Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut membahas tentang penerapan Good Governance di Pemprov DKI Jakarta yang terlihat dari tingginya Indeks Pembangunan Manusia dan Produk Domestik Regional Bruto DKI Jakarta.
2. Dokumen tersebut juga menjelaskan tentang pengertian Good Governance dan prinsip-prinsipnya seperti transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi dan keset
BE & GG, Hendri Sivilianto, Prof Dr Ir Hapzi Ali MM CMA, Good Government Governance Pemda DKI Jakarta, Universitas Mercu Buana, 2017
1. GOOG GOVERNANCE PEMERINTAH
DAERAH DKI JAKARTA
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Ir. H. Hapzi Ali, MM
Disusun Oleh :
Hendri Sivilianto 55117110012
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS MERCUBUANA
JAKARTA
2017
2. 2
Abstract
Good Government Governance di tempat saya bekerja Pemprov DKI
Jakarta bisa dilihat dari hasil riset Badan Pusat Statistik Rata-rata angka
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Anonim, 2017) setiap provinsi di
Indonesia adalah sebesar 70,34 (skala 100), dimana IPM yang terendah 63,35
yaitu untuk provinsi Papua dan yang tertinggi 76,68 yaitu untuk provinsi DKI
Jakarta. Dan Produk domestik regional bruto (PDRB) yang tertinggi di
Indonesia adalah yang dialami oleh provinsi DKI Jakarta dengan nilai PDRB
sebesar Rp.1.103.738.000.000.000,- dan PDRB yang terendah dialami oleh
provinsi Maluku Utara dengan nilai sebesar Rp.6.918.000.000.000,-. Rata rata
nilai PDRB untuk seluruh provinsi di Indonesia adalah sebesar
Rp.203.985.848.000.000,-.
Kata kunci : Good Government Governance, Program Pemprov DKI Jakarta,
kesejahteraan rakyat
1. Introduction
Istilah governance bukan istilah baru. Istilah ini telah dikenal 125 tahun
yang lalu dalam literatur ilmu administrasi dan ilmu politik. Secara sederhana
istilah ini diartikan sebagai sebuah proses pembuatan keputusan dan proses
dimana keputusan tersebut di implementasikan (atau tidak diimplementasikan).
Istilah ini dapat digunakan diberbagai konteks seperti corporate governance,
international governance, national governance dan local governance.
Dalam bahasa Indonesia, istilah ini diterjemahan menjadi tata-Pemerintahan,
penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan. Maraknya
pengunaan istilah ini akibat desakan organisasi pembiayaan intenasional IMF
dan Bank Dunia yang meminta negara-negara anggotanya untuk
melaksanakan good governance sebagai syarat utama dalam setiap program
bantuannya.
Masing-masing organisasi international ini memiliki penekanan
good governance yang berbeda. IMF misalnya, mempromosikan good
governance meliputi seluruh aspek yang berkaitan dengan urusan publik.
Persyaratan ini berlaku bagi seluruh negara yang menerima manfaat bantuan
teknisnya, berkaitan dengan perang anti korupsi, bagi IMF tujuan good
governance adalah untuk membuat kebijakan ekonomi lebih transparan,
menyediakan informasi yang maksimum mengenai keuangan publik dan untuk
menstandarisasikan prosedur audit sedangkan tujuan yang baru saja
dicanangkan adalah memerangi terorisme. Menurut World Bank, governance
dari "negara-negara klien" harus "menghindari disfunctioning sektor publik
untuk membantu negara-negara tersebut menerapkan reformasi" yang
dirancang untuk meningkatkan mekanisme alokasi sumber daya publik,
"pengembangan kelembagaan negara, proses perumusan, pilihan dan
pelaksanaan kebijakan, dan hubungan antara warga dan pemerintah mereka.
"Sedangkan UNDP (United Nation Development Program) governance
berkaitan dengan pembangunan manusia yang berkelanjutan, ADB (Asian
Development Bank) menekankan partisipasi sektor swasta, sedangkan Inter-
American Development Bank menekankan penguatan masyarakat sipil,
akuntabilitas. OECD (Organization of Economics Co-operation and
3. 3
Development) menekankan pada, transparansi, efisiensi dan efektivitas,
peramalan ekonomi dan keunggulan hukum,EBRD hak asasi manusia dan
prinsip-prinsip demokrasi, dan lain-lain. Terlepas dari ketidakjelasan konsep
dan kriteria penilaian normatif yang terlibat, tujuan dirumuskan oleh organisasi-
organisasi yang cukup jelas dan konvergen: apa yang dipertaruhkan adalah
pembentukan negara kebijakan untuk menciptakan lingkungan-lingkungan
kelembagaan yang paling menguntungkan
DKI Jakarta sebagai Pemerintahan Daerah sekaligus Ibukota negara
Indonesia dalam setiap aspek sangat mempengaruhi daerah lain sebagai kota
percontohan/ sister city, pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya,
keamanan dan pembangunan manusia yang bertumbuh di Jakarta adalah hasil
dari penerapan Visi dan Misinya (Anies sandi, 2017) untuk menerapkan Good
Governance, yaitu antara lain :
Visi :
Jakarta Kota maju, lestari dan berbudayayang warganya terlibat dalam
mewujudkan keberadaban, keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
Misi :
1. Jakarta kota yang aman, sehat, cerdas, berbudaya, memperkuat nilai-nilai
keluarga dan memberikan ruang kreativitas melalui kepemimpinan yang
melibatkan, menggerakkan dan memanusiakan.
2. Jakarta akan menjadi kota yang memajukan kesejahteraan umum melalui
terciptanya lapangan kerja, kestabilan dan keterjangkauan kebutuhan
pokok, meningkatnya keadilan sosial, percepatan pembangunan
insfrastruktur, kemudahan investasi dan berbisnis, serta perbaikan
pengelolaan tata ruang.
3. Jakarta akan menjadi wahana aparatur negara untuk berkarya, mengabdi,
melayani, serta menyelesaikan berbagai permasalahan kota dan warga,
secara efektif, meritokratis dan berintegritas.
4. Jakarta akan menjadi kota yang lestari, dengan pembangunan dan tata
kehidupan yang memperkuat daya dukung lingkungan dan sosial.
5. Jakarta akan menjadi ibukota yang dinamis sebagai simpul kemajuan
Indonesia yang bercirikan keadilan, kebangsaan, dan kebhinekaan.
Slogan Pemprov DKI Jakarta dalam menjalankan Good Governance melayani
masyarakat yaitu PASTI SETIA :
• Profesional
Dalam setiap kegiatan pemerintahan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
• Akuntabel
Semua program kegiatan yang dilakukan dapat di
pertanggungjawabkan
• Santun
Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan santun
• Transparan
4. 4
Semua program kegiatan dan laporan bisa di akses publik, dan setiap
rapat pimpinan di rekam dan di upload dalam youtube
• Integritas
Jujur dan konsisten dalam berbicara, bersikap dan bertindak
• Solusi
Mampu memberikan penyelesaian terhadap segala persoalan dan
permasalahan
• Empati
Mampu menekankan untuk merasakan, selalu postive thinking
• Tegas
Berani ambil keputusan terhadap kewenangan
• Inovatif
Melakukan perubahan untuk penyempurnaan dan memudahkan
penyelanggaraan pemerintahan
• Handal
Berkompeten dalam setiap program/kegiatan yang dilaksanakan
2. Literature Review
Dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG), tidak terlepas
dari budaya organisasi yang berlaku di dalam organisasi itu sendiri. Budaya
menurut Schein (2010:5 dalam Dwi Susanto et. Al., 2015) adalah fenomena
dinamis dalam kondisi “disini dan saat ini” dan sebuah latar belakang sturktur
paksaan yang berpengaruh pada kelompok melalui beberapa cara. Budaya
sendiri secara terus-menerus diterapkan dan tercipta oleh interaksi yang
dilakukan kelompok dengan terbentuk oleh perilaku kelompok itu sendiri.
Greertz (dalam Driskill & Brendton 2010: 8) berpendapat pada budaya
organisasi terdiri dari jaringan yang signifikan yang terus dipintal oleh
organisasi itu sendiri, serta dibangun melalui adanya interaksi.
Setiap organisasi memiliki cara-cara yang unik dari apa yang mereka lakukan.
Hal ini sama halnya dengan budaya nasional maupun masyarakat, yang
memiliki hal-hal yang unik,seperti Bahasa, benda-benda peninggalan sejarah,
nilai-nilai, perayaan-perayaan, pahlawan-pahlawan, sejarah dan norma-norma,
dan setiap organisasi juga memiliki hal unik yang berbeda-beda pula. Indonesia
sebagai negara yang terdiri dari beragam jenis suku, ras, budaya dan etnis
yang beragam telah terbentuk menjadi satu dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Segala kebudayaan nasional, lokal maupun asing sekalipun
telah ada dan terbentuk bahkan sejak Indonesia belum merdeka pada tahun
1945. Budaya yang telah terbentuk itu kemudian terefleksikan pada budaya-
budaya organisasi yang ada di Indonesia yang bertujuan untuk mencapai
kesinambungan dan ketahanan dalam jangka panjang, meningkatkan kinerja
5. 5
dan pada akhirnya meningkatkan nilai tambah bagi organisasi untuk
kepentingan pihak-pihak di dalam organisasi itu sendiri.
Dengan dasar itu pula, maka dalam penerapan Good Corporate
Governance(GCG) yang sesuai dengan budaya Indonesia harus pula
mencakup 5 pilar dasar dari GCG yang ditetapkan oleh Komite Nasional
Kebijakan Governance (KNKG) (dalam anonymous 2015:5), yaitu TARIF
(Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, and Fairness)
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Transparency
Pada penerapannya sebagaimana dengan budaya yang berlaku di Indonesia,
yang mana dalam hal ini governance sendiri terdiri dari 3 pilar yang memiliki
kepentingan, yaitu pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Untuk itu, dalam
penerapannya, informasi-informasi yang berkaitan dengan pemerintah, pelaku
usaha dan masyarakat wajib untuk dipenuhi secara tepat waktu, memadai,
jelas, akurat, dan mudah di akses. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah
dengan memanfaatkan teknologi informasi, sehingga tidak lagi dijadikan suatu
alasan bagi ketiga pilar governance tersebut untuk tidak memiliki inisiatif dalam
mengungkapkan berbagai informasi yang berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan atau kebijakan, baik oleh pemerintah, pelaku usaha,
dan masyarakat yang sangat berpengaruh pada para pemangku kepentingan
yang disebabkan oleh keputusan atau kebijakan tersebut.
2. Accountability
Akuntabiltas sebagai bentuk pertanggung jawaban bagi organisasi
kepada shareholders dan stakeholders agar pengelolaan organisasi dapat
berjalan secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan organisasi
tanpa mengesampingkan kepentingan shareholder dan stakeholders tersebut.
Hal ini tidak terbatas pada itu saja, namun juga memastikan setiap pegawai
organisasi memiliki kompetensi yang memadai sesuai dengan tugas, tanggung
jawab serta perannya dalam organisasi dengan menerapkan sistem
pengahargaan dan sanski secara objektif untuk menguji akuntabilitasnya.
Dalam penerapannya di Indonesia, konsep ini masih terkendala dalam
pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) organisasi, terutama untuk
melakukan re-generasi kepada pegawai-pegawai baru untuk menggantikan
posisi-posisi pegawai yang sudah semakin tua serta penerapan penghargaan
dan sanksi yang belum jelas dan tepat dalam organisasi. Untuk itu, dalam
penerapannya perlu dilakukan pelatihan atau seminar bagi pegawai baik di
internal maupun eksternal perusahaan secara berkelanjutan dan disesuaikan
dengan kebutuhan bidang pekerjaan pegawai dan statusnya dalam organisasi
sehingga mencapai hasil yang diharapkan. Serta melakukan uji akuntabilitas
6. 6
dengan melakukan pemberian penghargaan dan sanksi secara objektif kepada
setiap pegawai.
3. Responsibility
Dalam penerapannya di Indonesia, konsep ini belum mampu diterapkan secara
optimal oleh setiap organisasi di Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus
penutupan bidang usaha yang disebabkan tidak memiliki izin operasi, serta
menyalahi aturan perundang-undangan lainnya. Disamping itu, kesadaran
dalam menjaga lingkungan akibat dampak kegiatan produksi atau kegiatan
usaha lainnya belum dapat dipahami secara sadar dan merata oleh setiap
pelaku usaha, yang mana dalam hal ini mereka harus mampu bertanggung
jawab untuk meminimalisir dampak laingkungan yang akan dirasakan secara
langsung atau tidak langsung oleh masyarakat atau lingkungan sekitar di
wilayah organisasi itu melakukan kegiatan usahanya.
Perbaikan yang dapat dilakukan agar menciptakan kesadaran setiap
organisasi untuk bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan
adalah dengan memberikan aturan dan implementasi yang ketat, namun harus
dibarengi dengan penyampaian informasi secara menyeluruh sesuai dengan
konsep transparasi melalui penggunaan tekologi tertentu. Disamping itu,
penerapan sanksi tegas sesuai dengan konsep akuntabilitas secara objektif
kepada para pelaku usaha yang tidak dapat mengikuti aturan yang telah
berlaku di suatu wilayah tertentu.
4. Independency
Dalam penerapannya di Indonesia, konsep kemandirian ini belum optimal
karena dalam pengelolaan organisasi di Indonesia masih banyak dominasi dan
dipengaruhi oleh bangsa asing di dalam organisasi-organisasi di Indonesia.
Dalam konsep kemandirian yang baik untuk organisasi di Indonesia, proses
pengambilan keputusan-keputusan seharusnya berdasarkan pada keputusan-
keputusan yang tegas oleh bangsa Indonesia itu sendiri, namun tetap
senantiasa objektif untuk mencapai kepentingan
para shareholders dan stakeholders.
Perbaikan yang dadap dilakukan yaitu dengan meningkatkan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) yang mampu berdaya saing dan memiliki pengaruh
dalam menjalankan perannya dalam organisasi. Serta menguatkan Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) milik bangsa Indonesia, yang diharapkan mampu
menjadi pilar atau fondasi ekonomi yang kokoh untuk mencapai kemandirian
bangsa Indonesia tanpa didominasi dan dipengaruhi oleh bangsa asing lainnya
lagi.
7. 7
5. Fairness
Dalam penerapannya di Indonesia, masih terdapat beberapa kendala dalam
pelaksanaanya. Konsep kesetaraan dan kewajaran ini harus didukung oleh
kemampuan dari segi pengetahuan, dan infrastruktur setiap pihak yang baik
dan menunjang untuk mengakses informasi atau mengambil kesempatan
untuk berkontribusi dalam sebuah organisasi. Kondisi aktualnya di Indonesia,
di beberapa wilayah belum memiliki fasilitas dan infrastruktur yang sama dalam
mengakses informasi-informasi terbaru. Disamping itu, dalam hal penyerapan
tenaga kerja masih terdapat kesenjangan antara kesempatan kerja dengan
kompetensi yang dimiliki oleh masyarakat sehingga jumlah calon tenaga kerja
yang ada di Indonesia belum dapat terserap secara menyeluruh. Sebagai
solusi masalah ini, yaitu dengan menguatkan lagi fondasi Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) yang mampu berdaya saing dan berkualitas untuk membuka
lebih banyak lagi lapangan pekerjaan di bidang-bidang tertentu untuk
meningkatkan kemampuan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Transparency International
pada 2013, Indonesia berada di peringkat 114 dari 175 negara yang disurvei
untuk katagori bersih dari korupsi dengan nilai 32. Sebagai pembanding,
Indonesia berada jauh di bawah beberapa negara Asia Tenggara seperti
Singapura (peringkat 5), Malaysia (peringkat 53), Filipina (peringkat 93). Good
Corporate Governance (GCG) dan pengendalian internal menjadi sangat
relevan dan menjadi topik yang hangat diperbincangkan pada awal abad ke-21
ini, diikuti oleh serangkaian skandal dan kegagalan yang dilakukan perusahaan
(PABC, 2006). Rendahnya nilai dari implementasi (GCG) dan tingginya angka
korupsi menunjukan tidak adanya akuntabilitas pada manajemen keuangan di
dalam pemerintah (Mardiasmo, 2004). Para petinggi di setiap lembaga
pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, serta Badan Usaha Milik Negara
harus memiliki komitmen yang tinggi untuk membuat regulasi, mengidentifikasi,
dan memahami mekanisme dari pelaporan keuangan. Mereka juga harus
memiliki tanggung jawab untuk mencegah dari kesalahan dalam mengelola
dana publik, dengan mengimplementasikan pengendalian internal yang efektif
(Ratliff, Wallace, Loebbecke, & Farlan, 1996).
Dewasa ini, Good Corporate Governance merupakan salah satu
instrumen penting bagi institusi dan lembaga pemerintah. Hal ini semakin
diperkuat dengan marakya kasus korupsi yang melibatkan pejabat, baik di
kementerian maupun 2 pemerintah daerah. Krisis yang melanda kawasan Asia
Timur pada akhir tahun 1997 dan Indonesia pada tahun 1998 merupakan salah
satu bentuk buruknya sistem tata kelola perusahaan pada instansi
pemerintahan. Bagi Indonesia, krisis yang berawal dari krisis moneter berubah
menjadi krisis multi dimensi. Iskandar dan Chamlou (2000) berpendapat, krisis
ekonomi yang terjadi di kawasan asia tenggara dan negara lainnya tidak hanya
disebabkan oleh kondisi ekonomi makro di negara tersebut, tetapi disebabkan
juga oleh lemahnya penerapan Good Corporate Goverance, seperti lemahnya
8. 8
hukum standar akuntansi dan pemeriksaan keuangan (auditing) yang belum
mapan, pasar modal yang masih under-regulated, lemahnya pengawasan oleh
dewan komisaris, dan terabaikannya hak pemegang saham minoritas.
Good Corporate Governance bertujuan memberikan nilai tambah bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dan dapat dengan cepat memperbaiki
kesalahankesalahan yang terjadi. Penerapan GCG sendiri berguna untuk
membangun kepercayaan publik agar institusi pemerintah dan korporasi dapat
berkembang secara baik dan sehat. Di samping itu, Good Corporate
Governance juga memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan
sasaran suatu perusahaan dan sebagai sarana untuk menentukan teknik
monitoring kinerja (Darmawati et al., 2005).
Pengelolaan GCG menekankan pentingnya hak pemegang saham
dalam mendapatkan informasi yang akurat, benar, dan tepat waktu. Selain itu,
mewajibkan perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure)
terhadap 3 semua informasi kinerja keuangan perusahaan secara akurat,
benar, dan tepat waktu.
Auditor internal memiliki peran yang penting dalam mewujudkan GCG di
dalam instansi pemerintah. Pada instansi pemerintah, tugas audior internal
berada pada Inspektorat sedangkan pada BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
berada pada Satuan Pengawasan Internal (SPI). Salah satu kegiatan dari audit
internal adalah mengevaluasi kecukupan dan efektivitas sistem pengendalian
internal dan memastikan sejauh mana sasaran dan tujuan program serta
kegiatan telah ditetapkan dan sesuai dengan target dan tujuan organisasi.
Cheung dan Qiang (2002) mengemukakan, bahwa fungsi audit internal dalam
organisasi adalah meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik. Stewart dan
Kent (2006) membuat penelitian yang menyimpulkan hal serupa.
COSO merupakan pedoman dan cikal bakal pembentukan sistem
pengendalian internal di instansi pemerintah, termasuk unit kepatuhan internal
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pemerintah RI, melalui Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005, tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Pemerintah Pusat mengadopsi definisi pengendalian internal dari
COSO.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Internal memberikan pedoman yang jelas dan tegas mengenai
penrerapan sistem pengendalian internal di lingkungan pemerintah. Inti dari
pengendalian internal dalam pertaturan tersebut adalah terciptanya suatu
sistem 4 pengendalian internal pemerintah yang dapat mewujudkan suatu
praktik-praktik good governance.
Dalam menjalankan suatu kegiatan usaha maupun kegiatan pelayanan
publik, suatu perusahaan maupun instansi pemerintah membutuhkan
komponen komponen pendukungnya agar tujuan perusahaan maupun
instansinya dapat tercapai. Salah satu komponennya berupa sumber daya
9. 9
manusia di perusahaan maupun di instansi. Karyawan merupakan sumber
daya yang penting bagi perusahaan maupun instansi karena memiliki bakat,
potensi, tenaga, dan kreativitas yang dibutuhkan perusahaan dalam
mengimplementasikan strategi yang ada yang bermuara pada tujuan, visi, dan
misi institusi. Karyawan di setiap perusahaan/instansi pemerintahan dituntut
untuk memberikan kontribusi positif bagi perusahaan/instansi dengan
kemampuan dan keahlian yang mereka miliki. Ulrich dalam Luciana (2006)
mengemukakan bahwa salah satu peran sumber daya manusia di dalam
organisasi adalah menjadi partner dalam pelaksanaan strategi organisasi.
Dalam hal ini, karyawan diharapkan mampu memberi kontribusi secara aktif di
dalam mengimplementasi strategi organisasi sehingga dapat menyelaraskan
diri dengan visi, misi, dan tujuan organisasi.
Samanto dalam Privatisasi (2007) mengemukakan, bagi sebagian
karyawan, harapan untuk mendapatkan uang adalah alasan mengapa mereka
mau bekerja. Namun, yang lain berpendapat, uang hanyalah salah satu dari
banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi melalui kerja. Mereka yang bekerja
akan mendapat fasilitas dan status sosial yang berbeda dengan mereka yang
tidak bekerja. Ini berarti, seseorang yang mendedikasikan dirinya pada
perusahaan 5 melalui waktu, pikiran, dan tenaga yang dimilikinya dengan
mengharapkan insentif dari organisasi.
Pemenuhan kebutuhan karyawan secara berkala dapat menimbulkan
kepuasan kerja karyawan. Apabila karyawan puas terhadap apa yang
diperolehnya dari organisasi tempat mereka bekerja, mereka akan memberikan
lebih dari apa yang diharapkan oleh perusahaan dan mereka akan terus
meningkatkan kinerjanya. Sedangkan karyawan yang memilliki tingkat
kepuasan kerja yang rendah cenderung untuk bekerja seadanya sebab apa
yang mereka peroleh tidak sesuai dengan apa yang telah mereka
sumbangsihkan. Jika dilakukan penelitian terhadap unjuk rasa yang dilakukan
oleh karyawan-karyawan atau pegawaipegawai instansi pemerintah, sebagian
besar menyangkut hal ini.
Robbins (hal 198, 1998) mendefinisikan kepuasan kerja (job
satisfaction) sebagai perilaku umum dari seorang karyawan terhadap suatu
pekerjaan sebagai hasil dari perbedaan antara nilai reward yang diperoleh
dengan nilai reward yang diharapkan. Perasaan positif akan membawa
keadaan pada keadaan semangat dalam menjalankan tugasnya sehingga
karyawan dapat mencapai kepuasan kerja menurut Davis dan Newstroom,
(1992).
Griffin dan Ebert dalam Poerwati (2002) menemukan bahwa karyawan
yang puas lebih berkomitmen dan setia karena secara psikis mereka akan
merasa lebih diperhatikan oleh instansi. Selanjutnya menurut Hodge dan
Anthoni dalam Poerwati et.al.(2002) komitmen merupakan suatu kondisi di
mana anggota organisasi memberikan kemampuan dan kesetiaannya pada
10. 10
organisasi dalam mencapai tujuannya sebagai imbalan atas kepuasan yang
diperolehnya
3. Methodology
Dalam tulisan ini pertama kami mendefinisikan langkah-langkah Pemprov
DKI Jakarta, dalam mencapai Visi dan melaksanakan Misi yang
mempengaruhi penilaian Good Government Governance Pemprov DKI
Jakarta.
3.1Data Collection.
Dalam penelitian ini digunakan data koleksi yang kami cari melalui browsing
dan berita yang nyata tentang Pemprov DKI Jakarta (bukan hoax). Kami
menggunakan data koleksi dari penelitian kami terhadap program-program
yang dikerjakan Pemprov DKI Jakarta.
3.2Data Analysis
Kami mengidentifikasi dan menganalisa hubungan bagaimana Good
Governance Pemprov DKI Jakarta melalui program-program tersebut
4. Result & Discussion
4.1Result
Hasil dari pengumpulan data didapatkan Good Governance Pemprov
DKI Jakarta bisa dilihat dari
1. Rata-rata angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) setiap provinsi di
Indonesia adalah sebesar 70,34 (skala 100), dimana IPM yang terendah
63,35 yaitu untuk provinsi Papua dan yang tertinggi 76,68 yaitu untuk
provinsi DKI Jakarta.
2. Produk domestik regional bruto (PDRB) yang tertinggi di Indonesia
adalah yang dialami oleh provinsi DKI Jakarta dengan nilai PDRB
sebesar Rp.1.103.738.000.000.000,- dan PDRB yang terendah dialami
oleh provinsi Maluku Utara dengan nilai sebesar Rp.6.918.000.000.000,-
. Ratarata nilai PDRB untuk seluruh provinsi di Indonesia adalah sebesar
Rp.203.985.848.000.000,-.
Good Governance Pemprov DKI Jakarta tercapai dari program-program
di Pemprov DKI Jakarta, antara lain yaitu :
a) E-budgeting dan E-Komponen
E-budgeting dan E-Komponen (Wanda Indana. 2015) adalah alat untuk
mengetahui program dan anggaran yang digunakan untuk
pembangunan. Gubernur dan Pimpinan Dewan bisa melihat secara
terbuka cara SKPD memasukan program APBD sehingga bisa
terkontrol. Cara kerja e-budgeting tak serumit seperti yang dibayangkan.
Seluruh proses input data menggunakan password khusus. Badan
Perencanaan dan Pembangunan Derah (Bappeda) membuat rencana
kegiatan dan diinput ke dalam sistem e-budgeting. Setelah itu, SKPD
memasukkan komponen barang penunjang kegiatan atau program yang
sudah disusun Bappeda dengan menyertakan kode nomor rekening.
Tahap selanjutnya, BPKD melakukan penginputan harga satuan dari
komponen-komponen barang yang telah disusun SKPD. Proses input
11. 11
harga satuan seperti membeli barang di situs belanja online. Harga
satuan diperoleh dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah (LKPP). SKPD dapat memberikan usulan terkait harga
satuan dan nomenklatur program-program Pemprov yang dibutuhkan.
Tak hanya itu, masyarakat juga bisa ikut memantau dengan
mengunjungi laman managedki.net untuk melihat susunan anggaran.
Jika penyusunan anggaran selesai, sistem akan mengunci anggaran
dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Bila ada SKPD yang nakal dengan
memasukkan barang-barang tertentu, maka pengajuan barang secara
otomatis ditolak sistem. Sistem terkunci setelah disetujui gubernur.
Akumulasi penolakan-penolakan itu dapat diketahui jumlahnya
b) Jakarta Smart City
Pemprov DKI membentuk Unit Pengelola Jakarta Smart City
(Jsc-cy. 2015) yang bertujuan untuk mewujudkan Jakarta Baru yang
informatif dan transparan serta mendukung kolaborasi melalui
pemanfaatan teknologi untuk pelayanan masyarakat yang lebih baik.
Warga dapat mengakses portal smartcity.jakarta.go.id baik di desktop
maupun di handphone. Portal tersebut terintegrasi dengan aplikasi
sosial media pengaduan warga Jakarta, seperti e-mail
dki@jakarta.go.id, Twitter @dkijakarta, Facebook Pemprov DKI Jakarta,
balai warga di website www.jakarta.go.id, petajakarta.org, Lapor! 1708,
dan Google Waze. Laporan warga melalui aplikasi QLUE juga
terintegrasi ke portal smartcity.jakarta.go.id. QLUE merupakan media
sosial yang memiliki sarana penyampaian aspirasi pengaduan secara
real time. Semua laporan melalui aplikasi QLUE langsung terkoneksi ke
aplikasi Cepat Respons Opini Publik (CROP) yang dimiliki aparat
Pemprov DKI Jakarta.
Selain itu, berbagai data juga dapat diakses di portal
smartcity.jakarta.go.id dengan berbasis pemetaan seperti tracking
busway, peta ekoregion, data kependudukan, data penyakit,
perencanaan kota, lokasi rumah sakit, puskesmas, sekolah, pos polisi,
pusat perbelanjaan, gedung pemda, dan sebagainya. Warga Jakarta
juga dapat melihat keadaan Jakarta melalui CCTV yang terintegrasi
dengan pintu air, jalan raya, dan lainnya.
Jakarta Smart City ini telah banyak berkolaborasi dengan
berbagai startup dalam membuat aplikasi yang memudahkan
masyarakat diantaranya qlue untuk pengaduan masyarakat, qraved
(aplikasi kuliner PKL), ijakarta sebagai perpustakaan digital, ragunan
zoo, dan ruangguru.com. Jakarta Smart City Portal dan berbagai aplikasi
tersebut dapat di download melalui Play Store Android dan Apps Store
IOS. Warga Jakarta juga dapat mengunjungi ruang operasional Jakarta
Smart City yaitu JSCLounge yang telah diresmikan sejak 28 Desember
2015
c) Computer Assisted Test (CAT).
Guna meminimalisir kecurangan dalam penerimaan CPNS DKI
Jakarta, Pemprov sejak tahun 2013 melakukan sistem seleksi
menggunakan Computer Assisted Test (CAT).
12. 12
d) Lelang Jabatan
Untuk diketahui, ini adalah tes seleksi lelang jabatan secara
terbuka yang pertama kali dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta pada
tahun 2013. Dalam tes kompetensi assesment center, Pemprov DKI
Jakarta bekerjasama dengan Mabes Polri. Selain itu, Pemprov DKI juga
bekerjasama dengan pihak akademisi, tujuan lelang jabatan untuk
menjaring potensi-potensi pemimpin eselon 2, 3, 4 yang memiliki
kompetensi yang unggul.
e) Corporate Sosial Responsibility
Pemprov DKI Jakarta memperbanyak keterlibatan swasta melalui
Corporate Social Responsibility (CSR) dalam pembangunan DKI
Jakarta, sampai saat ini beberapa pembangunan yang melibatkan dana
CSR adalah Lenggang Jakarta, lokasi binaan untuk Pedagang Kaki
Lima (PKL) dalam kawasan Monas. Selain itu ada juga Pengadaan Truk
Sampah, Pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA),
pengadaan bus tingkat city tour, penanganan waduk pluit dan ria rio,
pembangunan normalisasi sungai, simpang susun semanggi dan lain
lain. Kerjasama dengan pihak swasta akan memperlihatkan standar
harga dalam pengadaan barang maupun jasa. Kerjasama dengan
swasta membuat Promprov DKI Jakarta tahu harga satuannya berapa,
dengan harapan semua CSR yang sudah rutin ini bisa dimasukan dalam
LKPP, sehingga pemerintah tidak perlu lelang lagi.
f) Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS)
Kartu Jakarta Sehat (KJS) (Yustinus Suhardi Ruman. 2015)
merupakan sebuah program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang
diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Unit Pelayanan
(UP) Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta kepada
masyarakat dalam bentuk bantuan pengobatan. Kartu Jakarta Sehat
(KJS) memberikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi penduduk
Provinsi DKI Jakarta terutama bagi keluarga miskin dan kurang mampu
dengan sistem rujukan berjenjang. Sasaran dari program Kartu Jakarta
Sehat (KJS) ini adalah semua penduduk DKI Jakarta yang mempunyai
KTP/Kartu Keluarga DKI Jakarta yang belum memiliki jaminan
kesehatan, di luar program ASKES, atau asuransi kesehatan lainnya.
Ada beberapa manfaat yang dapat dinikmati oleh penduduk DKI Jakarta
terutama yang miskin dengan Kartu Jakarta Sehat, seperti: (1) rawat
jalan di seluruh puskesmas kecamatan/kelurahan di provinsi DKI
Jakarta, (2) Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) di Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPK) tingkat II (RSUD, RS vertical, dan RS Swasta yang
bekerja sama dengan unit pelayanan Jamkesda) wajib dengan rujukan
dari puskesmas, (3) Rawat Inap (RI) di puskesmas dan rumah sakit yang
bekerja sama dengan unit pelayanan Jamkesda.
Kartu Jakarta Pintar (KJP) merupakan sebuah program
pemberian bantuan pendidikan. Bantuan ini diberikan kepada anak
sekolah mulai dari SD/MI dan SMP/MTS sampai dengan SMA/SMK.
Kartu Jakarta Pintar (KJP) akan diperuntukkan bagi 332 ribu siswa di
DKI Jakarta. Pemberian Kartu Jakarta Pintar tidak hanya ditujukan bagi
13. 13
siswa di sekolah negeri, siswa sekolah swasta juga mendapatkan kartu
tersebut. Untuk mempermudah pemberian bantuan personal,
masingmasing siswa diberikan kartu ATM Bank DKI yang dibedakan
berdasarkan warna yaitu, platinum untuk sekolah negeri dan silver untuk
sekolah swasta, Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta
Pintar (KJP) ditujukan untuk orangorang miskin di wilayah DKI Jakarta.
Orang-orang miskin tersebut pada umumnya tinggal di bantaran kali, di
sekitar rel kereta api, atau di pemukiman penduduk lainnya yang
tersebar di seluruh di wialayah DKI Jakarta. Kemiskinan pada dasarnya
memiliki dimensi yang luas. Kemiskinan berkaitan dengan rendahnya
tingkat pendidikan, rendahnya akses pada pelayanan kesehatan,
perumahan yang tidak layak tinggal, konsumsi air minum yang buruk,
akses pada lapangan pekerjaan formal yang rendah, dan sebagainya.
Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) tentu
saja memungkinkan orang-orang miskin yang tinggal di Wilayah DKI
Jakarta untuk dapat menikmati pelayanan kesehatan yang layak dan
akses pada lembaga pendidikan yang mencukupi. Pendidikan dan
pelayanan kesehatan yang layak, dengan demikian, tidak hanya
menjadi hak istimewa kelas menengah ke atas. Semua warga
masyarakat dari kelompok kelas sosial mana pun dapat menikmati
pelayanan pendidikan dan kesehatan yang layak.
g) Pasukan Orange, Hijau, Kuning, Biru, Ungu, Pink, Palang hitam dan
Putih (Kurnia Sari Aziza, 2016)
Pasukan orange paling dikenal di DKI, PPSU (Penanganan
Pemasangan dan Sarana Umum). Pekerja Harian Lepas (PHL) ini
bertanggung jawab atas segala prasarana dan sarana umum. Mereka
bekerja membersihkan sampah hingga sungai, basisnya kelurahan.
Pasukan hijau bertugas menjaga dan merawat taman serta
makam di Jakarta. Mereka berada dalam pengelolaan Dinas
Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Mereka mendapat gaji
setara UMR dan perlindungan BPJS.
Pasukan kuning adalah Satuan Tugas (Satgas) yang berada di
bawah Dinas Bina Marga Pemprov DKI Jakarta. Mereka
bertanggungjawab atas penanganan sarana jalan di Jakarta.
Pasukan biru berada di bawah Dinas Tata Air DKI Jakarta. Tugas
mereka mengontrol sumbatan-sumbatan pada saluran air kota di
Jakarta. Tugas mereka sangat penting dalam mencegah banjir, salah
satunya temuan kabel di gorong-gorong.
Pasukan ungu berada di bawah Dinas Sosial Pemprov DKI.
Tugas mereka menangani warga terlantar, gelandangan hingga lansia
Pasukan pink berbeda dengan 5 pasukan di atas, karena adalah
Tim Pengerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK). Namun
Ahok menyebut sebagai salah satu pasukannya di DKI. Programnya
pemberdayaan komunitas wanita, RPTRA dan lainnya.
Pasukan palang hitam berada di bawah naungan Dinas
Pertamanan dan Pemakaman, Nama palang hitam diambil dari pita
hitam yang biasa disematkan kepada jenazah. Kalau palang merah
14. 14
tugasnya mengurus orang sakit, maka palang hitam adalah yang
mengurus jenazah. Dibagi dalam jadwal tugas dan piket, tugas mereka
bergantian untuk selalu siap menjemput jenazah.
Pasukan putih Sebelum dijuluki pasukan putih, mereka dikenal
dengan nama petugas AJIB (Antar Jemput Izin Bermotor) yang berada
di bawah naungan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu DKI Jakarta.Pasukan ini dibentuk pada Januari 2016. Tugas
mereka adalah membantu masyarakat Jakarta dalam mengurus
perizinan.
4.2Discussion
Sistem e-budgeting yang diterapkan pada APBD DKI 2015 diklaim dapat
meminimalisir peluang korupsi dan dapat mendeteksi dana ‘siluman’. pada
Tahun 2015 angka Rp 12,1 triliun yang disebut Ahok sebagai dana siluman
merupakan akumulasi penolakan-penolakan input data yang dilakukan
SKPD yang dikabarkan atas suruhan oknum anggota DPRD. dengan
system E-Budgeting, E-Komponen, Jakarta Smart City yang mempersempit
penyalahgunaan anggaran, dengan Tata Kelola pemerintahan yang baik
dengan teladan anti korupsi, blusukan, mengedepankan kesejahteraan
rakyat dan mempelopori rekrutmen CPNS dengan system Computer Assist
Test (CAT) dan lelang jabatan sehingga mempersempit jual beli masuk
cpns dan jabatan, Corporate Sosial Responsibility juga di dorong kuat
sehingga banyak perusahaan membiayai pembangunan Ruang Publik
Terbuka Hijau (RPTRA), dan pembangunan normalisasi sungai, Good
Governance dalam pembangunan sumber daya manusia meningkat
dengan adanya Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS),
pembangunan rusunawa untuk relokasi warga miskin, membuka banyak
lapangan kerja dengan adanya pasukan orange (PPSU), Hijau, Kuning,
Biru, Ungu, Pink, Palang hitam dan Putih, hal ini dibuktikan juga dari hasil
riset Badan Pusat Statistik IPM tertinggi berada di provinsi DKI
Jakarta sebesar 78,99
5. Conclusion & Recommendation
Conclusion
Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam
mensikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu
tuntutan reformasi. Indonesia memasuki Era Otonomi Daerah dengan
diterapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kamudian menjadi
UU No.32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004 ) tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam UU
No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat
yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga
dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung
15. 15
jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup,
dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun
yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi
yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan
tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
sebagai bagian utama dari tujuan nasional.
Recommendation
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan
kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat:
1) menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya
daerah,
2) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat.
3) membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut
berpartisifasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002).
Dalam otonomi daerah, pimpinan daerah memegang peran sangat srategis
dalam mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan
strategis sangat vital, karena disanalah akan terlihat dengan jelas peran
kepala daerah dalam mengoordinasikan semua unit kerjanya. Betapapun
besarnya potensi suatu daerah, tidak akan optimal pemanfaatannya bila
bupati/walikota tidak mengetahui bagaimana mengelolanya. Sebaliknya,
meskipun potensi suatu daerah kurang, tetapi dengan strategis yang tepat
untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan
daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia yang ada. Seagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU
Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi
bagi pimpinan daerah agar pengelolaan dan terutama alokasi dari
keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai
tujuan-tujuan pembangunan daerah. Otonomi daerah harus diikuti dengan
serangkaian reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik
tersebut tidak sekadar perubahan format lembaga, akan tetapi menyangkut
pembaruan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya
lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif
transparan, dan akuntabel sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu
menciptakan good governance benar-benar tercapai. Saran saya ke depan
untuk Pemprov DKI Jakarta:
1. Memperkuat Revolusi Mental di semua SKPD
2. Tidak kompromi dengan oknum DPRD yang ingin mementingkan diri
sendiri
3. Terus menjalankan amanat UUD 1945 dan Pancasila, NKRI Harga Mati
16. 16
Daftar Pustaka
1. Anonim, 2017,
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_provinsi_Indonesia_menurut_IPM,
diakses pada 09 Oktober 2017 pukul 15.11 WIB
2. Wanda Indana. 2015,
http://news.metrotvnews.com/read/2015/03/11/369812/mengenal-
sistem-e-budgeting-dki-jakarta, diakses pada 10 Oktober 2017 pukul
16.09 WIB
3. Jsc-cy. 2015. http://smartcity.jakarta.go.id/blog/33/berbagai-informasi-
jakarta-kini-ada-di-jakarta-smart-city, diakses pada 10 Oktober 2017
pukul 16.09 WIB
4. Yustinus Suhardi Ruman. 2015, Inklusi Sosial Dalam Program Kartu
Jakarta Sehat (Kjs) dan Kartu Jakarta Pintar (Kjp) Di DKI Jakarta,
Character Building Development Center, Jakarta, BINUS University.
5. Kurnia Sari Aziza, 2016,
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/17/09221211/warna-
warni.pasukan.penjaga.ibu.kota.?page=all, diakses pada 10 Oktober
2017 pukul 16.09 WIB
6. Dwi Susanto, Dian Anggraeni Yusuf, Yunaita Rachmawati, 2015, Jurnal
Paradigma vol.12, Pengaruh Good Governance terhadap kualitas
layanan public, https://media.neliti.com/media/publications/116060-ID-
pengaruh-good-governance-terhadap-kualit.pdf, diakses pada 14
November 2017 pukul 16.09 WIB
7. Anies Sandi 2017,
https://aniessandiaga.wordpress.com/majubersama/visi-dan-misi/,
diakses pada 14 November 2017 pukul 16.09 WIB