1. 1
Makna Lailatul Qadar dan Nuzûlul Qurân
Bagi Umat Islam
Perdebatan di seputar makna Lailatul Qadar di kalangan umat
Islam, hingga kini belum menemukan titik-temu yang cukup
memuaskan. Apalagi terkait dengan pemahaman umat Islam
terhadap momentum Nuzûlul Qurân yang diperingati setiap tahun
pada bulan Ramadhan, yang di Indonesia selalu diasumsikan
terjadi secara pasti pada tanggal 17 Ramadhan, yang oleh
karenanya diyakini bahwa pada saat itulah (wahyu) al-Quran
pertama kali diturunkan. Lalu apa kaitan Nuzûlul Qurân dengan
Lailatul Qadar? Di sinilah persoalan penting – kontroversi -- yang
semestinya segera mendapatkan respon yang cepat dan tepat dari
para ulama yang kompeten untuk menjawabnya.
Salah satu momentum yang ditunggu-tunggu oleh orang beriman ialah
Lailah al-Qadr (secara populer dilafalkan Lailatul Qadar) dalam bulan Ramadhan.
Sama halnya dengan berbagai momentum keagamaan seperti Maulid, Isra’
Mi’raj, Nuzûlul Qurân, dan dua hari raya. Lailatul Qadar menghasilkan bentuk-
bentuk tertentu tradisi budaya keagamaan. Di sebagian daerah negeri kita ini,
seperti di Jawa tempo dulu, Lailatul Qadar menghasilkan tradisi selamatan
"maleman" pada tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selamatan itu dibarengi dengan tradisi "oncoran", yaitu kelompok anak
muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-
olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena
datangnya Lailatul Qadar. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk
tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam
yang suci itu.
Ditilik dari maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada
sesuatu yang harus dipahami lebih jauh, mendalam dan luas tentang Lailatul
Qadar. Karena perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya
keagamaan yang akhirnya kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan
lahiriah dan formal saja. Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti
suatu budaya keagamaan.
Setiap masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk
menguatkan makna-makna hidup yang lebih mendalam. Tetapi perlambang
yang sudah menfosil dan berubah menjadi seolah-olah tujuan dalam dirinya
sendiri akan ‘muspra’, tanpa guna.
2. 2
Karena itu berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul
Qadar dan hikmahnya bagi manusia dan kemanusiaan.
Makna Lailatul Qadar dan Nuzûlul Qurân
Secara harfiah, Lailatul Qadar berarti "Malam Penentuan" atau "Malam
Kepastian", jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata
taqdîr. Tetapi ada juga yang mengartikan Lailatul Qadar dengan "Malam
Kemahakuasaan", yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr dipahami
sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qâdir, yang artinya "Yang Maha Kuasa",
salah satu sifat Tuhan. Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-
meskipun pengertian yang pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian
itu saling melengkapi. Sedang dalam pengertian umum, Lailatul Qadar dimaknai
sebagai “malam kemuliaan”.
Ada juga pakar tafsir yang menyatakan bahwa secara terminologi
Lailatul Qadar diartikan sebagai "Malam Kemuliaan yang lebih baik dari seribu
bulan". Sebagaimana Allah SWT firmankan dalam surat al-Qadar. Secara
etimologi: Lailatul Qadar terdiri dari dua suku kata "Lailah" dan "al-Qadar".
“Lailah" berarti malam. Sedangkan kata "al-Qadar" memunyai beberapa arti :
1. Al-Qadar yang berarti at-Ta'zhîm (:)التعظيم pemuliaan, atau pengagungan
makna ini sesuai dengan firman Allah :
"Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya,
di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia".
Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh
Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan
(sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, Padahal telah
diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak
mengetahui(nya)?" Katakanlah: Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian
3. 3
(sesudah kamu menyampaikan al-Quran kepada mereka), biarkanlah mereka
bermain-main dalam kesesatannya.” (QS al-An’âm/6: 91)
Dikatakan sebagai malam yang dimuliakan karena beberapa hal :
a. Turunnya al-Quran pada malam itu yang diiringi dengan turunnya
para Malaikat.
b. Turunnya barakah, rahmah, dan maghfirah
c. Atau karena orang yang menghidupkan malam itu dengan ibadah
akan menjadi orang yang mulia.
2. Al-Qadar yang berarti At-Tadhyîq (:)التضييق penyempitan, pembatasan.
Makna ini sesuai dengan firman Allah:
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka Dia
berkata: "Tuhanku menghinakanku.” (QS al-Fajr/89: 16)
Dengan makna ini Lailatul Qadar berarti "Malam yang dibatasi,
disembunyikan dari pengetahuan manusia tentang waktu kejadiaanya".
Atau berarti "Bumi menjadi sempit dengan turunnya para malaikat".
3. Al-Qadar berarti penentuan taqdîr, ketetapan. Sesuai dengan firman Allah
SWT:
٣
٤
"Sesungguhnya kami telah menurunkan al-Qur'an pada malam yang diberkahi,
dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu
ditentukan segala urusan yang penuh hikmah." (QS ad-Dukhân/44: 3-4)
Lailatul Qadar dalam perspektif ini berarti: "Malam di mana pada waktu
itu ditetapkan taqdîr (ketetapan) manusia dari hidup, mati, rezeki, nasib baik,
nasib buruk dan lain-lain untuk satu tahun ke depan".
4. 4
Dalam al-Quran penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul
Qadar itu dikaitkan dengan malam diturunkannya al-Quran, yaitu dalam QS al-
Qadr (QS 97: 1-5):
١٢
٣
٤٥
Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (al-Quran) pada malam
kemuliaan1
. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-
malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Jadi disebutkan bahwa Allah menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar
yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan atau lebih dari delapan puluh
tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Karena pada malam itu para
malaikat turun, begitu juga Rûh (yang dalam hal ini ialah Rûh al-Qudus2
atau
Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan). Mereka turun dengan membawa
ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia.
Malam itu dinyatakan sebagai malam yang penuh kedamaian, hingga terbit
fajar di pagi hari.
Pengertian seperti di atas itu adalah yang paling umum dipegang kaum
muslim. Tetapi untuk memeroleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus
meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam QS al-Qadr itu.
Pertama ialah ungkapan bahwa Allah menurunkan al-Quran pada Lailatul
Qadar itu. Menurut Ibn Abbas -- sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir --
yang dimaksud ialah diturunkannya al-Quran itu dalam bentuk keseluruhannya
secara utuh dan sempurna dari al-Lauh al-Mahfûzh (Lauh Mahfûzh - Papan Yang
Terjaga) ke Bait al-‘Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit terendah (samâ’ al-dunyâ -
langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara rinci menurut kejadian-
1
Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan (malam) Lailatul
Qadar, yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan dan kebesaran, karena pada malam
itulah permulaan diturunkannya (wahyu) al-Quran.
2
Bandingkan dengan QS an-Nahl/16: 102.
5. 5
kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam
diturunkannya al-Quran juga disebutkan di bagian lain dalam al-Quran sebagai
malam yang diberkati (Lailah Mubârakah)3
, dan malam itu ada dalam bulan
Ramadhan.
Bulan Ramadhan, yang padanya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk
bagi umat manusia, dan sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang
telah lalu) dan pembeda (antara mana yang benar dan yang salah)4
.
Yang sedikit menjadi persoalan ialah, tanggal berapa Lailatul Qadar dan
Lailah Mubarakah itu dalam bulan Ramadhan? Bagi bangsa Indonesia hal ini
menjadi lebih menarik, karena ada tradisi nasional untuk memeringati secara
resmi malam diturukannya al-Quran itu, yang biasa disebut sebagai malam
Nuzulul Quran pada tanggal 17 Ramadhan (yang kebetulan adalah juga tanggal
Proklamasi Kemerdekaan). Konon yang memilih tanggal itu sebagai Hari
Nuzulul Quran adalah Haji Agus Salim, bapak modernisme Islam di Indonesia,
dengan persetujuan Bung Karno. Dalam menentukan pilihannya itu agaknya
Haji Agus Salim merujuk kepada sebuah firman dalam al-Quran: Dan
ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang,
maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta orang yang dalam
perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang
telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang
menentukan, yaitu hari dua pasukan tentera bertemu (berperang). Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu5
.
Jadi firman Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta
rampasan perang harus dibagi-bagi dan siapa saja yang berhak. Ketentuan itu
harus diterima oleh kaum beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah
dan kepada sesuatu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi SAW. pada hari
yang menentukan, yaitu hari ketika dua pasukan bertemu dalam pertempuran.
Ibn Katsir di dalam kitab tafsirnya, dengan merujuk berbagai sumber,
menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan hari yang menentukan itu ialah
hari “Perang Badar”. Juga berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan
bahwa perang Badar itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan (secara
kebetulan Proklamasi Kemerdekaan RI -- 17 Agustus 1945 -- juga hari Jumat).
Pada Perang Badar itulah dua pasukan, muslim dan musyrik, bertemu dalam
pertempuran. Perang Badar disebut hari yang menentukan (yaum al-furqân)
3
QS al-Dukhân, 44: 3
4
QS al-Baqarah, 2: 185.
5
QS al-Anfâl, 8: 41.
6. 6
karena perang itu adalah yang pertama kali dialami Nabi s.a.w. dan orang-
orang (yang) beriman, para pengikut beliau, dengan kemenangan (yang) telak,
kemenangan yang benar (al-haq), tauhîd, atas yang palsu (al-bâthil), syirik.
Seandainya dalam perang itu Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman
kalah, maka pupuslah sudah agama yang mereka bela dan tegakkan, dan
teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan. Tetapi karena
kemenangan telak tersebut, maka Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman
telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah SWT, bahwa yang benar
selamanya akan menang, dan yang palsu selamanya akan kalah. Sejarah Nabi
s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman selanjutnya membuktikan hal itu semua.
Jika benar yang demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17
Ramadhan, (malam) Nuzulul Quran, adalah juga Lailatul Qadar. Hal ini
menjadi berbeda dengan yang umum sekali dipercayai umat Islam, berdasarkan
keterangan Nabi s.a.w., dalam hadits, bahwa Lailatul Qadar adalah salah satu
malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.
Yang menarik ialah bahwa Nabi s.a.w. tidak menjelaskan dengan rinci malam
yang mana di antara malam-malam ganjil itu yang sesungguhnya (malam)
Lailatul Qadar. Sikap Nabi s.a.w. ini ditafsirkan sebagai suatu hikmah agar umat
Islam tidak mengkhususkan dalam memerbanyak ibadah hanya dalam satu
malam tertentu, tetapi terus-menerus melakukannya dalam sepuluh malam hari-
hari terakhir bulan puasa yang penuh barakah6
itu. Tetapi, karena perbedaan
tersebut, maka di negeri kita ada sesuatu yang amat unik (tidak terdapat di
negeri Islam lain mana pun), yaitu bahwa Nuzûlul Qurân adalah Sesuatu yang
berbeda dengan Lailatul Qadar, yang selalu diperingati setiap tanggal 17
Ramadhan dengan satu asumsi bahwa saat itulah turunnya (wahyu) al-Quran
dan seolah-olah tidak disadari bahwa saat turunnya (wahyu) al-Quran itu
bertepatan dengan Lailatul Qadar yang disebutkan di dalam al-Quran, yang
kepastian hari dan tanggalnya tidak pernah secara eksplisit disebutkan baik di
dalam al-Quran maupun hadits.
Sudah tentu tradisi peringatan resmi Nuzûlul Qurân itu adalah sesuatu
yang –- dalam perspektif dakwah – “baik”, dan oleh karenanya layak
dipertahankan. Sebab telah terbukti membawa hikmah yang amat bermakna
bagi kehidupan sosial-keagamaan kita. Namun adanya perbedaan tersebut ada
baiknya dicari penyelesaiannya, dengan mencari titik-temu, sehingga tidak
‘mengganggu’ kekhidmatan umat Islam dalam memaknai peringatan Nuzûlul
Qurân setiap tahun .
6
Makna barakah dimaknai oleh para ulama sebagai kebaikan yang banyak dan
bersifat kontinyu atau berkesinambungan.
7. 7
Agaknya ada perbedaan tafsiran tentang apa yang sebenarnya yang
diturunkan Allah pada hari yang menentukan atau Perang Badar sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah SWT (terkutip di atas). Penjelasan Ibn Katsir,
dalam kitab tafsirnya, mengesankan pengertian bahwa yang diturunkan Allah
pada Perang Badar ialah ketentuan tentang pembagian harta rampasan perang,
bukan al-Quran itu sendiri secara keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang
penerjemah al-Quran ke dalam Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui
cukup otoritatif oleh sebagian peminat studi al-Quran, mengisyaratkan bahwa
memang yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan (yaum al-furqân) itu
adalah al-Quran itu sendiri, mungkin dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn
Abbas terkutip di atas. Isyarat A. Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan
apa makna al-Furqân (penentu atau pembeda antara yang benar dan yang palsu)
dengan melakukan rujukan silang (cross reference) kepada ayat-ayat di tempat lain
dalam al-Quran.
Dalam Surat al-Qadr yang diterjemahkan di atas terbaca ayat yang
terjemahnya: “pada malam itu, turun para malaikat dan Rûh dengan izin Tuhan
mereka, membawa segala perkara”. Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang
apa yang dimaksud "Rûh" dengan amr (segala perkara). Muhammad Asad,
seorang penerjemah dan penafsir al-Quran yang juga memiliki otoritas,
mengartikan Rûh dalam firman Allah SWT itu tidaklah sebagai Rûh Qudûs atau
Malaikat Jibril, tetapi wahyu itu sendiri atau ilham (bagi yang bukan nabi)
dalam “makna” yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.
Wallâhu A’lam.
(Dikutip dan diselaraskan dari berbagai situs internet, dengan rujukan awal
http:/www.media.isnet.org)