2. A. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme adalah perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa masing-masin
individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami (bruning
etal. 2004). Pengaruh besar yang mendorong kemuculan konstruktivise adalah teori dan penelitian dalam
ilmu perkembangan manusia, terutama teori-teori Piaget dan Vygotsky. Mereka merupakan peletak fondasi
bagi gerakan para konstruktivis.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, konstruktivise makin banyak diaplikasikan dalam pembelajaran
dan pengajaran. Sejarah dari teori pembelajaran memperlihatkan peralihan dari faktor-faktor manusia
sebagai penjelasan-penjelasan bagi pemelajaran. Pergeseran ini dimlai dengan bangkitnya psikologi
kognitif yang menentang pernyataan behaviorisme bahwa stimulus-stimulus, respons-respons, dan akibat-
akibat sudah memadai untuk menjelaskan tentang pembelajaran. Teori-teori kognitif memberikan banyak
penekanan pada pengolahan informasi siswa sebagai penyebab utama dari pembelajaran. Meskipun teori-
teori pembelajaran kognitif tampak elegan, sebagian peneliti merasa bahwa teori-teori tersebut tidak dapat
menangkap kompleksitas dari pembelajaran manusia. Poin ini digaris bawahi oleh fakta bahwa sebagian
perspektif menggunakan terminology behavioral seperti “otomatisasi” kinerja dan “pembentukan koneksi-
koneksi” antar item dalam memori.
Teori belajar konstruktivistik bermula dari gagasan Piaget dan Vigotsky, Piaget dan Vigotsky
berpendapat bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami
sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi
baru. Keduanya menekankan adanya hakekat sosial dari belajar. Pembelajaran kooperatif, berbasis kegiatan
dan penemuan merupakan pilihan yang sesuai untuk pembelajaran. Hakekat dari teori konstruktivistik
adalah bahwa siswa harus secara individu menemukan dan menerapkan informasi-informasi kompleks ke
dalam situasi lain apabila mereka harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Siswa berperan aktif
dalam pembelajaran, sedangkan guru adalah membantu membuat kondisi yang memungkinkan siswa untuk
secara mandiri menemukan fakta, konsep atau prinsip.
Konstruktivisme mengubah siswa dari penerima pasif informasi untuk peserta aktif dalam proses
pembelajaran. Selalu dibimbing oleh guru, siswa membangun pengetahuan mereka secara aktif daripada
hanya mekanis menelan dan menyerap pengetahuan dari guru atau buku teks.
Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses
mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain
seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil
dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
3. mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih
dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema).
Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang
sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa
kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur
kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa
anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan
melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema, sedangkan
akomodasi adalah proses mengubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skema baru. Semua itu
(asimilasi dan akomodasi) terbentuk berkat pengalaman siswa. Contoh lain yaitu seorang anak yang merasa
sakit karena terpercik api. Berdasarkan pengalamannya terbentuk skema kognitif pada diri anak tentang
”api”, bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari. Dengan demikian
ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin dewasa, pengalaman anak tentang api
bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya memasak dengan menggunakan api, atau ketika ayahnya
merokok; maka skema kognitif tersebut akan disempurnakan, bahwa api tidak harus dihindari akan tetapi
dimanfaatkan. Ketika anak melihat banyak pabrik atau industri memerlukan api, kendaraan memerlukan
api, maka skema kognitif anak semakin berkembang/sempurna menjadi api sangat dibutuhkan untuk
kehidupan manusia.
Menurut Wina Sanjaya (2008: 264) bahwa “konstruktivistik adalah proses membangun atau
menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Guru
bukanlah pemberi informasi, dan jawaban atas semua masalah yang terjadi di kelas”.
Selanjutnya Aunurrahman (2009: 28) bahwa: “konstruktivistik memberikan arah yang jelas
bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep,
kesimpulan, bukan sekedar merupakan kegiatan mekanistik untuk mengumpulkan informasi atau
fakta saja”.
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang
mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena
setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan
merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu
keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang
belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus
(Suparno, 1997).
4. Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran
kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Trianto, 2010:
113).
Adapun ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivistik yaitu:
1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya.
2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman.
4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negoisasi) makna melalui berbagai
informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama
dengan orang lain.
5. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus
terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah. (Yulaelawati,
2004: 54)
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan
terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan
hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
B. PELETAK DASAR PAHAM KONSTRUKTIVISME
Ahli psikologi Eropa Jean Piaget dan Lev Vygotsky merupakan tokoh dalam pengembangan konsep
konstruktivisme. Mereka merupakan peletak dasar paham konstruktivisme dengan kajiannya bertahun-
tahun dalam bidang psikologi dan perkembangan intelektual anak.
Jean Piaget (1886-1980) adalah seorang ahli psikologi Swiss, yang mendalami bagaimana anak
berpikir dan berproses yang berkaitan dengan perkembangan intelektual. Piaget menjelaskan bahwa anak
memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus dan berusaha memahami dunia sekitarnya.
Lebih lanjut Piaget mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses
perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis tetapi secara
terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman-pengalaman baru yang
memaksa mereka membangun dan memodivikasi pengetahuan awal mereka.
5. Lev Vygotsky (1896-1834) adalah ahli psikologi Rusia. Menurutnya perkembangan intelektual anak
terjadi pada saat berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang. Mereka berusaha untuk
memecahkan masalah yang muncul dari pengalaman ini. Dalam upaya mendapatkan pengalaman baru,
Individu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya dan membangun
pengertian baru.
C. SISTEM PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
- Pembangunan Konsep
Siswa bukan papan tulis kosong yang di atasnya terukir pengetahuan. Mereka datang ke situasi
pembelajaran dengan pengetahuan, ide, dan pemahaman yang sudah dimiliki. Pengetahuan sebelumnya
adalah bahan baku untuk menciptakan pengetahuan baru mereka. Di dalam kelas konstruktiv ini, guru
berperan dalam menghubungkan konsep-konsep yang telah ada pada struktur kognitif siswa.
- Aktif
Siswa adalah orang yang menciptakan pemahaman baru baginya / dirinya sendiri. Pelatih guru,
moderat, menyarankan, namun memungkinkan ruang siswa untuk bereksperimen, bertanya, mencoba hal-
hal yang tidak bekerja. Kegiatan belajar memerlukan partisipasi penuh siswa (seperti tangan-pada
percobaan). Sebuah bagian penting dari proses belajar adalah siswa merenungkan, dan berbicara tentang,
kegiatan mereka. Siswa juga membantu menetapkan tujuan mereka sendiri dan cara penilaian.
Contoh: seorang guru bahasa menyisihkan waktu setiap minggu untuk sebuah latihan
menulis.Penekanannya adalah pada konten dan mendapatkan ide-ide turun daripada menghafal aturan tata
bahasa, meskipun salah satu keprihatinan guru adalah kemampuan siswa untuk mengekspresikan diri
dengan baik melalui bahasa tertulis. Guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk memeriksa draft
selesai dan sebelumnya berbagai penulis. Ia memungkinkan siswa untuk memilih dan membuat proyek
dalam persyaratan umum membangun portofolio Siswa melayani sebagai editor rekan yang menghargai
orisinalitas dan keunikan bukan cara terbaik untuk memenuhi tugas.
- Refleksi
Siswa melakukan kontrol proses pembelajaran mereka sendiri, dan mereka memimpin jalan dengan
merefleksikan pengalaman mereka. Proses ini membuat mereka ahli dari pembelajaran mereka sendiri.
Guru membantu menciptakan situasi di mana siswa merasa aman mempertanyakan dan merenungkan
proses mereka sendiri, baik secara pribadi atau dalam diskusi kelompok. Guru juga harus membuat kegiatan
yang mengarah siswa untuk merefleksikan pengetahuan sebelumnya nya dan pengalaman. Berbicara
tentang apa yang telah dipelajari dan bagaimana ia pelajari adalah sangat penting.
- Kolaborasi
Ruang kelas konstruktivis sangat bergantung pada kolaborasi antara siswa. Ada banyak alasan
mengapa kolaborasi memberikan kontribusi untuk belajar. Alasan utama digunakan begitu banyak
6. konstruktivisme adalah bahwa siswa belajar tentang belajar tidak hanya dari diri mereka sendiri, tetapi juga
dari rekan-rekan mereka. Ketika siswa meninjau dan merefleksikan proses belajar mereka bersama-sama,
mereka dapat mengambil strategi dan metode dari satu sama lain.
- Inquiry-based
Kegiatan utama dalam kelas konstruktivis adalah memecahkan masalah. Siswa menggunakan
metode penyelidikan untuk mengajukan pertanyaan, menyelidiki topik, dan menggunakan berbagai sumber
daya untuk menemukan solusi dan jawaban. Siswa mengeksplorasi topik, mereka menarik kesimpulan, dan,
seperti eksplorasi terus berlanjut, mereka kembali ke kesimpulan tersebut. Eksplorasi pertanyaan mengarah
ke pertanyaan lain, guru mendorong abstrak serta praktis untuk perkembangan kreasi pengetahuan baru.
- Evolving
Siswa memiliki ide yang mereka kemudian dapat melihat yang tidak valid, salah, atau tidak cukup
untuk menjelaskan pengalaman baru. Ide-ide adalah langkah-langkah sementara dalam integrasi
pengetahuan. Misalnya, seorang anak mungkin percaya bahwa semua pohon kehilangan daun-daunnya di
musim gugur, sampai ia mengunjungi sebuah hutan cemara. Mengajar konstruktivis memperhitungkan
konsepsi siswa saat ini dan membangun konsep-konsep yang lain dari sana.
D. KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN
Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya.
Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep
dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa
membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan
itu. Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang
ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan
awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi
pengetahuan yang baru (Budiningsih, 2005: 59).
Kegiatan belajar dalam kelas konstruktivis adalah seorang guru tidak mengajarkan kepada anak
bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan meng’encourage’
(mendorong) siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika
siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak
benar. Namun guru mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar
menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Pendekatan konstruktivistik dalam pengajaran, merupakan penerapan pembelajaran kooperatif
secara luas, berdasarkan teori bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang
sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja
7. dalam kelompok, untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Sekali lagi,
penekanan pada hakikat sosial dalam belajar dan penggunaan kelompok sejawat untuk memodelkan cara
berpikir dan sesuai dan saling mengemukakan dan meluruskan kekeliruan pengertian atau miskonsepsi-
miskonsepsi diantara mereka sendiri. Dalam hal ini siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya
mereka; metode ini tidak hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa tetapi juga membuat
proses berpikir siswa lain lebih terbuka untuk seluruh siswa.
Istilah kooperatif memberikan gambaran bahwa adanya hubungan yang terjadi antara dua orang
atau lebih. Hubungan ini dapat berupa kerjasama dan saling membutuhkan dalam menghadapi dan
memecahkan masalah yang mungkin timbul, sehingga mereka yang terlibat didalamnya mempunyai
keberanian dalam memecahkan suatu permasalahan bahkan akan lebih muda dipecahkan.
Pembelajaran konstruktivistik meliputi empat tahapan yaitu:
1. Apersepsi.
Pada tahap ini dilakukan kegiatan menghubungkan konsepsi awal, mengungkapkan pertanyaan-
pertanyaan dari materi sebelumnya yang merupakan konsep prasyarat. Misalnya: mengapa baling-baling
dapat berputar?
2. Eksplorasi.
Pada tahap ini siswa mengungkapkan dugaan sementara terhadap konsep yang mau dipelajari.
Kemudian siswa menggali menyelidiki dan menemukan sendiri konsep sebagai jawaban dari dugaan
sementara yang dikemukakan pada tahap sebelumnya, melalui manipulasi benda langsung.
3. Diskusi dan Penjelasan Konsep.
Pada tahap ini siswa mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan temuannya, pada tahap ini pula
guru menjadi fasilitator dalam menampung dan membantu siswa membuat kesepakatan kelas, yaitu setuju
atau tidak dengan pendapat kelompok lain serta memotivasi siswa mengungkapkan alasan dari kesepakatan
tersebut melalui kegiatan tanya jawab.
4. Pengembangan dan Aplikasi.
Pada tahap ini guru memberikan penekanan terhadap konsep-konsep esensial, kemudian siswa
membuat kesimpulan melalui bimbingan guru dan menerapkan pemahaman konseptual yang telah
diperoleh melalui pembelajaran saat itu melalui pengerjaan tugas.
8. E. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI KONSTRUKTIVISME
Pada dasarnya tidak terdapat pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar yang
paling baik untuk semua materi pelajaran, yang ada adalah sesuai atau tidak dengan materi
pelajaran pada waktu dan kondisi pelaksanaannya. Oleh karena itu guru diharapkan menguasai
berbagai macam pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar sebab setiap pendekatan,
strategi, metode, gaya atau pola mengajar memiliki kelebihan dan kekurangan.
1. Kelebihan
Adapun kelebihan dari pembelajaran berdasarkan konstruktivistik adalah sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit
dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan
mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
b. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau
rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas
pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai
fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan
tentang fenomena yang menantang siswa.
c. Memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong
siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori,
mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
d. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong
untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang
telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan
berbagai strategi belajar.
e. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan
mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
f. Memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan,
saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
2. Kekurangan
Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun
demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme di
kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut:
9. a. Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah terbiasa mengajar dengan
menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak
mudah.
b. Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis
konstruktivisme. Guru konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan
pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai.
c. Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran
akan menggunakan waktu yang cukup besar.Guru khawatir target pencapaian kurikulum (TPK)
tidak tercapai.
d. Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal yang terpenting dari suatu
pembelajaran adalah proses belajarnya bukan hasil akhirnya.
e. Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan mata pelajaran yang
diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa merupakan yang cukup serius.
f. Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika ada transfer pengetahuan
dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan
pengkonstruksi informasi” merupakan kendala itu sendiri.
g. Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat
orang tua selalu dianggap paling benar, ank dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi
ini juga terbawa ke sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan guru.
Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan gurunya.
Kesimpulan
Konstruktivistik merupakan salah satu landasan berpikir pendekatan pengajaran dan pembelajaran
kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL), yaitu pengetahuan yang dibangun oleh siswa
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Konstruktivistik
menekankan pada prinsip belajar yang berpusat pada siswa (student center).
Prinsip yang paling penting diterapkan dalam pembelajaran konstruktivistik adalah guru tidak
boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan
di dalam benaknya sendiri. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
pengetahuan siswa berjalan lancar.
Terdapat lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1)
memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa, (2) pengalaman belajar yang bermakna, (3)
adanya lingkungan sosial yang kondusif, (4) adanya dorongan agar siswa bisa mandiri, dan (5) adanya
usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
10. DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfa Beta.
Budiningsih, C. A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dale H. Schunk. 2012. Learning Theories: Pustaka Pelajar.
K
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Prenada Media Group.
Trianto, M.Pd. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan
Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Yulaelawati, E. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Pakar
Raya.