Tiga kalimat ringkasan:
Dokumen tersebut menjelaskan konsep ihsan dalam Islam yang merujuk pada perbuatan baik dan akhlak mulia tidak hanya kepada Tuhan tetapi juga kepada sesama. Ihsan dijelaskan sebagai pengendali motif insani yang mendasari seluruh tindakan manusia dan menyempurnakan iman serta amal.
1. Menggapai Kemuliaan Hidup dengan
Rûh (Spirit) al-Ihsân
Sekurang-kurangnya sebelas kali Allah menggunakan kata “ihsân”
dalam al-Quran untuk menyebut perbuatan yang baik. Dua di antaranya
memakai “alif-lâm”, al-ihsân, yaitu pada QS ar-Rahmân [55]: 60,
نُ ساَ حْ لِ ا لّ إِ نِ ساَ حْ لِ ا زاءَ جَ لْ هَ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
dan an-Nahl [16]: 90,
وَ ربىْ قُ لْ ا ذيِ ءِ إيتاِ وَ نِ حساْ لِْ ا وَ لِ دْ عَ لْ باِ رُ مُ أْ يَ هَ لّ ال نّ إِ
مْ كُ لّ عَ لَ مْ كُ ظُ عِ يَ يِ غْ بَ لْ ا وَ رِ كَ نْ مُ لْ ا وَ ءِ حشاْ فَ لْ ا نِ عَ نهىْ يَ
نَ روُ كّ ذَ تَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”
Bila diterjemahkan secara harfiah, keduanya berarti “kebaikan atau
kebajikan”.
Yang pertama Allah menjelaskan: “Tidak ada balasan kebaikan
kecuali kebaikan (pula).” Sedang yang kedua, penjelasan itu berbunyi:
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan
(ihsân), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Demikian pula dalam sembilan ayat lainnya, kata “ihsân”
diterjemahkan menjadi suatu kebaikan dan perbuatan baik. Bahkan pada QS
al-Baqarah [2]: 83, “ihsân” digunakan sebagai pengganti kata berbuat baik
kepada kedua orang tua, sebagaimana dalam firman-Nya:
هَ لّ ال لّ إِ نَ دوُ بُ عْ تَ لَ لَ ئيِ راَ سْ إِ نيِ بَ قَ ثاَ ميِ ناَ ذْ خَ أَ ذْ إِ وَ
نِ كيِ ساَ مَ لْ واَ مىَ تاَ يَ لْ واَ بىَ رْ قُ لْ ا ذيِ وَ ساناَ حْ إِ نِ يْ دَ لِ واَ لْ باِ وَ
1
2. مّ ثُ ةَ كاَ زّ ال اْ توُ وآَ ةَ لَ صّ ال اْ موُ قيِ أَ وَ سناْ حُ سِ ناّ للِ اْ لوُ قوُ وَ
نَ ضوُ رِ عْ مّ تمُ أنَ وَ مْ كُ منّ لً ليِ قَ لّ إِ مْ تُ يْ لّ وَ تَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah (ihsân) kepada ibu-bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang
baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil darimu, dan kamu selalu berpaling.”
Pada ayat tersebut, Allah menyebut “ihsân” sejajar dengan larangan
berbuat syirik, perintah berbuat baik kepada orang tua dan kaum kerabat,
berbuat baik kepada fakir miskin da anak-anak yatim, mengucapkan kata-
kata yang baik kepada sesama manusia, serta mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. Secara sederhana dapat dipahami bahwa konsep “ihsân”
adalah sama dan sebangun dengan konsep akhlak, baik akhlak kepada Sang
Pencipta, maupun akhlak kepada sesama manusia.
Pendeknya, dapat pula diartikan bahwa faktor “ihsân” harus selalu
hadir menyertai seluruh perilaku dan perilaku manusiawi. Ihsân sejatinya
menjadi napas dan inspirasi dari keseluruhan amal manusia, bersenyawa
dengan jenis pekerjaan dan profesi apapun. Karena itu ihsân adalah juga
pengendali motif-motif insani yang mendasari keseluruhan tindakan
aktivitas yang dilaluinya setiap saat.
Itulah sebabnya, ketika berdialog dengan Rasulullah s.a.w., Jibril
menempatkan pertanyaan tentang ihsân ini pada urutan terakhir setelah
“iman dan islam”. Ihsân dalam hal ini menjadi dimensi penggenap amal
setelah seseorang menyatakan keimanan dan melaksanakan serangkaian
ajaran seperti disyariatkan Islam. Ihsân merupakan kekuatan moral yang
menyempurnakan setiap tindakan.
Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi serta budaya masyarakat
saat ini, kita perlu menghidupkan kembali rûh (spirit) ihsân yang mungkin
telah mati, sehingga tidak ada lagi kebijakan, program, dan tindakan yang
hanya berorientasi pada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Semuanya
merupakan implementasi pengabdian hanya kepada-Nya untuk
mewujudkan kebaikan.
Kita tidak cukup hanya menjadi seorang pemeluk agama. Beragama
saja tidak cukup. Beragama (Islam) itu harus pula diikuti oleh ber-ihsân.
Demikianlah, Allah menjelaskan bahwa:
2
3. دَ عنِ هُ رُ جْ أَ هُ لَ فَ نٌ سِ حْ مُ وَ هُ وَ هِ لّ لِ هُ هَ جْ وَ مَ لَ سْ أَ نْ مَ لىَ بَ
نَ نوُ زَ حْ يَ مْ هُ لَ وَ مْ هِ يْ لَ عَ فٌ وْ خَ لَ وَ هِ بّ رَ
”(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri (ber-Islam) kepada
Allah, sedang ia berbuat kebajikan (ber-ihsan), maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati” (QS, al-Baqarah [2]: 112).
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Prof.Dr. Asep S. Muhtadi, Senin, 14
Mei 2012, 06:07 WIB, dalam http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/hikmah/12/05/14/m3zhl2-mengedepankan-ihsan)
3