1. (KDRT)
Mata kuliah Diamika Hukum Perkawinan
Dosen Pengampu:
Dr. Ali Trigiyatno,M.Ag.
Dadang Rohendi,SH
NIM: 5120011
PASCA SARJANA IAIN PEKALONGAN
2. Pendahuluan
Istilah Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai ‘Perbuatan seseorang atau kelompok
orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang
lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain
Kata ‘kekerasan’ merupakan padanan kata ‘violence’ dalam
bahasa Inggris, meskipun keduanya memiliki konsep yang
berbeda. Violence dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu
serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang.
Sedangkan kata ‘kekerasan’ dalam bahasa Indonesia umumnya
dipahami hanya menyangkut serangan secara fisik semata
3. UU MENGATUR
Tindak KDRT
Prosedur penanganan perkara,
Perlindungan terhadap korban
Sanksi bagi para pelakunya.
PP No.4 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan
kerjasama pemulihan korban KDRT
LATAR BELAKANG DIUNDANGKANNYA UU
No. 23 Tahun 2004
Adanya kesadaran akan diskriminasi,
Perlakuan tidak adil terhadap perempuan :dalam
ruang publik dalam rumah tangga,
Adanya pelecehan terhadap anak dibawah umur
dengan menjadi korban pelecehan seksual dan
eksploitasi Anak.
4. Pertimbangan-pertimbangan dilegislasikan UU No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang disahkan
tanggal 22 September 2004
Pertama, bahwa setiap warga berhak mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan
Kedua, bahwa segala bentuk kekerasan,terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Ketiga, bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan
perempuan dan anak-anak, harus mendapatkan perlindungan dari Negara
dan atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari segala bentuk
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Keempat, bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga
banyak terjadi, sedangkan sistem hukum Indonesia belum menjamin akan
adanya perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga
5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
6. LINGKUP RUMAH TANGGA
Pasal 2
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf
c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka
waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan.
7. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dilaksanakan berdasarkan asas :
a. Penghormatan hak asasi manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Nondiskriminasi; dan
d. Perlindungan korban.
Asas –Asas Penghapusan
KDRT
8. a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Pengertian:
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat.
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
9. Kekerasan seksual meliputi :
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Penelantaran Rumah Tangga adalah Pengabaian tentang
kewajiban memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan termasuk bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali.
10. a. Perlindungan dari
Pihak keluarga
Kepolisian
Kejaksaan
Pengadilan
Advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Hak-hak Korban KDRT
11. PERLINDUNGAN KORBAN KDRT
Pasal 16,17,18
a. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah
tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan
sementara pada korban.
b. Perlindungan sementara sebagaimana diberikan paling lama 7
(tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
c. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak pemberian perlindungan sementara kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
d. Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat
bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi
korban.
e. Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korbantentang
hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
12. RUMAH AMAN
Korban yang memerlukan perlindungan dengan
Penetapan Pengadilan berada di RUMAH AMAN
atau Tempat Tinggal alternatif
RUMAH AMAN bisa milik Pemerintah, Pemerintah
Daerah atau Masyarakat
13. Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat :
a. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk
mendapatkan seorang atau beberapa orang
pendamping;
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan
atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan
membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya;
c. Mendengarkan secara empati segala penuturan korban
sehingga korban merasa aman didampingi oleh
pendamping; dan
d. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis
dan fisik kepada korban.
14. Perlindungan Korban oleh ADVOKAT (Pasal 25)
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan advokat
wajib :
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi
mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu
korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam
rumah tangga yang dialaminya; atau
c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum,
relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses
peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
15. PELAPORAN TINDAK PIDANA
Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan
dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat
korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau
orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah
tangga kepada pihak kepolisian.
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang
bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tempat Pelaporan:
Di Kepolisian di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara.
16. Ketentuan Pidana
Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 44 sampai dengan
pasal 49 UU No. 23 Tahun 2004
Di dalam ketentuan ada yang merupakan Kategori Delik
Aduan yaitu jika tidak ada laporan dari korban maka tidak
akan diproses yaitu:
Tindak Pidana kekerasan Fisik dan Psikis yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari (Pasal 44 ayat (4) dan pasal 45 ayat (2))
Tindak pidana pemaksaan seksual baik yang dilakukan
suami terhadap istri atau sebaliknya (Pasal 46)
17. KETENTUAN PIDANA KEKERASAN FISIK DALAM PASAL 44
o Perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
o Kekerasan Fisik yang mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
18. o Kekerasan Fisik mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
o (Delik Aduan) Kekerasan Fisik dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah)
19. Ketentuan Pidana Psikis dalam Pasal 45
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b dipidana denganpidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan dilakukan oleh suami terhadap isteri
atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah)
20. Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 46, Pasal 47
pasal 48
a) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). (Suami
Istri DELIK ADUAN)
b) Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam
rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
21. Pidana Pemberatan Pasal 46 dan 47 UU PKDRT
- Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan sembuh sama sekali,
- Mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
Pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
22. Ketentuan Pidana Penelantaran Rumah Tangga
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah), setiap orang yang :
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2).
23. Pidana Tambahan
Selain pidana sebagaimana dimaksud hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan
waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di
bawah pengawasan lembaga tertentu.
24. Kekhususan dalam Proses Pemeriksaan
dan Persidangan
Keterangan saksi korban saja sudah cukup
untuk dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Dalam Pembuktian Keterangan korban dan
disertau satu alat bukti lainnya yang sah
dapat digunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.
25. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Islam
Islam menegaskan bahwa tujuan berumah tangga adalah terjalinnya rasa
kasih sayang dan terpenuhinya ketentraman (sakinah) dalam rumah tangga. Oleh
karena itu Islam menolak tegas KDRT, meskipun kadang melakukan kompromi
karena beberapa bentuk KDRT tidak bisa dihapuskan seketika.
KDRT hanya berlaku dalam perkawinan atau rumah tangga hasil perkawinan yang
diakui oleh negara. Oleh karena itu, sebuah kekerasan hanya bisa diproses secara
hukum negara jika perkawinannya pun sah menurut negara, yakni sesuai dengan
agama masingmasing dan dicatatkan dalam catatan negara yang ditandai dengan
adanya buku nikah resmi dengan nomer registrasi tercatat.
KDRT muncul akibat relasi yang tidak setara antara pelaku dan korban dalam
sebuah rumah tangga. Misalnya dalam relasi suami dan istri, orang tua dan anak,
juga pengguna jasa dan pekerja rumah tangga.
KDRT dipicu oleh banyak faktor seperti ideologi atau pandangan dunia sebuah
masyarakat yang kemudian berpengaruh pada cara pandang dan prilaku politik,
ekonomi, sosial, budaya termasuk tafsir agama (bukan agamanya itu sendiri).
26. Spirit Penghapusan KDRT dalam Islam
Masyarakat Arab pada masa kehadiran Islam adalah sebuah
masyarakat dengan ideologi patriarkhi yang sangat kuat.
Ketika itu perempuan diperjualbelikan seperti hewan dan barang. dipaksa untuk
kawin dan melacur.
Mereka diwariskan namun tidak mewarisi, dimiliki namun tidak memiliki, dan
perempuan yang memiliki sesuatu dihalangi untuk menggunakan apa yang
dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak untuk
menggunakan hartanya tanpa persetujuan isteri.
27. Respon Islam atas Kekerasan terhadap
Perempuan di luar dan di dalam Rumah Tangga
28. Mengembalikan Spirit Islam dalam Menghapus KDRT
Akar terjadinya KDRT adalah adanya relasi yang timpang dalam
keluarga, baik antara suami dan istri, maupun antara anak dan
keluarga. Dalam Islam relasi orang tua-anak diatur melalui
konsep wilayah (perwalian) dan relasi antara suami-istri melalui
konsep qiwamah (kepemimpinan dalam keluarga).
Kewajiban pada laki-laki, yaitu ayah dalam wilayah dan suami
dalam qiwamah, untuk memberikan perlindungan dan
pertanggungjawaban atas perempuan, yaitu anak perempuan
dalam wilayah dan istri dalam qiwamah.
29. PRA PERALIHAN NIKAH PASCA
Baligh Wali Kepala keluarga Thalaq
Kafaah Saksi Nafkah Ruju‟
Taaruf Penghulu Jima‟ Khulu‟
Khitbah Mahar Hamil Iddah
Izin menikah Akad Wiladah Ihdad
Mahram Walimah Nifas Waris
Nasab Dll Rodlo‟ah Mut‟ah
Dll Hadlonah
Hadlonah
Dll Dl
Beberapa Konsep Turunan Wilayah dan Qiwamah
30. 1. Laki-laki dan perempuan adalah sama sama kedudukannya sebagai
hamba Allah dan khalifah di muka bumi (AdzDzariyat/51:56, al-
Ahzab/33:72),
2. Laki-laki dan perempuan diciptakan dari bahan dan melalui proses
yang sama (alMu‟minun/ 23:12-16),
3. Nilai manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh
ketaqwaan (alHujurat/49:13)
4. Laki-laki dan perempuan yang berbuat baik sama-sama akan
masuk sorga dan sebaliknya (Al-Nisa‟/4:124)
5. Laki-laki dan perempuan menjadi pelindung satu sama lain (at-
Taubah/9:71)
6. Laki-laki dan perempuan akan kembali pada Allah sebagai dirinya
sendiri (alAn‟am/6:94)
Keluarga sakinah perspektif dan nilai-nilai kesetaraan Isl
31. 1. Al-qiyam bi hududillah/ berdasarkan ketentuan Allah, bukan
kemauan salah satu pihak (QS. 2:229, 230),
2. Ridlo/ dikehendaki dan disadari olehkedua belah pihak (QS. 2:232,
233, QS. 4:24) (tidak ada pemaksaan dalam perkawinan),
3. Ma‟ruf/layak (QS. 2:180, 228, 229, 231, 232, 233, 234, 235, 236,
240, 241, QS. 4:19, 25, QS. 65:2, 6), (tidak boleh sewenang-wenang)
4. Ihsan/menciptakan kondisi lebih baik (QS. 2:229, QS. 6:151)
5. Nihlah/ tulus (QS. 4:4): tidak boleh merendahkan karena support
ekonomi yang diberikan pada keluarga,
6. Musyawarah(QS. 2:233): tidak boleh sewenang-wenang memberi
keputusan dalam keluarga secara sepihak.
7. Ishlah/ perdamaian (QS. 2:228, QS. 4:35, 128): problem tidak boleh
diselesaikan dengan kekerasan.
Prinsip-Prinsip Relasi suami-istri dan orangtua anak dalam sebuah rumah
tangga
32. Nusyuz dan KDRT
Ajaran Islam tentang Nusyuz –syiqoq dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT memiliki tujuan dan semangat yang sama yaitu
menciptakan dan memeihara keutuhan rumah tangga yang terbebas dari
kekerasan. Akan tetapi perician dari tujuan dan semangat tersebut agak
berbeda.
Konsep nusyûz dalam hukum Islâm tidaklah melegalkan kekerasan
terhadap isteri. Pemukulan terhadap istri yang berbuat nusyûz yang
termuat dalam Q.S. surat al-Nisâ’ (4):34, hendaknya dimaknai sebagai
tindakan untuk memberi pelajaran, bukan untuk menyakiti bahkan
berbuat kekerasan, karena pemukulan tersebut tidak boleh melukai.
Demikian juga halnya pemukulan terhadap anak yang telah berumur
sepuluh tahun yang masih meninggalkan shalât seyogyanya dimaknai
sebagai sarana mendidik anak tersebut untuk menjadi orang yang shâlih.
Semua ini adalah bentuk tanggung jawab seorang suami/ayah sebagai
kepala keluarga untuk mengikuti perintah Allâh swt. agar selalu menjaga
diri keluarga dari api neraka.
Dalam hadist; istri yang menolak ajakan suami untuk bersetubuh dianggap
telah durhaka (Nusyuz). Dalam Al Quran terdapat cara
memperbaiki:dinasihati, pisah ranjang, dan dipukul, dengan pukulan yang
tidak membekas
33. Melalui pembahasan di atas, dapat ditarik
benang merah bahwa sesungguhnya suami
atau ayah berada di antara tuntutan untuk
melaksanakan perintah agama ‘berusaha
menghindarkan diri dan keluarga dari api
neraka’ sebagai hukum normatif seorang
Muslim dengan ketaatannya mengikuti
anjuran UU PKDRT sebagai hukum formatif
baginya untuk ‘menghidari kekerasan agar
tidak terjadi dalam keluarganya.