Teks tersebut membahas pentingnya integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi (IPTEK). Ia menjelaskan bahwa IPTEK seharusnya dibimbing oleh nilai-nilai agama agar manfaatnya dapat dirasakan manusia dan tidak merugikan. Teks tersebut juga membandingkan tiga paradigma yang berbeda mengenai hubungan antara agama dan IPTEK.
1. 1
INTEGRALISASI PERAN AGAMA DAN IPTEK
A. Pendahuluan
Dewasa ini, manusia selalu mendewa-dewakan IPTEK yang dianggap
datangnya dari Barat dengan muatan bebas nilai sebagai indikator peradaban
bangsa dan kemajuan zaman. Lebih parah dari itu, manusia terkungkung dalam
perbudakan aneka virus-virus globalisasi seperti materialisme, hedonisme,
pragmatisme, dan kawan-kawannya. Virus-virus tersebut kian menjadi-jadi
mengakibatkan manusia bersikap apatis terhadap aspek non-materi. Ini
dibuktikan melalui Alquran yang hakikatnya sebagai hudan linnas telah
dianggap usang. Alquran dalam posisinya shalihun li kulli zaman wa makan
menjadikan Alquran relevan dalam semua zaman dan bidang kehidupan
manusia termasuk memuat mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketika muncul pertanyaan, mengapa manusia harus menguasai IPTEK?
Maka setidaknya terdapat tiga alasan pokok berikut sebagai jawabannya, yakni:
1. Ilmu pengetahuan yang berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh
negara-negara Barat. Fakta ini tidak bisa dipungkiri.
2. Negara-negara Barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK
di negara-negara berkembang termasuk Negara Indonesia yang kaya akan
SDA. Ini juga fakta yang tak dapat dipungkiri.
3. Adanya upaya-upaya untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan
kemajuan IPTEK-nya, misalnya umat Islam disodori persoalan-persoalan
klasik agar umat Islam sibuk sendiri, ramai sendiri, dan akhirnya bertengkar
sendiri.1
Fenomena peradaban manusia yang terjadi sekarang ini manakala
manusia hanya mengedepankan materi dengan mendewakan IPTEK yang
bebas nilai mengakibatkan manusia tidak bahagia, melahirkan IPTEK yang
bernilai rendah, mengaplikasikan IPTEK secara tidak bermoral, mengantarkan
1
Mulyanto, “Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan", Prosiding Seminar Islamisasi Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, ISTECS, Jakarta 1996.
2. 2
manusia kepada kerusakan-kerusakan, penyelewengan norma, munculnya
eksploitasi lahan, eksploitasi manusia, praktik-praktik dagang yang
mengancam kemanusiaan, dan lainnya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perkembangannya justru
merugikan manusia karena IPTEK yang ada tidak mengintegralisasikan aspek
agama di dalamnya. Padahal IPTEK itu perlu dibimbing dan diintegralisasikan
dengan agama.
Khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya sudah termaktub
dalam Alquran, namun manusia selalu berkiblat ke Barat mengenai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Padahal, Islam sangat memprioritaskan terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dibuktikan melalui wahyu pertama
kali yang diturunkan Allah SWT adalah perintah untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Firman Allah Surat sebagai berikut :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).2
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka saya mengambil judul
Integralisasi Peran Agama dan IPTEK.
B. Relasi Agama dengan IPTEK
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian disingkat IPTEK,
merupakan dua hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
manusia. ‘Ilm secara lughawi berarti kejelasan dalam arti proses pencapaian
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Alquran, 2006), hlm. 597.
3. 3
pengetahuan dan objek pengetahuan. Sedangkan menurut terminologi, ilmu
pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh
melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method)3
. Adapun kata
ilmu dalam Alquran terulang 854 kali dengan berbagai bentuknya. Alquran
memandang ilmu ialah keistimewaan yang menjadikan manusia paling unggul
dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Adapun teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan
penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari4
sebagai
keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi
kelangsungan dan kenyamanan manusia.5
Di dalam Alquran, teknologi
dimanifestasikan dalam ayat-ayat kauniyah yakni ayat tentang alam raya
beserta fenomenanya dengan pengulangan sekitar 750 kali. Berdasarkan
petunjuk Alquran, manusia mampu untuk menerima dan menemukan hasil-
hasil teknologi yang tidak menimbulkan kemaksiatan dan bermanfaat bagi
manusia, baik mengenai unsur eksternal manusia yakni terbuat dari debu tanah
maupun unsur internal yaitu ruh Ilahi manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diperoleh melalui usaha manusia
yang bersungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan,
pendengaran, dan hati yang diciptakan Allah SWT terhadap hukum-hukum
alam dan sosial (sunnatullah) yang telah ada. Sehingga kemudian manusia
banyak melakukan penemuan-penemuan melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Namun, penemuan-penemuan ilmu pengetahuan (sains) mutakhir hanya
mengarahkan pandangan kepada alam materi dan menyebabkan manusia
membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan mereka tidak mengakui
3
Jujun S Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hlm. 123.
4
Jujun S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1986), hlm. 43.
5
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008),
hlm. 1422.
4. 4
adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam materi.6
Oleh karena itu,
obyek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapannya
yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan
pengalihan antara budaya. Sedangkan obyek ilmu menurut ilmuan muslim
mencakup alam materi dan non materi.
Berbicara mengenai manfaat ilmu, maka kaum muslim dalam daya
pikirnya harus menghindari memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat karena
hanya akan menghabiskan energi. Bahkan, untuk menghindarinya, Rasulullah
SAW sering berdoa:
َنْوُرِصْبُت اَمِب ُمِسْقُأ ََلَف.َنْوُرِصْبُت ََل اَمَو.
“Wahai Tuhan, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
Ayat-ayat Alquran dalam menunjukkan adanya beragam tingkat dan
manfaat yang diperoleh ketika mengkaji ilmu melalui pengamatan terhadap
alam raya yakni dengan menggunakan redaksi yang berlainan walaupun objek
yang diuraikan sama. Hal ini dapat dilihat dari redaksi penutup ayat-ayat
yatafakkarun (yang berpikir), ya’lamun (yang mengetahui), yatazakkarun
(yang mengambil pelajaran), ya’qilun (yang memahami), yasma’un (yang
mendengarkan), yuqinun (yang meyakini), al-mu’minin (orang-orang yang
beriman), al-‘alimin (orang-orang yang mengetahui).7
Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari
hubungan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, terdapat 3 (tiga) jenis
paradigma yaitu:8
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama
dan IPTEK adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme
Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan
6
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), hlm. 574.
7
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 580.
8
Yahya Fargal Hasan, Pokok Pikiran Tentang Hubungan Ilmu Dengan Agama : Dalam
Abdul Hamid Abu Sulaiman Permasalahan Metodologis dalam Pemikiran Islam, (Jakarta, Media
dakwah, 1990), hlm. 99-119.
5. 5
eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia
dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum atau publik.
Paradigma ini memandang agama dan IPTEK tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang
menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada
hubungan dan kaitan apa pun dengan IPTEK. Sebab, IPTEK bisa berjalan
secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip
dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma
sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan
keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal
manusia-tuhan. Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan IPTEK. Seluruh bangunan ilmu
pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme,
khususnya Materialisme Dialektis, yaitu paham yang memandang adanya
keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses
pertentangan-pertentangan yang ada pada materi dan sudah mengandung benih
perkembanganitu sendiri9
. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang
secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali
dari kehidupan. Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan IPTEK.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa
agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari
segala ilmu pengetahuan. Akidah Islam yang terwujud dalam Alquran dan
Hadis menjadi kaidah fikriyah (landasan pemikiran) sebagai suatu asas yang
dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia.
9
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Max (Materialisme Dialektis dan
Materialisme Historis, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 110.
6. 6
Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan
shaleh tapi sekaligus cerdas dalam IPTEK. Itulah hasil dan prestasi cemerlang
dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan IPTEK dunia
Islam antara tahun 700 M - 1400 M10
. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin
Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780)
sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli
astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran,
ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran
dan teknik, dan masih banyak lagi.11
IPTEK menurut sebagian tokoh agamawan tidak terlepas dari IMTAK
(Iman dan Takwa). Hal ini juga senada diungkapkan oleh para ilmuwan seperti
Isaac Newton, Gregory Mendel, William Thompson, dan lainnya, yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dengan agama bukanlah
sumber informasi yang bertentangan, melainkan ilmu pengetahuan dan
teknologi justru merupakan metode yang mengesahkan kebenaran mutlak yang
disediakan oleh agama juga mempertegas keberadaan Sang Mahakuasa.12
Einstein juga mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh
dan agama tanpa ilmu pengetahuan itu buta.13
Pernyataan Einstein tersebut
pada saat ini menjadi kata-kata mutiara yang masyhur dikalangkan masyarakat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi itu sejatinya tidak bisa memberikan
jawaban kebenaran tertinggi yang dibutuhkan manusia.14
Kekuatan rasio akal
manusia tidak di dalam realitas faktualnya tidak cukup untuk memberikan
10
M. Natsir Arsyad, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah: Dari Jabir Hingga Abdus Salam,
(Bandung, Penerbit Mizan, 1992), hlm. 76.
11
Eugena Myers, Zaman Kejayaan Islam Para Ilmuan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap
Dunia Barat (Arabic Thought and Western World in The Golden Age of Islam) terj. M.M el-Khoiry,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm 205.
12
Harun Yahya, Allah is Known through Reason, (Jakarta: Robbani Press, 2002), hlm. 61-
64.
13
Wisnu Arya Wardhana, Melacak Teori Einstein dalam Alquran, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 239.
14
A. Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains Teknologi dan Alam, (Yogyakarta: Titian
Ilahi, 1998), hlm. 84.
7. 7
rahasia tabir kejadian dan kehidupan di alam semesta. Alasan logisnya karena
manusia hanyalah bersifat terbatas. Sedangkan yang tak terbatas hanyalah sang
khalik. Dengan demikian manusia hanyalah totalitas ciptaan yang ada, yang
mana tingkat pengenalan kemampuan pengetahuannya sangat bergantung pada
kemurahan sang khalik. Oleh karena itu, agama memberikan wahyu sebagai
jawaban-jawaban tentang realitas tertinggi.
Agama merupakan aspek metafisik yang membutuhkan bukti-bukti
empiris. Ketika agama hanya secara i’tiqadi saja maka agama cepat atau
lambat dapat ditinggalkan secara alamiah oleh manusia. Sedangkan IPTEK
membutuhkan paradigma yang mengarahkan bagaimana arah IPTEK itu.
Ketika IPTEK tidak punya arah maka IPTEK akan digunakan untuk nilai-nilai
yang bertentangan dengan kemanusiaan. Oleh sebab itu, relasi antara agama
dengan IPTEK sangat erat kaitannya dan saling membutuhkan satu sama lain.
Adapun relasi antara agama dan IPTEK menurut Steve Bishop15
terdapat
enam jenis tipologi hubungan antara agama dan IPTEK yaitu sebagai berikut:
1. Science replace science
2. Religion replace science
3. Science shapes religion
4. Religion shapes science
5. Science and religion are independent
6. Science and religion in dialogue
Sedangkan Azyumardi Azra, mengemukakan tiga tipologi respon
cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama
dengan keilmuan umum, yaitu:16
15
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Intelektual M. Amin
Abdullah (1953), Person, Knowledge, and intutision, (Yogyakarta: Suka Press, 2013), Vol. 1, hlm.
805.
16
Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-Ilmu dalam Islam Zainal Abidin Bagir (ed) Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 206- 211.
8. 8
Pertama, Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat
dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang
berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu
Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari
nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maududi, pemimpin jamaat al-Islam
Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari Barat, geografi, fisika, kimia, biologi,
zoologi, geologi, dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa
rujukan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Kedua, Rekonstruksionis, yaitu interprestasi agama untuk memperbaiki
hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam
pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan
rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan
kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afgani
menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga, Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari
al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti
kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, terdapat sikap para ulama dan cendekiawan muslim
menyikapi ketertinggalan dari Barat yakni dengan mempertemukan antara
agama dan IPTEK yang kemudian muncul apa yang disebut dengan islamisasi
ilmu17
, ilmuisasi Islam18
, dan integrasi-interkoneksi19
.
C. Perspektif Alquran tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
17
Islamisasi ilmu dipelopori oleh Nuquib al-Attas, diikuti oleh Ismail Raji al-Faruqi dan
murid-muridnya.
18
Ilmuisasi Islam merupakan antitesis dari madzhab Islamisasi ilmu yang digagas oleh
Kuntowijoyo.
19
Integrasi-interkoneksi adalah sintesa dari islamisasi ilmu dan ilmuisasi Islam sebagai
sebuah konsep yang sistematis, metodologis, dan terprogram yang digagas oleh Amin Abdullah.
9. 9
Sebenarnya prinsip pandangan Alquran tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat diketahui melalui analisis wahyu pertama yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.20
Iqra’ berasal dari kata kerja قرأ yang berarti menghimpun. Ragam arti
dari kata tersebut yaitu menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri-ciri sesuatu, yang bermuara pada menghimpun.21
Di dalam
wahyu pertama ini tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Alquran
menghendaki umatnya membaca apa saja, termasuk alam, tanda-tanda zaman,
sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak, selama bacaan
tersebut bismi Rabbik, yaitu bermanfaat untuk kemanusiaan dan bernilai
Qurani atau Rabbani.22
Ilmu pengetahuan berkembang atas dasar kesimpulan-kesimpulan dari
kajian pikiran atau analisa himpunan-himpunan data observasional yang dapat
diterima akal dan tersusun sebagai kesatuan logis dengan pengujian yang
berulang-ulang oleh masyarakat ilmiah untuk kebenarannya.23
Oleh karena itu,
pengulangan perintah di dalam wahyu pertama ini, hendaknya membaca tidak
akan diperoleh kecuali dengan mengulang-ulang bacaan sampai pada batas
20
Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 597.
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 392-
393.
22
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 570
23
Achmad Baiquni, Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 84-85.
10. 10
maksimal kemampuan sehingga kemudian akan menghasilkan wawasan dan
pengetahuan yang valid, beretika, dan benar.
Selanjutnya, dari wahyu pertama Alquran diperoleh isyarat bahwa
terdapat dua cara untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu, yaitu Allah
mengajar manusia dengan pena (ilmu kasbi) dengan dasar usaha manusia dan
Allah mengajar tanpa pena (ilmu ladunni) yakni ilmu yang tidak diperoleh
melalui rasionalisasi biasa tetapi melalui wahyu, ilham, intuisi, dan firasat yang
diperoleh manusia dengan jiwa sucinya, atau apa yang diduga sebagai
kebetulan yang dialami oleh ilmuwan. Allah mengisyaratkan empat instrumen
(alat) dalam memperoleh dan mengembangkan ilmu yaitu dengan
menggunakan indra, akal, dan hati.
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna
memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Akan tetapi segala
pemikirannya itu tidak boleh lepas dari akidah Islam karena iqra’ haruslah
dengan bismi rabbik, yaitu yang bermuatan Qurani atau Rabbani dengan tetap
berdasarkan iman kepada Allah sebagai asas akidah Islam. Berdasarkan ayat
ini, Allah telah memerintahkan manusia untuk membangun segala
pemikirannya berdasarkan akidah Islam bukan lepas dari akidah itu. Sehingga
ilmu sekuler yang dielu-elukan Barat sekarang dengan muatan bebas nilai itu
harus diberikan sentuhan nilai yang Qurani atau Rabbani.
Dalam Alquran Surat Ali Imron ayat 190 – 191, Allah berfirman:
11. 11
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”
Dari ayat diatas menjelaskan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk dipelajari dan dimiliki yang tergambar dalam dua ciri pokok
manusia (ulil albab) yaitu tafakkur dan dzikir. Sehingga dari ayat ini dapat
dilihat bahwa melalui pengamatan, kajian, dan pengembangan sains serta
teknologi, Allah menghendaki manusia dapat lebih merasakan kehebatan dan
keagungan-Nya. Betapa hebatnya alam ciptaan Allah, maka sudah tentu Maha
hebat lagi, Allah yang menciptakannya. Tidak terbayangkan oleh akal fikiran
dan perasaan manusia Maha Hebatnya Allah. Kalaulah alam semesta yang
nampak secara lahiriah saja sudah begitu luas, menurut kajian dengan
menggunakan peralatan terkini yang canggih diameternya 20 milyar tahun
cahaya, terasa betapa besar dan agungnya Allah yang menciptakannya. Ini
alam lahiriah yang nampak dan dapat diukur secara lahiriah, belum lagi alam-
alam berbagai jenis yang tidak dapat dikaji dan diobservasi dengan peralatan
lahiriah buatan manusia walau secanggih apapun.
Maka melalui kajian sains dan pengembangan teknologi, sudah
sepatutnya rasa hamba para saintis dan teknolog meningkat. Diharapkan juga
saintis dan teknolog semakin tawadlu, semakin cinta, dan takut dengan Allah.
Misalnya, dengan menemukan benda-benda dan inovasi-inovasi baru, semakin
bertambah rasa kehambaan, rasa takut, dan rasa cinta kepada Allah SWT.
Selamjutnya, Alquran memandang bahwa seluruh isi langit dan bumi
akan ditundukkan al-Khaliq dengan sains dan teknologi yang diterapkan
kepada mereka yang mau melibatkan akalnya dan menggunakan pikirannya.
Allah berfirman :
12. 12
“Dan Dia telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi untukmu semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Jatsiyah : 13).24
Ayat tersebut, mengindikasikan bahwa Allah telah menundukan semua
bagian alam yang terjangkau dan berjalan atas dasar satu sistem yang pasti
mengenai pengetahuan fenomena alam yang ada di langit seperti bintang,
planet, dan lainnya serta apa yang ada di bumi seperti tanah yang subur, udara,
air, atau lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan
kenyamanan hidup manusia.25
Kesemuanya itu merupakan rahmat yang
bersumber dari Allah SWT dan sebagai bukti serta tanda-tanda bagi manusia
yang mau berpikir merenungkan ayat-ayat ini melalui bentuan ilmu
pengetahuan dan teknologi agar dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan serta
kenyamanan manusia dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan Allah SWT.
Senada dengan ayat diatas, Allah berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20).
24
Dapartemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 499.
25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 41.
13. 13
Dalam ayat ini Allah kembali menegaskan bahwa Allah telah
menundukkan untuk kepentingan manusia segala apa yang ada di langit seperti
udara, matahari, bulan, angin, dan sebagainya, serta menundukkan untuk
kemaslahatan manusia apa yang ada di bumi seperti gunung, tumbuhan, laut,
dan lainnya. Selain itu, Allah juga telah menyempurnakan dan
menganugerahkan secara luas tentang nikmat Allah SWT yang lahir seperti
kesehatan, harta benda, kedudukan, keturunan, dan juga nikmat-Nya yang batin
seperti kedamaian, ketenangan, optimisme, akal, emosi, dan sebagainya.26
Atas dasar ini, manusia janganlah angkuh, jangan berbangga diri, apalagi
sampai mempersekutukan Allah dan menyembah selain-Nya sebab Allahlah
yang menundukkan dan menganugerahkan itu semua kepada manusia serta
berhak pula untuk mencabut nikmat-nikmat itu. Sedangkan maksud
penundukkan Allah untuk kepentingan manusia ialah Allah memberikan
kewenangan dan kemampuan kepada manusia untuk mengelola alam raya
sesuai dengan konsep yang dikehendaki Allah. Adapun yang menundukkan itu
adalah Allah maka manusia harus mengikuti konsep dan aturan Allah SWT
bukan membuat aturan sendiri yang malah bertentangan dengan kaidah Allah.
D. Peran Agama dalam IPTEK
Berdasarkan perspektif Alquran dalam memandang IPTEK, maka dapat
dirumuskan mengenai peran Agama yaitu Islam dalam IPTEK ialah sebagai
berikut:
1. Akidah Islam sebagai dasar IPTEK
Inilah peran pertama Islam dalam IPTEK yaitu akidah Islam harus
dijadikan basis segala konsep dan aplikasi IPTEK. Inilah paradigma Islam
sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Paradigma Islam
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya itu seharusnya diadopsi oleh
kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam
26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 142.
14. 14
sikap mengekor dan mengadopsi Barat dalam segala-galanya seperti dalam
pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Hal ini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika akidah Islam
dijadikan landasan IPTEK, bukan berarti konsep-konsep IPTEK harus
bersumber dari Alquran dan al-Hadis, tetapi maksudnya adalah konsep
IPTEK harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur Alquran dan
al-Hadis dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya27
. Jika kita
menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan IPTEK, bukan berarti bahwa
ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada
ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok
dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi
segala sesuatu.
Ringkasnya, Alquran dan Hadis sebagai standar (miqyas) IPTEK
bukan sumber (mashdar) IPTEK. Artinya, apa pun konsep IPTEK yang
dikembangkan harus sesuai dengan Alquran dan Hadis serta tidak boleh
bertentangan dengan keduanya. Jika suatu konsep IPTEK bertentangan
dengan Alquran dan al-Hadis, maka konsep itu berarti harus ditolak.
2. Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan IPTEK
Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan
tolok ukur dalam pemanfaatan IPTEK, bagaimana pun juga bentuknya.
IPTEK yang boleh dimanfaatkan adalah yang telah dihalalkan oleh syariah
Islam. Sedangkan IPTEK yang tidak boleh dimanfaatkan adalah yang telah
diharamkan syariah Islam.
Kontras dengan ini ialah apa yang ada di Barat sekarang dan juga
negeri-negeri muslim yang bertaklid dan mengikuti Barat secara membabi
buta. Standar pemanfaatan IPTEK menurut mereka adalah manfaat, apakah
27
Abdurrahman Al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam, (Bangil: Al-Izzah,
1996), hlm. 12.
15. 15
itu pragmatisme ataupun utilitarianisme.28
Selama sesuatu itu bermanfaat,
yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan
absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.
Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa
orang Barat mengaplikasikan IPTEK secara tidak bermoral, tidak
berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya
menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak
berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas seperti
meletakkan embrio pada ibu pengganti, mengkloning manusia yang berarti
manusia bereproduksi secara a-seksual bukan seksual, mengekploitasi alam
secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan
seterusnya.29
Atas dasar ini, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu
dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar yaitu standar yang secara
praktis dan konkret adalah syariah Islam dan bersumber dari Allah SWT
yang mengetahui secara hakiki apa saja yang bermanfaat bagi manusia.
E. Perlunya Integralisasi Agama dengan IPTEK
Integralisasi antara agama dengan IPTEK perlu dilakukan. Hal ini karena
beberapa hal yaitu:
Pertama, IPTEK akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat
besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia apabila IPTEK disertai oleh asas
iman dan takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya, tanpa asas imtak, IPTEK bisa
disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. IPTEK dapat
mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, IPTEK hanya absah secara
metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi.
28
Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru, (Yogyakarta: Tajidu Press, 2004),
hlm. 62.
29
Syeichul Hadipermono, Bayi Tabung dan Rekayasa Genetika, (Surabaya: Wali Demak
Press, 1995), hlm. 74.
16. 16
Kedua, pada kenyataannya, IPTEK yang menjadi dasar modernisme,
telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik,
materialistik, dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya
dan agama yang dianut oleh bangsa kita.
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepiring nasi
untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-
nilai surgawi untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Oleh karena itu, penekanan
pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi berat sebelah
dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia
dalam kesatuan jiwa raga, lahir batin, dunia dan akhirat.
Keempat, agama dengan iman dan takwa menjadi landasan dan dasar
paling kuat yang akan mengantar manusia menggapai kebahagiaan hidup.
Tanpa dasar iman dan takwa, segala atribut duniawi, seperti harta, pangkat,
IPTEK, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia
meraih kebahagiaan.30
Maka integrasi IMTAK dan IPTEK harus diupayakan dalam format
yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang dan dapat mengantar kita
meraih kebaikan dunia dan akhirat seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan
kepada Allah SWT sesuai firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 201:
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan Kami, berilah
Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari
siksa neraka".
F. Upaya Integralisasi Agama dan IPTEK
30
Mohammad Shohibul Iman, "Perlunya Islamisasi Sains", Prosiding Seminar Islamisasi
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, ISTECS, Jakarta 1996.
17. 17
Model integralisasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai
grand theory pengetahuan sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat
dipakai.31
Integralisasi ini berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum
dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua
keilmuan tersebut. Terdapat kritikan yang menarik berkaitan dengan
integralisasi antara ilmu agama dengan IPTEK yaitu:
(1) Integralisasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran
secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya
integralisasi konstruktif dimana integralisasi yang menghasilkan kontribusi
baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah atau bahkan
integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin
muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri.32
(2) Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu kauniyah (alam) dan kauliyah
(teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya kauniyah
dan kauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu kauniyah berkenaan
dengan hukum alam, ilmu kauliyah berkenaan dengan hukum Tuhan, dan
ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai, dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah
yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).33
Dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Islam bukanlah agama
yang tertutup. Islam adalah sebuah paradigma terbuka, sebagai mata rantai
peradaban dunia. Selanjutnya, spektakulerisasi perkembangan ilmu
pengetahuan telah menjadi bagian yang substantif dalam kehidupan manusia
masa kini dan telah menyentuh semua sendi kehidupan masyarakat yang secara
ekstentif pada gilirannya merombak tatanan budaya manusia dengan intensif.
31
Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama dalam Zainal Abidin Bagir,
(ed), op,cit, hlm. 49 – 50.
32
Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung:
Mizan, 2005), hlm. 50-51.
33
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 51.
18. 18
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak selamanya memberi kebahagiaan bagi manusia, seperti
peledakan bom atom merupakan contoh penemuan tenaga nuklir yang
disalahgunakan, sehingga menimbulkan keresahan. Demikian pula halnya
dalam bidang genetika, mulai mengembangkan teknologi bayi tabung dan
kloning, dimana manusia dijadikan sebagai obyek penelitian. Fenomena ini
mengindikasi adanya pemisahan tajam antara kehidupan dunia dan akhirat
yang berawal dari sistem pendidikan yang tidak terintegralisasi, melainkan
bersifat dikotomis parsial.
International Institut of Islamic Thought Herndon Virginia menyatakan
bahwa dikotomi merupakan salah satu krisis utama umat yang berdampak pada
beberapa ruang lingkup kehidupan, meliputi konteks politik, ekonomi,
kebudayaan, dan agama.34
Menurut Haidar Bagir, dikotomi dalam pendidikan
Islam terjadi karena pengingkaran terhadap validitas dan status ilmiah satu atas
yang lain. Pihak agamis beranggapan bahwa ilmu umum itu adalah bid’ah atau
haram dipelajari karena berasal dari orang kafir, sedangkan pendukung ilmu
umum berpendapat ilmu agama sebagai pseudo ilmiah atau sebagai mitologi
yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah. Ini menyebabkan jarak antara ilmu
agama dengan ilmu umum kian jauh.35
Sementara Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat
masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, sebagai
berikut:36
Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam.
Selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan
dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fil al din
yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka. Sementara itu,
34
Ismail Al- Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. Mustafa Kasim, hlm. 2-6.
35
Haidar Bagir, Integrasi Ilmu, hlm. 20.
36
Ismail Al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. A. Mahyudin, (Bandung: Pustaka,
1984), hlm. 55-96.
19. 19
modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan
umum ke dalam suatu lembaga telah mengubah citra pesantren sebagai
lembaga taffaquh fil adin. Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa
mata pelajaran agama hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai
tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan
ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan
dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum.
Ketiga, terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-
masing sistem (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh
mempertahankan kediriannya atau egoismenya.
Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam.
Hal ini disebabkan karena pendidikan Barat kurang menghargai nilai-nilai
kultur dan moral.
Oleh karena itu, integralisasi antara agama dan IPTEK merupakan solusi
yang dapat ditawarkan guna menjawab kemelut fenomena dikotomi pendidikan
Islam saat ini. Sehingga integralisasi ilmu merupakan solusi terbaik untuk
meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar senantiasa dapat dikembangkan
menembus waktu dan ruang tanpa adanya hambatan yang menghadang
langkah-langkah kemajuan manusia dalam mengaktualisasikan diri sebagai
‘abdun sekaligus khalifatullah fil a’-Ardh.
Al-Faruqi menawarkan Islamisasi ilmu dalam pendidikan Islam, yakni
dengan melebur dua sistem pendidikan, tradisional dan modern menjadi sistem
pendidikan yang berwawasan Islam. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan
problem dikotomi sistem pendidikan yang selama ini terjadi di kalangan umat.
Ide Islamisasi Ilmu dalam pendidikan Islam berisi suatu prinsip bahwa
keilmuan Barat tidak harus ditolak, artinya perlu diterima, tetapi harus melalui
20. 20
proses filterisasi yang disejalankan dengan nafas Islami agar tidak bertentangan
dengan pesan Alquran dan hadis.37
Upaya pembendungan dikotomi ilmu dapat dilakukan dengan upaya
integrasi ilmu dalam pendidikan Islam yang dimuat dalam tiga model
islamisasi pengetahuan, yaitu model purifikasi, modernisasi Islam, dan Neo-
Modernisme.38
Pertama, Islamisasi model purifikasi. Purifikasi bermakna pembersihan
atau penyucian. Proses Islamisasi dalam hal ini berusaha menyelenggarakan
pengendusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam
secara kaffah bukan parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuwan
Muslim dituntut menjadi aktor yang loyal, concern, dan komitmen dalam
menjaga serta memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek
kehidupannya, juga bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat,
kemampuan, dan bidang keahliannya masing- masing dalam perspektif Islam
untuk kepentingan kemanusiaan.39
Model Islamisasi ini sebagaimana
dikembangkan oleh Al-Faruqi dan Al-Attas. Adapun empat rencana kerja
Islamisasi Pengetahuan Al-Faruqi, meliputi:
(a) Penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim
(b) Penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini
(c) Identifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya
dengan ideal Islam, dan
(d) Rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras
dengan wawasan dan ideal Islam.
37
Muhammad Fahmi, “Konsep Pendidikan Isma’il Raji Al-Faruqi: Relevansinya bagi
Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia”, Tesis. (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 2006).
38
Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 143-
145.
39
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
(Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2006), hlm. 61.
21. 21
Kedua, Islamisasi model Modernisasi Islam. Modernisasi berarti proses
perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini berangkat dari
kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh
sempitnya pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan
Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-
muslim. Islamisasi disini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam
proses perubahan sosial, perkembangan IPTEK, adaktif terhadap
perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur
negatif, dan proses modernisasi.40
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah
yang hak. Untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum
alam yang pada gilirannya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti
bersikap ilmiah, rasional, menyadari keterbatasan yang dimiliki dan kebenaran
yang didapat bersifat relatif, progresif-dinamis, serta senantiasa memiliki
semangat untuk maju.
Ketiga, Islamisasi model Neo-Modernisme. Model ini berusaha
memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Alquran
dan al-Hadis dengan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik
serta mencermati kesulitan dan kemudahan yang ditawarkan IPTEK. Islamisasi
model ini bertolak dari landasan metodologis:
(a) Persoalan-persoalan kotemporer umat harus dicari penjelasannya dari
Alquran, sunnah, hasil ijtihad para ulama terdahulu, dan tradisi.
(b) Bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan
kotemporer, maka selanjutnya menelaah konteks sosio-historis dari ayat-
ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut.
40
Muhaimin, Redefenisi Islamisasi Pengetahuan; Upaya Menjelajahi Model-model
Pengembangannya, dalam Mudjia Rahardjo (ed), Quo Vadis Pendidikan Islam, (Malang: Cendikia
Paramulya, 2002), h. 234-235.
22. 22
(c) Melalui telaah historis akan terungkap pesan moral Alquran sebenarnya
yang merupakan etika sosial Alquran.
(d) Dari etika sosial Alquran itu selanjutnya diamati relevansi dengan umat
sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu
pengetahuan atas persoalan yang dihadapi umat tersebut.
(e) Alquran berfungsi evaluatif, legitimatif hingga pada tahap pemberi landasan
dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi.41
Dari ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk
memutuskan mata rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna membangun
kembali kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan
filosofis dengan tetap merujuk pada kandungan al-Quran dan al-Hadis.
Amin Abdullah memandang, integralisasi keilmuan mengalami kesulitan
yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling
akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan
usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang
dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas
fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap
bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora,
maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri …. maka dibutuhkan kerjasama,
saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi, dan saling
keterhubungan antara disiplin keilmuan.42
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak
saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama.
Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga
corak yaitu:
41
Abudin Nata, dkk, Op. Cit., hlm. 145.
42
M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-
Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. VII-VIII.
23. 23
a. Pendekatan paralel, masing-masing corak keilmuan umum dan agama
berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu
dengan yang lainnya.
b. Pendekatan linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona,
sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
c. Pendekatan sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami
keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan pada masing-masing keilmuan
dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang
ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan
untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.43
Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu
ialah jika menggunakan pendekatan islamisasi ilmu maka kemungkinan terjadi
pemilahan, peleburan, dan pelumatan antara ilmu umum dengan agama.
Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai
keilmuan umum yang sudah ada karena keilmuan umum juga telah memiliki
basis epistemologi, ontologi, dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak
persamaan baik metode pendekatan (approach), metode berpikir (procedure)
antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya,
sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling
mengalahkan.
G. Peta Konsep Integrasi Agama dan IPTEK
Upaya integralisasi antara agama dan IPTEK sangat diperlukan agar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Walaupun beberapa
penemuan sudah berhasil ditemukan namun masih banyak penemuan IPTEK
yang tidak bernilai Qurani atau Rabbani. Padahal, jika ilmu pengetahuan dan
teknologi ditinjau dari sisi historisnya, maka akan terlihat bahwa asal usul dari
ilmu pengetahuan dan teknologi modern atau revolusi ilmiah berasal dari
peradaban Islam. Oleh sebab itu, Islam harus bangkit dari keterpurukan dan
43
Ibid., hlm. 219 – 223.
24. 24
kevakuman berpikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Alquran sendiri telah memerintahkan manusia untuk melihat alam semesta
beserta isinya guna menemukan sesuatu yang baru darinya dan digunakan
untuk kemaslahatan hidup manusia bukan malah berdiam diri dan merasa puas
dengan produk jajahan Barat dalam bidang IPTEK.
Peran sentral IPTEK yang berkembang sekarang seolah-olah posisinya
berada sendirian di ruang hampa yang bermuatan bebas nilai. Hal ini
mengakibatkan eksistensi dari IPTEK terpisah dari agama. Padahal ketika
IPTEK berjalan sendiri tanpa dipandu dengan agama, maka akan menghasilkan
konsep IPTEK yang netral, sekuler, dan sektoral, sehingga akan melahirkan
IPTEK yang bernilai rendah, mengantarkan manusia kepada kerusakan-
kerusakan, penyelewengan norma, munculnya eksploitasi terhadap manusia,
dan praktik-praktik lain yang mengancam kemanusiaan. Sebagai contoh, ketika
ilmuwan dan scientist menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu
manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas
seperti meletakkan embrio pada ibu pengganti, mengkloning manusia berarti
manusia bereproduksi secara a-seksual, mengekploitasi alam secara serakah
walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.
Selama ini, manusia menisbahkan ilmu pengetahuan, teknologi,
kekayaan alam, dan kebutuhan material manusia ialah ilmu pengetahuan
bersama-sama dengan teknologi merupakan jembatan yang menghubungkan
kekayaan-kekayaan alam, dan sumber daya dengan kebutuhan material
manusia.44
Konsep tersebut merupakan konsep yang bermuatan bebas nilai,
netral, sekular, dan sektoral dengan menempatkan IPTEK lepas sama sekali
dari tujuan dan nilai-nilai non material. Skema konsep tersebut yaitu:
44
Al-Zindani, Abdul Majid bin Aziz. et al, Mukjizat Alquran dan As-Sunnah tentang IPTEK
Jilid 2. (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 149.
Kebutuhan Material ManusiaSDA, SDM, dan Modal
25. 25
Padahal, konsep yang selama ini menjadi platform kebanyakan orang,
adalah konsep yang jelas bertentangan dengan konsep Islam tentang IPTEK
yang pada dasarnya adalah konsep sikap terhadap sumber daya alam yang
merupakan karunia dari Allah SWT yang harus disyukuri. Manusia sebagai
penerima nikmat Allah SWT, dengan sendirinya tidak dapat melepaskan diri
dari nilai-nilai kemanusiaan yang abadi. Dengan demikian, manusia akan
menjadi pribadi yang terpadu, seimbang, dan tidak netral, tetapi memihak pada
nilai-nilai yang bermuatan Qurani atau Rabbani yaitu bersumber dari Allah.
konsep tersebut sebagai berikut:
Dengan demikian, dapat dijadikan sebuah terobosan baru dalam
menggapai kunci sukses untuk mengintegralisasikan IPTEK dengan peradaban
masyarakat Indonesia yang madani adalah dengan melakukan inovasi.
Indonesia memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, serta
untuk memacu pertumbuhan menjadi bangsa yang terhormat, maju, dan
kompetitif. Sistem inovasi nasional harus dibangun dan menjadi bagian
integral dari peradaban kita. Hal ini berarti, Indonesia akan membangun bangsa
IPTEK
Kebahagiaan Lahir dan
Kesejahteraan Batin
(Tujuan manusia hidup)
SDA, SDM dan daya-
daya lain
(Nikmat dari Allah)
IPTEK Qurani atau
Rabbani
(Ibadah kepada Allah)
26. 26
inovasi (innovation nation) sebagai pilar kokoh bagi peradaban Indonesia
melalui upaya meningkatkan SDM sehingga melahirkan manusia yang mampu
mengelola SDA dan daya-daya lainnya secara mandiri dan bertanggungjawab
serta menyadari bahwa semuanya merupakan nikmat dari Allah SWT yang
harus disyukuri, dijaga, dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup manusia
dengan menggunakan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang
Qurani atau Rabbani yang telah ditetapkan oleh Allah SWT agar manusia
meraih kebahagiaan serta kesejahteraan hidup lahir batin, dunia dan akhirat.
H.Penutup
Alquran memandang begitu pentingnya pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga wahyu yang pertama kali diturunkan oleh
Allah yakni Surat al-‘Alaq ayat 1-5 tentang anjuran untuk membaca apa saja,
baik tertulis maupun yang tidak, selama bacaan tersebut bismi Rabbik,
bermanfaat untuk kemanusiaan dan bernilai Qurani (Rabbani) bukan dengan
muatan bebas nilai sebagaimana yang dielu-elukan Barat sekarang ini.
Selanjutnya dalam Surat Ali Imron ayat 190 – 191 menjelaskan betapa
pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dipelajari dan dimiliki yang
tergambar dalam dua ciri pokok manusia (ulil albab) yaitu tafakkur dan dzikir.
Sehingga dari ayat ini dapat dilihat bahwa melalui pengamatan, kajian, dan
pengembangan IPTEK, Allah menghendaki manusia dapat lebih merasakan
kebesaran, kehebatan, dan keagungan-Nya sehingga saintis dan teknolog
semakin tawadlu, semakin cinta, dan takut dengan Allah.
Selanjutnya, Alquran dalam Surat Al-Jatsiyah ayat 13 dan Surat Luqman
ayat 20 memandang bahwa seluruh isi langit dan bumi akan ditundukkan al-
Khaliq dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterapkan kepada
mereka yang mau melibatkan akalnya dan menggunakan pikirannya untuk
kepentingan manusia rahmat Allah SWT. Selain itu, Allah juga telah
menyempurnakan dan menganugerahkan secara luas tentang nikmat Allah
SWT yang lahir dan juga nikmat-Nya yang batin dengan cara Allah
memberikan kewenangan dan kemampuan kepada manusia untuk mengelola
27. 27
alam raya sesuai dengan konsep yang dikehendaki Allah. Kesemuanya itu
sebagai bukti serta tanda-tanda bagi manusia yang mau berpikir merenungkan
ayat-ayat ini melalui bentuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan serta kenyamanan manusia dengan
menggunakan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan Allah SWT.
Sebenarnya, asal usul dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari
peradaban Islam. Oleh karena itu, sudah seharusnya Alquran dan Hadis
dijadikan sebagai standar (miqyas) IPTEK yaitu apa pun konsep IPTEK yang
dikembangkan harus sesuai dengan Alquran dan Hadis serta tidak boleh
bertentangan dengan keduanya. Di samping itu, ketentuan halal-haram
(hukum-hukum syariah Islam) juga wajib dijadikan tolok ukur dalam
pemanfaatan IPTEK, bagaimana pun juga bentuknya.
Integralisasi antara agama (IMTAK) dan IPTEK harus diupayakan dalam
format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang dan dapat mengantar
kita meraih kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Upaya dari integralisasi ini
dapat dilakukan dengan menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory
pengetahuan sehingga ayat-ayat kauliyah dan kauniyah dapat dipakai. Upaya
ini juga digunakan untuk membendun dikotomi ilmu yang dimuat dalam tiga
model islamisasi pengetahuan, yaitu model purifikasi, modernisasi Islam, dan
Neo-Modernisme serta dengan menggunakan pendekatan integratif-
interkonektif.
Adapun dalam mengintegralisasikan agama dan IPTEK sebaiknya
mengacu kepada berikut:
a. Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakikatnya merupakan
pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis,
obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah SWT baik berupa ayat-
ayat kauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat
kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan
kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian
28. 28
atau pemikiran manusia tersebut harus dipahami dan diterima sebagai
pengetahuan yang relatif kebenarannya sedangkan pengetahuan yang
memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT.
b. Dari perspektif epistemologi bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan
instrumen penglihatan, pendengaran, dan hati yang diciptakan Allah SWT
terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak
menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi.
c. Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus
diarahkan kepada pemberian manfaat, kemaslahatan hidup, dan pemenuhan
kebutuhan hidup umat manusia sesuai dengan norma, aturan, dan kaidah
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT yaitu dengan IPTEK Qurani atau
Rabbani. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan
untuk menghancurkan kehidupan manusia karena dengan muatan yang
bebas nilai. Sehingga perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya
yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
I. Daftar Pustaka
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam.
Bangil: Al-Izzah.
Al-Zindani, Abdul Majid bin Aziz. et al. 1997. Mukjizat Alquran dan As-
Sunnah tentang IPTEK Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press.
Alim, A. Sahirul. 1998. Menguak Keterpaduan Sains Teknologi dan Alam.
Yogyakarta: Titian Ilahi.
Arsyad, M. Natsir. 1992. Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah: Dari Jabir
Hingga Abdus Salam. Bandung: Penerbit Mizan.
29. 29
Azra, Azyumardi. 2005. Reintegrasi Ilmu-Ilmu dalam Islam Zainal Abidin
Bagir (ed) Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi. Bandung:
Mizan.
Baiquni, Achmad. 1996. Alquran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Bagir, Zainal Abidin. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi.
Bandung: Mizan.
Departemen Agama RI. 2006. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an.
Fahmi, Muhammad. 2006. Konsep Pendidikan Isma’il Raji Al-Faruqi:
Relevansinya bagi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Tesis.
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Hadipermono, Syeichul. 1995. Bayi Tabung dan Rekayasa Genetika. Surabaya:
Wali Demak Press.
Hasan, Yahya Fargal. 1990. Pokok Pikiran Tentang Hubungan Ilmu Dengan
Agama: Dalam Abdul Hamid Abu Sulaiman Permasalahan Metodologis
dalam Pemikiran Islam. Jakarta: Media dakwah.
Iman, Mohammad Shohibul. 1996. "Perlunya Islamisasi Sains", Prosiding
Seminar Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: ISTECS.
Ismail Al-Faruqi. 1984. Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. A. Mahyudin.
Bandung: Pustaka.
Kuntowijoyo, 2005. Islam Sebagai Ilmu. Jakarta: Teraju.
M. Amin Abdullah. 2006. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin. 2002. Redefenisi Islamisasi Pengetahuan: Upaya Menjelajahi
Model-model Pengembangannya, dalam Mudjia Rahardjo (ed), Quo Vadis
Pendidikan Islam. Malang: Cendikia Paramulya.
30. 30
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut
Dunia Pendidikan. Jakarta: PT. Rajawali Pers.
Mulyanto. 1996. “Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan", Prosiding Seminar
Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta: ISTECS.
Myers, Eugena. 2003. Zaman Kejayaan Islam Para Ilmuan Muslim dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat (Arabic Thought and Western World
in The Golden Age of Islam) terj. M.M el-Khoiry. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.
Nata, Abuddin, dkk. 2005. Integrasi Ilmu. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka.
Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Max (Materialisme
Dialektis dan Materialisme Historis. Yogyakarta: LkiS.
Riyanto, Waryani Fajar. 2013. Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi
Intelektual M. Amin Abdullah (1953), Person, Knowledge, and intutision,
Yogyakarta: Suka Press
Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka.
________________. 2005. Tafsir Al-Mishbah Volume 11. Jakarta: Lentera
Hati.
________________. 2005. Tafsir Al-Mishbah Volume 13. Jakarta: Lentera
Hati.
________________. 2002. Tafsir Al-Mishbah Volume 15. Jakarta: Lentera
Hati.
Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan
Politik. Jakarta: PT. Gramedia.
__________________. 1992. Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: PT. Gramedia.
31. 31
Wardhana, Wisnu Arya. 2008. Melacak Teori Einstein dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Winarno, Budi. 2004. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru. Yogyakarta:
Tajidu Press.
Yahya, Harun. 2002. Allah is Known through Reason. Jakarta: Robbani Press.