1. 1
Menebas atau Ditebas ‘Pedang’ Waktu
Ada sebuah ‘kalimat bijak’ yang diungkapkan oleh Imam al-
Ghazali, dalam karya tulisnya yang berjudul: Khuluq al-Muslim,
berkaitan dengan waktu:
“Waktu itu laksana sebuah pedang, jika engkau tidak memotongnya, maka dia
akan memotongmu” (Al-Ghazali, Khuluq al-Muslim, juz I, hal. 187)
Satu pertanyaan yang bila dilontarkan maka cukup menjadi
alasan bagi Allah SWT untuk mencampakkan manusia ke neraka, yaitu
bagaimana engkau mensyukuri nikmat-Nya? Tak mengherankan karena
untuk mengalkulasikan nikmat yang dicurahkan Allah SWT saja
manusia tidak mampu.
Simaklah QS an-Nahl/16:18,
َوۗ
”Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang,” apalagi membalas nikmat Allah SWT dengan
pengabdian yang utuh.
Nikmat Allah SWT selalu memayungi keseharian manusia. Salah
satu nikmat terbesar-Nya adalah waktu. Waktu adalah sesuatu yang
menggenangi hidup manusia, tapi kehadirannya kadang tidak disadari.
Bukan hanya tidak disadari, bahkan disia-siakan.
Sabda Rasulullah SAW,
''Dua kenikmatan yang sering disia-siakan oleh banyak orang, ialah: kesehatan
dan kesempatan.'' (HR Bukhari dari Abdullah bin Abbas).
''Waktu bagaikan sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak
dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat
2. 2
atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai
manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan
nilainya, walaupun segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan mampu
melepaskan diri darinya,'' tutur Malik bin Nabi dalam sebuah karya
tulisnya.
Al-Quran memberikan perhatian khusus pada waktu sehingga
Allah SWT berulangkali bersumpah dengan berbagai kata yang
menunjuk pada waktu-waktu tertentu. Misalnya wa al-lail (demi malam),
wa an-nahâr (demi siang), wa al- fajr (demi fajar) dan lain-lain. Al-Quran
menggunakan minimal empat kata untuk menunjukkan waktu: Pertama,
al-ajal yang menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti
berakhirnya usia manusia atau masyarakat (QS Yûnus/10: 49). Kedua, ad-
dahr yang digunakan untuk durasi masa alam raya dalam kehidupan
dunia, yakni sejak penciptaan sampai punahnya semesta. (QS al-
Insân/76: 1). Ketiga, al-waqt yang digunakan dalam arti batas akhir
kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa, atau
kadar tertentu dari satu rentang masa (QS an-Nisâ/4: 103). Keempat, al-
‘ashr yang dimaknai sebagai saat-saat yang dialami manusia yang harus
diisi dengan keimanan dan produktivitas amal shalih (QS al-‘Ashr/103:
1).
Waktu dihadirkan Allah SWT dengan tujuan-tujuan tertentu.
Salah satu tujuan utamanya ialah sebagaimana dipaparkan al-Quran,
''Dia (Allah SWT) menjadikan malam dan siang dan silih berganti untuk
memberi waktu (kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil
pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur.'' (QS al-Furqân/25: 62).
'Mengingat' terkait dengan masa silam, itu mengindikasikan
pentingnya instrokpeksi dan kesadaran akan masa lampau yang
mengantarkan manusia ke gerbang perbaikan dan peningkatan mutu
dirinya. Lalu, 'bersyukur' berarti menggunakan segala potensi yang
dianugerahkan Allah SWT sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Jadi, meminjam istilah yang dikutip oleh al-Ghazali (tersebut di
atas), “waktu itu laksana sebilah pedang, yang akan terus bergerak silih-berganti
menebas siapa pun yang melalaikannya”. Waktu merentang dari hulu
3. 3
kelahiran dan berujung pada muara kematian. Sehingga Allah
mengingatkan:
ۖۚ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr/59: 18).
Nah, saatnya ‘kini’ kita memilih: “Kita manfaatkan ‘waktu’
dengan sebaik-baiknya agar kita dapat memeroleh manfaat darinya, atau
kita biarkan ‘waktu’ berlalu tanpa ‘aktivitas yang bermanfaat’, dengan
konsekuensi ‘kita’ akan rugi karenanya.”
Ibda’ bi nafsik!
Yogyakarta, 30 Mei 2015