1. 1
PENGELOLAAN KONFLIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh Jefril Rahmadoni
UIN STS Jambi
jefril.doni@gmail.com
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari konflik adalah sesuatu yang nyata dan
selalu kita jumpai. Sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil
untuk menghilangkan konflik di muka bumi ini. Konflik antar perorangan
dan antar kelompok merupakan bagian dari sejarah umat manusia.
Berbagai macam keinginan seseorang dan tidak terpenuhinya keinginan
tersebut dapat juga berakhir dengan konflik. Perbedaan pandangan antar
perorangan tidak dapat teratasi secara adil dan proporsional, maka hal itu
dapat menjadi konflik antar kelompok dalam masyarakat. Sebuah konflik
seiring berawal dari persoalan kecil dan sederhana. Perbedaan sikap dan
pendapat termasuk ketidakinginan untuk menerima orang lain, dapat
menyebabkan konflik antarperorangan dan sebagainya.1
Permasalahannya adalah era global yang mengakibatkan ketatnya
persaingan, maka di situlah terdapat suatu konflik. Dalam sekala kecil
sampai sekala besar, dari konflik pribadi ke konflik sosial kemasyarakatan
nampaknya susah untuk diabadikan. Di sisi lain dalam era global ini kita
tidak dapat hidup sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai institusi.
Sementara itu persaingan yang mengarahkan kepada individualistis atau
egoistis justru akan mempersempit ruang gerak kita. Oleh karena itu
problem selanjutnya adalah bukanlah kita harus bersaing untuk
menghindari persaingan, akan tetapi bagaimana kita dapat memenaje
konflik tersebut sehingga dapat menjadi suatu kerja sama yang produktif.
Pandangan beberapa ahli manajemen klasik menyatakan bahwa
semua konflik negatif tidak dapat dipertahankan, sehingga dalam
perkembangan selanjutnya konflik dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
1
Fatah Syukur, “Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah”, Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2011, hlm.159
2. 2
Konflik dipandang sesuatu yang alamiah, yang dalam batas-batas tertentu
dapat bernilai positif kalau dikelola dengan baik dan hati-hati, sebab jika
melewati batas juga dapat berakibat fatal.2
Mengingat bahwa konflik tidak
dapat dihindari, maka approach yang baik untuk diterapkan para
pengelola lembaga pendidikan adalah pendekatan mencoba
memanfaatkan konflik sedemikian rupa, sehingga dapat secara efektif
untuk mencapai sasaran sasaran yang diinginkan.3
Oleh karena itu,
seorang pemimpin dan anggota masyarakat harus memperhatikan konflik
agar tidak berakibat terhambatnya kemajuan dan sulitnya mencapai tujuan
yang akan diinginkan.
Dunia ini tidak memerlukan harapan yang radikal dan sederhana
untuk mengakhiri konflik. Apa yang diperlukan masyarakat sekarang ini
adalah manajemen koflik yang dengan cara tersebut dapat mengubah
kehidupan umat manusia. Konflik antarperorangan dan konflik antar
kelompok masyarakat perlu diolah dan dibuat menjadi kekuatan
seseorang dan masyarakat untuk menciptakan sebuah kehidupan baru di
dunia ini4
. Dengan kata lain fastabiq al khairot, berlomba-lomba dalam
kebaikan.
Konflik dapat diibaratkan “pedang bermata dua”. Di satu sisi dapat
bermanfaat jika digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, di sisi
lain dapat merugikan dan mendatangkan malapetaka jika digunakan untuk
bertikai atau berkelahi. Demikian halnya dalam sebuah organisasi,
meskipun kehadiran konflik sering menimbulkan ketegangan, tetap
diperlukan untuk kemajuan dan perkembangan organisasi. Dalam hal ini,
konflik dapat menjadi energi yang dahsyat jika dikelola dengan baik,
bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan perubahan, tetapi
2
Bashori, Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren Dan
Madrasah, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, hlm. 354
3
Ibid
4
Fatah Syukur, “Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah”, Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2011, hlm.160
3. 3
dapat menurunkan kinerja jika tidak dapat dikendalikan.5
Selain konflik
juga sebagai salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan
manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam.6
Diakui atau tidak wilayah lembaga pendidikan Islam, pondok
pesantren dan madrasah yang bernaungan dalam sebuah yayasan
memiliki kompleksitas persoalan, baik secara individu maupun kelompok.
Hal itu tentu akan berakibat terjadinya konflik yang dapat muncul setiap
saat dan dapat diakibatkan karena tidak adanya kesepahaman antar
individu maupun kelompok.
Berdasarkan dari problematika itu, maka menjadi sangat urgen
sebuah pola atau model penyelesaian manajemen konflik dalam lembaga
pendidikan Islam, yang tentu saja memiliki cara tersendiri dalam
memahami konflik dan cara me-manage konflik yang ada. Lembaga
pendidikan Islam seyogyanya harus mampu menjadi panutan sekaligus
role model dalam menghadapi konflik. Kompleksitas konflik yang terjadi
dalam dunia pendidikan Islam baik di pesantren maupun madrasah
tentunya berbeda, hal ini kemudian menjadi tolak ukur dalam
meningkatkan suatu lembaga pendidikan demi menghadapi tantangan
arus globalisasi dalam dunia pendidikan yang semakin kompetitif.
5
Bashori, Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren Dan
Madrasah, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, hlm. 355
6
Wirawan, “Manajemen Konflik Teori, Aplikasi, dan Penelitian”, Jakarta: Salemba,
2013, hlm. 1.
4. 4
B. Pembahasan
1. Konsep Dasar Pengelolaan / Manajemen Konflik dalam
Pendidikan
a. Pengertian Konflik dan Manajemen Konflik
1) Konflik
Kata “Konflik” berasal dari bahasa latin “confligo”, yang
terdiri atas dua kata, yakni con, yang berarti bersam-sama dan
filigo, yang berarti pemogokan, penghancuran, atau peremukan.
Kata ini diserap oleh bahasa Inggris7
, menjadi conflict yang berarti
pertarungan, perebutan kekuasaan, persengketaan, perselisihan,
perlawanan yang aktif, permusuhan. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, kata konflik berarti pertentangan atau
percekcokan. Konflik atau pertentangan bisa terjadi pada diri
seseorang (konflik internal) ataupun di dalam kalangan yang lebih
luas. Dalam organisasi, istilah ini menjadi “konflik organisasi”
(oraganisational conflict).
Sementara, pengertian “konflik” jika ditinjau dari akar
katanya, yaitu kata konflik berasal dari kata configere, atau
conficium yang artinya benturan menunjuk pada semua bentuk
benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, pertentangan, perkelahian,
oposisi, dan interaksi-interaksi yang bersifat antagonis.8
Menurut Miles dalam Steers, menjelaskan bahwa istilah
“konflik” menunjuk pada suatu kondisi dimana dua kelompok tidak
mampu mencapai tujuan-tujuan mereka secara simultan. Dalam
konteks ini perbedaan dalam tujuan merupakan penyebab
munculnya konflik. Pendapat tersebut sejalan dengan batasan
konflik yang diberikan oleh Dubin sebagaimana juga dikutip oleh
7
Syamubi, “Manajemen Konflik Dalam Pendidikan Islam Dan Problematikanya:
Studi Kasus Di Fakultas Dakwah Uin-Suka Yogyakarta”, Tadrib Vol.2 No. 1 Edisi Juni
2016, hlm.2
8
Sulistyorini dan Fathurrohman Muhammad, “Esensi Manajemen Pendidikan
Islam Pengelolaan Lembaga untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam” ,
Yogyakarta: Teras, 2014, hlm. 296.
5. 5
Sulistyorini dan Muhammad Fathurrohman bahwa konflik
berkaitan erat dengan suatu motif, tujuan, keinginan, atau harapan
dari dua individu atau kelompok tidak dapat berjalan secara
bersamaan (incompatible). Adanya ketidaksepakatan tersebut
dapat berupa ketidaksetujuan terhadap tujuan yang ditetapkan
atau bisa juga terhadap metode-metode yang digunakan untuk
mencapai tujuan.9
Menurut Hardjana bahwa konflik adalah
perselisihan, pertentangan antara dua orang atau dua kelompok
dimana perbuatan yang satu berlawanan dengan yang lainnya
sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.10
Pada hakikatnya konflik dapat didefinisikan sebagai relasi
psikologis yang antagonis, sikap emosional bermusuhan, struktur
nilai yang berbeda, interaksi yang antagonis, jelas, berbentuk
perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung hingga
pada bentuk perlawanan terbuka. Konflik juga dapat didefinisikan
sebagai suatu keadaan di dalamnya terdapat kecekcokan maksud
antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan. Konflik menurut Rahim ialah
sebagai keadaan interaktif yang termanifestasikan dalam sikap
ketidakcocokan, pertentangan, atau perbedaan dengan atau
antara entitas sosial seperti individuindividu, kelompok-kelompok,
atau organisasi-organisasi. Konflik berarti percekcokan dan
pertentangan. Sedangkan dalam istilah al-Qur’an, konflik sinonim
dengan kata ikhtilaf, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah
SWT surat Al-Baqarah ayat: 176, dan 213, yang berbunyi:
9
Sulistyorini dan Fathurrohman Muhammad, “Esensi Manajemen Pendidikan
Islam Pengelolaan Lembaga untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam” ,
Yogyakarta: Teras, 2014, hlm. 296
10
Wahyudi, Manajemen Konflik dalam Organisasi Pedoman Praktis Bagi
Pemimpin Visioner, Bandung: Alfabeta, 2011, hlm. 18.
6. 6
Artinya : “Yang demikian itu adalah karena Allah telah
menurunkan Al kitab dengan membawa kebenaran; dan
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran)
Al kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari
kebenaran).” (Q.S Al-Baqarah : 176)
Artinya : “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah
timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab
yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang
kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
7. 7
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan
kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Q.S Al-Baqarah : 213)
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat
antara orang-orang, kelompok- kelompok atau oraganisasi-
oraganisasi. Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai: (1)
persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak
cocok satu sama lain, (2) keadaan atau perilaku yang
bertentangan, misalnya pertentangan pendapat, kepentingan atau
pertentangan antar individu, (3) perselisihan akibat kebutuhan,
dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan dan (4)
perseteruan.11
Selain itu, konflik organisasi (oraganizational conflict)
adalah ketidak sesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota
atau kelompok oraganisasi yang timbul karena adanya kenyataan
bahwa mereka harus membagi sumber daya-sumber daya yang
terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja atau karena kenyataan
bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau
persepsi.12
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana
salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.13
Pengertian konflik juga dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, yaitu: Pertama, pandangan tradisional. Pandangan
tradisional ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik
11
Peg Pickering, How to Manage Conflict (Kiat Menangani Konflik), terj. Masri
Maris, Jakarta: Esensi Erlangga, 2006, hlm.1
12
Sulistyorini. 2009. “Menajemen Pendidikan Islam Konsep, Strategi dan
Aplikasi", Yogyakarta: Teras, 2009, hlm. 2008
13
Pupun Sofiyati, et.al., Konflik dan Stress; Makalah Pengembanagan dan
Perilaku Organisasi, Malang : Universitas Brawijaya, 2011, hlm. 2
8. 8
dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus
dihindari. Kedua, pandangan hubungan manusia. Pandangan
hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan
organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari
karena itu keberadaan konflik harus diterima dan
dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi
peningkatan kinerja organisasi. Ketiga, pandangan interaksionis.
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas
asumsi bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan
serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak
inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan,
sehingga kelompok tersebut tetap bersemangat (viable), kritis-diri
(self-critical), dan kreatif.14
Lebih lanjut, menurut Stephen. P. Robbins yang telah
menelusuri perkembangan tersebut, dengan penekanan pada
perbedaan antara pandangan tradisional tentang konflik dan
pandangan baru, yang sering disebut pandangan interaksionis.
Perbedaan pandangan tersebut dapat ditunjukkan dalam tabel
berikut:
Pandangan Lama Pandangan Baru
Konflik dapat dihindari Konflik tidak dapat dihindari
Konflik disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan
manajemen dalam
perancangan dan pengelolaan
organisasi atau oleh pengacau
Konflik timbul karena banyak
sebab, termasuk struktur
organisasi, perbedaan tujuan
yang tidak dapat dihindarkan,
perbedaan dalam persepsi dan
nilai-nilai pribadi dan
sebagainya
Konflik menganggu organisasi Konflik dapat membantu atau
14
Saefullah, “Manajemen Pendidikan Islam”, Bandung: Pustaka Setia, 2012,
hlm. 295
9. 9
dan menghalangi pelaksanaan
optimal
menghambat pelaksanaan
kegiatan organisasi dalam
berbagai derajat
Tugas manajemen adalah
menghilangkan konflik
Tugas manajemen adalah
mengelola tingkat konflik dan
penyelesaiannya
Pelaksanaan kegiatan
organisasi yang optimal
membutuhkan penghapusan
konflik
Pelaksanaan kegiatan
organisasi yang optimal
membutuhkan tingkat konflik
yang moderat
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa konflik dapat
berfungsi ataupun berperan salah (dysfunctional). Secara
sederhana hal ini berarti bahwa konflik mempunyai potensi bagi
pengembangan atau pengganggu pelaksanaan kegiatan
organisasi tergantung pada bagaimana konflik tersebut dikelola.15
Perbedaan konflik dengan persaingan (competition) terletak
pada apakah salah satu pihak mampu untuk menjaga dirinya dari
gangguan pihak lain dalam pencapaian tujuannya. Persaingan
ada bila tujuan-tujuan pihak-pihak yang terlibat adalah tidak sesuai
tetapi pihak-pihak tersebut tidak dapat saling mengganggu.
Sebagai contoh, dua kelompok pegawai (guru dan administrasi),
mungkin saling bersaing untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi,
bila tidak ada kesempatan untuk menggangu pencapaian tujuan
pihak lain, situasi persaingan terjadi bagaimanapun juga, bila ada
kesempatan untuk mengganggu, dan bila kesempatan tersebut
digunakan, maka akan timbul konflik.
Dengan demikian, konflik pada hakikatnya mengandung arti
segala macam bentuk hubungan antara manusia yang ditandai
sifat berlawanan. Unsur-unsur yang terdapat didalamnya, meliputi:
(1) adanya percekcokan, ketidaksepakatan, dan perbedaan, (2)
terjadi ditingkat perorangan, kelompok, atau organisasi, dan (3)
15
Bashori, Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren Dan
Madrasah, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, hlm. 358
10. 10
terdapat obyek yang menjadi sasaran. Dalam kehidupan
organisasi (satuan pendidikan) yang didalamnya melibatkan
interaksi antar berbagai manusia, baik secara individual maupun
kelompok, masalah konflik merupakan fakta yang tidak bisa
dihindarkan. Sebenarnya konflik itu sendiri pada hakikatnya
merupakan proses dinamis yang dapat dilihat, diuraikan dan
dianalisis.
2) Manajemen Konflik
Manajemen adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa
latin yaitu kata manus yang berarti tangan dan agree yang berarti
melakukan. Kata-kata itu digabungkan menjadi kata kerja
manageree yang artinya menangani. Manageree diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dengan
kata benda management, dan manager untuk orang yang
melakukan kegiatan manajemen. Akhirnya, management
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen
atau pengelolaan.16
Manajemen ialah proses memperoleh
tindakan melalui usaha orang lain. Ia merupakan kekuatan utama
dalam organisasi yang mengakomodir berbagai kegiatan bagian
bagian (sub sistem) serta berhubungan dengan lingkungan.
Manajeman memiliki unsur-unsur yang meliputi unsur manusia
(manajer anggotanya), material, uang, waktu, prosedur serta
pasar sehingga manajemen merupakan proses yang dilaksanakan
oleh manajer organisasi berjalan menuju pencapaian tujuan
secara efektif dan efisien17
.
16
Usman, Husaini, “Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan”, Jakarta: Bumi
Aksara, 2008, hlm. 3
17
Syamubi, “Manajemen Konflik Dalam Pendidikan Islam Dan Problematikanya:
Studi Kasus Di Fakultas Dakwah Uin-Suka Yogyakarta”, Tadrib Vol.2 No. 1 Edisi Juni
2016, hlm.4
11. 11
Manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang
diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan
perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif,
bermufakat, atau agresif. Manajeman konflik dapat melibatkan
bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah
(dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan
keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses manajeman konflik menunjuk pada pola komunikasi
(termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka
mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Dengan demikian manajemen konflik merupakan seni dan
ilmu mengelola pertentangan atau antagonistic antara dua pihak
atau lebih. Baik antara seseorang dengan seseorang, antara
sseorang dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok,
maupun antara kelompok dengan organisasi atau mungkin pula
antara perorangan dengan dengan oragnisasi secara
keseluruhan.
Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja
yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan
meminimalkan akibat konflik yang merugikan.18
Mengingat
kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat
pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik
pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi.
b. Tujuan Manajemen Konflik
Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa
dihindari dan menghambat pencapaian tujuan organisasi. Sumber-
18
Arijo Isnoer Narjono, “Manajemen Konflik Organisasi dalam Pandangan Islam
(Organizational Conflict Management in Islamic View)”, Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1
Februari 2014, hlm. 10
12. 12
sumber organisasi, sumber daya manusia, sumber daya finansial,
sumber daya teknologi digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik
bukan untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Oleh karena itu,
manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk
mencapai suatu tujuan.
Adapun tujuan manajemen konflik yaitu:
1) Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk
memfokuskan diri pada visi, misi dan tujuan organisasi;
2) Memahami orang lain dan menghormati keberagaman;
3) Meningkatkan kreativitas;
4) Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan
berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut
pandang;
5) Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta,
pemahaman bersama, dan kerja sama;
6) Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian
konflik;
7) Menimbulkan iklim organisasi konflik dan lingkungan kerja
yang tidak menyenangkan: takut, moral rendah, sikap
saling curiga;
8) Meningkatkan terjadinya pemogokan mengarah pada
sabotase bagi pihak yang kalah dalam konflik;
9) Mengurangi loyalitas dan komitmen organisasi; dan
10)Terganggunya proses produksi dan operasi.19
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen
konflik merupakan bagian yang harus diperhitungkan secara matang
demi membuat sebuh komitmen dan keputusan agar konflik tidak
menjadi penghambat dalam sebuh sistem organisasi. Selain itu,
19
Wirawan, “Manajemen Konflik Teori, Aplikasi, dan Penelitian” , Jakarta :
Salemba, 2013, hlm. 129
13. 13
manajemen konflik menjadi bagian terpenting dalam menyelesaikan
semua persoalan yang ada dalam lembaga pendidikan Islam. Sejauh
daripada itu, lembaga pendidikan yang memiliki kompleksitas konflik
atau persoalan yang banyak memungkinkan akan bertransformasi
menjadi sebuah lembaga pendidikan yang unggul, jika mampu
menyelesaiakan problematika konflik yang ada. Untuk itu, jelas
konflik yang mampu dikelola secara baik akan mampu menjadi
stimulus perubahan ke arah yang lebih baik.
c. Pendekatan Manajemen Konflik
Berdasarkan konflik yang ada, maka konflik dapat
diselesaikan dengan berbagai pendekatan, diantaranya:
1) Integrating
Yaitu pendekatan melalui tukar menukar informasi dan ada
keinginan untuk mengamati perbedaan serta mencari solusi yang
dapat diterima oleh semua pihak atau menyatukan. Penyelesaian
dengan pendekatan ini mendorong tumbuhnya sifat kreatif yang
menekankan dari perspektif yang berbeda. Namun perlu diketahui
cara ini membutuhkan waktu yang cukup panjang.
2) Obliging
Membantu, menetapkan nilai bahwa memandang orang lain
mempunyai kemampuan lebih dan tidak merendahkannya.
Pendekatan ini membutuhkan perhatian yang tinggi dengan cara
membantu, ikut bekerja sama dalam menyelesaikan konflik.
Pendekatan ini akan berperan menyempitkan perbedaan antar
kelompok atau kesenjangan komunikasi karena suatu jabatan
atau status.
3) Dominating
Pendekatan ini mementingkan otoritas diri. Pendekatan ini
diperlukan untuk menekankan kejelasan sebuah keputusan.
Pendekatan ini sudah tidak membutuhkan negosiasi, karena
14. 14
dimungkinkan keputusan ini terjadi karena ada hal-hal yang
mendesak yang harus segera ditangani. Pendekatan ini sangat
membantu jika di sini kurang pengetahuan atau keahlian tentang
isu yang menjadi konflik. Ketidakmampuan untuk menyediakan
tenaga yang ahli yang memberikan nasihat atau yang dengan
tegas menyampaikan isu inilah pangkal dari pendekatan
dominating.
4) Avoiding
Pendekatan penyelesaian dengan cara menghindar, pendekatan
ini harus dilakukan apabila memenuhi konflik-konflik yang sepele
dan sebetulnya apabila ditangani malah membuat konflik yang
lebih tajam. Dengan menghindar permasalahan tidak akan selesai
tetapi adakalanya juga melakukan hal tersebut karena
permasalahan tersebut sudah usang dan tidak membutuhkan
perhatian yang serius karena tidak begitu berarti.
5) Comproming
Pendekatan ini digunakan karena masing-masing konflik perlu
perhatian yang cukup. Keduanya tidak bisa ditinggal atau
dihindari. Oleh karena itu, perlu kompromi atau negosiasi
sehingga semuanya akan mendapat solusi yang seimbang.
Pendekatan ini lebih tepat disebut pendekatan dengan mencari
jalan tengah atau jalan damai. Jalan tengah yang diambil tentunya
akan memperkecil perbedaan atau kesenjangan pendapat
sehingga konflik yang dihadapi merupakan tugas dan beban
bersama. Pendekatan ini sangat baik bagi hubungan sosial dalam
bekerja sehingga mereka tidak merasa diremehkan atau
mendapatkan tempat yang sama atau seimbang.20
6) Kolaborasi (collaborating)
20
Fatah Syukur, “Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah”, Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2011, hlm. 166
15. 15
Cara manajemen kolaborasi merupakan gaya bernegosiasi untuk
solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat
konflik. Upaya tersebut meliputi saling memahami permasalahan
konflik atau saling mempelajari ketidaksepakatan. Selain itu,
kreativitas dan inovasi juga digunakan untuk mencari alternatif
yang dapat diterima oleh kedua pihak.
7) Mengakomodasi (accomodating)
Dalam gaya manajemen konflik dengan tingkat keaktifan rendah
dan tingkat kerjasama tinggi. Seseorang mengabaikan
kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan
kepentingan lawan konfliknya.
Berdasarkan beberapa pendekatan tersebut, bisa disimpulkan
bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan sesuai dengan konteks dan rumitnya konflik.
Berdasarkan pendekatan itu tentu terdapat kelebihan dan
kekurangannya, selain masing-masing memilliki kemampuan untuk
dapat menyelesaikan konflik sebagai wadah untuk meningkatkan
kualitas menjadi lebih baik dan bukan sebaliknya.
d. Konflik dan Kepemimpinan
Kepemimpinan manajemen konflik dalam perspektif Islam,
dalam topiknya bahwa dari hasil penelaahan para pakar yang
dirangkum dari AlQur'an dan Hadits, dikeketemukan ada empat sifat
yang harus dipenuhi oleh para Nabi, yang pada hakekatnya adalah
pemimpin ummatnya, yaitu;
1) As Shiddiq,
Yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap serta
berjuang melaksanakan tugasnya.
2) Al-Amanah
atau kepercayaan yang menjadikan dia memelihara sebaik-
baiknya apa yang diserahkan kepadanya, baik dari Allah maupun
16. 16
dari orang-orang yang dipimpinnya, sehingga tercipta rasa aman
bagi semua pihak.
3) Al-Fathanah
Yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan
menanggulangi persoalan yang muncul seketika sekalipun.
4) At-Tabligh
Yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab, atau dapat
diistilahkan dengan keterbukaan, dan Istiqomah, yaitu segala
sesuatu yang telah di amanahkan dan diimplementasikan dari
empat sifat tersebut di atas harus dilaksanakan dengan konsisten
Dari empat sifat yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits
tersebut para ulama (Imam Ghazali dkk) memaparkannya lagi
sehingga menjadi dua struktur kriteria yang harus dimiliki pemimpin
agar bawahannya taat tanpa kekerasan dan penuh dengan tanggung
jawab:
1) Struktur maqamat (derajat)
a) Taubah: Penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang
telah dilakukan di masa lalu (upaya mengosongkan diri dari
segala tindakan yg tidak baik dan mengisinya dengan yg baik).
Dalam hal kepemimpinan, hal ini disebut dengan retrospeksi.
Pemimpin meminta kepada bawahannya untuk memberikan
input sebanyak-banyaknya, karena bisa jadi seorang bawahan
yang melakukan kesalahan berulang-ulang adalah kesalahan
pemimpin juga, mungkin kurangnya pelatihan, atau kurang
jelasnya bahasa dan intruksi pimpinan terhadap bawahan.
b) Wara: Meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau
belum jelas hukumnya (syubhat). Dalam hal kepemimpinan, hal
ini dipraktekkan dengan sifat pemimpin yang menjauhi sifat
buruk prasangka (Su’u Zhann). Adakalanya maksud bawahan
melakukan hal tersebut adalah untuk menyenangkan hati
pimpinan, akan tetapi karena keterbatasan ilmu dan
17. 17
pengalaman yang dia punya maka dia berbuat sesuatu tidak
pada koridornya.
c) Zuhud: Kosongnya tangan dari kemilikan dan kosongnya hati
dari pencarian. Dalam hal kepemimpinan, hal ini diterjemahkan
dengan tidak mencari kesalahan bawahannya, yang dicari
adalah problem solving yang tepat untuk mengatasinya.
d) Faqr: Pengakuan diri tidak mempunyai apa-apa segala sesuatu
milik Allah bahkan dirinyapun milik Allah Dalam hal
kepemimpinan, pemimpin diwajibkan untuk merendahkan
hatinya di seluruh bawahannya. Adalah segala sesuatunya
berasal dari Allah dan atas kehendak-Nya pula segala sesuatu
itu terjadi.
e) Shabar: memilih untuk melakukan perintah Agama ketika
datang desakan nafsu.Pemimpin muslim yang melihat
bawahannya melakukan kesalahan berulang-ulang tidaklah
emosi dan penuh cinta serta kasih sayang ibarat ayah yang
menasehati anaknya dikala melakukan kesalahan berulang-
ulang dihadapi dengan kesabaran. Karena bersabar dengan
bawahan lama lebih baik dari pada mencari bawahan baru
yang belum tentu lebih baik dan berpengalaman.
f) Tawakkal: Menyerahkan dengan sepenuhnya tidak ada
keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi
keputusan Allah Pemimpin setelah ikhtiar melakukan hal
nomor 1 sampai 5 terhadap pegawainya maka wajiblah ia
bertawakal, artinya diserahkan sepenuhnya kepada Allah
(tentunya dengan pengawasan pemimpin) segala
permasalahan bawahan yang bermasalah tersebut dengan
diberikan perjanjian.
g) Ridla: Kondisi kejiwaan yang senantiasa menerima dengan
lapang dada atas segala karunia yang diberikan atau bala yang
ditimpakan kepadanya. Pemimpin harus Ridha (rela) dengan
18. 18
keputusan Allah tentang pegawai tersebut, apakah dia bisa
berubah atau tidak dari kesalahannya, apabila dia bisa berubah
maka pemimpin mendapat dua pahala, pahala pertama dari
usahanya (taubah, wara’, zuhud, faqr, shabr, tawakkal, ridha)
dan pahala kedua adalah keberhasilannya mengubah sikap
bawahannya tersebut. Namun apabila bawahannya tidak bisa
berubah maka pimpinanpun harus siap atas ujian yang
diberikan Allah dengan mem PHKnya (tentunya setelah
diberikan surat peringatan). PHK adalah jalan terakhir dan
tersulit yang harus dilakukan Pimpinan setelah melakukan
ikhtiar-ikhtiar sebelumnya.
2) Struktur maqamat (derajat)
a) Muraqabah: Kondisi kejiwaan yang sepenuhnya ada dalam
keadaan konsentrasi dan waspada. Artinya pemimpin haruslah
memaksimalkan tugas supervisor yang menjadi bawahannya
untuk melihat apakah ada lubang yang harus ditambal pada
manajerialnya.
b) Mahabbah (cinta): mengandung arti keteguhan dan
kemantapan, menurut Ibnu al-'Arabi "bertemunya dua kehendak
Tuhan dan kehendak manusia. Artinya pimpinan dalam
menghadapi bawahannya haruslah dipenuhi dengan cinta dan
kasih sayang. Saya yakin, sebodoh dan secerobohnya
bawahan namun apabila dihadapi dengan cinta dan kasih
sayang niscaya dia akan berubah.
c) Khauf (takut): Takut terhadap kejadian yang akan datang yaitu
datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang
dicintai. Pimpinanpun harus takut salah (tidak ceroboh) dalam
mengahadapi bawahan dan dalam mengambil keputusan,
karena sekali pemimpin salah mengambil keputusan maka
sangat fatal akibatnya.
19. 19
d) Ra’ja (harapan): keterkaitan hati dengan sesuatu yang
diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Pimpinan
dalam menghadapi bawahannya haruslah mempunyai harapan
yang positif, jangan karena dia telah berapa kali melakukan
kesalahan lantas pimpinan mencapnya sebagai ceroboh
sehingga tidak memberikan kepercayaan sedikitpun padanya.
e) Syauq (rindu): luapan perasaan seorang individu yang
mengaharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu
yang dicintai. Artinya seorang pemimpin haruslah ada rasa
kangen terhadap bawahannya yang dengan ikhlas
membantunya selama ini, hal ini bisa diungkapkan pimpinan
dengan memberikan penghargaan/reward, bonus gaji terhadap
seluruh bawahannya, khususnya yang berprestasi.
f) Uns: kondisi kejiwaan di mana seseorang merasakan
kedekatan dengan Tuhan, seorang yang ada pada kondisi uns
akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta
sukacita yang meluap-luap. Artinya, pimpinan haruslah
mengerti psikologi bawahan, apa sebab dia menjadi sukses
dan gagal mengulangi kesalahan. Apakah ada faktor keluarga,
keuangan atau keduniawian? Maka hal ini sangatlah mudah
untuk diatasi, yakni dengan adanya sedekah dari pimpinan
yang dapat menarik segala penyakit dan kesialan (Hadits
Nabawi). Namun yang sulit adalah apabila kegagalan bawahan
berawal dari garis vertikal antara pegawai dan Allah, seperti
meninggalkan shalat, zakat, puasa, dan lainnya. Maka adalah
kewajiban pimpinan pula untuk memperhatikan psikologis
ruhani bawahan yang ada di bawah managerialnya. Seperti,
diadakan I’tikaf bersama pegawai dan pimpinan, shalat
bersama pegawai dan pimpinan, buka puasa bersama pegawai
dan pimpinan, zakat bersama pegawai dan pimpinan terhadap
20. 20
keluarga pegawai yang membutuhkan, haji/umrah bersama
pegawai dan pimpinan.
g) Tuma'ninah: Keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal
dapat mempengaruhinya, dilaksanakan maka niscaya antara
pimpinan dan pegawai tidak ada dinding pemisah, dan
tampaklah kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta
sukacita yang meluap-luap dari para pegawai yang berefek
pada kinerja pegawai, dan tentunya akan menimbulkan
keteguhan dan ketentraman hati.
h) Musyahadah: kehadiran al-haqq dengan tanpa dibayangkan.
Apabila tahap/nomor 1 s.d 7 telah dilaksanakan niscaya
pimpinan dan pegawai akan merasa musyahadah (kehadiran
Allah), dan ini akan tampak dari kedisiplinan pimpinan dan
pegawai dalam hal vertikal (hubungan makhluk dengan Allah,
seperti ibadah yang baik, dll) ataupun horizontal (hubungan
makhluk dengan makhluk, seperti berinteraksi sesama pekerja
dan pegawai dengan cara profesional dan proporsional)
i) Yaqin: merupakan perpaduan antara 'ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin
dan haqq al-yaqin, yaitu kepercayaan yang kuat dan tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.
Dan apabila tahap 1 s/d 8 telah terlewati maka akan timbul
keyakinan bahwasanya segala sesuatunya (jodoh, rizki dan
maut) ada di tangan Allah dan pastilah Allah akan memberikan
yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya yang saleh.
e. Sumber Konflik
1) Kebijakan sebagai sumber konflik
Kebijakan inilah yang selanjutnya sering menimbulkan
persoalan sampai menjadi sebuah konflik. Timbulnya konflik dari
sebuah kebijakan dapat terjadi dari karena adanya pihak-pihak
21. 21
dalam penentuan kebijakan tersebut dimana tidak semua pihak
dapat terakomodasi dengan kebijakan tersebut.
Hal ini dapat terjadi karena:
a) Substansi kebijakan yang mana dapat saja tidak diterima
oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut.
b) Adanya individu dan atau pihak yang mempunyai akses
lebih terhadap kebijakan tersebut sehingga ada pihak
yang tidak terakomodasi dengan kebijakan tersebut.
Proses penentuan kebijakan itu sendiri melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut :
a) Identifikasi persoalan kebijakan termasuk permintaan
publik untuk ditindak lanjuti oleh pemerintah
b) Penentuan agenda atau menentukan focus perhatian
media massa pada permasalahan kebijakan publik yang
akan dilakukan
c) Formulasi kebijakan dari lembaga yang berwenang untuk
diajukan pada lembaga yang menentukan kebijakan itu
dapat dilaksanakan atau tidak
d) Legitimasi kebijakan sebagai suatu tindakan politis untuk
memperoleh kekuatan
e) Implementasi kebijakan oleh lembaga eksekutif
f) Evaluasi kebijakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
kebijakan tersebut.
Tahapan-tahapan diatas menunjukan adanya celah yang
dapat menimbulkan konflik dimana pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan akan terbentuk seiring dengan berjalannya tahapan-
tahapandiatas. Oleh karena itu kebijakan menjadi suatu hal yang
sensitive yang dapat menjadi sebuah konflik.
2) Sumber-sumber konflik lain
22. 22
Ross mengemukakan dua sumber konflik yang terjadi dalam
sebuah organisasi atau kelompok. Kedua sumber konflik itu
adalah :
a) Teori struktur sosial
Menekankan pada persaingan antara pihak-pihak yang
berkepentingan sebagai motif utama sebuah konflik.
Tindakan terhadap pihak lain dalam pemikiran teori struktur
social akan menciptakan tantangan nyata untuk
meningkatkan solidaritas dan respon kolektif dalam
menghadapi lawan. Selanjutnya pihak-pihak tersebut
melakukan konsolidasi secara sadar sehingga membentuk
suatu kekuatan dalam menghadapi konflik tersebut. Disisi
lain struktur social ini berhubungan erat dengan teori
kelompok elit yang mana konflik sangat sering terjadi dalam
hal ini.
b) Teori Psychocultural
Menekankan pada konflik sebagai kekuatan psikologi dan
cultural. Teori ini menunjukan bahwa suatu pihak perlu
memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal dan tingkah
laku pihak lain. Oleh karena itu kondisi social dan hubungan
dengan pihak lain menjadi suatu hal penting untuk
diperhatikan dalam menghadapi konflik ini karena kondisi
psikologis dan culutaral ini merupakan sebuah kekuatan
nyata.
f. Metode Pengelolaan Konflik
Dalam mengelola konflik manusia pada umumnya
menggunakan cara: Pertama, menghindari persoalan. Penghindaran
ini didasarkan pada rasa takut terhadap perselisihan dan
kelumpuhan fungsi. Cirinya dalah kecenderungan untuk menolak
pemikiran dan menghindari masalah. Kedua, Mendekati persoalan
23. 23
dan berusaha mencari penyelesaiannya. Ciri ini didasarkan pada
rasa optimis dan lebih fungsional. Ciri model ini ialah berusaha untuk
menemukan penyelesaian dengan bantuan orang lain. Ketiga,
Mencairkan keadaan dan bersama-sama berusaha meyelesaikan
persoalan.21
Selain itu, terdapat dua bentuk metode manajemen konflik,
yaitu:
1) Metode stimulasi konflik
Konflik dapat menimbulkan dinamika dan pencapaian yang
lebih baik dalam pelaksanaan kegiatan kerja suatu kelompok.
Situasi dimana konflik terlalu rendah akan menyebabkan para
pegawai takut berinisiatif dan menjadi pasif. Kejadian-kejadian,
perilaku dan informasi yang dapat mengarahkan orang-orang
bekerja lebih baik diabaikan, para anggota kelompok saling
bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan
kerja. Manajer dari kelompok seperti ini perlu merangsang
timbulnya persaingan dan konflik sehingga mempunyai efek
penggemblengan. Adapun metode stimulasi konflik meliputi:
pemasukan atau penempatan orang luar ke dalam kelompok,
penyususnan kembali organisasi, penawaran bonus, pembayaran
insentif dan penghargaan untuk mendorong persaingan, pemilihan
manajer-manajer yang tepat, dan perlakuan yang berbeda dengan
kebiasaan.
2) Metode penyelesaian konflik
Terdapat tiga metode penyelesaian konflik yang sering
digunakan, yaitu dominasi atau penekanan, kompromi, dan
pemecahan masalah integratif. Metode-metode ini berbeda dalam
21
Bashori, Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren Dan
Madrasah, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, hlm. 361
24. 24
hal efektifitas dan kreatifitas penyelesaaian konflik serta
pencegahan situasi konflik di masa mendatang.22
2. Manajemen Konflik dalam Pondok Pesantren dan Madrasah
a. Manajemen Konflik Di Pondok Pesantren
Dalam praktiknya banyak persoalan yang muncul di
permukaan terkait masalah yang hadir dengan berjalannya lembaga
pendidikan Islam. Persoalan itu dilatarbelakangi oleh banyak faktor,
sehingga konflik di pondok pesantren menjadi bagian yang harus
diselesaikan. Adapun beberapa hal yang menjadi pemicu konflik
antara individu dan kelompok adalah sebagai berikut:
1) Yayasan dengan Masyarakat
Perseteruan pihak yayasan dengan masyarakat tidak
terlepas dari kekecewaan masyarakat terhadap pihak yayasan itu
sendiri. Ketidaksesuaian harapan masyarakat sering kali menjadi
pemicu konflik anatara pihak yayasan dengan masyarakat. Dari
persoalan itu pula mengarah pada kekecewaan masyarakat
kepada pihak yayasan.
Perilaku inkonsistensi yayasan terhadap keputusan yang
mengecewakan melahirkan “perlawanan” dari masyarakat
menunjukkan bahwa betapa pentingya sebuah program kerja
suatu organisasi dijalankan atau dilaksanakan dengan terlebih
dahulu dilakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait. Hal
tersebut menunjukkan pentingnya MBO (Manajemen by
Objectivitas).
MBO adalah sebuah manajemen yang meliputi berbagai
tujuan spesifik, yang ditetapkan secara partisipatif, untuk jangka
waktu yang ditetapkan dengan pemberian umpan balik tentang
22
Sulistyorini dan Fathurrohman Muhammad, “Esensi Manajemen Pendidikan
Islam Pengelolaan Lembaga untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam” ,
Yogyakarta: Teras, 2014, hlm. 309
25. 25
pencapaian tujuan.23
Daya tarik dari MBO adalah adanya
penjabaran tujuan kepada tujuan yang sifatnya khusus pada
berbagai pihak yang berkepentingan, dalam hal ini adalah
masyarakat Nandan, sebagai pihak yang turut andil dalam
pembangunan masjid.
2) Yayasan dengan Pengasuh Pondok Pesantren
Komunikasi adalah satu diantara variabel yang sangat
berpengaruh terhadap kemajuan suatu organisasi. Mengabaikan
komunikasi dapat berarti melawan arus pemikiran manajemen
modern.
Perselisihan antara pengasuh pondok pesantren (Kyai)
dengan pengurus yayasan hampir dapat dikatakan menjadi hal
biasa dalam tatanan organisasi lembaga pendidikan islam. Selain
dominasi kewenangan kekuasan, namun sering kali tatanan
komunikasi dalam lembaga pendidikan islam sering terabaikan
yang mengakibatkan kurangnya kesepahaman dalam
mewujudkan tujuan bersama.
Dalam menyikapi konflik yang terjadi, seseorang
memungkinkan bersikap menghindar dengan cara mengundurkan
diri. Hal tersebut dimaksudkan agar kegiatan di pondok pesantren
dapat berjalan dengan lebih baik. Dalam pandangan Frans Magnis
Suseno, bagian karakter masyarakat Jawa yang memandang
bahwa keharmonisan sosial itu identik dengan ketentraman. Oleh
karena itu, pergolakan sedapat mungkin dihindari.24
Menghindar
dari pergolakan adalah bagian dari cara atau trik dalam
memendam konflik agar tidak menjadi lebih rumit, sehingga konflik
dengan sendirinya akan terselesaikan dengan berjalannya waktu.
3) Kyai dengan Masyarakat
23
Makmuri Muchlas, “Perilaku Organisasi”, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2008, hlm. 208
24
Bashori, Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren Dan
Madrasah, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, hlm. 363
26. 26
Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa, Pondok Pesantren
hendaknya dapat menjadi tempat yang nyaman bagi para santri
dan juga tempat berbaur dengan masyarakat secara efektif.25
Harapan dari pendapat itu tentu agar pondok pesantren tidak ada
sekat dalam berinteraksi anatar kedua. Masyarakat memiliki
kepentingan yang sama terhadap pondok pesantren, begitu juga
sebaliknya.
Ketidakharmonisan hubungan para pengasuh Pondok
Pesantren dengan masyarakat kadangkala muncul karena dipicu
oleh perbedaan pandangan persoalan sederhana, misalnya dalam
menentukan hari raya Idul Fitri. Pondok Pesantren dalam
menentukan datangnya hari raya bertepatan dengan keputusan
dari hasil sidang isbat Kementerian Agama Republik Indonesia
dengan berbagai ormas keagamaan. Sedangkan sebagian
masyarakat, hari raya Idul Fitri mengikuti keputusan
Muhammadiyah. Meski demikian perbedaan itu tidak kemudian
mematikan tali silaturahmi antara pihak Pondok Pesantren dengan
masyarakat.
4) Resolusi Konflik di Pondok Pesantren
Situasi kurang harmonis hubungan antara pondok
pesantren dengan yayasan, yayasan dengan pengasuh pondok
pesantren, dan juga kyai dengan masyarakat tidaklah dibiarkan
begitu saja. Pada saat munculnya perselisihan tersebut, maka
hendaknya mengedepankan sikap tabayun, yaitu suatu bentuk
klarifikasi atas munculnya permasalahan diantara mereka. Adanya
keputusan pengunduran adalah bagian dari penyelesaian
permasalahan secara halus dan tidak ingin mempersoalkan lebih
lanjut lagi. Sikap menghindari konflik, menurut Frans Magnis
Suseno merupakan watak manusia jawa yang enggan
25
Bashori, Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren Dan
Madrasah, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, hlm. 363
27. 27
menunjukkan ketidakharmonisan secara terbuka sehingga
pergolakan sedapat mungkin dihindari.26
Ditinjau dari pendapatnya Winardi, maka penyelesaian
konflik dalam hal ini termasuk dalam teknik integrasi dengan
menggunakan tujuan-tujuan superordinat yaitu konflik di akhir
dengan mempertimbangkan yang lebih utama dari masing-masing
pihak yang terlibat konflik. Tujuan superordinat bukan hanya dapat
menyelesaikan konflik, namun juga dapat mempertebal
kerjasama.27
Dalam teorinya tentang gaya manajemen konflik Rahim
mengatakan bahwa ada 5 (lima) gaya manajemen konflik, salah
satu diantaranya adalah (obliging). Dalam gaya manajemen
konflik ini, pihak yang terlibat konflik mengkombinasikan
perhatiannya yang tinggi terhadap lawan konfliknya dengan
perhatiannya yang rendah terhadap dirinya sendiri.28
Menetapkan nilai bahwa memandang orang lain mempunyai
kemampuan lebih dan tidak merendahkannya. Pendekatan ini
membutuhkan perhatian yang tinggi dengan cara membantu, ikut
bekerja sama dalam menyelesaikan konflik. Pendekatan ini akan
berperan menyempitkan perbedaan antar kelompok atau
kesenjangan komunikasi karena suatu jabatan atau status.
b. Manajemen Konflik Di Madrasah
Manajemen konflik adalah bagian terpenting dalam
menyelesaikan persoalan yang muncul di tengah-tengah dinamika
konflik yang ada, baik secara perseorangan maupun kelompok.
Berlandaskan itu pula maka diperlukan penyelesaian secara baik
26
Bashori, Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren Dan
Madrasah, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, hlm. 364
27
Ibid
28
Wirawan, “Manajemen Konflik Teori, Aplikasi, dan Penelitian”, Jakarta:
Salemba, 2013, hlm. 144
28. 28
dari pihak yang berkonflik dengan persoalan yang menjadi konflik.
Dengan demikian, maka manajemen konflik harus penyeimbang
dalam menjadikan konflik sebagai mitra dalam pengembangan yang
lebih baik.
1) Sebab Konflik
Konflik yang terjadi pada umumnya bersumber dari
lemahnya manajemen pendidikan yang diterapkan saat ini.
Pengelolaan atau manajemen madrasah selama ini cenderung
menunjukkan model manajemen tradisional. Model manajemen
tradisional ini kemudian menjadikan kepala madrasah sebagai
sosok sentral dalam pengambilan setiap kebijakan madrasah.
Sosok kepala madrasah yang seharusnya menjadi uswatun
hasanah bagi guru dan siswa justru menjadi pribadi yang terkesan
otoriter.
Di bawah kepemimpinannya, kepala madrasah kurang
memberikan ruang kepada dewan guru maupun wali santri dalam
setiap pengambilan keputusan, segala keputusan berada di
tangan kepala madrasah, sehingga dewan guru merasa kurang
dihargai eksistensinya, selanjutnya kreativitas maupun inovasi dari
kalangan guru (junior) terkadang dipahami sebagai sikap yang
tidak menghargai kepala madrasah (senior).
Berawal dari lemahnya sistem manajemen tersebut
selanjutnya memungkinkan timbulnya ketidakpuasan guru dan
siswa terhadap kinerja kepala madrasah yang pada puncaknya
menyulut terjadinya pertentangan. Terjadinya pertentangan yang
dilakukan para siswa tersebut adalah wujud dari ketidakpuasan
siswa terhadap kinerja kepala madrasah.
2) Isu Konflik
Kemungkinan isu yang berkembang adalah terkait dengan
ketidakpuasan dewan guru dan siswa terhadap kinerja kepala
madrasah. Kepala madrasah dinilai tidak dapat mengelolah dana
29. 29
madrasah dengan baik yang bersumber dari SPP, uang gedung
siswa dan sebagian dari donasi wali murid.
Memang faktor dana dalam dunia pendidikan sering kali
menjadi persoalan krusial begitu juga dengan madrasah yang
berstatus sebagai lembaga pendidikan swasta sering kali
mengalami keterbatasan dalam memperoleh sumber dana. Akan
tetapi isu-isu mengenai pengelolaan madrasah yang kurang baik
dengan adanya indikasi bahwa madrasah baru saja mendapat
sumbang dana dari donasi yang sedianya untuk menambah
sarana dan prasarana yang kurang, akan tetapi tetap saja sampai
saat ini sarpras madrasah tersebut belum terbangun sepenuhnya.
Oleh sebab itulah, keterbukaan dan transparansi dana dari
kepala madrasah sangatlah diharapkan. Hal ini adalah untuk
meminimalisirketidakpercayaan komponen madrasah terhadap
kinerja kepala madrasah. Dimana segala sesuatu yang terkait
dengan masalah dana maupun keuangan madrasah akan menjadi
masalah yang sangat potensial menimbulkan kecurigaan dan
konflik.
3) Dinamika konflik
Konflik merupakan suatu keadaan yang laten (potensial)
karena faktor individu, organisasi, dan lingkungan yang berbeda,
sehingga menimbulkan banyak problem dan faktor. Atas dasar
itulah individu atau kelompok mengetahui bahwa konflik dalam
organisasi dapat dirasakan adanya, yang direfleksikan melalui
opini, tujuan dan nilai dalam melakukan aksi
oposisi/berseberangan. Ketika kesalahpahaman atau
ketidaksetujuan terjadi konflik mulai bergerak atau berangsur-
angsur diwujudkan. Apabila antara phak-pihak yang berkonflik.
Konsekuensi atau akibat dari suatu konflik ada yang
menguntungkan, yaitu dapat meningkatkan kreatifitas, saling tukar
ide, dinamis, dan ada yang merugikan seperti peningkatan stress,
30. 30
absensi, pergantian orang, ketidakpuasan serta performansi
menurun.29
Untuk itu, jelaslah dinamika konflik menjadi hal yang
mungkin terjadi dalam semua tatanan lembaga pendidikan Islam.
Akan tetapi, persoalan memanaj konflik secara baik adalah suatu
keniscayaan yang harus dibuktikan agar tidak menimbulkan
gejolak penghambat dalam mencapai sebuah tujuan.
4) Strategi Resolusi Konflik
Tujuan dari resolusi konflik pada lembaga pendidikan
adalah terselesaikannya konflik secara tuntas dan terwujudnya
kondisi yang lebih kondusif dalam lembaga pendidikan yang
bernafaskan islam, tentu saja tidak meninggalkan kaidah kaidah-
kaidah keislaman di dalam penyelesaian konflik maka
penyelesaiannya adalah dengan berpegang kepada ayat-ayat al-
Qur’an yaitu dengan melakukan ishlah dan musyawarah untuk
mencapai mufakat. Ayat-ayat Al-Qur,an yang mejadi pegangan
dalam resolusi konflik Islam diantaranya adalah QS Asy-Syura 38:
Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka.”
Berdasarkan ayat di atas, bahwa penyelesaian konflik bisa
29
Bashori, Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren Dan
Madrasah, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, hlm. 367
31. 31
dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dengandemikian, terlihat dengan jelas bahwa strategi manajemen
konflik, dimana setiap konflik dibawa ke dalam suatu musyawarah
untuk mencari pemecahan yang tepat yang di dalamnya terdapat
negosiasi-negosiasi untuk menghasilkan kesepakatan-
kesepakatan dan menuntut mereka yang terlibat konflik untuk rela
kehilangan sesuatu demi memperoleh penyelesaian yang paling
bijak. Strategi ini tepat diterapkan dalam lembaga pendidikan
madrasah mengingat di dalamnya telah ditanamkan nilai-nilai
moral dan etik untuk saling menghargai, mengalah dan
mengedepankan ukhuwah islamiyah.
32. 32
C. Penutup
Islam memiliki pendapat yang tidak berbeda jauh dengan konsep
manajemen pada umumnya yang menyatakan bahwa konflik di dalam
suatu organisasi tidak mungkin dihindari. Konflik adalah tabiat alamiah
manusia yang tidak mungkin disatukan dalam satu pendapat dan satu
keinginan. Islam memahami konflik sebagai gejala yang positif dan
konstruktif bahkan produktif. Manajemen konflik yang Islami mengarahkan
setiap konflik menuju ke situasi yang fungsional dan mendukung
pelaksanaan kegiatan organisasi.
Manajemen konflik adalah merupakan langkah-langkah yang
diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan
perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin
menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.
Dalam praktiknya, konflik tidaklah bisa dihindarkan dari lingkungan
kehidupan manusia. Melalui konflik itu pula manusia akan mampu
berkembang secara dinamis. Manajemen konflik mengajarkan manusia
bahwa konflik harus dikelola secara baik, agar konflik dapat memberikan
dampak positif bagi individu maupun kelembagaan.
Banyaknya konflik yang terjadi di lembaga pendidikan Islam
khususnya pondok pesantren menjadi pemacu pengelola lembaga
pendidikan Islam agar mampu mengelola setiap konflik yang akan dan
telah terjadi. Dengan antisipasi ini tentu diharapkan akan mampu
meminimalisir dampak konflik yang mengarah pada terhambatnya tujuan
lembaga pendidikan.
33. 33
DAFTAR PUSTAKA
Bashori. 2017. Manajemen Konflik Di Tengah Dinamika Pondok Pesantren
Dan Madrasah. Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2.
Husaini, Usman. 2008. Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Muchlas, Makmuri. 2008. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Narjono, Arijo Isnoer. 2014. Manajemen Konflik Organisasi dalam
Pandangan Islam (Organizational Conflict Management in Islamic
View). Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1.
Pickering, Peg. 2006 How to Manage Conflict (Kiat Menangani Konflik),
terj. Masri Maris, Jakarta: Esensi Erlangga.
Saefullah. 2012. Manajemen Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Sofiyati, Pupun. et.al., 2011. Konflik dan Stress; Makalah
Pengembanagan dan Perilaku Organisasi. Malang : Universitas
Brawijaya.
Sulistyorini. 2009. Menajemen Pendidikan Islam Konsep, Strategi dan
Aplikasi. Yogyakarta: Teras.
Sulistyorini dan Fathurrohman Muhammad. 2014. Esensi Manajemen
Pendidikan Islam Pengelolaan Lembaga untuk Meningkatkan
Kualitas Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras.
Syamubi. 2016. Manajemen Konflik Dalam Pendidikan Islam Dan
Problematikanya: Studi Kasus Di Fakultas Dakwah Uin-Suka
Yogyakarta. Tadrib Vol.2 No. 1.
Syukur, Fatah. 2011. Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah.
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Wahyudi. 2011. Manajemen Konflik dalam Organisasi Pedoman Praktis
Bagi Pemimpin Visioner. Bandung: Alfabeta