pada gelas
obyek yang telah ditetesin ewid, ranggangkan diatas alat pemanas dan
keringkan selama 24 jam pada suhu 45 o
C.
13
7. Deparafinasi, preparat direndam berturut-turut dengan xylol I, II, alkohol
100% I, 100% II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70% dan 50% masing-masing
selama 1 menit dan dicuci sampai warna putih.
8. Pewarnaan, preparat direndam dalam larutan haemotoxylin selama 2 menit,
dicuci dengan air keran mengalir, rendam dalam larutan eosin selama 2
menit, cuci dengan air keran mengalir.
9. Dehidrasi, preparat direndam berturut-turut delam alkohol 70%, 80%, 85%,
90%, 95% I, 95% II, 100% I dan 100% II masing-masing selama 1 menit.
10. Clearing, preparat direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing
selama 1 menit.
11. Penutupan dengan kaca penutup. Preparat diberi zat perekat Canada balsem,
ditutup dengan gelas penutup, dikeringkan selam 10 menit. Berikutnya
preparat diberi label sesuai dengan perlakuan sehingga didapatkan preparat
permanen histologi gonad yang dapat diamati dibawah mikroskop setiap
saat.
12. Pengamatan histologi dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan
minggu ke-4 penelitian.
Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan pada awal (M0), minggu
ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Tingkat kematangan gonad diamati
secara morfologi dan histologi gonad. Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri
TKG belut sawah adalah seperti berikut:
TKG I : Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi
telur lebih besar dari proporsi jantan
TKG II : Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat
berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai
90% dari
isi gonad
TKG III : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran
Besar, antara butiran telur masih rekat sehingga agak
sukar
dipisahkan, proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad.
TKG IV : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran
besar, antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir
seluruhnya berisi dengan proporsi sperma sangat sedikit.
Intersex : Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar.
Status kelamin
Penentuan status kelamin dari belut dilakukan dengan cara pengamatan
morfologi dari warna perut, anus, gonad, status gonad dan keberadaan serta warna
gamet dalam gonad. Pengamatan ini dilakukan pada akhir penelitian (minggu
ke-4).
14
Diameter telur
Belut sawah dibius kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil
gonad. Gonad dipotong menjadi dua bagian, salah satu bagian digunakan untuk
histologi gonad. Gonad yang akan diamati diameter telurnya, direndam terlebih
dahulu pada larutan sera. Selanjutnya, lapisan tipis gonad dilepas dengan
menggunakan jarum agar telur dapat diambil dan dipisahkan. Diameter telur
diukur dengan mikroskop mikrometer dengan perbesaran empat puluh kali. Hasil
pengukuran menggunakan lensa okuler (µm) dikalibrasi dengan lensa objektif
(dibagi 1000) untuk mengetahui diameter telur dalam satuan mm. Kemudian,
dikalikan dengan pembesaran empat puluh kali, maka didapatkan hasil diameter
telur belut sawah sebenarnya dalam satuan mm.
Tingkat kebuntingan
Tingkat kebuntingan pada penelitian ini dihitung dengan menjumlahkan
belut sawah yang telah terdapat gamet (telur) di gonad. Pengamatan dilakukan
pada awal hingga akhir penelitian dengan total belut yang diamati sebanyak
7 ekor.
Fekunditas
Fekunditas telur belut sawah diukur pada akhir penelitian. Effendie (1979)
menjelaskan fekunditas telur dapat diukur dengan cara perhitungan langsung
jumlah telur yang ada dalam gonad. Gonad pada akhir penelitian diambil 1 ekor
belut sawah sebagai sampel setiap perlakuan, kemudian dilakukan pembedahan
untuk pengambilan gonad. Gonad yang didapat ditimbang dengan timbangan
digital (ketelitian 0.01 g), selanjutnya dibagi menjadi dua bagian (salah satunya
untuk histologi gonad). Gonad direndam dilarutan sera, setelah itu dilepaskan
kulit tipis gonad dan dilakukan pemisahan telur. Telur dihitung dengan cara
menghitung jumlah telur pada sebagian gonad, lalu dikalikan dengan bobot gonad
total dan dibagi bobot gonad yang diamati. Maka, didapatkan fekunditas telur
belut sawah secara keseluruhan.
Kualitas air
Kualitas air diamati setiap minggu kecuali amoniak diamati pada awal,
minggu ke-1, ke-2, ke-3, dan minggu ke-4. Parameter kualitas air yang diamati
diantaranya: kandungan oksigen terlarut (DO meter mg/L), temperatur air
(termometer (o
C)), nilai pH (pH meter) dan amoniak (spektrofotometer (mg/L)).
Kualitas air pada saat penelitian dijaga kestabilan kondisinya seperti Tabel
2.1 dibawah ini:
15
Tabel 2.1 Kualitas air media penelitian belut sawah
Parameter kualitas air
Perlakuan DO
(mg/L)
Amoniak
(mg/L)
pH
(1-14)
Temperatur
(o
C)
NaCl 5.44 0.558 6.25 27.94
PMSG 5.62 1.299 5.93 28.00
hCG 5.38 0.978 6.28 27.92
Antidopamin 5.32 0.730 6.06 27.80
PMSG+hCG 5.50 0.990 5.93 27.92
PMSG+AD 5.84 0.757 6.42 27.92
hCG+AD 5.58 0.735 6.36 27.94
Analisis data
Data hasil penelitian GSI, HSI dan pertambahan panjang dan bobot tubuh
pada minggu terakhir diuji secara ANOVA. Jika, hasil menunjukkan berbeda
nyata atau berbeda sangat nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji Tukey. Hasil
penelitian pada parameter konsentrasi estradiol-17β, GSI, HSI setiap minggu,
pengamatan histologi, diameter telur, tingkat kebuntingan, fekunditas dan status
kelamin dianalisis secara deskriptif.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi hormonal
Hasil penelitian parameter tingkat kebuntingan belut sawah selama
empat minggu (n= 7 ekor) dalam satuan persen dapat dilihat pada Gambar 4.1
dibawah ini:
Gambar 4.1 Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi hormonal
16
Hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 100%, sedangkan
perlakuan PMSG+hCG, hCG+AD sebesar 85.71%, perlakuan hormon PMSG,
hCG sebesar 71.43% dan NaCl, antidopamin (AD) sebesar 14.28%. Kualitas dari
tingkat kebuntingan belut sawah setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan
Tabel 4.2.
Tabel 4.1 Perkembangan tingkat kematangan gonad belut sawah pada setiap
perlakuan selama penelitian (n=7)
Gonado Somatik Indeks dan Hepatosomatik Indeks belut sawah
Hasil penelitian parameter GSI dan HSI belut sawah setiap minggu selama
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 di bawah ini:
Gambar 4.2 Nilai GSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal. M0:
minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-
3, M4: minggu ke-4
Gambar 4.3 Nilai HSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal. M0:
minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu
ke-3, M4: minggu ke-4.
Perlakuan
Jumlah belut setiap TKG
(%)
Total belut
bunting
(%)
TKG 0 TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4
NaCl 85.71 14.28 - - - 14.28
PMSG 28.6 14.28 28.6 14.28 - 71.43
hCG 28.6 14.28 14.28 28.6 14.3 71.43
AD 85.71 14.28 - - - 14.28
PMSG+hCG 14.28 14.28 - 28.6 42.6 85.71
PMSG+AD - 14.28 - 28.6 57.1 100
hCG+AD 14.28 14.28 28.6 14.28 28.6 85.71
17
Gonado somatik indeks belut sawah setiap minggu terjadi peningkatan dan
penurunan selain perlakuan PMSG+AD. Pola grafik pada perlakuan PMSG+AD
setiap minggu selalu meningkat. Nilai GSI belut sawah pada perlakuan
PMSG+AD pada minggu ke-4 mencapai 4.36%.
Hepatosomatik indeks belut sawah setiap minggu terjadi peningkatan dan
penurunan. Perlakuan PMSG+AD mengalami peningkat pada minggu ke-1
(2.07%), ke-2 (2.87%), ke-3 (4.98%), sedangkan minggu ke-4 mengalami
penurunan menjadi 3.52%. Nilai GSI dan HSI belut sawah hasil induksi hormonal
pada akhir penelitian (minggu ke-4) dengan n: 4 ekor belut sawah untuk setiap
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 di bawah ini:
Gambar 4.4 Nilai GSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4.
Gambar 4.5 Nilai HSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4.
Gonado somatik indeks belut sawah pada akhir penelitian (minggu ke-4)
menunjukkan bahwa GSI tertinggi adalah perlakuan PMSG+AD sebesar
3.249±0.907%, dimana secara ANOVA semua perlakuan memiliki pengaruh
signifikan (F>0.05) terhadap nilai GSI dibandingkan perlakuan kontrol (NaCl)
dan antidopamin.
Hepatosomatik indeks belut sawah hasil induksi hormonal menunjukkan
hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 3.047±0.407%. Secara
ANOVA menunjukkan bahwa seluruh perlakuan memiliki pengaruh signifikan
(F>0.05) terhadap nilai HSI belut sawah dibandingkan perlakuan kontrol. Nilai
HSI belut sawah semua perlakuan lebih tinggi dibandingkan nilai GSI, sedangkan
perlakuan PMSG+AD nilai HSI pada minggu ke-4 lebih rendah dibandingkan
dengan nilai GSI.
18
Konsentrasi hormon estradiol-17β belut sawah
Hasil analisis konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah belut sawah
dapat dilihat pada Gambar 4.6 dibawah ini:
Gambar 4.6 Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah.
M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu
ke-3, M4: minggu ke-4
Pola konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah
hasil induksi hormonal pada setiap minggunya. Hasil terbaik konsentrasi
estradiol-17β dalam darah belut sawah adalah perlakuan PMSG+AD dengan dosis
20 IU+0.01 mg/kg dikarenakan adanya pada minggu ke-1 sebesar 235.2 pg/ml dan
turun hingga mencapai 42.53 pg/ml pada minggu ke-4.
Diameter telur belut sawah hasil induksi hormonal
Hasil penelitian parameter diameter telur belut sawah dapat dilihat pada
Gambar 4.7 dibawah ini (n=4)
Gambar 4.7 Diameter telur belut sawah hasil induksi secara hormonal. M0:
minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu
ke-3, M4: minggu ke-4
Gambar 4.7 menggambarkan pengaruh perlakuan induksi hormon terhadap
perkembangan ukuran diameter telur setiap minggunya. Hasil menunjukkan
bahwa berdasarkan kualitas telur dan diameter telur pada minggu ke-4 maka
perlakuan PMSG+AD merupakan perlakuan terbaik, karena diameter telurnya
mencapai rata-rata diameter 3.19 mm sedangkan perlakuan NaCl, PMSG, hCG,
AD, PMSG+hCG, hCG+AD berturut-turut sebesar 0, 0.54, 0.87, 2.24, 0.85 mm.
19
Tingkat Kematangan Gonad belut sawah hasil induksi hormonal
Hasil pengamatan morfologi dan histologi untuk tingkat kematangan gonad
belut sawah dapat dilihat pada Gambar 4.8 dibawah ini:
Gambar 4.8 Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu. M0: minggu
ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4:
minggu ke-4
Berdasarkan Gambar 4.8, tingkat kematangan gonad belut sawah hasil
induksi hormonal pada minggu ke-4 adalah perlakuan NaCl, antidopamin
mencapai tingkat kematangan gonad I (TKG I), hormon PMSG mencapai tingkat
kematangan gonad III (TKG III) dan hormon hCG, hCG+AD, PMSG+hCG dan
PMSG+AD mencapai tingkat kematangan gonad IV (TKG IV). Kualitas setiap
tingkat kematangan gonad dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.12.
Tabel 4.2 Jumlah belut sawah pada tingkat kematangan gonad setiap minggu
hasil induksi hormonal.
Perlakuan Parameter
Minggu ke-
0 1 2 3 4
NaCl TKG 0 0 0 0 0, I
Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 3 )
PMSG TKG 0 I I II 0, II, III
Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (2, 1, 1)
hCG TKG 0 II II III 0, I, IV,
Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (2, 1, 1)
AD TKG 0 0 0 0 0, I
Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (3, 1)
PMSG+hCG TKG 0 II III IV 0, III, IV
Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 1, 2)
PMSG+AD TKG 0 I III IV III, IV
Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 3)
hCG+AD TKG 0 II II III 0, II, IV,
Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 1, 2)
20
Monfologi dan histologi gonad
Hasil dari gambaran morfologi dan histologi (pembesaran empat puluh kali)
gonad belut sawah pada minggu ke-1 dan ke-4 penelitian dapat dilihat pada
Gambar 4.9 sampai Gambar 4.12 dibawah ini:
Gambar 4.9 Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-0 (M0) (A) dan minggu
ke-1 yaitu (B)NaCl (C) PMSG (D) hCG (E) antidopamin (AD) (F)
PMSG+hCG (G) PMSG+AD (H) hCG+AD. h: hati dan g : gonad
Gambar 4.10 Histologi gonad belut sawah minggu ke-0 (A) dan setiap perlakuan
pada minggu ke-1 yaitu (B) NaCl(C) PMSG (D) hCG (E)
antidopamin (AD) (F) PMSG+hCG (G) PMSG+AD (H) hCG+AD.
Y: Granula kuning telur, O: Oogonia, N: Nukleus (Inti telur)
A B C
D E F
G H
M0 M1 M1
M1 M1 M1
M1 M1
h
G
h
g
N
O
Y
O
Y
g
O
Y
A B
C D
E F
G H
h
g
h
g
h
g
h
g
h
g
h
g
21
Gambar 4.11 Hati dan gonad belut sawah pada minggu ke-4 (M4). A) NaCl (B)
PMSG (C) hCG (D) antidopamin (E) PMSG+hCG (F) PMSG+AD
(G) hCG+AD. h: hati dan g: gonad
Gambar 4.12 Histologi gonad belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4,
yaitu (A) NaCl (B) PMSG (C) hCG (D) antidopamin (E)
PMSG+hCG (F) PMSG+AD (G) hCG+AD. Y: Granula kuning
telur, O: Oogonia, N: Nukleus (Inti telur), YV: Yolk vesicle
M4
M4 M4
A
FD
B C
M4M4
h
g
N
Y
O
o
Y
A
G
FE
D
B
C
h
g
h
g
h
g
h
g
h
g
h
g
YV
M4
G
Y
M4
E
Y
22
Kondisi gonad pada minggu ke-0 dan ke-1 penelitian adalah memiliki warna
transparan bening, putih dan belum terlihat telur yang berwarna kuning. Gonad
dan hati belut sawah pada minggu ke-4 adalah perlakuan NaCl, hormon PMSG,
AD (gonad berwarna putih transparan, telur belum begitu terlihat), hormon hCG,
PMSG+hCG, hCG+AD (gonad berwarna putih, telur mulai terlihat) dan
PMSG+AD (gonad berwarna kuning, telur berwarna kuning dan terlihat jelas).
Berdasarkan pengamatan morfologi dan histologi perkembangan gonad terbaik
adalah perlakuan PMSG+AD dimana telur besar, berukuran seragam dan telur
terisi oleh kuning telur.
Fekunditas belut sawah hasil induksi hormonal
Hasil fekunditas belut sawah yang induksi hormonal setiap perlakuan pada
minggu ke-4 dapat dilihat pada Gambar 4.13 dibawah ini:
Gambar 4.13 Fekunditas belut sawah pada minggu ke-4.
Fekunditas belut sawah hasil induksi hormonal dengan panjang 22±2 cm
dan bobot tubuh 5 sampai 12 g yang terbaik pada minggu ke-4 (akhir penelitian)
adalah perlakuan PMSG+AD yaitu sebanyak 128 butir telur, sedangkan pada
perlakuan hCG, PMSG+hCG, hCG+AD, PMSG, AD berturut-turut sebanyak
104, 100, 74, 50 dan 10 butir telur.
Pertambahan panjang dan bobot tubuh belut sawah hasil induksi hormonal
Hasil penelitian parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh dapat
dilihat pada Gambar 4.14 dibawah ini:
Gambar 4.14 Pertambahan bobot dan panjang tubuh belut sawah selama penelitian
23
Hasil pertambahan panjang tertinggi pada penelitian ini adalah perlakuan
antidopamin sebesar 0.45 cm dan terendah perlakuan PMSG+AD dimana tidak
terjadi pertambahan panjang tubuh belut sawah, Pertambahan bobot tubuh belut
sawah yang tertinggi yaitu perlakuan PMSG+AD sebesar 1.84 g.
Hasil penelitian pertambahan bobot dan panjang tubuh pada akhir penelitian
dapat dilihat pada Gambar 4.15 dan Gambar 4.16 dibawah ini. Hasil pada grafik
dibawah ini diperoleh dari analisis ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%.
Belut sawah yang diamati dalam parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh
pada minggu ke-4 sebanyak empat ekor.
Gambar 4.15 Pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu ke-4.
Gambar 4.16 Pertambahan panjang belut sawah pada minggu ke-4
Hasil penelitian pada Gambar 4.15 menunjukkan secara analisis ANOVA
menggunakan Minitap 16, seluruh perlakuan berpengaruh signifikan terhadap
pertambahan bobot tubuh belut sawah (F>0.05). Hasil terbaik adalah perlakuan
PMSG+AD dengan pertambahan bobot tubuh belut sawah sebesar 1.89±0.905 g.
Secara analisis ANOVA, hasil penelitian pada Gambar 4.16 menunjukkan
bahwa perlakuan kontrol berpengaruh nyata (F>0.05) terhadap pertambahan
panjang belut sawah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pertambahan
panjang tertinggi adalah perlakuan kontrol (NaCl) sebesar 1.20±0.96 cm.
24
Status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal
Tabel 4.3 Status kelamin dan ciri-ciri belut sawah matang gonad hasil induksi
hormonal
Perlakuan
Jenis
kelamin
Status
gonad
Warna
perut
Warna anus Warna
Gonad
Keberadaan
Gamet
NaCl Betina Belum
matang
Gelap Putih Bening Telur kecil
sekali, bening
PMSG Betina Proses
matang
Kekuningan Kemerahan Putih Telur kecil
bening
hCG Betina Proses
matang
Kekuningan Kemerahan Putih susu Telur kecil
putih
AD Betina Belum
matang
Gelap Putih Bening Telur kecil
bening
PMSG+hCG Betina Matang
gonad
Kuning Merah Kekuningan Telur kecil
putih
PMSG+AD Betina Matang
gonad
siapa
ovulasi
Kuning,
trasparan
Merah Kuning Telur besar
kuning
hCG+AD Betina Kuning Merah Kekuningan Telur kecil
bening
Tabel 4.3 menunjukkan status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal
pada minggu ke-4 berdasarkan pengamatan status gonad, warna perut, anus,
gonad, telur dan didukung histologi gonad (Gambar 4.10, Gambar 4.12). Hasil
pengamatan menunjukkan status kelamin dari belut sawah dengan panjang
22±2 cm dan bobot tubuh 5 sampai 12 g adalah betina. Hasil terbaik adalah
perlakuan PMSG+AD dengan ciri-ciri status gonad telah matang gonad siap
ovulasi, warna perut kuning transparan, warna anus merah, warna gonad kuning
dan terdapat telur berdiameter 3.19 mm berwarna kuning. Ciri-ciri status kelamin
belut sawah hasil induksi hormonal dapat dilihat pada Gambar 4.17 sampai 4.20.
Gambar 4.17 Warna perut perut dan anus belut sawah yang belum matang gonad.
P: perut dan A: anus belut sawah
Gambar 4.18 Warna perut dan anus belut sawah yang matang gonad. P: perut dan
A: anus belut sawah
A
P
A
P
25
Gambar 4.19 Hati dan gonad yang belum matang serta telur berwarna bening.
Huruf m: gonad yang tidak matang, t: telur belut sawah yang
transparan.
Gambar 4.20 Hati dan gonad yang matang gonad serta telur berwarna kuning.
Huruf M: gonad matang yang berisi telur berwarna kuning, T: telur
belut sawah TKG IV.
Pembahasan
Parameter penelitian yang diuji meliputi tingkat kebuntingan, nilai GSI,
nilai HSI, konsentrasi estradiol-17β, diameter telur, tingkat kematangan gonad,
histologi gonad, fekunditas, pertambahan panjang dan bobot tubuh, dan status
kelamin belut sawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan PMSG+AD
merupakan perlakuan terbaik pada penelitian ini dari seluruh parameter uji. Hasil
penelitian pada parameter pertama yaitu tingkat kebuntingan, membuktikan
bahwa perlakuan PMSG+AD dapat menginduksi proses vitellogenesis, maturasi
hingga terjadinya kebuntingan (adanya gamet dalam gonad). Penyuntikkan PMSG
dapat mempercepat kebuntingan dan pematangan gonad pada ikan lele (Mayasari
2012), mempercepat pertumbuhan oosit baru dan meningkatkan frekuensi
pemijahan pada ikan Tor soro (Wahyuningsih 2012).
Nilai GSI merupakan nilai yang mengambarkan secara kuantitatif perubahan
gonad pada saat terjadi perkembangan gonad dalam proses reproduksi dan akan
mencapai nilai maksimum pada saat akan terjadi pemijahan (Effendie 1997). Hasil
penelitian pada parameter nilai GSI menunjukkan bahwa pada perlakuan
PMSG+AD adalah perlakuan terbaik, karena terjadi peningkatan GSI setiap
minggu selama penelitian. Peningkatan GSI mengindikasikan terjadinya proses
vitellogenesis dan perkembangan gonad selam penelitian. Aktivitas vitellogenesis
ini menyebabkan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) dan Gonado Somatikindeks
(GSI) ikan meningkat (Cerda et al. 1996). Aktivitas metabolisme sebagian besar
tertuju pada proses perkembangan gonad (Yulfiperius 2001). Hasil ini diperkuat
dengan pengujian secara ANOVA pada minggu ke-4 dengan n= 4 ekor, dimana
perlakuan PMSG+AD memiliki nilai GSI tertinggi dan seluruh perlakuan
berpengaruh nyata terhadap nilai GSI (F>0.05) belut sawah dibandingkan dengan
kontrol (NaCl) pada penelitian ini. Nilai GSI sebesar 0.4 sampai 8.928% pada
tM
T
M
T
26
belut sawah yang telah matang gonad mencapai TKG IV dan siap memijah (Elis
2003). Wibisono (2012), penggunaan PMSG + AD dengan dosis 15 IU + 0.05
mg/kg bobot tubuh belut sawah memberikan pengaruh positif pada nilai Gonado
Somatik Indeks (GSI) sebesar 2.36%, HSI berkisar 0.73 sampai 7.90% dan
memacu perkembangan gonad hingga tingkat kematangan gonad (TKG) IV pada
minngu ke-5. Menurut Bahri (2000), nilai GSI pada ukuran 21 sampai 44 cm
berkisar 0.34 sampai 1.91%.
Nilai Hepatosomatik Indeks merupakan nilai kuantitatif yang dapat
menggambarkan pertambahan bobot hati seiring dengan perkembangan gonad dan
peningkatan GSI. Nilai HSI akan semakin meningkat seiring perkembangan
gonad dan nilainya akan lebih rendah dari nilai GSI pada saat telah matang gonad.
Hasil penelitian membuktikan perlakuan PMSG+AD dapat merangsang proses
vitellogenesis, dimana hati berperan didalam sintesis vitelogenin (bakal kuning
telur) untuk pembentukkan telur hingga matang gonad. Hal ini sesuai pernyataan
Bijaksana (2006), hati mempunyai peran dalam sintesis material yang akan
diakumulasikan pada ovarium pada masa reproduksi. Rasio bobot hati terhadap
tubuh pada ikan matang gonad akan meningkat menjelang vitelogenesis dan rasio
akan menurun saat ovulasi. Dimana pada ikan gabus pada diameter terbesar
1.5±0.04 mm, fekunditas 3070±3.81 butir, nilai HSI sebesar 1.1±0.05% dan GSI
sebesar 3.3±0.09%. Hasil HSI setiap minggu didukung dengan analisis secara
ANOVA nilai HSI pada minggu ke-4 (n=4 ekor), dimana hasil menunjukkan
bahwa seluruh perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai HSI belut sawah
dibandingkan kontrol (NaCl).
Konsentrasi hormon estradiol-17β belut sawah hasil penelitian yang terbaik
adalah perlakuan PMSG+AD. Hal ini dikarenakan peningkatan hormon
estradiol-17β pada perlakuan PMSG+AD yang sangat tinggi di minggu ke-1.
Peningkatan estradiol-17β yang signifikan disebabkan pengaruh kinerja enzim
aromatase yang meningkat dengan penyuntikkan perlakuan PMSG+AD, sehingga
pengubahan testosteron menjadi estradiol-17β akan semakin cepat. Hal ini sejalan
dengan pernyataan tentang pemberian pregnant mare serum gonadotropin
(PMSG) dapat meningkatkan aktivitas aromatase pada folikel (Nagahama et al.
1991), Enzim P450aromatase berperan penting selama proses vitellogenesis pada
ikan (Nagahama 1984). Aktivitas aromatase meningkat dan tinggi pada folikel
selama vitelogenesis (Fukada et al. 2003) dan menurun saat folikel mencapai
pematangan akhir (Young et al. 1983). Menurut Wahyuningsih (2012), kisaran
konsentrasi hormon estradiol-17β ikan tor soro yang diberikan perlakuan hormon
PMSG pada saat maturasi hingga siap memijah pada diameter maksimal sebesar
1.5 sampai 2.0 mm adalah berkisar 0.5 sampai 0.2 pg/ml. Proses sitesis pengaruh
PMSG+AD terhadap konsentrasi estradiol menurut Nagahama (1983), hormon
FSH yang terdapat pada PMSG akan merangsang otak (hypothalamus) untuk
memproduksi GnRH (FSHRH endogenous) dan antidopamin (AD) akan memblok
kinerja dopamin yang terdapat pada hypothalamus sehingga produksi GNRH
meningkat, dan merangsang pituitari mensintesis FSH endogenous lebih banyak.
Fungsi lain hormon FSH eksogenous dari hormon PMSG akan meningkatkan
konsentrasi FSH yang akan bekerja pada organ target yaitu gonad. Pada organ
target, FSH akan masuk menuju sel teka dan merangsang gonad untuk mensintesis
testosteron, kemudian testosteron akan masuk ke dalam sel granulosa sehingga
terjadi proses pengubahan testosteron menjadi estradiol-17β oleh enzim
27
aromatase. Aromatase adalah enzim yang terdapat di dalam endoplasmic
reticulum yang berfungsi dalam produksi sel estrogen (Sebastian et al. 2002;
Simpson et al. 2002). Enzim aromatase terdiri atas dua polypeptides. Bagian yang
pertama adalah suatu cytochrome spesifik P450 yakni aromatase cytochrome P450
(P450Arom) (produk dari gen CYP19) Bagian kedua adalah flavoprotein. Enzim
aromatase di pengaruhi oleh hormon, sitosin dan faktor lain (lingkungan).
Produksi steroid progesteron dan estradiol diproduksi dari kolesterol oleh
sejumlah enzim di dalam indung telur. Mekanisme kerja aromatase adalah seperti
masuknya kolesterol ke dalam mitokondria yang dibantu oleh protein SaTAR.
Produksi progesterone dan konversi androstenedione ke estrone dipercepat
reaksinya oleh enzim aromatase (P450Arom). Jumlah progesteron yang aktip
(nanomolar) adalah seratus sampai seribu kali lebih tinggi dibanding estradiol
(picomolar). Fakta tentang jumlah enzim aromatase dalam jumlah sangat rendah
dapat memberikan kenaikan hormon estradiol untuk kepentingan biologis
(Simpson et al. 2002).
Hasil penelitian untuk diameter telur belut sawah terbesar adalah perlakuan
PMSG+AD dibandingkan kontrol maupun perlakuan yang lainnya. Hasil ini
membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD dapat menyebabkan peningkatan
diameter telur yang dipengaruhi oleh produksi vitelogenin oleh hati. Perlakuan
PMSG+AD akan merangsang peningkatan konsentrasi estradiol-17β, sehingga
estradiol-17β beraksi merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin. Hormon
estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang
merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju
gonad kembali dan terjadi penyerapan oleh lapisan folikel oosit (Nagahama 1983).
Akibat penyerapan vitelogenin maka oosit akan tumbuh membesar hingga ukuran
maksimum. Hasil pada perlakuan hCG pada minggu ke-3 tidak ada dikarenakan
telurnya terlalu kecil, tidak merata dan pada saat pengamatan sulit dipisahkan.
Menurut Elis (2003), diameter belut sawah di alam dengan tingkat kematangan
gonad IV adalah 1.16 mm sampai 1.26 mm. Diameter telur belut sawah sekitar 3
sampai 4 mm, dengan masa fertilisasi 140 jam dan hatching rate 92.8% (Khanh
NH et al. 2010)
Hasil penelitian pada parameter tingkat kematangan gonad yang terbaik
berdasarkan kualitas kematangan adalah perlakuan PMSG+AD. Hasil ini
membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD merangsang proses pematangan
gonad (maturasi) baik konsentrasi estradiol-17β, diameter telur, GSI, HSI lebih
baik dan cepat dibandingkan kontrol selama empat minggu. Hasil ini diperoleh
dari pengamatan secara morfologi dan histologi gonad seperti pada Gambar 4.9
sampai Gambar 4.12. Menurut affandi (2003), tingkat kematangan gonad IV
paling banyak terdapat pada ukuran 18.6 cm sampai 21.5 cm, dan tingkat
kematangan gonad belut sawah dipengaruhi juga oleh faktor tingkat ketinggian
wilayah. Ikan betinaTKG III dan IV banyak terdapat di sawah dataran rendah
sebagai habitat yang cocok, antara lain karena ketersediaan pakan alaminya yaitu
sumber pakan Annelida melimpah
Analisis secara histologi gonad belut sawah menunjukkan perlakuan terbaik
adalah PMSG+AD. Hasil ini dikarenakan pada gambaran histologi gonad pada
perlakuan PMSG+AD terdapat keseragaman diameter telur, telur terisi penuh
dengan kuning telur dan telur berdiameter besar mencapai 3.19 mm. Gambaran
histologi gonad ini membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD dapat
28
menginduksi perkembangan gonad (mature). Menurut Devados (1969) dalam
Effendie (1979), ciri-ciri gonad immature (ovari berwarna pucat, telur kecil
transparan dan inti jelas), maturing (ovari berwarna putih susu sampai kuning dan
keadaan telur dalam ukuran sedang dan masih terdapat inti telur), dan mature
(ovari kemerah-merahan, keadaan telur berukuran besar dan berwarna kuning,
serta telur terisi penuh dengan kuning telur).
Hasil penelitian untuk fekunditas telur belut sawah pada setiap perlakuan di
minggu ke-4 yang terbaik adalah perlakuan PMSG+AD, karena fekunditas
telurnya sekitar 128 butir dengan warna telur dan gonad yaitu kuning. Hasil ini
membuktikan bahwa penyuntikkan PMSG+AD efektif untuk merangsang
percepatan pematangan gonad (maturasi) sehingga ketersediaan induk matang
gonad dapat dipenuhi. Menurut Affandi (2003), fekunditas belut sawah berkisar
69 sampai 696 butir, tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada
penelitian Yamin (1997) di daerah persawahan Cibeber, Cianjur, Jawa Barat yakni
68 sampai 646 butir dan 54 sampai 585 butir di persawahan daerah Parung,
Bogor, Jawa Barat (Bahri 2000). Fekundtas telur erat kaitannya dengan diameter
telur dimana jika diameter telur ikan semakin besar maka fekunditasnya akan
semakin rendah, tetapi jika diameter telur semakin kecil maka fekunditas telur
ikan semakin banyak. Hasil ini dipengaruhi oleh faktor kinerja dari bahan yang
menjadi komposisi hormon PMSG yaitu FSH dan LH. Pregnant Mare Serum
Gonadotropin (PMSG) sendiri diketahui memiliki aktivitas ganda, yaitu FSH
yang lebih dominan dari pada LH, sedangkan antidopamin merupakan bahan
kimia yang dapat membantu kinerja FSH atau LH dengan cara memblokir kinerja
dopamin.
Hasil pada parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh menunjukkan
bahwa perlakuan terbaik adalah PMSG+AD dengan pertambahan bobot tubuh
sebesar 1.84 g selama empat minggu. Hasil ini mengindikasikan bahwa hasil
metabolism pakan digunakan untuk pertumbuhan gonatik dibandingkan
pertumbuhan somatik (panjang) belut sawah. Hasil ini didukung dengan adanya
data pendukung pertumbuhan gonatik yang baik seperti konsentrasi estradiol-17β,
GSI, HSI, diameter telur, TKG dan histologi gonad. Energi sangat diperlukan
untuk proses metabolisme, mengganti sel yang rusak (maintenance), aktivitas
fisik, pertumbuhan, dan reproduksi (NRC 1993). Pertambahan bobot dan panjang
tubuh belut sawah pada minggu ke-4 dengan n= 4 ekor dianalisi secara ANOVA.
Hasil analisis menyatakan bahwa seluruh perlakuan berpengaruh nyata
(signifikan) terhadap pertambahan bobot dan panjang tubuh dibandingkan dengan
kontrol.
Hasil penelitian parameter status kelamin menunjukkan bahwa seluruh belut
sawah ukuran panjang 22±2 cm dan bobot tubuh 5 g sampai 12 g berjenis kelamin
betina. Hasil terbaik adalah pada perlakuan PMSG+AD karena setatus gonad
adalah matang gonad (siap ovulasi) dengan ciri-ciri warna perut (kuning
trasparan), warna anus (merah), warna gonad (kuning), keberadaan gamet (telur
besar dan berwarna kuning) dan status gonad (matang gonad). Menurut Handojo
29
(1986) dalam Elis (2003), ciri-ciri belut sawah betina adalah warna punggung
coklat kehitaman, perut putih kekuningan, kepala kecil, ekor panjang dengan
ujung lancip dan berukuran maksimal sekitar 29 cm.
Hasil penelitian membuktikan bahwa penyuntikkan perlakuan PMSG+AD
efektif untuk pematangan gonad (maturasi) belut sawah, hal ini terlihat dari
konsistensi hasil yang dicapai pada setiap parameter dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (NaCl) yang hanya mampu mencapai TKG I. Hasil ini
dikarenakan NaCl hanya suatu larutan yang bersifat seperti cairan tubuh hewan
atau manusia dan tidak memiliki komposisi yang dapat mempengaruhi mekanisme
hormon reproduksi belut sawah. Hasil penelitian yang dapat menjadi alternatif
dalam teknologi pematangan gonad adalah perlakuan PMSG+hCG, hCG+AD dan
hCG. Ketiga perlakuan ini mudah diperoleh oleh pembudidaya dan hasil
penelitian terlihat ada pengaruh terhadap perkembangan gonad walaupun tidak
sebaik perlakuan PMSG+AD. Keterbaharuan penelitian ini dibandingkan
penggunaan PMSG dan estradiol-17β oleh Wahyuningsih (2012) adalah spesies
ikan yang menjadi model adalah ikan belut, penelitian ini menggunakan teknik
penyuntikkan single maupun kombinasi dan mengevaluasi pengaruh salah satu
hormon gonadotropin yaitu human Chorionic Gonadotropin (hCG) terhadap
maturasi belut sehingga informasi dari penelitian ini lebih informatif, fakta dan
aplikatif sebagai solusi mengatasi permasalahan reproduksi serta ketersediaan
hormon untuk pembenihan belut sawah. Selanjutnya, perlakuan PMSG+AD
dengan dosis 20IU+0.01 mg/kg bobot tubuh belut sawah memiliki harga
pembuatan yang kompetitif dibandingkan dengan perlakuan yang lain dalam
volume 10 cc yaitu sebesar Rp. 101.500 dan 1 cc sebesar 10.100 (Lampiran 10).
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Induksi maturasi belut sawah dapat dilakukan dengan penyuntikkan
PMSG+AD (20 IU + 0.01 mg/kg bobot tubuh belut sawah) sebanyak empat kali
secara berkala selama empat minggu. Belut sawah ukuran panjang 22±2 cm
dengan bobot tubuh 5 sampai 12 g yang diinduksi dengan PMSG+AD adalah
berstatus betina (matang gonad).
Saran
Induksi maturasi belut sawah betina dapat dilakukan dengan penyuntikkan
PMSG+AD pada ukuran minimal panjang 20 cm untuk memperoleh induk
matang gonad. Ciri-ciri pengamatan status kelamin betina belut sawah dapat
digunakan sebagai panduan penentuan induk betina belum atau sudah matang
gonad untuk proses pembenihan. Induksi hormonal dapat dilakukan pada ukuran
belut sawah yang lebih besar untuk melihat differensiasi sex (betina, interseks dan
jantan). Penelitian penentuan dosis efektif kombinas PMSG dan antidopamin
untuk belut belut sawah masih perlu dilakukan.
30
DAFTAR PUSTAKA
.
Affandi Ridwan, Yunizar Ernawati, Setyo Wahyudi. 2003. Studl Bio-Ekol ogi
Belut Sawah (Monopterus albus) Pada Berbagai Ketinggian Tempat Di
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
IPB, Bogor.
Affandi Ridwan, Usman Muhammad, Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri
Press, Riau. Halaman 213 : 172 – 195
Aida K, M Kobayashi, T Kaneko. 1991. Endokrinologi (dalam Bahasa Jepang)
Halaman: 167 – 241 dalam M Itazawa dan I Hanyu (eds). Fisiologi Ikan.
Koseishakoseikaku, Tokyo.
Bahri F. 2000. Studi Mengenai Aspek Biologi Ikan Belut (Monopterus albus) di
Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skipsi]. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor.
Barry TP, JA Malison, AF Lapp, LS Procarion. 1995. Effects of Selected
Hormones and Male Final Oocyte Maturation, Ovulation and Steroid
Production in Walleye, Stizostedion vitreum. Aquaculture, 138 : 331–347.
Basuki F. 1990. Pengaruh Kombinasi Hormon Pmsg dan hCG Terhadap Ovulasi
Clarias gariepinus (Burcell). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Berra TM. 2001. Freshwater Fish Distribution. Academic Press, San Diego,
California.
Bijaksana Untung. 2006. Status Reproduksi Ikan Gabus, Channa striata blkr
(Reproduction Status Snakehead, Channa striata). Fakultas Perikanan.
UNLAM, Lampung.
Blazquet M, PT Bosma EJ, Fraser KJW Van Look, VL Trdeu. 1998. Fish As
Model for The Neuroendocrine Regulation of Reproduction and Growth.
Com. Biochem. Physiol, Part C 199 : 345 : 364.
Bricking EM. 2002. Introduced Species Summary Project: Asian Swamp Eel.
Columbia University. 27 February 2002.
http://www.columbia.edu/itc/cerc/danoffburg/invasion_bio/in_spp
summ/Monopterus_albus. html diakses tanggal 4 Juni 2012
Bolamba D, Matton P, Estrada R, Dufour JJ. 1992. Effect of Pregnant Mare’s
Serum Gonadotropin on Follicular Population and Ovulasi Rates in
Prepubertal Gilts With Two Morphologically Different Ovarium Types. J.
Anim. Sci. 70 : 1916 – 1992.
31
Boyd CE. 1990. Water Quality Management in Pond Fish. Research and
Development Series No. 22. International for Aquaculture. Agriculture
Experiment Station, Auburn Alabama.
Busacker GP, Adelman IR, Goolish EM. 1990. Growth. in: Schreck C.B, Moyle
PB. (Eds.), Methods for Fish Biology. American Fisheries Society,
Bethesda (MD), pp. 363 – 387.
Cabrita Elsa, Vanesa Robles, Paz Herraez. 2009. Methods in Reproductive
Aquaculture Marine and Freswater Spesies. CRC Press, Francis. Halaman
574 : 6 – 19.
Cerda J, Calman BG, Lefleur GJJr, Limesand S. 1996. Patten of Vitellogenesis
and Ovarian Folicular Cycle of Fundulus heteroclitus. Gen. Comp. Endo.
103:24-35
Chan STH, J Phillips. 1967. The Struktur of The Gonad During Natural Sex
Reversal in Monopterus albus, (Pisces, Teleostei). J. Zool. 151:129-141
Combarnous Y. 1988. Structure and Structure-Function Relationships in
Gonadotropin. Reprod, Nutr. Develop, 28 : 211 – 228.
Crim LW, Shenwood NM, Wilson CE. 1988. Sustained Hormon Release II,
Effectiveness of LHRH analog (LHRHa) Administration by Either Single
Time Injection or Cholesterol Pellet Implantation on Plasma Gonadotropin
Levels in a Bioassay Model Fish The Juvenile Rainbow Trout.
Aquaculture 74:87-95
Effendie MI. 1979. Biologi Perikanan Studi Natural Histori Bagian I. Fakultas
Perikanan IPB, Bogor.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta.
Halaman: 5.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta.
Halaman: 5.
Elis. 2003. Hubungan Perubahan Jenis Kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad
(TKG) dengan Ukuran Tubuh Ikan Belut Sawah (Monopterus albus) di
Desa Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. [Skripsi]. Manajemen Sumberdaya Perairan, IPB. Bogor.
Elper P, M Sokolowska, W Popek, K Bieniarz. 1986. Join Action of Carp
(Cyprinus carpio L) Pituitary Homogenate and human Chorionic
Gonadotropin (hCG) in Carp Oocyte Maturation and Ovulatin: in Vitro
and in Vivo Studies. Aquaculture, 51:133-142.
32
Fibriana Citra. 2010. Rekayasa Rematurasi Ikan Patin Siam (Pangasianodo
hypophthalamus) Dengan Kombinasi Penyuntikan Hormon PMSG dan
hCG serta Penambahan Vitamin Mix 100 mg/Kg Pakan. [Skripsi]. IPB,
Bogor.
Froese R, D Pauly (Editors). 2009. FishBase. World Wide Web Electronic
Publication. www.fishbase.org. Version (02/2007). Diakses tanggal 29
Januari 2009
Fukada H, Fujiwara Y, Takahashi T, Hiramatsu N, Sullivan CV, Hara A. 2003.
Carp (Cyprinus carpio) Vitellogenin: Purification and Development of a
Simultaneous Chemiluminescent Immunoassay. Comparative
Biochemistry and Physiology Part A: Molecular and Integrative
Physiology. 134: 615-623.
Grodsky GM. 1984. Kimia dan Fungsi Hormon: IV. Hipofisa dan Hipotalamus.
dalam Martin DW, Mayes PA. dan Rodwell VW. (eds). Biokimia (Review
of Biochemistry) EGC. Penerbit Buku Kedokteran. P. 585–595.
Gunarso W. 1989. Mikroteknik. PAU, Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Harker K. 1992. Pembiakkan Carp dengan Menggunakan Ovaprim di India. Warta
Akuakultur. Volume 2, No.3.
Hidayat R. 2010. Efektivitas Spawnprim pada Proses Ovulasi dan Pemijahan Ikan
Komet Carassius auratus auratus. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan
Manajemen Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hoars WS, DJ Randall, EM Donaldson. 1983. Fish Physiology, Volume IX,
Reproduction. Part B. Behaviour and Fertility Control. Academic press
Inc, London.
Istyanto S. 2002. Teknologi Pembesaran Ikan Hias Laut (Amphuiprion percula)
dengan Menggunakan Pakan Tubifex sp. UNDIP, Semarang.
Kagawa H, G Young, Y Nagahama. 1984. In Vitro Estradiol-17β and
Testosterone Production by Ovarian Follicles of Goldfish, Carassius
auratus. General and Comparative Endocrinology, 54 : 139 – 143.
Khanh NH, Ngan HTB. 2010. Current Practices of Rice Field Eel Monopterus
albus (Zuiew, 1793). Research Intitute For Aquaculture, Vietnam.
Mayasari Novi. 2012. Pemacuan Kematangan Gonad Ikan Lele Dumbo (Clarias
sp.) Betina dengan Kombinasi Hormon PMSG dan Spirulina. [Tesis].
Pascasarjana IPB. Bogor.
33
Mylonas CC, Y Magnus, A Gissis, Y Klebano, Y Zohar. 1996. Application of
Controlled-release GnRH-deliveried System in Commercial Production of
White Bass X Stripped Bass Hybrid (Sunshine bass) Using Captive
Broodstocks. Aquaculture, 40:265-280.
Nagahama Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads. P. 223-275.
In W. S. Hoar, D.J. Randall dan E.M. Donaldson (Eds) Fish physiology.
Volume IX B. Academic Press, Inc.
Nagahama Y, Matsuhisa A, Jwamatsu T, Sakai N, Fukaoa S. 1991. A Mechanism
for The Action Pregnant Mare Serum Gonadotropin on Aromatase
Activity in The Ovarian Follicle of The Medaka, Oryzias latipes. J. Exp.
Zool. 259: 53-58, Jepang
Nagahama Y. 1994. Endocrine Regulation of Gametogenesis in Fish.
International Journal of Developmental Biology. 38: 217-229.
NRC. 1993. Nutrient Requirements of Warm Water Fishes and Shelfish.
Nutritional
Nurmahdi Teuku. 2005. Pengaruh Penggunaan Hormon hCG dengan Dosis yang
Berbeda terhadap Perkembangan Gonad Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus Blkr.). [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. IPB, Bogor.
Permana D. 2009. Efektivitas Pencampuran LHRHa, Antidopamin, dan
Aromatase Inhibitor Dalam Memacu Terjadinya Ovulasi Pada Ikan
Sumatera Puntius tetrazona. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan
Manajemen Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Putra Wiwin KA. 2010. Laju Pertumbuhan dan Konversi Pakan Belut Sawah
(Monopterus Albus) Dengan Pemberian Berbagai Pakan Hewani Dalam
Media Air. [Skripsi]. Jurusan Perikanan dan Kelautan. UNSOED,
Purwokerto.
Rottmann RW, JV Shireman, FA Chapman. 1991. Hormonal Control of
Reproduction in Fish for Induced Spawning. SRAC Publication No. 424
Roy Ruslan. 2009. Buku Pintar Budidaya dan Bisnis Belut. PT. Agromedia
Pustaka, Jakarta. 126 hal.
Rudiana Esti, MP Eddy Moeljono, Susilo Handari. 2000. Pengaruh Pregnant
Mare’s Serum Gonadotropin (PMSG) dan Prostaglandin (PGF2α)
Terhadap Pematangan Telur dan Ovulasi Ikan Lele Dumbo (Clarias
gariepnus Burchell). [Tesis]. Program Studi Biologi. Program
Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
34
Sebastian S, Takayama K, Shozu M, Bulun S. 2002. Cloning and Characteriza-
tion of a Novel Endothelial Promoter of The Human CYP19 (aromatase
P450) Gene that is Up-Regulated in Breast Cancer Tissue. Mol
Endocrinol, 16:2243–2254
Siregar Maruli. 1999. Stimulasi Pematangan Gonad Bakal Induk Betina Ikan
Jambal Siam, Pangasius hypohthalamus F dengan Hormon hCG. [Tesis].
Sekolah Pascasarjana. IPB, Bogor.
Simpson ER, Clyne C, Rubin G, Boon WC, Robertson K, Britt K, Speed C, Jones
M. 2002. Aromatase, a Brief Overview. Annu Rev Physiol 64:93–127.
Sudrajat AO. 2000. Molecular Biological Studies on Cytocrome P-450 Aromatase
in Fish. [Thesis]. Dept. Of Aquatic Biosciene. University of Tokyo,
Jepang 100 p.
Swanson P. 2008. Endocrine Regulation of Reproduction. http://www. north west
fishery sciense center. noaa. gov/research/divisions/reutd/phys_endo/
endocrine. cfm [diakses tanggal 8 Juni 2012]
Syndel Laboratories Ltd. 2008. OvaprimTM. www.syndel.com/Default.aspx
[diakses tanggal 5 Juni 2012].
Taufik Arief H. 2009. Pertumbuhan Belut (Monopterus albus Zuieuw) yang
Dipelihara dalam Boks Plastik Pada Skala Lab dengan Kombinasi Pakan
Berbeda. [Skripsi]. Jurusan Perikanan Dan Kelautan. Unsoed, Purwokerto.
Tyler CR, JP Sumpter, PM Cambell. 1991. Uptake Of Vitellogenesis Into Oocyte
During Early Vitellogenic In The Rainbouw Trout, Oncorincus mykiss. W.
J. Fish. Biol., 38 : 681 – 689.
Wahyuningsih Hesti. 2012. Induksi Buatan pada Perkembangan Gonad Ikan Tor
soro. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Wibisona Rico Wisnu. 2012. Artificial Maturation Pada Ikan Belut Sawah
Monopterus Albus Melalui Penggunaan Kombinasi Hormon Pmsg
Pregnant Mare Serum Gonadotropin Dosis 5,10 dan 15 Iu dengan
Antidopamin 5 Ppm. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
IPB, Bogor.
Yamin L. 1991. Kemampuan Reproduksi Ikan Belut (Monopterus albus, Zuiew)
pada Dua Tipe Sawah di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor.
Yaron Z. 1995. Endocrine Control Of Gametogenesis and Spawning Induction In
The Carp. Aquaculture, 129 : 49 – 73.
35
Yanong RPE, Martinez C, Watson CA. 2009. Use of Ovaprim in Ornamental Fish
Aquaculture1. IFAS Extension, University of Florida.
Ye D, Lv D, Song P, Peng M, Chen Y, Guo M, Yang Q, Hu Y. 2007. Cloning and
Characterization of a Rice Field Eel Vasa-Like Gene cDNA and its
Expression in Gonads During Natural Sex Transformation. Biochemical
Genetics 45 211–224.
Young. G, Kagawa H, Nagahama Y. 1983. Evidence Lor a Decrease in Aromatase
Activity in The Ovarian Granulosa Cells of Amago Salmon
(Oncorhynchus rhodurus) Associated with Final Oocyte Maturation. Bioi.
Reprod. 29: 310-315.
Yulfiperius, 2001. Pengaruh Kadar Vitamin E dalam Pakan Terhadap Kualitas
Telur Ikan Patin, Pangasius hypophthalmus. [Thesis]. Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 40 hal
Yusniar. 1996. Kelimpahan dan Pola Penyebaran Ikan Belut (Monopterus albus)
Di Kecarnatan Cibeber, Cianjur. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan llmu
Kelautan. IPB, Bogor .
Zairin MJr, K Asahina, K Furukawa, K Aida. 1992a. Changes in Ovarian Maturity
in The Tropical Walking Catfish, Clarias batrachus Reared Under 23-
25o
C. Nippon Suisan Gakkaishi, 58 : 2033-2037.
Zohar Y, CC Mylonas. 1989. Endocrinology and Fish Farming Aspects in
Reproduction, Growth and Smoltification. Fish Physiology and Biochemistry 7:
395-405
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Gonado Somatik Indeks (GSI) belut sawah setiap minggu
selama penelitian
Perlakuan
Minggu NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
M0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
M1 0.15 0.16 0.33 0.15 0.13 0.17 0.54
M2 0.12 1.56 0.96 0.08 0.87 0.67 1.59
M3 0.17 0.38 0.59 0.23 1.4 3.98 0.68
M4 0.1 0.25 0.43 0.09 0.74 4.36 1.25
Total 0.642 2.453 2.408 0.648 3.245 9.282 4.156
Rata-rata 0.128 0.491 0.482 0.130 0.649 1.856 0.831
Stdev 0.032 0.607 0.321 0.062 0.545 2.128 0.591
36
Lampiran 2 Data dan analisis Gonado Somatik Indeks (GSI) belut sawah pada
minggu ke-4
Perlakuan
Ulangan NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
1 0.135 0.123 0.431 0.142 1.020 4.358 1.038
2 0.096 0.249 0.262 0.128 0.278 3.498 1.248
3 0.329 0.659 0.147 0.202 0.743 2.215 0.531
4 0.157 1.696 0.927 0.274 1.652 2.925 0.713
Total 0.718 2.727 1.767 0.745 3.693 12.995 3.531
Rata-rata 0.180 0.682 0.442 0.186 0.923 3.249 0.883
Stdev 0.103 0.714 0.344 0.067 0.574 0.907 0.321
Software: MINITAP 16
Welcome to Minitab, press F1 for help.
One-way ANOVA: C1 versus C2
Source DF SS MS F P
C2 6 27.181 4.530 16.70 0.000
Error 21 5.696 0.271
Total 27 32.877
S = 0.5208 R-Sq = 82.68% R-Sq(adj) = 77.73%
Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
Level N Mean StDev ---+---------+---------+---------+------
AD 4 0.1861 0.0666 (----*---)
hCG 4 0.4418 0.3438 (----*---)
hCG+AD 4 0.8828 0.3215 (---*----)
NaCl 4 0.1796 0.1031 (---*----)
PMSG 4 0.6818 0.7141 (----*---)
PMSG+AD 4 3.2488 0.9067 (---*----)
PMSG+hCG 4 0.9232 0.5743 (----*---)
---+---------+---------+---------+------
0.0 1.2 2.4 3.6
Pooled StDev = 0.5208
Grouping Information Using Tukey Method
C2 N Mean Grouping
PMSG+AD 4 3.2488 A
PMSG+hCG 4 0.9232 B
hCG+AD 4 0.8828 B
PMSG 4 0.6818 B
hCG 4 0.4418 B
AD 4 0.1861 B
NaCl 4 0.1796 B
Means that do not share a letter are significantly different.
37
Lampiran 3 Data Hepatosomatik Indeks belut sawah setiap minggu selama
penelitian
Perlakuan
Minggu NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
M0 1.73 1.73 1.73 1.73 1.73 1.73 1.73
M1 2.13 0.98 1.64 2.37 1.20 2.07 1.43
M2 1.08 2.92 5.78 0.71 3.17 2.87 2.61
M3 1.38 1.13 0.98 1.36 2.48 4.98 0.85
M4 1.63 2.24 3.02 0.64 1.07 3.52 1.53
Total 7.950 8.991 13.145 6.801 9.648 15.164 8.142
Rata-rata 1.590 1.798 2.629 1.360 1.930 3.033 1.628
Stdev 0.391 0.803 1.910 0.724 0.889 1.292 0.639
Lampiran 4 Data dan analisis nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) belut sawah
pada minggu ke-4
Perlakuan
Ulangan NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
1 1.76 1.72 3.02 0.85 1.28 3.52 1.14
2 1.63 2.24 3.28 0.89 2.36 3.19 1.53
3 1.81 2.31 1.62 0.60 1.07 2.56 2.39
4 1.57 2.75 2.67 3.38 1.27 2.92 2.50
Total 6.78 9.01 10.58 5.72 5.98 12.19 7.56
Rata-rata 1.69 2.25 2.64 1.43 1.49 3.05 1.89
Stdev 0.11 0.42 0.73 1.30 0.59 0.41 0.66
Software: MINITAP 16
One-way ANOVA: C1 versus C2
Source DF SS MS F P
C2 6 8.921 1.487 3.09 0.025
Error 21 10.099 0.481
Total 27 19.020
S = 0.6935 R-Sq = 46.90% R-Sq(adj) = 31.73%
Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
Level N Mean StDev -+---------+---------+---------+--------
AD 4 1.4309 1.3029 (--------*--------)
hCG 4 2.6446 0.7311 (--------*--------)
hCG+AD 4 1.8888 0.6610 (--------*--------)
NaCl 4 1.6944 0.1100 (--------*--------)
PMSG 4 2.2532 0.4206 (--------*--------)
PMSG+AD 4 3.0466 0.4073 (--------*--------)
PMSG+hCG 4 1.4950 0.5851 (--------*--------)
-+---------+---------+---------+--------
0.80 1.60 2.40 3.20
Pooled StDev = 0.6935
38
Grouping Information Using Tukey Method
C2 N Mean Grouping
PMSG+AD 4 3.0466 A
hCG 4 2.6446 A B
PMSG 4 2.2532 A B
hCG+AD 4 1.8888 A B
NaCl 4 1.6944 A B
PMSG+hCG 4 1.4950 A B
AD 4 1.4309 B
Means that do not share a letter are significantly different.
Lampiran 5 Data konsentrasi estradiol-17β belut sawah setiap minggu selama
penelitian
Perlakuan
Minggu NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
M0 22.53 22.53 22.53 22.53 22.53 22.53 22.53
M1 31.49 33.83 51.63 20.58 43.05 235.02 22.52
M2 52.66 39.77 37.58 39.51 31.43 36.3 13.63
M3 26.39 22.5 69.52 48.9 27.27 55.25 31.62
M4 58.8 16.52 33.9 29.52 42.15 42.53 95.49
Lampiran 6. Data diameter telur belut sawah setiap minggu selama penelitian
Perlakuan
Minggu NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
M0 0 0 0 0 0 0 0
M1 0 0.45 0.51 0.0 0.55 0.48 0.66
M2 0 0.71 0.80 0.0 0.64 0.86 0.45
M3 0 0.69 0.00 0.0 2.69 1.12 0.74
M4 0 0.55 0.87 0.24 2.24 3.07 0.89
Lampiran 7 Data pertambahan bobot dan panjang setiap perlakuan selama
penelitian
Data pertambahan bobot tubuh belut sawah setiap minggu selama penelitian
Minggu
ke-
Perlakuan
NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
M1 1.99 0.44 0.92 1.66 0.32 2.68 1.43
M2 0.22 0.24 2.23 0.64 3.24 2.42 1.41
M3 0.67 0.3 0.01 0.16 2.6 0.87 2.33
M4 1.95 0.38 0.83 1.2 1.17 1.38 0.81
Total 4.83 1.36 3.99 3.66 7.33 7.35 5.98
Rata-rata 1.21 0.34 1.00 0.92 1.83 1.84 1.50
Stdev 0.90 0.09 0.92 0.65 1.33 0.86 0.63
39
Data pertambahan panjang tubuh belut sawah setiap minggu selama penelitian
Minggu
ke-
Perlakuan
NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
M1 0.4 0.5 0 0 0 0 0
M2 0 0.3 0 0.9 0 0 0.5
M3 0.8 0 0.3 0.6 0 0 0
M4 0 0 0 0.3 0.2 0 0
Total 1.20 0.80 0.30 1.80 0.20 0.00 0.50
Rata-rata 0.30 0.20 0.08 0.45 0.05 0.00 0.13
Stdev 0.38 0.24 0.15 0.39 0.10 0.00 0.25
Lampiran 8 Data dan analisis pertambahan bobot tubuh belut sawah minggu ke-4
Perlakuan
NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
Rata-rata 0.66 0.48 0.77 0.60 0.99 1.89 0.79
Stdev 0.86 0.21 0.49 0.51 0.64 0.91 0.27
Analisis pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu ke-4
Software: MINITAP 16
One-way ANOVA: Bobot tubuh versus Perlakuan
Source DF SS MS F P
Perlakuan 6 5.346 0.891 2.40 0.063
Error 21 7.787 0.371
Total 27 13.134
S = 0.6089 R-Sq = 40.71% R-Sq(adj) = 23.77%
Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
Level N Mean StDev --+---------+---------+---------+-------
AD 4 0.5975 0.5097 (---------*--------)
hCG 4 0.7725 0.4890 (--------*--------)
hCG+AD 4 0.7925 0.2704 (--------*--------)
NaCl 4 0.6575 0.8643 (--------*--------)
PMSG 4 0.4775 0.2066 (--------*--------)
PMSG+AD 4 1.8875 0.9051 (--------*--------)
PMSG+hCG 4 0.9850 0.6441 (--------*--------)
--+---------+---------+---------+-------
0.00 0.70 1.40 2.10
Pooled StDev = 0.6089
Grouping Information Using Tukey Method
Perlakuan N Mean Grouping
PMSG+AD 4 1.8875 A
PMSG+hCG 4 0.9850 A B
hCG+AD 4 0.7925 A B
hCG 4 0.7725 A B
NaCl 4 0.6575 A B
AD 4 0.5975 A B
PMSG 4 0.4775 B
Means that do not share a letter are significantly different.
40
Lampiran 9 Data dan analisis pertambahan panjang belut sawah pada minggu ke-4
Perlakuan
NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD
Rata-rata 1.20 0.58 0.48 0.58 0.35 0.27 0.43
Stdev 0.97 0.33 0.05 0.51 0.31 0.30 0.33
Software: MINITAP 16
One-way ANOVA: Panjang tubuh versus Perlakuan
Source DF SS MS F P
Perlakuan 6 2.242 0.374 1.64 0.186
Error 21 4.788 0.228
Total 27 7.030
S = 0.4775 R-Sq = 31.90% R-Sq(adj) = 12.44%
Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+-----
AD 4 0.5750 0.5058 (---------*--------)
hCG 4 0.4750 0.0500 (--------*---------)
hCG+AD 4 0.4250 0.3304 (---------*--------)
NaCl 4 1.2000 0.9661 (---------*---------)
PMSG 4 0.5750 0.3304 (---------*--------)
PMSG+AD 4 0.2750 0.2986 (--------*---------)
PMSG+hCG 4 0.3500 0.3109 (---------*---------)
----+---------+---------+---------+-----
0.00 0.50 1.00 1.50
Pooled StDev = 0.4775
Grouping Information Using Tukey Method
Perlakuan N Mean Grouping
NaCl 4 1.2000 A
PMSG 4 0.5750 A
AD 4 0.5750 A
hCG 4 0.4750 A
hCG+AD 4 0.4250 A
PMSG+hCG 4 0.3500 A
PMSG+AD 4 0.2750 A
Means that do not share a letter are significantly different.
41
Lampiran 10 Biaya pembuatan hormon perlakuan pada penelitiaan
No Perlakuan Dosis/kg
Harga 10 cc
(10 kg)
Harga 1cc
(belut panjang
22±2 cm,
60-100 ekor)
1 NaCl 0.95% 1 ml Rp. 1000 Rp. 100
2 PMSG 20 IU Rp. 101000 Rp. 10100
3 hCG 20 IU Rp. 21000 Rp. 2100
4 Antidopamin 0.01 mg Rp. 10000 Rp. 1000
5 PMSG+hCG 20 IU + 10 IU Rp. 111000 Rp. 11100
6 PMSG+AD 20 IU + 0.01 mg Rp. 101500 Rp. 10100
7 hCG+AD 20 IU + 0.01 mg Rp. 21500 Rp. 2150
Keterangan:
Harga PMSG 500IU/10 ml = 250000
Harga hCG 1500IU/5 ml = 150000
Harga Antidopamin 0.01 mg = 1000
Harga NaCl = 7000
Lampiran 11 Mekanisme kerja hormon perlakuan induksi maturasi belut sawah
Mekanisme kerja hormon perlakuan induksi maturasi belut sawah pada
penelitian ini seperti di bawah ini:
OTAK
Hipotalamus
Pituitari
Perkembangan Oosit
(maturation/
rematuration)
GONAD
Sel Teka
GnRH
Gonadotropin
Sel
Granulosa
T EP450 arom
Vitellogenesis
Anti dopamin, AD
GnRH, FSH-RH
endogenous
FSH
FSH
PMSG
hCG
(Sudrajat, 2010)
Mekanisme kerja hormon perlakuan (Sudrajat 2000)
42
RIWAYAT HIDUP
Penulis dengan nama lengkap Wiwin Kusuma Atmaja Putra, S.Pi dilahirkan
di Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Jambi pada tanggal 25 Juli 1988 sebagai anak
pertama dari pasangan Hubertus Winarto dan Sri Winarsih. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Sains Dan Teknik,
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), lulus pada tahun 2011. Pada tahun
2011, penulis diterima di Mayor Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Kegiatan seminar atau lokakarya yang pernah diikuti diantaranya Seminar
Nasional Tahunan VIII Hasil Peenelitian Perikanan dan Kelautan 2011 di
Universitas Gajah Mada (UGM), Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur
IV di Institut Pertanian Bogor (IPB), Seminar Nasional Perkembangan Sains dan
Teknologi Budidaya Crustacea yang Berkelanjutan di Universitas Jenderal
Soedirman (UNSOED). Pemakalah dan publikasi yang telah dipublikasi pada
prosiding Seminar Nasional UGM dengan judul Upaya Meningkatkan Laju
Pertumbuhan dan Konversi Pakan Belut Sawah (Monopterus albus). Publikasi
yang sedang proses review dan akan terbit diantaranya denga judul Laju
Pertumbuhan dan Konversi Pakan Belut sawah (Monopterus albus) Dengan
Pemberian Berbagai Pakan Hewani dalam Media Air pada Jurnal Perikanan
Indonesia (UGM) dan Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) dengan
Hormon Human Chorionic Gonadotropin dan antidopamin pada Jurnal Riset
Akuakultur di Pusat Riset Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan Perikanan
dengan Akreditasi A.
43

More Related Content

What's hot

Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...
Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...
Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...Nur Rohim
 
Pengukuran sudut
Pengukuran sudutPengukuran sudut
Pengukuran sudutolismisarko
 
Laporan Uji Karbohidrat - Biokimia
Laporan Uji Karbohidrat - BiokimiaLaporan Uji Karbohidrat - Biokimia
Laporan Uji Karbohidrat - BiokimiaRia Rohmawati
 
Laporan fisika dasar gesekan pada bidang miring
Laporan fisika dasar gesekan pada bidang miringLaporan fisika dasar gesekan pada bidang miring
Laporan fisika dasar gesekan pada bidang miringNurul Hanifah
 
Makalah nematoda
Makalah nematoda Makalah nematoda
Makalah nematoda R Januari
 
Hubungan keterkaitan ekosistem_mangrove
Hubungan keterkaitan ekosistem_mangroveHubungan keterkaitan ekosistem_mangrove
Hubungan keterkaitan ekosistem_mangrovehar tati
 
PANDUAN MONITORING PADANG LAMUN
PANDUAN MONITORING PADANG LAMUNPANDUAN MONITORING PADANG LAMUN
PANDUAN MONITORING PADANG LAMUNAmos Pangkatana
 
LAPORAN BIOLOGI 2013
LAPORAN BIOLOGI 2013LAPORAN BIOLOGI 2013
LAPORAN BIOLOGI 2013Dewi Purwati
 
Amphibia (Binatang Amphibi)
Amphibia (Binatang Amphibi)Amphibia (Binatang Amphibi)
Amphibia (Binatang Amphibi)Arvin Yafiz
 
Dasar dasar ekologi hewan
Dasar dasar ekologi hewanDasar dasar ekologi hewan
Dasar dasar ekologi hewanMuhyi Nurrasyid
 
Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi
Perubahan Iklim dan Bencana HidrometeorologiPerubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi
Perubahan Iklim dan Bencana HidrometeorologiLestari Moerdijat
 
Laporan praktikum hukum melde kelompok 1
Laporan praktikum hukum melde kelompok 1Laporan praktikum hukum melde kelompok 1
Laporan praktikum hukum melde kelompok 1Nita Mardiana
 
Laporan kimia-lingkungan-pembuatan-pupuk-cair
Laporan kimia-lingkungan-pembuatan-pupuk-cairLaporan kimia-lingkungan-pembuatan-pupuk-cair
Laporan kimia-lingkungan-pembuatan-pupuk-cairElsa S Pujiantari Husin
 

What's hot (20)

Laporan 2 (termoregulasi)
Laporan 2 (termoregulasi)Laporan 2 (termoregulasi)
Laporan 2 (termoregulasi)
 
Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...
Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...
Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...
 
Pengukuran sudut
Pengukuran sudutPengukuran sudut
Pengukuran sudut
 
Laporan Uji Karbohidrat - Biokimia
Laporan Uji Karbohidrat - BiokimiaLaporan Uji Karbohidrat - Biokimia
Laporan Uji Karbohidrat - Biokimia
 
Klasifikasi dan penamaan mikroorganisme
Klasifikasi dan penamaan mikroorganismeKlasifikasi dan penamaan mikroorganisme
Klasifikasi dan penamaan mikroorganisme
 
Laporan fisika dasar gesekan pada bidang miring
Laporan fisika dasar gesekan pada bidang miringLaporan fisika dasar gesekan pada bidang miring
Laporan fisika dasar gesekan pada bidang miring
 
Makalah nematoda
Makalah nematoda Makalah nematoda
Makalah nematoda
 
Laporan Praktikum 5 Mammalia
Laporan Praktikum 5 MammaliaLaporan Praktikum 5 Mammalia
Laporan Praktikum 5 Mammalia
 
CACING PLANARIA SP
CACING PLANARIA SPCACING PLANARIA SP
CACING PLANARIA SP
 
Resonansi Bunyi
Resonansi BunyiResonansi Bunyi
Resonansi Bunyi
 
Laporan kunjungan bmkg
Laporan kunjungan bmkgLaporan kunjungan bmkg
Laporan kunjungan bmkg
 
Percobaan gerak melingkar
Percobaan gerak melingkarPercobaan gerak melingkar
Percobaan gerak melingkar
 
Hubungan keterkaitan ekosistem_mangrove
Hubungan keterkaitan ekosistem_mangroveHubungan keterkaitan ekosistem_mangrove
Hubungan keterkaitan ekosistem_mangrove
 
PANDUAN MONITORING PADANG LAMUN
PANDUAN MONITORING PADANG LAMUNPANDUAN MONITORING PADANG LAMUN
PANDUAN MONITORING PADANG LAMUN
 
LAPORAN BIOLOGI 2013
LAPORAN BIOLOGI 2013LAPORAN BIOLOGI 2013
LAPORAN BIOLOGI 2013
 
Amphibia (Binatang Amphibi)
Amphibia (Binatang Amphibi)Amphibia (Binatang Amphibi)
Amphibia (Binatang Amphibi)
 
Dasar dasar ekologi hewan
Dasar dasar ekologi hewanDasar dasar ekologi hewan
Dasar dasar ekologi hewan
 
Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi
Perubahan Iklim dan Bencana HidrometeorologiPerubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi
Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi
 
Laporan praktikum hukum melde kelompok 1
Laporan praktikum hukum melde kelompok 1Laporan praktikum hukum melde kelompok 1
Laporan praktikum hukum melde kelompok 1
 
Laporan kimia-lingkungan-pembuatan-pupuk-cair
Laporan kimia-lingkungan-pembuatan-pupuk-cairLaporan kimia-lingkungan-pembuatan-pupuk-cair
Laporan kimia-lingkungan-pembuatan-pupuk-cair
 

Viewers also liked

Viewers also liked (9)

PEMANFAATAN EKSTRAK DAUN KETAPANG Terminalia cattapa UNTUK PENCEGAHAN DAN PEN...
PEMANFAATAN EKSTRAK DAUN KETAPANG Terminalia cattapa UNTUK PENCEGAHAN DAN PEN...PEMANFAATAN EKSTRAK DAUN KETAPANG Terminalia cattapa UNTUK PENCEGAHAN DAN PEN...
PEMANFAATAN EKSTRAK DAUN KETAPANG Terminalia cattapa UNTUK PENCEGAHAN DAN PEN...
 
Rasio Kelamin Ikan Guppy
Rasio Kelamin Ikan GuppyRasio Kelamin Ikan Guppy
Rasio Kelamin Ikan Guppy
 
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
 
Integrasi Nasional
Integrasi NasionalIntegrasi Nasional
Integrasi Nasional
 
Integrasi nasional
Integrasi nasional Integrasi nasional
Integrasi nasional
 
Integrasi nasional ppt
Integrasi nasional pptIntegrasi nasional ppt
Integrasi nasional ppt
 
Bab 6 integrasi nasional
Bab 6 integrasi nasionalBab 6 integrasi nasional
Bab 6 integrasi nasional
 
Ppt. integrasi nasional dari kelompok 2 prodi pend. BK UNSRI
Ppt. integrasi nasional dari kelompok 2 prodi pend. BK UNSRIPpt. integrasi nasional dari kelompok 2 prodi pend. BK UNSRI
Ppt. integrasi nasional dari kelompok 2 prodi pend. BK UNSRI
 
Ancaman Terhadap Integrasi Nasional
Ancaman Terhadap Integrasi NasionalAncaman Terhadap Integrasi Nasional
Ancaman Terhadap Integrasi Nasional
 

Similar to Induksi maturasi belut sawah secara hormonal

PEMIJAHAN SECARA BUATAN PADA IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. DENGAN PENY...
PEMIJAHAN SECARA BUATAN PADA IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. DENGAN PENY...PEMIJAHAN SECARA BUATAN PADA IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. DENGAN PENY...
PEMIJAHAN SECARA BUATAN PADA IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. DENGAN PENY...Repository Ipb
 
APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON SEROTONIN (5-HT) TERHADAP PEMATANGAN GONAD INDU...
APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON  SEROTONIN (5-HT) TERHADAP  PEMATANGAN GONAD INDU...APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON  SEROTONIN (5-HT) TERHADAP  PEMATANGAN GONAD INDU...
APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON SEROTONIN (5-HT) TERHADAP PEMATANGAN GONAD INDU...lisa ruliaty 631971
 
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...Repository Ipb
 
2009ahs kajian proporsi bagian tubuh dan kadar sebagai hepatoprotektor
2009ahs kajian proporsi bagian tubuh dan kadar sebagai hepatoprotektor2009ahs kajian proporsi bagian tubuh dan kadar sebagai hepatoprotektor
2009ahs kajian proporsi bagian tubuh dan kadar sebagai hepatoprotektorkhakim_nur
 
fdokumen.com_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
fdokumen.com_presentasi-rproduksi-ikan-baung.pptfdokumen.com_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
fdokumen.com_presentasi-rproduksi-ikan-baung.pptRahmadiAziz1
 
dokumen.tips_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
dokumen.tips_presentasi-rproduksi-ikan-baung.pptdokumen.tips_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
dokumen.tips_presentasi-rproduksi-ikan-baung.pptDeayuDinah
 
Fermetasi ampas tahu dengan laru oncom sebagai pakan ayam ras pedaging
Fermetasi ampas tahu dengan laru oncom sebagai pakan ayam ras pedagingFermetasi ampas tahu dengan laru oncom sebagai pakan ayam ras pedaging
Fermetasi ampas tahu dengan laru oncom sebagai pakan ayam ras pedagingdimasarienugraha123
 
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
MASKULINISASI  BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN  HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...MASKULINISASI  BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN  HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...lisa ruliaty 631971
 
870 1-1731-1-10-20130801
870 1-1731-1-10-20130801870 1-1731-1-10-20130801
870 1-1731-1-10-20130801Hendra Darmawan
 
Aplikasi uji punyakoti untuk deteksi kebuntingan pada ruminansia
Aplikasi uji punyakoti untuk deteksi kebuntingan pada ruminansiaAplikasi uji punyakoti untuk deteksi kebuntingan pada ruminansia
Aplikasi uji punyakoti untuk deteksi kebuntingan pada ruminansiauppmstppbogor
 
Biologi reproduksi ikan kembung lelaki, Rastreliger kanagurta (Cuvier, 1816) ...
Biologi reproduksi ikan kembung lelaki, Rastreliger kanagurta (Cuvier, 1816) ...Biologi reproduksi ikan kembung lelaki, Rastreliger kanagurta (Cuvier, 1816) ...
Biologi reproduksi ikan kembung lelaki, Rastreliger kanagurta (Cuvier, 1816) ...Dr. Mauli Kasmi
 
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisLaporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisaulidya nurul habibah
 
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisLaporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisaulidya nurul habibah
 
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...Abi Haura
 
TEKNIK PEMBENIHAN ABALON DI BBRBLPP GONDOL, BALI
TEKNIK PEMBENIHAN ABALON DI BBRBLPP GONDOL, BALITEKNIK PEMBENIHAN ABALON DI BBRBLPP GONDOL, BALI
TEKNIK PEMBENIHAN ABALON DI BBRBLPP GONDOL, BALINella Asima
 
Laporan fekunditas telur
Laporan fekunditas telurLaporan fekunditas telur
Laporan fekunditas telurDeden Reinaldi
 

Similar to Induksi maturasi belut sawah secara hormonal (20)

PEMIJAHAN SECARA BUATAN PADA IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. DENGAN PENY...
PEMIJAHAN SECARA BUATAN PADA IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. DENGAN PENY...PEMIJAHAN SECARA BUATAN PADA IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. DENGAN PENY...
PEMIJAHAN SECARA BUATAN PADA IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. DENGAN PENY...
 
APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON SEROTONIN (5-HT) TERHADAP PEMATANGAN GONAD INDU...
APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON  SEROTONIN (5-HT) TERHADAP  PEMATANGAN GONAD INDU...APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON  SEROTONIN (5-HT) TERHADAP  PEMATANGAN GONAD INDU...
APLIKASI PENYUNTIKAN HORMON SEROTONIN (5-HT) TERHADAP PEMATANGAN GONAD INDU...
 
Buku teknologi tepat guna.pdf
Buku teknologi tepat guna.pdfBuku teknologi tepat guna.pdf
Buku teknologi tepat guna.pdf
 
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
 
D10anr
D10anrD10anr
D10anr
 
Artikel penelitian
Artikel penelitianArtikel penelitian
Artikel penelitian
 
2009ahs kajian proporsi bagian tubuh dan kadar sebagai hepatoprotektor
2009ahs kajian proporsi bagian tubuh dan kadar sebagai hepatoprotektor2009ahs kajian proporsi bagian tubuh dan kadar sebagai hepatoprotektor
2009ahs kajian proporsi bagian tubuh dan kadar sebagai hepatoprotektor
 
Skripsi lengkap
Skripsi lengkapSkripsi lengkap
Skripsi lengkap
 
fdokumen.com_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
fdokumen.com_presentasi-rproduksi-ikan-baung.pptfdokumen.com_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
fdokumen.com_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
 
dokumen.tips_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
dokumen.tips_presentasi-rproduksi-ikan-baung.pptdokumen.tips_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
dokumen.tips_presentasi-rproduksi-ikan-baung.ppt
 
Fermetasi ampas tahu dengan laru oncom sebagai pakan ayam ras pedaging
Fermetasi ampas tahu dengan laru oncom sebagai pakan ayam ras pedagingFermetasi ampas tahu dengan laru oncom sebagai pakan ayam ras pedaging
Fermetasi ampas tahu dengan laru oncom sebagai pakan ayam ras pedaging
 
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
MASKULINISASI  BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN  HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...MASKULINISASI  BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN  HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
 
870 1-1731-1-10-20130801
870 1-1731-1-10-20130801870 1-1731-1-10-20130801
870 1-1731-1-10-20130801
 
Aplikasi uji punyakoti untuk deteksi kebuntingan pada ruminansia
Aplikasi uji punyakoti untuk deteksi kebuntingan pada ruminansiaAplikasi uji punyakoti untuk deteksi kebuntingan pada ruminansia
Aplikasi uji punyakoti untuk deteksi kebuntingan pada ruminansia
 
Biologi reproduksi ikan kembung lelaki, Rastreliger kanagurta (Cuvier, 1816) ...
Biologi reproduksi ikan kembung lelaki, Rastreliger kanagurta (Cuvier, 1816) ...Biologi reproduksi ikan kembung lelaki, Rastreliger kanagurta (Cuvier, 1816) ...
Biologi reproduksi ikan kembung lelaki, Rastreliger kanagurta (Cuvier, 1816) ...
 
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisLaporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
 
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisLaporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
 
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
 
TEKNIK PEMBENIHAN ABALON DI BBRBLPP GONDOL, BALI
TEKNIK PEMBENIHAN ABALON DI BBRBLPP GONDOL, BALITEKNIK PEMBENIHAN ABALON DI BBRBLPP GONDOL, BALI
TEKNIK PEMBENIHAN ABALON DI BBRBLPP GONDOL, BALI
 
Laporan fekunditas telur
Laporan fekunditas telurLaporan fekunditas telur
Laporan fekunditas telur
 

More from Putra putra

15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambakPutra putra
 
3 pemijahan 4. pakan dan manajemen kualitas air ikan hias
3 pemijahan 4. pakan dan manajemen kualitas air ikan hias3 pemijahan 4. pakan dan manajemen kualitas air ikan hias
3 pemijahan 4. pakan dan manajemen kualitas air ikan hiasPutra putra
 
3. periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telur
3. periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telur3. periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telur
3. periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telurPutra putra
 
1 4 seleksi induk ikan
1 4 seleksi induk ikan1 4 seleksi induk ikan
1 4 seleksi induk ikanPutra putra
 
Endokrinologi ikan sub bahasan sumber hormon alami
Endokrinologi ikan sub bahasan sumber hormon alamiEndokrinologi ikan sub bahasan sumber hormon alami
Endokrinologi ikan sub bahasan sumber hormon alamiPutra putra
 
Endokrinologi sub bahsan dopamin
Endokrinologi sub bahsan dopamin Endokrinologi sub bahsan dopamin
Endokrinologi sub bahsan dopamin Putra putra
 
endokrinologi ikan sub bahasan stress in fish
endokrinologi ikan sub bahasan stress in fishendokrinologi ikan sub bahasan stress in fish
endokrinologi ikan sub bahasan stress in fishPutra putra
 
endokrinologi sub bahasan hormon pertumbuhan dan osmoregulasi
endokrinologi sub bahasan hormon pertumbuhan dan osmoregulasiendokrinologi sub bahasan hormon pertumbuhan dan osmoregulasi
endokrinologi sub bahasan hormon pertumbuhan dan osmoregulasiPutra putra
 
Endokrinologi Ikan sub Bahasan kontrol hormon reproduksi pada udang
Endokrinologi Ikan sub Bahasan kontrol hormon reproduksi pada udangEndokrinologi Ikan sub Bahasan kontrol hormon reproduksi pada udang
Endokrinologi Ikan sub Bahasan kontrol hormon reproduksi pada udangPutra putra
 
Endokrinologi Ikan Sub Bahasan kontrol hormon reproduksi ikan
Endokrinologi Ikan Sub Bahasan kontrol hormon reproduksi ikanEndokrinologi Ikan Sub Bahasan kontrol hormon reproduksi ikan
Endokrinologi Ikan Sub Bahasan kontrol hormon reproduksi ikanPutra putra
 
endokrinologi ikan UMRAH Tanjungpinang
endokrinologi ikan UMRAH Tanjungpinangendokrinologi ikan UMRAH Tanjungpinang
endokrinologi ikan UMRAH TanjungpinangPutra putra
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan perkembangan hormon pada larva ...
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan perkembangan hormon pada larva ...fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan perkembangan hormon pada larva ...
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan perkembangan hormon pada larva ...Putra putra
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan ekofisologi larva
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan ekofisologi larvafisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan ekofisologi larva
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan ekofisologi larvaPutra putra
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan digesti
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan digestifisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan digesti
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan digestiPutra putra
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan pigmentasi larva ikan
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan pigmentasi larva ikanfisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan pigmentasi larva ikan
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan pigmentasi larva ikanPutra putra
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan sistem digesti dan kebiasaan ma...
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan sistem digesti dan kebiasaan ma...fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan sistem digesti dan kebiasaan ma...
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan sistem digesti dan kebiasaan ma...Putra putra
 
matakuliah fisiologi tingkah laku larva ikan sub judul perkembangan larva
matakuliah fisiologi tingkah laku larva ikan sub judul perkembangan larvamatakuliah fisiologi tingkah laku larva ikan sub judul perkembangan larva
matakuliah fisiologi tingkah laku larva ikan sub judul perkembangan larvaPutra putra
 

More from Putra putra (19)

15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak
 
Aquascape
AquascapeAquascape
Aquascape
 
3 pemijahan 4. pakan dan manajemen kualitas air ikan hias
3 pemijahan 4. pakan dan manajemen kualitas air ikan hias3 pemijahan 4. pakan dan manajemen kualitas air ikan hias
3 pemijahan 4. pakan dan manajemen kualitas air ikan hias
 
3. periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telur
3. periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telur3. periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telur
3. periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telur
 
Endokrin udang
Endokrin udangEndokrin udang
Endokrin udang
 
1 4 seleksi induk ikan
1 4 seleksi induk ikan1 4 seleksi induk ikan
1 4 seleksi induk ikan
 
Endokrinologi ikan sub bahasan sumber hormon alami
Endokrinologi ikan sub bahasan sumber hormon alamiEndokrinologi ikan sub bahasan sumber hormon alami
Endokrinologi ikan sub bahasan sumber hormon alami
 
Endokrinologi sub bahsan dopamin
Endokrinologi sub bahsan dopamin Endokrinologi sub bahsan dopamin
Endokrinologi sub bahsan dopamin
 
endokrinologi ikan sub bahasan stress in fish
endokrinologi ikan sub bahasan stress in fishendokrinologi ikan sub bahasan stress in fish
endokrinologi ikan sub bahasan stress in fish
 
endokrinologi sub bahasan hormon pertumbuhan dan osmoregulasi
endokrinologi sub bahasan hormon pertumbuhan dan osmoregulasiendokrinologi sub bahasan hormon pertumbuhan dan osmoregulasi
endokrinologi sub bahasan hormon pertumbuhan dan osmoregulasi
 
Endokrinologi Ikan sub Bahasan kontrol hormon reproduksi pada udang
Endokrinologi Ikan sub Bahasan kontrol hormon reproduksi pada udangEndokrinologi Ikan sub Bahasan kontrol hormon reproduksi pada udang
Endokrinologi Ikan sub Bahasan kontrol hormon reproduksi pada udang
 
Endokrinologi Ikan Sub Bahasan kontrol hormon reproduksi ikan
Endokrinologi Ikan Sub Bahasan kontrol hormon reproduksi ikanEndokrinologi Ikan Sub Bahasan kontrol hormon reproduksi ikan
Endokrinologi Ikan Sub Bahasan kontrol hormon reproduksi ikan
 
endokrinologi ikan UMRAH Tanjungpinang
endokrinologi ikan UMRAH Tanjungpinangendokrinologi ikan UMRAH Tanjungpinang
endokrinologi ikan UMRAH Tanjungpinang
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan perkembangan hormon pada larva ...
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan perkembangan hormon pada larva ...fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan perkembangan hormon pada larva ...
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan perkembangan hormon pada larva ...
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan ekofisologi larva
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan ekofisologi larvafisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan ekofisologi larva
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan ekofisologi larva
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan digesti
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan digestifisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan digesti
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan digesti
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan pigmentasi larva ikan
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan pigmentasi larva ikanfisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan pigmentasi larva ikan
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan pigmentasi larva ikan
 
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan sistem digesti dan kebiasaan ma...
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan sistem digesti dan kebiasaan ma...fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan sistem digesti dan kebiasaan ma...
fisiologi tingkah laku larva ikan sub bahasan sistem digesti dan kebiasaan ma...
 
matakuliah fisiologi tingkah laku larva ikan sub judul perkembangan larva
matakuliah fisiologi tingkah laku larva ikan sub judul perkembangan larvamatakuliah fisiologi tingkah laku larva ikan sub judul perkembangan larva
matakuliah fisiologi tingkah laku larva ikan sub judul perkembangan larva
 

Recently uploaded

Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...laila16682
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxresidentcardio13usk
 
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas TerbukaMateri Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas TerbukaNikmah Suryandari
 
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfssuser4743df
 
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfkaramitha
 
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipaLKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipaBtsDaily
 
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptxR6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptxmagfira271100
 
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)ratnawijayanti31
 
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumkekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumfebrie2
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxSyabilAfandi
 

Recently uploaded (10)

Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
 
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas TerbukaMateri Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
 
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
 
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
 
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipaLKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
 
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptxR6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
 
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
 
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumkekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
 

Induksi maturasi belut sawah secara hormonal

  • 1. INDUKSI MATURASI BELUT SAWAH (Monopterus albus) SECARA HORMONAL WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
  • 2. PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Wiwin Kusuma Atmaja Putra NRP C151110111
  • 3. ii RINGKASAN WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA. Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal. Dibimbing AGUS OMAN SUDRAJAT dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO. Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini. Permasalahan pada ikan betina adalah kegagalan dalam proses pematangan gonad, ovulasi dan pemijahan. Belut sawah dengan panjang total 22±2 cm disuntik dengan hormon Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PMSG), human Chorionic Gonadotropin (hCG) dan antidopamin (AD). Penelitian ini bertujuan untuk menginduksi pematangan gonad dan menentukan status kelamin belut sawah. Penelitian ini menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan hormon dan tujuh ulangan, seperti: K (NaCl 0,95%), hormon PMSG 20 IU/kg bobot ikan, hormon hCG 20 IU/kg bobot ikan, antidopamin (AD) 0.01 mg/kg bobot ikan, hormon PMSG 20 IU+hCG 10 IU/kg bobot ikan, PMSG 20 IU+AD 0.01 mg/kg bobot ikan dan hCG 20 IU+AD 0.01 mg/kg bobot ikan. Akuarium yang digunakan sebanyak tujuh buah dengan ukuran 79x38x40cm. Hasil penelitian yang terbaik adalah perlakuan kombinasi hormone PMSG dan antidopamin dengan konsentrasi hormon estradiol-17β sebesar 235.2 sampai 42.53 pg/ml; nilai GSI sebesar 0.17 sampai 4.36%; nilai HSI sebesar 2.07 sampai 3.52%; diameter telur sebesar 0.48 sampai 3.07 mm; tingkat kematangan gonad mencapai TKG IV; fekunditas sebanyak 128 butir; pertambahan panjang 0 cm; pertambahan bobot tubuh sebesar 1.84 g; tingkat kebuntingan 100% dan status kelamin seluruhnya betina. Hasil ini dikarenakan FSH yang terkandung dalam PMSG merangsang peningkatan FSH, konsentrasi estradiol-17β akibat kinerja enzim aromatase, sehingga proses vitellogenesis yang lebih cepat selama 4 minggu, teramati pada peningkatan GSI, HSI, diameter telur, tingkat kematangan gonad, fekunditas, pertambahan bobot tubuh yang tinggi dan status kelamin. Kesimpulan penelitian ini adalah induksi maturasi belut sawah dapat dilakukan dengan penyuntikkan PMSG 20IU +AD 0.01 mg/kg selama empat minggu. Belut sawah ukuran panjang 22±2 cm dan bobot sekitar 5 sampai 12 g yang diinduksi dengan PMSG+AD adalah berstatus betina (matang gonad). Kata kunci: Antidopamin, belut sawah, hCG, maturasi, PMSG
  • 4. WIWIN KUSUMA ATMAJA Field Eel (Monopterus albus BAMBANG PRIYO UTOMO Rice field eel (Monopterus albus) fish, often there is a failure in the process of and spawning. Rice field hormones Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PSMG), human chorionic gonadotropin (hCG) and antidopamine (AD). maturation and determine the status sex completely randomized design (RAL) with seven treatments and seven as: Controls (0.95% NaCl of fish, AD 0.01 mg/kg of fish, PMSG 20 IU/kg+AD 0.01 mg mg/kg weight of fish. Aquarium used as many seven pieces with size cm. The result is best hormone combination treatme with hormone concentrations of estradiol 0.17 to 4.36%; HSI values maturity level TKG IV pregnancy rate 100%; contained in PMSG stimulates an increase FSH, estradiol caused performance of the enzyme aromatase process faster for 4 weeks, look at increasing GSI, H maturity, fecundity, body weight gain conclusion of this study is the induction of maturation eel rice can be done with PMSG 20IU+AD 0.01 mg/kg with a length of 22±2 cm results are females (mature) Keywords: Rice field eel, maturation, PMSG, hCG, antidopamine SUMMARY WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA. Hormonal Induction maturation of Rice Monopterus albus). Guided AGUS OMAN SUDRAJAT and NUR BAMBANG PRIYO UTOMO Rice field eel (Monopterus albus) are hermaphroditic protogynous. In the female fish, often there is a failure in the process of final gonadal maturation, ovulation Rice field eel with a total length of 22±2 cm by inject hormones Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PSMG), human chorionic gonadotropin (hCG) and antidopamine (AD). This study aimed to induce gonadal maturation and determine the status sex of rice field eel. This study uses a completely randomized design (RAL) with seven treatments and seven reaply Controls (0.95% NaCl), PMSG 20 IU/kg weight of fish, hCG 20 IU/kg weight /kg of fish, PMSG 20 IU/kg+hCG 10 IU/kg weight of fish, 0.01 mg/kg weight of fish, and hCG 20 IU/kg Aquarium used as many seven pieces with size of The result is best hormone combination treatment PMSG and antidopamin hormone concentrations of estradiol-17β 235.2 to 35.43 pg/ml; GSI values values 2.07 to 3.52%; egg diameter 0.48 to 3.07 mm; gonad G IV; fecundity 128 eggs; length 0 cm; weights ; and sex status all female. This result because stimulates an increase FSH, estradiol-17β concentration ormance of the enzyme aromatase so that affects vitellogenesis process faster for 4 weeks, look at increasing GSI, HSI, egg diameter, gonad maturity, fecundity, body weight gain was observed and sexual status conclusion of this study is the induction of maturation eel rice can be done with 0.01 mg/kg injection for four weeks. Sex status of rice field eel 2 cm and weight of about 5 g until 12 g hormonal induction (mature). Keywords: Rice field eel, maturation, PMSG, hCG, antidopamine iii Hormonal Induction maturation of Rice uided AGUS OMAN SUDRAJAT and NUR In the female final gonadal maturation, ovulation 2 cm by injecting of hormones Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PSMG), human chorionic This study aimed to induce gonadal This study uses a reaply such hCG 20 IU/kg weight hCG 10 IU/kg weight of fish, hCG 20 IU/kg +AD 0.01 of 79x38x40 nt PMSG and antidopamin GSI values mm; gonad weights 1.84 g; This result because of FSH 17β concentration affects vitellogenesis I, egg diameter, gonad and sexual status. The conclusion of this study is the induction of maturation eel rice can be done with rice field eel hormonal induction
  • 5. iv ©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
  • 6. v INDUKSI MATURASI BELUT SAWAH (Monopterus albus) SECARA HORMONAL WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
  • 7. vi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Odang Carman MSc
  • 8. vii Judul Tesis : Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal Nama : Wiwin Kusuma Atmaja Putra NIM : C151110111 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi Ketua Anggota Diketahui oleh Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Budidaya Perairan Dr Ir Sukenda, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
  • 9. viii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal yang telah dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc dan Bapak Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam mengatasi permasalahan dalam penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Dr Ir Odang Carman MSc yang telah meluluskan dalam Ujian Tesis. Kepada Bapak Maranta, kang Abeng, Mbak Lina, Ahya, Farah Diana, Epro Barades, dan Yudha Lestira D, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dalam pengambilan data, analsis dan peminjaman alat Laboratorium. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan Ayu Puspitasari yang telah memberi semangat dan doanya sehingga karya ilmiah ini selesai. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi mahasiswa, petani dan peneliti lainnya, amin. Bogor, Juli 2013 Wiwin Kusuma Atmaja Putra
  • 10. ix DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Biologi Belut 2 Tingkat Kematangan Gonad 3 Mekanisme Hormon Reproduksi Ikan 4 Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) 6 Hormon Human Chorionic Gonadotropin (hCG) 6 Antidopamin 7 Kebiasaan Makan dan Pakan Belut 8 3 METODE 9 Bahan 9 Lokasi dan Waktu Penelitian 9 Prosedur Penelitian 9 Analisis Data 15 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15 Hasil 15 Pembahasan 25 5 SIMPULAN DAN SARAN 29 Simpulan 29 Saran 29 DAFTAR PUSTAKA 30 LAMPIRAN 35 RIWAYAT HIDUP 42 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kualitas air media penelitian belut sawah 15 Tabel 4.1 Perkembangan tingkat kematangan gonad belut sawah pada setiap perlakuan selama penelitian 16 Tabel 4.2 Jumlah belut sawah pada tingkat kematangan gonad setiap minggu hasil induksi hormonal 19
  • 11. x Tabel 4.3 Status kelamin dan ciri-ciri belut sawah matang gonad hasil induksi hormonal 24 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Belut sawah (Monopterus albus) 2 Gambar 2.2 Mekanisme hormon reproduksi ikan 5 Gambar 2.3 Tahap perkembangan telur pada ikan 5 Gambar 2.4 Mekanisme antidopamin (Domperidone) 7 Gambar 2.5 Cacing tubifex 8 Gambar 4.1 Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi Hormonal 15 Gambar 4.2 Nilai GSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal 16 Gambar 4.3 Nilai HSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal 16 Gambar 4.4 Nilai GSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4 17 Gambar 4.5 Nilai HSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4 17 Gambar 4.6 Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah 18 Gambar 4.7 Diameter telur belut sawah hasil induksi secara hormonal 18 Gambar 4.8 Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu 19 Gambar 4.9 Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-0 dan minggu ke-1 20 Gambar 4.10 Histologi gonad belut sawah minggu ke-0 dan setiap perlakuan pada minggu ke-1 20 Gambar 4.11 Hati dan gonad belut sawah pada minggu ke-4 21 Gambar 4.12 Histologi gonad belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4 21 Gambar 4.13 Fekunditas belut sawah pada minggu ke-4 22 Gambar 4.14 Pertambahan panjang dan bobot tubuh belut sawah selama penelitian 22 Gambar 4.15 Pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu ke-4 23 Gambar 4.16 Pertambahan panjang tubuh belut sawah pada minggu ke-4 23 Gambar 4.17 Warna perut perut dan anus belut sawah yang belum matang gonad 24 Gambar 4.18 Warna perut dan anus belut sawah yang matang gonad 24 Gambar 4.19 Hati dan gonad yang belum matang serta telur berwarna bening 25 Gambar 4.20 Hati dan gonad yang matang gonad serta telur berwarna Kuning 25
  • 12. xi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Data Gonado Somatik Indeks (GSI) belut sawah setiap minggu selama penelitian 35 Lampiran 2 Data dan analisis Gonado Somatik Indeks (GSI) belut sawah pada minggu ke-4 36 Lampiran 3 Data Hepatosomatik Indeks belut sawah setiap minggu selama penelitian 37 Lampiran 4 Analisis nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) belut sawah pada minggu ke-4 37 Lampiran 5 Data konsentrasi estradiol-17β belut sawah setiap minggu selama penelitian 38 Lampiran 6 Data diameter telur belut sawah setiap minggu selama penelitian 38 Lampiran 7 Data pertambahan bobot dan panjang tubuh belut sawah setiap minggu selama penelitian 38 Lampiran 8 Data dan analisis pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu ke-4 39 Lampiran 9 Data dan analisis pertambahan panjang belut sawah pada Minggu ke-4 40 Lampiran 10 Biaya pembuatan hormon perlakuan pada penelitian 41 Lampiran 11 Mekanisme kerja hormon perlakuan induksi maturasi belut sawah 41
  • 13. 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini dengan perubahan jenis kelamin dari betina, interseks dan jantan (Ye et al. 2007). Ikan ini dapat ditemukan di wilayah Asia, diantaranya India, Cina, Jepang , Indonesia dan Malaysia (Froese dan Pauly 2009). Kebutuhan belut di Indonesia masih mengandalkan penangkapan secara alami yang nantinya akan dipelihara untuk pembesaran pada media lumpur. Penangkapan belut di alam berdampak negatif pada ketersediaan belut (induk, benih dan jantan), reproduksi dan produksi benih di alam semakin menurun. Zohar (1989) mengatakan bahwa hampir semua ikan yang dipelihara dalam wadah budidaya menunjukkan berbagai bentuk kegagalan reproduksi. Permasalah reproduksi pada ikan betina yang dipelihara dalam wadah budidaya diantaranya, pertama, ikan tidak dapat melakukan vitellogenesis; kedua, ikan tidak mampu melakukan proses pematangan akhir gonad (final oocyte maturation, FOM); dan ketiga, ikan tidak mampu memijah sebagai tahap akhir dari siklus reproduksi. Pembenihan secara buatan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan reproduksi ikan. Pembenihan belut sawah sangat bergantung pada ketersediaan induk matang gonad, tetapi selama ini teknik pematangan gonad dan status kelamin dari belut sawah belum diketahui. Induksi maturasi secara manipulasi hormonal merupakan solusi untuk penyediaan induk belut sawah matang gonad. Perkembangan awal gonad, vitellogenesis dikontrol oleh hormon FSH dan untuk pematangan gonad-ovulasi oleh hormon LH (Nagahama 1994). Mekanisme hormon reproduksi ikan pada musim pemijahan secara umum dikendalikan oleh brain – hypothalamus – pituitary – gonad (Rottmann 1991). Sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh sistem syaraf pusat (brain) dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan melepaskan hormon Gonadotropin Releising Hormone (GnRH) dan dopamin yang akan bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya, hormon gonadotropin yang mengandung FSH dan LH akan bekerja pada organ target yaitu gonad. Hormon FSH berperan merangsang proses vitellogenesis sedangkan LH akan merangsang proses maturasi hingga ovulasi (Gambar 2.2). Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan human Chorionic Gonadotropin (hCG) merupakan salah satu hormon gonadotropin yang dapat menginduksi proses vitellogenesis dan pematangan akhir pada ikan. Antidopamin adalah bahan kimia yang bekerja menghambat kerja dopamin, sehingga sekresi GnRH akan meningkat. Mekasnisme kerja hormon dan bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah seperti pada Lampiran 11. Hormon PMSG merupakan Chorionic gonadotropin merupakan hormon yang berasal dari serum darah kuda betina hamil yang mengandung FSH dan LH, dimana aktivitasnya lebih condong ke FSH daripada LH sedangkan hCG juga mengandung FSH dan LH, dimana aktivitasnya lebih condong ke LH daripada FSH . Induksi hormonal diharapkan mempercepat proses vitellogenesis dan maturasi sehingga proses ovulasi dan pemijahan dapat dilakukan secara normal diluar musim. Kriteria status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal
  • 14. 2 diharapkan dapan menjadi acuan penentuan status kelamin belut sawah yang bersifat morfologi untuk mempermudah pemijahan. Penyuntikan hormon PMSG pada ikan lele dumbo adalah 10 IU/kg bobot ikan memberikan pengaruh ovulasi tetapi masih rendah (Rudiana 2000), pada ikan tor soro dapat merangsang proses maturasi (Wahyuningsih 2012) dan pada ikan medaka merangsang peningkatan kinerja enzim aromatase (Nagahama 1991). Dosis terbaik penggunaan hormon PMSG+hCG pada ikan patin adalah 20 IU +10 IU per kg untuk proses rematurasi (Fibriana 2010). Pemberian hormon hCG dengan dosis 241 sampai 400 IU/kg bobot tubuh ikan baung dapat merangsang perkembangan, kematangan gonad, dan diameter telur (Nurmahdi 2005). Menurut Epler et al. (1986), pada beberapa spesies hCG tidak efektif jika diberikan sendiri karena perkembangan antibodi pada ikan yang disuntik tetapi dalam kombinasi dengan PMSG atau kelenjar pituitari dapat merangsang ovulasi ikan Plecoglassus altivelis, dan ikan koan. Penelitian terbaru dalam Wibisono (2012), dimana penggunaan PMSG+AD dengan dosis 15 IU+0.05 mg/kg pada belut sawah memberikan pengaruh positif pada nilai Gonado Somatik Indeks (GSI) sebesar 2,36% dan memacu perkembangan gonad hingga tingkat kematangan gonad (TKG) IV selama lima minggu. Induksi secara hormonal ini diharapkan akan memicu proses maturasi hingga belut siap untuk ovulasi dan memijah secara normal di luar musim pemijahan. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : a. Menginduksi pematangan gonad belut sawah secara manipulasi hormonal b. Penentuan status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal. 2 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Belut Ada 3 jenis belut yang dikenal yaitu belut rawa (Synbranchus bengalensis), belut sawah (Monopterus albus) dan belut laut (Macrotema caligans). Gambar 2.1 Belut sawah (Monopterus albus) (Dokumentasi 2013)
  • 15. 3 Klasifikasi belut menurut Berra (2001) adalah sebagai berikut:  Phylum : Chordata  Kelas : Pisces  Subkelas : Teleostei  Ordo : Synbranchoidae  Family : Synbranchidae  Genus : Synbranchus  Species : Monopterus albus Menurut Affandi (2003), jenis kelamin belut sawah pada kisaran panjang 15.6 sampai 28.5 cm (betina), panjang 30 sampai 36.5 cm (peralihan) dan panjang lebih dari 40 cm (jantan). Chan dan Philips (1967), melakukan Penelitian didaerah Chungking dan Hongkong mendapat panjang belut betina dibawah 29.9 cm dan jantan diatas 30 cm. Ciri – ciri induk belut sawah jantan dan betina antara lain (Roy 2009), sebagai berikut : Jantan  Berukuran panjang lebih dari 40 cm  Warna permukaan kulit lebih gelap  Bentuk kepala tumpul  Usianya lebih dari10 bulan. Betina  Berukuran panjang antara 20 sampai 30 cm  Warna permukaan kulit lebih cerah  Warna punggung hijau muda dan warna perut putih kekuningan  Bentuk kepala runcing  Usianya kurang dari 9 bulan. Diameter telur belut sawah sekitar 3 sampai 4 mm, dengan masa fertilisasi 140 jam dan hatching rate 92.8% (Khanh et al. 2010). Menurut Affandi (2003), fekunditas belut sawah sebanyak 69 sampai 696 butir, tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Yamin (1997) di daerah persawahan Cibeber, Cianjur, Jawa Barat yakni 68 sampai 646 butir dan antara 54 sampai 585 butir di persawahan daerah Parung, Bogor, Jawa Barat (Bahri 2000). Data tentang fekunditas (jumlah telur/berat tubuh) cenderung berpola kuadratik artinya meningkat dengan meningkatnya ketinggian (hingga ketinggian 400 m dpl) dan diatas ketinggian 400 m dpl nilai fekunditas selanjutnya menurun kembali (Affandi 2003). Habitat belut sawah adalah sawah yang berpengairan teknis (cukup air), kaya akan bahan organik dan bersuhu relatif tinggi (>26 o C) (Yusniar 1996), nilai pH berkisar 6.5 sampai 7.0 (Affandi 2003). Kandungan Oksigen terlarut (DO) yang baik untuk ikan sebesar 4.60 sampai 5.43 mg/L (Boyd 1990). Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Secara umum peningkatan bobot gonad betina ikan pada saat matang gonad dapat mencapai 10 sampai 25% dari bobot tubuh dan 5 sampai 10% pada ikan jantan (Effendie 1997). Perkembangan gonad pada ikan dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertumbuhan gonad sejak ikan menetas hingga mencapai tingkat dewasa kelamin dan tahap kematangan gonad yang berlangsung setelah ikan
  • 16. 4 tersebut dewasa. Gonad akan semakin berat seiring dengan pertambahan ukuran oosit karena vitellogenesis. Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri tingkat kematangan gonad (TKG) belut sawah adalah seperti berikut: TKG I : Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih besar dari proporsi jantan TKG II : Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai 90% dari isi gonad TKG III : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar antara butiran telur masih rekat sehingga agak sukar dipisahkan, proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad. TKG IV : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar, antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir seluruhnya berisi dengan proporsi sperma sangat sedikit. Intersex : Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar. Sistem Hormon Reproduksi pada Ikan Menurut Swanson (2008) reproduksi pada ikan, seperti pada vertebrata tingkat tinggi diatur oleh sistem endokrin reproduksi yang terdiri dari otak (hypothalamus), kelenjar pituitari dan gonad. Kelenjar pituitari berperan dalam menginisiasi pematangan reproduksi (puberty), pemeliharaan reproduksi sperma dan telur pada gonad, merangsang pematangan akhir dan pengeluaran gamet (spawning). Faktor yang mempengaruhi reproduksi ikan diantaranya faktor lingkungan, sistem hormon dan organ reproduksi. Vitellogenesis adalah proses induksi dan sintesis vitelogenin di hati oleh hormon estradiol-17β, serta penyerapan vitelogenin yang terbawa aliran darah ke dalam oosit (Tyler et al. 1991). Pada vitellogenesis sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan melepaskan hormon GnRH untuk bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya hipofisa akan melepas hormon FSH yang bekerja pada lapisan teka pada oosit sehingga terjadi sintesis testosteron pada lapisan teka. Setelah itu testosteron masuk kedalam lapisan granulosa dan terjadi proses pengubahan testosteron menjadi estradiol-17β oleh enzim aromatase. Selanjutnya estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan secara selektif terjadi penyerapan oleh lapisan folikel oosit (Nagahama 1983; Yaron 1995; Blazquet et al. 1998). Akibat dari proses penyerapan vitelogenin adalah oosit akan tumbuh membesar sampai kemudian berhenti bila telah mencapai ukuran yang maksimum. Keadaan ini disebut fase dorman, dimana telur hanya menunggu sinyal lingkungan untuk memijah. Aktifitas vitellogenesis ini menyebabkan nilai GSI dan HSI ikan meningkat (Cerda et al. 1996). Sintesis vitelogenin dipengaruhi oleh estradiol-17β yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin. Selain itu dipengaruhi juga oleh androgen yang ada dalam tubuh ikan, karena androgen ini akan diubah menjadi estrogen oleh aeromatase hati (Peyon et al. dalam Yaron 1995) dan diduga kandungan fitoestrogen pada pakan ikan seperti
  • 17. 5 kedelai dan alfa memberi pengaruh positif pada vitellogenesis ikan (Pelisero dan Sumter dalam Yaron 1995). Menurut Yaron (1995), ketika proses vitellogenesis tersebut berlangsung granula atau globul kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya, sehingga volume oosit membesar. Menurut Affandi et al. (2002), pada pematangan oosit akhir, dimulai dari perpindahan germinal vesicle yang mudah terlihat dibawah mikroskop. Membran germinal vesicle kemudian dipecah dan isinya bercampur dengan sitoplasma sekelilingnya. Perubahan ini meliputi penggabungan butiran kecil lipida dan globula kuning telur, pembesaran oosit yang berlangsung cepat akibat hidrasi serta meningkatan kejernihan oosit. Proses Maturasi dan ovulasi dimulai saat sinyal lingkungan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan melepas hormon Gonadotropin Releising Hormone (GnRH) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisa. Pada tahap ini hipofisa tidak mengsekrisikan hormon FSH, melainkan hormon LH yang juga bekerja pada lapisan teka oosit. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis hormon 17α,20β-dihisroksiprogesteron (Maturation Inducting Steroid, MIS) oleh enzim 20β-hidroksi steroid dehidrogenase. Selanjutnya seteroid akan merangsang pembentukan faktor perangsang kematangan (Matiration Promoting Factor, MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur. Setelah proses peleburan inti (Germinal Vesicle Break Down, GVBD), lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari (Yaron 1995 dalam Zairin 2003) (Gambar 2.2). Gambar 2.2 Mekanisme hormon reproduksi ikan pada tahap (A) vitellogenesis dan (B) pematangan gonad, ovulasi (Nagahama 1994) Perkembangan telur pada saat proses vitellogenesis seperti pada Gambar 2.3 dibawah ini: Gambar 2.3 Tahap perkembangan telur pada ikan (Cabrita et al. 2009).
  • 18. 6 Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) Hormon PMSG adalah salah satu chorionic gonadotropin mamalia yang sering digunakan pada budidaya ikan untuk merangsang vitellogenesis maupun spermatogenesis (Hoars et al. 1983). Hormon PMSG memiliki pengaruh FSH lebih kuat dibanding LH sehingga memberikan pengaruh kepada pemasakan folikel. Hormon PMSG merangsang terjadinya lonjakan kadar GnRH yang selanjutnya akan mempengaruhi pituitari untuk memproduksi gonadotropin. Gonadotropin akan merangsang ovari untuk proses akhir pematangan telur pada gonad ikan (Bolamba et al. 1992). Secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang mirip FSH dan LH dengan bobot molekul 45000 sampai 65000 Da yang terdiri atas 2 nonkovalen subunit, yaitu unit α dan subunit ß. Sub unit α tersusun dari 96 asam amino, sementara sub unit ß tersusun dari 149 asam amino. Masa paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang lainnya. Hal ini disebabkan kandungan karbohidrat yang tinggi, terutama pada gugus asam sialat yang dimiliki PMSG. Penggunaan hormon PMSG ini dalam meningkatkan ovulasi telah dilakukan pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan kombinasi hormon hCG. Pertambahan persentase telur yang mengalami matang tahap akhir dan telur yang mengalami ovulasi terus meningkat seiring dengan peningkatan dosis PMSG. Fungsi PMSG itu sendiri terutama untuk merangsang pertumbuhan folikel serta mematangkan folikel yang telah terbentuk (Basuki 1990). Pada ikan medaka (Oryzias latipes), penggunaan 100 IU/mL PMSG dalam media secara in vitro terhadap beberapa ovari mampu menstimuli produksi estradiol-17ß pada tahap awal vitelogenin yang diamati pada umur 32 hari sebelum pemijahan. Hal ini menunjukkan bahwa PMSG dapat menginduksi aktivitas aromatase folikel vitelogenin ikan medaka melalui sistem adenylate cyclase-cAMP (Nagahama et al. 1991). Hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG) Hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG) adalah hormon gonadotropin yang disintesis oleh sel-sel sinsitio-trophobiast dari palsenta dan disekresikan dalam urin wanita hamil muda. Hormon ini merupakan hormon glikoprotein yang mengandung FSH dengan bobot molekul 32000 dan mengandung 236 asam amino sedangkan LH berbobot molekul 30000 mempunyai 2 rantai asam amino, 1 sub unit α yang dibentuk dari 96 asam amino dan 1 Sub unit β terdiri dari 199 asam amino dan mengandung karbohidrat sebesar 18 sampai 45% (Combarnous 1988). Aktivitas hCG menyerupai LH dan sedikit menyerupai FSH. Rantai α sama untuk hormon FSH dan LH, sedangkan rantai β bersifat spesifik untuk setiap hewan tetapi kekuatan biologisnya akan semakin menurun bila kedua subunit digabungkan (Groodsky 1984). Hormon hCG merangsang peningkatan konsentrasi gonadotropin yang berfungsi pada proses vitellogenessis dan kematangan akhir (Aida et al. 1991). Hormon hCG sebagai gonadotropin langsung bekerja pada tingkat gonad untuk menginduksi pematangan gonad akhir dan ovulasi dimana pengaruhnya lebih cepat dari pada GnRH, namun sirkulasinya dalam tubuh ikan pendek (Mylonas et al. 1996). Penelitian pengaruh hCG terhadap produksi estradiol-17β
  • 19. 7 pada ikan goldfish dengan dosis 10 IU dan 100 IU dapat merangsang produksi estradiol-17β pada tingkat kuning telur sekunder dan primer sebesar 0.5 sampai 1.5 ng/ml (Kagawa et al. 1984). Menurut Zairin et al. (1992a), bahwa pada ikan Clarias batrachus penggunaan hormon hCG dengan dosis 0.8 IU/g bobot tubuh sukses merangsang ovulasi dan meningkatkan steroid plasma, khususnya testosteron dan estradiol-17β dalam darah. Menurut Siregar (1999), penyuntikan hCG secara berkala sebanyak enam kali selama 4 bulan pada ikan jambal siam (Pangasius hypopthalamus F) dapat menstimulasi pematangan gonad dengan dosis 50 IU (bobot 1000 g) maupun dosis 200 IU (bobot 500 g). Menurut Barry (1995), secara in vitro, hormon hCG dapat menginduksi pematangan akhir oosit bila dibandingkan LHRHa pada ikan walleye, (Suzostedion vitreun) sedangkan penyuntikan secara intramuskuler dengan dosis 500 IU/kg dapat menstimulir pematangan akhir oosit dan ovulasi. Antidopamin (AD) Dopamin menghambat sekresi GnRH (FSHRH), pematangan gonad dengan menstimulasi sekresi hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) dan bahan kimia yang dapat menghambat kinerja dopamin adalah antidopamin. Chen et al. (2003) dalam Harker (1992) yang menyatakan bahwa antidopamin adalah bahan kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin. Konsentrasi domperidone 10 mg/ml dalam ovaprim maupun dalam semua perlakuan spawnprim mampu menghambat kerja dopamin dan mendukung mekanisme percepatan ovulasi (Syndel Laboratories Ltd. 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Permana (2009) yang menggunakan dosis domperidone yang sama dalam spawnprim dan mampu merangsang ovulasi ikan sumatra (Puntius tetrazona). Demikian pula percobaan penggunaan spawnprim oleh Hidayat (2010) yang mampu menginduksi ovulasi ikan komet (Carassius auratus auratus) pada komposisi domperidone 10 mg/ml Gambar 2.4 Mekanisme antidopamin (Domperidone) (Yanong et al. 2009) Brain Dopamine Hypothalamus Pituitary Gonad GnRH + Domperindone (Ovaprim) Gonadotropin Hormone Final Maturation and Release of Egg dan Sperm Steroids and Prostaglandin X
  • 20. 8 Kebiasaan Makan dan Pakan Alami Belut Sawah Kebiasaan makan belut sawah tergantung dari individu, penyebaran keberadaan makanan, dan kondisi perairan. Belut sawah dalam memangsa makanannya, apabila berukuran lebih kecil dari rongga mulut akan langsung ditelan, tetapi apabila ukuran mangsanya lebih besar akan dicabik atau dikoyak terlebih dahulu baru ditelan. Belut sawah menangkap mangsanya dengan cara menyergap hewan – hewan air yang melintas didekat sarang serta akan keluar dari sarangnya apabila perburuan harus terpaksa dilakukan (Taufik 2009). Bricking (2002) menyatakan bahwa belut sawah adalah predator yang mencari makan ikan, cacing, crustacea dan hewan air kecil lainnya dimalam hari (nocturnal). Menurut Putra (2010), pemberian pakan hewani berupa cacing tubifex memberi pengaruh terhadap pertumbuhan mutlak, SGR, FCR dan kelangsungan hidup berturut-turut sebesar 7.48±1.29 g, 1.09±0.18 g, 2.23±0.21 dan 91.68%. Menurut Affandi (2003), hasil analisis isi lambung mengungkapkan bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makanan utama anelida (di persawahan dataran rendah) dan larva insekta (di persawahan dataran tinggi). Cacing tubifex merupakan salah satu pakan alami hewani belut sawah dikarenakan memiliki protein tinggi dan banyak terdapat di sawah. Cacing tubifex dikenal dengan nama cacing sutera atau cacing rambut yang memiliki tubuh lunak dan sangat lembut. Panjang badan cacing tubifex antara 1 sampai 3 cm dengan tubuh berwarna merah kecoklatan dan beruas. Cacing tubifex mempunyai kandungan protein 57%, kadar air 80% dan lemak 13.3% (Istyanto 2002). Klasifikasi Cacing tubifex adalah sebagai berikut: Phylum : Annelida Kelas : Oligochaeta Ordo : Haplotaxida Family : Tubificidae Genus : Tubifex Spesies : Tubifex sp. Gambar 2.5 Cacing tubifex (Dokumentasi 2013)
  • 21. 9 3 METODE Bahan Penelitian ini menggunakan belut sawah dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Baitul Ilmi di daerah Sentul dengan panjang 22±2 cm dan bobot tubuh sekitar 5 sampai 12 g. Status belut adalah immature, berdasarkan pengamatan morfologi (warna perut), pembedahan dilanjutkan histologi gonad ukuran panjang 20 cm sampai 31 cm dan tinjauan pustaka jurnal tentang tingkat kematangan gonad pada ukuran 20 sampai 24 cm sebelum penelitian dimulai. Hormon yang digunakan adalah PMSG (Murni dan PG600), hCG (Prenil 1500IU) dan antidopamin. Pakan yang digunakan adalah cacing tubifex. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kolam Percobaan Babakan. Pembuatan preparat histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah dengan uji ELISA di Laboratorium Hormon, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013 Prosedur Penelitian Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan dan tujuh ulangan individu. Perlakuan yang diterapkan diantaranya :  K : larutan NaCl 0.95% (dosis 1 ml/kg bobot ikan)  P20 : PMSG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)  H20 : hCG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)  A10 : Antidopamin (AD) (dosis 0.01 mg/kg bobot ikan)  P20H10 : PMSG+hCG (dosis 20 IU+10 IU/kg bobot ikan)  P20A10 : PMSG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)  H20A10 : hCG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan) Persiapan wadah Akuarium yang digunakan sebanyak tujuh buah dengan ukuran 79x38x40 cm. Akuarium dibersihkan dengan menggunakan air hingga bersih, lalu dijemur. Kemudian setelah kering diisi air setinggi 20 cm, dan diberi larutan kalium permanganat (PK) dengan dosis 2 ppm dan didiamkan selama satu hari. Setelah itu air didalam akuarium dibuang, kemudian dibilas dan diisi air setinggi 7 cm. Akuarium yang telah berisi air diberi aerasi, hiter, pelindung berupa serutan tali
  • 22. 10 rafia dan paralon, kemudian diberi Oxcytetracyxlin (OTC) dengan dosis 0.5 gr/22.1 L volume air media penelitian. Persiapan induk Belut sawah diambil dari pembudidaya. Belut sawah kemudian direndam larutan kalium permanganat dan dimasukkan ke bak aklimasi. Belut sawah dibiarkan terlebih dahulu satu hari tanpa diberi pakan. Pemberian pakan dilakukan pada hari berikutnya selama satu minggu. Aklimasi dilakukan dengan tujuan adaptasi lingkungan, pakan dan seleksi. Setelah satu minggu, dipilih induk sebanyak 49 ekor sebagai objek perlakuan. Pemeliharaan pakan Pakan yang diberikan pada penelitian ini adalah cacing tubifex. Cacing tubifex dibersihkan dahulu dengan air. Cacing tubifex dipelihara menggunakan baskom yag diberi air dan aerasi. Cara pemberiannya dengan menggunakan wadah khusus untuk cacing tubifex yang diletakkan pada sisi akuarium. Pembiusan dan penyuntikan Pembiusan belut sawah dilakukan dengan obat bius stabilizer dengan dosis 1 ml/0,5 L air selama tiga menit, kemudian dilakukan penyuntikan secara intramuscular dengan hormon yang ditentukan. Hormon yang disuntikan adalah hormon perlakuan sesuai dengan dosis. Suntikan yang digunakan adalah ukuran 1 ml merk Terumo. Ikan yang telah disuntik dimasukkan pada wadah dengan aerasi yang kuat selama 6 sampai 10 menit. Belut yang telah sadar dimasukkan kedalam akuarium. Pemeliharaan belut sawah Pemberian pakan cacing tubifex sebanyak 3% dari bobot tubuh belut sawah per akuarium setiap harinya. Pemberian pakan dilakukan pada masa adaptasi dan penelitian (pagi, siang dan malam). Penyifonan dilakukan satu kali sehari yaitu siang. Pergantian air dilakukan apabila kualitas air kurang baik (kotor). Parameter uji Bobot dan panjang tubuh belut Belut sawah dibius terlebih dahulu sebelum dilakukan penimbangan bobot dan pengukuran panjang tubuh. Pengukuran bobot tubuh dilakukan setiap minggu selama penelitian (empat minggu) menggunakan timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0.01 g. Panjang badan diukur dengan menggunakan penggaris 30 cm. Pengukuran panjang dan bobot tubuh belut sawah dilakukan sebelum penyuntikkan. Data pertambahan panjang dan bobot tubuh pada akhir penelitian dihitung dengan pengurangan data pada minggu ke-4 (M4) dengan minggu ke-0 (M0).
  • 23. 11 Konsentarasi estradiol-17β dalam darah belut sawah Pengukuran konsentrasi estradiol-17β dalam darah dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Mekanisme pengambilan sampel darah adalah: 1. Ikan yang akan diambil darahnya dibius terlebih dahulu dengan cara memasukkan satu persatu ke dalam air yang diberi larutan stabilizer dengan dosis 1 ml/0,5 L selama 5 menit, 2. Ikan yang telah pingsan, darah diambil pada bagian pangkal ekor sebanyak 0.2 sampai 0.5 ml dengan menggunakan syiring 1 ml yang telah diberi antikoagulan (larutan citrate-phosphate-dextrose, produk Laboratorium Kesehatan Ikan), kemudian dimasukkan kedalam mikrotube volume 1.5 ml dan disimpan dalam kotak dingin (cool box). 3. Darah yang ditampung dalam mikrotube, kemudian disentrifuge pada kecepatan 10000 rpm selama 5 sampai 10 menit. 4. Supernatan diambil dan dimasukkan kedalam mikrotube baru. Bila pengukuran supernatan plasma tidak dilakukan secara langsung, sampel disimpan dalam freezer pada suhu minus 4 o C. Pengukuran konsentrasi hormon estradiol 17β belut sawah dalam plasma darah dilakukan dengan menggunakan metode ELISA dengan Vidas ELISA kit untuk 17-estradiol (REF 30 330) dengan langkah kerja sebagai berikut : 1. Semua reagen harus dibiarkan dalam suhu kamar (18 sampai 25 °C) sebelum digunakan 2. Pipet 50 μl standar, sampel dan QC ke dalam Mikro Plate 3. Tambahkan 100 μl Estradiol Enzym Conjugate untuk tiap Mikro Plate, kemudian shaker 2 sampai 5 menit 4. Inkubasi pada suhu 37 °C selama 2 jam 5. Setelah diinkubasi, buang larutan yang ada di Mikro Plate kemudian dicuci dengan Washing Solution sebanyak 300 μl. Pencucian Shaker diulang sebanyak lima kali selama 3 menit, setelah selesai balikkan shaker dan tekan kuat dengan kertas penyerap untuk mengeringkan. 6. Tambahkan 100 μl larutan TBM Substrate pada setiap Mikro Plate sesuai dengan urutan 7. Inkubasi tabung selama 20 menit pada suhu ruang tertutup dengan kaca film, kemudian dibungkus dengan aluminium poil. 8. Menghentikan reaksi dilakukan dengan menambahkan 50 μl Stop Solution kedalam tiap Mikro Plate dengan lembut, campuran bahan digoyang selama 5 detik 9. Kemudian masukkan Mikro Plate ke dalam Elisa Spectrophotometere, baca dan obserpasi pada panjang gelombang 450 nm. Gonado Somatik Indeks (GSI) Pengukuran gonado somatik indeks dilakukan pada awal (M0), minggu ke- 1, ke-2, ke-3 dan akhir penelitian (minggu ke-4). Belut sawah sebelum dibedah harus dilakukan penimbangan bobot tubuh terlebih dahulu, kemudian diambil gonadnya dan ditimbang menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian 0.01 g). Gonado Somatik Indeks (GSI) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil
  • 24. 12 dari perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dan dikalikan dengan 100%. Rumus GSI menurut Crim et al. (1988) yaitu: %100x W Wg GSI      Keterangan : GSI : Gonado Somatik Indeks (%) Wg : Bobot gonad (g) W : Bobot tubuh ikan (g) Hepatosomatik Indeks (HSI) Belut sawah dibedah, kemudian diambil hatinya dan ditimbang menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian 0.01 g). Pengukuran HSI dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 dengan menggunakan rumus: (Bucacker et al. (1990) %100x W Wh HSI      Keterangan : HSI : Hepatosomatik Indeks (%) Wh : Bobot hati (g) W : Bobot tubuh ikan (g) Histologi gonad Histologi gonad dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke2, ke-3 dan minggu ke-4. Histologi gonad dilakukan berdasarkan metode Gunarso (1989) dengan tahapan proses sebagai berikut: 1. Fiksasi, ikan dibedah dan diambil jaringan gonadnya, kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis 0.65%, difiksasi dalam larutan bouin/BNF (campuran asam pikrat, formalin dan asam asetat dengan perbandingan 15:5:1) selama 24 jam. Berikutnya dipindahkan kedalam alkohol 70% beberapa kali selang satu jam sampai kuning telur hilang. 2. Dehidrasi, organ direndam kedalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%, 90% dan 95%) masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan kedalam alkohol 100% sebanyak empat kali masing-masing selama 1 jam. 3. Clearing, organ direndam dalam alkohol 100%+xylol (1:1) selama 45 menit, kemudian kedalam xylol I, II dan III masing-masing selama 45 menit. 4. Infitrasi, organ direndam dalam xylol + parafin (1:1) selama 45 menit pada suhu 60 o C. Kemudian direndam dalam parafin I, II dan III masing-masing selama 45 menit dalam suhu 63 o C. 5. Embeding, organ ditanam dalam blok parafin cair pada suhu 60 o C sampai parafin mengeras selama 24 jam. 6. Pemotongan, spesimen dipotong setebal 6 sampai 7 µm, ditempel pada gelas obyek yang telah ditetesin ewid, ranggangkan diatas alat pemanas dan keringkan selama 24 jam pada suhu 45 o C.
  • 25. 13 7. Deparafinasi, preparat direndam berturut-turut dengan xylol I, II, alkohol 100% I, 100% II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama 1 menit dan dicuci sampai warna putih. 8. Pewarnaan, preparat direndam dalam larutan haemotoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air keran mengalir, rendam dalam larutan eosin selama 2 menit, cuci dengan air keran mengalir. 9. Dehidrasi, preparat direndam berturut-turut delam alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95% I, 95% II, 100% I dan 100% II masing-masing selama 1 menit. 10. Clearing, preparat direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 1 menit. 11. Penutupan dengan kaca penutup. Preparat diberi zat perekat Canada balsem, ditutup dengan gelas penutup, dikeringkan selam 10 menit. Berikutnya preparat diberi label sesuai dengan perlakuan sehingga didapatkan preparat permanen histologi gonad yang dapat diamati dibawah mikroskop setiap saat. 12. Pengamatan histologi dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Tingkat kematangan gonad diamati secara morfologi dan histologi gonad. Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri TKG belut sawah adalah seperti berikut: TKG I : Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih besar dari proporsi jantan TKG II : Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai 90% dari isi gonad TKG III : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran Besar, antara butiran telur masih rekat sehingga agak sukar dipisahkan, proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad. TKG IV : Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar, antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir seluruhnya berisi dengan proporsi sperma sangat sedikit. Intersex : Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar. Status kelamin Penentuan status kelamin dari belut dilakukan dengan cara pengamatan morfologi dari warna perut, anus, gonad, status gonad dan keberadaan serta warna gamet dalam gonad. Pengamatan ini dilakukan pada akhir penelitian (minggu ke-4).
  • 26. 14 Diameter telur Belut sawah dibius kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil gonad. Gonad dipotong menjadi dua bagian, salah satu bagian digunakan untuk histologi gonad. Gonad yang akan diamati diameter telurnya, direndam terlebih dahulu pada larutan sera. Selanjutnya, lapisan tipis gonad dilepas dengan menggunakan jarum agar telur dapat diambil dan dipisahkan. Diameter telur diukur dengan mikroskop mikrometer dengan perbesaran empat puluh kali. Hasil pengukuran menggunakan lensa okuler (µm) dikalibrasi dengan lensa objektif (dibagi 1000) untuk mengetahui diameter telur dalam satuan mm. Kemudian, dikalikan dengan pembesaran empat puluh kali, maka didapatkan hasil diameter telur belut sawah sebenarnya dalam satuan mm. Tingkat kebuntingan Tingkat kebuntingan pada penelitian ini dihitung dengan menjumlahkan belut sawah yang telah terdapat gamet (telur) di gonad. Pengamatan dilakukan pada awal hingga akhir penelitian dengan total belut yang diamati sebanyak 7 ekor. Fekunditas Fekunditas telur belut sawah diukur pada akhir penelitian. Effendie (1979) menjelaskan fekunditas telur dapat diukur dengan cara perhitungan langsung jumlah telur yang ada dalam gonad. Gonad pada akhir penelitian diambil 1 ekor belut sawah sebagai sampel setiap perlakuan, kemudian dilakukan pembedahan untuk pengambilan gonad. Gonad yang didapat ditimbang dengan timbangan digital (ketelitian 0.01 g), selanjutnya dibagi menjadi dua bagian (salah satunya untuk histologi gonad). Gonad direndam dilarutan sera, setelah itu dilepaskan kulit tipis gonad dan dilakukan pemisahan telur. Telur dihitung dengan cara menghitung jumlah telur pada sebagian gonad, lalu dikalikan dengan bobot gonad total dan dibagi bobot gonad yang diamati. Maka, didapatkan fekunditas telur belut sawah secara keseluruhan. Kualitas air Kualitas air diamati setiap minggu kecuali amoniak diamati pada awal, minggu ke-1, ke-2, ke-3, dan minggu ke-4. Parameter kualitas air yang diamati diantaranya: kandungan oksigen terlarut (DO meter mg/L), temperatur air (termometer (o C)), nilai pH (pH meter) dan amoniak (spektrofotometer (mg/L)). Kualitas air pada saat penelitian dijaga kestabilan kondisinya seperti Tabel 2.1 dibawah ini:
  • 27. 15 Tabel 2.1 Kualitas air media penelitian belut sawah Parameter kualitas air Perlakuan DO (mg/L) Amoniak (mg/L) pH (1-14) Temperatur (o C) NaCl 5.44 0.558 6.25 27.94 PMSG 5.62 1.299 5.93 28.00 hCG 5.38 0.978 6.28 27.92 Antidopamin 5.32 0.730 6.06 27.80 PMSG+hCG 5.50 0.990 5.93 27.92 PMSG+AD 5.84 0.757 6.42 27.92 hCG+AD 5.58 0.735 6.36 27.94 Analisis data Data hasil penelitian GSI, HSI dan pertambahan panjang dan bobot tubuh pada minggu terakhir diuji secara ANOVA. Jika, hasil menunjukkan berbeda nyata atau berbeda sangat nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji Tukey. Hasil penelitian pada parameter konsentrasi estradiol-17β, GSI, HSI setiap minggu, pengamatan histologi, diameter telur, tingkat kebuntingan, fekunditas dan status kelamin dianalisis secara deskriptif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi hormonal Hasil penelitian parameter tingkat kebuntingan belut sawah selama empat minggu (n= 7 ekor) dalam satuan persen dapat dilihat pada Gambar 4.1 dibawah ini: Gambar 4.1 Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi hormonal
  • 28. 16 Hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 100%, sedangkan perlakuan PMSG+hCG, hCG+AD sebesar 85.71%, perlakuan hormon PMSG, hCG sebesar 71.43% dan NaCl, antidopamin (AD) sebesar 14.28%. Kualitas dari tingkat kebuntingan belut sawah setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. Tabel 4.1 Perkembangan tingkat kematangan gonad belut sawah pada setiap perlakuan selama penelitian (n=7) Gonado Somatik Indeks dan Hepatosomatik Indeks belut sawah Hasil penelitian parameter GSI dan HSI belut sawah setiap minggu selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 di bawah ini: Gambar 4.2 Nilai GSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke- 3, M4: minggu ke-4 Gambar 4.3 Nilai HSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4. Perlakuan Jumlah belut setiap TKG (%) Total belut bunting (%) TKG 0 TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4 NaCl 85.71 14.28 - - - 14.28 PMSG 28.6 14.28 28.6 14.28 - 71.43 hCG 28.6 14.28 14.28 28.6 14.3 71.43 AD 85.71 14.28 - - - 14.28 PMSG+hCG 14.28 14.28 - 28.6 42.6 85.71 PMSG+AD - 14.28 - 28.6 57.1 100 hCG+AD 14.28 14.28 28.6 14.28 28.6 85.71
  • 29. 17 Gonado somatik indeks belut sawah setiap minggu terjadi peningkatan dan penurunan selain perlakuan PMSG+AD. Pola grafik pada perlakuan PMSG+AD setiap minggu selalu meningkat. Nilai GSI belut sawah pada perlakuan PMSG+AD pada minggu ke-4 mencapai 4.36%. Hepatosomatik indeks belut sawah setiap minggu terjadi peningkatan dan penurunan. Perlakuan PMSG+AD mengalami peningkat pada minggu ke-1 (2.07%), ke-2 (2.87%), ke-3 (4.98%), sedangkan minggu ke-4 mengalami penurunan menjadi 3.52%. Nilai GSI dan HSI belut sawah hasil induksi hormonal pada akhir penelitian (minggu ke-4) dengan n: 4 ekor belut sawah untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 di bawah ini: Gambar 4.4 Nilai GSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4. Gambar 4.5 Nilai HSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4. Gonado somatik indeks belut sawah pada akhir penelitian (minggu ke-4) menunjukkan bahwa GSI tertinggi adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 3.249±0.907%, dimana secara ANOVA semua perlakuan memiliki pengaruh signifikan (F>0.05) terhadap nilai GSI dibandingkan perlakuan kontrol (NaCl) dan antidopamin. Hepatosomatik indeks belut sawah hasil induksi hormonal menunjukkan hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 3.047±0.407%. Secara ANOVA menunjukkan bahwa seluruh perlakuan memiliki pengaruh signifikan (F>0.05) terhadap nilai HSI belut sawah dibandingkan perlakuan kontrol. Nilai HSI belut sawah semua perlakuan lebih tinggi dibandingkan nilai GSI, sedangkan perlakuan PMSG+AD nilai HSI pada minggu ke-4 lebih rendah dibandingkan dengan nilai GSI.
  • 30. 18 Konsentrasi hormon estradiol-17β belut sawah Hasil analisis konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah belut sawah dapat dilihat pada Gambar 4.6 dibawah ini: Gambar 4.6 Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4 Pola konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah hasil induksi hormonal pada setiap minggunya. Hasil terbaik konsentrasi estradiol-17β dalam darah belut sawah adalah perlakuan PMSG+AD dengan dosis 20 IU+0.01 mg/kg dikarenakan adanya pada minggu ke-1 sebesar 235.2 pg/ml dan turun hingga mencapai 42.53 pg/ml pada minggu ke-4. Diameter telur belut sawah hasil induksi hormonal Hasil penelitian parameter diameter telur belut sawah dapat dilihat pada Gambar 4.7 dibawah ini (n=4) Gambar 4.7 Diameter telur belut sawah hasil induksi secara hormonal. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4 Gambar 4.7 menggambarkan pengaruh perlakuan induksi hormon terhadap perkembangan ukuran diameter telur setiap minggunya. Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan kualitas telur dan diameter telur pada minggu ke-4 maka perlakuan PMSG+AD merupakan perlakuan terbaik, karena diameter telurnya mencapai rata-rata diameter 3.19 mm sedangkan perlakuan NaCl, PMSG, hCG, AD, PMSG+hCG, hCG+AD berturut-turut sebesar 0, 0.54, 0.87, 2.24, 0.85 mm.
  • 31. 19 Tingkat Kematangan Gonad belut sawah hasil induksi hormonal Hasil pengamatan morfologi dan histologi untuk tingkat kematangan gonad belut sawah dapat dilihat pada Gambar 4.8 dibawah ini: Gambar 4.8 Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu. M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4: minggu ke-4 Berdasarkan Gambar 4.8, tingkat kematangan gonad belut sawah hasil induksi hormonal pada minggu ke-4 adalah perlakuan NaCl, antidopamin mencapai tingkat kematangan gonad I (TKG I), hormon PMSG mencapai tingkat kematangan gonad III (TKG III) dan hormon hCG, hCG+AD, PMSG+hCG dan PMSG+AD mencapai tingkat kematangan gonad IV (TKG IV). Kualitas setiap tingkat kematangan gonad dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.12. Tabel 4.2 Jumlah belut sawah pada tingkat kematangan gonad setiap minggu hasil induksi hormonal. Perlakuan Parameter Minggu ke- 0 1 2 3 4 NaCl TKG 0 0 0 0 0, I Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 3 ) PMSG TKG 0 I I II 0, II, III Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (2, 1, 1) hCG TKG 0 II II III 0, I, IV, Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (2, 1, 1) AD TKG 0 0 0 0 0, I Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (3, 1) PMSG+hCG TKG 0 II III IV 0, III, IV Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 1, 2) PMSG+AD TKG 0 I III IV III, IV Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 3) hCG+AD TKG 0 II II III 0, II, IV, Jumlah (ekor) 1 1 1 1 (1, 1, 2)
  • 32. 20 Monfologi dan histologi gonad Hasil dari gambaran morfologi dan histologi (pembesaran empat puluh kali) gonad belut sawah pada minggu ke-1 dan ke-4 penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.9 sampai Gambar 4.12 dibawah ini: Gambar 4.9 Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-0 (M0) (A) dan minggu ke-1 yaitu (B)NaCl (C) PMSG (D) hCG (E) antidopamin (AD) (F) PMSG+hCG (G) PMSG+AD (H) hCG+AD. h: hati dan g : gonad Gambar 4.10 Histologi gonad belut sawah minggu ke-0 (A) dan setiap perlakuan pada minggu ke-1 yaitu (B) NaCl(C) PMSG (D) hCG (E) antidopamin (AD) (F) PMSG+hCG (G) PMSG+AD (H) hCG+AD. Y: Granula kuning telur, O: Oogonia, N: Nukleus (Inti telur) A B C D E F G H M0 M1 M1 M1 M1 M1 M1 M1 h G h g N O Y O Y g O Y A B C D E F G H h g h g h g h g h g h g
  • 33. 21 Gambar 4.11 Hati dan gonad belut sawah pada minggu ke-4 (M4). A) NaCl (B) PMSG (C) hCG (D) antidopamin (E) PMSG+hCG (F) PMSG+AD (G) hCG+AD. h: hati dan g: gonad Gambar 4.12 Histologi gonad belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4, yaitu (A) NaCl (B) PMSG (C) hCG (D) antidopamin (E) PMSG+hCG (F) PMSG+AD (G) hCG+AD. Y: Granula kuning telur, O: Oogonia, N: Nukleus (Inti telur), YV: Yolk vesicle M4 M4 M4 A FD B C M4M4 h g N Y O o Y A G FE D B C h g h g h g h g h g h g YV M4 G Y M4 E Y
  • 34. 22 Kondisi gonad pada minggu ke-0 dan ke-1 penelitian adalah memiliki warna transparan bening, putih dan belum terlihat telur yang berwarna kuning. Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-4 adalah perlakuan NaCl, hormon PMSG, AD (gonad berwarna putih transparan, telur belum begitu terlihat), hormon hCG, PMSG+hCG, hCG+AD (gonad berwarna putih, telur mulai terlihat) dan PMSG+AD (gonad berwarna kuning, telur berwarna kuning dan terlihat jelas). Berdasarkan pengamatan morfologi dan histologi perkembangan gonad terbaik adalah perlakuan PMSG+AD dimana telur besar, berukuran seragam dan telur terisi oleh kuning telur. Fekunditas belut sawah hasil induksi hormonal Hasil fekunditas belut sawah yang induksi hormonal setiap perlakuan pada minggu ke-4 dapat dilihat pada Gambar 4.13 dibawah ini: Gambar 4.13 Fekunditas belut sawah pada minggu ke-4. Fekunditas belut sawah hasil induksi hormonal dengan panjang 22±2 cm dan bobot tubuh 5 sampai 12 g yang terbaik pada minggu ke-4 (akhir penelitian) adalah perlakuan PMSG+AD yaitu sebanyak 128 butir telur, sedangkan pada perlakuan hCG, PMSG+hCG, hCG+AD, PMSG, AD berturut-turut sebanyak 104, 100, 74, 50 dan 10 butir telur. Pertambahan panjang dan bobot tubuh belut sawah hasil induksi hormonal Hasil penelitian parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh dapat dilihat pada Gambar 4.14 dibawah ini: Gambar 4.14 Pertambahan bobot dan panjang tubuh belut sawah selama penelitian
  • 35. 23 Hasil pertambahan panjang tertinggi pada penelitian ini adalah perlakuan antidopamin sebesar 0.45 cm dan terendah perlakuan PMSG+AD dimana tidak terjadi pertambahan panjang tubuh belut sawah, Pertambahan bobot tubuh belut sawah yang tertinggi yaitu perlakuan PMSG+AD sebesar 1.84 g. Hasil penelitian pertambahan bobot dan panjang tubuh pada akhir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.15 dan Gambar 4.16 dibawah ini. Hasil pada grafik dibawah ini diperoleh dari analisis ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%. Belut sawah yang diamati dalam parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh pada minggu ke-4 sebanyak empat ekor. Gambar 4.15 Pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu ke-4. Gambar 4.16 Pertambahan panjang belut sawah pada minggu ke-4 Hasil penelitian pada Gambar 4.15 menunjukkan secara analisis ANOVA menggunakan Minitap 16, seluruh perlakuan berpengaruh signifikan terhadap pertambahan bobot tubuh belut sawah (F>0.05). Hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD dengan pertambahan bobot tubuh belut sawah sebesar 1.89±0.905 g. Secara analisis ANOVA, hasil penelitian pada Gambar 4.16 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol berpengaruh nyata (F>0.05) terhadap pertambahan panjang belut sawah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pertambahan panjang tertinggi adalah perlakuan kontrol (NaCl) sebesar 1.20±0.96 cm.
  • 36. 24 Status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal Tabel 4.3 Status kelamin dan ciri-ciri belut sawah matang gonad hasil induksi hormonal Perlakuan Jenis kelamin Status gonad Warna perut Warna anus Warna Gonad Keberadaan Gamet NaCl Betina Belum matang Gelap Putih Bening Telur kecil sekali, bening PMSG Betina Proses matang Kekuningan Kemerahan Putih Telur kecil bening hCG Betina Proses matang Kekuningan Kemerahan Putih susu Telur kecil putih AD Betina Belum matang Gelap Putih Bening Telur kecil bening PMSG+hCG Betina Matang gonad Kuning Merah Kekuningan Telur kecil putih PMSG+AD Betina Matang gonad siapa ovulasi Kuning, trasparan Merah Kuning Telur besar kuning hCG+AD Betina Kuning Merah Kekuningan Telur kecil bening Tabel 4.3 menunjukkan status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal pada minggu ke-4 berdasarkan pengamatan status gonad, warna perut, anus, gonad, telur dan didukung histologi gonad (Gambar 4.10, Gambar 4.12). Hasil pengamatan menunjukkan status kelamin dari belut sawah dengan panjang 22±2 cm dan bobot tubuh 5 sampai 12 g adalah betina. Hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD dengan ciri-ciri status gonad telah matang gonad siap ovulasi, warna perut kuning transparan, warna anus merah, warna gonad kuning dan terdapat telur berdiameter 3.19 mm berwarna kuning. Ciri-ciri status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal dapat dilihat pada Gambar 4.17 sampai 4.20. Gambar 4.17 Warna perut perut dan anus belut sawah yang belum matang gonad. P: perut dan A: anus belut sawah Gambar 4.18 Warna perut dan anus belut sawah yang matang gonad. P: perut dan A: anus belut sawah A P A P
  • 37. 25 Gambar 4.19 Hati dan gonad yang belum matang serta telur berwarna bening. Huruf m: gonad yang tidak matang, t: telur belut sawah yang transparan. Gambar 4.20 Hati dan gonad yang matang gonad serta telur berwarna kuning. Huruf M: gonad matang yang berisi telur berwarna kuning, T: telur belut sawah TKG IV. Pembahasan Parameter penelitian yang diuji meliputi tingkat kebuntingan, nilai GSI, nilai HSI, konsentrasi estradiol-17β, diameter telur, tingkat kematangan gonad, histologi gonad, fekunditas, pertambahan panjang dan bobot tubuh, dan status kelamin belut sawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan PMSG+AD merupakan perlakuan terbaik pada penelitian ini dari seluruh parameter uji. Hasil penelitian pada parameter pertama yaitu tingkat kebuntingan, membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD dapat menginduksi proses vitellogenesis, maturasi hingga terjadinya kebuntingan (adanya gamet dalam gonad). Penyuntikkan PMSG dapat mempercepat kebuntingan dan pematangan gonad pada ikan lele (Mayasari 2012), mempercepat pertumbuhan oosit baru dan meningkatkan frekuensi pemijahan pada ikan Tor soro (Wahyuningsih 2012). Nilai GSI merupakan nilai yang mengambarkan secara kuantitatif perubahan gonad pada saat terjadi perkembangan gonad dalam proses reproduksi dan akan mencapai nilai maksimum pada saat akan terjadi pemijahan (Effendie 1997). Hasil penelitian pada parameter nilai GSI menunjukkan bahwa pada perlakuan PMSG+AD adalah perlakuan terbaik, karena terjadi peningkatan GSI setiap minggu selama penelitian. Peningkatan GSI mengindikasikan terjadinya proses vitellogenesis dan perkembangan gonad selam penelitian. Aktivitas vitellogenesis ini menyebabkan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) dan Gonado Somatikindeks (GSI) ikan meningkat (Cerda et al. 1996). Aktivitas metabolisme sebagian besar tertuju pada proses perkembangan gonad (Yulfiperius 2001). Hasil ini diperkuat dengan pengujian secara ANOVA pada minggu ke-4 dengan n= 4 ekor, dimana perlakuan PMSG+AD memiliki nilai GSI tertinggi dan seluruh perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai GSI (F>0.05) belut sawah dibandingkan dengan kontrol (NaCl) pada penelitian ini. Nilai GSI sebesar 0.4 sampai 8.928% pada tM T M T
  • 38. 26 belut sawah yang telah matang gonad mencapai TKG IV dan siap memijah (Elis 2003). Wibisono (2012), penggunaan PMSG + AD dengan dosis 15 IU + 0.05 mg/kg bobot tubuh belut sawah memberikan pengaruh positif pada nilai Gonado Somatik Indeks (GSI) sebesar 2.36%, HSI berkisar 0.73 sampai 7.90% dan memacu perkembangan gonad hingga tingkat kematangan gonad (TKG) IV pada minngu ke-5. Menurut Bahri (2000), nilai GSI pada ukuran 21 sampai 44 cm berkisar 0.34 sampai 1.91%. Nilai Hepatosomatik Indeks merupakan nilai kuantitatif yang dapat menggambarkan pertambahan bobot hati seiring dengan perkembangan gonad dan peningkatan GSI. Nilai HSI akan semakin meningkat seiring perkembangan gonad dan nilainya akan lebih rendah dari nilai GSI pada saat telah matang gonad. Hasil penelitian membuktikan perlakuan PMSG+AD dapat merangsang proses vitellogenesis, dimana hati berperan didalam sintesis vitelogenin (bakal kuning telur) untuk pembentukkan telur hingga matang gonad. Hal ini sesuai pernyataan Bijaksana (2006), hati mempunyai peran dalam sintesis material yang akan diakumulasikan pada ovarium pada masa reproduksi. Rasio bobot hati terhadap tubuh pada ikan matang gonad akan meningkat menjelang vitelogenesis dan rasio akan menurun saat ovulasi. Dimana pada ikan gabus pada diameter terbesar 1.5±0.04 mm, fekunditas 3070±3.81 butir, nilai HSI sebesar 1.1±0.05% dan GSI sebesar 3.3±0.09%. Hasil HSI setiap minggu didukung dengan analisis secara ANOVA nilai HSI pada minggu ke-4 (n=4 ekor), dimana hasil menunjukkan bahwa seluruh perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai HSI belut sawah dibandingkan kontrol (NaCl). Konsentrasi hormon estradiol-17β belut sawah hasil penelitian yang terbaik adalah perlakuan PMSG+AD. Hal ini dikarenakan peningkatan hormon estradiol-17β pada perlakuan PMSG+AD yang sangat tinggi di minggu ke-1. Peningkatan estradiol-17β yang signifikan disebabkan pengaruh kinerja enzim aromatase yang meningkat dengan penyuntikkan perlakuan PMSG+AD, sehingga pengubahan testosteron menjadi estradiol-17β akan semakin cepat. Hal ini sejalan dengan pernyataan tentang pemberian pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) dapat meningkatkan aktivitas aromatase pada folikel (Nagahama et al. 1991), Enzim P450aromatase berperan penting selama proses vitellogenesis pada ikan (Nagahama 1984). Aktivitas aromatase meningkat dan tinggi pada folikel selama vitelogenesis (Fukada et al. 2003) dan menurun saat folikel mencapai pematangan akhir (Young et al. 1983). Menurut Wahyuningsih (2012), kisaran konsentrasi hormon estradiol-17β ikan tor soro yang diberikan perlakuan hormon PMSG pada saat maturasi hingga siap memijah pada diameter maksimal sebesar 1.5 sampai 2.0 mm adalah berkisar 0.5 sampai 0.2 pg/ml. Proses sitesis pengaruh PMSG+AD terhadap konsentrasi estradiol menurut Nagahama (1983), hormon FSH yang terdapat pada PMSG akan merangsang otak (hypothalamus) untuk memproduksi GnRH (FSHRH endogenous) dan antidopamin (AD) akan memblok kinerja dopamin yang terdapat pada hypothalamus sehingga produksi GNRH meningkat, dan merangsang pituitari mensintesis FSH endogenous lebih banyak. Fungsi lain hormon FSH eksogenous dari hormon PMSG akan meningkatkan konsentrasi FSH yang akan bekerja pada organ target yaitu gonad. Pada organ target, FSH akan masuk menuju sel teka dan merangsang gonad untuk mensintesis testosteron, kemudian testosteron akan masuk ke dalam sel granulosa sehingga terjadi proses pengubahan testosteron menjadi estradiol-17β oleh enzim
  • 39. 27 aromatase. Aromatase adalah enzim yang terdapat di dalam endoplasmic reticulum yang berfungsi dalam produksi sel estrogen (Sebastian et al. 2002; Simpson et al. 2002). Enzim aromatase terdiri atas dua polypeptides. Bagian yang pertama adalah suatu cytochrome spesifik P450 yakni aromatase cytochrome P450 (P450Arom) (produk dari gen CYP19) Bagian kedua adalah flavoprotein. Enzim aromatase di pengaruhi oleh hormon, sitosin dan faktor lain (lingkungan). Produksi steroid progesteron dan estradiol diproduksi dari kolesterol oleh sejumlah enzim di dalam indung telur. Mekanisme kerja aromatase adalah seperti masuknya kolesterol ke dalam mitokondria yang dibantu oleh protein SaTAR. Produksi progesterone dan konversi androstenedione ke estrone dipercepat reaksinya oleh enzim aromatase (P450Arom). Jumlah progesteron yang aktip (nanomolar) adalah seratus sampai seribu kali lebih tinggi dibanding estradiol (picomolar). Fakta tentang jumlah enzim aromatase dalam jumlah sangat rendah dapat memberikan kenaikan hormon estradiol untuk kepentingan biologis (Simpson et al. 2002). Hasil penelitian untuk diameter telur belut sawah terbesar adalah perlakuan PMSG+AD dibandingkan kontrol maupun perlakuan yang lainnya. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD dapat menyebabkan peningkatan diameter telur yang dipengaruhi oleh produksi vitelogenin oleh hati. Perlakuan PMSG+AD akan merangsang peningkatan konsentrasi estradiol-17β, sehingga estradiol-17β beraksi merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin. Hormon estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad kembali dan terjadi penyerapan oleh lapisan folikel oosit (Nagahama 1983). Akibat penyerapan vitelogenin maka oosit akan tumbuh membesar hingga ukuran maksimum. Hasil pada perlakuan hCG pada minggu ke-3 tidak ada dikarenakan telurnya terlalu kecil, tidak merata dan pada saat pengamatan sulit dipisahkan. Menurut Elis (2003), diameter belut sawah di alam dengan tingkat kematangan gonad IV adalah 1.16 mm sampai 1.26 mm. Diameter telur belut sawah sekitar 3 sampai 4 mm, dengan masa fertilisasi 140 jam dan hatching rate 92.8% (Khanh NH et al. 2010) Hasil penelitian pada parameter tingkat kematangan gonad yang terbaik berdasarkan kualitas kematangan adalah perlakuan PMSG+AD. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD merangsang proses pematangan gonad (maturasi) baik konsentrasi estradiol-17β, diameter telur, GSI, HSI lebih baik dan cepat dibandingkan kontrol selama empat minggu. Hasil ini diperoleh dari pengamatan secara morfologi dan histologi gonad seperti pada Gambar 4.9 sampai Gambar 4.12. Menurut affandi (2003), tingkat kematangan gonad IV paling banyak terdapat pada ukuran 18.6 cm sampai 21.5 cm, dan tingkat kematangan gonad belut sawah dipengaruhi juga oleh faktor tingkat ketinggian wilayah. Ikan betinaTKG III dan IV banyak terdapat di sawah dataran rendah sebagai habitat yang cocok, antara lain karena ketersediaan pakan alaminya yaitu sumber pakan Annelida melimpah Analisis secara histologi gonad belut sawah menunjukkan perlakuan terbaik adalah PMSG+AD. Hasil ini dikarenakan pada gambaran histologi gonad pada perlakuan PMSG+AD terdapat keseragaman diameter telur, telur terisi penuh dengan kuning telur dan telur berdiameter besar mencapai 3.19 mm. Gambaran histologi gonad ini membuktikan bahwa perlakuan PMSG+AD dapat
  • 40. 28 menginduksi perkembangan gonad (mature). Menurut Devados (1969) dalam Effendie (1979), ciri-ciri gonad immature (ovari berwarna pucat, telur kecil transparan dan inti jelas), maturing (ovari berwarna putih susu sampai kuning dan keadaan telur dalam ukuran sedang dan masih terdapat inti telur), dan mature (ovari kemerah-merahan, keadaan telur berukuran besar dan berwarna kuning, serta telur terisi penuh dengan kuning telur). Hasil penelitian untuk fekunditas telur belut sawah pada setiap perlakuan di minggu ke-4 yang terbaik adalah perlakuan PMSG+AD, karena fekunditas telurnya sekitar 128 butir dengan warna telur dan gonad yaitu kuning. Hasil ini membuktikan bahwa penyuntikkan PMSG+AD efektif untuk merangsang percepatan pematangan gonad (maturasi) sehingga ketersediaan induk matang gonad dapat dipenuhi. Menurut Affandi (2003), fekunditas belut sawah berkisar 69 sampai 696 butir, tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Yamin (1997) di daerah persawahan Cibeber, Cianjur, Jawa Barat yakni 68 sampai 646 butir dan 54 sampai 585 butir di persawahan daerah Parung, Bogor, Jawa Barat (Bahri 2000). Fekundtas telur erat kaitannya dengan diameter telur dimana jika diameter telur ikan semakin besar maka fekunditasnya akan semakin rendah, tetapi jika diameter telur semakin kecil maka fekunditas telur ikan semakin banyak. Hasil ini dipengaruhi oleh faktor kinerja dari bahan yang menjadi komposisi hormon PMSG yaitu FSH dan LH. Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) sendiri diketahui memiliki aktivitas ganda, yaitu FSH yang lebih dominan dari pada LH, sedangkan antidopamin merupakan bahan kimia yang dapat membantu kinerja FSH atau LH dengan cara memblokir kinerja dopamin. Hasil pada parameter pertambahan bobot dan panjang tubuh menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah PMSG+AD dengan pertambahan bobot tubuh sebesar 1.84 g selama empat minggu. Hasil ini mengindikasikan bahwa hasil metabolism pakan digunakan untuk pertumbuhan gonatik dibandingkan pertumbuhan somatik (panjang) belut sawah. Hasil ini didukung dengan adanya data pendukung pertumbuhan gonatik yang baik seperti konsentrasi estradiol-17β, GSI, HSI, diameter telur, TKG dan histologi gonad. Energi sangat diperlukan untuk proses metabolisme, mengganti sel yang rusak (maintenance), aktivitas fisik, pertumbuhan, dan reproduksi (NRC 1993). Pertambahan bobot dan panjang tubuh belut sawah pada minggu ke-4 dengan n= 4 ekor dianalisi secara ANOVA. Hasil analisis menyatakan bahwa seluruh perlakuan berpengaruh nyata (signifikan) terhadap pertambahan bobot dan panjang tubuh dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian parameter status kelamin menunjukkan bahwa seluruh belut sawah ukuran panjang 22±2 cm dan bobot tubuh 5 g sampai 12 g berjenis kelamin betina. Hasil terbaik adalah pada perlakuan PMSG+AD karena setatus gonad adalah matang gonad (siap ovulasi) dengan ciri-ciri warna perut (kuning trasparan), warna anus (merah), warna gonad (kuning), keberadaan gamet (telur besar dan berwarna kuning) dan status gonad (matang gonad). Menurut Handojo
  • 41. 29 (1986) dalam Elis (2003), ciri-ciri belut sawah betina adalah warna punggung coklat kehitaman, perut putih kekuningan, kepala kecil, ekor panjang dengan ujung lancip dan berukuran maksimal sekitar 29 cm. Hasil penelitian membuktikan bahwa penyuntikkan perlakuan PMSG+AD efektif untuk pematangan gonad (maturasi) belut sawah, hal ini terlihat dari konsistensi hasil yang dicapai pada setiap parameter dibandingkan dengan perlakuan kontrol (NaCl) yang hanya mampu mencapai TKG I. Hasil ini dikarenakan NaCl hanya suatu larutan yang bersifat seperti cairan tubuh hewan atau manusia dan tidak memiliki komposisi yang dapat mempengaruhi mekanisme hormon reproduksi belut sawah. Hasil penelitian yang dapat menjadi alternatif dalam teknologi pematangan gonad adalah perlakuan PMSG+hCG, hCG+AD dan hCG. Ketiga perlakuan ini mudah diperoleh oleh pembudidaya dan hasil penelitian terlihat ada pengaruh terhadap perkembangan gonad walaupun tidak sebaik perlakuan PMSG+AD. Keterbaharuan penelitian ini dibandingkan penggunaan PMSG dan estradiol-17β oleh Wahyuningsih (2012) adalah spesies ikan yang menjadi model adalah ikan belut, penelitian ini menggunakan teknik penyuntikkan single maupun kombinasi dan mengevaluasi pengaruh salah satu hormon gonadotropin yaitu human Chorionic Gonadotropin (hCG) terhadap maturasi belut sehingga informasi dari penelitian ini lebih informatif, fakta dan aplikatif sebagai solusi mengatasi permasalahan reproduksi serta ketersediaan hormon untuk pembenihan belut sawah. Selanjutnya, perlakuan PMSG+AD dengan dosis 20IU+0.01 mg/kg bobot tubuh belut sawah memiliki harga pembuatan yang kompetitif dibandingkan dengan perlakuan yang lain dalam volume 10 cc yaitu sebesar Rp. 101.500 dan 1 cc sebesar 10.100 (Lampiran 10). 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Induksi maturasi belut sawah dapat dilakukan dengan penyuntikkan PMSG+AD (20 IU + 0.01 mg/kg bobot tubuh belut sawah) sebanyak empat kali secara berkala selama empat minggu. Belut sawah ukuran panjang 22±2 cm dengan bobot tubuh 5 sampai 12 g yang diinduksi dengan PMSG+AD adalah berstatus betina (matang gonad). Saran Induksi maturasi belut sawah betina dapat dilakukan dengan penyuntikkan PMSG+AD pada ukuran minimal panjang 20 cm untuk memperoleh induk matang gonad. Ciri-ciri pengamatan status kelamin betina belut sawah dapat digunakan sebagai panduan penentuan induk betina belum atau sudah matang gonad untuk proses pembenihan. Induksi hormonal dapat dilakukan pada ukuran belut sawah yang lebih besar untuk melihat differensiasi sex (betina, interseks dan jantan). Penelitian penentuan dosis efektif kombinas PMSG dan antidopamin untuk belut belut sawah masih perlu dilakukan.
  • 42. 30 DAFTAR PUSTAKA . Affandi Ridwan, Yunizar Ernawati, Setyo Wahyudi. 2003. Studl Bio-Ekol ogi Belut Sawah (Monopterus albus) Pada Berbagai Ketinggian Tempat Di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Affandi Ridwan, Usman Muhammad, Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press, Riau. Halaman 213 : 172 – 195 Aida K, M Kobayashi, T Kaneko. 1991. Endokrinologi (dalam Bahasa Jepang) Halaman: 167 – 241 dalam M Itazawa dan I Hanyu (eds). Fisiologi Ikan. Koseishakoseikaku, Tokyo. Bahri F. 2000. Studi Mengenai Aspek Biologi Ikan Belut (Monopterus albus) di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skipsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Barry TP, JA Malison, AF Lapp, LS Procarion. 1995. Effects of Selected Hormones and Male Final Oocyte Maturation, Ovulation and Steroid Production in Walleye, Stizostedion vitreum. Aquaculture, 138 : 331–347. Basuki F. 1990. Pengaruh Kombinasi Hormon Pmsg dan hCG Terhadap Ovulasi Clarias gariepinus (Burcell). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Berra TM. 2001. Freshwater Fish Distribution. Academic Press, San Diego, California. Bijaksana Untung. 2006. Status Reproduksi Ikan Gabus, Channa striata blkr (Reproduction Status Snakehead, Channa striata). Fakultas Perikanan. UNLAM, Lampung. Blazquet M, PT Bosma EJ, Fraser KJW Van Look, VL Trdeu. 1998. Fish As Model for The Neuroendocrine Regulation of Reproduction and Growth. Com. Biochem. Physiol, Part C 199 : 345 : 364. Bricking EM. 2002. Introduced Species Summary Project: Asian Swamp Eel. Columbia University. 27 February 2002. http://www.columbia.edu/itc/cerc/danoffburg/invasion_bio/in_spp summ/Monopterus_albus. html diakses tanggal 4 Juni 2012 Bolamba D, Matton P, Estrada R, Dufour JJ. 1992. Effect of Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin on Follicular Population and Ovulasi Rates in Prepubertal Gilts With Two Morphologically Different Ovarium Types. J. Anim. Sci. 70 : 1916 – 1992.
  • 43. 31 Boyd CE. 1990. Water Quality Management in Pond Fish. Research and Development Series No. 22. International for Aquaculture. Agriculture Experiment Station, Auburn Alabama. Busacker GP, Adelman IR, Goolish EM. 1990. Growth. in: Schreck C.B, Moyle PB. (Eds.), Methods for Fish Biology. American Fisheries Society, Bethesda (MD), pp. 363 – 387. Cabrita Elsa, Vanesa Robles, Paz Herraez. 2009. Methods in Reproductive Aquaculture Marine and Freswater Spesies. CRC Press, Francis. Halaman 574 : 6 – 19. Cerda J, Calman BG, Lefleur GJJr, Limesand S. 1996. Patten of Vitellogenesis and Ovarian Folicular Cycle of Fundulus heteroclitus. Gen. Comp. Endo. 103:24-35 Chan STH, J Phillips. 1967. The Struktur of The Gonad During Natural Sex Reversal in Monopterus albus, (Pisces, Teleostei). J. Zool. 151:129-141 Combarnous Y. 1988. Structure and Structure-Function Relationships in Gonadotropin. Reprod, Nutr. Develop, 28 : 211 – 228. Crim LW, Shenwood NM, Wilson CE. 1988. Sustained Hormon Release II, Effectiveness of LHRH analog (LHRHa) Administration by Either Single Time Injection or Cholesterol Pellet Implantation on Plasma Gonadotropin Levels in a Bioassay Model Fish The Juvenile Rainbow Trout. Aquaculture 74:87-95 Effendie MI. 1979. Biologi Perikanan Studi Natural Histori Bagian I. Fakultas Perikanan IPB, Bogor. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta. Halaman: 5. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta. Halaman: 5. Elis. 2003. Hubungan Perubahan Jenis Kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dengan Ukuran Tubuh Ikan Belut Sawah (Monopterus albus) di Desa Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. [Skripsi]. Manajemen Sumberdaya Perairan, IPB. Bogor. Elper P, M Sokolowska, W Popek, K Bieniarz. 1986. Join Action of Carp (Cyprinus carpio L) Pituitary Homogenate and human Chorionic Gonadotropin (hCG) in Carp Oocyte Maturation and Ovulatin: in Vitro and in Vivo Studies. Aquaculture, 51:133-142.
  • 44. 32 Fibriana Citra. 2010. Rekayasa Rematurasi Ikan Patin Siam (Pangasianodo hypophthalamus) Dengan Kombinasi Penyuntikan Hormon PMSG dan hCG serta Penambahan Vitamin Mix 100 mg/Kg Pakan. [Skripsi]. IPB, Bogor. Froese R, D Pauly (Editors). 2009. FishBase. World Wide Web Electronic Publication. www.fishbase.org. Version (02/2007). Diakses tanggal 29 Januari 2009 Fukada H, Fujiwara Y, Takahashi T, Hiramatsu N, Sullivan CV, Hara A. 2003. Carp (Cyprinus carpio) Vitellogenin: Purification and Development of a Simultaneous Chemiluminescent Immunoassay. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Molecular and Integrative Physiology. 134: 615-623. Grodsky GM. 1984. Kimia dan Fungsi Hormon: IV. Hipofisa dan Hipotalamus. dalam Martin DW, Mayes PA. dan Rodwell VW. (eds). Biokimia (Review of Biochemistry) EGC. Penerbit Buku Kedokteran. P. 585–595. Gunarso W. 1989. Mikroteknik. PAU, Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harker K. 1992. Pembiakkan Carp dengan Menggunakan Ovaprim di India. Warta Akuakultur. Volume 2, No.3. Hidayat R. 2010. Efektivitas Spawnprim pada Proses Ovulasi dan Pemijahan Ikan Komet Carassius auratus auratus. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hoars WS, DJ Randall, EM Donaldson. 1983. Fish Physiology, Volume IX, Reproduction. Part B. Behaviour and Fertility Control. Academic press Inc, London. Istyanto S. 2002. Teknologi Pembesaran Ikan Hias Laut (Amphuiprion percula) dengan Menggunakan Pakan Tubifex sp. UNDIP, Semarang. Kagawa H, G Young, Y Nagahama. 1984. In Vitro Estradiol-17β and Testosterone Production by Ovarian Follicles of Goldfish, Carassius auratus. General and Comparative Endocrinology, 54 : 139 – 143. Khanh NH, Ngan HTB. 2010. Current Practices of Rice Field Eel Monopterus albus (Zuiew, 1793). Research Intitute For Aquaculture, Vietnam. Mayasari Novi. 2012. Pemacuan Kematangan Gonad Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) Betina dengan Kombinasi Hormon PMSG dan Spirulina. [Tesis]. Pascasarjana IPB. Bogor.
  • 45. 33 Mylonas CC, Y Magnus, A Gissis, Y Klebano, Y Zohar. 1996. Application of Controlled-release GnRH-deliveried System in Commercial Production of White Bass X Stripped Bass Hybrid (Sunshine bass) Using Captive Broodstocks. Aquaculture, 40:265-280. Nagahama Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads. P. 223-275. In W. S. Hoar, D.J. Randall dan E.M. Donaldson (Eds) Fish physiology. Volume IX B. Academic Press, Inc. Nagahama Y, Matsuhisa A, Jwamatsu T, Sakai N, Fukaoa S. 1991. A Mechanism for The Action Pregnant Mare Serum Gonadotropin on Aromatase Activity in The Ovarian Follicle of The Medaka, Oryzias latipes. J. Exp. Zool. 259: 53-58, Jepang Nagahama Y. 1994. Endocrine Regulation of Gametogenesis in Fish. International Journal of Developmental Biology. 38: 217-229. NRC. 1993. Nutrient Requirements of Warm Water Fishes and Shelfish. Nutritional Nurmahdi Teuku. 2005. Pengaruh Penggunaan Hormon hCG dengan Dosis yang Berbeda terhadap Perkembangan Gonad Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr.). [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. IPB, Bogor. Permana D. 2009. Efektivitas Pencampuran LHRHa, Antidopamin, dan Aromatase Inhibitor Dalam Memacu Terjadinya Ovulasi Pada Ikan Sumatera Puntius tetrazona. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putra Wiwin KA. 2010. Laju Pertumbuhan dan Konversi Pakan Belut Sawah (Monopterus Albus) Dengan Pemberian Berbagai Pakan Hewani Dalam Media Air. [Skripsi]. Jurusan Perikanan dan Kelautan. UNSOED, Purwokerto. Rottmann RW, JV Shireman, FA Chapman. 1991. Hormonal Control of Reproduction in Fish for Induced Spawning. SRAC Publication No. 424 Roy Ruslan. 2009. Buku Pintar Budidaya dan Bisnis Belut. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta. 126 hal. Rudiana Esti, MP Eddy Moeljono, Susilo Handari. 2000. Pengaruh Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (PMSG) dan Prostaglandin (PGF2α) Terhadap Pematangan Telur dan Ovulasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepnus Burchell). [Tesis]. Program Studi Biologi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
  • 46. 34 Sebastian S, Takayama K, Shozu M, Bulun S. 2002. Cloning and Characteriza- tion of a Novel Endothelial Promoter of The Human CYP19 (aromatase P450) Gene that is Up-Regulated in Breast Cancer Tissue. Mol Endocrinol, 16:2243–2254 Siregar Maruli. 1999. Stimulasi Pematangan Gonad Bakal Induk Betina Ikan Jambal Siam, Pangasius hypohthalamus F dengan Hormon hCG. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. IPB, Bogor. Simpson ER, Clyne C, Rubin G, Boon WC, Robertson K, Britt K, Speed C, Jones M. 2002. Aromatase, a Brief Overview. Annu Rev Physiol 64:93–127. Sudrajat AO. 2000. Molecular Biological Studies on Cytocrome P-450 Aromatase in Fish. [Thesis]. Dept. Of Aquatic Biosciene. University of Tokyo, Jepang 100 p. Swanson P. 2008. Endocrine Regulation of Reproduction. http://www. north west fishery sciense center. noaa. gov/research/divisions/reutd/phys_endo/ endocrine. cfm [diakses tanggal 8 Juni 2012] Syndel Laboratories Ltd. 2008. OvaprimTM. www.syndel.com/Default.aspx [diakses tanggal 5 Juni 2012]. Taufik Arief H. 2009. Pertumbuhan Belut (Monopterus albus Zuieuw) yang Dipelihara dalam Boks Plastik Pada Skala Lab dengan Kombinasi Pakan Berbeda. [Skripsi]. Jurusan Perikanan Dan Kelautan. Unsoed, Purwokerto. Tyler CR, JP Sumpter, PM Cambell. 1991. Uptake Of Vitellogenesis Into Oocyte During Early Vitellogenic In The Rainbouw Trout, Oncorincus mykiss. W. J. Fish. Biol., 38 : 681 – 689. Wahyuningsih Hesti. 2012. Induksi Buatan pada Perkembangan Gonad Ikan Tor soro. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor Wibisona Rico Wisnu. 2012. Artificial Maturation Pada Ikan Belut Sawah Monopterus Albus Melalui Penggunaan Kombinasi Hormon Pmsg Pregnant Mare Serum Gonadotropin Dosis 5,10 dan 15 Iu dengan Antidopamin 5 Ppm. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Yamin L. 1991. Kemampuan Reproduksi Ikan Belut (Monopterus albus, Zuiew) pada Dua Tipe Sawah di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Yaron Z. 1995. Endocrine Control Of Gametogenesis and Spawning Induction In The Carp. Aquaculture, 129 : 49 – 73.
  • 47. 35 Yanong RPE, Martinez C, Watson CA. 2009. Use of Ovaprim in Ornamental Fish Aquaculture1. IFAS Extension, University of Florida. Ye D, Lv D, Song P, Peng M, Chen Y, Guo M, Yang Q, Hu Y. 2007. Cloning and Characterization of a Rice Field Eel Vasa-Like Gene cDNA and its Expression in Gonads During Natural Sex Transformation. Biochemical Genetics 45 211–224. Young. G, Kagawa H, Nagahama Y. 1983. Evidence Lor a Decrease in Aromatase Activity in The Ovarian Granulosa Cells of Amago Salmon (Oncorhynchus rhodurus) Associated with Final Oocyte Maturation. Bioi. Reprod. 29: 310-315. Yulfiperius, 2001. Pengaruh Kadar Vitamin E dalam Pakan Terhadap Kualitas Telur Ikan Patin, Pangasius hypophthalmus. [Thesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 40 hal Yusniar. 1996. Kelimpahan dan Pola Penyebaran Ikan Belut (Monopterus albus) Di Kecarnatan Cibeber, Cianjur. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan. IPB, Bogor . Zairin MJr, K Asahina, K Furukawa, K Aida. 1992a. Changes in Ovarian Maturity in The Tropical Walking Catfish, Clarias batrachus Reared Under 23- 25o C. Nippon Suisan Gakkaishi, 58 : 2033-2037. Zohar Y, CC Mylonas. 1989. Endocrinology and Fish Farming Aspects in Reproduction, Growth and Smoltification. Fish Physiology and Biochemistry 7: 395-405 LAMPIRAN Lampiran 1 Data Gonado Somatik Indeks (GSI) belut sawah setiap minggu selama penelitian Perlakuan Minggu NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD M0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 M1 0.15 0.16 0.33 0.15 0.13 0.17 0.54 M2 0.12 1.56 0.96 0.08 0.87 0.67 1.59 M3 0.17 0.38 0.59 0.23 1.4 3.98 0.68 M4 0.1 0.25 0.43 0.09 0.74 4.36 1.25 Total 0.642 2.453 2.408 0.648 3.245 9.282 4.156 Rata-rata 0.128 0.491 0.482 0.130 0.649 1.856 0.831 Stdev 0.032 0.607 0.321 0.062 0.545 2.128 0.591
  • 48. 36 Lampiran 2 Data dan analisis Gonado Somatik Indeks (GSI) belut sawah pada minggu ke-4 Perlakuan Ulangan NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD 1 0.135 0.123 0.431 0.142 1.020 4.358 1.038 2 0.096 0.249 0.262 0.128 0.278 3.498 1.248 3 0.329 0.659 0.147 0.202 0.743 2.215 0.531 4 0.157 1.696 0.927 0.274 1.652 2.925 0.713 Total 0.718 2.727 1.767 0.745 3.693 12.995 3.531 Rata-rata 0.180 0.682 0.442 0.186 0.923 3.249 0.883 Stdev 0.103 0.714 0.344 0.067 0.574 0.907 0.321 Software: MINITAP 16 Welcome to Minitab, press F1 for help. One-way ANOVA: C1 versus C2 Source DF SS MS F P C2 6 27.181 4.530 16.70 0.000 Error 21 5.696 0.271 Total 27 32.877 S = 0.5208 R-Sq = 82.68% R-Sq(adj) = 77.73% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---+---------+---------+---------+------ AD 4 0.1861 0.0666 (----*---) hCG 4 0.4418 0.3438 (----*---) hCG+AD 4 0.8828 0.3215 (---*----) NaCl 4 0.1796 0.1031 (---*----) PMSG 4 0.6818 0.7141 (----*---) PMSG+AD 4 3.2488 0.9067 (---*----) PMSG+hCG 4 0.9232 0.5743 (----*---) ---+---------+---------+---------+------ 0.0 1.2 2.4 3.6 Pooled StDev = 0.5208 Grouping Information Using Tukey Method C2 N Mean Grouping PMSG+AD 4 3.2488 A PMSG+hCG 4 0.9232 B hCG+AD 4 0.8828 B PMSG 4 0.6818 B hCG 4 0.4418 B AD 4 0.1861 B NaCl 4 0.1796 B Means that do not share a letter are significantly different.
  • 49. 37 Lampiran 3 Data Hepatosomatik Indeks belut sawah setiap minggu selama penelitian Perlakuan Minggu NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD M0 1.73 1.73 1.73 1.73 1.73 1.73 1.73 M1 2.13 0.98 1.64 2.37 1.20 2.07 1.43 M2 1.08 2.92 5.78 0.71 3.17 2.87 2.61 M3 1.38 1.13 0.98 1.36 2.48 4.98 0.85 M4 1.63 2.24 3.02 0.64 1.07 3.52 1.53 Total 7.950 8.991 13.145 6.801 9.648 15.164 8.142 Rata-rata 1.590 1.798 2.629 1.360 1.930 3.033 1.628 Stdev 0.391 0.803 1.910 0.724 0.889 1.292 0.639 Lampiran 4 Data dan analisis nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) belut sawah pada minggu ke-4 Perlakuan Ulangan NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD 1 1.76 1.72 3.02 0.85 1.28 3.52 1.14 2 1.63 2.24 3.28 0.89 2.36 3.19 1.53 3 1.81 2.31 1.62 0.60 1.07 2.56 2.39 4 1.57 2.75 2.67 3.38 1.27 2.92 2.50 Total 6.78 9.01 10.58 5.72 5.98 12.19 7.56 Rata-rata 1.69 2.25 2.64 1.43 1.49 3.05 1.89 Stdev 0.11 0.42 0.73 1.30 0.59 0.41 0.66 Software: MINITAP 16 One-way ANOVA: C1 versus C2 Source DF SS MS F P C2 6 8.921 1.487 3.09 0.025 Error 21 10.099 0.481 Total 27 19.020 S = 0.6935 R-Sq = 46.90% R-Sq(adj) = 31.73% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev -+---------+---------+---------+-------- AD 4 1.4309 1.3029 (--------*--------) hCG 4 2.6446 0.7311 (--------*--------) hCG+AD 4 1.8888 0.6610 (--------*--------) NaCl 4 1.6944 0.1100 (--------*--------) PMSG 4 2.2532 0.4206 (--------*--------) PMSG+AD 4 3.0466 0.4073 (--------*--------) PMSG+hCG 4 1.4950 0.5851 (--------*--------) -+---------+---------+---------+-------- 0.80 1.60 2.40 3.20 Pooled StDev = 0.6935
  • 50. 38 Grouping Information Using Tukey Method C2 N Mean Grouping PMSG+AD 4 3.0466 A hCG 4 2.6446 A B PMSG 4 2.2532 A B hCG+AD 4 1.8888 A B NaCl 4 1.6944 A B PMSG+hCG 4 1.4950 A B AD 4 1.4309 B Means that do not share a letter are significantly different. Lampiran 5 Data konsentrasi estradiol-17β belut sawah setiap minggu selama penelitian Perlakuan Minggu NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD M0 22.53 22.53 22.53 22.53 22.53 22.53 22.53 M1 31.49 33.83 51.63 20.58 43.05 235.02 22.52 M2 52.66 39.77 37.58 39.51 31.43 36.3 13.63 M3 26.39 22.5 69.52 48.9 27.27 55.25 31.62 M4 58.8 16.52 33.9 29.52 42.15 42.53 95.49 Lampiran 6. Data diameter telur belut sawah setiap minggu selama penelitian Perlakuan Minggu NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD M0 0 0 0 0 0 0 0 M1 0 0.45 0.51 0.0 0.55 0.48 0.66 M2 0 0.71 0.80 0.0 0.64 0.86 0.45 M3 0 0.69 0.00 0.0 2.69 1.12 0.74 M4 0 0.55 0.87 0.24 2.24 3.07 0.89 Lampiran 7 Data pertambahan bobot dan panjang setiap perlakuan selama penelitian Data pertambahan bobot tubuh belut sawah setiap minggu selama penelitian Minggu ke- Perlakuan NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD M1 1.99 0.44 0.92 1.66 0.32 2.68 1.43 M2 0.22 0.24 2.23 0.64 3.24 2.42 1.41 M3 0.67 0.3 0.01 0.16 2.6 0.87 2.33 M4 1.95 0.38 0.83 1.2 1.17 1.38 0.81 Total 4.83 1.36 3.99 3.66 7.33 7.35 5.98 Rata-rata 1.21 0.34 1.00 0.92 1.83 1.84 1.50 Stdev 0.90 0.09 0.92 0.65 1.33 0.86 0.63
  • 51. 39 Data pertambahan panjang tubuh belut sawah setiap minggu selama penelitian Minggu ke- Perlakuan NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD M1 0.4 0.5 0 0 0 0 0 M2 0 0.3 0 0.9 0 0 0.5 M3 0.8 0 0.3 0.6 0 0 0 M4 0 0 0 0.3 0.2 0 0 Total 1.20 0.80 0.30 1.80 0.20 0.00 0.50 Rata-rata 0.30 0.20 0.08 0.45 0.05 0.00 0.13 Stdev 0.38 0.24 0.15 0.39 0.10 0.00 0.25 Lampiran 8 Data dan analisis pertambahan bobot tubuh belut sawah minggu ke-4 Perlakuan NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD Rata-rata 0.66 0.48 0.77 0.60 0.99 1.89 0.79 Stdev 0.86 0.21 0.49 0.51 0.64 0.91 0.27 Analisis pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu ke-4 Software: MINITAP 16 One-way ANOVA: Bobot tubuh versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 6 5.346 0.891 2.40 0.063 Error 21 7.787 0.371 Total 27 13.134 S = 0.6089 R-Sq = 40.71% R-Sq(adj) = 23.77% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --+---------+---------+---------+------- AD 4 0.5975 0.5097 (---------*--------) hCG 4 0.7725 0.4890 (--------*--------) hCG+AD 4 0.7925 0.2704 (--------*--------) NaCl 4 0.6575 0.8643 (--------*--------) PMSG 4 0.4775 0.2066 (--------*--------) PMSG+AD 4 1.8875 0.9051 (--------*--------) PMSG+hCG 4 0.9850 0.6441 (--------*--------) --+---------+---------+---------+------- 0.00 0.70 1.40 2.10 Pooled StDev = 0.6089 Grouping Information Using Tukey Method Perlakuan N Mean Grouping PMSG+AD 4 1.8875 A PMSG+hCG 4 0.9850 A B hCG+AD 4 0.7925 A B hCG 4 0.7725 A B NaCl 4 0.6575 A B AD 4 0.5975 A B PMSG 4 0.4775 B Means that do not share a letter are significantly different.
  • 52. 40 Lampiran 9 Data dan analisis pertambahan panjang belut sawah pada minggu ke-4 Perlakuan NaCl PMSG hCG AD PMSG+hCG PMSG+AD hCG+AD Rata-rata 1.20 0.58 0.48 0.58 0.35 0.27 0.43 Stdev 0.97 0.33 0.05 0.51 0.31 0.30 0.33 Software: MINITAP 16 One-way ANOVA: Panjang tubuh versus Perlakuan Source DF SS MS F P Perlakuan 6 2.242 0.374 1.64 0.186 Error 21 4.788 0.228 Total 27 7.030 S = 0.4775 R-Sq = 31.90% R-Sq(adj) = 12.44% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+----- AD 4 0.5750 0.5058 (---------*--------) hCG 4 0.4750 0.0500 (--------*---------) hCG+AD 4 0.4250 0.3304 (---------*--------) NaCl 4 1.2000 0.9661 (---------*---------) PMSG 4 0.5750 0.3304 (---------*--------) PMSG+AD 4 0.2750 0.2986 (--------*---------) PMSG+hCG 4 0.3500 0.3109 (---------*---------) ----+---------+---------+---------+----- 0.00 0.50 1.00 1.50 Pooled StDev = 0.4775 Grouping Information Using Tukey Method Perlakuan N Mean Grouping NaCl 4 1.2000 A PMSG 4 0.5750 A AD 4 0.5750 A hCG 4 0.4750 A hCG+AD 4 0.4250 A PMSG+hCG 4 0.3500 A PMSG+AD 4 0.2750 A Means that do not share a letter are significantly different.
  • 53. 41 Lampiran 10 Biaya pembuatan hormon perlakuan pada penelitiaan No Perlakuan Dosis/kg Harga 10 cc (10 kg) Harga 1cc (belut panjang 22±2 cm, 60-100 ekor) 1 NaCl 0.95% 1 ml Rp. 1000 Rp. 100 2 PMSG 20 IU Rp. 101000 Rp. 10100 3 hCG 20 IU Rp. 21000 Rp. 2100 4 Antidopamin 0.01 mg Rp. 10000 Rp. 1000 5 PMSG+hCG 20 IU + 10 IU Rp. 111000 Rp. 11100 6 PMSG+AD 20 IU + 0.01 mg Rp. 101500 Rp. 10100 7 hCG+AD 20 IU + 0.01 mg Rp. 21500 Rp. 2150 Keterangan: Harga PMSG 500IU/10 ml = 250000 Harga hCG 1500IU/5 ml = 150000 Harga Antidopamin 0.01 mg = 1000 Harga NaCl = 7000 Lampiran 11 Mekanisme kerja hormon perlakuan induksi maturasi belut sawah Mekanisme kerja hormon perlakuan induksi maturasi belut sawah pada penelitian ini seperti di bawah ini: OTAK Hipotalamus Pituitari Perkembangan Oosit (maturation/ rematuration) GONAD Sel Teka GnRH Gonadotropin Sel Granulosa T EP450 arom Vitellogenesis Anti dopamin, AD GnRH, FSH-RH endogenous FSH FSH PMSG hCG (Sudrajat, 2010) Mekanisme kerja hormon perlakuan (Sudrajat 2000)
  • 54. 42 RIWAYAT HIDUP Penulis dengan nama lengkap Wiwin Kusuma Atmaja Putra, S.Pi dilahirkan di Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Jambi pada tanggal 25 Juli 1988 sebagai anak pertama dari pasangan Hubertus Winarto dan Sri Winarsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Sains Dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima di Mayor Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Kegiatan seminar atau lokakarya yang pernah diikuti diantaranya Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Peenelitian Perikanan dan Kelautan 2011 di Universitas Gajah Mada (UGM), Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur IV di Institut Pertanian Bogor (IPB), Seminar Nasional Perkembangan Sains dan Teknologi Budidaya Crustacea yang Berkelanjutan di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Pemakalah dan publikasi yang telah dipublikasi pada prosiding Seminar Nasional UGM dengan judul Upaya Meningkatkan Laju Pertumbuhan dan Konversi Pakan Belut Sawah (Monopterus albus). Publikasi yang sedang proses review dan akan terbit diantaranya denga judul Laju Pertumbuhan dan Konversi Pakan Belut sawah (Monopterus albus) Dengan Pemberian Berbagai Pakan Hewani dalam Media Air pada Jurnal Perikanan Indonesia (UGM) dan Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) dengan Hormon Human Chorionic Gonadotropin dan antidopamin pada Jurnal Riset Akuakultur di Pusat Riset Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan Perikanan dengan Akreditasi A.
  • 55. 43