1. FALSAFAH KESATUAN ILMU
Karya Tulis Ilmiah
Nama : Wahyu Thoha Ichsan
Nim : 2205056042
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2022
2. BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan filsafat kesatuan ilmu tidak lepas dari pembahasan filsafat pada umumnya.
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philo berarti cinta dan sophia berarti
kebijaksanaan, jadi philo sophia berarti cinta kebijaksanaan. Dalam bahasa Yunani, Sophia
memiliki arti yang sangat luas yaitu tidak hanya kebijaksanaan pikiran atau kecerdasan tetapi
juga kebijaksanaan praktis dan dapat diartikan sebagai: kebajikan, pengetahuan, kebenaran,
kerajinan, akal sehat, kecerdasan dan kebijaksanaan.
Kata filsafat merupakan konsep yang luas. Filsafat sering dikaitkan dengan gagasan tentang
kehidupan, cara hidup manusia, dan bahkan metode berpikir. Filsafat dianggap sebagai induk
dari semua ilmu, meskipun filsafat dan pengetahuan (sains) memiliki ciri dan metode tersendiri
dalam perkembangannya.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana latar belakang tersebut perlu adanya bimbingan mengenai Falsafah Kesatuan
Ilmu mengenai hal tersebut.
1. Konsep ilmu dalam Islam
2. Klasifikasi ilmu dalam Islam
3. Hubungan antara ilmu dengan Islam
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Falsafat Kesatuan Ilmu.
2. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai falsafat keilmuan..
3. Untuk memahami dan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam
sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk untuk berpikir kritis
terhadap berbagai macam teori yang dipelajarinya di ruang kuliah maupun dari sumber-sumber
lainnya.
3. BAB 2
PEMBAHASAN
Konsep ilmu dalam Islam
Landasan Ilmu Pengetahuan
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang berarti
pengetahuan (al-ma’rifah),kemudian berkembang menjadi pengetahuan
tentang hakikat sesuatu yang dipahami secara mendalam. Dari asal kata
‘ilm ini selanjutnya di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan.’
Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil
usaha yang sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan muslim
(‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalanpersoalan duniawī dan ukhrāwī dengan
bersumber kepada wahyu Allah.
Al-Qur’ān dan al-Hadīts merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai
petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah
petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-Qur’ān memberikan perhatian
yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang
pertama kali turun berbunyi ; “Bacalah, dengan [menyebut] nama Tuhanmu
yang telah menciptakan”. Membaca, dalam artinya yang luas, merupakan
aktivitas utama dalam kegiatan ilmiah. Di samping itu, kata ilmu yang telah
menjadi bahasa Indonesia bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi
juga tercantum dalam al-Qur’ān.
Penjelasan-penjelasan al-Qur’ān dan al-Hadīts di atas menunjukkan
bahwa paradigma ilmu dalam Islam adalah teosentris. Karena itu,
hubungan antara ilmu dan agama memperlihatkan relasi yang harmonis,
ilmu tumbuh dan berkembang berjalan seiring dengan agama. Karena itu,
dalam sejarah peradaban Islam, ulama hidup rukun berdampingan dengan
para ilmuwan. Bahkan banyak ditemukan para ilmuwan dalam Islam
4. sekaligus sebagai ulama. Seperti ; Ibnu Sina dengan nama lengkap Abu Ali
al-Hussain Ibn Abdullah Ibn Sina, Al Farabi dengan nama lengkap Abu
Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Al-Uzalagh Al-Farabi, Al
Khawarizmi dengan nama lengkap Abu Abdullah Mohammad Ibn Musa al-
Khawarizmi, dan masih banyak lagi.
Apa yang terjadi dalam Islam berbeda dengan agama lain, khususnya
agama Kristen di Barat, yang dalam sejarahnya memperlihatkan hubungan
kelam antara ilmu dan agama. Hubungan disharmonis tersebut ditunjukkan
dengan diberlakukannya hukuman berat bagi para ilmuwan yang temuan
ilmiahnya berseberangan dengan fatwa gereja. Misalnya, Nicolaus
Copernicus mati di penjara pada tahun 1543 M, Michael Servet mati
dibakar tahun 1553 M, Giordano Bruno dibunuh pada tahun 1600, dan
Galileo Galilei mati di penjara tahun 1642 M. Oleh karena hubungan agama
dan ilmu di Barat tidak harmonis, maka para ilmuwan pergi jauh
meninggalkan agama. Akibatnya, ilmu di Barat berkembang dengan
paradigma antroposentris14 dan menggusur sama sekali paradigma
teosentris. Dampak yang lebih serius, perkembangan ilmu menjadi sekuler
terpisah dari agama yang pada akhirnya menimbulkan problema teologis
yang sangat krusial. Banyak ilmuwan Barat yang merasa tidak perlu lagi
menyinggung atau melibatkan Tuhan dalam argumentasi ilmiah mereka.
Bagi mereka Tuhan telah berhenti menjadi apapun, termasuk menjadi
pencipta dan pemelihara alam semesta.
Sumber, Sarana, dan Metode Ilmu Pengetahuan
Filsafat Ilmu dikenal dengan epistemologi atau teori ilmu pengetahuan,
yang di dalamnya selalu membicarakan dua hal; apa itu pengetahuan? dan
bagaimana cara memperoleh pengetahuan?. Yang pertama terkait dengan
teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua berkenaan dengan metodologi.
Epistemologi Islam menjawab bahwa pengetahuan ilmiah adalah segala
sesuatu yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik. Dengan demikian
5. menjadi jelas bahwa sumber pengetahuan dalam Islam adalah alam fisik
yang bisa diindra dan alam metafisik yang tidak bisa diindera seperti Tuhan,
malaikat, alam kubur, alam akhirat. Alam fisik dan alam non-fisik sama
bernilainya sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Hal ini sangat
berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya mengakui alam fisik
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sesuatu yang
bersifat non-indrawi, non-fisik, dan metafisik tidak termasuk ke dalam
obyek yang dapat diketahui secara ilmiah.
Terdapat perbedaan antara Islam dan Barat. Dalam epistemologi Islam,
ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indra, akal, dan hati.
Ketiga elemen ini dalam praktiknya diterapkan dengan metode berbeda;
indra untuk metode observasi, akal untuk metode logis atau demonstratif,
dan hati untuk metode intuitif.
Jika ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga
sumber/alat; indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat,
pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih melalui indra dan akal. Penggunaan
kedua alat ini sebagai sumber ilmu pengetahuan didahului konflik tajam
ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad. Konflik tersebut tercermin
dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme
yang dipelopori Rene Descartes (1596-1650) berpandangan bahwa sumber
pengetahuan yang dipandang memenuhi syarat ilmiah adalah akal budi.
Akal merupakan satusatunya sumber pengetahuan yang benar.
Pengetahuan yang diperoleh melalui akal tidak mungkin salah. Sementara
itu empirisme berpendapat bahwa sumber satu-satunya pengetahuan
manusia adalah pengalaman indrawi, yakni pengalaman yang terjadi
melalui dan berkat bantuan panca indra.
Klasifikasi ilmu
Secara umum ilmu dalam Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kelompok yang meliputi; metafisika menempati posisi tertinggi, disusul
6. kemudian oleh matematika, dan terakhir ilmu-ilmu fisik.Melalui tiga
kelompok ilmu tersebut, lahirlah berbagai ilmu pengetahuan, misalnya;
dalam ilmu-ilmu metafisika (ontologi, teologi, kosmologi, angelologi, dan
eskatologi), dalam ilmu-ilmu matematika (geometri, aljabar, aritmatika,
musik, dan trigonometri), dan dalam ilmu-ilmu fisik (fisika, kimia, geologi,
geografi, astronomi, dan optika)
Dalam perkembangan berikutnya, seiring dengan perkembangan zaman,
kemajuan ilmu pengetahuan, dan untuk tujuan-tujuan praktis, sejumlah
ulama berupaya melakukan klasifikasi ilmu. Al-Ghazālī membagi ilmu
menjadi dua bagian; ilmu fardlu ‘ain dan ilmu fardlu kifāyah, yang dibagi lagi
menjadi dua bagian yaitu;ilmu syarī’ah dan ilmu ghair syarī’ah.
Al-Farābī mengelompokkan ilmu pengetahuan ke dalam lima bagian,
yaitu; pertama, ilmu bahasa yang mencakup sastra, nahw, sharf, dan lain-
lain. Kedua, ilmu logika yang mencakup pengertian, manfaat, silogisme, dan
sejenisnya. Ketiga, ilmu propadetis, yang meliputi ilmu hitung, geometri,
optika, astronomi, astrologi, musik, dan lain-lain. Keempat, ilmu fisika dan
matematika. Kelima, ilmu sosial, ilmu hukum, dan ilmu kalam.
Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim asal Indonesia,
mengelompokkan ilmu-ilmu keislaman ke dalam empat bagian yaitu; Ilmu
Fiqh, Ilmu Tasawuf, Ilmu Kalam, dan Ilmu Falsafah.
Klasifikasi ilmu-ilmu keislaman yang dilakukan para ilmuwan muslim di
atas mempertegas bahwa cakupan ilmu dalam Islam sangat luas, meliputi
urusan dunia dan akhirat. Yang menjadi batasan ilmu dalam Islam adalah;
bahwa pengembangan ilmu harus dalam bingkai tauhid dalam kerangka
pengabdian kepada Allah, dan untuk kemaslahan umat manusia.
Hubungan antara Islam dan Ilmu
Agama Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan agar bermanfaat dalam menyelesaikan urusan-
7. urusan di dunia dan sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak.
Dorongan Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
didasarkan pada empat faktor. karena, Islam merupakan agama
yang menghormati akal dan menyuruh umat manusia
mempergunakan akalnya untuk memikirkan alam semesta.
selanjutnya, Islam mewajibkan para pemeluknya untuk menuntut
ilmu sepanjang hayat. dan, Islam melarang umatnya untuk taklid
buta, yaitu menerima begitu saja tanpa diperiksa dan diteliti.
Islam sangat menganjurkan agar umat dapat melakukan
penelusuran yang lebih jauh terhadap berita dan fakta-fakta.
Terakhir, Islam menyuruh untuk memeriksa dan membuktikan
kebenaran.
Para ilmuwan Islam menggunakan berbagai pendekatan dalam
upaya memecahkan masalah keumatan yang dinamis. Berbagai
pendekatan tersebut kiranya dapat digunakan sebagai bahan
untuk mengenal karakteristik ajaran Islam. Islam memiliki
karakteristik yang khas yang dapat dikenali melalui konsepsinya
di berbagai bidang kehidupan, mulai dari bidang agama, ibadah,
muamalah (hubungan antar manusia), yang di dalamnya
termasuk masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, masalah sosial,
budaya, ekonomi, politik, lingkungan, dan berbagai bidang lainnya.
Ciri-ciri dari berbagai bidang yang diuraikan di atas dapat
dijadikan bahan refleksi dan pertimbangan dalam upaya
pengembangan ilmu-ilmu keislaman di masa mendatang,
sehingga para cendekiawan Islam memiliki gambaran ke mana
harus melangkah maju dalam mengenal ilmu keislaman dan
mengembangkan kajian keislaman.
8. D. Kesimpulan
Dalam Islam ilmu merupakan suatu pengetahuan yang sangat
mendalam. Hasil usaha para ilmuwan muslim atas persoalan-
persoalan baik duniawi maupun ukhrawi dengan berlandaskan
kepada Firman Allah. Pengetahuan dapat diperoleh melalui
indra,akal maupun hati baik yang bersumber dari alam fisik
maupun alam metafisik.
Ini berbeda dengan epistemologi ilmu pengetahuan di Barat,
yang dapat dicapai melalui indera, akal, dan alam fisik.
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam tentu
mengalami pasang surut. Era Klasik (650-1250) merupakan
puncak Islam yang bercirikan semangat keilmuan yang tinggi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek.
E. Daftar Pustaka
Kosim, Muhammad. 2008 "Ilmu Pengetahuan dalam Islam"
http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/tadris/article/downloa
d/232/223/#:~:text=Dalam%20Islam%2C%20ilmu%20pengetahua
n%20memiliki,juga%20terkait%20dengan%20permasalahan%20uk
hr%C4%81wi. diakses pada 15 oktober 2022 pukul 13.53.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-
Indonesia (Yogyakarta:Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah
Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir, :1984), hlm.1037.
Al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām (Beirut : Dār al-Masyriq,
1986), hlm. 527.
9. A.Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta:
Direktorat Perguruan
Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2003), hlm. 13.
M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an: Ilmu”, dalam
Ulumul Qur’an, (Vol.1, No. 4, 1990), hlm. 58.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi
Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 13.
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta;
Kanisius,1980), hlm. 18-46
A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah
Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta; Kanisius, 2001), hlm. 33-39.
Mulyadi, Menembus Batas, hlm. 59.
Abu Hamid Muhammad al- Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz I,
(Beirut; Badawi Thaba’ah, t.th), hlm. 14-15.
Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof.
Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 317.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah
Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 201.
Chair, Badrul Munir. 2020. Falsafat Kesatuan Ilmu. Semarang:
SeAP(Southeast Asian Publishing).