Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Resume Pendidikan Agama Islam
1. RESUME BUKU
ETOS DAGANG ORANG JAWA
PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV
KARYA: DRS. DARYONO, M.Si
TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN: DRS. DARYONO, M.Si
Disusun oleh:
NAMA : NURLITA YULIANDARI
NIM : B.231.19.0055
HARI/ JAM : SELASA, 20.00 WIB
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEMARANG
2019
2. 1
1. Uraikan dan jelaskan pengertian etos dan bagaimana contoh praktiknya pada masa
kehidupan Raja Mangkunegara IV!
Jawaban:
Etos merupakan sikap yang sudah mantap dan atau sudah menjadi kebiasaan.Etos
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos” yang berarti karakter, watak kesusilaan, kebiasaan
atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka yang meliputi gambaran, cara
bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan. Dari kata etos ini
dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nila-nilai
yang berkaitan dengan baik maupun buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung
gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik
dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Suatu subjek
dari arti etos tersebut adalah etika yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu
maupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakan itu salah
atau benar dan buruk atau baik.
Franz Magnis Suseno (ditulis F.M. Suseno) menjelaskan, antara sikap moral dengan
etos memiliki kesamaan meskipuntidak identik. Kesamaannya ialah terletak pada kemutlakan
sikap itu, sedangkan perbedaannya terletak pada tekanannya. Sikap moral, menegaskan
orientasi pada norma-norma sebagai suatu standar yang harus diikuti, sementra etos
menegaskan bahwa sikap itu merupakan sikap yang sudah mantap atau sudah menjadi
kebiasaan, suatu yang nyata mempengaruhi, dan menentukan bagaimana seseorang atau
sekelompok orang mendekati (melakukan sesuatu). Karenanya, istilah “etos” diungkapkan
sebagai semangat dan sikap batin yang tetap pada seseorang atau sekelompok orang sejauh di
dalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu.
Mencermati penjelasan makna etos tersebut berarti, dalam kata “etos” mengandung
dua nilai yang merupakan satu kesatuan. Nilai-nilai moral sebagai orientasi dalam bersikap
atau bertingkahlaku, dan penghayatan atau pelaksanaan sikapnya itu dalam kehidupan.
Eksistensi nilai-nilai moral tersebut berarti, di satu pihak berada dalam pikiran atau konsep
serta dihayati pelaksanaannya atau dipraktekkan dalam kehidupannya, di pihak lainnya.
Contoh praktiknya pada masa kehidupan Raja Mangkunegara IV
Contoh Prakteknya dalam kehidupan ditunjukkan melalui sikap sopan santun atau tata
krama: sikap baik atau hormat dan rukun. Pertama, nilai yang menjadi tujuan utama
kebijakan politik Pemerintah Belanda, yaitu agar orang atau masyarakat Jawa pada
umumnya atau para elit kerajaan khususnya, bisa saling merasa puas dan senang. Kedua,
3. 2
nilai ini tidak bertentangan dengan pandangan dunia dan hidup Jawa dan pengalaman
keagamaan Jawa.
Pola dalam sikap sopan santun ini sulit dipisahkan dari kehidupan sosial Sri
Mangkunegara IV sebagai priyayi yang pada waktu itu berperan ganda. Priyayi, di satu
pihaksebagai abdi atau pegawai pemerintah kolonial (abdining Kangjeng Gupernemen)
dan sebagai abdidalem pihak lainnya, keraton Mangkunegaran. Ki Padmasusastra, dalam
bukunya, Serat Subasita,menggambarkan bagaimana konsep priyayi dalam kehidupan
sehari-harinya. Simbol orangberbudaya adalah kemampuannya menyesuaikan diri dengan
etiket priyayi, baik sebagai abdi(pegawai) Belanda maupun abdi dalem.
Kaitannya dengan yang pertama, adat-istiadatnya slametan, baik atau hormat dan
rukunditunjukkan seperti pada pola atau model pakaian Sri Mangkunegara IV
ditunjukkan ketika SunanPaku Buwana IX mengadakan ritual peresmian tempat
peristirahatannya (pesanggarahan), yaituPesanggrahan Langenharjan.
2. Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik nilai-nilai moral budaya Jawa dan bagaimana
contoh prakteknya masing-masing oleh Raja Mangkunegara IV!
Jawaban:
Objektivikasi penilaian Sri Mangkunegara IV terhadap nilai moral formal sebatas
pada kehidupannya, yang memiliki pola dengan sifat realistis dan rasional, bersikap berjuang
tanpa kekerasan, dan sesuai dengan pengalaman keagamaan Jawa pada masanya dan
pandangan dunia. Pola tersebut merupakan dasar identitas bagi objektivikasi etos dan
transformasi sosial Sri Mangkunegara IV sesuai dengan pembentukan dan perkembangan
struktur nilai-nilai moral budaya Jawa pada masanya. Hal tersebut menciptakan tiga pola
karakteristik nilai moral Jawa yang modern, yaitu harmonis, struktural fungsional, dan
transedental.
1. Harmonis
Dalam karakteristik ini disebut juga sebagai pandangan Jawa karena memiliki tiga
sistem, yaitu menciptakan dan menjaga kesesuaian atau keselarasan hubungan antar
sesama manusia, masayarakat, dan alam. Tolok ukur pandangan tersebut ialah
tercapainya suatu ketentraman, ketenangan, dan keseimbangan batin sehingga pandangan
dunia orang Jawa tak terbatas hanya pada agama formal dan mitos saja melainkan juga
terdapat istilah kejawen. Kejawen merupakan suatu gaya hidup yang diilhami dari
pemikiran Jawa dalam kehidupan dalam menghadapi perbedaan agama. Sikap mental
4. 3
kejawen ialah sinkretisme dan toleransi. Sinkretisme merupakan suatu penyatuan
ideologi yang bertentangan ke dalam kesatuan pemikiran atau hubungan sosial yang
harmonis juga saling kerjasama sedangkan toleransi merupakan suatu sikap hormat
terhadap keanekaragaman ideologi maupun keyakinan fisiologis dan moral yang berbeda
pada setiap orangnya.
Objektivikasi pemikiran Sri Mangkunegara IV dengan menampilkan perlambang
raksasa Kumbakarno sebagai martabat manusia tersebut, di satu sisi sebagai objektivikasi
teori kritis terhadap budaya jawa tentang eksistensi manusia, maksudnya adalah secara
radikal memiliki pandangan tentang kajian antara teori dan praktik. Dengan demikian,
teori kritis sesungguhnya justru merupakan teori perubahan sosial atau transformasi
sosial. Akantetapi, pemikirannya tersebut juga menjadi kongkretisasi transformasi sosial
tentang keutamaan Jawa atau nilai-nilai moral budaya Jawa dalam pandangan hidup yang
di cita-citakan priyayi.
Praktiknya
Kisah perjuangan Sumantri, ketika nyuwita atau ngenger kepada raja Prabu
Arjuna Sasrabahu di kerajaan Mahespati. Kisah tersebut, pendahuluan kisah
kepahlawanan dalam Ramayana. Berkat keluhuran budi atau keutamaan dan
keberhasilannya dalam menjalankan berbagai tugas dari rajanya dia diangkat sebagai
pejabat tertinggi setelah raja yaitu, patih dan bernama Patih Suwanda. Kisah
kepahlawanan Kumbakarno adalah seorang kesatria raksasa dari kerajaan Alengka,
sebagai kisah dalam Ramayana. Inti motivasi kepahlawanannya bukan membela raja
Rahwana yang terkenal berwatak angkara murka, melainkan berdasarkan kesadaran
budi luhurnya atau sifat keutamaannya sebagai ksatria berkewajiban menjaga dan
membela negera Alengka. Kisah dalam Mahabarata tentang kepahlawanan
Adipati Karno dari pihak Kurawa yang gugur melawan Arjuna (Sanjaya) dari Pandawa.
Adipati Karno sebenarnya kakak seibu lain ayah dengan Ajuna. Adipati Karno nyuwita
kepada Prabu Suyudana (raja Kurawa) diberi kerajaan Ngawangga maka ia merasa
berhutang budi padanya. Motivasi kepahlawanannya di pihak Kurawa demi membalas
budi itulah yang memberikan nilai dirinya sebagai orang yang utama atau berbudi
luhur.
Menurut Anderson, yang dikutip dalam F.M. Suseno, orang Jawa memiliki cara
tersendiri dalam mengungkapkan rasa sinkretisme dan toleransi dalam kehidupannya.
Salah satunya ialah dalam bentuk pementasan wayang yang mana dianggap sebagai
5. 4
cermin kehidupan orang Jawa. Cara hidup para tokoh wayang tersebut merupakan suatu
acuan bagi pemikiran orang Jawa sejak kecil. Identifikasi cara hidup dan sikap-sikap
tersebut menunjukkan nilai-nilai dasar dalam beretika di ruang lingkup Jawa. Hal
tersebut juga merupakan suatu acuan sikap hormat Sri Mangkunegara IV terhadap apa
saja dan siapa saja. Selain itu, sikap hormat tersebut juga sebagai bentuk kekuatan moral
yang diobjektivikasi dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV serta sikap baik terhadap
masyarakat Jawa juga masyarakat kecil yang selalu berusaha untuk hidup rukun. Tujuan
dari sikap hormat ini ialah untuk terciptanya suasana harmonis yang saling ngemong dan
saling kasih sayang.
2. Struktur Fungsional
Dalam karakteristik ini, struktur fungsional tidak dimaksudkan sebagai struktur
dalam arti sebagai stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang terbagi menjadi tiga, yaitu
priyayi, santri, dan abangan. Hal tersebut dikarenakan tidak didasarkan pada kriteria yang
konsekuen. Maka dari itu, istilah struktural fungsional dalam karakteristik ini ialah
struktur sosial nilai moral Jawa yang merupakan ide para pujangga mengenai nilai-nilai
moral dan bagaimana pemberdayaannya bagi konsep hubungan yang terjadi antar
individu dalam kehidupan sosial Jawa. Konsepnya merupakan pedoman ajaran moral
(normal moral) bagi tingkah lakunya (perilakunya), baik individu atau kelompok pada
masanya yang hidup dalam kondisi pasca kolonial. Secara implisit, searah tentang ajaran
moral dalam budaya Jawa yang difungsikan sebagai ideologi, terutama sebagai corak
hidup, seluruh kalangan bangsawan (priyayi) juga dapat memberi arah cara bersikap bagi
seluruh rakyat Jawa.
Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, dipahami ajaran-ajaran moralnya dan
ungkapan sikapnya lebih cenderung dan tidaknya pada guilt societes (individualisme)
atau shamesocietes (kolektivisme) atau campuran keduanya. Yang dimaksut dengan
kecenderungan atau tidaknya itu, baik kaitanya dengan tiga kebijakan politiknya
Pemerintah Belanda atau dalam pandangan dunia dan hidup jawa serta bagi pengalaman
keagamaan pada masanya yang berada dalam kondisi pascakolonial.
Pratiknya
Karya Sunan Paku Buwana IV, Serat Wulangrehmemuat bait-bait yang
menguraikan ajaran moral bagi priyayi yang baru ngenger kepada raja. Dia harus
dengan ikhlas lahir batin mengikuti perintah raja tidak boleh ragu dan harus
6. 5
mengumpakan dirinya “sarah munggeng jaladri, darma lumaku sapakon”, artinya
sebagai samapah di laut, wajib berjalan menutut perintahnya. Dia harus mantap dan
tidak gentar menghadapi kesukaran. Dia harus memelihara milih raja dengan gemi
(tidak boros), terhadap perintahnya harus nastiti (memerhatikan dengan cermat) dan
ngati-ati yang artinya hati-hati dalam menjaga tuannya atau rajanya siang dan malam.
Ketika di paseban, harus datang lebih dahulu sebelum rajanya, dana wajib secara
tertib menghadap di paseban pada hari-hari tertentu, sekalipun raja tidak keluar dari
kedhaton.
Menurut patih Koja Jajahan dari Mesir, mengemukakan sseorang yang
ngawuladikatakan baik jika ia mau mengikuti kemauan tuannya. Jika di kasih tahu
tentang rahasia rajanya, ia harus pandai dan awas akan isyarat, seperti tajamnya
curiga (keris). Tingkah laku dan sopan santunnya, cara bersikap harus seperti wanita,
tidak merasa dirinya sebagai pria.
3. Transendental
Beberapa makna yang berkaitan dengan kata “transendetal” adalah sesuatu secara
kualitas teratas, atau di luar yang diberikan oleh pengalaman manusia. Kehidupan
mengarah ke dalam yang transendental berarti, sebagai yang mampu mengungkapkan
seluruh realitas obyektif yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai
pada makna-makna hidup yang paling final.
Penjelasan makna kata “tansendental” itu implisit maksudnya searah obyektivikasi
pemikiran atau konkretisasi tindakan moral Sri Mangkunegara IV tentang Panembahan
Senapati bagi identifikasi tokoh yang diidealkan (dicita-citakan). Panembahan Senapati
dianggap sebagai raja Jawa telah merasakan atau memperoleh rasa sejati adalah wahyu
(anugerah Tuhan) sebagai semacam “iklim” penghayatan budi luhur atau alam hakiki
disebut ngelmu mistik merupakan eksistensi pengalaman kegamaan (Islam) Jawa.
Penjelasan tersebut bukan dimaksud objektivitas dan tindakan moral Sri
Mangkunegara IV dalam rasa sejati sebagai pengalaman keagamaan hanya bagi kalangan
priyayi (elit kerajaan), melainkan dasar kehendak dengan eksistensi nilai-nilainya yang
harus dikembangkan atau diberdayakan oleh setiap manusia. Maksudnya, secara implisit
bisa dijelaskan bahwa rasa sejati (wahyu atau anugerah Tuhan), eksistensinya milik atau
hak siapa saja yang bersedia memberdayakan atau mengembangkan melalui “sembah
catur (empat sembah)” yaitu sembah raga, cipta, jiwa dan rasa.
7. 6
Objektivikasi dan konkretisasi transformasi sosial tindakan moralnya adalah
bersama-sama berjuang tanpa kekerasan yang merupakan modal utama bagi
ketangguhan sosial. Objektivikasi dan konkretisasi transformasi sosial tindakan Sri
Mangkunegara IV terkait dengan maksutnya terhadap masalah tersebut di atas tidak
hanya sebagai perasaan melainkan suatu pernyataan perbuatan nyata dan meluas bagi
kegiatan-kegiatanya yang bermakna internal, baik dalam nilai-nilai spiritual (nilai
manusiawi) dan bagi eksistensi manusiawi.
Mengacu pejelasan tersebut maka sebagai tambahan dan rangkuman karakteristik
etos tindakan moral pada dataran pemikiran Sri Mangkunegara IV bagi identifikasi tiga
karakteristik sistem nilai-nilai moral budaya Jawa tradisional dimuka dalam tiga arti.
Pertama, karakteristik etos tindakan moralnya sebagai objektifikasi teosentris-humanistik
yang maksutnya searah dalam kalimat mamayu ayuning bawana. Kedua, etos tindakan
moralnya berkarakteristik sebagai objektivikasi sikap transendensi yang maksutnya
searah dengan kalimat tut wuri handayani. ketiga, etosnya juga berkarakteristik pasca-
rasional sebagai objektivikasi islam yang maksutnya searah dengan kalimat mamangun
karyenak tyasing sasami.
Pratiknya
Sikap hormatnya Sri Mangkunegara IV tersebut, di satu pihak hanya mengakui
senioritas dalam sikap lahiriyah atau hanya pengakuan pangkat yang lebih tinggi
melalui tata krama yang sesuai karenanya, maksud sikap hormat jangan disamakan
dengan sikap “berikanlah perintah, kami mengikuti”. Bersikap hormat pada tradisi di
lain pihak, pada dasarnya sebagai sikap tahu diri (eling) searah dengan dimaksud sikap
andhap asor (kerendahan hati) adalah mengakui keterbatasan kecerdasannya
dan bersedia belajar atau berguru kepada nasihat orang lain termasuk kepada
“orang luar” (Barat atau Belanda). Mampu mengungkapkan seluruh realitas obyektif
yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai pada makna makna
hidup yang paling final.
8. 7
3. Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik etos dagang Jawa dan bagaimana contoh
praktiknya dalam bidang perkebunan!
Jawaban:
Tiga karakteristik etos pemikiran Sri Mangkunegara IV: realisitis dan rasional,
berjuangbersama tanpa kekerasan serta yang sesuai dengan identitas budaya atau pengalaman
keagamaan(Islam) Jawa. Etos pemikirannya tersebut di sisi lainnya juga yang sesuai (modern
atau baru) bagikondisi realitas kehidupan atau realitas sosial masyarakat Jawa pada masanya
yang dalam kondisikolonial atau dalam masyarakat pluralis pasca-tradisional.Tiga
karakteristik yang sesuai (modern atau baru) itu sebagai eksistensinya gerak dialektikadalam
sistem dan atau proses etos pemikirannya (karakteristik berfilsfatnya). Eksistensi proses
dankarakteristiknya itu, berada pada kedalaman rahsa sejati (eksistensinya wahyu atau
anugerahTuhan yang pima facie) bagi acuan sikap dasar fenomen kesadaran moralnya rasa
(suara batin)adalah pusat kesadaran diri atau refleksi diri (proses gerak dialektika) bermetode
reflektif kritis.
Obyektifikasi karakteristik proses gerak dialektika fenomena kesadaranmoralnya rasa
dalam tiga tahapan tersebut sebagai satu pola acuan dasarnya cara bersikap etis(tata krama
Jawa modern) struktur pemikiran manajemen stakeholders-approachnya etospemikiran Sri
Mangkunegara IV demi efisiensi tujuan etos dagang yang sesuai (modern ataubaru) bagi
eksistensi manusiawinya stakeholders pada masanya dengan makna etisnyakeutamaan Jawa
dalam tiga kalimat: mamayu ayuning bawana, tut wuri handayani dan,mamangun karyenak
tyasing sasami. Mencermati penjelasan rangkuman tiga arti, khususnyayang terakhir tersebut
memperkuat pengertian, seperti dijelaskan K.Bertens, bahwa kaitannyastakeholder internal
dengan eksternal dalam perdagangan hampir-hampir sulit ditarik garispemisahnya.
Walaupun demikian, demi sistematisasi penulisan dalam kajian ini, maka analisa dan
pemahamannya karakteristik kesesuaian (kemodernan) sebagai kebaikan perilaku
ekologisnyatersebut di muka, perlu diperjelas. Obyektifikasi atau konkretisasi analisa dan
pemahamannyaterhadap yang kedua (tut wuri handayani)dan yang ketiga (mamangun
karyenak tyasing sasami), sedang terhadap yang pertama yaitu dalam kalimatnya mamayu
ayuningbawana.
Analisa dan pemahaman awalnya, seperti disebutkan pada judul sub-bab ini, adalah
yang dimaksud dengan obyektifikasi atau konkretisasi cara pelaksanaannya bersikap etis
dengancara bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja dalam lingkungan
hidupnya, baik padayang alamiah sebagai sumber daya alam (SDA) dan yang bersifat sosial
bagi sumber daya manusia (SDM). Menurut F.M. Suseno, bersikap baik ataupositif,
9. 8
menghendaki yang baik padanya, tidak merusaknya, kecuali terhadap SDA (selainmanusia)
berdasar pada alasan tertentu misalnya, yang lebih penting. Namun tetap berkewajiban moral
(bertanggung jawab) agar membuat semakin bermakna etis (bernilai etis) seperti,
membuatnya semakin baik, indah, halus atau sopan dan, yang lainnya. Berdasar kepada
ketentuan dan kepentingan tertentu itulah, maka karakteristik keberlakuan cara bersikap etis
(bersikap baik atau hormat dan peduli) baik terhadap SDA maupun SDM berlakunya secara
prima facie.
Acuan teoritisnya cara bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja dalam
halini, melalui tata krama Jawa modern dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV tersebut
salah satunya, dirinci dalam Asta Gina sebagai identifikasi cara pelaksanaannya, juga yang
mengimplikasikan makna etisnya obyektifikasi teosentris-humanistis. Identifikasi
obyektifikasi atau konkretisasi kemodernan dalam implikasinya itu seperti ditunjukkan dalam
model pakaian yang disebut Busana Langen Harjan sewaktu menghadiri upacara adat
(tradisi) slametanperesmian dibangunnya Langen Harjan pesanggrahannya Sunan Paku
Buwana IX. Pengakuan kemodernannya tersebut tidak terbatas dari berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders) pada masanya itu saja. Maksudnya, tidak hanya para priyayi
Kasunanan Surakarta, para penyewatanah lungguh yaitu orang-orang Barat atau Pemerintah
Belanda, dan para tamu lainnya merasasetuju dan senang (bahagia). Melainkan, karakteristik
kemodernannya itu juga ditiru dandipertahankan (dilestarikan) oleh mayoritas rakyat Jawa,
bangsawan (priyayi) dan wong cilik (olehC. Gertz disebut kaum abangan) di berbagai
upacara adat slametan terutama acara pernikahan sampai sekarang.
Mencermati penjelasan tersebut maka mengimplikasikan kedalaman dan atau
keluasan jangkauan motivasi dan maksudnya cara bersikap etis atau bersikap baik atau
hormat dan peduli terhadap apa saja sebagai tata krama Jawa modern bagi etos pemikiran Sri
Mangkunegara IV yaitu, menghendaki atau memiliki kesadaran moral (berkewajiban moral)
merasa wajib untuk bersikap tanggung jawab dengan etis terhadap tiga hak sekaligus.
Pertama, bersikap tanggung jawab wajib etis (wajib bersikap etis atau baik) terhadap
hakdalam dirinya sendiri.
Kedua sikap terhadap hak orang lain pada masanya: berbagai pihak yangberkepentingan
(takeholders) tersebut.
Ketiga, begitu juga terhadap “hak” (potensialitas) sebagai bagian terpenting dalam
SDAyaitu, khususnya bagi generasi-generasinya rakyat Jawa (terlepas status dan
tingkatan sosialnya,kaum abangan tersebut) hingga kini dan mungkin selanjutnya.
10. 9
Identifikasi terpenting tentang karakteristik kesesuaian (kemodernan) dan
kebaikanperilaku ekologis terhadap SDA melalui tata krama Jawa modern dalam etos
pemikiran SriMangkunegara IV, terimplikasi dalam bersikap etisnya terhadap “hak” yang
ketiga tersebut.Identifikasi itu seperti dijelaskan K. Bertens, masalah sekitar lingkungan
hidup baru mulai disadarisepenuhnya dalam tahun 1960-an. Sekaligus disadari pula masalah
itu, secara langsung atau tidaklangsung, penyebabnya adalah sistem bisnis modern
kapitalisme dan atau sosialisme.Karakteristik kesesuaian (kemodernan) dan kebaikan
perilaku ekologis modern dalam etospemikiran Sri Mangkunegra IV tersebut rumusan
kalimatnya barangkali, dikutip dari F.M. Suseno,dengan menguasai secara berpartisipasi,
menggunakan sambil memelihara.Arah maksudnya dalam kalimat itu implisit seperti
pengertian kerakyatan di muka danbagi keutamaan Jawa dalam kalimat mamayu ayuning
bawana.
Identifikasi dimaksud dengan pengertian kerakyatan misalnya, berkat modelnya
Busana LangenHaran dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV, berbagai pihak yang
berkepentingan baiksejak pada masanya sampai generasi-generasinya orang Jawa hingga
sekarang sebagai kesatuanstakeholders merasa diakui dan dihormati eksistensi
manusiawinya, maka menjadi senang(bahagia) dengannya, bahkan barangkali generasi masa
selanjutnya. Uraian identifikasi itu jugamengimplikasikan kedalaman dan keluasan
jangkauan motivasi dan maksudnya dalam strukturpemikiran manajemen-approachnya demi
efisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai (modernatau baru) bagi masanya tersebut
terutama di bidang perkebunan searah dimaksud ekonomikerakyatan.
Berdasarkan identifikasi kemodernan dan kebaikanperilaku ekologis dalam tata
krama Jawa modern berkat etos pemikiran Sri Mangkunegara IVtersebut sebagai salah satu
kerangka acuan tantangan pemikiran bagi pemecahan problem(masalah) pada masanya itu,
termasuk di bidang dagang antara lain bidang perkebunan sebagaisalah satu bagian ekonomi
kerakyatan. Mencermati kembali eksistensi manusiawi stakeholder baik internal dan
eksternal yangsulit dipisahkan di muka, maka demi efisiensi tujuan etos dagang Jawa yang
sesuai (modern ataubaru) diperlukan acuan strategi dan atau pola pembaharuan
pemberdayaannya sebagai suatukesatuan kebaikan perilaku ekologis seperti dalam etos
pemikiran Sri Mangkunegara IV tersebut.Berikut ini obyektifikasi (konkretisasi)
kemodernan dan kebaikan perilaku ekologisnya strukturpemikiran manajemen stakeholders-
approach dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV demiefisiensi tujuan etos dagangnya
tersebut. Kemodernan dan kebaikan perlaku ekologisnyaditunjukkan melalui cara bersikap
etis (tata krama Jawa modern) dengan cara pelaksanaannyabersikap baik atau hormat dan
11. 10
rukun serta peduli terhadap sesama manusia pada masanya sebagaipembaharuan
pemberdayaannya sikap transendensi bagi eksistensi manusiawi stakeholders padamasanya
tersebut dengan makna etisnya keutamaan Jawa dalam kalimat tut wuri handayani.
Contoh Prakteknya dalam kehidupan yaitu Diterbitkan Serat Pranatan (Surat
Peraturan)Penarikan Kembali Tanah Apanage (Lungguh) dan Pemberian Gaji kepada
Para KeluargaMangkunegaran,tertanggal 28 Maret 1871 ditulis sebagai berikut:
1. Saya akan menata gaji para putra dan keluarga serta abdi saya, hanyasaya beri
uangbelanja (gaji) tanpa tanah lungguh di dusun. Sebab,sewaktu masih mempunyai
tanah itu merekakurang berhati-hati,banyak yang memiliki hutang, tidak
memikirkan pembayarannya penggarap.
2. Hanya abdi saya para priyayi dan para opsir di Legiun Mangkunegaran tetap
sajamemiliki tanah lungguh satu jung dan gaji 10rupiah sebulan, tetapi tidak bisa
diwariskan,perubahan penghasilan sesuai dengan keinginan masing-masing,
sedangkan utnuk para abdipenghasilannya sesuai dengan kerjanya, oleh karena itu
boleh diubah ditata pengahsilannyadengan adil.
3. Peraturan ini dapat dikatakan mengubah tingkah laku orang kecil dan priyayi.
Sebabnantinya orang kecil merasa besar hati, karena yang tadinya menganggap
orang yang mempunyaitanah lungguh sebagai bandara (majikan), sekarang merasa
menjadi teman, demikian juga parapriyayi dalam memerintah orang kecil tidak
seperti dulu, sekarang banyak sopan santunnya. Sumbangan untuk hadiah
perkawinan puteri raja(babekten ataupasangon putra), pungutanuntuk raja (raja
pundhut), pajak rumah (panjumpleng atau pupunjungan), pajak sampingan
(takerturun atau taker tedaking nagara), uang syarat (panganyar-anyar atau
watesan), kerja wajib (bahusuku atau pasegahan), dan sebagainya, semuanya sudah
saya hapuskan. Hanya tinggalmemberikan tenaganya, dan pajak tanggungannya
masing-masing.
Contoh praktek kedua pada tahun 1861 di bangun pabrik gula Calamadu di bawah
pimpinan R.Kamp dari Eropa dengan sistem penggilingan mesin uap yang mesinya
harus di pesan dari Eropa.Empat tahun kemudian (1871) di bangun pabrik gula di
TasikMadu, dengan R.Kamp yang di tunjuk sebagai Pimpinannya. De Locomotief,
seorang ahli dari Jerman dal;am kunjungannya tanggal 2 september 1881 mengatakan
“kedua pabrik gula itu dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menjadi model bagi yang
12. 11
lain. Mangkunegara IV tidak segan segan mengeluarkan biaya demi pembangunan dan
perlengkapan yang modern.”
Sekitar 1874 dia mencoba membudidayakan tanaman kina di Kabupaten
Karanganyar seluas 100 hektar, namun penghasilan laba yang diperoleh tidak seberapa.
Penanaman teh di Kawedanan Tawangmangu seluas sekitar 30 hektar di bawah
pengawasan J.B Vogel. Percobaanya ini tidak bisa dilanjutkan sehingga pada tahun 1874
Sri Mangkunegara IV menghentikan penanaman teh karena hasilnya kirang memuaskan.
Dia mendirikan pabrik Indigo pada tahun 1880, yang dahulu pernah di
budidayakan Mangkunegara I bekerja sama Residen Van Overstraten umtuk kepentingan
kompeni dalam Tanam Paksa (Cultur stelsel). Pada masa pemerintahan Sri
Mangkunegara IV dicabut peraturan penanaman itu sebagai Tanam Paksa. Rencana
pendirian pabrik indigo tidak kesampaian, dia mementingkan pabrik bngkil yang
mesinya dari Eropa. Indigo adalah tumbunhan tropis yang menghasilkan zat warna biru
tua berasal dari tumbuhan nila atau tarum, pemasarannya paling banyak mendatangkan
laba di pasar negeri Belanda.
Daerah-daerah tepian hutan ditanami kopi, lereng gunung Lawu ditanami kinine
dan pala. Demikian maju serta banyaknya uang masuk dalam kas kerajaan, sehingga dia
pernah mengirim misi untuk mengikuti pameran di Negeri Belanda, berupa alat-alat
kesenian (pakaian wayang orang, wayang kulit dengan seperangkat musikanya
(gamelan), srenjata asli Jawa, dan lain-lain. Tahun 1863, tahun dimulainya ada kantor
Pos, di wilayah Mangkunegaran dibangun beberapa gardu sebagai kantor Pos, mulai
tahun 1876 dibuka juga kantor tilgram.
Ong Hok Ham mengatakan, Mangkunegaran dilihat oleh banyak sejarawan
sebagai yang paling modern di berbagai Negara waktu itu. Dinasti ini tradisionalismenya
sangat berorientasi keluar (kemajuan) atau “outward looking”, berlawanan dengan sikap
inward looking (berorientasi kedalam).