Vaksin Nusantara menggunakan sel dendritik manusia yang diproduksi secara autologus dan dikombinasikan dengan antigen SARS-CoV-2. Uji klinik fase 1 menemukan beberapa ketidaksesuaian dengan standar Cara Pembuatan Obat yang Baik, Cara Uji Klinik yang Baik, dan Cara Pengujian Laboratorium yang Baik. Badan POM meminta penjelasan tambahan dari peneliti mengenai keamanan dan imunogenisitas vaksin, namun hasil evaluasi
1. Page 1 of 7
POINTERS
KONFERENSI PERS UJI KLINIK VAKSIN NUSANTARA
13 April 2021
1. Penelitian vaksin Sel Dendritik atau yang dikenal sebagai vaksin Nusantara dilakukan oleh
tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr.
Kariadi dan Universitas Diponegoro.
Penelitian ini disponsori oleh PT. Rama Emerald/PT. AIVITA Indonesia bekerja sama
dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian
Kesehatan.
2. Vaksin Nusantara merupakan vaksin yang menggunakan campuran:
- Sel dendritik yang diperoleh dari darah masing-masing orang
- Antigen SARS COV-2 Spike Protein produksi Lake Pharma, CA, USA.
- GMCSF (Sarmogastrim) suatu growth factor yang diproduksi oleh Sanofi - USA
3. Proses pengolahan sel dendritik dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc. USA yang
membutuhkan tenaga terlatih dan sarana produksi yang memenuhi standar GMP agar
diperoleh produk vaksin yang memiliki mutu yang baik (tidak terkontaminasi, jumlah sel
dendritik sesuai, dan kondisi sel dendritik yang baik). Pada pelaksanaan uji klinik
pengolahan sel tersebut dilakukan oleh tim dari AIVITA Biomedical Inc. USA. Transfer
teknologi kepada peneliti di RSUP Dr. Kariadi baru dilakukan dengan memberikan
kesempatan kepada beberapa staf untuk melihat proses yang dilakukan oleh tim AIVITA
Biomedical Inc. USA.
4. Kronologis Pengawalan vaksin Nusantara:
a. Peneliti pada awalnya mengajukan 1 protokol untuk semua tahapan uji klinik fase
1, fase 2 dan fase 3 pada tanggal 23 November 2020, namun tidak disetujui oleh
BPOM karena tidak sesuai dengan standard tahapan pengembangan obat dan
vaksin. Untuk itu uji klinik vaksin dendritik harus dilaksanakan mulai fase 1 terlebih
dahulu sebelum fase 2 dan fase 3.
b. Pengajuan uji klinik fase 1 dilakukan pada tanggal 30 November 2020, namun
tidak disertai dengan data pengujian pre klinik. Untuk itu Badan POM meminta
peneliti untuk menyerahkan laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan
adjuvan, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian,
mengingat produk jadi mengandung Spike SARS-CoV-2 yang diperoleh terpisah
dari sel dendritik.
Namun permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh peneliti dan sponsor dengan
justifikasi: penggunaan sel dendritik sudah lama digunakan dan aman pada
manusia, bersifat autologous dan tidak menggunakan zat tambahan lain. Dosis
dan toksisitas merujuk pada hasil uji klinik untuk indikasi lain.
2. Page 2 of 7
Hal ini tidak sesuai karena sel dendritik yang selama ini digunakan adalah untuk
terapi kanker bukan untuk vaksin atau pencegahan penyakit. Selain itu
penggunaan sel dendritik pada vaksin ditambahkan Antigen virus (bagian dari
virus SARS CoV-2) dan zat tambahan lainnya untuk menjadikan sel dendritik
tersebut menjadi vaksin.
c. Tanggal 1 Desember 2020 Badan POM menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji
Klinik (PPUK) uji klinik fase 1. Mempertimbangkan aspek keamanan pada subjek
dan tidak tersedianya uji pre klinik, maka pada PPUK ditambahkan ketentuan
khusus, diantaranya:
Sebelum uji klinik dilaksanakan, fasilitas pengolahan produk harus
memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik atau memiliki
penjaminan mutu untuk menghindarkan risiko produk yang tidak
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.
Pada proses informed consent harus dijelaskan kepada calon subjek
bahwa uji klinik ini merupakan penelitian first in human dan uji yang
sebelumnya dilakukan adalah uji in vitro.
Pada saat pelaksanaan uji klinik, peneliti diminta untuk memastikan
jaminan mutu dan keamanan produk uji dengan melakukan :
- pengujian untuk setiap produk yang akan digunakan sesuai dengan
spesifikasi produk yang telah ditetapkan (Sterilitas, Mycoplasma,
Endotoksin, Jumlah sel dan Viabilitas dan Identifikasi).
- identifikasi impurities (spike SARS-CoV-2) yang seharusnya tidak
terdeteksi dalam produk akhir.
Melakukan rekrutmen untuk setiap 3 subjek, dimulai dari konsentrasi Spike
SARS-CoV-2 terkecil (0,1 mcg) tanpa GM-CSF dilanjutkan dengan
peningkatan konsentrasi GM-CSF pada konsentrasi Spike SARS-CoV-2
yang sama. Selanjutnya, dilakukan prosedur yang sama untuk konsentrasi
Spike SARS-CoV-2 yang lebih besar.
Memastikan peran Data Safety Monitoring Board (DSMB) yang
berkesinambungan dan inpenden, dengan perhatian khusus untuk
melakukan analisis interim untuk setiap 3 subjek yang diinklusi dimulai dari
konsentrasi Spike SARS-CoV-2 terkecil (0,1 mcg) tanpa GM-CSF
dilanjutkan dengan peningkatan konsentrasi GM-CSF pada konsentrasi
Spike SARS-CoV-2 yang sama. Selanjutnya, dilakukan prosedur yang
sama untuk konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang lebih besar.
d. Ketentuan pada PPUK tidak dilaksanakan dengan baik oleh Peneliti, hal ini
diketahui pada saat inspeksi dimana fasilitas pengolahan belum memenuhi
persyaratan CPOB, pelaksanaan uji klinik tidak dilakukan bertahap pada 3 subjek,
tidak ada review DSMB untuk pelaksanaan uji klinik fase 1, pengujian mutu tidak
dilakukan untuk setiap produk.
e. Pada tanggal 14-15 Desember 2020 Badan POM melakukan inspeksi ke center
uji klinik RSUP dr Kariadi dan terdapat temuan yang bersifat critical dan major
yang harus diperbaiki.
3. Page 3 of 7
f. Uji Klinik fase 1 dilakukan di RSUP Dr. Kariadi sejak 22 Desember 2020, dengan
jumlah subjek penelitian sebanyak 28 orang. Pada tanggal 15 dan 29 Januari, 9
dan 18 Februari 2021, Peneliti telah menyampaikan hasil data interim uji klinik fase
1 berupa pengamatan keamanan 14 hari dan imunogenisitas selama 1 bulan
setelah pemberian vaksin uji. Data yang disampaikan berubah-ubah.
g. Data interim uji klinik fase 1 yang diterima oleh Badan POM telah dievaluasi dan
dibahas bersama Tim KOMNAS Penilai Obat, dan juga para ahli ad-hoc di bidang
vaksin (Tim dari ITAGI, Dokter spesialis Alergi Imunologi, Ahli Biologi Molekular)
dengan kesimpulan masih diperlukan klarifikasi dan tambahan data mengenai:
- Data keamanan dan imunogenisitas
- Permintaan pengukuran imunogenisitas sesuai parameter endpoint
protokol
- Ketidaksesuai pelaksanaan uji kinik dengan standar Cara Uji Klinik yang
Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP)
- Pemenuhan aspek Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau Good
Manufacturing Practice (GMP) dan Good Laboratory Practice (GLP).
Untuk itu, tanggal 24 Februari 2021 Badan POM menyampaikan hasil rapat pembahasan
evaluasi hasil interim uji klinik fase 1 dan meminta peneliti untuk memberikan klarifikasi
dalam forum dengar pendapat peneliti kepada Badan POM dan tim KOMNAS penilai obat
dan tim ahli terkait.
5. Pada tanggal 12 – 13 Maret 2021, Tim BPOM kembali melakukan Inspeksi ke center uji
klinik RSUP Dr. Kariadi dan laboratorium pemeriksaan imunogenisitas Badan Litbangkes
Kementerian Kesehatan, untuk memastikan pelaksanaan seluruh aspek Good Laboratory
Practice (GLP), Good Manufacturing Practice (GMP), dan Good Clinical Practice (GCP)
termasuk fasilitas yang digunakan dalam penelitian dan validitas data keamanan dan
imunogenisitas yang diserahkan melalui verifikasi langsung ke dokumen sumber.
Sebelumnya tim BPOM telah melakukan beberapa kali Inspeksi dan desk konsultasi
dengan peneliti, tetapi hasil inspeksi tidak ditindaklanjuti dengan menyelesaikan CAPA.
6. Temuan hasil Inspeksi:
a. Aspek Pemenuhan Good Manufacturing Practice (GMP) :
i. Produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril. Dikatakan
pembuatan vaksin secara close system, tetapi pada kenyataannya setelah diminta
menjelaskan proses pembuatannya semua dilakukan secara manual dan open
system. Jika proses pengolahan dilakukan secara close system, maka mulai darah
dikeluarkan dari tubuh manusia sampai dimasukkan kembali tidak pernah ada
proses pembukaan tabung darah dan pengambilan darah keluar dari tabung.
ii. Produk antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan
vaksin dendritik ini bukan merupakan Pharmaceutical grade, dan dinyatakan oleh
produsen (Lake Pharma-USA) bahwa tidak dijamin sterilitasnya. Antigen tersebut
penggunaannya hanya untuk riset di laboratorium bukan untuk diberikan kepada
manusia.
4. Page 4 of 7
iii. Hasil produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan
pengujian sterilitas dengan benar sebelum diberikan kepada manusia. Hal tersebut
berpotensi memasukkan produk yang tidak steril dan menyebabkan risiko infeksi
bakteri pada penerima vaksin.
iv. Terhadap pemenuhan GMP, telah dilakukan inspeksi sebelumnya oleh BPOM
sebelum pelaksanaan uji klinik (bulan Desember 2020), tetapi tidak pernah
ditindaklanjuti dengan perbaikan dan penyerahan CAPA.
v. Produk akhir dari vaksin dendritik tidak dilakukan pengujian kualitas sel dendritik,
Penelilti hanya menghitung jumlah selnya saja, tetapi hal tersebut juga tidak
konsisten karena ada 9 dari 28 sediaan yang tidak diukur, dan dari 19 yang diukur
terdapat 3 sediaan yang di luar standard tetapi tetap dimasukkan.
b. Aspek Pemenuhan Good Laboratory Practice (GLP) :
i. Metode pengujian tidak dilakukan validasi dan standardisasi sebelum pelaksanaan
penelitian. Peneliti menyerahkan hasil dengan 2 macam pengujian dengan
menggunakan alat yang berbeda dan hasil yang berbeda, hal tersebut tidak
diperbolehkan karena akan timbul subjektivitas peneliti dengan memilih hasil yang
dianggap lebih baik memberikan nilai. Terkait perbedaan hasil tersebut, saat di
klarifikasi kepada tim peneliti, setiap orang memberikan pendapat yang berbeda-
beda, dimana peneliti dari AIVITA menyatakan hasil pengujiannya yang benar, dan
peneliti dari Litbangkes menyatakan hasil pengujiannya yang benar. Berdasarkan
hal tersebut, BPOM menyatakan bahwa hasil tidak dapat diterima validitasnya.
ii. Beberapa alat ukur tidak terkaliberasi dan metode pengujian tidak tervalidasi
dengan baik, sehingga akurasi hasil pengujian tidak dapat diterima.
c. Aspek Pemenuhan Good Clinical Practice (GCP)
i. Persetujuan Lolos Kaji Etik penelitian tidak dilakukan oleh Komite Etik (KE) tempat
dilakukan penelitian. Tidak ada notifikasi dan penyerahan protokol kepada KE di
RSUP Dr. Kariadi terkait penelitian ini, sehingga tidak ada kajian dari KE setempat.
Hal tersebut merupakan hal yang Kritikal karena tugas utama KE adalah
mengawasi hak dan keamanan subjek penelitian. Dalam wawancara dengan ketua
Komite Etik RSUP Dr. Kariadi, disampaikan bahwa Ketua KE melakukan
monitoring dengan melihat saat proses pengambilan informed consent, tetapi tidak
melakukan kajian dan pengawasan terhadap keamanan subjek selama penelitian
ii. Terdapat data-data keamanan yang diganti oleh peneliti dengan menghilangkan
data yang lama, sehingga tidak dapat ditelusur keaslian data dan tidak dapat
diketahui penyebab perubahan data tersebut.
iii. Terdapat inkonsistensi pencatatan data pada dokumen sumber, worksheet, dan
case report form terhadap Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang dialami oleh
subjek. Sehingga tidak dapat diketahui mana data yang benar.
iv. Terdapat subjek yang seharusnya tidak dapat direkrut karena tidak masuk dalam
kriteria inklusi (sudah memiliki antibody) tetapi diikutkan dalam penelitian, hal
tersebut tidak sesuai dengan protokol dan menyebabkan hasil tidak valid.
5. Page 5 of 7
v. Case Report Form (CRF) menggunakan sistem elektronik dengan nama Redcap
Cloud yang dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc dengan server di Amerika.
Keberadaan AIVITA Biomedical Inc tidak disinggung dalam perjanjian kerjasama
yang ada dengan Badan Litbangkes, Kemenkes RI.
vi. Beberapa tahapan proses pembuatan dan pengujian vaksin sel dendritik dilakukan
oleh AIVITA Biomedical Inc (dilaksanakan oleh tenaga dari warga negara asing).
Terkait hal tersebut, belum ada kontrak antara Aivita Biomedical dengan RSUP Dr.
Kariadi. Perjanjian kerjasama yang ada antara Badan Litbangkes dengan PT
Rama Emeralds tidak menyebutkan apa yang menjadi kewajiban dari Aivita
Biomedical Inc dalam uji klinik vaksin dendritik yang dilakukan di Indonesia dan
lingkupnya hanya untuk uji klinik fase II dan fase III. Dengan perjanjian seperti ini
membuat pihak AIVITA Biomedical merasa tidak punya kewajiban untuk bekerja
sesuai standar dan peraturan di Indonesia.
7. Pada tanggal 16 Maret 2021 dilaksanakan kegiatan Dengar Pendapat (Hearing), antara
tim peneliti dengan BPOM dan tim KOMNAS Penilai Obat. Didalam hearing, Evaluator
BPOM dan Tim KOMNAS menyampaikan beberapa pertanyaan kepada peneliti. Hasil
pertemuan :
a. Konsep dasar tentang mekanisme kerja dari vaksin sel dendritik ini belum dapat
dijelaskan, mengingat reseptor (titik tangkap) yang berbeda antara pengobatan
terhadap sel kanker dan pencegahan penyakit infeksi virus. Hal tersebut harus
dibuktikan ditingkat sel di laboratorium, kemudian di hewan coba. Berdasarkan
penjelasan yang diberikan oleh pihak AIVITA, konsep vaksin dendritik adalah untuk
membuat memori sel T yang spesifik untuk virus SARS-COV-2. Namun dalam sistem
imunologi, sel T tidak bekerja langsung dalam menghasilkan antibodi. Antibodi
dihasilkan oleh sel B, sedangkan fungsi sel T adalah meningkatkan kerja dari sel B.
Namun sel B baru dapat bekerja jika sudah diaktivasi oleh antigen yang dalam hal ini
adalah antigen virus SARS-COV-2. Sehingga pemberian vaksin sel dendritik belum
dapat bekerja sebelum ada antigen virus yang masuk kedalam tubuh dan
merangsang sel B. Konsep ini yang dilaksanakan oleh uji klinik di China, dimana
penggunaan dendritik sel yang diintroduksi antigen digunakan untuk terapi
pneumonia karena COVID- 19.
b. Data uji preklinik :
i. Respons antibodi IgG terlihat meningkat hanya pada kelompok hewan yang
diberikan kombinasi vaksin dendritik dengan GM-CSF. Hal ini menimbulkan
asumsi peningkatan antibodi pada kelompok hewan ini bukan karena vaksin
dendritik tapi karena pemberian GMCSF, namun hal ini belum dapat dipastikan
mengingat dalam studi preklinik ini tidak ada pembandingan dengan GMCSF saja.
ii. Hanya terdapat data keamanan pada organ limpa namun tidak terdapat data untuk
organ utama lainnya seperti jantung, hati, ginjal, paru dan otak. Selain itu tidak
dilakukan studi toksisitas akut yang bertujuan untuk menilai batas maksimum dosis
yang dapat ditoleransi pada hewan. Hal ini penting sekali untuk memprediksikan
dosis vaksin yang aman pada manusia.
iii. Uji non klinik hanya dilakukan pada satu jenis hewan uji (mencit) sehingga tidak
dapat diambil kesimpulan terkait keamanan dan imunogenisitas produk uji.
6. Page 6 of 7
c. Data study klinik fase 1
i. Sebanyak 20 dari 28 subjek (71.4%) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan,
meskipun dalam grade 1 dan 2.
ii. Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok
vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok
vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant. Kejadian yang Tidak
Diinginkan (KTD) yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala,
penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.
iii. Terdapat Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 pada 6 subjek dengan rincian yaitu
1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea
Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol. Kejadian yang Tidak
Diinginkan grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji
klinik yang tercantum pada protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi Tim
Peneliti saat inspeksi yang dilakukan Badan POM, tidak dilakukan penghentian
pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian
tersebut.
iv. Terdapat 3 dari 28 subjek (10.71%) yang mengalami peningkatan titer antibodi >4x
setelah 4 minggu penyuntikan. Namun, 8 dari 28 subjek (28.57%) mengalami
penurunan titer antibodi setelah 4 minggu penyuntikan dibandingkan sebelum
penyuntikan.
v. 3 subjek yang mengalami peningkatan titer antibodi >4x tersebut yaitu 2 subjek
terdapat pada kelompok vaksin dengan kadar antigen 0.33 mcg dan adjuvant 500
mcg serta 1 subjek terdapat pada kelompok vaksin dengan kadar antigen 1.0 mcg
dan adjuvant 500 mcg. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kadar titer
antibodi dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi adjuvant, bukan karena
peningkatan kadar antigen.
d. Didalam menjelaskan proses pembuatan vaksin dendritik, terlihat kelemahan-
kelemahan dalam penjaminan mutu dan keamanan pada pembuatan produk uji yang
menurut pengakuan tim peneliti memang tidak dilakukan dan akan diupayakan untuk
perbaikan.
e. Semua pertanyaan dijawab oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc, USA, dimana
dalam protokol tidak tercantum nama peneliti tersebut. Peneliti utama: Dr. Djoko
(RSPAD Gatot Subroto) dan dr. Karyana (Balitbangkes) tidak dapat menjawab
proses-proses yang berjalan karena tidak mengikuti jalannya penelitian.
f. Proses pembuatan vaksin sel dendritik dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedica
Inc, USA, meskipun dilakukan training kepada staf di RS. Kariadi tetapi pada
pelaksanaannya dilakukan oleh dari AIVITA Biomedica Inc, USA. Ada beberapa
komponen tambahan dalam sediaan vaksin yang tidak diketahui isinya dan tim dari
RS. Kariadi tidak memahami.
8. Hal-hal yang menjadi perhatian utama adalah :
a. Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini di Import dari USA
(antigen, GMCSF, medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan). Jika akan
dilakukan transfer teknologi dan dibuat di Indonesia membutuhkan waktu yang lama
mengingat sampai saat ini Industri Farmasi yang bekerjasama dengan AIVITA
Biomedica Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi, membutuhkan
waktu 2 – 5 tahun untuk mengembangkan di Indonesia. Berdasarkan penjelasan
7. Page 7 of 7
CEO AIVITA Indonesia, mereka akan mengimport obat-obatan sebelum produksi di
Indonesia.
b. Metode pembuatan dan paten dimiliki oleh AIVITA Biomedica Inc. USA, sekalipun
telah dilakukan transfer of knowledge kepada staf di RS. Kariadi, tetapi ada
beberapa hal yang masih belum dijelaskan terbuka, seperti campuran medium
sediaan vaksin yang digunakan.
c. Pelaksanaan uji klinik ini dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc. USA,
yaitu orang asing yang bekerja di Indonesia untuk meneliti menggunakan subjek
orang Indonesia, tidak dapat ditunjukkan ijin penelitian bagi peneliti asing di
Indonesia.
d. Data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam electronic case report form
menggunakan sistem elektronik dengan nama redcap cloud yang dikembangkan
oleh AIVITA Biomedical Inc dengan server di Amerika. Kerahasiaan data dan
transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian, karena tidak
ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan AIVITA Biomedical Inc. USA
9. Data interim fase 1 yang diserahkan belum cukup memberikan landasan untuk uji klinik
ini dilanjutkan ke fase 2, karena ada beberapa perhatian terhadap keamanan dari vaksin,
kemampuan vaksin dalam membentuk antibody, dan juga pembuktian mutu dari produk
vaksin dendritik yang belum memadai.
Data pengukuran antibody IgG pada studi preklinik ini menunjukkan respons antibody
yang dihasilkan tidak konsisten dengan dosis vaksin dendritik yang diberikan. Respons
antibodi IgG terlihat meningkat hanya pada kelompok hewan yang diberikan kombinasi
vaksin dendritik dengan GMCSF. Hal ini menimbulkan asumsi peningkatan antibody pada
kelompok hewan ini bukan karena vaksin dendritik tapi karena pemberian GMCSF, namun
hal ini belum dapat dipastikan mengingat dalam studi preklinik ini tidak ada pembandingan
dengan GMCSF saja.
10. Sebaiknya penelitian ini dikembangkan dahulu di pre klinik sebelum masuk ke uji klinik
untuk mendapatkan basic concept yang jelas, sehingga pada uji klinik di manusia bukan
merupakan percobaan yang belum pasti. Kegiatan penelitian pre klinik sebaiknya
dilakukan pendampingan oleh Kemenristek/BRIN, hal ini sesuai dengan hasil
kesepakatan pada RDP-DPR tanggal 10 Maret 2021.