SlideShare a Scribd company logo
1 of 41
Download to read offline
KATA PENGANTAR
Penyakit tular vektor dan zoonotik, seperti demam berdarah, malaria, filaria,
chikungunya, pes, leptospirosis dan lain-lain, masih menjadi permasalahan
kesehatan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tingginya populasi vektor dan
binatang pembawa penyakit di Indonesia. Sebagai upaya pencegahan penyakit-
penyakit tersebut maka dilaksanakan pengendalian vektor dan binatang
pembawa penyakit. Pengendalian ini akan terarah dan tepat sasaran apabila
didahului dengan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang cepat
dan akurat, yang menghasilkan data dan informasi sebagai dasar pengambilan
keputusan.
Kondisi saat ini, surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit masih
belum dikerjakan secara optimal dan belum terintegrasi, sehingga data dan
informasi vektor dan binatang pembawa penyakit tidak tersedia dengan baik
akibatnya pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit belum dilakukan
secara efektif dan tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena belum adanya
metode/ sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang mudah
dipahami dan mudah dikerjakan oleh tenaga kesehatan baik di daerah (mulai dari
Puskesmas, Dinkes Kabupaten/ Kota dan Dinkes Provinsi) maupun di pusat
(Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalia Penyakit) dan Unit Pelaksana
Teknis (UPT) nya.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dikembangkan sistem surveilans
vektor dan binatang pembawa penyakit yang mudah dilaksanakan/ dikerjakan
dan cepat dianalisis untuk menghasilkan data dan informasi dalam rangka
pengambilan keputusan untuk pengendalian vektor dan binatang pembawa
penyakit yang efektif, efisien dan tepat sasaran, Sistem Surveilans Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit (SILANTOR) menuju Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ ) yang Smart yang
berbasis elektronik.
Buku Petunjuk Teknis (Juknis) ini digunakan untuk mempermudah
pelaksanaan pencatatan dan pelaporan, serta analisis data surveilans vektor dan
binatang pembawa penyakit yang berbasis elektronik. Dalam Juknis ini disertai
contoh-contoh input, analisis dan output aplikasi untuk mempermudah
pemakaian software SILANTOR.
Direktur P2PTVZ,
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid
NIP 197208312000032001
DAFTAR ISI
Hal
BAB I PENDAHULUAN …………………. 1
1.1 Latar Belakang …………………. 1
1.2 Tujuan …………………. 3
1.3 Manfaat …………………. 4
1.4 Ruang Lingkup …………………. 6
BAB II KONSEP SURVEILANS …………………. 7
2.1 Surveilans Kesehatan …………………. 7
2.1.1 Kegiatan Surveilans Kesehatan …………………. 7
2.1.2 Bentuk Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan
…………………. 9
2.2 Surveilans Vektor …………………. 12
2.2.1 Surveilans nyamuk Anopheles …………………. 13
2.2.2 Surveilans Nyamuk Aedes …………………. 15
2.2.3 Surveilans Nyamuk Culex …………………. 17
2.2.4 Surveilans Nyamuk Mansonia …………………. 19
2.2.5 Surveilans Pinjal …………………. 20
2.2.6 Surveilans Lalat …………………. 21
2.2.7 Surveilans Kecoa …………………. 22
2.2.8 Surveilans Tikus …………………. 23
2.2.9 Surveilans Keong …………………. 24
BAB III PELAKSANAAN SURVEILANS
VEKTOR DAN BINATANG
PEMBAWA PENYAKIT BERBASIS
WEBSITE DAN ANDROID
…………………. 25
3.1 Surveilans Vektor di Pukesmas …………………. 26
3.1.1 Input Data Vektor di Puskesmas …………………. 26
3.1.2 Analisis Data Vektor di Puskesmas …………………. 26
3.1.3 Output Data Vektor di Puskesmas …………………. 27
3.2 Surveilans Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit di B/BTKLPP dan
KKP
…………………. 27
3.2.1 Input Data di B/BTKLPP dan KKP …………………. 27
3.2.2 Analisis Data di B/BTKLPP dan KKP …………………. 30
3.2.3 Output data di B/BTKLPP dan KKP …………………. 35
3.3 Analisis dan Pengambilan Kebijakan
di Tingkat Kabupaten/ Kota
…………………. 35
3.4 Analisis dan Pengambilan Kebijakan
di Tingkat Provinsi
…………………. 35
3.5 Analisis dan Pengambilan Kebijakan
di Tingkat Nasional
…………………. 36
BAB IV MONITORING DAN EVALUASI …………………. 37
Kepustakaan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara topis dengan suhu, kelembaban dan
curah hujan yang relatif tinggi, merupakan tepat yang ideal bagi
perkembangan serangga, termasuk vektor (serangga penular
penyakit). Kondisi ini didukung dengan luasnya wilayah Indonesia
dengan tipe ekologi yang sangat mempermudah pertumbuhan dan
perkembangan vektor. Hasil surveilans vektor mendapatkan
kepadatan nyamuk Anopheles di atas 0,025 per orang per malam,
Aedes di atas 0,025 per orang per jam dan Culex di atas 1 per orang
per jam (Subdit VBP2, 2018). Kepadatan tersebut masih sangat tinggi,
di atas angka baku mutu yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku
Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk
Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dan Pengendaliannya.
Peraturan Permenkes nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Sub Direktorat Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit mempunyai tugas dan fungsi, antara lain
(1) penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, (2) penyiapan
bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, (3) penyiapan
bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
pencegahan dan pengendalian vektor dan binatang pembawa
penyakit, (4) penyiapan bahan bimbingan teknis dan supervisi di
bidang pencegahan dan pengendalian vektor dan binatang pembawa
penyakit, dan (5) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pencegahan dan pengendalian vektor dan binatang pembawa
penyakit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 66 tahun
2
2014 tentang Kesehatan Lingkungan, bahwa pengamatan/ surveilans
vektor dan binatang pembawa penyakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam rangka pengendalian vektor dan binatang
pembawa penyakit yang efektif, efisien dan tepat sasaran.
Dalam rangka pengendalian vektor dan binatang pembawa
penyakit yang efektif, efisien dan tepat sasaran maka diperlukan
surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit. Menurut
Permenkes nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan, yang dimaksud surveilans kesehatan adalah
kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan
penanggulangan secara efektif dan efisien.
Merujuk pada PP nomor 66 tahun 2014, Permenkes nomor 50
tahun 2017, Permenkes nomor 64 tahun 2015 dan Permenkes nomor
45 tahun 2014 di atas, bahwa surveilans vektor dan binatang
pembawa penyakit merupakan bagian penting yang harus dikerjakan
dalam rangka kewaspadaan dini terhadap peningkatan populasi
vektor dan adanya potensi penularan penyakit. Karena surveilans
akan memberikan informasi yang akurat dalam rangka pencegahan
dan pengendalian yang efektif, efisien dan tepat sasaran.
Kondisi saat ini, surveilans vektor dan binatang pembawa
penyakit masih belum dikerjakan secara optimal dan belum
terintegrasi, sehingga data dan informasi vektor dan binatang
pembawa penyakit tidak tersedia dengan baik akibatnya pengendalian
vektor dan binatang pembawa penyakit belum dilakukan secara efektif
dan tepat sasaran. Surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit
jarang dilakukan oleh Dinkes Kabupaten/ Kota dan Dinkes Provinsi.
Jika ada Dinkes yang melaksanakan surveilans vektor dan binatang
3
pembawa penyakit, hasilnya jarang dilaporkan ke pusat (Direktorat
P2PTVZ), kalaupun dilaporkan waktu pelaporanya paling cepat tiga
bulan. Hal ini disebabkan karena belum adanya metode/ sistem
surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang mudah
dipahami dan mudah dikerjakan oleh tenaga kesehatan baik di daerah
(mulai dari Puskesmas, Dinkes Kabupaten/ Kota dan Dinkes Provinsi)
maupun di pusat (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalia Penyakit) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) nya.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dikembangkan sistem
surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang mudah
dilaksanakan/ dikerjakan dan cepat dianalisis untuk menghasilkan
data dan informasi dalam rangka pengambilan keputusan untuk
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit yang efektif,
efisien dan tepat sasaran, yaitu Pengembangan Sitem Surveilans
Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit (Silantor) di Indonesia
(Gambar 1).
Gambar 1.1
Gambaran Kondisi Saat Ini, dan Pencapaian Kondisi yang
Diharapkan melalui Silantor
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan petunjuk teknis (Juknis) sistem surveilans vektor
dan binatang pembawa penyakit dibedakan menjadi tujuan umum dan
tujuan khusus
Kondisi
saat
ini
- Kepadatan vektor dan
binatang pembawa penyakit di
Indonesia sangat tinggi
- Belum optimalnya dan
integrasinya surveilans vektor
dan binatang pembawa
penyakit di Indonesia
- Belum adanya sistem
surveilans vektor dan binatang
pembawa penyakit di
Indonesia.
Solusi
Mengatasi
Masalah
- Mebuat Juknis sistem
surveilans vektor dan binatang
pembawa penyakit di
Indonesia
- Membuat software surveilans
vektor dan binatang pembawa
penyakit
- Pelaksanaan surveilans vektor
dan binatang pembawa
penyakit di Indonesia berbasis
website dan android.
- Monitoring dan evaluasi
pelaksanaan sistem surveilans
vektor dan binatang pembawa
penyakit di Indonesia.
Kondisi
yang
diinginkan
- Terlaksanya surveilans vektor
dan binatang pembawa
penyakit yang terintegrasi,
mulai dari Puskesmas, Dinkes
Kabupaten/ Kota, Dinkes
Provinsi dan pusat (Dit P2PTVZ)
- Tersedianya data dan
informasi vektor dan binatang
pembawa penyakit secara
cepat dan akurat, sebagai dasar
pengambilan keputusan yang
tepat dalam rangka
pengendalian vektor dan
penyakit tular vektor
4
1.2.1. Tujuan Umum
Adanya petunjuk teknis sebagai acuan dalam penyelenggaraan
surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Sebagai dasar bagi tenaga entomolog kesehatan (Entokes) dan
tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan surveilans vektor
dan binatang pembawa penyakit.
2. Memberikan pengetahuan/ pemahaman yang sama bagi tenaga
Entokes dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia dalam
melaksanakan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit.
3. Meningkatkan pengetahuan/ pengetahuan bagi tenaga Entokes
dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia dalam melaksanakan
surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit.
4. Terlaksana surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit
dengan baik dan benar.
5. Terlaksananya pengendalian vektor yang efektif, efisien dan tepat
sasaran.
1.3. Manfaat
Manfaat pentunjuk teknis surveilans surveilans vektor dan binatang
pembawa penyakit di Indonesia, tidak hanya bermafaat untuk
kebutuhan internal Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor dan Zoonotik (Dit. P2PTVZ), tetapi juga akan bermanfaat
instansi eksternal di luar Dit. P2PTVZ seperti Dinkes Provinsi, Dinkes
Kabupaten/ Kota, B/BTKLPP, KKP, Puskesmas dan masyarakat.
1.3.1. Mafaat bagi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular
Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ)
5
1. Mendukung tugas pokok dan fungsi pencegahan dan pengendalian
penyakit tular vektor dan zoonotik.
2. Memperkuat sistem surveilans dan pengendalian vektor dan
binatang pembawa penyakit di Indonesia
3. Mempermudah dan mempercepat pengambilan keputusan di tingkat
nasional dalam rangka pengendalian vektor dan penyakit tular vektor
di Indonesia.
1.3.2. Manfaat bagi Dinkes Provinsi dan Dinkes Kabupaten/ Kota
1. Mempermudah pelaksanaan, analisis dan pelaporan surveilans
vektor dan binatang pembawa penyakit di tingkat Provinsi dan
Kabupaten/ Kota.
2. Mempermudah pengambilan kebijakan dalam rangka pengendalian
vektor dan penyakit tular vektor di tingkat Provinsi dan Kabupaten/
Kota.
1.3.3. Manfaat bagi Puskesmas
1. Menjadi panduan surveilans vektor dan binatang pembawa
penyakit di lapangan.
2. Mempermudah pelaksanaan, analisis dan pelaporan surveilans
vektor dan binatang pembawa penyakit di lapangan.
1.3.3. Manfaat bagi B/BTKLPP dan KKP
1. Menjadi panduan surveilans vektor dan binatang pembawa
penyakit di lapangan.
2. Mempermudah pelaksanaan, analisis dan pelaporan surveilans
vektor dan binatang pembawa penyakit di wilayah kerja B/BTKLPP
dan KKP.
1.3.4. Manfaat bagi Masyarakat
6
1. Melindungi masyarakat dari gigitan vektor dan binatang pembawa
penyakit.
2. Melindungi masyarakat dari penyebaran penyakit tular vektor dan
zoonotik.
3. Dapat meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat
dalam pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit.
1.4. Ruang Lingkup
Sebagaimana tujuan yang ingin dicapai, maka ruang lingkup sistem
surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia, antara
lain:
1. Menyusun petunjuk teknis sistem surveilans vektor dan binatang
pembawa penyakit di Indonesia.
2. Membuat software sistem surveilans vektor dan binatang pembawa
penyakit (e-SILANTOR) di Indonesia.
3. Melakukan uji coba sistem surveilans vektor dan binatang
pembawa penyakit (e-SILANTOR) berbasis website dan android.
4. Sosialisasi sistem surveilans vektor dan binatang pembawa
penyakit kepada Dinkes Povinsi, Balai/ Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP),
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
5. Pelatihan sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit
kepada petugas surveilans/ pengendali vektor dan binatang
pembawa penyakit di Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten/ Kota,
B/BTKLPP, KKP dan Puskesmas.
6. Pelaksanaan kegiatan surveilans vektor dan binatang pembawa
penyakit yang berkelanjutan, dimulai dari Puskesmas, Dinkes
Kabupaten/ Kota dan Provinsi, B/BTKLPP dan KKP hingga ke pusat
(Direktorat P2PTVZ Kemenkes).
7. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem surveilans vektor dan
binatang pembawa penyakit di Indonesia.
7
BAB II
KONSEP SURVEILANS
2.1. Surveilans Kesehatan
Surveilans Kesehatan didefinisikan sebagai kegiatan pengamatan
yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi
tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi
guna mengarahkan tindakan penanggulangan secara efektif dan
efisien. Surveilans Kesehatan diselenggarakan agar dapat melakukan
tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan diseminasi
kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan. Surveilans Kesehatan
mengedepankan kegiatan analisis atau kajian epidemiologi serta
pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya
kegiatan pengumpulan data dan pengolahan data. Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan harus mampu memberikan gambaran
epidemiologi antara lain komponen pejamu, agen penyakit, dan
lingkungan yang tepat berdasarkan dimensi waktu, tempat dan orang.
Karakteristik pejamu, agen penyakit, dan lingkungan mempunyai
peranan dalam menentukan cara pencegahan dan penanggulangan
jika terjadi gangguan keseimbangan yang menyebabkan sakit.
2.1.1. Kegiatan Surveilans Kesehatan
Menurut Permenkes nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan, kegiatan surveilans kesehatan meliputi : 1)
pengumpulan data, 2) pengolahan data, 3) analisis data, dan 3)
desiminasi informasi.
2.1.1.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara aktif dan pasif. Jenis
data Surveilans Kesehatan dapat berupa data kesakitan, kematian,
8
dan faktor risiko. Pengumpulan data dapat diperoleh dari berbagai
sumber antara lain individu, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, unit
statistik dan demografi, dan sebagainya. Metode pengumpulan
data dapat dilakukan melalui wawancara, pengamatan,
pengukuran, dan pemeriksaan terhadap sasaran. Dalam
melaksanakan kegiatan pengumpulan data, diperlukan instrumen
sebagai alat bantu. Instrumen dibuat sesuai dengan tujuan
surveilans yang akan dilakukan dan memuat semua variabel data
yang diperlukan.
2.1.1.2. Pengolahan Data
Sebelum data diolah dilakukan pembersihan koreksi dan cek ulang,
selanjutnya data diolah dengan cara perekaman data, validasi,
pengkodean, alih bentuk (transform) dan pengelompokan
berdasarkan variabel tempat, waktu, dan orang. Hasil pengolahan
dapat berbentuk tabel, grafik, dan peta menurut variabel golongan
umur, jenis kelamin, tempat dan waktu, atau berdasarkan faktor
risiko tertentu. Setiap variabel tersebut disajikan dalam bentuk
ukuran epidemiologi yang tepat (rate, rasio dan proporsi).
Pengolahan data yang baik akan memberikan informasi spesifik
suatu penyakit dan atau masalah kesehatan. Selanjutnya adalah
penyajian hasil olahan data dalam bentuk yang informatif, dan
menarik. Hal ini akan membantu pengguna data untuk memahami
keadaan yang disajikan.
2.1.1.3. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode epidemiologi
deskriptif dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang
sesuai dengan tujuan surveilans yang ditetapkan. Analisis dengan
metode epidemiologi deskriptif dilakukan untuk mendapat
gambaran tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya menurut waktu, tempat
dan orang. Sedangkan analisis dengan metode epidemiologi
9
analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variable yang
dapat mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan atau
masalah kesehatan. Untuk mempermudah melakukan analisis
dengan metode epidemiologi analitik dapat menggunakan alat
bantu statistik. Hasil analisis akan memberikan arah dalam
menentukan besaran masalah, kecenderungan suatu keadaan,
sebab akibat suatu kejadian, dan penarikan kesimpulan. Penarikan
kesimpulan hasil analisis harus didukung dengan teori dan kajian
ilmiah yang sudah ada.
2.1.1.4. Diseminasi Informasi
Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk buletin,
surat edaran, laporan berkala, forum pertemuan, termasuk
publikasi ilmiah. Diseminasi informasi dilakukan dengan
memanfaatkan sarana teknologi informasi yang mudah diakses.
Diseminasi informasi dapat juga dilakukan apabila petugas
surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan
dan monitoring evaluasi program kesehatan, dengan
menyampaikan hasil analisis.
2.1.2. Bentuk Penyelenggaraan surveilans Kesehatan
Menurut Permenkes nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan, berntuk penyelenggaran surveilans kesehatan
terdiri dari : 1) surveilans berbasis indikator, dan 2) surveilans berbasis
kejadian.
2.1.2.1. Surveilans Berbasis Indikator
Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh
gambaran penyakit, faktor risiko dan masalah kesehatan dan/atau
masalah yang berdampak terhadap kesehatan yang menjadi
indikator program dengan menggunakan sumber data yang
terstruktur. Contoh data terstruktur antara lain: a) laporan bulanan
penderita demam berdarah, b) laporan bulanan malaria, c) laporan
10
bulanan filarias, dan lain-lain. Data tersebut dimanfaatkan dalam
rangka kewaspadaan dini penyakit atau masalah kesehatan. Hasil
analisis dimaksudkan untuk memperoleh gambaran penyakit atau
masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap
kesehatan seperti: situasi dan kecenderungan, perbandingan
dengan periode sebelumnya, dan perbandingan antar
wilayah/daerah/kawasan. Kegiatan surveilans ini biasanya
digunakan untuk menetukan arah program/intervensi, serta
pemantauan dan evaluasi terhadap program/intervensi.
Pelaksanaan surveilans berbasis indikator dilakukan mulai dari
puskesmas sampai pusat, sesuai dengan periode waktu tertentu
(harian, mingguan, bulanan dan tahunan). Pelaksanaan surveilans
berbasis indikator di puskesmas, dilakukan untuk menganalisis
pola penyakit, faktor risiko, pengelolaan sarana pendukung seperti
kebutuhan vaksin, obat, bahan dan alat kesehatan, persiapan dan
kesiapan menghadapi kejadian luar biasa beserta
penanggulangannya.
Pelaksanaan surveilans berbasis indikator di kabupaten/kota,
dilakukan berdasarkan hasil analisis dari kegiatan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, kawasan tertentu, berbagai data dan
informasi yang bersumber dari lintas sektor, hasil kajian, untuk
menganalisis pola penyakit, faktor risiko, masalah kesehatan
maupun masalah lain yang berdampak terhadap kesehatan dalam
rangka pengelolaan program skala kabupaten/kota maupun
kebijakan teknis operasional yang dibutuhkan. Pelaksanaan
surveilans berbasis indikator di provinsi, dilakukan berdasarkan
hasil analisis dari kegiatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
analisis situasi dan kecenderungan lintas kabupaten/kota, kawasan
tertentu/khusus serta berbagai data dan informasi yang bersumber
dari lintas sektor, hasil kajian, untuk menganalisis pola penyakit,
faktor risiko, masalah kesehatan maupun masalah lain yang
berdampak terhadap kesehatan dalam rangka pengelolaan
11
program skala provinsi maupun kebijakan teknis operasional yang
dibutuhkan. Pelaksanaan surveilans berbasis indikator di pusat,
dilakukan berdasarkan hasil analisis situasi dan kecenderungan
lintas provinsi, kawasan tertentu/khusus serta berbagai data dan
informasi yang bersumber dari lintas sektor, hasil kajian, untuk
menganalisis pola penyakit, faktor risiko, masalah kesehatan
maupun masalah lain yang berdampak terhadap kesehatan dalam
rangka pengelolaan program skala nasional maupun kebijakan
teknis yang dibutuhkan.
2.1.2.2. Surveilans Berbasis Kejadian
Surveilans berbasis kejadian dilakukan untuk menangkap dan
memberikan informasi secara cepat tentang suatu penyakit, faktor
risiko, dan masalah kesehatan, dengan menggunakan sumber data
selain data yang terstruktur. Surveilans berbasis kejadian dilakukan
untuk menangkap masalah kesehatan yang tidak tertangkap
melalui surveilans berbasis indikator. Sebagai contoh, beberapa
kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah dan malaria diketahui
dari media massa. Pelaksanaan surveilans berbasis kejadian
dilakukan secara terus menerus (rutin) seperti halnya surveilans
berbasis indikator, dimulai dari puskesmas sampai pusat. Sumber
laporan didapat dari sektor kesehatan (instansi/sarana kesehatan,
organisasi profesi kesehatan, asosiasi kesehatan, dan lain-lain),
dan di luar sektor kesehatan (instansi pemerintah non kesehatan,
kelompok masyarakat, media, jejaring sosial dan lain-lain).
Kegiatan surveilans berbasis kejadian di Puskesmas,
kabupaten/kota, dan provinsi dilakukan melalui kegiatan verifikasi
terhadap rumor terkait kesehatan atau berdampak terhadap
kesehatan di wilayah kerjanya guna melakukan langkah intervensi
bila diperlukan. Kegiatan surveilans berbasis kejadian di pusat
dilakukan untuk verifikasi terhadap rumor terkait kesehatan atau
berdampak terhadap kesehatan yang berasal dari dalam negeri
12
maupun dari luar negeri yang berdampak secara nasional maupun
internasional, guna mengambil langkah intervensi bila diperlukan.
Penyelenggaraan surveilans berbasis indikator dan berbasis
kejadian diaplikasikan antara lain dalam bentuk PWS (Pemantauan
Wilayah Setempat) yang didukung dengan pencarian rumor
masalah kesehatan. Setiap unit penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan melakukan Pemantauan Wilayah Setempat dengan
merekam data, menganalisa perubahan kejadian penyakit dan atau
masalah kesehatan menurut variable waktu, tempat dan orang
(surveilans berbasis indikator). Selanjutnya disusun dalam bentuk
tabel dan grafik pemantauan wilayah setempat untuk menentukan
kondisi wilayah yang rentan KLB. Bila dalam pengamatan
ditemukan indikasi yang mengarah ke KLB, maka dilakukan respon
yang sesuai termasuk penyelidikan epidemiologi. Selain itu
dilakukan juga pencarian rumor masalah kesehatan secara aktif
dan pasif (surveilans berbasis kejadian) untuk meningkatkan
ketajaman hasil PWS. Contoh aplikasi lain adalah operasionalisasi
Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR). Dalam SKDR
dilakukan pengamatan gejala penyakit yang mengarah ke suatu
penyakit potensial KLB secara mingguan dengan format tertentu
(surveilans berbasis indikator). Bila dalam pengamatan mingguan
ditemukan sinyal peningkatan jumlah gejala penyakit yang
mengarah ke suatu penyakit potensial KLB, dilakukan respon untuk
memverifikasi kebenaran kejadian peningkatan dan respon lain
yang diperlukan termasuk penyelidikan epidemiologi (surveilans
berbasis kejadian).
2.2. Surveilans Vektor
Surveilans vektor adalah pengamatan dan analisis kepadatan vektor
dan binatang pembawa penyakit secara terus menerus untuk
menghasilkan data dan informasi dalam rangka pengambilan
keputusan untuk pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit
13
yang efektif, efisien dan tepat sasaran, serta untuk kesiapsiagaan
adanya penularan penyakit tular vektor dan zoonotik. Sebagaimana
Permenkes nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu
Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit dan Pengendaliannya, surveilans vektor
dan binatang pembawa penyakit paling sedikit terdiri atas surveilans
nyamuk Anopheles, surveilans nyamuk Aedes, surveilans nyamuk
Culex, surveilans nyamuk Mansonia, surveilans pinjal, surveilans lalat,
surveilans kecoa, surveilans tikus dan surveilans keong Oncomelania.
2.2.1. Surveilans nyamuk Anopheles
Surveilans nyamuk Anopheles terdiri dari dua kegiatan, yaitu
surveilans kepadatan nyamuk Anopheles dan surveilans indeks habitat
larva Anopheles.
2.2.1.1. Kepadatan Nyamuk Anopheles
Kepadatan nyamuk Anopheles dianalisis berdasarkan angka man
bitting rate (MBR). MBR adalah angka gigitan nyamuk per orang
per malam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu)
yang tertangkap dalam satu malam (12 jam) dibagi dengan jumlah
penangkap (kolektor) dikali dengan waktu (jam) penangkapan.
Angka baku mutu MBR adalah < 0,025.
MBR
=
Jumlah nyamuk π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘  yang tertangkap (spesies tertentu)
Jumlah penangkap x waktu penangkapan (dalam jam)
Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima
orang kolektor, dengan metode nyamuk hinggap di badan (human
landing collection) selama 12 jam (jam 18.00-06.00), yang mana
setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10 Anopheles
sundaicus, dua Anopheles subpictus dan satu Anopheles
14
indefinitus. Maka MBR Anopheles sundaicus dihitung sebagai
berikut.
Diketahui:
- Jumlah nyamuk Anopheles sundaicus yang didapatkan
sebanyak 10
- Jumlah penangkap sebanyak 5 orang
- Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit,
sehingga dalam satu malam (12 jam) sebanyak 8 jam (8/12).
MBR =
10
5 x 8/12
= 2,99
Artinya kepadatan Anopheles sundaicus perorang perjam sebesar
2,99, masih di atas angka baku mutu (0,025), dengan kata lain di
daerah tersebut masih mepunyai potensi penularan malaria, karena
kepadatan nyamuk Anopheles masih diatas angka baku mutu
(0,025).
2.2.1.2. Indeks Habitat Anopheles
Indeks habitat Anopheles (IH_An) adalah persentase habitat
perkembangbiakan yang positif larva Anopheles, dihitung dengan
cara jumlah habitat yang positif larva Anopheles dibagi dengan
jumlah seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan 100%. Angka
baku mutu IH_An adalah < 1%.
IH_An =
Jumlah habitat yang positif larva π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘ 
Jumlah seluruh habitat yang diperiksa
x 100%
Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 30 habitat
perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp., setelah dilakukan
pencidukan didapatkan 5 habitat positif larva Anopheles spp. dan 6
habitat positif larva Culex spp. Maka indeks habitat larva Anopheles
dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
15
- Jumlah seluruh habitat diamati sebanyak 30 buah
- Jumlah habitat positif larva Anopheles spp. sebanyak 5 buah
IH_An =
5
30
x 100% = 16,7%
Hasil perhitungan menunjukkan IH-An sebesar 16,7%, masih di
atas angka baku mutu (1%), dengan kata lain di daerah tersebut
masih mepunyai potensi penularan malaria, karena karena IH_An
masih diatas angka baku mutu (1%).
2.2.2. Surveilans Nyamuk Aedes
Surveilans nyamuk Aedes terdiri dari surveilans kepadatan nyamuk
Aedes dan surveilans angka bebas jentik
2.2.2.1. Kepadatan Nyamuk Aedes
Kepadatan nyamuk Aedes dianalisis berdasarkan angka istirahat
(resting rate/RR) adalah angka kepadatan nyamuk istirahat
(resting) per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Aedes spp.
yang tertangkap dalam satu hari (12 jam) dibagi dengan jumlah
penangkap (kolektor) dikali lama penangkapan (jam) dikali dengan
waktu penangkapan (menit) dalam tiap jamnya. Angka baku mutu
RR adalah < 0,025.
RR =
Jumlah nyamuk 𝐴𝑒𝑑𝑒𝑠 𝑠𝑝𝑝. yang tertangkap
Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘)
Contoh, penangkapan nyamuk istirahat siang hari dilakukan oleh
lima orang kolektor, dengan menggunakan aspirator selama 12 jam
(jam 06.00-18.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit,
mendapatkan lima nyamuk Aedes spp. dan lima nyamuk Culex spp.
Maka angka istirahat per jam dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
16
- Jumlah nyamuk Aedes yang didapatkan sebanyak 5
- Jumlah penangkap sebanyak 5 orang
- Lama penangkapan 12 jam
- Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60).
RR =
5
5 x 12 x 40/60
= 24
Hasil perhitungan menunjukkan RR sebesar 24, masih di atas
angka baku mutu (0,025), dengan kata lain di daerah tersebut
masih mepunyai potensi penularan demam berdarah dan
chikungunya, karena RR masih diatas angka baku mutu (0,025).
2.2.2.2. Angka Bebas Jentik
Angka bebas jentik (ABJ) adalah persentase rumah atau bangunan
yang bebas jentik, dihitung dengan cara jumlah rumah atau
bangunan yang tidak ditemukan jentik dibagi dengan jumlah
seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa dikali 100%. Yang
dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik, rumah
susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung berdasarkan
satuan ruang bangunan/unit pengelolanya. Angka baku mutu ABJ
β‰₯ 95%.
ABJ =
Jumlah π‘Ÿπ‘’π‘šπ‘Žβ„Ž π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ π‘π‘Žπ‘›π‘”π‘’π‘›π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘šπ‘’π‘˜π‘Žπ‘› π‘—π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘˜
Jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa
π‘₯100%
Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 100 rumah dan
bangunan, 4 rumah dan bangunan di antaranya positif jentik Aedes
spp. Maka ABJ dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
- Jumlah seluruh rumah/ bangunan yang diperiksa sebanyak
100 buah.
17
- Jumlah rumah/ bangunan yang potifif jentik 4 Aedes spp.,
berarti rumah/ bangunan yang tidak ditemukan jentik
sebabanyak 96 rumah (100-4).
ABJ =
96
100
π‘₯ 100% = 96%
Hasil perhitungan tersebut menunjukan ABJ sebesar 96%, sudah
berada di atas angka baku mutu (95%), dengan kata lain di daerah
tersebut dinyatakan relatif aman terhadap potensi penularan
demam berdarah dan chikungunya, karena ABJ sudah di atas
angka baku mutu (95%).
2.2.3. Surveilans Nyamuk Culex
Surveilans nyamuk Culex terdiri atas surveilans kepadatan nyamuk
Culex dan surveilans indeks habitat nyamuk Culex.
2.2.3.1. Kepadatan Nyamuk Culex
Kepadatan nyamuk Culex dianalisis berdasarkan angka Man Hour
Density (MHD_Cx) .MHD_Cx adalah angka nyamuk yang hinggap
per orang per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Culex yang
tertangkap dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali
dengan lama penangkapan (jam) dikali dengan waktu
penangkapan (menit). Angka baku mutu MHD Cx adalah < 1.
MHD_Cx =
Jumlah nyamuk 𝐢𝑒𝑙𝑒π‘₯ yang tertangkap
Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘)
Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima
orang kolektor, dengan metode nyamuk hinggap di badan (human
landing collection) selama 6 jam (jam 18.00-12.00), yang mana
setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10 Culex spp. dan
8 Mansonia spp. Maka MHD_Cx dapat dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
18
- Jumlah nyamuk Culex spp. yang didapatkan sebanyak 10
- Jumlah penangkap sebanyak 5 orang
- Lama penangkapan 6 jam
- Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60).
MHD_Cx =
10
5 x 6 π‘₯ 40/60
= 0,496
Hasil perhitungan tersebut menunjukan MHD_Cx sebesar 0,496,
sudah di bawah angka baku mutu (1), dengan kata lain di daerah
tersebut sudah relatif aman terhadap penularan Japanese
encephalitis dan filariasis, karena karena MHD_Cx sudah dibawah
angka baku mutu (1).
2.2.3.2. Indeks Habitat Culex
Indeks habitat Culex (IH_Cx) adalah persentase habitat
perkembangbiakan yang positif larva Culex, dihitung dengan cara
jumlah habitat yang positif larva Culex dibagi dengan jumlah
seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan 100%. Angka baku
mutu IH_Cx adalah < 5%.
IH_Cx =
Jumlah habitat yang positif larva 𝐢𝑒𝑙𝑒π‘₯
Jumlah seluruh habitat yang diperiksa
x 100%
Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 150 habitat
perkembangbiakan nyamuk Culex, setelah dilakukan pengamatan
didapatkan 16 habitat positif larva Culex. Maka IH_Cx dapat
dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
- Jumlah seluruh habitat diamati sebanyak 150 buah
- Jumlah habitat positif larva Culex sebanyak 16 buah
19
IH_Cx =
16
150
x 100% = 10,7%
Hasil perhitungan menunjukkan IH_Cx sebesar 10,7%, masih di
atas angka baku mutu (5%), dengan kata lain di daerah tersebut
masih mepunyai potensi penularan filariasis dan Japanese
encephalitis, karena karena IH_Cx masih diatas angka baku mutu
(5%).
2.2.4. Surveilans Nyamuk Mansonia
Surveilans nyamuk Mansonia dihitung berdasarkan angka Man Hour
Density (MHD_Man). MHD_Man adalah angka nyamuk yang hinggap
per orang per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Mansonia
yang tertangkap dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali
dengan lama penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan
(menit). Angka baku mutu MHD_Man adalah < 5.
MHD_Man =
Jumlah nyamuk π‘€π‘Žπ‘›π‘ π‘œπ‘›π‘–π‘Ž yang tertangkap
Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘)
Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima
orang kolektor, dengan metode nyamuk hinggap di badan (human
landing collection) selama 6 jam (jam 18.00-12.00), yang mana
setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10 Culex spp. dan
8 Mansonia spp. Maka MHD_Man dapat dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
- Jumlah nyamuk Mansonia yang didapatkan sebanyak
8
- Jumlah penangkap sebanyak 5 orang
- Lama penangkapan 6 jam
- Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit
(40/60).
20
MHD_Man =
8
5 x 6 π‘₯ 40/60
= 0,398
Hasil perhitungan tersebut menunjukan MHD_Man sebesar 0,398,
sudah dibawah angka baku mutu (5), dengan kata lain di daerah
tersebut sudah relatif aman terhadap penularan filariasis, karena
karena MHD_Man masih di bawah angka baku mutu (5).
2.2.5. Surveilans Pinjal
Surveilans pinjal terdiri atas surveilans pinjal khusus dan surveilans
pinjal umum.
2.2.5.1. Indeks Pinjal Khusus
Indeks pinjal khusus (IPK) adalah jumlah pinjal Xenopsylla cheopis
yang tertangkap dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap dan
diperiksa. Angka baku mutu IPK adalah < 1.
IPK =
Jumlah pinjal π‘‹π‘’π‘›π‘œπ‘π‘ π‘¦π‘™π‘™π‘Ž π‘β„Žπ‘’π‘œπ‘π‘ π‘–π‘  yang tertangkap
Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa
Contoh, hasil penangkapan tikus mendapatkan 50 tikus, setelah
dilakukan penyisiran didapatkan 40 pinjal Xenopsylla cheopis dan
30 pinjal jenis lainnya. Indeks pinjal Xenopsylla cheopis dihitung
sebagai berikut.
Diketahui:
- Jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang didapatkan sebanyak
40 pinjal
- Jumlah tikus yang diperiksa sebanyak 50 ekor
IPK =
40
50
= 0,8
Hasil perhitungan tersebut menunjukan IPK sebesar 0,8, sudah
dibawah angka baku mutu (1), dengan kata lain di daerah tersebut
21
sudah relatif aman terhadap penularan pes dan leptospirosis,
karena karena IPK sudah di bawah angka baku mutu (1).
2.2.5.2. Indeks Pinjal Umum
Indeks pinjal umum (IPU) adalah jumlah seluruh pinjal yang
tertangkap dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap dan
diperiksa. Angka baku mutu IPU adalah < 2.
IPU =
Jumlah seluruh pinjal yang tertangkap
Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa
Contoh, hasil penangkapan tikus mendapatkan 50 tikus, setelah
dilakukan penyisiran didapatkan 40 pinjal Xenopsylla cheopis dan
30 pinjal jenis lainnya. Indeks pinjal Xenopsylla cheopis dihitung
sebagai berikut.
Diketahui:
- Jumlah seluruh pinjal yang tertangkap sebanyak 70 pinjal
(40+30).
- Jumlah tikus yang diperiksa sebanyak 50 ekor
IPU =
70
50
= 1,4
Hasil perhitungan tersebut menunjukan IPU sebesar 1,4, sudah
dibawah angka baku mutu (2), dengan kata lain di daerah tersebut
sudah relatif aman terhadap penularan pes dan leptospirosis,
karena karena IPK sudah di bawah angka baku mutu (2).
2.2.6. Surveilans Lalat
Surveians lalat dianalisis berdasarkan indeks populasi lalat (IPL). IPL
adalah angka rata-rata populasi lalat pada suatu lokasi yang diukur
dengan menggunakan flygrill. Pengukuran dilakukan pada tempat-
tempat populasi lalat tinggi, misalnya tempat penampungan sampah
22
dan dapur. Flygrill diletakan pada 10 titik pengamatan. Indeks populasi
lalat dihitung dengan cara melakukan pengamatan jumlah lalat yang
hinggap pada flygrill selama 30 detik. Dari 10 kali pengamatan diambil
5 (lima) nilai tertinggi, lalu kelima nilai tersebut dirata-ratakan. Angka
baku mutu IPL adalah < 2.
Contoh, pengamatan lalat pada rumah makan, Flygrill diletakkan di
dapur. Pada 30 detik pengamatan pertama, kedua, hingga kesepuluh
didapatkan data sebagai berikut: 2, 2, 4, 3, 2, 0, 1,1, 2, 1. Lima angka
tertinggi adalah 4, 3, 2, 2, 2, yang dirataratakan sehingga
mendapatkan indeks populasi lalat sebesar 2,6.
Hasil perhitungan tersebut menunjukan IPL sebesar 2,6, masih di atas
angka baku mutu (< 2), dengan kata lain di daerah tersebut/ rumah
makan tersebut mempunyai potensi penularan diare dan penyakit
sistem pencernaan lainnya, karena karena IPL masih di atas angka
baku mutu (< 2).
2.2.7. Surveilans Kecoa
Surveilans kecoa dianalisis berdasarkan indeks populasi kecoa
(IPKe). IPKe adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung
berdasarkan jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam
menggunakan perangkap lem (sticky trap). Angka baku mutu IPKe
adalah < 2.
IPKe =
Jumlah kecoa yang tertangkap
Jumlah perangkap
Contoh, penangkapan kecoa menggunakan 4 buah perangkap sticky
trap pada malam hari, dua buah dipasang di dapur dan masingmasing
satu buah dipasang di dua kamar mandi. Hasilnya mendapatkan 6
ekor kecoa. Maka indeks populasi kecoa dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
- Jumlah kecoa yang didapat sebanyak 6 ekor.
- Jumlah perangkap sebanyak 4 buah.
23
IPKe =
6
4
= 1,5
Hasil perhitungan tersebut menunjukan IPKe sebesar 1,5, masih
dibawah angka baku mutu (< 2), dengan kata lain di daerah tersebut/
rumah makan tersebut relatif aman terhadap penularan diare dan
penyakit sistem pencernaan lainnya, karena karena IPKe sudah
dibawah angka baku mutu (2).
2.2.8. Surveilans Tikus
Surveilans tikus dinalisis berdasarkan angka Success Trap (ST). ST
adalah persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap, dihitung
dengan cara jumlah tikus yang didapat dibagi dengan jumlah
perangkap dikalikan 100%. Angka baku mutu ST adalah < 1%.
ST =
Jumlah tikus yang didapat
π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘
π‘₯ 100%
Contoh, pemasangan 50 perangkap tikus yang dilakukan selama 4
hari mendapatkan 5 tikus. Maka success trap dihitung sebagai berikut.
Diketahui :
- Jumlah tikus yang didapatkan 5 ekor.
- Jumlah perangkap yang selama 4 hari sebanyak 50 buah.
ST =
5
50
π‘₯ 100% = 10%
Hasil perhitungan tersebut menunjukan ST sebesar 10%, di atas
angka baku mutu (< 1%), dengan kata lain di daerah tersebut
mempunyai potensi erhadap penularan penyakit diare dan penyakit
sistem pencernaan lainnya, karena karena ST di atas angka baku
mutu (< 1).
24
2.2.9. Surveilans Keong
Surveilans keong dianalisis berdasarkan Indeks Habitat Keong
Oncomelania hupensis lindoensis (IH_Ke), IH_Ke adalah jumlah
keong Oncomelania hupensis lindoensis dalam 10 meter persegi
habitat, dihitung dengan cara jumlah keong Oncomelania hupensis
lindoensis yang didapat dalam 10 meter persegi. Angka baku mutu
KH_Ke adalah 0.
IH_Ke =
Jumlah keong π‘‚π‘π‘œπ‘šπ‘’π‘™π‘Žπ‘›π‘–π‘Ž β„Žπ‘’π‘π‘’π‘›π‘ π‘–π‘  π‘™π‘–π‘‘π‘œπ‘’π‘›π‘ π‘–π‘  yang didapat
π‘™π‘’π‘Žπ‘  β„Žπ‘Žπ‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘‘ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘ π‘’π‘Ÿπ‘£π‘’π‘– (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘š2)
π‘₯ 10
Contoh, survei dilakukan pada 1.000 m2 habitat keong mendapatkan
15 keong Oncomelania hupensis lindoensis. Indeks habitat dihitung
sebagai berikut.
Diketahui:
- Jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis 15 ekor.
- Luas habitat 1.000 meter persegi.
IH_Ke =
15
1.000
π‘₯ 10 = 0,15
Hasil perhitungan tersebut menunjukan IH_Ke sebesar 1,5, di atas
angka baku mutu (0), dengan kata lain di daerah tersebut mempunyai
potensi erhadap penularan Schistosomiasis, karena karena IH_Ke di
atas angka baku mutu (0).
25
BAB III
PELAKSANAAN SURVEILANS VEKTOR DAN BINATANG PEMBAWA
PENYAKIT BERBASIS WEBSITE DAN ANDROID
Secara garis besar sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit
meliputi input data vektor dan binatang pembawa penyakit berasal dari
Puskesmas, B/BTKLPP dan KKP, selajutnya data dianalsis dan dipetakan di
tingkat Puskesmas dan wilayah kerja B/BTKLPP dan KKP. Data dari semua
Puskesmas, B/BTKLPP dan KKP masuk ke Dinkes Kabupaten/ Kota untuk
dianalisis dan dipetakan pada tingkat kabupaten/ kota. Selanjutnya data semua
Puskesmas, B/BTKLPP, KKP dan Dinkes Kabupaten/ Kota masuk ke Dinkes
Provinsi untuk dianalisis dan dipetakan pada tingkat provinsi. Pada akhirnya
semua data Puskesmas, B/BTKLPP, KKP, kabupaten/ kota dan provinsi masuk
ke Kementerian Kesehatan (Direktorat P2PTVZ) untuk dianalisis dan dipetakan
pada tingkat nasional (Gambar 3.1).
Gambar 3.1
Sistem Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit di
Indonesia
26
3.1. Surveilans Vektor di Pukesmas
3.1.1. Input Data Vektor di Puskesmas
Input data tingkat Puskesmas adalah data hasil surveilans vektor petugas
Pukesmas. Puskesmas melakukan surveilans secara rutin, sebulan
sekali, berupa surveilans kepadatan jentik (ABJ) Aedes dan/ atau
surveilans kepadatan jentik Anopheles.
Input data kepadatan jentik Aedes meliputi :
1. Jumlah rumah/ bangunan yang diamati
2. Jumlah rumah/ bangunan yang positif jentik Aedes
Input data indeks habitat Anopheles meliputi :
1. Jumlah habitat yang diamati
2. Jumlah habitat yang positif jentik/ larva Anopheles
3.1.2. Analisis Data Vektor di Puskesmas
Analisis data hasil surveilans vektor di Puskesmas, analisis data
kepadatan jentik Aedes dan analisis data kepadatan jentik Anopheles.
Analisis data kepadatan jentik Aedes berdasarkan angka bebas jentik
(ABJ). ABJ adalah persentase rumah atau bangunan yang bebas jentik,
dihitung dengan cara jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan
jentik dibagi dengan jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa
dikali 100%. Yang dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran,
pabrik, rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung
berdasarkan satuan ruang bangunan/unit pengelolanya. Angka baku mutu
ABJ β‰₯ 95%.
ABJ =
Jumlah π‘Ÿπ‘’π‘šπ‘Žβ„Ž π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ π‘π‘Žπ‘›π‘”π‘’π‘›π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘šπ‘’π‘˜π‘Žπ‘› π‘—π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘˜
Jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa
π‘₯100%
Perhitungan ABJ dilakukan secara otomatif menggunakan sistem yang
ada di soft ware. Hasil perhitungan ABJ di lapangan dibandingkan dengan
angka baku mutu ABJ sebesar β‰₯ 95%. Apabila ABJ lapangan lebih besar
dari ABJ baku mutu maka kondisi lingkungan relatif aman terhadap
27
penularan penyakit. Sebaliknya, apabila ABJ lapangan lebih kecil dari ABJ
baku mutu berarti kondisi lingkungan mempunyai potensi untuk
penyebaran penyakit tular vektor demam berdarah dan demam
chikungunya.
Analisis data kepadatan jentik Anopheles berdasarkan Indeks habitat
Anopheles (IH_An). IH_An adalah persentase habitat perkembangbiakan
yang positif larva Anopheles, dihitung dengan cara jumlah habitat yang
positif larva Anopheles dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati
dikalikan dengan 100%. Angka baku mutu IH_An adalah < 1%.
IH_An =
Jumlah habitat yang positif larva π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘ 
Jumlah seluruh habitat yang diperiksa
x 100%
Perhitungan IH_An dilakukan secara otomatif menggunakan sistem yang
ada di soft ware. Hasil perhitungan IH_An di lapangan dibandingkan
dengan angka baku mutu IH_An yaitu < 1%. Apabila IH_An lapangan lebih
besar dari IH_An baku mutu maka kondisi lingkungan mempunyai potensi
penular malaria. Sebaliknya, apabila IH_An lapangan lebih kecil dari
IH_An baku mutu berarti kondisi lingkungan relatif aman terhadap
penularan malaria.
3.1.3. Output Data Vektor di Puskesmas
Output data vektor tingkat Puskesmas dapat dicetak/ prin out dari
software, berupa angka ABJ dan/ atau indeks habitat. Hasilnya dapat
menjadi dasar diskusi dalam pengambilan keputusan di tingkat
Puskesmas/ Kecamatan.
3.2. Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit di B/BTKLPP dan
KKP
3.2.1. Input Data di B/BTKLPP dan KKP
Input data hasil surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang
dilakukan oleh B/BTKLPP dan KKP, dapat berisikan input data kepadatan
28
nyamuk Anopheles, input data kepadatan jentik Anopheles, input data
kepadatan nyamuk Aedes, input data kepadatan jentik Aedes, input data
kepadatan nyamuk Culex, input data kepadatan jentik Culex, input data
kepadatan nyamuk Mansonia, input data kepadatan pinjal, input data
kepadatan lalat, input data kepadatan kecoa, data input kepadatan tikus
dan input data kepadatan keong Oncomelania.
Input data kepadatan nyamuk Anopheles terdiri dari :
1. Jumlah nyamuk Anopheles (spesies tertentu yang tertangkap)
2. Jumlah penangkap
3. Lama penangkapan (dalam jam)
Input data kepadatan jentik Anopheles terdiri dari :
1. Jumlah habitat yang diamati
2. Jumlah habitat yang positif jentik Anopheles
Input data kepadatan nyamuk Aedes terdiri dari :
1. Jumlah nyamuk Aedes yang tertangkap
2. Jumlah penangkap
3. Lama jam penangkapan
4. Lama waktu penangkapan pada setiap jam nya
Input kepadatan jetik Aedes terdiri dari :
1. Jumlah rumah/ bangunan yang diamati
2. Jumlah rumah/ bangunan yang positif jentik Aedes
Input kepadatan nyamuk Culex terdiri dari :
1. Jumlah nyamuk Culex yang tertangkap
2. Jumlah penangkap
3. Lama jam penangkapan
4. Lama waktu penangkapan pada setiap jam nya
Input kepadatan jentik Culex terdiri dari :
29
1. Jumlah habitat yang diamati
2. Jumlah habitat yang positif jentik Culex
Input kepadatan nyamuk Mansonia terdiri dari :
1. Jumlah nyamuk Mansonia yang tertangkap
2. Jumlah penangkap
3. Lama jam penangkapan
4. Lama waktu penangkapan pada setiap jam nya
Input kepadatan pinjal terdiri dari :
1. Jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang tertangkap
2. Jumlah seluruh pinjal yang tertangkap
3. Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa
Input kepadatan lalat terdiri dari :
1. Jumlah lalat yang tertangkap
2. Jumlah flygrill yang digunakan
Input kepadatan kecoa terdiri dari :
1. Jumlah kecoa yang tertangkap
2. Jumlah perangkap sticky trap yang digunakan
Input kepadatan tikus terdiri dari :
1. Jumlah tikus yang tertangkap
2. Jumlah perangkap yang digunakan
Input kepadatan keong terdiri dari :
1. Jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis yang tertangkap
2. Luas habitat yang disurvei
30
3.2.2. Analisis Data di B/BTKLPP dan KKP
Analisis data kepadatan nyamuk Anopheles dianalisis berdasarkan angka
man bitting rate (MBR). MBR adalah angka gigitan nyamuk per orang per
malam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu) yang
tertangkap dalam satu malam (12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap
(kolektor) dikali dengan waktu (jam) penangkapan.
Angka baku mutu MBR adalah < 0,025, apabila MBR lapangan lebih besar
dari 0,025 maka lingkungan tersebut masih mepunyai potensi penularan
malaria. Sebaliknya apabila MBR lapangan lebih kecil dari 0,025 maka
wilayah tersebut relatif aman dari penularan malaria.
MBR =
Jumlah nyamuk π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘  yang tertangkap (spesies tertentu)
Jumlah penangkap x waktu penangkapan (dalam jam)
Analisis kepadatan jentik Anopheles berdasarkan indeks habitat
Anopheles (IH_An). IH_An adalah persentase habitat perkembangbiakan
yang positif larva Anopheles, dihitung dengan cara jumlah habitat yang
positif larva Anopheles dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati
dikalikan dengan 100%.
Angka baku mutu IH_An adalah < 1%, apabila IH_An lapangan lebih besar
dari 1% maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan
malaria. Sebaliknya apabila IH_An lapangan lebih kecil dari 1% maka
lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan malaria.
IH_An =
Jumlah habitat yang positif larva π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘ 
Jumlah seluruh habitat yang diperiksa
x 100%
Kepadatan nyamuk Aedes dianalisis berdasarkan angka istirahat (resting
rate/RR) adalah angka kepadatan nyamuk istirahat (resting) per jam,
dihitung dengan cara jumlah nyamuk Aedes spp. yang tertangkap dalam
31
satu hari (12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali lama
penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit) dalam tiap
jamnya.
Angka baku mutu RR adalah < 0,025, apabila angka RR lapangan lebih
besar dari 0,025 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi
penularan demam berdarah dan demam chikungunya. Sebaliknya apabila
angka RR lapangan lebih kecil dari 0,025 maka lingkungan tersebut relatif
aman terhadap penularan demam berdarah dan chikungunya.
RR =
Jumlah nyamuk 𝐴𝑒𝑑𝑒𝑠 𝑠𝑝𝑝. yang tertangkap
Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘)
Kepadatan jentik Aedes dianalisis berdasarkan angka bebas jentik (ABJ).
ABJ adalah persentase rumah atau bangunan yang bebas jentik, dihitung
dengan cara jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik
dibagi dengan jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa dikali
100%. Yang dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik,
rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung berdasarkan
satuan ruang bangunan/unit pengelolanya.
Angka baku mutu ABJ β‰₯ 95%, apabila ABJ lapangan lebih kecil dari 95%
maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan demam
berdarah dan demam chikungunya. Sebaliknya apabila ABJ lapangan
lebih besar dari 95% maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap
penularan demam berdarah dan chikungunya.
ABJ =
Jumlah π‘Ÿπ‘’π‘šπ‘Žβ„Ž π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ π‘π‘Žπ‘›π‘”π‘’π‘›π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘šπ‘’π‘˜π‘Žπ‘› π‘—π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘˜
Jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa
π‘₯ 100%
Analisis kepadatan nyamuk Culex berdasarkan angka Man Hour Density
(MHD_Cx). MHD_Cx adalah angka nyamuk yang hinggap per orang per
jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Culex yang tertangkap dibagi
32
dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan lama penangkapan
(jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit).
Angka baku mutu MHD_Cx adalah < 1, apabila MHD_Cx lapangan lebih
besar dari 1 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi
penularan filariasis dan Japanese encephalitis. Sebaliknya apabila
MHD_Cx lapangan lebih kecil dari 1 maka lingkungan tersebut relatif aman
terhadap penularan filariasis dan Japanese encephalitis.
MHD_Cx =
Jumlah nyamuk 𝐢𝑒𝑙𝑒π‘₯ yang tertangkap
Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘)
Analisis kepadatan jentik Culex berdassarkan indeks habitat Culex
(IH_Cx). IH_Cx adalah persentase habitat perkembangbiakan yang positif
larva Culex, dihitung dengan cara jumlah habitat yang positif larva Culex
dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan
100%.
Angka baku mutu IH_Cx adalah < 5%, apabila IH_Cx lapangan lebih
besar dari 5% maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi
penularan filariasis dan Japanese encephalitis. Sebaliknya apabila IH_Cx
lapangan lebih kecil dari 5% maka lingkungan tersebut relatif aman
terhadap penularan filariasis dan Japanese encephalitis.
IH_Cx =
Jumlah habitat yang positif larva 𝐢𝑒𝑙𝑒π‘₯
Jumlah seluruh habitat yang diperiksa
π‘₯ 100%
Analisis kepadatan nyamuk Mansonia berdasarkan angka Man Hour
Density (MHD_Man). MHD_Man adalah angka nyamuk yang hinggap per
orang per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Mansonia yang
tertangkap dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan lama
penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit).
Angka baku mutu MHD_Man adalah < 5, apabila MHD_Man lapangan
lebih besar dari 5 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi
33
penularan filariasis. Sebaliknya apabila MHD_Man lapangan lebih kecil
dari 5 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan filariasis.
MHD_Man =
Jumlah nyamuk π‘€π‘Žπ‘›π‘ π‘œπ‘›π‘–π‘Ž yang tertangkap
Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘)
Analisid kepadatan pinjal dihitung berdasarkan Indeks pinjal khusus (IPK)
adalah jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang tertangkap dibagi dengan
jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa dan Indeks pinjal umum (IPU)
adalah jumlah seluruh pinjal yang tertangkap dibagi dengan jumlah tikus
yang tertangkap dan diperiksa.
Angka baku mutu IPK adalah < 1 dan IPU adalah < 2, apabila IPK
lapangan lebih besar dari 1 dan/ atau IPU lapangan lebih besar dari 2
maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan penyakit
pes. Sebaliknya apabila IPK lapangan lebih kecil dari 1 dan/ atau IPU lebih
kecil dari 2 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan
penyakit pes.
IPK =
Jumlah pinjal π‘‹π‘’π‘›π‘œπ‘π‘ π‘¦π‘™π‘™π‘Ž π‘β„Žπ‘’π‘œπ‘π‘ π‘–π‘  yang tertangkap
Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa
IPU =
Jumlah seluruh pinjal yang tertangkap
Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa
Analisis kepadatan lalat berdasarkan indeks populasi lalat (IPL). IPL
adalah angka rata-rata populasi lalat pada suatu lokasi yang diukur
dengan menggunakan flygrill. Pengukuran dilakukan pada tempat-tempat
populasi lalat tinggi, misalnya tempat penampungan sampah dan dapur.
Flygrill diletakan pada 10 titik pengamatan. Indeks populasi lalat dihitung
dengan cara melakukan pengamatan jumlah lalat yang hinggap pada
flygrill selama 30 detik. Dari 10 kali pengamatan diambil 5 (lima) nilai
tertinggi, lalu kelima nilai tersebut dirata-ratakan.
Angka baku mutu IPL adalah < 2, apabila IPL lapangan lebih besar dari 2
maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan penyakit
34
saluran pencernaan. Sebaliknya apabila IPL lapangan lebih kecil dari 2
maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan penyakit
saluran pencernaan yang disebabkan oleh lalat.
Analisis kepadatan kecoa berdasarkan indeks populasi kecoa (IPKe).
IPKe adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung berdasarkan
jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam menggunakan
perangkap lem (sticky trap).
Angka baku mutu IPKe adalah < 2, apabila IPKe lapangan lebih besar dari
2 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan
penyakit saluran pencernaan. Sebaliknya apabila IPKe lapangan lebih
kecil dari 2 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan
penyakit saluran pencernaan yang disebabkan oleh kecoa.
IPKe =
Jumlah kecoa yang tertangkap
Jumlah perangkap
Analisis kepadatan tikus berdasarkan Success Trap (ST). ST adalah
persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap, dihitung dengan cara
jumlah tikus yang didapat dibagi dengan jumlah perangkap dikalikan
100%.
Angka baku mutu ST adalah < 1%, apabila ST lapangan lebih besar dari
1% maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan
leptospirosis dan pes. Sebaliknya apabila ST lapangan lebih kecil dari 1%
maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan leptospirosis
dan pes.
ST =
Jumlah tikus yang didapat
π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘
π‘₯ 100%
Analisis kepadatan keong berdasarkan Indeks Habitat Keong
Oncomelania hupensis lindoensis (IH_Ke). IH_Ke adalah jumlah keong
Oncomelania hupensis lindoensis dalam 10 meter persegi habitat, dihitung
dengan cara jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis yang didapat
dalam 10 meter persegi.
35
Angka baku mutu IH_Ke adalah 0, apabila IH_Ke lapangan lebih besar
dari 0 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan
Scistosomiasis. Sebaliknya apabila IH_KE lapangan 0 maka lingkungan
tersebut relatif aman terhadap penularan Scistosomiasis.
IH_Ke =
Jumlah keong π‘‚π‘π‘œπ‘šπ‘’π‘™π‘Žπ‘›π‘–π‘Ž β„Žπ‘’π‘π‘’π‘›π‘ π‘–π‘  π‘™π‘–π‘‘π‘œπ‘’π‘›π‘ π‘–π‘  yang didapat
π‘™π‘’π‘Žπ‘  β„Žπ‘Žπ‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘‘ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘ π‘’π‘Ÿπ‘£π‘’π‘– (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘š2)
π‘₯ 10
3.2.3. Output data di B/BTKLPP dan KKP
Output data vektor dan binatang pembawa penyakit di wilayah kerja
B/BTKLPP dan KKP dapat dicetak/ prin out dari software. Hasilnya dapat
menjadi dasar diskusi dalam pengambilan keputusan di wilayah kerja
B/BTKLPP dan KKP, dalam rangka pengendalian vektor dan
pengendalian penyakit tular vektor.
3.3. Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Kabupaten/ Kota
Hasil input data vektor dan binatang pembawa penyakit di Puskesmas,
B/BTKLPP dan KKP dapat dapat dianalisis pada skala kabupaten/ kota
dalam rangka pengambilan kebijakan di tingkat kabupaten/ kota. Output
hasil analisis dapat dicetak/ prin out melalui software. Pengendalian vektor
dan binatang perlu dilakukan apabila hasil analisis dan output data di
lapangan menunjukkan nilai melebihi standar baku yang ada.
3.4. Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Provinsi
Hasil input data vektor dan binatang pembawa penyakit di Puskesmas,
B/BTKLPP dan KKP dapat dapat dianalisis pada skala provinsi dalam
rangka pengambilan kebijakan di tingkat provinsi. Output hasil analisis
dapat dicetak/ prin out melalui software. Pengendalian vektor dan
binatang perlu dilakukan apabila hasil analisis dan output data di lapangan
menunjukkan nilai melebihi standar baku yang ada.
36
3.5. Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Nasional
Hasil input data vektor dan binatang pembawa penyakit di Puskesmas,
B/BTKLPP dan KKP dapat dapat dianalisis pada skala nasional dalam
rangka pengambilan kebijakan di tingkat nasional. Output hasil analisis
dapat dicetak/ prin out melalui software. Pengendalian vektor dan
binatang perlu dilakukan apabila hasil analisis dan output di lapangan
menunjukkan nilai melebihi standar baku yang ada. Analisis data dan
pengendalian di tingkat nasional berdasarkan pertimbangan Komisi Ahli
Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit.
37
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit dilaksanakan
secara berkala untuk mendapatkan informasi atau mengukur indikator kinerja
kegiatan. Monitoring dilaksanakan sebagai bagian dalam pelaksanaan surveilans
yang sedang berjalan. Disamping itu monitoring akan mengawal agar tahapan
pencapaian tujuan kegiatan sesuai target yang telah ditetapkan. Bila dalam
pelaksanaan monitoring ditemukan hal yang tidak sesuai rencana, maka dapat
dilakukan koreksi dan perbaikan pada waktu yang tepat. Evaluasi dilaksanakan
untuk mengukur hasil dari surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit
yang telah dilaksanakan dalam perode waktu tertentu. Disebabkan banyaknya
aspek yang berpengaruh dalam pencapaian suatu hasil, maka evaluasi objektif
harus dapat digambarkan dalam menilai suatu pencapaian program. Peran dan
kontribusi surveilans terhadap suatu perubahan dan hasil program kesehatan
harus dapat dinilai dan digambarkan dalam proses evaluasi.
38
KEPUSTAKAAN
Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 50 tahun 2017
tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan
Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dan
Pengendaliannya.
Kementerian Kesehatan. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 64 tahun
2015 tentang Orgaisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 45 tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.
Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2014
tentang Kesehatan Lingkungan.
Subdit Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit. Hasil Survei Vektor di Jawa dan
Kalimantan Tahun 2017.

More Related Content

Similar to SILANTOR

Penguatan TIM TGC PKM_RS.pptx
Penguatan TIM TGC PKM_RS.pptxPenguatan TIM TGC PKM_RS.pptx
Penguatan TIM TGC PKM_RS.pptxNirwansahEka2
Β 
Information and technology in public health perspective
Information and technology in public health perspectiveInformation and technology in public health perspective
Information and technology in public health perspectiveFIRSAOLIVIA2107
Β 
International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services - FKF...
International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services - FKF...International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services - FKF...
International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services - FKF...Tata Naipospos
Β 
PPT Surveilans DBD.pptx
PPT Surveilans DBD.pptxPPT Surveilans DBD.pptx
PPT Surveilans DBD.pptxFitriYusya
Β 
SK KARPED KUTUCU.docx
SK KARPED KUTUCU.docxSK KARPED KUTUCU.docx
SK KARPED KUTUCU.docxYusindrawati
Β 
Pengamatan epidemiologi sederhana
Pengamatan epidemiologi sederhanaPengamatan epidemiologi sederhana
Pengamatan epidemiologi sederhanaIrmayanti Chimut
Β 
1. Rujukan pengujian spesimen.docx
1. Rujukan pengujian spesimen.docx1. Rujukan pengujian spesimen.docx
1. Rujukan pengujian spesimen.docxBerrySyafari
Β 
Kebijakan pelaporan HIV AIDS & IMS
Kebijakan pelaporan HIV AIDS & IMSKebijakan pelaporan HIV AIDS & IMS
Kebijakan pelaporan HIV AIDS & IMSNurlaela Rostari
Β 
Dasar surveilans
Dasar surveilansDasar surveilans
Dasar surveilansJoni Iswanto
Β 
Surveilans Kesehatan.ppt
Surveilans Kesehatan.pptSurveilans Kesehatan.ppt
Surveilans Kesehatan.pptssuserfaa3c91
Β 
Makalah farid
Makalah faridMakalah farid
Makalah faridbobbyutama11
Β 
surveilans_ppi.pdf
surveilans_ppi.pdfsurveilans_ppi.pdf
surveilans_ppi.pdfYuraOfficial
Β 
SOP Pemberantasan sarang nyamuk.docx
SOP Pemberantasan sarang nyamuk.docxSOP Pemberantasan sarang nyamuk.docx
SOP Pemberantasan sarang nyamuk.docxFerryNjud
Β 
10_PRINSIP_DASAR_DAN_KONSEP_SURVEILENS_EPIDEMIOLOGI.ppt
10_PRINSIP_DASAR_DAN_KONSEP_SURVEILENS_EPIDEMIOLOGI.ppt10_PRINSIP_DASAR_DAN_KONSEP_SURVEILENS_EPIDEMIOLOGI.ppt
10_PRINSIP_DASAR_DAN_KONSEP_SURVEILENS_EPIDEMIOLOGI.pptssuser7c01e3
Β 
Persiapan pelaksanaan kegiatan entokes
Persiapan pelaksanaan kegiatan entokesPersiapan pelaksanaan kegiatan entokes
Persiapan pelaksanaan kegiatan entokesLejarPribadi
Β 

Similar to SILANTOR (20)

Penguatan TIM TGC PKM_RS.pptx
Penguatan TIM TGC PKM_RS.pptxPenguatan TIM TGC PKM_RS.pptx
Penguatan TIM TGC PKM_RS.pptx
Β 
Pokok bahasan 2
Pokok bahasan 2Pokok bahasan 2
Pokok bahasan 2
Β 
Information and technology in public health perspective
Information and technology in public health perspectiveInformation and technology in public health perspective
Information and technology in public health perspective
Β 
International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services - FKF...
International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services - FKF...International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services - FKF...
International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services - FKF...
Β 
PPT Surveilans DBD.pptx
PPT Surveilans DBD.pptxPPT Surveilans DBD.pptx
PPT Surveilans DBD.pptx
Β 
puskesmas
puskesmaspuskesmas
puskesmas
Β 
SK KARPED KUTUCU.docx
SK KARPED KUTUCU.docxSK KARPED KUTUCU.docx
SK KARPED KUTUCU.docx
Β 
Modul 4 kb 1
Modul 4 kb 1Modul 4 kb 1
Modul 4 kb 1
Β 
Pengamatan epidemiologi sederhana
Pengamatan epidemiologi sederhanaPengamatan epidemiologi sederhana
Pengamatan epidemiologi sederhana
Β 
Surveilans Praktik Pelayanan Kebidanan
Surveilans Praktik Pelayanan KebidananSurveilans Praktik Pelayanan Kebidanan
Surveilans Praktik Pelayanan Kebidanan
Β 
1. Rujukan pengujian spesimen.docx
1. Rujukan pengujian spesimen.docx1. Rujukan pengujian spesimen.docx
1. Rujukan pengujian spesimen.docx
Β 
Kebijakan pelaporan HIV AIDS & IMS
Kebijakan pelaporan HIV AIDS & IMSKebijakan pelaporan HIV AIDS & IMS
Kebijakan pelaporan HIV AIDS & IMS
Β 
Dasar surveilans
Dasar surveilansDasar surveilans
Dasar surveilans
Β 
Surveilans Kesehatan.ppt
Surveilans Kesehatan.pptSurveilans Kesehatan.ppt
Surveilans Kesehatan.ppt
Β 
Makalah farid
Makalah faridMakalah farid
Makalah farid
Β 
surveilans_ppi.pdf
surveilans_ppi.pdfsurveilans_ppi.pdf
surveilans_ppi.pdf
Β 
ppt PL2.pptx
ppt PL2.pptxppt PL2.pptx
ppt PL2.pptx
Β 
SOP Pemberantasan sarang nyamuk.docx
SOP Pemberantasan sarang nyamuk.docxSOP Pemberantasan sarang nyamuk.docx
SOP Pemberantasan sarang nyamuk.docx
Β 
10_PRINSIP_DASAR_DAN_KONSEP_SURVEILENS_EPIDEMIOLOGI.ppt
10_PRINSIP_DASAR_DAN_KONSEP_SURVEILENS_EPIDEMIOLOGI.ppt10_PRINSIP_DASAR_DAN_KONSEP_SURVEILENS_EPIDEMIOLOGI.ppt
10_PRINSIP_DASAR_DAN_KONSEP_SURVEILENS_EPIDEMIOLOGI.ppt
Β 
Persiapan pelaksanaan kegiatan entokes
Persiapan pelaksanaan kegiatan entokesPersiapan pelaksanaan kegiatan entokes
Persiapan pelaksanaan kegiatan entokes
Β 

Recently uploaded

REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
Β 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptxGiftaJewela
Β 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
Β 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
Β 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxssuser35630b
Β 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxsdn3jatiblora
Β 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
Β 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
Β 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
Β 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
Β 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
Β 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
Β 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
Β 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
Β 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
Β 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
Β 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
Β 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
Β 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
Β 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxPurmiasih
Β 

Recently uploaded (20)

REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
Β 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
Β 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Β 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Β 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Β 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Β 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Β 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
Β 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Β 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
Β 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Β 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Β 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Β 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
Β 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
Β 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
Β 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
Β 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Β 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Β 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
Β 

SILANTOR

  • 1.
  • 2. KATA PENGANTAR Penyakit tular vektor dan zoonotik, seperti demam berdarah, malaria, filaria, chikungunya, pes, leptospirosis dan lain-lain, masih menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tingginya populasi vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia. Sebagai upaya pencegahan penyakit- penyakit tersebut maka dilaksanakan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit. Pengendalian ini akan terarah dan tepat sasaran apabila didahului dengan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang cepat dan akurat, yang menghasilkan data dan informasi sebagai dasar pengambilan keputusan. Kondisi saat ini, surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit masih belum dikerjakan secara optimal dan belum terintegrasi, sehingga data dan informasi vektor dan binatang pembawa penyakit tidak tersedia dengan baik akibatnya pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit belum dilakukan secara efektif dan tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena belum adanya metode/ sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang mudah dipahami dan mudah dikerjakan oleh tenaga kesehatan baik di daerah (mulai dari Puskesmas, Dinkes Kabupaten/ Kota dan Dinkes Provinsi) maupun di pusat (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalia Penyakit) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) nya. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dikembangkan sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang mudah dilaksanakan/ dikerjakan dan cepat dianalisis untuk menghasilkan data dan informasi dalam rangka pengambilan keputusan untuk pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit yang efektif, efisien dan tepat sasaran, Sistem Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit (SILANTOR) menuju Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ ) yang Smart yang berbasis elektronik. Buku Petunjuk Teknis (Juknis) ini digunakan untuk mempermudah pelaksanaan pencatatan dan pelaporan, serta analisis data surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang berbasis elektronik. Dalam Juknis ini disertai contoh-contoh input, analisis dan output aplikasi untuk mempermudah pemakaian software SILANTOR. Direktur P2PTVZ, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid NIP 197208312000032001
  • 3. DAFTAR ISI Hal BAB I PENDAHULUAN …………………. 1 1.1 Latar Belakang …………………. 1 1.2 Tujuan …………………. 3 1.3 Manfaat …………………. 4 1.4 Ruang Lingkup …………………. 6 BAB II KONSEP SURVEILANS …………………. 7 2.1 Surveilans Kesehatan …………………. 7 2.1.1 Kegiatan Surveilans Kesehatan …………………. 7 2.1.2 Bentuk Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan …………………. 9 2.2 Surveilans Vektor …………………. 12 2.2.1 Surveilans nyamuk Anopheles …………………. 13 2.2.2 Surveilans Nyamuk Aedes …………………. 15 2.2.3 Surveilans Nyamuk Culex …………………. 17 2.2.4 Surveilans Nyamuk Mansonia …………………. 19 2.2.5 Surveilans Pinjal …………………. 20 2.2.6 Surveilans Lalat …………………. 21 2.2.7 Surveilans Kecoa …………………. 22 2.2.8 Surveilans Tikus …………………. 23 2.2.9 Surveilans Keong …………………. 24 BAB III PELAKSANAAN SURVEILANS VEKTOR DAN BINATANG PEMBAWA PENYAKIT BERBASIS WEBSITE DAN ANDROID …………………. 25 3.1 Surveilans Vektor di Pukesmas …………………. 26 3.1.1 Input Data Vektor di Puskesmas …………………. 26 3.1.2 Analisis Data Vektor di Puskesmas …………………. 26 3.1.3 Output Data Vektor di Puskesmas …………………. 27 3.2 Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit di B/BTKLPP dan KKP …………………. 27 3.2.1 Input Data di B/BTKLPP dan KKP …………………. 27 3.2.2 Analisis Data di B/BTKLPP dan KKP …………………. 30 3.2.3 Output data di B/BTKLPP dan KKP …………………. 35 3.3 Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Kabupaten/ Kota …………………. 35 3.4 Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Provinsi …………………. 35 3.5 Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Nasional …………………. 36 BAB IV MONITORING DAN EVALUASI …………………. 37 Kepustakaan
  • 4. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara topis dengan suhu, kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi, merupakan tepat yang ideal bagi perkembangan serangga, termasuk vektor (serangga penular penyakit). Kondisi ini didukung dengan luasnya wilayah Indonesia dengan tipe ekologi yang sangat mempermudah pertumbuhan dan perkembangan vektor. Hasil surveilans vektor mendapatkan kepadatan nyamuk Anopheles di atas 0,025 per orang per malam, Aedes di atas 0,025 per orang per jam dan Culex di atas 1 per orang per jam (Subdit VBP2, 2018). Kepadatan tersebut masih sangat tinggi, di atas angka baku mutu yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dan Pengendaliannya. Peraturan Permenkes nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Sub Direktorat Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit mempunyai tugas dan fungsi, antara lain (1) penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, (2) penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, (3) penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pencegahan dan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, (4) penyiapan bahan bimbingan teknis dan supervisi di bidang pencegahan dan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, dan (5) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 66 tahun
  • 5. 2 2014 tentang Kesehatan Lingkungan, bahwa pengamatan/ surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit yang efektif, efisien dan tepat sasaran. Dalam rangka pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit yang efektif, efisien dan tepat sasaran maka diperlukan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit. Menurut Permenkes nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, yang dimaksud surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien. Merujuk pada PP nomor 66 tahun 2014, Permenkes nomor 50 tahun 2017, Permenkes nomor 64 tahun 2015 dan Permenkes nomor 45 tahun 2014 di atas, bahwa surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit merupakan bagian penting yang harus dikerjakan dalam rangka kewaspadaan dini terhadap peningkatan populasi vektor dan adanya potensi penularan penyakit. Karena surveilans akan memberikan informasi yang akurat dalam rangka pencegahan dan pengendalian yang efektif, efisien dan tepat sasaran. Kondisi saat ini, surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit masih belum dikerjakan secara optimal dan belum terintegrasi, sehingga data dan informasi vektor dan binatang pembawa penyakit tidak tersedia dengan baik akibatnya pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit belum dilakukan secara efektif dan tepat sasaran. Surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit jarang dilakukan oleh Dinkes Kabupaten/ Kota dan Dinkes Provinsi. Jika ada Dinkes yang melaksanakan surveilans vektor dan binatang
  • 6. 3 pembawa penyakit, hasilnya jarang dilaporkan ke pusat (Direktorat P2PTVZ), kalaupun dilaporkan waktu pelaporanya paling cepat tiga bulan. Hal ini disebabkan karena belum adanya metode/ sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang mudah dipahami dan mudah dikerjakan oleh tenaga kesehatan baik di daerah (mulai dari Puskesmas, Dinkes Kabupaten/ Kota dan Dinkes Provinsi) maupun di pusat (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalia Penyakit) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) nya. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dikembangkan sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang mudah dilaksanakan/ dikerjakan dan cepat dianalisis untuk menghasilkan data dan informasi dalam rangka pengambilan keputusan untuk pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit yang efektif, efisien dan tepat sasaran, yaitu Pengembangan Sitem Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit (Silantor) di Indonesia (Gambar 1). Gambar 1.1 Gambaran Kondisi Saat Ini, dan Pencapaian Kondisi yang Diharapkan melalui Silantor 1.2. Tujuan Tujuan penyusunan petunjuk teknis (Juknis) sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus Kondisi saat ini - Kepadatan vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia sangat tinggi - Belum optimalnya dan integrasinya surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia - Belum adanya sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia. Solusi Mengatasi Masalah - Mebuat Juknis sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia - Membuat software surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit - Pelaksanaan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia berbasis website dan android. - Monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia. Kondisi yang diinginkan - Terlaksanya surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang terintegrasi, mulai dari Puskesmas, Dinkes Kabupaten/ Kota, Dinkes Provinsi dan pusat (Dit P2PTVZ) - Tersedianya data dan informasi vektor dan binatang pembawa penyakit secara cepat dan akurat, sebagai dasar pengambilan keputusan yang tepat dalam rangka pengendalian vektor dan penyakit tular vektor
  • 7. 4 1.2.1. Tujuan Umum Adanya petunjuk teknis sebagai acuan dalam penyelenggaraan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia. 1.2.2. Tujuan Khusus 1. Sebagai dasar bagi tenaga entomolog kesehatan (Entokes) dan tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit. 2. Memberikan pengetahuan/ pemahaman yang sama bagi tenaga Entokes dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia dalam melaksanakan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit. 3. Meningkatkan pengetahuan/ pengetahuan bagi tenaga Entokes dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia dalam melaksanakan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit. 4. Terlaksana surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit dengan baik dan benar. 5. Terlaksananya pengendalian vektor yang efektif, efisien dan tepat sasaran. 1.3. Manfaat Manfaat pentunjuk teknis surveilans surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia, tidak hanya bermafaat untuk kebutuhan internal Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (Dit. P2PTVZ), tetapi juga akan bermanfaat instansi eksternal di luar Dit. P2PTVZ seperti Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten/ Kota, B/BTKLPP, KKP, Puskesmas dan masyarakat. 1.3.1. Mafaat bagi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ)
  • 8. 5 1. Mendukung tugas pokok dan fungsi pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik. 2. Memperkuat sistem surveilans dan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia 3. Mempermudah dan mempercepat pengambilan keputusan di tingkat nasional dalam rangka pengendalian vektor dan penyakit tular vektor di Indonesia. 1.3.2. Manfaat bagi Dinkes Provinsi dan Dinkes Kabupaten/ Kota 1. Mempermudah pelaksanaan, analisis dan pelaporan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota. 2. Mempermudah pengambilan kebijakan dalam rangka pengendalian vektor dan penyakit tular vektor di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota. 1.3.3. Manfaat bagi Puskesmas 1. Menjadi panduan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di lapangan. 2. Mempermudah pelaksanaan, analisis dan pelaporan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di lapangan. 1.3.3. Manfaat bagi B/BTKLPP dan KKP 1. Menjadi panduan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di lapangan. 2. Mempermudah pelaksanaan, analisis dan pelaporan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di wilayah kerja B/BTKLPP dan KKP. 1.3.4. Manfaat bagi Masyarakat
  • 9. 6 1. Melindungi masyarakat dari gigitan vektor dan binatang pembawa penyakit. 2. Melindungi masyarakat dari penyebaran penyakit tular vektor dan zoonotik. 3. Dapat meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat dalam pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit. 1.4. Ruang Lingkup Sebagaimana tujuan yang ingin dicapai, maka ruang lingkup sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia, antara lain: 1. Menyusun petunjuk teknis sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia. 2. Membuat software sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit (e-SILANTOR) di Indonesia. 3. Melakukan uji coba sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit (e-SILANTOR) berbasis website dan android. 4. Sosialisasi sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit kepada Dinkes Povinsi, Balai/ Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP), Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). 5. Pelatihan sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit kepada petugas surveilans/ pengendali vektor dan binatang pembawa penyakit di Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten/ Kota, B/BTKLPP, KKP dan Puskesmas. 6. Pelaksanaan kegiatan surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang berkelanjutan, dimulai dari Puskesmas, Dinkes Kabupaten/ Kota dan Provinsi, B/BTKLPP dan KKP hingga ke pusat (Direktorat P2PTVZ Kemenkes). 7. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit di Indonesia.
  • 10. 7 BAB II KONSEP SURVEILANS 2.1. Surveilans Kesehatan Surveilans Kesehatan didefinisikan sebagai kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien. Surveilans Kesehatan diselenggarakan agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan diseminasi kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan. Surveilans Kesehatan mengedepankan kegiatan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan data dan pengolahan data. Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan harus mampu memberikan gambaran epidemiologi antara lain komponen pejamu, agen penyakit, dan lingkungan yang tepat berdasarkan dimensi waktu, tempat dan orang. Karakteristik pejamu, agen penyakit, dan lingkungan mempunyai peranan dalam menentukan cara pencegahan dan penanggulangan jika terjadi gangguan keseimbangan yang menyebabkan sakit. 2.1.1. Kegiatan Surveilans Kesehatan Menurut Permenkes nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, kegiatan surveilans kesehatan meliputi : 1) pengumpulan data, 2) pengolahan data, 3) analisis data, dan 3) desiminasi informasi. 2.1.1.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara aktif dan pasif. Jenis data Surveilans Kesehatan dapat berupa data kesakitan, kematian,
  • 11. 8 dan faktor risiko. Pengumpulan data dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain individu, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, unit statistik dan demografi, dan sebagainya. Metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui wawancara, pengamatan, pengukuran, dan pemeriksaan terhadap sasaran. Dalam melaksanakan kegiatan pengumpulan data, diperlukan instrumen sebagai alat bantu. Instrumen dibuat sesuai dengan tujuan surveilans yang akan dilakukan dan memuat semua variabel data yang diperlukan. 2.1.1.2. Pengolahan Data Sebelum data diolah dilakukan pembersihan koreksi dan cek ulang, selanjutnya data diolah dengan cara perekaman data, validasi, pengkodean, alih bentuk (transform) dan pengelompokan berdasarkan variabel tempat, waktu, dan orang. Hasil pengolahan dapat berbentuk tabel, grafik, dan peta menurut variabel golongan umur, jenis kelamin, tempat dan waktu, atau berdasarkan faktor risiko tertentu. Setiap variabel tersebut disajikan dalam bentuk ukuran epidemiologi yang tepat (rate, rasio dan proporsi). Pengolahan data yang baik akan memberikan informasi spesifik suatu penyakit dan atau masalah kesehatan. Selanjutnya adalah penyajian hasil olahan data dalam bentuk yang informatif, dan menarik. Hal ini akan membantu pengguna data untuk memahami keadaan yang disajikan. 2.1.1.3. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode epidemiologi deskriptif dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai dengan tujuan surveilans yang ditetapkan. Analisis dengan metode epidemiologi deskriptif dilakukan untuk mendapat gambaran tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya menurut waktu, tempat dan orang. Sedangkan analisis dengan metode epidemiologi
  • 12. 9 analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variable yang dapat mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan atau masalah kesehatan. Untuk mempermudah melakukan analisis dengan metode epidemiologi analitik dapat menggunakan alat bantu statistik. Hasil analisis akan memberikan arah dalam menentukan besaran masalah, kecenderungan suatu keadaan, sebab akibat suatu kejadian, dan penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan hasil analisis harus didukung dengan teori dan kajian ilmiah yang sudah ada. 2.1.1.4. Diseminasi Informasi Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk buletin, surat edaran, laporan berkala, forum pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi informasi dilakukan dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi yang mudah diakses. Diseminasi informasi dapat juga dilakukan apabila petugas surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi program kesehatan, dengan menyampaikan hasil analisis. 2.1.2. Bentuk Penyelenggaraan surveilans Kesehatan Menurut Permenkes nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, berntuk penyelenggaran surveilans kesehatan terdiri dari : 1) surveilans berbasis indikator, dan 2) surveilans berbasis kejadian. 2.1.2.1. Surveilans Berbasis Indikator Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh gambaran penyakit, faktor risiko dan masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan yang menjadi indikator program dengan menggunakan sumber data yang terstruktur. Contoh data terstruktur antara lain: a) laporan bulanan penderita demam berdarah, b) laporan bulanan malaria, c) laporan
  • 13. 10 bulanan filarias, dan lain-lain. Data tersebut dimanfaatkan dalam rangka kewaspadaan dini penyakit atau masalah kesehatan. Hasil analisis dimaksudkan untuk memperoleh gambaran penyakit atau masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan seperti: situasi dan kecenderungan, perbandingan dengan periode sebelumnya, dan perbandingan antar wilayah/daerah/kawasan. Kegiatan surveilans ini biasanya digunakan untuk menetukan arah program/intervensi, serta pemantauan dan evaluasi terhadap program/intervensi. Pelaksanaan surveilans berbasis indikator dilakukan mulai dari puskesmas sampai pusat, sesuai dengan periode waktu tertentu (harian, mingguan, bulanan dan tahunan). Pelaksanaan surveilans berbasis indikator di puskesmas, dilakukan untuk menganalisis pola penyakit, faktor risiko, pengelolaan sarana pendukung seperti kebutuhan vaksin, obat, bahan dan alat kesehatan, persiapan dan kesiapan menghadapi kejadian luar biasa beserta penanggulangannya. Pelaksanaan surveilans berbasis indikator di kabupaten/kota, dilakukan berdasarkan hasil analisis dari kegiatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, kawasan tertentu, berbagai data dan informasi yang bersumber dari lintas sektor, hasil kajian, untuk menganalisis pola penyakit, faktor risiko, masalah kesehatan maupun masalah lain yang berdampak terhadap kesehatan dalam rangka pengelolaan program skala kabupaten/kota maupun kebijakan teknis operasional yang dibutuhkan. Pelaksanaan surveilans berbasis indikator di provinsi, dilakukan berdasarkan hasil analisis dari kegiatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, analisis situasi dan kecenderungan lintas kabupaten/kota, kawasan tertentu/khusus serta berbagai data dan informasi yang bersumber dari lintas sektor, hasil kajian, untuk menganalisis pola penyakit, faktor risiko, masalah kesehatan maupun masalah lain yang berdampak terhadap kesehatan dalam rangka pengelolaan
  • 14. 11 program skala provinsi maupun kebijakan teknis operasional yang dibutuhkan. Pelaksanaan surveilans berbasis indikator di pusat, dilakukan berdasarkan hasil analisis situasi dan kecenderungan lintas provinsi, kawasan tertentu/khusus serta berbagai data dan informasi yang bersumber dari lintas sektor, hasil kajian, untuk menganalisis pola penyakit, faktor risiko, masalah kesehatan maupun masalah lain yang berdampak terhadap kesehatan dalam rangka pengelolaan program skala nasional maupun kebijakan teknis yang dibutuhkan. 2.1.2.2. Surveilans Berbasis Kejadian Surveilans berbasis kejadian dilakukan untuk menangkap dan memberikan informasi secara cepat tentang suatu penyakit, faktor risiko, dan masalah kesehatan, dengan menggunakan sumber data selain data yang terstruktur. Surveilans berbasis kejadian dilakukan untuk menangkap masalah kesehatan yang tidak tertangkap melalui surveilans berbasis indikator. Sebagai contoh, beberapa kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah dan malaria diketahui dari media massa. Pelaksanaan surveilans berbasis kejadian dilakukan secara terus menerus (rutin) seperti halnya surveilans berbasis indikator, dimulai dari puskesmas sampai pusat. Sumber laporan didapat dari sektor kesehatan (instansi/sarana kesehatan, organisasi profesi kesehatan, asosiasi kesehatan, dan lain-lain), dan di luar sektor kesehatan (instansi pemerintah non kesehatan, kelompok masyarakat, media, jejaring sosial dan lain-lain). Kegiatan surveilans berbasis kejadian di Puskesmas, kabupaten/kota, dan provinsi dilakukan melalui kegiatan verifikasi terhadap rumor terkait kesehatan atau berdampak terhadap kesehatan di wilayah kerjanya guna melakukan langkah intervensi bila diperlukan. Kegiatan surveilans berbasis kejadian di pusat dilakukan untuk verifikasi terhadap rumor terkait kesehatan atau berdampak terhadap kesehatan yang berasal dari dalam negeri
  • 15. 12 maupun dari luar negeri yang berdampak secara nasional maupun internasional, guna mengambil langkah intervensi bila diperlukan. Penyelenggaraan surveilans berbasis indikator dan berbasis kejadian diaplikasikan antara lain dalam bentuk PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) yang didukung dengan pencarian rumor masalah kesehatan. Setiap unit penyelenggaraan Surveilans Kesehatan melakukan Pemantauan Wilayah Setempat dengan merekam data, menganalisa perubahan kejadian penyakit dan atau masalah kesehatan menurut variable waktu, tempat dan orang (surveilans berbasis indikator). Selanjutnya disusun dalam bentuk tabel dan grafik pemantauan wilayah setempat untuk menentukan kondisi wilayah yang rentan KLB. Bila dalam pengamatan ditemukan indikasi yang mengarah ke KLB, maka dilakukan respon yang sesuai termasuk penyelidikan epidemiologi. Selain itu dilakukan juga pencarian rumor masalah kesehatan secara aktif dan pasif (surveilans berbasis kejadian) untuk meningkatkan ketajaman hasil PWS. Contoh aplikasi lain adalah operasionalisasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR). Dalam SKDR dilakukan pengamatan gejala penyakit yang mengarah ke suatu penyakit potensial KLB secara mingguan dengan format tertentu (surveilans berbasis indikator). Bila dalam pengamatan mingguan ditemukan sinyal peningkatan jumlah gejala penyakit yang mengarah ke suatu penyakit potensial KLB, dilakukan respon untuk memverifikasi kebenaran kejadian peningkatan dan respon lain yang diperlukan termasuk penyelidikan epidemiologi (surveilans berbasis kejadian). 2.2. Surveilans Vektor Surveilans vektor adalah pengamatan dan analisis kepadatan vektor dan binatang pembawa penyakit secara terus menerus untuk menghasilkan data dan informasi dalam rangka pengambilan keputusan untuk pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit
  • 16. 13 yang efektif, efisien dan tepat sasaran, serta untuk kesiapsiagaan adanya penularan penyakit tular vektor dan zoonotik. Sebagaimana Permenkes nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dan Pengendaliannya, surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit paling sedikit terdiri atas surveilans nyamuk Anopheles, surveilans nyamuk Aedes, surveilans nyamuk Culex, surveilans nyamuk Mansonia, surveilans pinjal, surveilans lalat, surveilans kecoa, surveilans tikus dan surveilans keong Oncomelania. 2.2.1. Surveilans nyamuk Anopheles Surveilans nyamuk Anopheles terdiri dari dua kegiatan, yaitu surveilans kepadatan nyamuk Anopheles dan surveilans indeks habitat larva Anopheles. 2.2.1.1. Kepadatan Nyamuk Anopheles Kepadatan nyamuk Anopheles dianalisis berdasarkan angka man bitting rate (MBR). MBR adalah angka gigitan nyamuk per orang per malam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu) yang tertangkap dalam satu malam (12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan waktu (jam) penangkapan. Angka baku mutu MBR adalah < 0,025. MBR = Jumlah nyamuk π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘  yang tertangkap (spesies tertentu) Jumlah penangkap x waktu penangkapan (dalam jam) Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima orang kolektor, dengan metode nyamuk hinggap di badan (human landing collection) selama 12 jam (jam 18.00-06.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10 Anopheles sundaicus, dua Anopheles subpictus dan satu Anopheles
  • 17. 14 indefinitus. Maka MBR Anopheles sundaicus dihitung sebagai berikut. Diketahui: - Jumlah nyamuk Anopheles sundaicus yang didapatkan sebanyak 10 - Jumlah penangkap sebanyak 5 orang - Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit, sehingga dalam satu malam (12 jam) sebanyak 8 jam (8/12). MBR = 10 5 x 8/12 = 2,99 Artinya kepadatan Anopheles sundaicus perorang perjam sebesar 2,99, masih di atas angka baku mutu (0,025), dengan kata lain di daerah tersebut masih mepunyai potensi penularan malaria, karena kepadatan nyamuk Anopheles masih diatas angka baku mutu (0,025). 2.2.1.2. Indeks Habitat Anopheles Indeks habitat Anopheles (IH_An) adalah persentase habitat perkembangbiakan yang positif larva Anopheles, dihitung dengan cara jumlah habitat yang positif larva Anopheles dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan 100%. Angka baku mutu IH_An adalah < 1%. IH_An = Jumlah habitat yang positif larva π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘  Jumlah seluruh habitat yang diperiksa x 100% Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 30 habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp., setelah dilakukan pencidukan didapatkan 5 habitat positif larva Anopheles spp. dan 6 habitat positif larva Culex spp. Maka indeks habitat larva Anopheles dihitung sebagai berikut. Diketahui:
  • 18. 15 - Jumlah seluruh habitat diamati sebanyak 30 buah - Jumlah habitat positif larva Anopheles spp. sebanyak 5 buah IH_An = 5 30 x 100% = 16,7% Hasil perhitungan menunjukkan IH-An sebesar 16,7%, masih di atas angka baku mutu (1%), dengan kata lain di daerah tersebut masih mepunyai potensi penularan malaria, karena karena IH_An masih diatas angka baku mutu (1%). 2.2.2. Surveilans Nyamuk Aedes Surveilans nyamuk Aedes terdiri dari surveilans kepadatan nyamuk Aedes dan surveilans angka bebas jentik 2.2.2.1. Kepadatan Nyamuk Aedes Kepadatan nyamuk Aedes dianalisis berdasarkan angka istirahat (resting rate/RR) adalah angka kepadatan nyamuk istirahat (resting) per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Aedes spp. yang tertangkap dalam satu hari (12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali lama penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit) dalam tiap jamnya. Angka baku mutu RR adalah < 0,025. RR = Jumlah nyamuk 𝐴𝑒𝑑𝑒𝑠 𝑠𝑝𝑝. yang tertangkap Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘) Contoh, penangkapan nyamuk istirahat siang hari dilakukan oleh lima orang kolektor, dengan menggunakan aspirator selama 12 jam (jam 06.00-18.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan lima nyamuk Aedes spp. dan lima nyamuk Culex spp. Maka angka istirahat per jam dihitung sebagai berikut. Diketahui:
  • 19. 16 - Jumlah nyamuk Aedes yang didapatkan sebanyak 5 - Jumlah penangkap sebanyak 5 orang - Lama penangkapan 12 jam - Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60). RR = 5 5 x 12 x 40/60 = 24 Hasil perhitungan menunjukkan RR sebesar 24, masih di atas angka baku mutu (0,025), dengan kata lain di daerah tersebut masih mepunyai potensi penularan demam berdarah dan chikungunya, karena RR masih diatas angka baku mutu (0,025). 2.2.2.2. Angka Bebas Jentik Angka bebas jentik (ABJ) adalah persentase rumah atau bangunan yang bebas jentik, dihitung dengan cara jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik dibagi dengan jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa dikali 100%. Yang dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik, rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung berdasarkan satuan ruang bangunan/unit pengelolanya. Angka baku mutu ABJ β‰₯ 95%. ABJ = Jumlah π‘Ÿπ‘’π‘šπ‘Žβ„Ž π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ π‘π‘Žπ‘›π‘”π‘’π‘›π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘šπ‘’π‘˜π‘Žπ‘› π‘—π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘˜ Jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa π‘₯100% Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 100 rumah dan bangunan, 4 rumah dan bangunan di antaranya positif jentik Aedes spp. Maka ABJ dihitung sebagai berikut. Diketahui: - Jumlah seluruh rumah/ bangunan yang diperiksa sebanyak 100 buah.
  • 20. 17 - Jumlah rumah/ bangunan yang potifif jentik 4 Aedes spp., berarti rumah/ bangunan yang tidak ditemukan jentik sebabanyak 96 rumah (100-4). ABJ = 96 100 π‘₯ 100% = 96% Hasil perhitungan tersebut menunjukan ABJ sebesar 96%, sudah berada di atas angka baku mutu (95%), dengan kata lain di daerah tersebut dinyatakan relatif aman terhadap potensi penularan demam berdarah dan chikungunya, karena ABJ sudah di atas angka baku mutu (95%). 2.2.3. Surveilans Nyamuk Culex Surveilans nyamuk Culex terdiri atas surveilans kepadatan nyamuk Culex dan surveilans indeks habitat nyamuk Culex. 2.2.3.1. Kepadatan Nyamuk Culex Kepadatan nyamuk Culex dianalisis berdasarkan angka Man Hour Density (MHD_Cx) .MHD_Cx adalah angka nyamuk yang hinggap per orang per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Culex yang tertangkap dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan lama penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit). Angka baku mutu MHD Cx adalah < 1. MHD_Cx = Jumlah nyamuk 𝐢𝑒𝑙𝑒π‘₯ yang tertangkap Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘) Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima orang kolektor, dengan metode nyamuk hinggap di badan (human landing collection) selama 6 jam (jam 18.00-12.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10 Culex spp. dan 8 Mansonia spp. Maka MHD_Cx dapat dihitung sebagai berikut. Diketahui:
  • 21. 18 - Jumlah nyamuk Culex spp. yang didapatkan sebanyak 10 - Jumlah penangkap sebanyak 5 orang - Lama penangkapan 6 jam - Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60). MHD_Cx = 10 5 x 6 π‘₯ 40/60 = 0,496 Hasil perhitungan tersebut menunjukan MHD_Cx sebesar 0,496, sudah di bawah angka baku mutu (1), dengan kata lain di daerah tersebut sudah relatif aman terhadap penularan Japanese encephalitis dan filariasis, karena karena MHD_Cx sudah dibawah angka baku mutu (1). 2.2.3.2. Indeks Habitat Culex Indeks habitat Culex (IH_Cx) adalah persentase habitat perkembangbiakan yang positif larva Culex, dihitung dengan cara jumlah habitat yang positif larva Culex dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan 100%. Angka baku mutu IH_Cx adalah < 5%. IH_Cx = Jumlah habitat yang positif larva 𝐢𝑒𝑙𝑒π‘₯ Jumlah seluruh habitat yang diperiksa x 100% Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 150 habitat perkembangbiakan nyamuk Culex, setelah dilakukan pengamatan didapatkan 16 habitat positif larva Culex. Maka IH_Cx dapat dihitung sebagai berikut. Diketahui: - Jumlah seluruh habitat diamati sebanyak 150 buah - Jumlah habitat positif larva Culex sebanyak 16 buah
  • 22. 19 IH_Cx = 16 150 x 100% = 10,7% Hasil perhitungan menunjukkan IH_Cx sebesar 10,7%, masih di atas angka baku mutu (5%), dengan kata lain di daerah tersebut masih mepunyai potensi penularan filariasis dan Japanese encephalitis, karena karena IH_Cx masih diatas angka baku mutu (5%). 2.2.4. Surveilans Nyamuk Mansonia Surveilans nyamuk Mansonia dihitung berdasarkan angka Man Hour Density (MHD_Man). MHD_Man adalah angka nyamuk yang hinggap per orang per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Mansonia yang tertangkap dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan lama penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit). Angka baku mutu MHD_Man adalah < 5. MHD_Man = Jumlah nyamuk π‘€π‘Žπ‘›π‘ π‘œπ‘›π‘–π‘Ž yang tertangkap Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘) Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima orang kolektor, dengan metode nyamuk hinggap di badan (human landing collection) selama 6 jam (jam 18.00-12.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10 Culex spp. dan 8 Mansonia spp. Maka MHD_Man dapat dihitung sebagai berikut. Diketahui: - Jumlah nyamuk Mansonia yang didapatkan sebanyak 8 - Jumlah penangkap sebanyak 5 orang - Lama penangkapan 6 jam - Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60).
  • 23. 20 MHD_Man = 8 5 x 6 π‘₯ 40/60 = 0,398 Hasil perhitungan tersebut menunjukan MHD_Man sebesar 0,398, sudah dibawah angka baku mutu (5), dengan kata lain di daerah tersebut sudah relatif aman terhadap penularan filariasis, karena karena MHD_Man masih di bawah angka baku mutu (5). 2.2.5. Surveilans Pinjal Surveilans pinjal terdiri atas surveilans pinjal khusus dan surveilans pinjal umum. 2.2.5.1. Indeks Pinjal Khusus Indeks pinjal khusus (IPK) adalah jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang tertangkap dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa. Angka baku mutu IPK adalah < 1. IPK = Jumlah pinjal π‘‹π‘’π‘›π‘œπ‘π‘ π‘¦π‘™π‘™π‘Ž π‘β„Žπ‘’π‘œπ‘π‘ π‘–π‘  yang tertangkap Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa Contoh, hasil penangkapan tikus mendapatkan 50 tikus, setelah dilakukan penyisiran didapatkan 40 pinjal Xenopsylla cheopis dan 30 pinjal jenis lainnya. Indeks pinjal Xenopsylla cheopis dihitung sebagai berikut. Diketahui: - Jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang didapatkan sebanyak 40 pinjal - Jumlah tikus yang diperiksa sebanyak 50 ekor IPK = 40 50 = 0,8 Hasil perhitungan tersebut menunjukan IPK sebesar 0,8, sudah dibawah angka baku mutu (1), dengan kata lain di daerah tersebut
  • 24. 21 sudah relatif aman terhadap penularan pes dan leptospirosis, karena karena IPK sudah di bawah angka baku mutu (1). 2.2.5.2. Indeks Pinjal Umum Indeks pinjal umum (IPU) adalah jumlah seluruh pinjal yang tertangkap dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa. Angka baku mutu IPU adalah < 2. IPU = Jumlah seluruh pinjal yang tertangkap Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa Contoh, hasil penangkapan tikus mendapatkan 50 tikus, setelah dilakukan penyisiran didapatkan 40 pinjal Xenopsylla cheopis dan 30 pinjal jenis lainnya. Indeks pinjal Xenopsylla cheopis dihitung sebagai berikut. Diketahui: - Jumlah seluruh pinjal yang tertangkap sebanyak 70 pinjal (40+30). - Jumlah tikus yang diperiksa sebanyak 50 ekor IPU = 70 50 = 1,4 Hasil perhitungan tersebut menunjukan IPU sebesar 1,4, sudah dibawah angka baku mutu (2), dengan kata lain di daerah tersebut sudah relatif aman terhadap penularan pes dan leptospirosis, karena karena IPK sudah di bawah angka baku mutu (2). 2.2.6. Surveilans Lalat Surveians lalat dianalisis berdasarkan indeks populasi lalat (IPL). IPL adalah angka rata-rata populasi lalat pada suatu lokasi yang diukur dengan menggunakan flygrill. Pengukuran dilakukan pada tempat- tempat populasi lalat tinggi, misalnya tempat penampungan sampah
  • 25. 22 dan dapur. Flygrill diletakan pada 10 titik pengamatan. Indeks populasi lalat dihitung dengan cara melakukan pengamatan jumlah lalat yang hinggap pada flygrill selama 30 detik. Dari 10 kali pengamatan diambil 5 (lima) nilai tertinggi, lalu kelima nilai tersebut dirata-ratakan. Angka baku mutu IPL adalah < 2. Contoh, pengamatan lalat pada rumah makan, Flygrill diletakkan di dapur. Pada 30 detik pengamatan pertama, kedua, hingga kesepuluh didapatkan data sebagai berikut: 2, 2, 4, 3, 2, 0, 1,1, 2, 1. Lima angka tertinggi adalah 4, 3, 2, 2, 2, yang dirataratakan sehingga mendapatkan indeks populasi lalat sebesar 2,6. Hasil perhitungan tersebut menunjukan IPL sebesar 2,6, masih di atas angka baku mutu (< 2), dengan kata lain di daerah tersebut/ rumah makan tersebut mempunyai potensi penularan diare dan penyakit sistem pencernaan lainnya, karena karena IPL masih di atas angka baku mutu (< 2). 2.2.7. Surveilans Kecoa Surveilans kecoa dianalisis berdasarkan indeks populasi kecoa (IPKe). IPKe adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung berdasarkan jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam menggunakan perangkap lem (sticky trap). Angka baku mutu IPKe adalah < 2. IPKe = Jumlah kecoa yang tertangkap Jumlah perangkap Contoh, penangkapan kecoa menggunakan 4 buah perangkap sticky trap pada malam hari, dua buah dipasang di dapur dan masingmasing satu buah dipasang di dua kamar mandi. Hasilnya mendapatkan 6 ekor kecoa. Maka indeks populasi kecoa dihitung sebagai berikut. Diketahui: - Jumlah kecoa yang didapat sebanyak 6 ekor. - Jumlah perangkap sebanyak 4 buah.
  • 26. 23 IPKe = 6 4 = 1,5 Hasil perhitungan tersebut menunjukan IPKe sebesar 1,5, masih dibawah angka baku mutu (< 2), dengan kata lain di daerah tersebut/ rumah makan tersebut relatif aman terhadap penularan diare dan penyakit sistem pencernaan lainnya, karena karena IPKe sudah dibawah angka baku mutu (2). 2.2.8. Surveilans Tikus Surveilans tikus dinalisis berdasarkan angka Success Trap (ST). ST adalah persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap, dihitung dengan cara jumlah tikus yang didapat dibagi dengan jumlah perangkap dikalikan 100%. Angka baku mutu ST adalah < 1%. ST = Jumlah tikus yang didapat π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘ π‘₯ 100% Contoh, pemasangan 50 perangkap tikus yang dilakukan selama 4 hari mendapatkan 5 tikus. Maka success trap dihitung sebagai berikut. Diketahui : - Jumlah tikus yang didapatkan 5 ekor. - Jumlah perangkap yang selama 4 hari sebanyak 50 buah. ST = 5 50 π‘₯ 100% = 10% Hasil perhitungan tersebut menunjukan ST sebesar 10%, di atas angka baku mutu (< 1%), dengan kata lain di daerah tersebut mempunyai potensi erhadap penularan penyakit diare dan penyakit sistem pencernaan lainnya, karena karena ST di atas angka baku mutu (< 1).
  • 27. 24 2.2.9. Surveilans Keong Surveilans keong dianalisis berdasarkan Indeks Habitat Keong Oncomelania hupensis lindoensis (IH_Ke), IH_Ke adalah jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis dalam 10 meter persegi habitat, dihitung dengan cara jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis yang didapat dalam 10 meter persegi. Angka baku mutu KH_Ke adalah 0. IH_Ke = Jumlah keong π‘‚π‘π‘œπ‘šπ‘’π‘™π‘Žπ‘›π‘–π‘Ž β„Žπ‘’π‘π‘’π‘›π‘ π‘–π‘  π‘™π‘–π‘‘π‘œπ‘’π‘›π‘ π‘–π‘  yang didapat π‘™π‘’π‘Žπ‘  β„Žπ‘Žπ‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘‘ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘ π‘’π‘Ÿπ‘£π‘’π‘– (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘š2) π‘₯ 10 Contoh, survei dilakukan pada 1.000 m2 habitat keong mendapatkan 15 keong Oncomelania hupensis lindoensis. Indeks habitat dihitung sebagai berikut. Diketahui: - Jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis 15 ekor. - Luas habitat 1.000 meter persegi. IH_Ke = 15 1.000 π‘₯ 10 = 0,15 Hasil perhitungan tersebut menunjukan IH_Ke sebesar 1,5, di atas angka baku mutu (0), dengan kata lain di daerah tersebut mempunyai potensi erhadap penularan Schistosomiasis, karena karena IH_Ke di atas angka baku mutu (0).
  • 28. 25 BAB III PELAKSANAAN SURVEILANS VEKTOR DAN BINATANG PEMBAWA PENYAKIT BERBASIS WEBSITE DAN ANDROID Secara garis besar sistem surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit meliputi input data vektor dan binatang pembawa penyakit berasal dari Puskesmas, B/BTKLPP dan KKP, selajutnya data dianalsis dan dipetakan di tingkat Puskesmas dan wilayah kerja B/BTKLPP dan KKP. Data dari semua Puskesmas, B/BTKLPP dan KKP masuk ke Dinkes Kabupaten/ Kota untuk dianalisis dan dipetakan pada tingkat kabupaten/ kota. Selanjutnya data semua Puskesmas, B/BTKLPP, KKP dan Dinkes Kabupaten/ Kota masuk ke Dinkes Provinsi untuk dianalisis dan dipetakan pada tingkat provinsi. Pada akhirnya semua data Puskesmas, B/BTKLPP, KKP, kabupaten/ kota dan provinsi masuk ke Kementerian Kesehatan (Direktorat P2PTVZ) untuk dianalisis dan dipetakan pada tingkat nasional (Gambar 3.1). Gambar 3.1 Sistem Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit di Indonesia
  • 29. 26 3.1. Surveilans Vektor di Pukesmas 3.1.1. Input Data Vektor di Puskesmas Input data tingkat Puskesmas adalah data hasil surveilans vektor petugas Pukesmas. Puskesmas melakukan surveilans secara rutin, sebulan sekali, berupa surveilans kepadatan jentik (ABJ) Aedes dan/ atau surveilans kepadatan jentik Anopheles. Input data kepadatan jentik Aedes meliputi : 1. Jumlah rumah/ bangunan yang diamati 2. Jumlah rumah/ bangunan yang positif jentik Aedes Input data indeks habitat Anopheles meliputi : 1. Jumlah habitat yang diamati 2. Jumlah habitat yang positif jentik/ larva Anopheles 3.1.2. Analisis Data Vektor di Puskesmas Analisis data hasil surveilans vektor di Puskesmas, analisis data kepadatan jentik Aedes dan analisis data kepadatan jentik Anopheles. Analisis data kepadatan jentik Aedes berdasarkan angka bebas jentik (ABJ). ABJ adalah persentase rumah atau bangunan yang bebas jentik, dihitung dengan cara jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik dibagi dengan jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa dikali 100%. Yang dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik, rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung berdasarkan satuan ruang bangunan/unit pengelolanya. Angka baku mutu ABJ β‰₯ 95%. ABJ = Jumlah π‘Ÿπ‘’π‘šπ‘Žβ„Ž π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ π‘π‘Žπ‘›π‘”π‘’π‘›π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘šπ‘’π‘˜π‘Žπ‘› π‘—π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘˜ Jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa π‘₯100% Perhitungan ABJ dilakukan secara otomatif menggunakan sistem yang ada di soft ware. Hasil perhitungan ABJ di lapangan dibandingkan dengan angka baku mutu ABJ sebesar β‰₯ 95%. Apabila ABJ lapangan lebih besar dari ABJ baku mutu maka kondisi lingkungan relatif aman terhadap
  • 30. 27 penularan penyakit. Sebaliknya, apabila ABJ lapangan lebih kecil dari ABJ baku mutu berarti kondisi lingkungan mempunyai potensi untuk penyebaran penyakit tular vektor demam berdarah dan demam chikungunya. Analisis data kepadatan jentik Anopheles berdasarkan Indeks habitat Anopheles (IH_An). IH_An adalah persentase habitat perkembangbiakan yang positif larva Anopheles, dihitung dengan cara jumlah habitat yang positif larva Anopheles dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan 100%. Angka baku mutu IH_An adalah < 1%. IH_An = Jumlah habitat yang positif larva π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘  Jumlah seluruh habitat yang diperiksa x 100% Perhitungan IH_An dilakukan secara otomatif menggunakan sistem yang ada di soft ware. Hasil perhitungan IH_An di lapangan dibandingkan dengan angka baku mutu IH_An yaitu < 1%. Apabila IH_An lapangan lebih besar dari IH_An baku mutu maka kondisi lingkungan mempunyai potensi penular malaria. Sebaliknya, apabila IH_An lapangan lebih kecil dari IH_An baku mutu berarti kondisi lingkungan relatif aman terhadap penularan malaria. 3.1.3. Output Data Vektor di Puskesmas Output data vektor tingkat Puskesmas dapat dicetak/ prin out dari software, berupa angka ABJ dan/ atau indeks habitat. Hasilnya dapat menjadi dasar diskusi dalam pengambilan keputusan di tingkat Puskesmas/ Kecamatan. 3.2. Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit di B/BTKLPP dan KKP 3.2.1. Input Data di B/BTKLPP dan KKP Input data hasil surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang dilakukan oleh B/BTKLPP dan KKP, dapat berisikan input data kepadatan
  • 31. 28 nyamuk Anopheles, input data kepadatan jentik Anopheles, input data kepadatan nyamuk Aedes, input data kepadatan jentik Aedes, input data kepadatan nyamuk Culex, input data kepadatan jentik Culex, input data kepadatan nyamuk Mansonia, input data kepadatan pinjal, input data kepadatan lalat, input data kepadatan kecoa, data input kepadatan tikus dan input data kepadatan keong Oncomelania. Input data kepadatan nyamuk Anopheles terdiri dari : 1. Jumlah nyamuk Anopheles (spesies tertentu yang tertangkap) 2. Jumlah penangkap 3. Lama penangkapan (dalam jam) Input data kepadatan jentik Anopheles terdiri dari : 1. Jumlah habitat yang diamati 2. Jumlah habitat yang positif jentik Anopheles Input data kepadatan nyamuk Aedes terdiri dari : 1. Jumlah nyamuk Aedes yang tertangkap 2. Jumlah penangkap 3. Lama jam penangkapan 4. Lama waktu penangkapan pada setiap jam nya Input kepadatan jetik Aedes terdiri dari : 1. Jumlah rumah/ bangunan yang diamati 2. Jumlah rumah/ bangunan yang positif jentik Aedes Input kepadatan nyamuk Culex terdiri dari : 1. Jumlah nyamuk Culex yang tertangkap 2. Jumlah penangkap 3. Lama jam penangkapan 4. Lama waktu penangkapan pada setiap jam nya Input kepadatan jentik Culex terdiri dari :
  • 32. 29 1. Jumlah habitat yang diamati 2. Jumlah habitat yang positif jentik Culex Input kepadatan nyamuk Mansonia terdiri dari : 1. Jumlah nyamuk Mansonia yang tertangkap 2. Jumlah penangkap 3. Lama jam penangkapan 4. Lama waktu penangkapan pada setiap jam nya Input kepadatan pinjal terdiri dari : 1. Jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang tertangkap 2. Jumlah seluruh pinjal yang tertangkap 3. Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa Input kepadatan lalat terdiri dari : 1. Jumlah lalat yang tertangkap 2. Jumlah flygrill yang digunakan Input kepadatan kecoa terdiri dari : 1. Jumlah kecoa yang tertangkap 2. Jumlah perangkap sticky trap yang digunakan Input kepadatan tikus terdiri dari : 1. Jumlah tikus yang tertangkap 2. Jumlah perangkap yang digunakan Input kepadatan keong terdiri dari : 1. Jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis yang tertangkap 2. Luas habitat yang disurvei
  • 33. 30 3.2.2. Analisis Data di B/BTKLPP dan KKP Analisis data kepadatan nyamuk Anopheles dianalisis berdasarkan angka man bitting rate (MBR). MBR adalah angka gigitan nyamuk per orang per malam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu) yang tertangkap dalam satu malam (12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan waktu (jam) penangkapan. Angka baku mutu MBR adalah < 0,025, apabila MBR lapangan lebih besar dari 0,025 maka lingkungan tersebut masih mepunyai potensi penularan malaria. Sebaliknya apabila MBR lapangan lebih kecil dari 0,025 maka wilayah tersebut relatif aman dari penularan malaria. MBR = Jumlah nyamuk π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘  yang tertangkap (spesies tertentu) Jumlah penangkap x waktu penangkapan (dalam jam) Analisis kepadatan jentik Anopheles berdasarkan indeks habitat Anopheles (IH_An). IH_An adalah persentase habitat perkembangbiakan yang positif larva Anopheles, dihitung dengan cara jumlah habitat yang positif larva Anopheles dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan 100%. Angka baku mutu IH_An adalah < 1%, apabila IH_An lapangan lebih besar dari 1% maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan malaria. Sebaliknya apabila IH_An lapangan lebih kecil dari 1% maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan malaria. IH_An = Jumlah habitat yang positif larva π΄π‘›π‘œπ‘β„Žπ‘’π‘™π‘’π‘  Jumlah seluruh habitat yang diperiksa x 100% Kepadatan nyamuk Aedes dianalisis berdasarkan angka istirahat (resting rate/RR) adalah angka kepadatan nyamuk istirahat (resting) per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Aedes spp. yang tertangkap dalam
  • 34. 31 satu hari (12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali lama penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit) dalam tiap jamnya. Angka baku mutu RR adalah < 0,025, apabila angka RR lapangan lebih besar dari 0,025 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan demam berdarah dan demam chikungunya. Sebaliknya apabila angka RR lapangan lebih kecil dari 0,025 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan demam berdarah dan chikungunya. RR = Jumlah nyamuk 𝐴𝑒𝑑𝑒𝑠 𝑠𝑝𝑝. yang tertangkap Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘) Kepadatan jentik Aedes dianalisis berdasarkan angka bebas jentik (ABJ). ABJ adalah persentase rumah atau bangunan yang bebas jentik, dihitung dengan cara jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik dibagi dengan jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa dikali 100%. Yang dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik, rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung berdasarkan satuan ruang bangunan/unit pengelolanya. Angka baku mutu ABJ β‰₯ 95%, apabila ABJ lapangan lebih kecil dari 95% maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan demam berdarah dan demam chikungunya. Sebaliknya apabila ABJ lapangan lebih besar dari 95% maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan demam berdarah dan chikungunya. ABJ = Jumlah π‘Ÿπ‘’π‘šπ‘Žβ„Ž π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ π‘π‘Žπ‘›π‘”π‘’π‘›π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘šπ‘’π‘˜π‘Žπ‘› π‘—π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘˜ Jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa π‘₯ 100% Analisis kepadatan nyamuk Culex berdasarkan angka Man Hour Density (MHD_Cx). MHD_Cx adalah angka nyamuk yang hinggap per orang per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Culex yang tertangkap dibagi
  • 35. 32 dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan lama penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit). Angka baku mutu MHD_Cx adalah < 1, apabila MHD_Cx lapangan lebih besar dari 1 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan filariasis dan Japanese encephalitis. Sebaliknya apabila MHD_Cx lapangan lebih kecil dari 1 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan filariasis dan Japanese encephalitis. MHD_Cx = Jumlah nyamuk 𝐢𝑒𝑙𝑒π‘₯ yang tertangkap Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘) Analisis kepadatan jentik Culex berdassarkan indeks habitat Culex (IH_Cx). IH_Cx adalah persentase habitat perkembangbiakan yang positif larva Culex, dihitung dengan cara jumlah habitat yang positif larva Culex dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan 100%. Angka baku mutu IH_Cx adalah < 5%, apabila IH_Cx lapangan lebih besar dari 5% maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan filariasis dan Japanese encephalitis. Sebaliknya apabila IH_Cx lapangan lebih kecil dari 5% maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan filariasis dan Japanese encephalitis. IH_Cx = Jumlah habitat yang positif larva 𝐢𝑒𝑙𝑒π‘₯ Jumlah seluruh habitat yang diperiksa π‘₯ 100% Analisis kepadatan nyamuk Mansonia berdasarkan angka Man Hour Density (MHD_Man). MHD_Man adalah angka nyamuk yang hinggap per orang per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Mansonia yang tertangkap dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan lama penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit). Angka baku mutu MHD_Man adalah < 5, apabila MHD_Man lapangan lebih besar dari 5 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi
  • 36. 33 penularan filariasis. Sebaliknya apabila MHD_Man lapangan lebih kecil dari 5 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan filariasis. MHD_Man = Jumlah nyamuk π‘€π‘Žπ‘›π‘ π‘œπ‘›π‘–π‘Ž yang tertangkap Jumlah penangkap x lama penangkapan (dalam jam)π‘₯ π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘π‘Žπ‘› (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘) Analisid kepadatan pinjal dihitung berdasarkan Indeks pinjal khusus (IPK) adalah jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang tertangkap dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa dan Indeks pinjal umum (IPU) adalah jumlah seluruh pinjal yang tertangkap dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa. Angka baku mutu IPK adalah < 1 dan IPU adalah < 2, apabila IPK lapangan lebih besar dari 1 dan/ atau IPU lapangan lebih besar dari 2 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan penyakit pes. Sebaliknya apabila IPK lapangan lebih kecil dari 1 dan/ atau IPU lebih kecil dari 2 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan penyakit pes. IPK = Jumlah pinjal π‘‹π‘’π‘›π‘œπ‘π‘ π‘¦π‘™π‘™π‘Ž π‘β„Žπ‘’π‘œπ‘π‘ π‘–π‘  yang tertangkap Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa IPU = Jumlah seluruh pinjal yang tertangkap Jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa Analisis kepadatan lalat berdasarkan indeks populasi lalat (IPL). IPL adalah angka rata-rata populasi lalat pada suatu lokasi yang diukur dengan menggunakan flygrill. Pengukuran dilakukan pada tempat-tempat populasi lalat tinggi, misalnya tempat penampungan sampah dan dapur. Flygrill diletakan pada 10 titik pengamatan. Indeks populasi lalat dihitung dengan cara melakukan pengamatan jumlah lalat yang hinggap pada flygrill selama 30 detik. Dari 10 kali pengamatan diambil 5 (lima) nilai tertinggi, lalu kelima nilai tersebut dirata-ratakan. Angka baku mutu IPL adalah < 2, apabila IPL lapangan lebih besar dari 2 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan penyakit
  • 37. 34 saluran pencernaan. Sebaliknya apabila IPL lapangan lebih kecil dari 2 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan penyakit saluran pencernaan yang disebabkan oleh lalat. Analisis kepadatan kecoa berdasarkan indeks populasi kecoa (IPKe). IPKe adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung berdasarkan jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam menggunakan perangkap lem (sticky trap). Angka baku mutu IPKe adalah < 2, apabila IPKe lapangan lebih besar dari 2 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan penyakit saluran pencernaan. Sebaliknya apabila IPKe lapangan lebih kecil dari 2 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan penyakit saluran pencernaan yang disebabkan oleh kecoa. IPKe = Jumlah kecoa yang tertangkap Jumlah perangkap Analisis kepadatan tikus berdasarkan Success Trap (ST). ST adalah persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap, dihitung dengan cara jumlah tikus yang didapat dibagi dengan jumlah perangkap dikalikan 100%. Angka baku mutu ST adalah < 1%, apabila ST lapangan lebih besar dari 1% maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan leptospirosis dan pes. Sebaliknya apabila ST lapangan lebih kecil dari 1% maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan leptospirosis dan pes. ST = Jumlah tikus yang didapat π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘ π‘₯ 100% Analisis kepadatan keong berdasarkan Indeks Habitat Keong Oncomelania hupensis lindoensis (IH_Ke). IH_Ke adalah jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis dalam 10 meter persegi habitat, dihitung dengan cara jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis yang didapat dalam 10 meter persegi.
  • 38. 35 Angka baku mutu IH_Ke adalah 0, apabila IH_Ke lapangan lebih besar dari 0 maka kondisi lingkungan tersebut mempunyai potensi penularan Scistosomiasis. Sebaliknya apabila IH_KE lapangan 0 maka lingkungan tersebut relatif aman terhadap penularan Scistosomiasis. IH_Ke = Jumlah keong π‘‚π‘π‘œπ‘šπ‘’π‘™π‘Žπ‘›π‘–π‘Ž β„Žπ‘’π‘π‘’π‘›π‘ π‘–π‘  π‘™π‘–π‘‘π‘œπ‘’π‘›π‘ π‘–π‘  yang didapat π‘™π‘’π‘Žπ‘  β„Žπ‘Žπ‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘‘ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘ π‘’π‘Ÿπ‘£π‘’π‘– (π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘š2) π‘₯ 10 3.2.3. Output data di B/BTKLPP dan KKP Output data vektor dan binatang pembawa penyakit di wilayah kerja B/BTKLPP dan KKP dapat dicetak/ prin out dari software. Hasilnya dapat menjadi dasar diskusi dalam pengambilan keputusan di wilayah kerja B/BTKLPP dan KKP, dalam rangka pengendalian vektor dan pengendalian penyakit tular vektor. 3.3. Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Kabupaten/ Kota Hasil input data vektor dan binatang pembawa penyakit di Puskesmas, B/BTKLPP dan KKP dapat dapat dianalisis pada skala kabupaten/ kota dalam rangka pengambilan kebijakan di tingkat kabupaten/ kota. Output hasil analisis dapat dicetak/ prin out melalui software. Pengendalian vektor dan binatang perlu dilakukan apabila hasil analisis dan output data di lapangan menunjukkan nilai melebihi standar baku yang ada. 3.4. Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Provinsi Hasil input data vektor dan binatang pembawa penyakit di Puskesmas, B/BTKLPP dan KKP dapat dapat dianalisis pada skala provinsi dalam rangka pengambilan kebijakan di tingkat provinsi. Output hasil analisis dapat dicetak/ prin out melalui software. Pengendalian vektor dan binatang perlu dilakukan apabila hasil analisis dan output data di lapangan menunjukkan nilai melebihi standar baku yang ada.
  • 39. 36 3.5. Analisis dan Pengambilan Kebijakan di Tingkat Nasional Hasil input data vektor dan binatang pembawa penyakit di Puskesmas, B/BTKLPP dan KKP dapat dapat dianalisis pada skala nasional dalam rangka pengambilan kebijakan di tingkat nasional. Output hasil analisis dapat dicetak/ prin out melalui software. Pengendalian vektor dan binatang perlu dilakukan apabila hasil analisis dan output di lapangan menunjukkan nilai melebihi standar baku yang ada. Analisis data dan pengendalian di tingkat nasional berdasarkan pertimbangan Komisi Ahli Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit.
  • 40. 37 BAB IV MONITORING DAN EVALUASI Monitoring surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit dilaksanakan secara berkala untuk mendapatkan informasi atau mengukur indikator kinerja kegiatan. Monitoring dilaksanakan sebagai bagian dalam pelaksanaan surveilans yang sedang berjalan. Disamping itu monitoring akan mengawal agar tahapan pencapaian tujuan kegiatan sesuai target yang telah ditetapkan. Bila dalam pelaksanaan monitoring ditemukan hal yang tidak sesuai rencana, maka dapat dilakukan koreksi dan perbaikan pada waktu yang tepat. Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur hasil dari surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang telah dilaksanakan dalam perode waktu tertentu. Disebabkan banyaknya aspek yang berpengaruh dalam pencapaian suatu hasil, maka evaluasi objektif harus dapat digambarkan dalam menilai suatu pencapaian program. Peran dan kontribusi surveilans terhadap suatu perubahan dan hasil program kesehatan harus dapat dinilai dan digambarkan dalam proses evaluasi.
  • 41. 38 KEPUSTAKAAN Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dan Pengendaliannya. Kementerian Kesehatan. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 64 tahun 2015 tentang Orgaisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan. Subdit Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit. Hasil Survei Vektor di Jawa dan Kalimantan Tahun 2017.