SlideShare a Scribd company logo
1 of 4
Menyoal Nikah Sirri

                          Oleh: Muhsin Hariyanto

      Mas, Kenapa sekarang ini orang ribut soal nikah sirri, padahal, apa
yang dikerjakan Nabi kita (Muhammad s.a.w.) dan para sahabatnya sama
dengan apa yang tengah ‘diributkan’ orang? Itulah pertanyaan para
tetangga saya, ketika mencermati kehebohan berita pernikahan ‘sirri’
mengenai seorang pejabat publik di negeri kita tercinta baru-baru ini.

       Saya, yang kebetulan juga sedang mencermati kasus-kasus serupa,
menjawab spontan: “tak ada yang salah dalam nikah sirri, selain ruh (spirit)-
nya yang perlu diselaraskan”. Kalau nikah sirri sekadar dimaknai sebagai
pernikahan yang tak tercatat, atau sekadar belum tercatat secara
administratif di KUA (Kantor Urusan Agama), Nabi s.a.w. dan para
sahabatnya pun tak pernah memiliki bukti catatan administratif pernikahan
mereka, karena – pada saat itu – belum ada lembaga yang berkepentingan
dan dianggap penting untuk diadakan, karena pertimbangan ‘mashlahat’-
nya yang belum memerlukan. Tetapi, pada saat ini, karena pertimbangan
mashlahat ‘ke-kini-an dan ke-di sini-an’ (waktu dan ruang) yang berbeda,
pencatatan itu bisa jadi sangat diperlukan, bahkan pada waktu dan ruang
tertentu menjadi sesuatu yang tidak bisa tidak ‘harus ada’, sehingga tingkat
kemashlahatannya menjadi bersifat ‘dharûri’ (primer), bukan lagi hajji
(sekunder), apalagi (sekadar) tahsîni (tersier). Sehingga dapat diberlakukan
kaedah fikih: “mâ lâ yatimul wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib” (maksudnya:
sesuatu yang menjadi prasyarat-mutlak untuk terwujudnya sebuah
kewajiban, maka prasyarat itu pun harus diadakan, dan hukumnya menjadi
wajib sebagaimana status hukum kewajiban yang tak mungkin terwujud
tanpa prasyarat itu).

       Pernikahan itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah sendiri
dalam firmanNya dalam QS an-Nisâ, 4: 21, merupakan: “mîtsâqan ghalîdhan”
(perjanjian yang sangat kokoh).




                                     1
ٍ‫وكيف تأخذونه وقد أ َفضى بعضكم إ ِلى بعض‬
  ْ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ ْ َ َ ُ َ ُ ُ َْ َ َْ َ
‫وأَخذن منكم ميثاقا غليظا‬
 ً َِ ً َ ّ ُ ِ َ ْ َ َ
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-
isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

       Bagaimana mungkin sebuah perjanjian yang sangat kokoh hanya
sekadar dibuat dengan upacara ritual seadanya, dengan menghilangkan
nilai sakralitas ‘upacara pernikahan’ yang ditandai dengan ucapan ‘ijâb-
qabûl’ antara kedua mempelai yang disaksikan oleh sejumlah saksi formal,
maupun non-formal? Lalu, dengan seenaknya sendiri ‘Sang Suami’
menceraikan isterinya yang dinikahinya dengan upacara suci itu dengan
‘pesan singkat’ melalu telepon seluler? Atau, sebaliknya ‘Si Isteri’ meminta
kepada suaminya untuk diceraikan melalui ‘telepon rumah’? Apakah
tindakan yang demikian itu selaras dengan ruh (spirit) pernikahan yang
disebut oleh Allah dengan (sebutan) mîtsâqan ghalîdhan? Sehingga Nabi
s.a.w. pun meminta kepada umatnya untuk mempermaklumkannya dengan
kalimat “Aulim walau bi syâtin”, yang kurang lebih bermakna: “meskipun
hanya sekadar dengan menyembelih seekor kambing, pemberitahuan atas
pernikahan muslim-muslimah menjadi sebuah kepentingan yang harus
diperhatikan oleh siapa pun yang telah mengaku sebagai pengikut
Rasulullah s.a.w.”


 ‫أَولم ولو بشاة‬
ٍ َ ِ ْ ََ ْ ِْ
“Selenggarakanlah walimah (upacara pemakluman pernikahan kepada komunitas
yang diperrlukan dan memerlukan), meskipun hanya sekadar dengan
(menyembelih) seekor kambing.”(Hadis Riwayat al-Bukhari dari Anas bin
Malik).




                                      2
Kalau pun di kemudian hari ada persoalan yang dihampiri oleh
kedua mempelai, solusinya tidak harus ‘thalaq’. Karena masih banyak
alternatif yang bisa dipilih oleh mereka, demi kepentingan yang lebih
utama, yang nilainya lebih baik daripada “thalaq’.

       Thalaq (atau yang sering disederhanakan maknanya dengan
perceraian), yang saat ini menjadi ‘trend’ para selebritis, yang pada saatnya
juga bisa menjadi ‘virus’ yang menular kepada siapa pun, memang sesuatu
yang bisa disebut halâl. Tetapi, bukankah Rasulullah s.a.w. sendiri telah
menyebutnya sebagai ‘abghadhul halâl ‘ilallâh’ (sesuatu yang halal, tetapi
paling dibenci oleh Allah) dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi s.a.w.?


             « ‫.» أَبغض الحل َل إِلى الله تعالى الطل َق‬
               ُ ّ      َ َ َ ِ ّ  َ ِ َ ْ ُ َ ْ
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak (perceraian)” (Hadis
Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).

       Dan, oleh karena itu ‘thalaq atau yang kemudian disebut talak’,
disebut oleh para ulama sebagai solusi atas persoalan pernikahan yang
paling tidak ‘ideal’, atau dalam ungkapan para budayawan dikatakan
sebagai ‘pilihan terpahit’ di antara pilihan-pilihan pahit lainnya. Sehingga,
‘kita’ – sebagai pengikut Rasulullah s.a.w. – harus berupaya seoptimal
mungkin untuk menghindarinya.

        Nah, ‘nikah sirri’ yang dilakukan oleh para pelaku pernikahan saat
ini, ternyata rentan berakhir pada talak atau ‘perceraian’ itu, karena tak
kokohnya ‘janji pernikahan‘ yang diucapkan (disebabkan oleh tidak atau
belum tercatatkannya atau terpublikasikannya upacara pernikahan itu), dan
– dalam banyak hal – sering atau tidak jarang berakhir pada sejumlah
‘kemadharatan’ bagi banyak pihak, utamanya bagi kaum perempuan dan
anak-anaknya. Sementara itu, bagi kaum lelaki, memang tidak begitu
dirasakan. Apalagi, ketika pernikahan itu dilakukan dengan niat yang tak
selaras dengan tujuan pernikahan itu sendiri (membangun keluarga
sakinah), maka pernikahan yang dilakukan oleh siapa pun akan menjadi
sebuah bangunan yang sangat rapuh.



                                       3
Oleh karena itu, kesaksian dari para saksi formal maupun non-formal
menjadi sesuatu yang ditandai dengan upacara publikasi pernikahan
(walîmah al-‘ursy) sangat diperlukan, termasuk di dalamnya ‘kesaksian
tertulis’ dari lembaga formal yang berwenang untuk memberikan
penguatan atas ‘janji-pernikahan’ yang ditandai derngan ucapan ijâb-qabûl
kedua mempelai, tentu saja akan semakin memperkokoh ikatan pernikahan
keduanya, termasuk dalam rangka mengantisipasi dampak negatif yang
bisa muncul di kemudian hari.

       Walau pun di masa Nabi s.a.w. belum ada ‘lembaga pencatat nikah’,
bukan berarti keberadaan lembaga pencatat nikah pada masa sekarang dan
juga di masa yang akan datang harus dipersoalkan keberadaannya. Bahkan,
dengan pertimbangan mashlahat yang lebih besar, keberadaannya bisa
dianggap sebagai sebuah kepentingan yang tak mungkin diabaikan.

       Pertaynyaan penting berkaitan dengannya adalah: “Apa susahnya
memublikasikan dan mencatatkan ‘pernikahan’, yang pada akhirnya
‘insyâallâh’ bisa memberi kepastian yang lebih kokoh atas ‘pernikahan’ yang
kita lalukan, dibandingkan dengan tindakan ‘menyembunyikan’ peristiwa
sakral (pernikahan) yang telah kita lakukan dengan penuh kesungguhan,
yang pada akhirnya bisa berdampak negatif bagi siapa pun yang memahami
esensi pernikahan sebagai mîtsâqan ghalîdhan?

      Mari, tanpa mengurangi ‘rasa hormat’ pada siapa pun yang berniat
baik dalam tindakan nikah sirri, dalam rangka memeroleh kemashlatan dan
menghindari kemadharatan, kita akhiri segala bentuk pernikahan yang
berpotensi (untuk) berdampak negatif di kemudian hari, dengan melakukan
pernikahan yang ‘terbuka’ dan ‘tercatat’, demi kemashalahatan kita
bersama!

Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap
STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta




                                     4

More Related Content

Viewers also liked

Jadilah pemimpin dan bukan penguasa
Jadilah pemimpin dan bukan penguasaJadilah pemimpin dan bukan penguasa
Jadilah pemimpin dan bukan penguasaMuhsin Hariyanto
 
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah
Fatwa 17 2007_shalat_iftitahFatwa 17 2007_shalat_iftitah
Fatwa 17 2007_shalat_iftitahMuhsin Hariyanto
 
5 (lima) penyebab seseorang berputus asa
5 (lima) penyebab seseorang berputus asa5 (lima) penyebab seseorang berputus asa
5 (lima) penyebab seseorang berputus asaMuhsin Hariyanto
 
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamînKoreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamînMuhsin Hariyanto
 
Jujur, kiat menuju selamat
Jujur, kiat menuju selamatJujur, kiat menuju selamat
Jujur, kiat menuju selamatMuhsin Hariyanto
 
Termuliakan dengan menjadi sang pemaaf 01
Termuliakan dengan menjadi sang pemaaf 01Termuliakan dengan menjadi sang pemaaf 01
Termuliakan dengan menjadi sang pemaaf 01Muhsin Hariyanto
 
Menuju kemuliaan hidup dengan ruh al ihsan
Menuju kemuliaan hidup dengan ruh al ihsanMenuju kemuliaan hidup dengan ruh al ihsan
Menuju kemuliaan hidup dengan ruh al ihsanMuhsin Hariyanto
 
Ringkasan buku fiqh ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dr yusuf qardhawi
Ringkasan buku fiqh ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dr yusuf qardhawiRingkasan buku fiqh ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dr yusuf qardhawi
Ringkasan buku fiqh ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dr yusuf qardhawiMuhsin Hariyanto
 
Digital Intelligence : pour une éthique algorithmique ?
Digital Intelligence : pour une éthique algorithmique ?Digital Intelligence : pour une éthique algorithmique ?
Digital Intelligence : pour une éthique algorithmique ?olivier
 
Gazette numéro 2 Festival international du film 2014
Gazette numéro 2 Festival international du film 2014Gazette numéro 2 Festival international du film 2014
Gazette numéro 2 Festival international du film 2014olivier
 

Viewers also liked (17)

Salah faham terhadap doa
Salah faham terhadap doaSalah faham terhadap doa
Salah faham terhadap doa
 
Ucapkan insyâallâh
Ucapkan insyâallâhUcapkan insyâallâh
Ucapkan insyâallâh
 
Jadilah pemimpin dan bukan penguasa
Jadilah pemimpin dan bukan penguasaJadilah pemimpin dan bukan penguasa
Jadilah pemimpin dan bukan penguasa
 
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah
Fatwa 17 2007_shalat_iftitahFatwa 17 2007_shalat_iftitah
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah
 
5 (lima) penyebab seseorang berputus asa
5 (lima) penyebab seseorang berputus asa5 (lima) penyebab seseorang berputus asa
5 (lima) penyebab seseorang berputus asa
 
Makna muhsinin 01
Makna muhsinin 01Makna muhsinin 01
Makna muhsinin 01
 
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamînKoreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
 
Jujur, kiat menuju selamat
Jujur, kiat menuju selamatJujur, kiat menuju selamat
Jujur, kiat menuju selamat
 
Termuliakan dengan menjadi sang pemaaf 01
Termuliakan dengan menjadi sang pemaaf 01Termuliakan dengan menjadi sang pemaaf 01
Termuliakan dengan menjadi sang pemaaf 01
 
Sang calon penghuni surga
Sang calon penghuni surgaSang calon penghuni surga
Sang calon penghuni surga
 
Beristi'adzah
Beristi'adzahBeristi'adzah
Beristi'adzah
 
Memahami makna zuhud 01
Memahami makna zuhud 01Memahami makna zuhud 01
Memahami makna zuhud 01
 
Al hilm
Al hilmAl hilm
Al hilm
 
Menuju kemuliaan hidup dengan ruh al ihsan
Menuju kemuliaan hidup dengan ruh al ihsanMenuju kemuliaan hidup dengan ruh al ihsan
Menuju kemuliaan hidup dengan ruh al ihsan
 
Ringkasan buku fiqh ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dr yusuf qardhawi
Ringkasan buku fiqh ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dr yusuf qardhawiRingkasan buku fiqh ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dr yusuf qardhawi
Ringkasan buku fiqh ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dr yusuf qardhawi
 
Digital Intelligence : pour une éthique algorithmique ?
Digital Intelligence : pour une éthique algorithmique ?Digital Intelligence : pour une éthique algorithmique ?
Digital Intelligence : pour une éthique algorithmique ?
 
Gazette numéro 2 Festival international du film 2014
Gazette numéro 2 Festival international du film 2014Gazette numéro 2 Festival international du film 2014
Gazette numéro 2 Festival international du film 2014
 

Similar to Menyoal nikah sirri

121347698 power-point-pernikahan
121347698 power-point-pernikahan121347698 power-point-pernikahan
121347698 power-point-pernikahanlailaaprina1
 
Presentasi Nikah Siri Dan Mutah
Presentasi Nikah Siri Dan MutahPresentasi Nikah Siri Dan Mutah
Presentasi Nikah Siri Dan MutahMarhamah Saleh
 
Nikah Siri dan Mut'ah
Nikah Siri dan Mut'ahNikah Siri dan Mut'ah
Nikah Siri dan Mut'ahAli Murfi
 
Pernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahPernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahAli Murfhy
 
Makalah Agama tentang Nikah-Siri
Makalah Agama tentang Nikah-SiriMakalah Agama tentang Nikah-Siri
Makalah Agama tentang Nikah-SiriIr. Zakaria, M.M
 
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi BaruMasail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi BaruHaristian Sahroni Putra
 
Pernikahan secara Islam
Pernikahan secara IslamPernikahan secara Islam
Pernikahan secara IslamRantiRiyanti
 
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih IslamKawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih IslamRendra Fahrurrozie
 
Makalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaMakalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaRachman B. Prasetyo
 

Similar to Menyoal nikah sirri (15)

Menyoal nikah sirri
Menyoal nikah sirriMenyoal nikah sirri
Menyoal nikah sirri
 
Tuntunan walimah syar'i
Tuntunan walimah syar'iTuntunan walimah syar'i
Tuntunan walimah syar'i
 
121347698 power-point-pernikahan
121347698 power-point-pernikahan121347698 power-point-pernikahan
121347698 power-point-pernikahan
 
A
AA
A
 
114882177 makalah-agama-nikah-siri
114882177 makalah-agama-nikah-siri114882177 makalah-agama-nikah-siri
114882177 makalah-agama-nikah-siri
 
Presentasi Nikah Siri Dan Mutah
Presentasi Nikah Siri Dan MutahPresentasi Nikah Siri Dan Mutah
Presentasi Nikah Siri Dan Mutah
 
Nikah Siri dan Mut'ah
Nikah Siri dan Mut'ahNikah Siri dan Mut'ah
Nikah Siri dan Mut'ah
 
Pernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahPernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ah
 
Makalah Agama tentang Nikah-Siri
Makalah Agama tentang Nikah-SiriMakalah Agama tentang Nikah-Siri
Makalah Agama tentang Nikah-Siri
 
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi BaruMasail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
 
Pernikahan secara Islam
Pernikahan secara IslamPernikahan secara Islam
Pernikahan secara Islam
 
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih IslamKawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
 
Makalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaMakalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agama
 
Nikah
Nikah Nikah
Nikah
 
Siiap
SiiapSiiap
Siiap
 

More from Muhsin Hariyanto

Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahMuhsin Hariyanto
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Muhsin Hariyanto
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanMuhsin Hariyanto
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMuhsin Hariyanto
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Muhsin Hariyanto
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabulMuhsin Hariyanto
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamMuhsin Hariyanto
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifMuhsin Hariyanto
 

More from Muhsin Hariyanto (20)

Khutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 hKhutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 h
 
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
 
Etika dalam berdoa
Etika dalam berdoaEtika dalam berdoa
Etika dalam berdoa
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul
 
Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)
 
Strategi dakwah
Strategi dakwahStrategi dakwah
Strategi dakwah
 
Sukses karena kerja keras
Sukses karena kerja kerasSukses karena kerja keras
Sukses karena kerja keras
 
Opini dul
Opini   dulOpini   dul
Opini dul
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayam
 
Tentang diri saya
Tentang diri sayaTentang diri saya
Tentang diri saya
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
 
Ketika kita gagal
Ketika kita gagalKetika kita gagal
Ketika kita gagal
 
Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!
 
Gatotkaca winisuda
Gatotkaca winisudaGatotkaca winisuda
Gatotkaca winisuda
 

Menyoal nikah sirri

  • 1. Menyoal Nikah Sirri Oleh: Muhsin Hariyanto Mas, Kenapa sekarang ini orang ribut soal nikah sirri, padahal, apa yang dikerjakan Nabi kita (Muhammad s.a.w.) dan para sahabatnya sama dengan apa yang tengah ‘diributkan’ orang? Itulah pertanyaan para tetangga saya, ketika mencermati kehebohan berita pernikahan ‘sirri’ mengenai seorang pejabat publik di negeri kita tercinta baru-baru ini. Saya, yang kebetulan juga sedang mencermati kasus-kasus serupa, menjawab spontan: “tak ada yang salah dalam nikah sirri, selain ruh (spirit)- nya yang perlu diselaraskan”. Kalau nikah sirri sekadar dimaknai sebagai pernikahan yang tak tercatat, atau sekadar belum tercatat secara administratif di KUA (Kantor Urusan Agama), Nabi s.a.w. dan para sahabatnya pun tak pernah memiliki bukti catatan administratif pernikahan mereka, karena – pada saat itu – belum ada lembaga yang berkepentingan dan dianggap penting untuk diadakan, karena pertimbangan ‘mashlahat’- nya yang belum memerlukan. Tetapi, pada saat ini, karena pertimbangan mashlahat ‘ke-kini-an dan ke-di sini-an’ (waktu dan ruang) yang berbeda, pencatatan itu bisa jadi sangat diperlukan, bahkan pada waktu dan ruang tertentu menjadi sesuatu yang tidak bisa tidak ‘harus ada’, sehingga tingkat kemashlahatannya menjadi bersifat ‘dharûri’ (primer), bukan lagi hajji (sekunder), apalagi (sekadar) tahsîni (tersier). Sehingga dapat diberlakukan kaedah fikih: “mâ lâ yatimul wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib” (maksudnya: sesuatu yang menjadi prasyarat-mutlak untuk terwujudnya sebuah kewajiban, maka prasyarat itu pun harus diadakan, dan hukumnya menjadi wajib sebagaimana status hukum kewajiban yang tak mungkin terwujud tanpa prasyarat itu). Pernikahan itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah sendiri dalam firmanNya dalam QS an-Nisâ, 4: 21, merupakan: “mîtsâqan ghalîdhan” (perjanjian yang sangat kokoh). 1
  • 2. ٍ‫وكيف تأخذونه وقد أ َفضى بعضكم إ ِلى بعض‬ ْ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ ْ َ َ ُ َ ُ ُ َْ َ َْ َ ‫وأَخذن منكم ميثاقا غليظا‬ ً َِ ً َ ّ ُ ِ َ ْ َ َ “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri- isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” Bagaimana mungkin sebuah perjanjian yang sangat kokoh hanya sekadar dibuat dengan upacara ritual seadanya, dengan menghilangkan nilai sakralitas ‘upacara pernikahan’ yang ditandai dengan ucapan ‘ijâb- qabûl’ antara kedua mempelai yang disaksikan oleh sejumlah saksi formal, maupun non-formal? Lalu, dengan seenaknya sendiri ‘Sang Suami’ menceraikan isterinya yang dinikahinya dengan upacara suci itu dengan ‘pesan singkat’ melalu telepon seluler? Atau, sebaliknya ‘Si Isteri’ meminta kepada suaminya untuk diceraikan melalui ‘telepon rumah’? Apakah tindakan yang demikian itu selaras dengan ruh (spirit) pernikahan yang disebut oleh Allah dengan (sebutan) mîtsâqan ghalîdhan? Sehingga Nabi s.a.w. pun meminta kepada umatnya untuk mempermaklumkannya dengan kalimat “Aulim walau bi syâtin”, yang kurang lebih bermakna: “meskipun hanya sekadar dengan menyembelih seekor kambing, pemberitahuan atas pernikahan muslim-muslimah menjadi sebuah kepentingan yang harus diperhatikan oleh siapa pun yang telah mengaku sebagai pengikut Rasulullah s.a.w.” ‫أَولم ولو بشاة‬ ٍ َ ِ ْ ََ ْ ِْ “Selenggarakanlah walimah (upacara pemakluman pernikahan kepada komunitas yang diperrlukan dan memerlukan), meskipun hanya sekadar dengan (menyembelih) seekor kambing.”(Hadis Riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik). 2
  • 3. Kalau pun di kemudian hari ada persoalan yang dihampiri oleh kedua mempelai, solusinya tidak harus ‘thalaq’. Karena masih banyak alternatif yang bisa dipilih oleh mereka, demi kepentingan yang lebih utama, yang nilainya lebih baik daripada “thalaq’. Thalaq (atau yang sering disederhanakan maknanya dengan perceraian), yang saat ini menjadi ‘trend’ para selebritis, yang pada saatnya juga bisa menjadi ‘virus’ yang menular kepada siapa pun, memang sesuatu yang bisa disebut halâl. Tetapi, bukankah Rasulullah s.a.w. sendiri telah menyebutnya sebagai ‘abghadhul halâl ‘ilallâh’ (sesuatu yang halal, tetapi paling dibenci oleh Allah) dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi s.a.w.? « ‫.» أَبغض الحل َل إِلى الله تعالى الطل َق‬ ُ ّ َ َ َ ِ ّ َ ِ َ ْ ُ َ ْ “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak (perceraian)” (Hadis Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar). Dan, oleh karena itu ‘thalaq atau yang kemudian disebut talak’, disebut oleh para ulama sebagai solusi atas persoalan pernikahan yang paling tidak ‘ideal’, atau dalam ungkapan para budayawan dikatakan sebagai ‘pilihan terpahit’ di antara pilihan-pilihan pahit lainnya. Sehingga, ‘kita’ – sebagai pengikut Rasulullah s.a.w. – harus berupaya seoptimal mungkin untuk menghindarinya. Nah, ‘nikah sirri’ yang dilakukan oleh para pelaku pernikahan saat ini, ternyata rentan berakhir pada talak atau ‘perceraian’ itu, karena tak kokohnya ‘janji pernikahan‘ yang diucapkan (disebabkan oleh tidak atau belum tercatatkannya atau terpublikasikannya upacara pernikahan itu), dan – dalam banyak hal – sering atau tidak jarang berakhir pada sejumlah ‘kemadharatan’ bagi banyak pihak, utamanya bagi kaum perempuan dan anak-anaknya. Sementara itu, bagi kaum lelaki, memang tidak begitu dirasakan. Apalagi, ketika pernikahan itu dilakukan dengan niat yang tak selaras dengan tujuan pernikahan itu sendiri (membangun keluarga sakinah), maka pernikahan yang dilakukan oleh siapa pun akan menjadi sebuah bangunan yang sangat rapuh. 3
  • 4. Oleh karena itu, kesaksian dari para saksi formal maupun non-formal menjadi sesuatu yang ditandai dengan upacara publikasi pernikahan (walîmah al-‘ursy) sangat diperlukan, termasuk di dalamnya ‘kesaksian tertulis’ dari lembaga formal yang berwenang untuk memberikan penguatan atas ‘janji-pernikahan’ yang ditandai derngan ucapan ijâb-qabûl kedua mempelai, tentu saja akan semakin memperkokoh ikatan pernikahan keduanya, termasuk dalam rangka mengantisipasi dampak negatif yang bisa muncul di kemudian hari. Walau pun di masa Nabi s.a.w. belum ada ‘lembaga pencatat nikah’, bukan berarti keberadaan lembaga pencatat nikah pada masa sekarang dan juga di masa yang akan datang harus dipersoalkan keberadaannya. Bahkan, dengan pertimbangan mashlahat yang lebih besar, keberadaannya bisa dianggap sebagai sebuah kepentingan yang tak mungkin diabaikan. Pertaynyaan penting berkaitan dengannya adalah: “Apa susahnya memublikasikan dan mencatatkan ‘pernikahan’, yang pada akhirnya ‘insyâallâh’ bisa memberi kepastian yang lebih kokoh atas ‘pernikahan’ yang kita lalukan, dibandingkan dengan tindakan ‘menyembunyikan’ peristiwa sakral (pernikahan) yang telah kita lakukan dengan penuh kesungguhan, yang pada akhirnya bisa berdampak negatif bagi siapa pun yang memahami esensi pernikahan sebagai mîtsâqan ghalîdhan? Mari, tanpa mengurangi ‘rasa hormat’ pada siapa pun yang berniat baik dalam tindakan nikah sirri, dalam rangka memeroleh kemashlatan dan menghindari kemadharatan, kita akhiri segala bentuk pernikahan yang berpotensi (untuk) berdampak negatif di kemudian hari, dengan melakukan pernikahan yang ‘terbuka’ dan ‘tercatat’, demi kemashalahatan kita bersama! Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta 4