1. 1
Nama/ NIM : Muh. Faishal Nur Kamal/ 13.7740
Jurusan/ Peminatan : Statistika / Sosial dan Kependudukan
Judul : Faktor-faktor yang Memengaruhi Value-Action Gap pada
Implementasi Kesadaran Lingkungan Hidup Masyarakat di Indonesia (Analisis
Data Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup Tahun 2013)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Lingkungan Hidup
Menurut UU No. 32 Tahun 2009, lingkungan hidup merupakan kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia
dan perilakunya, yang memengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain. Sementara itu menurut Soemarwoto (1977), lingkungan
hidup adalah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang ditempati
manusia serta dapat mempengaruhi kehidupan manusia (Siahaan, 2004, hal. 4).
Danusaputro (1980) dalam Siahaan (2004) menambahkan, “lingkungan hidup
adalah semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan memengaruhi
hidup serta kesejahteraan manusia dalam jasad hidup lainnya” (hal. 4). Maka dari
itu, dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan
2. 2
semua benda, yang dapat memengaruhi kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
Perilaku Peduli Lingkungan Hidup
Menurut Sunaryo (2002), “dari sudut pandang biologis, perilaku adalah
suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan, yang dapat diamati
secara langsung maupun tidak langsung” (hal. 3). Sementara itu, menurut Kwick
(1974) dalam Notoatmodjo (1997) yang dikutip oleh Sunaryo (2002), “perilaku
adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan
dapat dipelajari” (hal. 3). Di sisi lain, Dunlap dan Jones (2002) menyatakan bahwa
kepedulian lingkungan hidup adalah tingkat kesadaran seseorang akan
permasalahan lingkungan hidup dan kepedulian serta dukungan orang tersebut
dalam memberikan solusi atas permasalahan lingkungan hidup tersebut (Martinez,
2013, hal. 3). Ester (1981) menambahkan, kepedulian lingkungan hidup
mempunyai arti yang hampir sama dengan sikap terhadap lingkungan hidup dan di
dalamnya terdiri dari aspek kognitif (kesadaran), afektif (kepedulian) dan
psikomotorik (perilaku) terhadap lingkungan hidup (Martinez, 2013, hal. 5). Oleh
karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku peduli lingkungan hidup adalah
suatu kegiatan, aktivitas, atau tindakan yang menunjukan kesadaran dan kepedulian
seseorang terhadap permasalahan lingkungan hidup.
3. 3
Pengetahuan Perilaku Peduli Lingkungan Hidup
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan adalah
segala sesuatu yang diketahui. Menurut Suriasumantri (2003) dalam kutipan Sakti
(2011), “pengetahuan adalah segenap apa yang diketahui manusia tentang suatu
objek tertentu termasuk didalamnya ilmu yang akan memperkaya khasanah
mentalnya baik secara langsung ataupun tidak langsung” (hal. 68). Sementara itu
menurut Notoatmodjo (2003) dalam Sutarno dan Utama (2012), pengetahuan
adalah “hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu, sehingga individu tahu apa yang dilakukan dan bagaimana
melakukannya” (hal. 137). Menurut Notoadmodjo (2003) dalam Udiutomo (2011),
“unsur-unsur pengetahuan dalam diri manusia terdiri dari pengertian dan
pemahaman tentang apa yang dilakukannya, keyakinan dan kepercayaan tentang
manfaat kebenaran dari apa yang dilakukannya, sarana yang diperlukan untuk
melakukannya serta dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh
kebutuhan yang dirasakannya” (hal. 6). Sementara itu, perilaku peduli lingkungan
hidup seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah suatu kegiatan, aktivitas,
atau tindakan yang menunjukan kesadaran dan kepedulian seseorang terhadap
permasalahan lingkungan hidup. Oleh karena itu, pengetahuan perilaku peduli
lingkungan hidup dapat diartikan sebagai segenap apa yang diketahui manusia atas
suatu kegiatan, aktivitas, atau tindakan yang menunjukan kesadaran dan kepedulian
terhadap permasalahan lingkungan hidup
4. 4
Kesadaran Lingkungan Hidup
Menurut Poedjawijatna (1986) dalam Neolaka (2008) yang dikutip oleh
Rahmawati dan Suyanto (2016), kesadaran adalah “pengetahuan, sadar dan tahu,
sehingga ketika seseorang sadar maka akan tergugah jiwanya untuk melakukan
sesuatu” (hal. 2). Menurut Ritonga (2011) dalam Putra et al. (2014) kesadaran
adalah “perilaku atau sikap terhadap suatu objek yang melibatkan anggapan dan
perasaan serta kecenderungan untuk bertindak sesuai objek tersebut” (hal. 4).
Sementara itu, menurut Szagun dan Pavlov (1995) dengan mengutip Arcury dan
Johnson (1987), Borden dan Schettino (1979), Fietkau (1984), dan Maloney dan
Ward (1973), kesadaran lingkungan hidup merupakan istilah yang di dalamnya
meliputi pengetahuan faktual tentang lingkungan hidup, sikap afektif dan perilaku
terhadap permasalahan lingkungan hidup, serta nilai-nilai terkait lingkungan hidup.
Arty (2005) menambahkan, “kesadaran lingkungan hidup mencakup banyak segi,
antara lain segi kognitif (pengetahuan dan ketrampilan), segi afektif (sikap), dan
segi perilaku seseorang ketika terlibat dalam aksi lingkungan secara perorangan
atau kelompok” (hal. 387-388). Menurut M.T Zen (1985) dalam Neolaka (2008)
yang dikutip oleh Nugraha (2015), kesadaran lingkungan hidup adalah “usaha
melibatkan setiap warga negara dalam menumbuhkan dan membina kesadaran
untuk melestarikan lingkungan berdasarkan tata nilai, yaitu tata nilai dari pada
lingkungan itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai dengan alam
lingkungannya” (hal. 68). Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
kesadaran lingkungan hidup adalah tergugahnya jiwa untuk melakukan tindakan
demi melestarikan lingkungan hidup yang didasarkan oleh pengetahuan, sikap dan
perilaku yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidup.
5. 5
Hubungan Pengetahuan, Sikap, Perilaku, dan Kesadaran Lingkungan Hidup
Hubungan antara pengetahuan sikap dan perilaku peduli lingkungan hidup
telah dikemukakan sejak awal 1970 an melalui US Linear Model. US Linear Model
menjelaskan bahwa pengetahuan lingkungan hidup yang dimiliki seorang individu
akan mengarahkan individu tersebut ke kesadaran dan sikap peduli terhadap
lingkungan hidup yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan individ u
tersebut berperilaku peduli lingkungan hidup (Kollmuss and Agyeman, 2002).
Bagan dari US Linear Model dapat dilihat di gambar 1 berikut.
Gambar 1. US Linear Model.
Sumber : Kollmuss and Agyeman, 2002, hal. 241.
Konsep diatas sesuai dengan penelitian Bradley et al. (1999) yang
menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara pengetahuan lingkungan hidup
dengan sikap lingkungan hidup. Hines et al. (1986) menambahkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan positif antara pengetahuan dan perilaku terkait
lingkungan hidup. Selain itu, menurut Kollmus dan Agyeman (2002), pengetahuan,
nilai-nilai, dan sikap terhadap lingkungan hidup bersama-sama dengan keterlibatan
emosional membentuk suatu hal yang kompleks yang dinamakan kesadaran
lingkungan hidup. Kesadaran lingkungan hidup tersebut lah yang dapat menjadi
pendorong seseorang untuk berperilaku peduli lingkungan hidup.
Environmental
Knowledge
Environmental
Attitude
Pro-Environmental
Behavior
6. 6
Adapun pada kenyataannya, hubungan antara pengetahuan, sikap dan
perilaku peduli lingkungan hidup tidak selinear yang ditunjukkan oleh US Linear
Model, tetapi ada faktor-faktor penghambat yang kemudian menyebabkan
terjadinya suatu ketidaksesuaian (discrepancy) pada perilaku sebagai muara
akhirnya. Frederiks et al. (2015a) dengan mengutip Sigo dan Jameson (2000),
Kennedy et al. (2004), Hall dan Rogers (2002), Blake (1999), Boulstridge dan
Carrigan (2000), Flynn et al (2010), Kennedy et al. (2009), Sheeran (2011) dan
Sheeran (2003) mengungkapkan beberapa istilah ketidaksesuaian yang ada dalam
ruang lingkup pembahasan perilaku manusia, di antaranya meliputi knowledge-
action gap, value-action gap, attitude-action gap, dan intention-action gap. Terkait
dengan pengetahuan dan perilaku peduli lingkungan hidup, Frederiks et al. (2015b)
menambahkan dengan mengutip Hall dan Rogers (2002), bahwa pengetahuan,
kesadaran, dan pemahaman tentang isu-isu lingkungan hidup, tidak selalu
mengarahkan seorang individu untuk konsisten berperilaku peduli lingkungan
hidup, tetapi sebaliknya seringkali ditemukan adanya knowledge-action gap
sedemikian rupa sehingga meningkatnya pengetahuan dan kesadaran lingkungan
hidup tersebut tidak selalu diterjemahkan ke perubahan perilaku yang bersesuaian
dikarenakan adanya pengaruh berbagai faktor yang membatasi atau memfasilitasi.
Knowledge-Action Gap
Menurut Lebel (2011), knowledge-action gap adalah ketidaksesuaian antara
pemahaman atas suatu masalah dan tindakan yang diambil terkait masalah tersebut.
Dede et al. (2005) dengan mengutip Perkins (2003) serta Pfeffer dan Sutton (2000)
7. 7
mendefinisikan knowled-action gap sebagai kesenjangan antara pemahaman saat
praktek terbaik dan praktek yang sebenarnya. Urban Sustainability Directors
Network (USDN) menambahkan, knowledge-action gap secara luas dapat diamati
dalam masyarakat yang mayoritas sadar akan konsekuensi dari keputusan yang
mereka ambil atas suatu masalah, tetapi masih bertindak sebaliknya dari yang
seharusnya dilakukan.
Adapun knowledge-action gap juga berkaitan dengan suatu konsep
berkelanjutan (sustainability). Menurut Sadusky (2014), keberlanjutan dari suatu
lingkungan hidup bergantung pada perubahan perilaku, perubahan perilaku tersebut
di antaranya dengan mendorong tindakan-tindakan sadar lingkungan yang dapat
mengurangi dampak buruk pada lingkungan hidup. Namun, menurut Sadusky
dengan mengutip Barr (2006), memiliki pengetahuan tentang perilaku-perilaku
yang mendukung keberlanjutan lingkungan hidup tidaklah cukup, sebab pada
kenyataannya pengetahuan tersebut belum tentu secara otomatis mengarahkan pada
perilaku-perilaku yang mendukung keberlanjutan lingkungan hidup. Maka dari itu,
dapat disimpulkan bahwa knowledge-action gap merupakan ketidaksesuaian antara
pemahaman dan pengetahuan mengenai suatu masalah dengan tindakan atau
praktek yang masih berkebalikan dengan pemahaman dan pengetahuan tersebut.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Knowledge-Action Gap
Knowledge-action gap dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya
terkait dengan niat atau intensi untuk bertindak (intention to act). Hines et al. (1986-
1987) mengungkapkan dalam model of predictors environmental behavior yag
8. 8
dapat dilihat di gambar 2, bahwa intensi berkaitan langsung dengan keputusan
seseorang untuk berperilaku peduli lingkungan hidup. Faktor-faktor yang
memengaruhi intensi diantaranya adalah pengetahuan tentang isu-isu atau
permasalahan lingkungan hidup (knowledge of issues), pengetahuan tentang
tindakan strategis (knowledge of action strategies), dan keterampilan dalam
bertindak (action skills), serta sikap (attitudes),locus of control dan tanggung jawab
pribadi (personal responsibility) yang merupakan bagian dari personality factors.
Selain intensi, Hines juga menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang turut
berpengaruh langsung terhadap perilaku peduli lingkungan hidup dan menyebut nya
sebagai faktor-faktor situasional (situational factors). Di sisi lain, Kollmuss dan
Agyeman (2002) dengan mengutip dari Preuss (1991) mengungkapkan bahwa
terdapat faktor kebiasaan (habit) yang memengaruhi kesediaan seseorang untuk
bertindak (concrete willingness to act). Menurut Kollmus dan Agyeman, kebiasaan
tersebut juga merupakan penghalang yang paling kuat dalam berperilaku peduli
lingkungan hidup.
Attitudes
Locus of Control
Personal
Responsibility
Personality
Factors
Knowledge
of Issues
Knowledge of
Action Strategies
Action Skills
Intention
to Act
Situational
Factors
Pro-
Environmental
Behavior
9. 9
Gambar 2. Model of predictors environmental behavior (Hines et al., 1986-1987).
Sumber : Kollmuss and Agyeman, 2002, hal. 244.
Dalam penelitian ini, faktor-faktor di atas akan dibatasi dan disesuaikan
dengan data SPPLH 2013 sehingga diperoleh beberapa variabel. Variabel-variabel
tersebut di antaranya berupa variabel-variabel mengenai sumber informasi terkait
lingkungan hidup rumah tangga sebagai pendekatan dari faktor pengetahuan
tentang isu-isu dan permasalahan lingkungan hidup, pengetahuan tentang tindakan
strategis, dan keterampilan dalam bertindak, kemudian variabel-variabel mengenai
sikap rumah tangga terhadap lingkungan hidup sebagai pendekatan dari faktor
sikap, variabel-variabel mengenai kepemilikan properti sebagai pendekatan dari
faktor tanggung jawab pribadi, variabel-variabel kebiasaan merokok dan
membuang sampah sebagai pendekatan dari faktor kebiasaan, dan variabel-variabel
sosial, ekonomi, dan demografi serta situasi di sekitar rumah tangga sebagai
pendekatan dari faktor situasional.
Hubungan Masing-masing Faktor terhadap Knowledge-Action Gap
Sumber Informasi terkait Lingkungan Hidup
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap knowledge-action gap adalah
informasi. Hal ini sesuai dengan model of predictors environmental behavior oleh
Hines et al. (1986-1987) yang telah disampaikan sebelumnya bahwa apabila
seseorang telah memiliki pengetahuan yang cukup, tetapi tidak memiliki intensi
untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya tersebut, maka akan
10. 10
terjadi suatu ketidaksesuaian berupa knowledge-action gap. Dalam model of
predictors environmental behavior, intensi dapat dipengaruhi oleh beberapa jenis
pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari suatu sumber
informasi. Menurut Suryantini (2004), informasi adalah “sesuatu yang
disampaikan, dapat berupa berita, kata, atau pengetahuan; pengetahuan tersebut
diperoleh dari investigasi, studi, atau instruksi” (hal. 17). Informasi terkait
lingkungan hidup dapat diperoleh dari berbagai sumber, di antaranya melalui
penyuluhan atau pelatihan terkait lingkungan hidup dan berbagai media informasi
baik elekronik maupun non elektronik. Namun dalam prakteknya, penerimaan
mengenai informasi tersebut dapat berbeda-beda. Suryantini dengan mengutip
Evans (2000) mengungkapkan bahwa “setiap orang mempunyai pola pemahaman
yang berbeda terhadap suatu informasi” (hal. 17). Hal ini akan memungkinkan
terjadinya aliran informasi yang tidak sempurna sehingga pengetahuan yang
didapat dari informasi tersebut dapat berbeda dari yang seharusnya. Berkaitan
dengan knowledge-action gap, semakin banyak sumber informasi terkait
lingkungan hidup yang dimiliki, maka pemahaman yang terbentuk akan semakin
baik sehingga diharapkan akan tumbuh kesadaran mengenai perilaku peduli
lingkungan hidup yang benar-benar harus dilakukan sehingga dapat meminimalkan
resiko terjadinya knowledge-action gap.
Sikap terhadap Lingkungan Hidup
Secara umum, menurut Gerungan (2004) dalam Afiah dan Purnamasari
(2012) sikap adalah “suatu pandangan atau perasaan yang disertai oleh
11. 11
kecenderungan untuk bertindak (hal. 2). Terkait dengan lingkungan hidup,
Manzanal et al. (2007) menerangkan dari sudut pandang psikososial dengan
mengutip pernyataan Schultz (2001) serta Stern dan D´ıez (1994) bahwa sikap
peduli lingkungan hidup berfokus pada keyakinan tentang konsekuensi kerusakan
lingkungan yang mungkin terjadi bagi diri sendiri, manusia lainnya, atau biosfer.
Kaiser et al. (1999) menambahkan bahwa sikap peduli lingkungan hidup
merupakan prediktor yang kuat untuk menggambarkan perilaku peduli lingkungan
hidup. Dalam model of predictors environmental behavior oleh Hines et al. (1986-
1987) sikap juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi intensi untuk
bertindak. Berdasarkan hal tersebut, berkaitan dengan knowledge-action gap,
apabila sikap seseorang telah menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidup,
maka kecenderungan untuk berperilaku peduli lingkungan hidup akan semakin
besar dan gap yang terbentuk akan semakin kecil karena perilaku peduli lingkungan
hidup yang dilakukan akan bersesuaian dengan pengetahuan perilaku peduli
lingkungan hidup yang dimiliki.
Kepemilikan Properti
Menurut KBBI, properti adalah harta berupa tanah dan bangunan serta
sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanah /
bangunan yang dimaksudkan. Menurut Wicaksono (2009), properti adalah “hak
untuk memiliki sebidang tanah dan memanfaatkan apa saja yang ada di dalamnya”
(hal. 8). Terkait kepemilikan properti sebagai pendekatan dari tanggung jawab
pribadi, Blake (1999) menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak memiliki properti
12. 12
sendiri tidak melihat alasan atau keharusan agar mereka turut bertanggung jawab
terhadap peningkatan dan perbaikan kualitas lingkungan hidup di sekitar rumah
yang mereka anggap tidak akan selalu menguntungkan bagi mereka secara
langsung. Ahmad et al. (2012) menambahkan, ketika seorang individu tidak
memiliki properti yang mengharuskan mereka berperan lebih, maka hal tersebut
akan menghambatnya untuk lebih berperilaku peduli lingkungan hidup. Properti
dalam hal ini diartikan sebagai rumah atau lahan yang dipergunakan untuk
mendukung terciptanya kelestarian lingkungan hidup. Seseorang yang memiliki
hak milik atas rumah dan tanahnya sendiri (bukan kontrak, indekos atau sewa),
memiliki keleluasaan yang lebih untuk mengatur rumah dan tanah yang
dimilikinya. Selain itu, lahan sisa yang tidak didirikan bangunan di atasnya dapat
dimanfaatkan untuk ditanami tanaman atau pohon serta dapat dipergunakan untuk
area terbuka yang berfungsi sebagai tempat resapan air. Maka dari itu, terkait
dengan knowledge-action gap, apabila seorang individu memiliki hak atas
propertinya (rumah atau tanah) sendiri, menanam tanaman atau pohon di sekitar
rumah, dan menyediakan ruang terbuka untuk area resapan air, maka diharapkan
hal tersebut menjadi dorongan agar perilaku peduli lingkungan hidup yang
dilakukannya bersesuaian dengan pengetahuan perilaku peduli lingkungan hidup
yang dimiliki dan pada akhirnya, gap yang terjadi semakin mengecil.
Kebiasaan
Menurut Siagian (2012), kebiasaan adalah “serangkaian perbuatan
seseorang secara berulang-ulang untuk hal yang sama dan berlangsung tanpa proses
13. 13
berfikir lagi” (hal. 126). Menurut Koejaraningrat (1992) dalam Ningsi et al. (2010)
“suatu sikap dan kebiasaan adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam
jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya, baik
lingkungan manusia, masyarakat, ataupun lingkungan alamiahnya, maupun
lingkungan fisiknya” (hal. 36). Kebiasaan yang sudah tertanam dalam diri
seseorang dapat menjadi penghalang bagi dirinya untuk berperilaku peduli
lingkungan hidup. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya oleh Kollmus dan
Agyeman dengan mengutip Preuss (1991), bahwa faktor kebiasaan dapat
memengaruhi kesediaan seseorang untuk bertindak. Hal ini dapat dicontohkan pada
seseorang yang tahu bahwa membuang sampah ke sungai atau membuang sampah
sembarangan adalah hal yang salah, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang
sering dilakukan hal tersebut akan menghalanginya dari perilaku peduli lingkungan
hidup yang benar yaitu membuang sampah pada tempatnya. Hal yang sama juga
terjadi pada kebiasaan merokok. Beragam informasi sudah jelas menerangkan
bahwa asap rokok berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup sekitar. Namun
karena sudah menjadi kebiasaan, bahaya tersebut seakan-akan diabaikan begitu saja
oleh para perokok. Hal ini menggambarkan bahwa kebiasaan yang salah atau tidak
baik, dapat menyebabkan terjadinya gap antara pengetahuan yang dimiliki dengan
perilaku peduli lingkungan hidup yang dilakukan.
Karakteristik Sosial, Ekonomi, dan Demografi
Menurut KBBI, sosial didefinisikan sebagai hal yang berhubungan dengan
kemasyarakatan. Sementara itu, menurut Hauser dan Duncan (1991) dalam Mantra
14. 14
(2000) yang dikutip oleh Hasibuan (2014) demografi didefiniskan sebagai “ilmu
yang mempelajari jumlah, persebaran, teritorial, komposisi penduduk dan
perubahan serta sebab-sebabnya yang biasa timbul karena kelahiran, kematian,
migrasi, dan mobilitas sosial” (hal.27), sedangkan ekonomi menurut Sardono
Sukirno (2009) dalam Mardiatun (2015) didefinisikan sebagai “ilmu yang mengatur
rumah tangga” (hal.10). Dalam suatu riset atau penelitian, sosial, ekonomi, dan
demografi seringkali diteliti sebagai suatu karakteristik dari individu, rumah tangga,
atau masyarakat yang menjadi sampel.
Menurut Kotler dan Amstrong (2001) dalam Bhestari et al. (2016),
karakteristik sosial demografi adalah “ciri yang menggambarkan perbedaan
masyarakat berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, agama, suku
bangsa, pendapatan, jenis keluarga, status pernikahan, lokasi geografis, dan kelas
sosial” (hal. 31). Sementara itu, karakteristik ekonomi menurut Dia (2015)
merupakan penggambaran atau pengelompokkan berdasarkan aspek ekonomi yang
meliputi aktivitas ekonomi, jenis pekerjaan, status pekerjaan, lapangan pekerjaan
dan pendapatan”. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa karakteristik sosial,
ekonomi, dan demografi adalah penggambaran atau pengelompokkan berdasarkan
aspek sosial, ekonomi dan demografi yang secara umum meliputi usia, jenis
kelamin, aktivitas ekonomi, jenis pekerjaan, status pekerjaan, lapangan pekerjaan,
pendidikan, agama, suku bangsa, pendapatan, jenis keluarga, status pernikahan,
lokasi geografis, dan kelas sosial. Terkait dengan knowledge-action gap, salah
satunya dicontohkan oleh penelitian Ibok dan Etuk (2014) dengan mengutip dari
Harsen dan Juslin (2003) serta Hailes (2007) yang menunjukkan bahwa perilaku
peduli lingkungan hidup tentang konsumsi yang ramah lingkungan secara umum
15. 15
dilakukan oleh mereka yang memiliki karakteristik perempuan, usia menengah,
pendidikan yang tinggi, dan memiliki status sosial dan ekonomi di atas rata-rata.
Maka dari itu, karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi dapat digunakan untuk
melihat perbedaan karakteristik dari rumah tangga yang mengalami knowledge-
action gap dan rumah tangga yang tidak mengalami knowledge-action gap.
Situasi di Sekitar Rumah Tangga
Situasi di sekitar rumah tangga dapat menjadi salah satu faktor yang
mendorong seseorang untuk lebih berperilaku peduli lingkungan hidup. Situasi
tersebut salah satunya terkait dengan keberadaan kebijakan mengenai kepedulian
lingkungan hidup di sekitar rumah tangga dan dampak dari adanya polusi atau
limbah yang dirasakan oleh rumah tangga. European Comission (2012) dengan
mengutip Lehner et al. (2011) mengungkapkan bahwa kebijakan lingkungan hidup
memiliki peran dalam mendukung dan mendorong perilaku peduli lingkungan
hidup. Kebijakan tersebut di antaranya dapat dimulai dari hal yang sederhana
seperti penyelenggaraan kerja bakti dan gotong royong di sekitar rumah. Di
samping itu, keberadaan polusi atau limbah di sekitar rumah tangga dapat menjadi
faktor yang turut berpengaruh. Sebagai contoh, Maria Nilsson dan Rikard Kuller
(2000) mengungkapkan dengan mengutip dari studi Garling dan Sandberg (1990)
bahwa meningkatnya polusi akan mengurangi keinginan untuk mengemudi. Hal ini
mengindikasikan, dengan adanya polusi bisa menyebabkan seseorang untuk lebih
berperilaku peduli lingkungan hidup dengan mengurangi keinginan untuk
mengemudikan kendaraan pribadi dan lebih beralih kepada kendaraan umum.
16. 16
Berkaitan dengan knowledge-actiongap, dengan adanya suatu dorongan dari situasi
di sekitar rumah tangga, baik itu dorongan positif seperti kegiatan kerja bakti atau
dorongan negatif seperti adanya polusi atau limbah, gap yang terbentuk pada
knowledge-action gap diharapkan akan semakin mengecil.
2.2 Penelitian Terkait
Abbas dan Singh (2012) melakukan suatu penelitian dengan judul A Survei
of Environmental Awareness, Attitude, and Participation amongst University
Students : A Case Studi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan dan kesadaran lingkungan hidup dari mahasiswa, perilaku terhadap
lingkungan hidup, serta tingkat partisipasi mereka dalam perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup. Sumber data yang digunakan adalah data primer
dengan metode penarikan sampel stratified random sampling. Analisis yang
digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
tingginya tingkat pengetahuan lingkungan hidup dan sikap yang positif terhadap
lingkungan hidup dari mahasiswa. Namun, tingkat partisipasi mahasiswa dalam
perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup terhitung rendah sehingga dapat
disimpulkan terdapat faktor lain selain pengetahuan dan kesadaran lingkungan
hidup yang dapat mendorong partsipasi aktif mahasiswa dalam perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Ahmad, Noor dan Ismail (2015) dengan
judul Investigating Students’ Environmental Knowledge, Attitude, Practice and
Communication. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
17. 17
pengetahuan, sikap dan praktek siswa tentang lingkungan hidup dan komunikasi
tentang lingkungan hidup yang efektif. Penelitian ini mengumpulkan data dari 895
sampel siswa dari 16 institut pendidikan tinggi di Malaysia menggunakan survei
Knowledge, Action, Practice (KAP) yang dilaksanakan sebagai bagian dari
kampanye kesadaran lingkungan hidup dari Universiti Sains Malaysia. Sampel
sendiri dipilih secara non-probabiliity dengan keikutsertaan secara sukarela.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis korelasi dan regresi linier
sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum siswa memiliki
tingkat pengetahuan dan sikap yang baik terhadap lingkungan hidup, namun dalam
praktek tentang lingkungan hidup masih kurang baik, hal ini dibuktikan dengan
hubungan yang siginifikan positif namun lemah antara pengetahuan dan praktek
tentang lingkungan hidup serta antara sikap dan praktek tentang lingkungan hidup.
Selain itu, terkait dengan komunikasi yang paling efektif tentang lingkungan hidup,
diketahui bahwa media internet merupakan media yang paling banyak dipilih siswa
untuk mendapatkan informasi tentang lingkungan hidup.
Suatu penelitian dilakukan oleh Ito (2016) dengan judul Underlying Gaps
between Environmental Knowledge and Behavior in the City of Toyota. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis gap yang terjadi antara pengetahuan dan perilaku
peduli lingkungan hidup di kota Toyota, jepang. Penelitian ini dilatarbelakangi
studi sebelumnya yang menyatakan bahwa pengetahuan lingkungan hidup
penduduk kota Toyota meningkat semenjak pemerintah Jepang menjadikan kota
tersebut sebagai kota percontohan lingkungan hidup. Namun, penduduk kotanya
tidak terlihat berperilaku sesuai pengetahuan yang dimilikinya. Sampel dalam
penelitian ini adalah anggota dari organisasi non-profit tentang lingkungan hidup
18. 18
yang berkantor di Toyota yang dipilih secara non-probability. Pengumpulan data
dilakukan secara focus group interview yang membahas mengenai permasalahan
gap antara pengetahuan dan perilaku. Hasil focus group interview menunjukkan
bahwa gap yang terjadi atau alasan penduduk Toyota tidak berperilaku lingkungan
hidup adalah disebabkan oleh faktor ekologis dan ekonomi dan beberapa faktor
lainnya seperti faktor keamanan dan kenyamanan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rabbi dan Dey (2013) yang
menyoroti masalah knowledge-action gap dengan fokus di bidang kesehatan.
Penelitian berjudul Exploring the Gap between Hand Washing Knowledge and
Practices in Bangladesh : a Cross-Sectional Comparativestudy ini bertujuan untuk
membandingkan pengetahuan mencuci tangan dan praktek yang sebenarnya
dilakukan pada program Bangladesh Rural Advancement Committee (BRAC)
WASH yang berfokus pada kebersihan dan perubahan perilaku demi mencapai
tujuan pembangunan millennium atau Millenium Development Goals. Studi ini
membandingkan tiga survei cross-sectional yaitu baseline (2006), midline (2009),
dan end-line (2011) di 50 kecamatan yang menjadi tempat dilaksanakannya
program BRAC WASH tahap pertama. Masing-masing survei dilakukan
pengambilan sampel secara dua tahap, yaitu cluster sampling di tahap pertama dan
systematic sampling di tahap kedua sehingga didapatkan 29.985 rumah tangga pada
survei baseline, 29.885 rumah tangga pada survei midline dan 26.404 rumah tangga
pada survei end-line. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan
kuesioner yang telah diuji sebelumnya. Respondennya berupa anggota Keluarga
perempuan dewasa yang mempunyai pengetahuan mengenai aktivitas sehari-hari
rumah tangga mengenai air, sanitasi dan kebersihan. Untuk membandingkan ketiga
19. 19
survei (baseline, midline, dan end-line), digunakan uji chisquare untuk melihat
signifikansi perbedaan indikator antar tahun. Untuk melihat faktor-faktor yang
berhubungan dengan praktek mencuci tangan digunakan Generalized Linear
Model. Hasil penelitian menunjukkan kesenjangan antara pengetahuan dan praktek
masih terjadi dalam praktek cuci tangan. Selain itu, hasil dari Generalized Linear
Model menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial ekonomi termasuk pendidikan
kepala rumah tangga dan responden, ketersediaan air, dan akses ke media memiliki
hubungan positif yang kuat dengan praktek mencuci tangan dengan sabun.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Kumurur (2008) dengan judul
Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan
terhadap Lingkungan Hidup Kota Jakarta. Dilatarbelakangi oleh permasalahan
lingkungan hidup yang kompleks di Jakarta, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan kepedulian atau perilaku mahasiswa
ilmu lingkungan terhadap lingkungan hidup di Jakarta kemudian menguji hubungan
antara jenis kelamin dan umur terhadap pengetahuan, sikap, dan kepedulian
mahasiswa ilmu lingkungan terhadap lingkungan hidup di Jakarta. Populasi yang
diteliti adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dan
mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Sampel
diambil berdasarkan metode cluster random sampling sehingga didapatkan sampel
sejumlah 106 mahasiswa. Metode analisis yang digunakan adalah Chi Square. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan
dan sikap yang baik terhadap lingkungan hidup, namun kepedulian terhadap
lingkungan hidup masih rendah. Jenis kelamin hanya mempunyai hubungan yang
signifikan dengan pengetahuan tentang lingkungan hidup. Umur hanya mempunyai
20. 20
hubungan signifikan dengan kepedulian atau perilaku terhadap lingkungan hidup.
Pengetahuan mempunyai hubungan signifikan dengan sikap dan kepedulian atau
perilaku, tetapi sikap tidak berhubungan dengan kepedulian atau perilaku terhadap
lingkungan hidup di Jakarta.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Akhtar dan Soetjipto (2014) dengan
judul Peran Sikap dalam Memediasi Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku
Minimisasi Sampah pada Masyarakat Terban, Yogyakarta. Dilatarbelakangi oleh
kondisi lingkungan hidup di Indonesia yang memprihatinkan dikarenakan perilaku
manusia dan fakta bahwa pengetahuan lingkungan hidup yang sudah baik ternyata
tidak sejalan dengan perilaku peduli lingkungan hidup, penelitian ini berfokus pada
salah satu perilaku peduli lingkungan hidup yaitu perilaku minimisasi sampah dan
bertujuan untuk melihat pola hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku
dalam minimisasi sampah. Populasi penelitian adalah orang dewasa berusia 20-60
tahun di RW 02 dan RW 11 Kelurahan Terban, Gondokusumo, Yogyakarta, dengan
sampel sebanyak 105 orang (tidak disebutkan metode penarikan sampelnya).
Metode analisis yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis) dan Sobel Test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pegetahuan tidak langsung
meningkatkan perilaku secara signifikan. Terdapat efek tidak langsung
pengetahuan terhadap perilaku minimisasi sampah melalui sikap terhadap
minimisasi sampah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap minimisasi
sampah memediasi pengaruh pengetahuan terhadap perilaku minimisasi sampah.
21. 21
2.3 Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori dan penelitian terkait, maka secara umum
knowledge-action gap adalah perbedaan atau ketidaksesuaian yang terjadi antara
pengetahuan dan perilaku. Fokus dalam penelitian ini adalah pada ketidaksesuaian
antara pengetahuan dan perilaku peduli lingkungan hidup dari rumah tangga
sebagai variabel terikat (dependent). Selain mengidentifikasi knowledge-action
gap, akan dilakukan juga analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi knowledge-action gap tersebut. Variabel-variabel yang akan diteliti
sebagai variabel bebas (independent) antara lain variabel-variabel sumber informasi
terkait lingkungan hidup rumah tangga sebagai pendekatan dari faktor pengetahuan
tentang isu-isu dan permasalahan lingkungan hidup, pengetahuan tentang tindakan
strategis, dan keterampilan dalam bertindak, kemudian variabel-variabel sikap
rumah tangga terhadap lingkungan hidup sebagai pendekatan dari faktor sikap,
variabel-variabel kepemilikan properti sebagai pendekatan dari faktor tanggung
jawab pribadi, variabel-variabel kebiasaan merokok dan membuang sampah
sebagai pendekatan dari faktor kebiasaan, dan variabel-variabel sosial, ekonomi,
dan demografi serta situasi di sekitar rumah tangga sebagai pendekatan dari faktor
situasional. Oleh karena itu, untuk menggambarkan hubungan antar variabel
tersebut maka dapat disusunlah kerangka pikir sebagai berikut seperti yang tertera
pada gambar 3.
22. 22
Keterangan :
Menunjukkan pengaruh
Menunjukkan kesesuaian
Gambar 3. Kerangka Pikir
Sumber : Di adaptasi dari Hines et al., 1986-1987; Preuss, 1991; Blake, 1999;
Kollmuss dan Agyeman, 2002
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini
dapat dinyatakan sebagai berikut :
1. Keberadaan faktor sumber informasi dapat memengaruhi dan memperkecil
kecenderungan untuk mengalami knowledge-action gap antara pengetahuan
dan perilaku peduli lingkungan hidup rumah tangga di Indonesia pada tahun
2013.
2. Keberadaan faktor sikap yang lebih peduli terhadap lingkungan hidup dapat
memengaruhi dan memperkecil kecenderungan untuk mengalami knowledge-
Pengetahuan
Knowledge-Action Gap
Perilaku
Sumber Informasi
Sikap
Kebiasaan
Tanggung Jawab
Pribadi
Situasional
23. 23
action gap antara pengetahuan dan perilaku peduli lingkungan hidup rumah
tangga di Indonesia pada tahun 2013.
3. Keberadaan faktor kebiasaan yang mencerminkan kepedulian terhadap
lingkungan hidup dapat memengaruhi dan memperkecil kecenderungan untuk
mengalami knowledge-action gap antara pengetahuan dan perilaku peduli
lingkungan hidup rumah tangga di Indonesia pada tahun 2013.
4. Keberadaan faktor tanggung jawab pribadi yang mencerminkan kepedulian
terhadap lingkungan hidup dapat memengaruhi dan memperkecil
kecenderungan untuk mengalami knowledge-action gap antara pengetahuan
dan perilaku peduli lingkungan hidup rumah tangga di Indonesia pada tahun
2013.
5. Faktor situasional berupa karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi dapat
memengaruhi knowledge-action gap antara pengetahuan dan perilaku peduli
lingkungan hidup rumah tangga di Indonesia pada tahun 2013.
6. Faktor situasional berupa keberadaan kegiatan kerja bakti dan adanya gangguan
polusi atau limbah di sekitar rumah tangga dapat memengaruhi dan
memperkecil kecenderungan untuk mengalami knowledge-action gap antara
pengetahuan dan perilaku peduli lingkungan hidup rumah tangga di Indonesia
pada tahun 2013.