Kasus koinfeksi aktinomisetoma dan MRSA pada perempuan 47 tahun dengan benjolan di kaki kiri selama 6 bulan. Kultur menunjukkan MRSA dan Actinomyces sp. Pemeriksaan histopatologi mengkonfirmasi aktinomisetoma dengan infiltrasi sel radang dan granul sulfur. Pasien diobati kombinasi antibiotik dan pembedahan.
2. 2
LAPORAN KASUS Kepada Yth :
Dipresentasikan pada :
Hari/Tanggal : Rabu/4 Juli 2018
Waktu : 12:00 WITA
Oleh:
Juliyanti
Pembimbing :
Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2018
AKTINOMISETOMA KOINFEKSI DENGAN
METHICILLIN RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS
3. 3
PENDAHULUAN
Aktinomisetoma merupakan penyakit infeksi granulomatosa kronis pada kulit,
subkutis, fascia, dan tulang akibat inokulasi oleh bakteri, yang termasuk kedalam
golongan misetoma.1
Misetoma seringkali ditemukan didaerah tropis dan
subtropis, khususnya terletak diantara 30ºLintang Utara (LU) dan 15º Lintang
Selatan (LS) atau dikenal sebagai mycetoma belt.1,2
Secara epidemiologi, 60%
kasus misetoma di dunia merupakan aktinomisetoma (disebabkan oleh bakteri)
dan sisanya eumisetoma (disebabkan oleh jamur). Misetoma umumnya ditemukan
pada orang dewasa dan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.2
Namun khususnya, misetoma dijumpai pada orang-orang yang bekerja di sektor
pertanian seperti petani, penggembala, penggarap ladang, selain itu dapat juga
terjadi pada korban kecelakaan jalan raya.1,3
Agen penyebab aktinomisetoma yang paling sering, dikelompokkan
kedalam tiga genus antara lain Nocardia, Streptomyces, dan Actinomadura.4
Akhir-akhir ini, beberapa studi meta-analysis melaporkan bahwa spesies seperti
Actinomadura madurae, Steptomyces somaliensis, Actinomadura pelletieri,
Nocardia brasiliensis, dan Nocardia asteriodes merupakan agen penyebab
aktinomisetoma tersering.3,4
Manifestasi klinis aktinomisetoma paling sering terjadi pada ekstremitas
bawah terutama kaki, bersifat kronis dan cenderung lokalisata, dengan gambaran
klinis kulit dan jaringan subkutan berupa bengkak membentuk nodul-nodul yang
tidak nyeri, abses, fistula, serta sinus yang berisi eksudat yang mengandung granul
atau grain organisme bakteri.1,5
Diagnosis aktinomisetoma berdasarkan gambaran
klinis yang ditunjang oleh pemeriksaan seperti pewarnaan Gram, gambaran
histopatologi, kultur jaringan, serologis dan pemeriksaan radiologis (X-ray,
Computer Tomography-Scan atau CT-Scan, Magnetic Resonance Imaging atau
MRI, ultrasonography atau USG).2,5,6
Beberapa studi melaporkan bahwa Staphylococcus aureus (S. aureus)
yang dikenal sebagai bakteri endogen dapat menimbulkan koinfeksi pada berbagai
infeksi kulit dan jaringan lunak. Koinfeksi bakteri seringkali terjadi pada
misetoma dan S. aureus merupakan bakteri yang paling sering terisolasi.7
4. 4
Penelitian yang dilakukan oleh Mitaki dan kawan kawan (dkk) melaporkan bahwa
sebagian besar penyakit misetoma lebih mudah terjadi infeksi sekunder oleh
karena bakteri, yang dibuktikan melalui hasil penelitian yaitu 54% kultur yang
diambil dari 94 penderita misetoma ditemukan bakteri S. aureus.8
Beberapa studi melaporkan bahwa strain S. aureus berkembang menjadi
resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan seperti penisilin, methicillin,
dan golongan sefalosporin, yang dikenal sebagai bakteri Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Faktor risiko terjadinya infeksi MRSA antara
lain imunokompromais, bayi, usia lanjut, penyakit kronis, luka bakar,
transplantasi organ, keganasan, penggunaan obat intravena dan penderita
Acquired ImunoDeficiency Syndrome (AIDS). Dalam 10 tahun terakhir prevalensi
MRSA meningkat, menjadi tantangan bagi tenaga kesehatan dan secara signifikan
meningkatkan morbiditas serta mortalitas.9
Secara umum terapi aktinomisetoma menggunakan antibiotik dalam
jangka waktu yang lama. Aktinomisetoma responsif terhadap antibiotik dengan
tingkat keberhasilan 60-90%.1,5
Terapi baku emas aktinomisetoma adalah
kotrimoksasol selama beberapa bulan.1,5,6
Selain itu, aktinomisetoma juga
menunjukkan respon terapi yang baik terhadap beberapa antibiotik seperti
amikasin, netilmisin, rifampisin, dapson, tetrasiklin, minoksiklin, sulfadoksin-
pirimetamin, amoksisilin-asam klavulanat, doksisiklin, eritromisin, klindamisin,
siprofloksasin, imipenem, meropenem, linezolid.2,4,10
Terapi kombinasi diperlukan
untuk menghindari resistensi antibiotik dan meningkatkan keberhasilan terapi.1,5
Pada kasus aktinomisetoma yang sulit maupun rekurens, perlu dipertimbangankan
kombinasi antibiotik dan pembedahan untuk mempercepat penyembuhan dan
mengurangi kekambuhan.11
Berikut dilaporkan kasus koinfeksi aktinomisetoma dengan Methicillin
Resistant Staphylococcus aureus, dengan tujuan untuk menambah pengetahuan
tentang aktinomisetoma karena suatu kasus yang jarang, dan mengetahui
efektifitas terapi kombinasi antara antibiotik dengan pembedahan.
5. 5
KASUS
Seorang perempuan, usia 47 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan
nomor rekam medis 10619673, datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah
Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada tanggal 18 April 2018 dengan keluhan
utama benjolan di kaki kiri.
Pasien mengeluh benjolan di telapak kaki kiri sejak 6 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya timbul satu benjolan yang tidak nyeri di telapak kaki
kiri, kemudian bertambah banyak dan menyebar ke punggung kaki kiri. Benjolan
semakin lama semakin mengeras, terasa nyeri, dan kadang mengeluarkan cairan
nanah, disertai kaki kiri yang bengkak. Tidak ada demam, tidak ada gatal dan
tidak ada mati rasa. Delapan bulan sebelum masuk rumah sakit, telapak kaki kiri
pasien tertusuk duri saat pasien kerja di ladang, dan luka hanya diobati dengan
cairan betadin. Pasien sudah mengobati keluhannya dengan minum jamu
tradisional dan mengoleskan minyak tradisional sekitar 1 bulan, namun keluhan
tidak membaik.
Riwayat penyakit dahulu, pasien pernah mengalami keluhan yang sama di
kaki kiri sekitar tahun 2016. Pasien berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin, lalu
menjalani rawat inap selama 3 minggu untuk mendapatkan pengobatan antibiotik
dan keluhan membaik. Pasien tidak pernah ada keluhan lemas, mudah ngantuk,
banyak makan, banyak minum, dan banyak kencing. Riwayat kelainan darah,
keganasan tidak ada, riwayat penyakit hati tidak ada, riwayat kedua pipi
kemerahan terutama setelah terpapar sinar matahari dan nyeri sendi tidak ada.
Riwayat alergi obat kotrimoksasol. Riwayat sedang konsumsi obat kemoterapi
dan obat steroid tidak ada.
Riwayat penyakit keluarga, tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan sama dengan pasien. Riwayat kencing manis, penyakit hati, dan
keganasan pada anggota keluarga tidak ada. Riwayat alergi obat pada keluarga
tidak ada.
Riwayat sosial, pasien sudah menikah, tinggal bersama suami dan kedua
anak pasien. Pasien bekerja di ladang tebu dan jagung sejak 5 tahun yang lalu.
Saat bekerja pasien tidak pernah memakai alas kaki.
6. 6
Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita dengan kesadaran kompos
mentis dan keadaan umum sedang. Berat badan 65kg, dan tinggi badan 160 cm
Nadi 80x/menit, frekuensi napas 18x/menit, suhu aksila 360
C. Visual Analogue
Scale (VAS) 2. Pada status generalis didapatkan kepala normosefali, kedua mata
tidak anemia, dan tidak tampak ikterus. Telinga, hidung dan tenggorokan
didapatkan kesan tenang dan tidak ada kelainan. Leher tidak ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening regional. Toraks didapatkan suara jantung (S1
dan S2) tunggal, reguler, tidak terdapat murmur, suara nafas paru-paru vesikuler,
tidak ditemukan adanya ronchi ataupun wheezing. Abdomen didapatkan hepar dan
lien tidak teraba, bising usus dalam batas normal, tidak terdapat distensi.
Ekstremitas tidak tampak varises, tidak ada edema, dan teraba hangat.
Status dermatologis, lokasi regio dorsum dan plantar pedis sinistra tampak
nodul multipel, bentuk bulat, ukuran bervariasi diameter 1-2cm, beberapa nodul
terdapat muara sinus, dan sebagian nodul tertutup krusta coklat kehitaman,
disertai tumor violaseus multipel bentuk oval ukuran bervariasi 0,5x1-1x1,5cm,
permukaan licin sebagian tertutup krusta coklat kehitaman tersusun berkelompok,
dibawahnya terdapat kulit hiperpigmentasi dan diantaranya tampak erosi multipel
bentuk oval ukuran bervariasi 0,3x0,5cm-0,5x1cm tertutup krusta coklat
kehitaman (Gambar 1, 2 dan 3). Palpasi pada pedis sinistra, benjolan teraba keras,
tidak nyeri tekan, tampak granul berwarna putih kekuningan, tidak hangat, pulsasi
arteri dorsalis pedis sinistra adekuat.
1 2 3
Gambar 1,2 dan 3. Regio dorsum dan plantar pedis sinistra, tampak nodul multipel
terdapat muara sinus, dan sebagian tertutup krusta coklat kehitaman, disertai tumor
violaseus multipel, sebagian tertutup krusta coklat kehitaman tersusun berkelompok,
dibawahnya terdapat kulit hiperpigmentasi dan diantaranya tampak erosi multipel.
7. 7
Diagnosis banding pada pasien berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik antara lain aktinomisetoma, eumisetoma, dan botriomikosis. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung
kerokan kulit dengan kalium hidroksida (KOH) 10%, pemeriksaan Gram,
pemeriksaan laboratorium darah lengkap, dan kimia darah, pemeriksaan
radiologiss x-ray pedis sinistra anteroposterior (AP)/lateral, kultur jaringan untuk
bakteri dan jamur, pemeriksaan histopatologis dengan biopsi.
Hasil pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan mikroskopis sediaan
langsung kerokan kulit dengan KOH 10% tidak ditemukan hifa panjang maupun
spora. Pada pemeriksaan Gram terdapat leukosit 2-5 per lapang pandang, dan
bakteri kokus gram positif. Pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah pada
tanggal 18 April 2018 didapatkan eritrosit 4,36 106
/μL (4,00-5,20); hemoglobin
10,16 g/dL (12-16); hematokrit 39,24% (36-46); trombosit 380,90 103
/uL (140-
440); leukosit 11,17 103
/μL (4,10-11), neutrofil 8,11 103
/μL (2,5-7,5); limfosit
2,20 103
/μL (1-4); monosit 0,56 103
/μL (0,10-1,20); eosinofil 0,24 103
/μL (0-
0,50); basofil 0,07 103
/μL (0-0,10). Pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT
10,3 U/L (11-27); SGPT 6,40 U/L (11-34), gula darah sewaktu 100mg/dL (<200),
BUN 11mg/dl (8-23); kreatinin 0,91 mg/dl (0,50-0,90), albumin 4 gr/ dL (3,40-
4,80). Pemeriksaan radiologis x-ray pedis sinistra AP/lateral ditemukan soft tissue
swelling regio pedis sinistra, tetapi tidak tampak kelainan tulang-tulang pedis
sinistra. Kultur didapatkan bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) dan disarankan klindamisin sebagai pilihan terapi antibiotika. Kultur
pada media Sabouraud dextrose agar, tidak ditemukan spesies jamur.
Pemeriksaan histopatologis dengan pengecatan hematoxylin-eosin (HE)
pada jaringan yang diambil dari nodul sisi medial dorsum pedis sinistra
didapatkan: lapisan epidermis tampak jaringan granulasi yang terdiri dari
proliferasi pembuluh darah dan fibroblas, infiltrasi sel radang limfosit, plasma dan
polimorphonuclear (PMN) neutrofil (Gambar 4 dan 5); lapisan dermis tampak
jaringan ikat fibrous dan ruang-ruang patologis mengandung abses terdiri dari
jaringan nekrosis dan multinucleated giant cell, serta sulfur granules dengan
filamen, pada superfisial dan deep dermis tampak pula infiltrasi sel radang
8. 8
limfoplasmasitik (Gambar 6 dan 7). Pada pengecatan periodic acid schiff (PAS)
menunjukkan hasil positif terpulas warna magenta di filamen (sulfur granules)
(Gambar 6 dan 7). Kesimpulan hasil biopsi sesuai dengan aktinomisetoma.
Gambar 4 dan 5. Epidermis tampak jaringan granulasi, terdiri dari proliferasi pembuluh
darah dan fibroblas, infiltrasi sel radang limfosit, plasma dan neutrofil
4
Gambar 6 dan 7. Abses terdiri dari jaringan nekrosis dan multinucleated giant cell,
serta sulfur granules dengan filamen, pada superfisial dan deep dermis tampak pula
infiltrasi sel radang limfoplasmasitik
5
6 7
Gambar 8 dan 9. Pengecatan PAS menunjukkan hasil positif terpulas warna
magenta di filamen (sulfur granules)
8 9
9. 9
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
maka diagnosis kerja pasien adalah aktinomisetoma koinfeksi MRSA.
Berdasarkan diagnosis kerja, maka penatalaksanaan pasien adalah rawat inap,
rifampisin 600mg tiap 24 jam peroral selama 5 minggu, klindamisin 300mg tiap
12 jam peroral selama 5 minggu, parasetamol 500mg tiap 8 jam peroral bila nyeri,
natrium fusidat 2% krim tiap 12 jam topikal pada lesi setelah kompres terbuka
dengan cairan NaCl 0,9% tiap 8 jam selama 10-15menit topikal pada lesi.
Evaluasi tanda vital, VAS, klinis, efek samping, alergi obat. Pada pasien dan
keluarganya diberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit,
pemeriksaan penunjang, penyebab, faktor risiko, rencana terapi, lamanya waktu
terapi, dan efek samping terapi.
PENGAMATAN LANJUTAN I (HARI KE-12, 30 APRIL 2018)
Pengamatan hari ke-12, pasien masih merasakan nyeri dan bengkak belum
berkurang pada kaki kiri. Lesi lama masih ada, tidak ada benjolan baru, dan tidak
gatal pada kaki kiri. Pasien mengeluh lemas dan mudah ngantuk, tidak demam,
tidak mual dan tidak nyeri perut, tidak ada gatal maupun bercak kemerahan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang,
kesadaran kompos mentis. Status presents antara lain tekanan darah 110/80
mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, suhu aksilla 36°C, frekuensi napas 16x/menit,
VAS 1. Pemeriksaan status generalis masih dalam batas normal. Status
dermatologis, lokasi regio dorsum dan plantar pedis sinistra tampak nodul
hiperpigmentasi multipel, bentuk bulat, ukuran bervariasi diameter 1-2cm,
beberapa nodul terdapat muara sinus, dan sebagian nodul tertutup krusta coklat
kehitaman, tersusun berkelompok, dibawahnya terdapat kulit hiperpigmentasi dan
diantaranya tampak erosi multipel bentuk oval ukuran bervariasi 0,3x0,5cm-
0,5x1cm tertutup krusta coklat kehitaman (Gambar 10,11 dan 12). Palpasi pada
pedis sinistra, benjolan teraba lunak, tidak nyeri tekan, tidak hangat, pulsasi arteri
dorsalis pedis sinistra adekuat.
10. 10
Diagnosis kerja pasien adalah follow up aktinomisetoma koinfeksi MRSA
(hari rawat ke-12). Penatalaksanaan pasien adalah rifampisin 600mg tiap 24 jam
peroral, klindamisin 300mg tiap 12 jam peroral, parasetamol 500mg tiap 8 jam
peroral bila nyeri, chlorhexidine acetate 0,5% tiap 24 jam topikal pada lesi sinus,
rkompres terbuka dengan cairan NaCl 0,9% tiap 8 jam selama 10-15menit topikal
pada lesi krusta, pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah, konsul bedah
plastik untuk perawatan dan penanganan lebih lanjut, konsul penyakit dalam
untuk keluhan dan hasil laboratorium darah lengkap. Evaluasi tanda vital, VAS,
klinis, efek samping, alergi obat. Pada pasien dan keluarganya diberikan
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang hasilpemeriksaan penunjang,
penyebab, rencana konsul dokter bedah plastik, lamanya waktu terapi, dan efek
samping terapi.
Pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah pada tanggal 8 Mei 2018
didapatkan eritrosit 3,23 106
/μL (4,00-5,20); hemoglobin 9,22 g/dL (12-16);
hematokrit 27,24% (36-46); MCV 84,39 fL (80-100), MCH 28,55 pg (26-34),
MCHC 33,83 g/dL (31-36), trombosit 420,60 103
/uL (140-440); leukosit 8,78
103
/μL (4,10-11), neutrofil 6,28 103
/μL (2,5-7,5); limfosit 1,66 103
/μL (1-4);
monosit 0,52 103
/μL (0,10-1,20); eosinofil 0,26 103
/μL (0-0,50); basofil 0,05
103
/μL (0-0,10). Pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 19 U/L (11-27);
SGPT 12,30 U/L (11-34), gula darah sewaktu 133mg/dL (<200), BUN 3,70mg/dl
(8-23); kreatinin 0,55 mg/dl (0,50-0,90), albumin 3,90 gr/ dL (3,40-4,80), natrium
Gambar 10, 11 dan
hiperpigmentasi multi
tertutup krusta cokla
hiperpigmentasi dan d
kehitaman.
10
11. 11
137 mmol/L (136-145), kalium 3,85 mmol/L (3,50-5,10), PPT 14 detik (10,80-
14,40), APTT 29,3 detik (24-36).
Bagian bedah plastik mendiagnosis pasien dengan aktinomisetoma,
penatalaksanaan pasien adalah rawat bersama, rencana debridemen dan skin graft
(tanggal 10 mei 2018).
Bagian penyakit dalam mendiagnosis pasien dengan anemia sedang et
causa suspek acute on chronic disease. Penatalaksanaan pasien adalah rawat
poliklinis, transfusi Packed Red Cells (PRC) 1-2 kolf/hari, cek ulang darah
lengkap paska transfusi PRC.
PENGAMATAN LANJUTAN II (HARI KE-24, 14 MEI 2018)
Pengamatan hari ke-24, pasien masih merasakan nyeri pada luka bekas operasi,
dan tidak gatal. Pasien tidak merasakan lemas dan mudah ngantuk, tidak demam,
tidak mual dan tidak nyeri perut,
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran
kompos mentis. Status presents antara lain tekanan darah 110/70 mmHg, denyut
nadi 80 kali/menit, suhu aksilla 36°C, frekuensi napas 16x/menit, VAS 1.
Pemeriksaan status generalis masih dalam batas normal. Status dermatologis,
lokasi regio dorsum dan plantar pedis sinistra tampak makula hiperpigmentasi
multipel, batas tegas bentuk geografika ukuran 4x3cm-6x7cm (Gambar 13, 14 dan
15).
14
12. 12
Diagnosis kerja pasien adalah follow up aktinomisetoma koinfeksi MRSA
paska debridemen dan skin graft hari ke-4 (hari rawat ke-24). Penatalaksanaan
pasien adalah rifampisin 600mg tiap 24 jam peroral, klindamisin 300mg tiap 12
jam peroral, parasetamol 500mg tiap 8 jam peroral bila nyeri. Evaluasi tanda vital,
VAS, klinis, efek samping obat dan skin graft. Pada pasien dan keluarganya
diberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang hasil pemeriksaan
penunjang, hasil operasi debridemen dan skin graft dan efek samping terapi.
Bagian bedah plastik mendiagnosis pasien dengan follow up
aktinomisetoma paska debridemen dan skin graft hari ke-4, penatalaksanaan
pasien adalah rawat luka paska debridemen dan skin graft tiap 3 hari, pertahankan
splint, evaluasi donor tiap 3 hari, injeksi ketorolac tromethamine 30mg tiap 12
jam intravena bila nyeri tidak hilang dengan parasetamol.
PEMBAHASAN
Misetoma merupakan penyakit infeksi granulomatosa kronis pada kulit, subkutis,
fasia, dan tulang, yang disebabkan oleh bakteri (aktinomisetoma) maupun jamur
(eumisetoma).1
Misetoma seringkali ditemukan didaerah tropis dan subtropis,
khususnya terletak diantara 30ºLintang Utara (LU) dan 15º Lintang Selatan (LS)
atau dikenal sebagai mycetoma belt.1,2
Area di dunia yang termasuk kedalam
mycetoma belt, antara lain Sudan, Somalia, Senegal, India, Yaman, Meksiko,
Venezuela, Kolumbia, Argentina. Namun, akhir-akhir ini, misetoma banyak
dilaporkan diberbagai negara selain mycetoma belt, seperti Amerika, Perancis,
Jerman, Thailand, Jepan, dan Indonesia.11
Secara epidemiologi, 60% kasus
misetoma di dunia merupakan aktinomisetoma dan sisanya eumisetoma.2
Sedangkan, studi retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr
Soetomo Surabaya periode 2010-2014, didapatkan 6,7% kasus aktinomisetoma
dan 33,3% kasus eumisetoma.12
Misetoma umumnya ditemukan pada orang
13 15
Gambar 13, 14, dan 15. regio dorsum dan plantar pedis sinistra tampak makula
hiperpigmentasi multipel, batas tegas bentuk geografika ukuran 4x3cm-6x7cm
13. 13
dewasa dan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.2
Namun
khususnya, misetoma dijumpai pada orang-orang yang bekerja di sektor pertanian,
seperti petani, penggembala, penggarap ladang, selain itu dapat juga terjadi pada
korban kecelakaan jalan raya.1,3
Aktinomisetoma merupakan penyakit infeksi granulomatosa kronis pada
kulit, subkutis, fascia, dan tulang akibat inokulasi oleh bakteri.1,2
Secara
epidemiologi, kasus aktinomisetoma seringkali ditemukan di negara Amerika latin
terutama Meksiko, sekitar 98% dari keseluruhan kasus misetoma.2
Agen
penyebab aktinomisetoma yang paling sering, dikelompokkan kedalam tiga genus
antara lain Nocardia, Streptomyces, dan Actinomadura.4
Akhir-akhir ini, beberapa
studi meta-analysis melaporkan bahwa spesies seperti Actinomadura madurae,
Steptomyces somaliensis, Actinomadura pelletieri, Nocardia brasiliensis, dan
Nocardia asteriodes merupakan agen penyebab aktinomisetoma tersering.3,4
Manifestasi klinis aktinomisetoma paling sering terjadi pada ekstremitas
bawah terutama kaki, bersifat kronis dan cenderung lokalisata.1
Selain itu,
predileksi aktinomisetoma terjadi di badan, kepala, leher dan ekstremitas atas.
Pada kasus berat atau tidak diobati, dapat menyebar melalui pembuluh darah dan
pembuluh limfe, sehingga menyebabkan invasi ke tulang, tendon dan saraf yang
dapat mengakibatkan deformitas dan disabilitas.2,13
Gejala klinis aktinomisetoma
umumnya asimptomatik, tetapi pada beberapa kasus dapat terasa nyeri.13
Sebelum
timbul gejala klinis, infeksi terjadi melalui inokulasi langsung organisme ketika
terjadi trauma benda tajam.1
Aktinomisetoma memiliki gambaran klinis kulit dan
jaringan subkutan berupa bengkak membentuk nodul-nodul yang tidak nyeri,
abses, fistula, serta sinus yang berisi eksudat yang mengandung granul atau grain
organisme bakteri.1,5
Granul tersebut terdiri dari beberapa warna antara lain granul
warna putih kuning berukuran diameter 1-3mm (Actinomadura madurae,
Nocardia brasiliensis), granul warna kuning coklat berukuran diameter 0,05-
0,1mm (Steptomyces somaliensis), granul warna merah muda berukuran diameter
1-5mm (Actinomadura pelletieri). Granul warna putih kuning merupakan granul
yang paling mudah terlihat oleh mata.1,14
Selain granul, eksudat purulen, serous
maupun serousanguineus yang mengandung bakteri juga dapat ditemukan pada
14. 14
aktinomisetoma.4,13
Kulit yang berada dibawah nodul biasanya mengalami
pigmentasi atau kehitaman dan hiperhidrosis lokal.13
Pada kasus, seorang wanita usia 47 tahun, yang sehari-hari bekerja di
ladang, mengeluh benjolan-benjolan nyeri yang mengeluarkan nanah di telapak
dan punggung kaki kiri sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sebelum
keluhan, telapak kaki kiri pasien tertusuk duri saat pasien kerja di ladang, sekitar 8
bulan sebelum masuk rumah sakit. Gambaran klinis pada kaki kiri berupa nodul
multipel, bentuk bulat, ukuran bervariasi diameter 1-2cm, beberapa nodul terdapat
muara sinus, dan sebagian nodul tertutup krusta coklat kehitaman, disertai tumor
violaseus multipel bentuk oval ukuran bervariasi 0,5x1-1x1,5cm, permukaan licin
sebagian tertutup krusta coklat kehitaman tersusun berkelompok, dibawahnya
terdapat kulit hiperpigmentasi dan diantaranya tampak erosi multipel bentuk oval
ukuran bervariasi 0,3x0,5cm-0,5x1cm tertutup krusta coklat kehitaman. Palpasi
pada pedis sinistra benjolan teraba keras, tidak nyeri tekan, dan tampak granul
berwarna putih kekuningan.
Manifestasi klinis aktinomisetoma memiliki kemiripan dengan
eumisetoma, meskipun aktinomisetoma berkembang lebih agresif dan lebih
invasif bila dibandingkan dengan eumisetoma.3
Dengan demikian aktinomisetoma
seringkali didiagnosis banding dengan eumisetoma.1,3
Secara klinis, eumisetoma
memiliki gambaran nodul subkutan yang tidak nyeri, disertai dengan banyak sinus
pada nodul tersebut dan mengeluarkan eksudat seropurulen yang mengandung
granul.3
Agen penyebab eumisetoma yang paling sering adalah Madurella
mycetomatis, dan Scedosporium apiospermum. Namun, ada beberapa jamur yang
dilaporkan sebagai penyebab eumisetoma, yaitu Trematosphaeria grisea,
Exophiala jeanselmei, Falciformispora senegalensis, Aspergillus flavus,
Aspergillus nidulans, Fusarium sp, dan Acremonium sp.6,14
Secara klinis,
perbedaan yang dapat diamati antara eumisetoma dengan aktinomisetoma adalah
karakteristik granul. Ditemukannya granul merupakan alat bantu diagnostik yang
penting.15
Pada eumisetoma menghasilkan granul berwarna hitam (Madurella
mycetomatis, Trematosphaeria grisea, Exophiala jeanselmei, Falciformispora
senegalensis) dan granul berwarna pucat (Aspergillus flavus, Aspergillus nidulans,
15. 15
Fusarium sp, Acremonium sp).6,14
Namun, pada beberapa studi, melaporkan
bahwa granul berwarna hitam merupakan granul yang selalu dihasilkan oleh
jamur, dan granul warna pucat dapat dihasilkan oleh jamur maupun bakteri.14
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu membedakan eumisetoma dan
aktinomisetoma adalah kultur dan gambaran histopatologis.3,15
Kultur dilakukan
untuk menentukan spesies jamur penyebab. Gambaran histopatologis eumisetoma
adalah inflamasi granulomatosa kronik nonspesifik, pewarnaan dengan PAS atau
methenamine silver dapat digunakan untuk melihat hifa yang merupakan
komponen utama granul eumisetoma, hifa berwarna merah muda dikelilingi oleh
sel granuloma epiteloid berwarna basofilik.15
Selain eumisetoma, secara klinis dan histopatologis yang memiliki
kemiripan dengan aktinomisetoma adalah botriomikosis.14
Botriomikosis
merupakan infeksi granulomatosa kronis pada kulit, jaringan subkutan dan organ
dalam, yang dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Proteus vulgaris, Streptococcus sp, Actinobacillus
sp dan Micrococcus sp. Faktor predisposisi botriomikosis antara lain trauma lokal,
benda asing, alkohol, terapi kortikosteroid, malnutrisi, diabetes melitus, penyakit
hati, dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV).14,16
Gambaran klinis
botriomikosis pada kulit berupa nodul, plak, ulkus, sinus, fistula, kista dan massa
irregular; dapat invasif ke jaringan lunak, otot, dan tulang. Sebagian besar
predileksinya di tangan, kaki dan kepala.14,17
Keterlibatan organ dalam seperti
paru-paru, hati, otak, ginjal, ginjal dan mata dapat terjadi pada botriomikosis.16
Gambaran histopatologis botriomikosis menggunakan pengecatan HE yaitu
akantosis pada lapisan epidermis, dan pada lapisan dermis tampak adanya granul
basofilik berisi kumpulan bakteri yang dikelilingi oleh kumpulan sel granuloma
yang eosinofilik, dikenal sebagai fenomena Splendore-Hoeppli, disertai inflamasi
kronis dan fibrosis.16,17
Pada kasus, diagnosis banding berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik antara lain aktinomisetoma, eumisetoma, dan botriomikosis. Dengan
demikian, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu menengakkan
diagnosis kerja aktinomisetoma.
16. 16
Diagnosis aktinomisetoma berdasarkan gambaran klinis yang ditunjang
oleh pemeriksaan seperti pewarnaan Gram, kultur jaringan, gambaran
histopatologis, serologis dan pemeriksaan radiologis (X-ray, Computer
Tomography-Scan atau CT-Scan, Magnetic Resonance Imaging atau MRI,
ultrasonography atau USG).2,5,6
Pada pewarnaan Gram, ditemukan beberapa
bakteri batang Gram positif, leukosit PMN, dan kadang dapat terlihat granul
berwarna putih kuning, kuning-coklat atau merah muda.1,2
Kultur jaringan
menggunakan media Sabouraud dextrose agar, mycobiotic, atau blood agar,
bertujuan untuk identifikasi agen penyebab. Koloni tumbuh setelah inkubasi
selama 7-10 hari pada suhu 35º-37ºC. Koloni umumnya tampak berlekuk,
permukaan ireguler, dan berwarna sesuai dengan agen penyebab. Nocardia sp
menunjukkan warna koloni pucat dan dapat pula berwarna putih, kuning atau
putih kuning. Madurae sp membentuk koloni warna putih kuning atau merah
muda. Actinomadura pelletieri memiliki koloni warna merah muda, dan
Streptomyces somaliensis menghasilkan koloni warna putih kuning atau krem.4,5
Diagnosis serologis dapat membantu menegakkan kasus aktinomisetoma dan
evaluasi terapi. Diagnosis serologis didapatkan melalui pemeriksaan antibodi,
seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), Western blot analysis,
immunodiffusion, atau counterimmunoelectrophoresis.2
Pada aktinomisetoma
yang disebabkan oleh Nocardia braziliensis didapatkan antibodi terhadap antigen
immunodominant 24kDa dan 26kDa melalui pemeriksaan ELISA.5
Gambaran histopatologis dengan pengecatan hematoxylin-eosin, antara
lain pada lapisan epidermis tampak jaringan granulasi terdiri dari proliferasi
pembuluh darah dan fibroblas, infiltrasi sel radang limfosit, dan neutrofil; pada
lapisan dermis tampak material eosinofilik homogen yang tersusun radial
mengelilingi sulfur granules berfilamen, disertai granuloma supuratif dengan
infiltrat PMN, dikelilingi histiosit dan sel radang lainnya, fibrosis dan
multinucleated giant cell.1,3
Pengecatan PAS, menunjukkan koloni multilobulasi
berwarna merah muda yang dikelilingi oleh material eosinofilik hyaline-like.3
Pemeriksaan radiologis seperti X-ray, CT-Scan, MRI, dan USG, digunakan untuk
mengidentifikasi radikalitas penyakit terhadap jaringan dan organ sekitarnya.1
17. 17
Hasil pemeriksaan radiologis yang dapat ditemukan pada kasus aktinomisetoma
antara lain pembengkakan jaringan lunak, reaksi periosteal, sklerosis, osteolitik,
dan kavitas pada tulang.5
Pada kasus, pemeriksaan Gram terdapat leukosit 2-5 per lapang pandang,
dan bakteri kokus gram positif. Kultur dari jaringan didapatkan bakteri MRSA.
Pewarnaan Gram dan kultur jaringan tidak berhasil membuktikan adanya
organisme penyebab, karena pengambilan sampel yang tidak tepat, keterbatasan
medium dan kondisi kultur, jumlah mikroorganisme sedikit, beberapa agen
penyebab sulit diidentifikasi, pertumbuhan koloni sangat lamban dan mudah
terkontaminasi.1,3,15
Pada kasus, gambaran histopatologis dengan pengecatan hematoxylin-
eosin pada jaringan yang diambil dari nodul sisi medial dorsum pedis sinistra
didapatkan: lapisan epidermis tampak jaringan granulasi, terdiri dari proliferasi
pembuluh darah dan fibroblas, infiltrasi sel radang limfosit, plasma dan PMN
neutrofil; lapisan dermis tampak jaringan ikat fibrous dan ruang-ruang patologis
mengandung abses terdiri dari jaringan nekrosis dan multinucleated giant cell,
serta sulfur granules dengan filamen, pada superfisial dan deep dermis tampak
pula infiltrasi sel radang limfoplasmasitik. Pada pengecatan PAS menunjukkan
hasil positif terpulas warna magenta di filamen (sulfur granules). Gambaran
histopatologis tersebut sesuai dengan gambaran aktinomisetoma. Pemeriksaan
radiologis x-ray pedis sinistra AP/lateral ditemukan soft tissue swelling.
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang berupa histopatologis dan radiologis, diagnosis aktinomisetoma dapat
ditegakkan.
Beberapa studi melaporkan bahwa Staphylococcus aureus yang dikenal
sebagai bakteri endogen dapat menimbulkan koinfeksi pada berbagai infeksi kulit
dan jaringan lunak. Koinfeksi bakteri seringkali terjadi pada misetoma dan S
aureus merupakan bakteri yang paling sering terisolasi.7
Penelitian yang
dilakukan oleh Mitaki dkk (2015) melaporkan bahwa sebagian besar penyakit
misetoma lebih mudah terjadi infeksi sekunder oleh karena bakteri, yang
dibuktikan melalui hasil penelitian yaitu 54% kultur yang diambil dari 94
18. 18
penderita misetoma ditemukan bakteri S aureus.8
Selain itu, pada daerah non
endemik misetoma, seringkali sulit untuk mengidentifikasi agen penyebabnya dan
hingga saat ini menjadi suatu masalah dan tantangan bagi para klinisi dalam
mengatasi penyakit misetoma.3
Beberapa studi melaporkan bahwa strain Staphylococcus aureus
berkembang menjadi resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan seperti
penisilin, methicillin, dan golongan sefalosporin, dikenal sebagai bakteri MRSA.
Faktor risiko terjadinya infeksi MRSA antara lain imunokompromais, bayi, usia
lanjut, penyakit kronis, luka bakar, transplantasi organ, keganasan, penggunaan
obat intravena dan penderita AIDS. Dalam 10 tahun terakhir prevalensi MRSA
meningkat, menjadi tantangan bagi tenaga kesehatan dan secara signifikan
meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Strain MRSA yang berkaitan dengan
lingkungan rumah sakit dikenal sebagai hospital-acquired MRSA (HA-MRSA),
dan yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat disebut community-acquired
MRSA (CA-MRSA).9
Hospital-acquired MRSA berkaitan dengan fasilitas kesehatan, seperti
rawat inap, penggunaan banyak antibiotik, penggunaan alat-alat kedokteran
invasif dan umumnya terjadi pada usia lanjut. HA-MRSA diawali dengan infeksi
saluran nafas, saluran kemih, yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh darah. Sedangkan CA-MRSA diawali dengan adanya infeksi kulit dan
jaringan lunak dan dapat menginfeksi orang sehat serta usia muda.18
Secara klinis,
tidak ada perbedaan yang signifikan antara HA-MRSA dengan CA-MRSA.
Infeksi kulit yang disertai dengan bakteri MRSA dapat berkembang menjadi
invasif dan ekspansif, serta perjalanan penyakit dapat menjadi lebih berat seperti
necrotizing fasciitis, purpura fulminan, piomiositis, miositis, osteomielitis, dan
necrotizing pneumonia.9
Pada kasus, kultur dari jaringan didapatkan bakteri Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus. Faktor risiko terjadinya infeksi MRSA pada kasus ini
yaitu adanya penyakit kronis berupa keluhan aktinomisetoma yang dialami sejak 6
bulan sebelum masuk rumah sakit yang semakin lama semakin memberat.
19. 19
Dengan demikian, adanya koinfeksi bakteri Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus pada misetoma dapat menganggu lingkungan kulit,
memperlambat proses penyembuhan, meningkatkan resistensi pengobatan, dan
mempengaruhi efektifitas pengobatan misetoma.7
Secara umum terapi aktinomisetoma menggunakan antibiotik dalam
jangka waktu yang lama. Aktinomisetoma responsif terhadap antibiotik dengan
tingkat keberhasilan 60-90%.1,5
Terapi baku emas aktinomisetoma adalah
kotrimoksasol selama beberapa bulan.1,5,6
Dosis kotrimoksasol 40/8 mg/kgbb/hari
atau 80/400 mg/hari sampai 160/800 mg/hari dua kali sehari.1,2
Selain itu,
aktinomisetoma juga menunjukkan respon terapi yang baik terhadap beberapa
antibiotik seperti amikasin, rifampisin, dapson, tetrasiklin, minoksiklin,
sulfadoksin-pirimetamin, amoksisilin-asam klavulanat, doksisiklin, eritromisin,
klindamisin, siprofloksasin, imipenem, meropenem, linezolid yang dikenal
sebagai terapi lini kedua.2,4,10
Pada semua kasus aktinomisetoma, periode terapi
yang diberikan selama 5 minggu yang dikenal sebagai 1 siklus terapi. Apabila
masih belum menunjukkan perbaikan klinis, maka dapat diulang hingga maksimal
4 siklus atau 20 minggu.1
Beberapa studi melaporkan pilihan terapi lini kedua
yang paling sering digunakan adalah dapson 100-200mg/hari dua kali sehari atau
rifampisin 15-20mg/kgbb/hari.2,4
Terapi kombinasi antibiotik diperlukan untuk menghindari resistensi
antibiotik dan meningkatkan keberhasilan terapi, serta dapat digunakan untuk
kasus rekalsitran maupun rekurens.1,5
Terapi kombinasi antibiotik yang sudah
lama dikenal dan digunakan untuk pengobatan aktinomisetoma adalah regimen
Welsh. Regimen Welsh merupakan kombinasi amikasin 15mg/kgbb/hari injeksi
intramuskuler (IM) tiap 12 jam, dengan kotrimoksasol 35/7mg/kgbb/hari terbagi
dalam 3 dosis peroral, selama 21 hari (1 siklus) yang dapat diulang hingga 3
siklus.19
Akhir-akhir ini, beberapa penelitian melaporkan terapi kombinasi
antibiotik lainnya yang dapat digunakan, yaitu berdasarkan agen penyebab, dan
efektifitas terapi.2,19
Terapi kombinasi antibiotik berdasarkan agen penyebab,
antara lain Actinomadura sp (streptomisin 1gr/hari dan dapson 100-200mg/hari);
Nocardia sp (kotrimoksasol 80/400mg-160/800mg perhari dan dapson 100-
20. 20
200mg/hari); A pelletieri, A madurae, S somaliensis (streptomisin 1gr/hari dan
dapson atau kotrimoksasol).2,6
Terapi kombinasi antibiotik berdasarkan efektifitas terapi, antara lain
regimen yang dilakukan oleh Damle dkk, Patil dkk, Praveen dkk, dan Ramam
dkk. Regimen Damle terdiri dari kombinasi amikasin 15mg/kgbb/hari terbagi
dalam dua dosis (IM), kotrimoksasol 35/7mg/kg/hari terbagi dua dosis (oral) dan
rifampisin 10mg/kgbb/hari (oral) selama 30 hari, kemudian dilanjutkan kombinasi
kotrimoksasol dan rifampisin selama 3 bulan. Regimen Patil yaitu kombinasi dari
streptomisin 14mg/kgbb/hari (IM) dengan kotrimoksasol 35/7mg/kgbb/hari
terbagi dua dosis (oral) selama 3 bulan, dilanjutkan kombinasi kotrimoksasol dan
rifampisin selama 5 bulan. Regimen Praveen, terdiri dari regimen Welsh selama 6
siklus terapi, dilanjutkan dengan kombinasi kotrimoksasol dan rifampisin selama
2 bulan. Regimen Ramam merupakan kombinasi gentamisin 80mg tiap 12 jam
intravena, dan kotrimoksasol 160/800mg tiap 12 jam (oral) selama 4 minggu,
dilanjutkan dengan kombinasi kotrimoksasol dengan doksisiklin 100mg tiap
12jam selama 5-6 bulan.19
Pemilihan kombinasi terapi mempertimbangkan
efektifitas, efek samping, cara pemberian, dan harga obat. Berbagai pilihan
kombinasi terapi antibiotik pada aktinomisetoma memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing.1
Pada kasus aktinomisetoma yang sulit maupun rekurens, perlu
dipertimbangankan kombinasi antibiotik dengan pembedahan untuk mempercepat
penyembuhan dan mengurangi kekambuhan.11
Pembedahan pada kasus misetoma
pertama kali diperkenalkan sejak tahun 1977 di Yaman, yaitu skin graft yang
dilakukan pada kasus aktinomisetoma rekurens dan cenderung rekalsitran
terhadap pengobatan sebelumnya. Paska operasi skin graft dalam waktu 18-36
bulan, tidak didapatkan kekambuhan.6,11
Pada kasus, penatalaksanaan yang diberikan adalah kombinasi antara
rifampisin 600mg tiap 24 jam peroral, klindamisin 300mg tiap 12 jam peroral
yang diberikan selama 5 minggu atau 1 siklus terapi dengan tindakan bedah
debridemen dan skin graft. Pada kasus, tidak diberikan kotrimoksasol sebagai
terapi baku emas, karena pasien memiliki riwayat alergi kotrimoksasol. Dengan
21. 21
demikian, pasien diterapi dengan terapi lini kedua yang sering digunakan yaitu
rifampisin. Pasien juga mendapatkan klindamisin karena sesuai dengan saran
pengobatan dari koinfeksi MRSA dan klindamisin masih termasuk kedalam terapi
lini kedua dari aktinomisetoma. Pertimbangan dilakukan kombinasi dengan
debridemen dan skin graft karena pasien memiliki riwayat aktinomisetoma
sebelumnya yaitu 2 tahun sebelum masuk rumah sakit yang merupakan kasus
aktinomisetoma rekurens dan setelah 2 minggu terapi antibiotik belum
menunjukkan respon terapi yang baik.
Evaluasi yang perlu dilakukan selama terapi sampai dengan 6 bulan
setelah terapi yaitu perbaikan klinis, efek samping dan alergi obat. Kesembuhan
ditunjukkan dari hasil evaluasi klinis 6 bulan setelah lepas obat tidak ditemukan
kekambuhan.1
Prognosis baik dan penghentian terapi dapat dilakukan apabila
terjadi perbaikan klinis yang ditunjukkan dari jumlah lesi yang berkurang hingga
menghilang, sinus tertutup, tidak keluar granul, kultur ulang tiap bulan tidak
ditemukan elemen jamur maupun bakteri.2
Pada misetoma, pengobatan kombinasi
antibiotik dengan tindakan bedah maka besar kemungkinan terjadi kesembuhan
tanpa kekambuhan.15
Pada kasus, prognosis pasien adalah dubius ad bonam, karena terjadi
perbaikan klinis setelah mendapatkan terapi kombinasi tersebut, dan diharapkan
tidak terjadi kekambuhan.
SIMPULAN
Dilaporkan kasus aktinomisetoma koinfeksi dengan Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus pada seorang wanita berusia 47 tahun. Diagnosis
aktinomisetoma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan histologis serta radiologis. Penatalaksanaan yang diberikan adalah
kombinasi antara rifampisin 600mg tiap 24 jam peroral, klindamisin 300mg tiap
12 jam peroral yang diberikan selama 5 minggu atau 1 siklus terapi dengan
tindakan bedah debridemen dan skin graft. Setelah pengobatan tersebut, terjadi
perbaikan klinis. Prognosis pasien adalah dubius ad bonam.
22. 22
DAFTAR PUSTAKA
1. Verdy, Dewi VAP, Budiyanto A, Siswati AS. Keberhasilan Pengobatan
Aktinomisetoma dengan Kombinasi Kotrimoksasol dan Tetrasiklin. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2015; 27(1): 77-83.
2. Arenas R, Martinez RFF, Guerrero ET, Garcia C. Actinomycetoma: An Update on
Diagnosis and Treatment. Cutis. 2017; 99: E11-E15.
3. Efared B, Tahiri L, Boubacar MS, Ebang GA, Hammas N, Hinde EF, Chbani L.
Mycetoma in A Non-Endemic Area: A Diagnostic Challenge. BMC Clinical
Pathology. 2017; 17:1.
4. Welsh O, Cabrera LV, Welsh E, Salinas MC. Actinomycetoma and Advances in Its
Treatment. Clinics in Dermatology. 2012; 30: 372-381.
5. Bravo FG, Arenas R, Sigall DA. Actinomycosis, Nocardiosis, and Actinomycetoma.
In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th
ed. New York:
McGraw-Hill Medical; 2012. p. 2241-52.
6. Nenoff P, Van de Sande VWJ, Fahal AH, Reinel D, Schofer H. Eumycetoma and
Actinmycetoma-An Update on Causative Agents, Epidemiology, Pathogenesis,
Diagnostic and Therapy. JEADV. 2015.
7. Mhmoud NA, Fahal AH, Mahgoub ES, Van de Sande WWJ. The Combination of
Amoxicillin-Clavulanic Acid and Ketokonazole in the Treatment of Madurella
mycetomatis Eumycetoma and Staphylococcus aureus Co-Infection. PLOS
Neglected Tropical Diseases. 2014; 8(6): e2959.
8. Mitaki E, Matiru V, Gunturu R, Bil C. Unexpected High Prevalence of
Staphylococcus aureus Infections in Patients with Mycetoma. Indian Journal of
Research. 2015; 4(7): 73-4.
9. Green BN, Johnson CD, Egan JT, Rosenthal CDR, Griffith EA, Evans MW.
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus: An Overview for Manual Therapists.
Journal of Chiropractic Medicine. 2012; 11:64-76.
10.Agarwal UL, Besarwal RK, Gupta R, Agarwal P. Treatment of Actinomycetoma Foot-
Our Experience with Ten Patients. JEADV. 2013; 27: 1505-13.
11.Mohamed HT, Fahal A, Van de Sande WWJ. Mycetoma: Epidemiology, Treatment
Challenges, dan Progress. Research and Reports in Tropical Medicine. 2015; 6:31-
6.
12.Sukmawati N, Ervianty E. Penelitian Retrospektif: Karakteristik Mikosis Subkutan.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2015; 27(3): 183- 190.
13.Linchon V, Khachemoune A. Mycetoma: A Review. Am J Clin Dermatol. 2006; 7(5):
315-21.
14.Hay J Roderick. Deep fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine. 8th
ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2012. p. 2312-7.
15.Ramali LM. Deep Fungal Infection: Recent Review of Subcutaneous Mycosis.
Procedding of Skin Infections: Must Known Diseases, 2016 March 26-27; Malang.
23. 23
16.Saadat P, Ram R, Sohrabian S, Vadmal MS. Botryomycosis Caused by
Staphylococcus aureus and Pneumocystis carinii in A Patient with Acquired
Immunodeficiency Disease. Clinical and Experimental Dermatology. 2007; 33:
266-9.
17.Silva WAE, Rosa da Silva GA, Ferry FRA, Pinto JFC. Facial Botryomycosis-Like
Pyoderma in A HIV-Infected Patient: Remission After Initiation of Darunavir and
Raltegravir. Rev Soc Bras Med Trop. 2017; 50(2): 277-9.
18.Boswihi SS, Udo EE. Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus: An Update on
The Epidemiology, Treatment Options and Infection Control. Current Medicine
Research and Practice. 2018; 8; 18-24.
19.Agarwal US, Besarwal RK, Gupta R, Agarwal P. Treatment of Actinomycetoma Foot-
Our Experience with Ten Patients. JEADV. 2013; 27: 1505-13.