Makalah ini membahas tentang evaluasi kinerja dan kompensasi. Pembahasan dimulai dari pengertian evaluasi kinerja, tujuan evaluasi kinerja, dan pengukuran kinerja SDM menggunakan human resources scorecard. Selanjutnya membahas tentang motivasi, kepuasan kerja, pengelolaan kecerdasan emosional, peningkatan kapabilitas, dan konsep audit kinerja.
2. 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran-kehadiran tuhan yang maha
esa, karena atas limpahan rahmatnya saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Solawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita nabi muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat
untuk sekalian alam dan membimbing umat kejalan yang lurus
3. 3
DAFTAR ISI
KATA PRNGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR
ISI.........................................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN..............................................................................................................4
LATAR
BELAKANG..........................................................................................................4
TUJUAN.................................................................................................................4
RUMUSAN
MASALAH.............................................................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................................................5
PENGERTIAN FUNGSI EVALUASI KINERJA
SDM.........................................................................................................................5
HR SCORE CARD (PENGUKURAN KINERJA SDM)...................................7
MOTIVASI DAN KEPUASAN KERJA.............................................................9
MENGELOLA POTENSI KECERDASAN EMOSIONAL
SDM.......................................................................................................................26
MEMBANGUN KAPABILITAS DAN
KOMPETENSI.....................................................................................................28
KONSEP AUDIT KINERJA DAN PELAKSANAAN AUDIT
KINERJA..............................................................................................................29
PENUTUP.........................................................................................................................34
KESIMPULAN.................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................35
4. 4
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Salah satu persoalan penting dalam pengelolaan Sumber daya manusia (dalam tulisan ini
disebut juga dengan istilah pegawai) dalam organisasi adalah menilai kinerja pegawai.
Evaluasi kinerja merupakan bagian esensial dari manajemen, khususnya manajemen sumber
daya manusia. Evaluasi kinerja pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
kadar profesionalisme karyawan serta seberapa tempat pegawai telah menjalankan fungsinya.
Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menilai dan mencari jenis perlakuan yang tepat
sehingga karyawan berkembang lebih cepat sesuai Dengan harapan. Kecepatan pegawai
dalam menjalankan fungsinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja
Organisasi secara keseluruhan. Selain itu, hasil penilaian kinerja pegawai akan memberikan
informasi penting dalam proses pengembangan Pegawai. Namun demikian, seiring terjadi,
penilaian dilakukan tidak tepat. Ke tidaktepatan ini dapat disebabkan oleh banyak faktor
beberapa faktor yang menyebabkan Ketidaktepatan penilaian kinerja Diantaranya adalah
Ketidakjelasan makna kinerja yang diimplementasikan Ketidakpahaman pegawai mengenai
kinerja yang diharapkan, Keidakakuratan instrumen penilaian kerja dan ketidakpedulian
dalam pengelolaan kinerja. Salah satu penyebab rendahnya kinerja para karyawan Indonesia
ialah evaluasi kinerja mereka tidak dilaksanakan secara sistematis dan tidak mengacu pada
kaidah-kaidah sains.
Tujuan Penulisan :
1.mengetahui pengertian efektivitaa dalam peningkatan kinerja
2.mengetahui kecerdasan emosional dan spiritual
3.mengetahui pengertian motivasi dan kepuasan kerja
4.mengetahui pengertian evaluasi kinerja
5.pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dalam meningkatkan kinerja
pegawai
Rumusan masalah :
1.Apa di maksud dengan evaluasi kinerja
2.Bagaimana pengertian motivasi dan kepuasan kerja
3. Bagaimana perkembangan audit kinerja
4.Pengaruh kecerdasan emosional
5. 5
PEMBAHASAN
2. PENGERTIAN FUNGSI EVALUASI KINERJA
Pengertian Evaluasi/Penilaian kinerja
Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Leon C.
Menggison (1981:310) dalam Mangkunegara (2000:69) adalah sebagai berikut: ”penilaian
prestasi kerja (Performance Appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk
menentukkan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan
tanggng jawabnya”. Selanjutnya Andrew E. Sikula (1981:2005) yang dikutip oleh
Mangkunegara (2000:69) mengemukakan bahwa ”penilaian pegawai merupakan evaluasi
yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian
dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang
ataupun sesuatu (barang)”. Selanjutnya Menurut Siswanto (2001:35) penilaian kinerja adalah:
”suatu kegiatan yang dilakukan oleh Manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja
tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian / deskripsi
pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun.” Anderson dan Clancy
(1991) sendiri mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “Feedback from the accountant to
management that provides information about how well the actions represent the plans; it also
identifies where managers may need to make corrections or adjustments in future planning
andcontrolling activities” sedangkan Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997)
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “the activity of measuring the performance of an
activity or the value chain”. Dari kedua definisi terakhir Mangkunegara (2005:47)
menyimpulkan bahwa pengukuran atau penilaian kinerja adalah tindakan pengukuran yang
dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada peruisahaan. Hasil
pengukuran tersebut digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang
prestasi, pelaksanaan suatu rencana dan apa yang diperlukan perusahaan dalam penyesuaian-
penyesuaian dan pengendalian.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja adalah
penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan
kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara
tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat
melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk
menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.
Tujuan Penilaian/Evaluasi Kinerja
Tujuan evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi
melalui peningkatan kinerja dari SDM organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari evaluasi
kinerja sebagaimana dikemukakan Sunyoto (1999:1) yang dikutip oleh Mangkunegara
(2005:10) adalah:
1. Meningkatkan Saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi
untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan
prestasi yang terdahulu.
3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau pekerjaan yang di
embannya sekarang.
6. 6
4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan
termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan
pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada
hal-hal yang perlu diubah.
Kegiatan penilaian kinerja sendiri dimaksudkan untuk mengukur kinerja masing-masing
tenaga kerja dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas kerja, sehingga dapat
diambil tindakan yang efektif semisal pembinaan berkelanjutan maupun tindakan koreksi
atau perbaikan atas pekerjaan yang dirasa kurang sesuai dengan deskripsi pekerjaan.
Penilaian kinerja terhadap tenaga kerja biasanya dilakukan oleh pihak manajemen atau
pegawai yang berwenang untuk memberikan penilaian terhadap tenaga kerja yang
bersangkutan dan biasanya merupakan atasan langsung secara hierarkis atau juga bisa dari
pihak lain yang diberikan wewenang atau ditunjuk langsung untuk memberikan penilaian.
Hasil penilaian kinerja tersebut disampaikan kepada pihak manajemen tenaga kerja untuk
mendapatkan kajian dalam rangka keperluan selanjutnya, baik yang berhubungan dengan
pribadi tenaga kerja yang bersangkutan maupun yang berhubungan dengan perusahaan.
Dalam melakukan penilaian kinerja terhadap seorang tenaga kerja, pihak yang berwenang
dalam memberikan penilaian seringkali menghadapi dua alternatif pilihan yang harus
diambil: pertama, dengan cara memberikan penilaian kinerja berdasarkan deskripsi pekerjaan
yang telah ditetapkan sebelumnya; kedua, dengan cara menilai kinerja berdasarkan harapan-
harapan pribadinya mengenai pekerjaan tersebut. Kedua alternatif diatas seringkali
membingungkan pihak yang berwenang dalam memberikan penilaian karena besarnya
kesenjangan yang ada diantara kedua alternatif tersebut sehingga besar kemungkinan hanya
satu pilihan alternatif yang bisa dipergunakan oleh pihak yang berwenang dalam melakukan
penilaianPenentuan pilihan yang sederhana adalah menilai kinerja yang dihasilkan tenaga
kerja berdasarkan deskripsi pekerjaan yang telah ditetapkan pada saat melaksanakan kegiatan
analisis pekerjaan. Meskipun kenyataannya, cara ini jarang diperoleh kepastian antara
pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh seorang tenaga kerja dengan deskripsi pekerjaan yang
telah ditetapkan. Karena seringkali deskripsi pekerjaan yang etrtulis dalam perusahaan
kurang mencerminkan karakteristik seluruh persoalan yang ada.
Kebiasaan yang sering dialami tenaga kerja adalah meskipun penilaian kinerja telah selesai
dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam melakukan penilaian, tenaga kerja yang
bersangkutan tetap kurang mengetahui seberapa jauh mereka telah memenuhi apa yang
mereka harapkan. Seluruh proses tersebut (penilaian kinerja) analisis dan perencanaan
diliputi oleh kondisi yang tidak realistis semisal permaian, improvisasi, dan sebagainya. Jalan
yang lebih berat bagi pihak yang berwenang dalam melakukan penilaian adalah menentukan
hal-hal yang sebenarnya diharapkan tenaga kerja dalam pekerjaan saat itu.
Cara menghindarkan hal tersebut biasa dilakukan manajemen adalah dengan cara
menanyakan pada masing-masing tenaga kerja untuk merumuskan pekerjaanya. Meskipun
cara ini sebenarnya agak bertentangan dengan literatur ketenaga kerjaan yang ada. Dengan
alasan para tenaga kerja cenderung merumuskan pekerjaan mereka dalam arti apa yang telah
mereka kerjakan, bukannya apa yang diperlukan oleh perusahaan. Hal ini bukan berarti
tenaga kerja tidak memiliki hak suara dalam merumuskan deskripsi pekerjaan mereka.
Mereka juga membantu merumuskan pekerjaan secara konstruktif, karena kesalahan bukan
karena tenaga kerja tidak diminta untuk membantu merumuskan pekerjaan, tetapi karena
seluruh beban pekerjaan dilimpahkan diatas pundak mereka.
7. 7
3. HR SCORE CARD (PENGUKURAN KINERJA SDM)
Human Resources Scorecard adalah suatu alat untuk mengukur dan mengelola
kontribusi stategik dari peran human resources dalam menciptakan nilai untuk mencapai
strategi perusahaan.
Menurut Brian E. Becker, Mark A Huselid & Dave Ulrich (2009,pxii) human resource
scorecard adalah kapasitas untuk merancang dan menerapkan sistem pengukuran SDM yang
strategis dengan merepresentasikan “alat pengungkit yang penting” yang digunakan
perusahaan untuk merancang dan mengerahkan strategi SDM yang lebih efektif secara
cermat.
Menurut Gary Desler (2006,p16) human resource scorecard adalah mengukur keefektifan
dan efisiensi fungsi human resource dalam membentuk perilaku karyawan yang dibutuhkan
untuk mecapai tujuan strategis perusahaan.
Menurut Nurman (2008,p1) human resources scorecard adalah suatu alat untuk mengukur
dan mengelola kontribusi strategic dari peran human resources dalam menciptakan nilai
untuk mencapai strategi perusahaan.
Menurut Riana Sitawati, Sodikin Manaf, & Endah Winarti (2009,p5) human resource
scorecard adalah pendekatan yang digunakan dengan sedikit memodifikasi dari model
balance scorecard awal yang saat ini paling umum digunakan pada tingkat korporasi yang di
fokuskan pada strategi jangka panjang dan koneksi yang jelas pada hasil bisnisnya.
Menurut Surya Dharma dan Yuanita Sunatrio (2001,p1) human resource scorecard
adalahpengukuran terhadap strategi SDM dalam menciptakan nilai – nilai (value creation)
dalam suatu organisasi yang sangat di dominasi oleh “human capital” dan modal intangible
lainnya.
Menurut Uwe Eigenmann (2005,p32) human resource scorecard adalah secara khusus
dirancang untuk menanamkan sistem sumber daya manusia dalam strategi keseluruhan
perusahaan dan mengelola SDM arsitektur sebagai aset strategis. Scorecard sumber daya
manusia tidak menggantikan balanced scorecard tradisional tetapi melengkapi itu.
Perbedaan antara human resources scorecard dengan balanced scorecard
adalah bahwa balance scorecard lebih mengukur kinerja perusahaan berupa tangible
assets sedangkan human resources scorecard lebih mengukur kinerja sumber daya manusia
perusahaan yang berupa intangible assets.
Human resources scorecard adalah suatu sistem pengukuran sumber daya manusia
yang mengaitkan orang – strategi – kinerja untuk menghasilkan perusahaan yang unggul.
Human resources scorecard menjabarkan misi, visi, strategi menjadi aksi human resources
yang dapat di ukur kontribusinya. Human resources scorecard menjabarkan sesuatu yang
tidak berwujud/intangible (leading/sebab) menjadi berwujud/tangible (lagging/akibat).
Human resources scorecard merupakan suatu sistem pengukuran yang mengaitkan sumber
daya manusia dengan strategi dan kinerja organisasi yang akhirnya akan mampu
menimbulkan kesadaran mengenai konsekuensi keputusan investasi sumber daya manusia,
sehingga investasi tersebut dapat dilakukan secara tepat arah dan tepat jumlah. Selain itu,
human resources scorecard dapat menjadi alat bantu bagi manajer sumber daya manusia
untuk memastikan bahwa semua keputusan sumber daya manusia mendukung atau
mempunyai kontribusi langsung pada implementasi strategi usaha.
8. 8
Berdasarkan kesimpulan diatas pengertian HR Scorecard adalah suatu sistem pengukuran
pada kontribusi departemen sumber daya manusia sebagai aset untuk menciptakan nilai –
nilai bagi suatu organisasi.
HR Scorecard Sebagai Model Pengukuran Kinerja Sumber Daya Manusia
Human resources scorecard mengukur keefektifan dan efisiensi fungsi sumber daya manusia
dalam mengerahkan perilaku karyawan untuk mencapai tujuan strategis perusahaan sehingga
dapat membantu menunjukan bagaimana sumber daya manusia memberikan kontribusi dalam
kesuksesan keuangan dan strategi perusahaan. Human Resources Scorecard merupakan
bagian dari perusahaan. Human resources scorecard ibarat sebuah bangunan, yang menjadi
bagian dari apa yang kita turunkan dari strategi perusahaan.
Menurut Becker et al. (2001), dasar dari peran sumber daya manusia yang strategis terdiri
dari tiga dimensi rantai nilai (value chain) yang dikembangkan oleh arsitektur sumber daya
manusia perusahaan
4. MOTIVASI DAN KEPUASAN KERJA
a. Pengertian motivasi kinerja
Motivasi menurut Luthans (1992) berasal dari kata latin movere, artinya “bergerak”.
Motivasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya kekurang psikologis atau
kebutuhan yang menimbulkan suatu dorongan dengan maksud mencapai suatu tujuan atau
insentif. Pengertian proses motivasi ini dapat difahami melalui hubungan antara kebutuhan,
dorongan dan insentif (tujuan).
Motivasi di dalam dunia kerja adalah sesuatu yang dapat menimbulkan semangat atau
dorongan kerja. Menurut As’ad (2004) motivasi kerja dalam psikologi karya biasa disebut
pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi seseorang tenaga kerja ikut
menentukan besar kecilnya prestasinya.
Menurut Munandar (2001) motivasi kerja memiliki hubungan dengan prestasi kerja.
Prestasi kerja adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan dan peluang.
9. 9
Bila motivasi kerja rendah, maka prestasi kerja akan rendah meskipun
kemampuannya ada dan baik, serta memiliki peluang.
Motivasi kerja seseorang dapat bersifat proaktif atau reaktif. Pada motivasi kerja yang
proaktif seseorang akan berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuannya sesuai dengan
yang dituntut oleh pekerjaannya atau akan berusaha untuk mencari, menemukan atau
menciptakan peluang di mana ia akan menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk
dapat berprestasi yang tinggi. Sebaliknya, motivasi kerja yang bersifat reaktif, cenderung
menunggu upaya atau tawaran dari lingkungannya.
Motivasi kerja merupakan pemberian dorongan. Pemberian dorongan ini
dimaksudkan untuk mengingatkan orang-orang atau karyawan agar mereka bersemangat dan
dapat mencapai hasil sesuai dengan tuntutan perusahaan. Oleh karena itu seorang manajer
dituntut pengenalan atau pemahaman akan sifat dan karateristik karyawannya, suatu
kebutuhan yang dilandasi oleh motif dengan penguasaan manajer terhadap perilaku dan
tindakan yang dibatasi oleh motif, maka manajer dapat mempengaruhi bawahannya untuk
bertindak sesuai dengan keinginan organisasi.
Menurut Martoyo (2000) motivasi kinerja adalah sesuatu yang menimbulkan
dorongan atau semangat kerja. Menurut Gitosudarmo dan Mulyono (1999) motivasi adalah
suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan
tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku
seseorang. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia pasti memiliki sesuatu
faktor yang mendorong perbuatan tersebut. Motivasi atau dorongan untuk bekerja ini sangat
penting bagi tinggi rendahnya produktivitas perusahaan. Tanpa adanya motivasi dari para
karyawan atau pekerja untuk bekerja sama bagi kepentingan perusahaan maka tujuan yang
telah ditetapkan tidak akan tercapai. Sebaliknya apabila terdapat motivasi yang besar dari
para karyawan maka hal tersebut merupakan suatu jaminan atas keberhasilan perusahaan
dalam mencapai tujuannya.
Motivasi atau dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja bersama demi
tercapainya tujuan bersama ini terdapat dua macam, yaitu:
1. Motivasi finansial, yaitu dorongan yang dilakukan dengan memberikan imbalan finansial
kepada karyawan. Imbalan tersebut sering disebut insentif.
2. Motivasi nonfinansial, yaitu dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk finansial/ uang,
akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian, penghargaan, pendekatan manusia dan lain
sebagainya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang
mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan kekuatan
yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi
ketidak seimbangan.
Teori motivasi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu teori kepuasan (content
theory) dan teori proses (process theory). Teori ini dikenal dengan nama konsep Higiene,
yang mana cakupannya adalah:
1. Isi Pekerjaan, Hal ini berkaitan langsung dengan sifat-sifat dari suatu pekerjaan yang
dimiliki oleh tenaga kerja yang isinya meliputi: Prestasi, upaya dari pekerjaan atau karyawan
sebagai aset jangka panjang dalam menghasilkan sesuatu yang positif di dalam pekerjaannya,
pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, pengembangan potensi individu.
10. 10
2. Faktor Higienis, suatu motivasi yang dapat diwujudkan seperti halnya : gaji dan upah,
kondisi kerja, kebijakan dan administrasi perusahaan, hubungan antara pribadi, kualitas
supervisi.
Pada teori tersebut bahwa perencanaan pekerjaan bagi karyawan haruslah
menunjukkan keseimbangan antara dua faktor.
B. TEORI-TEORI MOTIVASI
Teori motivasi bervariasi, yaitu menurut isi motivasi dan proses motivasi. Teori yang
berhubungan dengan pengidentifikasian isi motivasi berkaitan dengan apa yang memotivasi
tenaga kerja. Sedangkan teori proses lebih berkaitan dengan bagaimana proses motivasi
berlangsung. Sehingga dalam modul 2 ini akan dibahas delapan teori motivasi, empat teori
dari teori motivasi isi, yaitu: teori tata tingkat-kebutuhan, teori eksistensi-relasi-pertumbuhan,
teori dua faktor, teori motivasi berprestasi, dan empat teori motivasi proses, yaitu: teori
penguatan, teori tujuan, teori expectacy, dan teoriequity. Kedelapan teori ini akan
memberikan kontribusi tentang motivasi kerja.
1. Teori Motivasi Isi
a. Teori Tata Tingkat-Kebutuhan
Setiap individu memiliki needs (kebutuhan, dorongan intrinsic dan ekstrinsic factor),
yang pemunculannya sangat terkait dengan dengan kepentingan individu. Dengan kenyataan
ini, kemudian Maslow membuat “need hierarchy theory” untuk menjawab tentang tingkatan
kebutuhan manusia. Bagitu juga individu sebagai karyawan tidak bisa melepaskan diri dari
kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan manusia dapat digolongkan dalam lima tingkatan
sebagai berikut:
1) Physiological needs (kebutuhan bersifat biologis). Merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mendasar. Contohnya: kita memerlukan makan, air, dan udara untuk hidup. Kebutuhan ini
merupakan kebutuhan yang sangat primer, karena kebutuhan ini telah ada sejak lahir. Jika
kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
2) Safety needs (kebutuhan rasa aman). Merupakan kebutuhan untuk merasa aman baik secara
fisik maupun psikologis dari gangguan. Apabila kebutuhan ini diterapkan dalam dunia kerja
maka individu membutuhkan keamanan jiwanya ketika bekerja.
3) Social needs (kebutuhan-kebutuhan sosial). Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial,
sehingga mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan sosial, sehingga mereka mempunyai
kebutuhan-kebutuhan sosial sebagai berikut:
Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di mana ia hidup dan bekerja
Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting
Kebutuhan untuk dapat berprestasi
Kebutuhan untuk ikut serta (sense of participation)
4) Esteem needs (kebutuhan akan harga diri). Penghargaan meliputi faktor internal, sebagai
contoh, harga diri, kepercayaan diri, otonomi, dan prestasi; dan faktor eksternal, sebagai
contoh, status, pengakuan, dan perhatian. Dalam dunia kerja, kebutuhan harga diri dapat
terungkap dalam keinginan untuk dipuji dan keinginan untuk diakui prestasi kerjanya.
Keinginan untuk didengar dan dihargai pandangannya.
11. 11
5) Self Actualization. Kebutuhan akan aktualisasi diri, termasuk kemampuan berkembang,
kemampuan mencapai sesuatu, kemampuan mencukupi diri sendiri. pada tingkatan ini,
contohnya karyawan cenderung untuk selalu mengembangkan diri dan berbuat yang terbaik.
Maslow memisahkan kelima kebutuhan sebagai tingkat tinggi dan tingkat rendah.
Kebutuhan tingkat rendah, kebutuhan yang harus dipuaskan pertama kali adalah kebutuhan
fisiologi. Kemudian kebutuhan itu diikuti oleh kebutuhan keamanan, sosial dan kebutuhan
penghargaan. Di puncak dari hirarki adalah kebutuhan akan pemenuhan diri sendiri. Setiap
kebutuhan dalam tata tingkat tersebut harus dipuaskan menurut tingkatannya. Ketika
kebutuhan telah terpuaskan, maka kebutuhan berhenti memotivasi perilaku, dan kebutuhan
berikutnya dalam hirarki selanjutnya akan mulai memotivasi perilaku. Dalam dunia kerja,
orang sewaktu kerja melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan paling rendah yang belum
terpuaskan.
b. Teori Eksistensi-Relasi-Pertumbuhan
Teori ERG adalah siangkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth needs, yang
dikembangkan oleh Alderfer, yang merupakan suatu modifikasi dan reformulasi dari teori
tata tingkat kebutuhan dari Maslow.
Alderfer berargumen bahwa ada tiga kelompok kebutuhan inti, yaitu:
1) Kebutuhan eksistensi (existence needs), merupakan kebutuhan akan substansi material,
seperti keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil.
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan fisiological dan rasa aman dari Maslow.
2) Kebutuhan hubungan (relatedness needs), merupakan kebutuhan untuk memelihara
hubungan antarpribadi yang penting. Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara
terbuka dengan orang lain yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempunyai
hubungan yang bermakna dengan keluarga, teman dan rekan kerja. Kebutuhan ini mencakup
kebutuhan sosial dan dan bagian eksternal dari esteem(penghargaan) dari Maslow.
3) Kebutuhan pertumbuhan (growth needs), merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki
seseorang untuk mengembangkan kecakapan mereka secara penuh. Selain kebutuhan
aktualisasi, juga termasuk bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri Maslow.
Teori ERG mengandung suatu dimensi frustasi-regresi. Dalam teori ERG, dinyatakan
bahwa apabila suatu tingkat kebutuhan dari urutan tertinggi terhalang, akan terjadi hasrat
individu untuk meningkatkan kebutuhan tingkat lebih rendah. Sebagai contoh,
ketidakmampuan memuaskan suatu kebutuhan akan interaksi sosial, akan meningkatkan
keinginan untuk memiliki banyak uang atau kondisi yang lebih baik. Jadi frustasi (halangan)
dapat mendorong pada suatu kemunduran yang lebih rendah.
c. Teori Dua Faktor
Penelitian Herzberg menghasilkan dua kesimpulan khusus mengenai teori tersebut
yaitu:
1) Serangkaian kondisi ekstrinsik, yaitu kondisi kerja ekstrinsik seperti upah dan kondisi
kerja tersebut bersifat ekstren tehadap pekerjaan sepeti: jaminan status, prosedur, perusahaan,
mutu supervisi dan mutu hubungan antara pribadi diantara rekan kerja, atasan dengan
bawahan.
2) Serangkaian kondisi intrinsik, yaitu kondisi kerja intrinsik seperti tantangan pekerjaan atau
rasa berprestasi, melakukan pekerjaan yang baik, terbentuk dalam pekerjaan itu sendiri.
Faktor-faktor dari rangkaian kondisi intrinsik dsebut pemuas atau motivator yang meliputi:
12. 12
prestasi (achivement), pengakuan (recognation), tanggung jawab (responsibility), kemajuan
(advencement), dan kemungkinan berkembang (the possibility of growth).
Herzberg (dalam Kreitner & Kinicki, 2004) membedakan dua faktor yang
mempengaruhi motivasi para pekerja dengan cara yang berbeda, faktor motivator dan faktor
hygiene. Faktor motivasi mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi pekerjaan, yang
merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan, yaitu: tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu
sendiri, pencapaian prestasi, dan pengakuan. Herzberg menyatakan ini sebagai faktor
motivator. Dinamakan sebagai faktor motivator, karena masing-masing diasosiasikan dengan
usaha yang keras dan kinerja yang bagus. Motivator menyebabkan seseorang
bergerak (move) dari keadaan tidak puas kepada kepuasan. Oleh karena itu Herzberg
memprediksikan bahwa manajer dapat memotivasi individu dengan memasukkan motivator
ke dalam pekerjaan individu.
Ketidakpuasan kerja terutama diasosiasikan dengan faktor-faktor di dalam keadaan atau
lingkungan pekerjaan. Yaitu berupa: aturan-aturan administrasi dan kebijaksanaan
perusahaan, supervisi, hubungan antar pribadi, kondisi kerja, gaji dan sebagainya. faktor-
faktor ini dinamakan dengan faktor hygien. Manajer yang ingin menghilangkan faktor-faktor
ketidakpuasan kerja lebih baik menempuh cara dengan menciptakan ketentraman kerja.
Jadi, menurut teori ini, perbaikan salary dan working conditions tidak akan enimbulkan
kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidak puasan. Selanjutnya dikatakan oleh Herzberg,
bahwa yang bisa memacu orang untuk bekerja dengan baik dan bergairah (motivator)
hanyalah kelompok satisfiers. Untuk satisfiers ini kadang-kadang diberi nama lain
sebagai intrinsic factor, job content, dan motivator. Sedangkan sebutan lain yang sering
digunakan untuk dissatisfiers ialah extrinsic factor, cob context dan danhygiene factor .
Kunci untuk memahami teori motivator-hygien adalah memahami bahwa lawan
“kepuasan” bukan “ketidakpuasan”. Lawan kepuasan adalah “tidak ada kepuasan”. Dan
lawan ketidakpuasan adalah “tidak ada ketidakpuasan”.
d. Teori Motivasi Berprestasi
Menurut David McClelland (dalam Anoraga & Suyati, 1995) ada tiga macam motif
atau kebutuhan yang relevan dengan situasi kerja, yaitu:
1) The need for achievement (nAch), yaitu kebutuhan untuk berprestasi, untuk mencapai sukses.
2) The need for power (nPow), kebutuhan untuk dapat memerintah orang lain.
3) The need for affiliation (nAff), kebutuhan akan kawan, hubungan akrab antar pribadi.
Menurut Mc Clelland (dalam As’ad, 2004) ketiga kebutuhan tersebut munculnya
sangat dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik. Apabila individu tersebut tingkah
lakunya didorong oleh tiga kebutuhan maka tingkah lakunya akan menampakkan ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan berprestasi yang tinggi akan nampak
sebagai berikut:
Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara yang baru dan kreatif
Mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya
Memilih resiko yang moderat (sedang) di dalm perbuatannya. Dengan Memilih resiko
yang sedang berarti masih ada peluang untuk berprestasi yang lebih tinggi
Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya
2) Tingkah laku individu yang didorong oleh untuk berkuasa yang tinggi akan nampak sebagai
berikut:
Berusaha menolong orang lain walaupun pertolongan itu tidak diminta
13. 13
Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan dari organisasi di mana ia berada
Mengumpulkan barang-barang atau menjadi anggota suatu perkumpulan yang dapat
mencerminkan prestise
Sangat peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organisasi
3) Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan untuk bersahabat akan nampak sebagai
berikut:
Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya, daripada
segi tugas-tugas yang ada pada pekerjaan itu
Melakukan pekerjaannya lebih efektif apabila bekerjasama bersama orang lain dalam
suasana yang lebih kooperatif
Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain
Lebih suka dengan orang lain daripada sendiri
Karyawan yang memiliki nAch tinggi lebih senang menghadapi tantangan untuk
berprestasi dari pada imbalannya. Perilaku diarahkan ke tujuan dengan kesukaran menengah.
Karyawan yang memiliki nPow tinggi, punya semangat kompetisi lebih pada jabatan dari
pada prestasi. Ia adalah tipe seorang yang senang apabila diberi jabatan yang dapat
memerintah orang lain. Sedangkan pada karyawan yang memiliki nAff tinggi, kurang
kompetitif. Mereka lebih senang berkawan, kooperatif dan hubungan antar personal yang
akrab. Kebutuhan-kebutuhan yang bervariasi ini akan muncul sangat dipengaruhi oleh situasi
yang sangat spesifik.
2. Teori Motivasi Proses
a.Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori penguatan menggunakan pendekatan tingkah laku. Penganut teori ini
memandang tingkah laku sebagai akibat atau dipengaruhi lingkungan. Keadaan lingkungan
yang terus berulang akan mengendalikan tingkah laku. Jewell dan Siegall (1998)
menjelaskan lebih lanjut model dari penguatan, yaitu melalui tiga prinsip:
1) Orang tetap melakukan hal-hal yang mempunyai hasil yang memberikan penghargaan
2) Orang menghindari melakukan hal-hal yang mempunyai hasil yang memberikan hukuman
3) Orang akhirnya akan berhenti melakukan hal-hal yang tidak mempunyai hasil yang
memberikan penghargaan ataupun hukuman.
b. Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Locke (dalam Berry, 1998). Locke berpendapat bahwa
maksud-maksud untuk bekerja kearah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi
kerja. Artinya, tujuan memberitahukan karyawan apa yang perlu dikerjakan dan betapa
banyak upaya akan dihabiskan.
Lebih tepatnya teori penetapan tujuan mengenal bahwa tujuan yang khusus dan sulit
menghantar kepada kinerja yang lebih tinggi. Menurut Berry (1998) lima komponen dasar
tujuan untuk meningkatkan tingkat motivasi karyawan, yaitu: (1) tujuan harus jelas (misalnya
jumlah unit yang harus diselesaikan dalam satu jam), (2) tujuan harus mempunyai tingkat
kesulitan menengah sampai tinggi, (3) karyawan harus menerima tujuan itu, (4) karyawan
harus menerima umpan balik mengenai kemajuannya dalam usaha mencapai tujuan tersebut,
14. 14
(5) tujuan yang ditentukan secara partisipasif lebih baik dari pada tujuan yang ditentukan
begitu saja.
c. Teori Harapan (Expectancy Theory)
Pertama kali dikemukakan oleh Heider (dalam As’ad, 2004).
Pendekatan teori harapan mengenai performance kerja dirumuskan sebagai berikut:
P=MxA
P = performance, M = motivation dan A = ability. Konsep ini akhirnya sangat populer
sehingga rumusan kognitif sudah banyak sekali variasinya. Di antara berbagai variasi terdapat
beberapa model yang dapat Kita kaji diantaranya:
1) Model Vroomian
Model harapan dari Vroom tentang motivasi dan ability. Menurut model
iniPerformance kerja seseorang (p) merupakan fungsi dari interaksi perkalian antara motivasi
(M) dan ability (kecapakan= K). Sehingga rumusannya adalah:
P=f(MxK)
Perkalian di atas memiliki makna bahwa jika seseorang rendah pada salah komponennya
maka prestasi kerjanya pasti akan rendah. Dengan kata lain apabila performance
kerja(prestasi kerja) seseorang rendah, maka ini dapat merupakan hasil dari motivasi yang
rendah pula, atau kemampuannya tidak baik, atau hasil kedua komponen (motivasi) dan
(kemampuan) yang rendah.
M=( V xI xE)
Untuk dapat mengetahui tinggi rendahnya suatu motivasi dari karyawan Vroom
(dalam Berry, 1998) menentukan perkalian ketiga komponen sebagai berikut:
Expectancy (E = harapan) adalah pengharapan keberhasilan pada suatu
tugas.Instrumentality (I = alat) dan Valence (V = nilai-nilai) adalah respon terhadap outcome,
seperti perasaan positif, netral dan negatif.
Dengan bekerja maka setiap orang akan merasakan akibat-akibatnya. Setiap orang
memiliki sasaran-sasaran pribadi yang ia harapkan dapat ia capai sebagai akibat dari prestasi
kerja yang ia berikan. Akibat-akibat ini jelas akan memiliki nilai (valence) yang berbeda-
beda bagi setiap individu, di mana nilainya bisa positif maupun negatif.
Perusahaan sebagai suatu organizational behavior mempunyai harapan-harapan
terhadap produktivitas setiap tenaga kerjanya, misalnya mengharapkan prestasi kerja yang
optimal. Apabila seorang tenaga kerja dapat berprestasi kerja sesuai dnegan yang diharapkan
oleh perusahaan, seberapa jauh sasaran pribadi karyawan tersebut dapat dipenuhi? Dengan
kata lain, sejauh mana atau sebesar bagaimanakan dapat diharapkan oleh tenaga kerja bahwa
prestasinya akan memberikan akibat-akibat yang diharapkan. Dalam hal ini kemungkinan
tercapainya sasaran-sasaran pribadi satu persatu melalui tercapainya produktivitas yang
diharapkan oleh perusahaan ini, dinamakan oleh Vroom sebagai instrumentality
Jika misalnya prestasi kerja yang tinggi merupakan outputnya seseorang tenaga kerja,
sejauh mana kemungkinan yang dirasakan oleh tenaga kerja bahwa tenaga yang akan
diberikan dan usaha yang akan dilakukan dapat membuahkan prestasi kerja sesuai dengan
yang diharapkan oleh perusahaan dari dia?
Jika sesorang karyawan memiliki harapan dapat berprestasi tinggi, dan jika ia
menduga bahwa dengan tercapainya prestasi yang tinggi ia akan merasakan akibat-akibat
yang ia harapkan, maka ia akan memiliki motivasi yang tinggi untuk bekerja. Sebaliknya jika
15. 15
karyawan merasa yakin bahwa ia tidak dapat mencapai prestasi kerja sesuai dengan yang
diharapkan perusahaan daripadanya maka ia akan kurang motivasinya untuk bekerja.
Lebih lanjut Berry (1998) menjelaskan bahwa karyawan akan memiliki motivasi yang
tinggi, apabila usaha mereka menghasilkan sesuatu melebihi dari apa yang diharapkan.
Sebaliknya, motivasi akan rendah, apabila usaha yang dihasilkan kurang dari apa yang
diharapkan.
2) Model Lawler dan Porter
Lawler dan Porter dalam menjelaskan motivasi berdasarkan ketiga komponen sebagai
berikut:
Performance = effort x ability x role perception
Performance merupakan hasil interaksi perkalian dari effort, ability dan role
perception. Effort adalah banyaknya energi yang dikeluarkan karyawan dalam situasi
tertentu. Ability adalah karakteristik individual seperti intelegensi, manual skill, traitsyang
merupakan kekuatan potensial seseorang untuk berbuat dan sifatnya relatif stabil.
Sedangkan role perception adalah kesesuaian antara effort yang dilakukan seseorang dengan
pandangan evaluator atau atasan langsung tentang job requirementnya. Dalam model Lawler
dan Porter diketahui bahwa performance merupakan hasil interaksi perkalian
antara effort (motivasi), ability dan role perception.
Dengan demikian berdasarkan hasil uraian kedua teori di atas dapat disimpulkan
bahwa pengharapan atas prestasi kerja akan menentukan motivasi karyawan.
d. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori keadilan dari Adam menunjukkan bagaimana upah dapat memotivasi. Individu
dalam dunia kerja akan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Apabila terdapat
ketidakwajaran akan mempengaruhi tingkat usahanya untuk bekerja dengan baik. Ia membuat
perbandingan sosial dengan orang lain dalam pekerjaan yang dapat menyebabkan mereka
merasa dibayar wajar atau tidak wajar. Perasaan ketidakadilan mengakibatkan perubahan
kinerja. Menurut Adam, bahwa keadaan tegangan negatif akan memberikan motivasi untuk
melakukan sesuatu dalam mengoreksinya.
Teori keadilan mempunyai empat asumsi dasar sebagai berikut:
1) Orang berusaha menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi keadilan
2) Jika dirasakan adanya kondisi ketidakadilan, kondisi ini menimbulkan ketegangan yang
memotivasi orang untuk menguranginya atau menghilangkannya
3) Makin besar persepsi ketidakadilannya, makin besar memotivasinya untuk bertindak
mengurangi kondisi ketegangan itu.
4) Orang akan mempersepsikan ketidak yang tidak menyenangkan (misalnya menerima gaji
yang terlalu sedikit) lebih cepat daripada ketidakadilan yang menyenangkan (misalnya,
mendapat gaji yang terlalu besar)
Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung
apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity
dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan
orang lain yang sekelas, sekantor maupun tempat lain.
Menurut teori ini elemen-elemen dari teori equity ada tiga, yaitu: input, out comes,
comparison person, dan equity – inequity. Input; yaitu berbagai hal yang dibawa dalam kerja
seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan. Input dengan demikian berarti segala sesuatu
16. 16
yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap
pekerjaan. Output; yaitu apa yang diperoleh dari kerja seperti gaji, fasilitas, jabatan. Output
berarti segala sesuatu yang berharga , yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari
pekerjaannya. Dan comparison person; orang lain sebagai tempat pembanding, sebagai
contoh, karyawan dengan pendidikan sama, jabatan sama tetapi gaji yang diterima berbeda.
Comparison persons bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau
bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau.
Individu atau karyawan akan merasa adil atau puas apabila A = B seimbang.
Sedangkan individu akan merasa tidak adil jika A > B, di mana salah satu untung. Sebagai
contoh, sekretaris seorang kepala bagian merasa bahwa berdasarkan kesibukannya sehari-hari
ia bekerja jauh lebih keras (sampai harus lembur) daripada sekretaris dari kepala bagian lain,
sehingga mengharapkan hasil-keluaran (gaji) yang lebih besar dari rekannya. Ia akan merasa
tidak adil jika ternyata gaji yang ia terima sama besarnya dengan gaji yang diterima oleh
rekannya.
Menurut Howell & Dipboye (dalam Munandar, 2001) jika terjadi persepsi tentang
ketidakadilan, menurut teori keadilan orang akan dapat melakukan tindakan-tindakan berikut:
1) Bertindak mengubah masukannya, menambah atau mengurangi upayanya untuk bekerja
2) Bertindak untuk mengubah hasil-keluarannya, ditingkatkan atau diturunkan
3) Menggeliat/merusak secara kognitif masukan dan hasil-keluarannya sendiri,mengubah
persepsinya tentang perbandingan masukan dan hasil keluarannya sendiri
4) Bertindak terhadap orang lain untuk mengubah masukan dan/atau hasil keluarannya
5) Secara fisik meninggalkan situasi, keluar dari pekerjaan
6) Berhenti membandingkan masukan dan hasil keluaran dengan orang lain dan mengganti
dengan acuan lain atau mencari orang lain untuk dibandingkan
C. KEPUASAN KERJA DALAM ORGANISASI
1. Tinjauan Teoritis tentang Kepuasan Kerja
Pada kesempatan ini dikemukan beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian
kepuasan kerja diantaranya apa yang dikemukakan Robbins (2001) bahwa kepuasan kerja
adalah sikap suatu umum terhadap suau pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya
ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya
mereka terima. Pendapat lain bahwa kepuasaan kerja merupakan suatu sikap yang dimiliki
oleh para individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka (Winardi.1992). juga
pendapat Siagian (1999) bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seorang yang
bersifat positif maupun negatif tentang pekerjaannya. Pendapat lain bahwa kepuasan kerja
yaitu keadaan emosional yang meyenangkan dan yang tidak menyenangkan dengan mana
para pegawai memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja ini mencerminkan perasaan
seseorang terhadap pekerjaannya (Handoko.2000). selain itu pendapat Indrawidjaja (2000)
bahwa kepuasan kerja secara umum menyangkut sika seseorang mengenai pekerjaannya.
Karena menyangkut sikap, maka pengertian kepuasan kerja menyangkut berbagai hal seperti
kognisi, emosi dan kecendrungan perilaku seseorang.
Apa yang menetukan kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan oleh Robbins(2001)
adalah Pertama Kerja yang secara mental menantang pegawai yang cenderung menyukai
pekerjaan yang memberikan kesempatan menggunakan ketrampilan dan kemampuan dalam
bekerja. Kedua Gagasan yang pantas pegawai menginginkan sistem upah/gaji dan kebijakan
promosi yang adil, tidak meragukan dan sesuai degan pengharapan mereka. Ketiga Kondisi
17. 17
kerja yang mendukung pegawai peduli lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Keempat Rekan sekerja yang
mendukung adanya interaksi sosial antara sesama pegawai yang saling mendukung
menghatar meningkatkan kepuasan kerja.Kelima Jangan lupakan kesesuaian antara
kepribadian pekerjaan. Holand dalam Robbins(2001) mengemukakan bahwa kecocokan yang
tinggi antara kepribadian seorang pegawai dan pengharapan akan menghasilkan individual
yang lebih terpuaskan. KeenamAda dalam gen bahwa 30 % dari kepuasan individual dapat
dijelaskan oleh keturunan. Hasil riset lainnya megemukakan bahwa sebagian besar kepuasan
beberapa orang diketemukan secara genetis.
Mengenai Pendapat lain bahwa kepuasaan kerja merupakan suatu sikap yang dimiliki
oleh para individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka
(Winardi.1992).:Kesatu Kepuasan dan produktivitas.hakikatnya
Bahwa seseorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang
produktif.Kedua Kepuasan dan kemangkiran, kepuasan berkolerasi secara negatif dengan
kemangkiran (Ketidakhadiran). Dalam studi bahwa bekerja dengan skor kepuasan tinggi
mempunyai kehadiran yang jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja dengan tingkat kepuasan
lebih rendah. Ketiga Kepuasan dan tingkat keluar masuknya pegawai/karyawan, kepuasan
yang dihubungkan yang dihubungkan secara negatif dengan keluarnya pegawai namun
korelasi ini lebih kuat daripada kemangkiran. Dalam hubungaN kepuasan keluarnya pegawai
adalah tingkat kinerja pegawai itu.
Selain itu ada 5 (lima) dimensi yang berkaitan dengan kepuasan kerja (Winardi.1992) yaitu :
1) Gaji dan upah yang diterima ( Jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan imbalan
tersebut)
2) Pekerjaan (Tugas Pekerjaan dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan
menerima tanggung jawab).
3) Peluang promosi.( Terjadinya peluang untuk mencapai kemajauan dalam jabatan).
4) Supervisor (Kemampuan untuk menunjukkan perhatian terhadap para pegawai/karyawan)
5) Para rekan sekerja. (dimana rekan sekerja bersikap bersahabat, kompeten, saling Bantu
membantu, dan berkomitmen untuk mencapai misi dan visi organisasi.
Pemahaman yang lebih tepat tentang kepuasan kerja dapat terwujud jika analisa
tentang kepuasan kerja dihubungkan dengan prestasi kerja, tingkat kemangkiran, keinginan
pindah, usia pekerja, tingkat jabatan dan besar kecilnya organisasi (Siagian.1999). Untuk
lebih jelasnya hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Kesaatu Kepuasan kerja dan
preastasi , menjadikan kepuasan untuk memacu prestasi kerja yang lebih baik. Kedua
Kepuasan kerja dan kemangkiran artinya bahwa karyawan/ pegawai yang tinggi tingkat
kepuasan kerja akan rendah tingkat kemangkirannya. Ketiga Kepuasan kerjja dan keinginan
pindah, salah satu penyebab timbulnya keinginan pindah kerja adalah ketidakpuasan pada
tempat bekerja saat ini.Keempat kepuasan kerja dan usia , kecndrungan yang terlihat bahwa
semakin lanjut usia pegawai tingkat kepuasan kerjanya semakin tinggi. Kelima Kepuasan
kerja dan tingkat jabatan , semakin tinggi tingkat kedudukan seseorang dalam suatu
organisasi pada umumnya semakin tingkat kepuasannya cendrung lebih tinggi pula.
KeenamKepuasan kerja dan besar kecilnya organisasi , Jika karena besarnya organisasi para
pegai terbenam dalam masa kerja yang jumlahnya besar sehingga jati diri dan identitasnya
menjadi kabur, karena hanya dikenal nomor pegawainya saja. Hal tersebut berdampak negatif
pada kepuasan kerja.
18. 18
Dalam mengelola personalia (kepegawaian) harus senantiasa memonitor kepuasan
kerja, karena hal itu akan mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat
kerja, keluhan keluhan dan masalah personalia vital lainnya (Handoko.2000). Oleh karena itu
fungsi personalia mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, selain itu
berbagai kebijakan dalam kegiatan personalia berdampak pada iklim organisasi memberikan
suatu lingkungan kerja yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan bagi anggota
organisasi itu yang akhirnya memenuhi kepuasan kerja anggota organisasi (pegawai) untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.
Hubungan kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan Handoko (2001) yaitu :
a. Prestasi, kepuasan kerja yang lebihtinggi terutama yang dihasilkan oleh prestasi kerja, bukan
sebaliknya. Seperti ditunjukkan dalam gambar 4, bahwa prestasi kerja lebih baik
menaakibatkan penghargaan yang lebih tinggi, jika penghargaan dirasakan adil dan memadai
maka kepuasan pegawai /karyawan akan meningkat.sebaliknya jika penghargaan dipandang
tidak mencukupi untuk suatu tingkat prestasi kerja pegawai/karyawanmaka ketidakpuasan
kerja cendrung terjadi.kondisi kepuasan atau ketidakpuasan kerja selanjutnya menjadi umpan
balik (feed back) yang akan mempengaruhi prestasi kerja di waktu mendatang. Oleh karena
itu hubungan prestasi dan kepuasan kerja menjadi suatu sistem yang berkelanjutan.
Hubungan antara Prestasi dan Kepuasan Kerja (Handoko.2001)
b. Perputaran pegawai dengan absensi.Perusahaan atu organisasi senantiasa mengharapkan
kepuasan kerja meningkat perputaran karyawan dan absensi menurun bukan
sebaliknya.Sebagaimana dapat dilihat dalam gambar 5: bahwa kepuasan kerja yang lebih
rendah baisanya akan mengakibatkan perputaran karyawan /pegawai lebih tinggi.Yang
bersangkutan lebih mudah meninggalkan perusahaan dan mencari kesempatan di perusahaan
lainnya. Hubungan ini berlaku juga untik absensi (Kemangkiran). Para karyawan yang
kurang memperoleh keouasan kerja akan cendrung lebih sering absent.
Dengan Perputaran Pegawai dan Absensi (Handoko.2001)
c. Umur dan jenjang pekerjaan, bahwa semakin tua umur karyawan/pegawai mereka cenrung
lebih terpuaskan dengan pekerjaan-pekerjaannya. Dengan alasan seperti: Pengharapan yang
lebih rendah dan penyesuaian lebih baik terhadap situasi kerja dan lebih berpengalaman.
Sedangkan pegawai/karyawan yang lebih muda cendrung kurang terpuaskan karena berbagai
harapan yang lebih tinggi kurang penyesuian dan alasan lainnya
Model Umum Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dengan Umur & Jenjang
Pekerjaan (Handoko.2001)
orang dengan jenjang pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih mendapatkan kepuasan
kerja, misalnya pegawai yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan tinggi cenderung
memperoleh kepuasan kerja lebih besar dari pada yang tidak berkemampuan dan tidak
terampil.
d. Besar organisasi, bahwa ukuran organisasi cedrung mempunyai hubungan berlawanandengan
kepuasan kerja yaitu semakin besarorganisasi kepuasan kerja cenrung turun secara moderat
kecuali manajemen mengambil tindakan korektif. Tanpa tindsakan korektif organisasi besar
tersebut akan menenggelamkan anggotanya dan berbagai proses seperti halnya partisipasi,
komunikasi dan koordinasi kurang lancer. Oleh karena terdapat adanya hubungan antara
besarnya organisasi dan kepuasan kerja maka fungsi personalia dalam organisasi besar
kemungkinan menghadapi kesulirtan dalam mempertahankan kepuasan kerja
pegawainya/anggotanya.
19. 19
Pendapat Siagian dan Handoko tersebut kiranya adanya kesamaan yang berkaitan
dengan kepuasan kerja berhubungan dengan Prestasi, Usia, Mutasi Pegawai dan Absensi,
Tingkat Jabatan serta besar kecilnya organisasi.
Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan
kerja (Indrawijaya.2000) yaitu :
Pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahlian
Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang cukup
Pekerjaan yang menyediakan informasi yang cukup lengkap
Pimpinan yang lebih banyak mendorong tercapainya suatu hasil yang tidak terlalu
banyak atau ketat melakukan pengawasan.
Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang cukup memadai.
Pekerjaan yang memberikan tantangan untuk lebig mengembangkan diri.
Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan ketenangan.
Harapan yang dikandung pegawai itu sendiri.
Kepuasan kerja berkaitan pula dengan teori motivasi salah satunya yang dikemukakan
oleh Herzberg dalam Hicks dan Guliet (1996) yaitu teori motivasi hygiene, teori
motivasi/pemeliharaan dan teori kedua faktor merupakan teori motivasi eksternal, karena
manajer mengendalikan faktor yang menghasilkan kepuasaan atau ketidakpuasan pekerjaan.
Dari penelitian Herzberg bahwa faktor hygiene yang mempengaruhi ketidakpuasan kerja dan
para motivator yang mempengaruhi kepuasan kerja seperti halnya faktor hygiene membantu
individu dalam menghindarkan individu merasa senang dengan ekerjaannya. Sedangkan
faktor yang menyebabkan ketidakpuasan tidak secara langsung akan menimbulkan kepuasan
kerja (Indrawijaya.2000).
Selain kepuasan kerja para pegawai atau anggota organisasi dapat menyatakan
ketidakpuasan dengan sejumlah cara misalnya mengeluh, tidak patuh dan mengelak dari
tanggung jawab. Ada 4 (empat) respon dari ketidakpuasan baik yang konstruktif/destruktif
maupun aktif/pasip (Robbins.2001) yaitu :
Eksit, Ketidakpuasan yang diungkapkan melalui prilaku yang mengarah untuk
meninggalkan organisasi( Mencari formasi baru atau berhenti ).
Suara, Ketidakpuasan yang diungkapkan dengan usaha aktif dan kontruktifmencoba
memperbaiki kondisi organisasi ( mencakup saran perbaikan, membahas masalah
dengan atasan dan beberapa bentuk kegiatan )
Kesetiaan Ketidakpuasan yang diungkapkan secara pasif, menunggu membaiknya
kondisi organisasi (berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan
mempercayai organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang tepat).
Pengabaian, ketidakpuasan yang dinyatakan dengan membiarkan kondisi memburuk
(termasuk kemangkiran atau dating terlambatsecara kronis, upaya yang dikurangi dan
tingkat kekeliruan yang meningkat).
Relevansi Kepuasan Kerja dalam Organisasi Pendidikan.
Organisasi pendidikan sebagai institusi penyelenggara pendidikan mengharapkan
suatu outcome pendidikan yang memuaskan yang meliputi antara lain :
Pemerataan Pendidikan
Kualitas Pendidikan
Relevansi Pendidikan
Efisiensi Pendidikan
Efektivitas Pendidikan
20. 20
Organisasi penyelenggara pendidikan sudah barang tentu melibatkan masyarakat,
pemerintah dan orang tua di dalam memperoleh outcome atau produktivitas
pendidikan sbagaimana tersebut diatas. Hal ini apabila outcome tersebut diperoleh
dengan memuaskan maka yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan akan
timbul kepuasan. Khusus bagi ketenagaan pendidikan dan non ketenagaan
kependidikan (birokrasi pendidikan) merupakan suatu kepuasan kerja yang positif dan
sebaliknya apabila outcome tersebut diperoleh kurang memuaskan maka akan timbul
ketidakpuasan.
Kepuasan kerja dan ketidakpuasan dalam penyelenggaraan pendidikan akan
menimbulkan perilaku individu dalam organisasi. Yang merupakan interaksi dari
karakteristik individu dan karakteristik organisasi pendidikan. Dengan perkataan lain
kepuasan harus menjadi tujuan utama organisasi setelahnya produktivitas
atau outcomependidikan.
Selaras dengan era Otonomi Daerah (Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999) maka
bergulir pula era Otonomi Pendidikan (desentralisasi) yang sudah barang tentu
merubah paradigma pendidikan lama ke paradigma pendidikan baru yang meliputi
berbagai aspek sebagai berikut (Jalal dan Supriadi.2001) :
P a r a d i g m a L a m a P a r a d i g m a B a r u
· S e n t r a l i s t i k
· Kebijakan yang top down
· Orientasi pengembangan parsial
pendidikan untuk pertumbuhan
ekonomi, stabilitas politik dan
teknologi perakitan
· Peran serta pemerintah sangat
dominan
· Lemahnya peran instusi non
sekolah
· D e s e n t r a l i s t i k
· Kebijakan yang bottom up
· Orientasi pengembangan holistik pendidikan
untuk mengembangkan kesadaran untuk bersatu
dalam kemajemukan budaya menjunjung tinggi
moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran
kreatif, produktif, kesadaran hukum.
· Meningkatkan peran serta masyarakat secara
kualitatif dan kuantitatif.
· Pemberdayaan institusi masyarakat, keluarga,
LSM, pesantren dan dunia usaha
Demikian pula peneraan konsep manajeen berbasis sekolah (school based
management) yang selaras dengan otonomi pendidikan merupakan kegiatan
(action) dalam rangka memperoleh outcome seperti halnya kualitas pendidikan.
Dengan diperolehnya kualitas pendidikan maka kepuasan yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan persekolahan akan merasakan pula. Apabila dengan
penerapan program life skill dengan pendekatan Brood Based education (BBE).
Selain masih menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun.
Keterkaitan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja SDM
Oleh: Dra. Maria F.Lies Ambarwati, M.M.
Peran sumber daya manusia dalam sebuah organisasi sejak dulu hingga saat ini
tidak pernah surut sedikitpun. Teknologi yang terus berkembang dansemakin canggih tetap
tidk dapat menggantikan peran sumber daya manusia secara keseluruhan. Manusia-
manusia yang handal dibutuhkan dalam merancang dan melaksanakan konsep manajemen;
mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga pengawasan dan evaluasi.
21. 21
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan sumber yang signifikan bagi keunggulan
kompetitif yang merupakan bagian penting dari strategi dan dapat mempengaruhi
kinerja sebuah organisasi. Di dalam organisasi modern, unit atau bagian yang
berfungsi sebagai koordinator karyawan adalah divisi, departemen atau unit SDM.
Unit SDM memiliki beberapa fungsi yang saling terkait dan bersifat
trade-off antara lain rekrutment,seleksi, penilaian, kompensasi, pendidikan dan pelatihan.
Steven J. Stein dan Howard setelah melakukan penelitian terhadap 42.000 orang
dari 36 negara mengungkapkan hubungan tak terbantahkan antara kecerdasan emosional
dan kesuksesan. Steven menggunakan ukuran EQ (Emotional Quotient – kecerdasan
emosional) temuan Reuven yaitu EQ-I, dan hasilnya tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan antara skor rata-rata kecerdasan emosional antar etnik. Temuan ini menunjukkan
bahwa kelompok etnik manapun dengan latar belakang budaya yang berbeda dapat
memanfaatkan EQ-I. Kecerdasan emosional tidak bersifat permanen, melainkan dapat
ditingkatkan. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang, semakin
besar kemungkinan untuk sukses (Steven J. Stein dan Howard, 2001).
Penelitian Howard juga memberi pemahaman mengapa pada beberapa kelompok
pekerja yang memiliki IQ (Intellectual Quotient – kecerdasan intelektual) tinggi,
mengalami perbedaan dalam meraih sukses dalam karir mereka. Serangkaian studi yang
dilakukan oleh Robert K. Cooper dan Ayman (2001) menunjukkan bahwa orang yang
secara intelektual cerdas belum tentu berhasil dalam pekerjaan atau karir mereka.
Seorang profesional yang secara teknis unggul dan memiliki kecerdasan emosional
tinggi adalah orang yang mampu mengatasi konflik, melihat hubungan tersembunyi
antara masalah dengan peluang yang ada, dan yang mampu menyelesaikan pekerjaan
secara lebih cekatan, tepat, dan cepat dibandingkan orang lain.
Prestasi Kerja
Prestasi kerja yang didapatkan oleh para pekerja organisasi perusahaan merupakan
suatu harapan yang mutlak. Prestasi kerja yang baik tidak mudah dicapai karena
banyak kriteria serta usaha yang keras yang akan dijalani oleh para pekerja. Motivasi
karyawan untuk bekerja, mengembangkan kemampuan pribadi, dan meningkatkan
kemampuan dipengaruhi oleh umpan balik kinerja masa lalu dan pengembangan
kinerja yang akan datang.
Hal-hal yang terkait erat dengan prestasi kerja dalam sebuah organisasi adalah:
1. Ciri-Ciri orang yang termotivasi.
Orang-orang yang termotivasi untuk berprestasi memiliki tiga macam ciri umum
sebagai berikut:
a. Memiliki preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan
moderat.
b. Menyukai situasi-situasi yang dapat meningkatkan kinerja. Situasi yang dimaksud
adalah situasi yang muncul karena upaya-upaya dari dalam diri mereka sendiri,
bukan karena faktor-faktor lain di luar dirinya.
c. Menginginkan lebih banyak umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan
mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
2. Penilaian Prestasi Kerja
Salah satu kegiatan dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan dan
perkembangan di era global adalah dengan memberikan pembinaan dan
pengembangan kepada karyawan, baik bagi karyawan lama maupun karyawan baru.
Pembinaan dan pengembangan karir para karyawan dilakukan dengan penilaian
terhadap pelaksanaan pekerjaan karyawan.
Menurut Soeprihanto penilaian prestasi kerja adalah suatu sistem yang
22. 22
digunakan untuk menilai dan mengetahui sejauh mana seorang karyawan telah
melaksanakan perkerjaannya masing-masing secara keseluruhan. Sedangkan
Martoyo menyatakan bahwa penilaian prestasi kerja adalah proses sebuah
organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan yang dimilikinya.
Dengan demikian, penilaian prestasi kerja pada dasarnya merupakan
pengukuran yang sistematik terhadap penampilan kerja karyawan dan terhadap taraf
potensi karyawan dalam upaya mengembangkan diri untuk kepentingan perusahaan
/organisasi. Penilaian prestasi kerja yang dilaksanakan dengan baik tertib dan sesuai
dengan ketentuan akan dapat meningkatkan motivasi kerja dan sekaligus juga
meningkatkan loyalitas para karyawan. Penilaian prestasi kerja (performance appraisal)
pada dasarnya merupakan salah satu faktor kunci guna mengembangkan suatu
organisasi secara efektif dan efisien.
3. Elemen-elemen Pokok Sistem Prestasi Kerja
Motivasi memiliki peran yang sangat besar dalam dalam pencapaian kualitas
kerja. Keterkaitan motivasi dengan para pekerja dan organisasi, terutama dalam
manajemen SDM sangat nyata sejak awal terbentuknya manajemen. Salah satu
faktor yang dirasakan sangat penting di dalam penentuan keberhasilan serta
kelangsungan hidup organisasi adalah tingkat kemampuan dan keterampilan dari
para pekerja. Pada kenyataannya tidak semua karyawan memiliki kriteria sesuai dengan
yang diharapkan organisasi. Selain itu masih terdapat pekerja yang memiliki
kemampuan dan keterampilan yang tinggi tetapi tidak memiliki semangat kerja yang
tinggi. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa organisasi belum dapat menciptakan
suasana kerja yang baik yang dapat meningkatkan kualitas dan prestasi kerja.
Pada umumnya setiap organisasi memiliki kepentingan serta tujuan yang
berbeda-beda, oleh karena itu perhatian dari para pimpinan di organisasi atau
perusahaan sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas kerja sumber daya
manusia yang dimiliki agar tujuan organisasi dapat tercapai dan dapat bersaing di
dunia usaha dan industri.
Beberapa hal yang dapat dijadikan alat bagi organisasi untuk memotivasi
agar karyawan bersemangat dalam melaksanakan pekerjaan. antara lain adalah:
a.Upaya untuk melibatkan atau mengikut-sertakan karyawan agar berprestasi
secara efektif dalam setiap aktivitas perusahaan sesuai porsinya, terutama dalam
proses operasi dan produksi organisasi.
b. Upaya untuk berkomunikasi, yaitu memberikan informasi secara jelas dan
terarah tentang strategi dan tujuan yang ingin dicapai organisasi. Informasi
tersebut juga memasukkan cara-cara pencapaian strategi beserta kemungkinan
buruk berupa kendala yang mungkin akan dihadapi.
c.Upaya untuk memberi pengakuan, yaitu berupa pemberian penghargaan dan
pengakuan yang tepat dan wajar kepada karyawan atas prestasi kerja yang telah
dicapai.
d.Upaya melaksanakan pendelegasian wewenang, yaitu berkaitan dengan
kebebasan untuk mengambil keputusan dan kreatifitas karyawan.
e.Upaya untuk memberikan perhatian timbal balik, yaitu berkaitan dengan
pengungkapan atas harapan dan keinginan pemilik atau pimpinan dan pengelola
organisasi terhadap karyawan. Seiring dengan hal tersebut adalah kesediaan
dan upaya pemilik atau pengelola dan pimpinan untuk memahami,
memerhatikan, dan memenuhi kebutuhan karyawan.
Karena melibatkan individu dan organisasi, maka memotivasi pekerja untuk dapat
23. 23
bekerja sesuai dengan harapan merupakan suatu kerumitan yang harus dicari
penyelesaiannya. Sumber kerumitan adalah faktor-faktor yang bersumber dari karyawan
5 seperti kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, sikap, dan kemampuan. Sedangkan faktor-
faktor yang bersumber dari organisasi antara lain adalah imbal jasa atau gaji,
keamanan pekerja, hubungan sesama pekerja, pengawasan, perhatian, dan pekerjaan itu
sendiri.
Pengaruh Emosi terhadap Prestasi Kerja
Kata emosi berasal dari bahasa Latin yaitu emyang berarti bergerak
menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi. Daniel Goleman menyatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu;
sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang sehingga
orang tersebut tertawa atau terlihat ceria, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku
menangis, emosi marah atau jengkel mendorong orang untuk meluapkan suasana
hatinya dengan sikap atau kata-kata yang mengungkapkan kejengkelan atau kemarahan.
Stephen P. Robbins mengungkapkan bahwa kinerja dipengaruhi dan mempengaruhi
motivasi, kemampuan ability dan kesempatan.Hal tersebut ditunjukkan
a. Hubungan Emosi dengan Kemampuan SDM
Seluruh kemampuan pada hakikatnya tersusun atas dua faktor, yaitu
kemampuan
fisik dan intelektual. Berdasarkan pengalaman dan bukti-bukti empiris lainnya,
kecerdasan dalam dunia usaha tidak lagi hanya bertumpu pada kecerdasan intelektual (IQ –
Intellectual Quotient), tetapi lebih pada kecerdasan emosional (EQ – (EQ- Emotional
Quotient) yang termasuk di dalamnya kecerdasan praktis dan kreatif (Robert K. Cooper dan
Ayman, 2001). Jika kecerdasan emosional semakin tinggi, kemampuan akan meningkat yang
berarti bahwa kinerja juga akan meningkat.
b. Hubungan Emosi dengan Motivasi SDM
Salah satu aspek memanfaatkan pegawai ialah pemberian motivasi (daya
perangsang) kepada pegawai, dengan istilah populer sekarang pemberian kegairahan
bekerja kepada pegawai. Dengan demikian motivasi merupakan kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh
kemampuan upaya dalam memenuhi beberpa kebutuha individual. Tinggi
rendahnya motivasi dipengaruhi oleh energi yang dimilikinya. Emosi berlaku sebagai sumber
energi dan semangat manusia yang paling kuat dan dapat memberikan sumber kebijakan
intuitif. Kecerdasan emosional Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada
1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang
tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai: “himpunan bagian
dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial
yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap,
dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada
masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun
keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia
24. 24
nyata. Selain itu, Kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan.
Gardner mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang penting untuk
meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar
dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik,
musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner
sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan
emosional. Kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu
kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan.
Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke
dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri
yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi
sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.
Inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup kemampuan untuk membedakan dan
menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.
Dengan memerhatikan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional terdiri atas lima kemampuan utama, yaitu:
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai
metamood yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran diri adalah
waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang
waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh
emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun
merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu
mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan
agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan
dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan
kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan
intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini
mencakupkemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta
kemampuan untuk
bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Prestasi dimulai dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, Hal ini
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap keinginan untuk bersikap
semaunya, dapat mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai motivasi yang positif,
yaitu antusiasme, gairah, sikap optimis dan kepercayaan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk
mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang
memiliki kemampuan empati, lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
tersembunyi yang mengisyaratkan hal-hal yang dibutuhkan orang lain sehingga ia
25. 25
lebihmampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain,
dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu
membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara
emosional, lebih populer, dan lebih mudah bergaul. Nowicki, seorang ahli psikologi,
menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkanemosi
dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca
emosi juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya
sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut
mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan
dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina
hubungan. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan akan
sukses dalam bidang apapun. Seseorang dapat berhasil dalam pergaulan karena mampu
berkomunikasi dengan lancar dengan orang lain. Orang-orang ini populer dalam
lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya
berkomunikasi. Ramah, baik hati, hormat, dan disukai orang lain dapat dijadikan
petunjuk positif bagaimana karyawan mampu membina hubungan dengan orang lain.
10.Sejauh mana kepribadian karyawan berkembang dilihat dari banyaknya hubungan
interpersonal yang dilakukannya
5. MENGELOLA POTENSI KECERDASAN DAN EMOSIONAL SDM
kecerdasan emosi adalah bentuk kecerdasan yang berkaitan dengan sisi kehidupan emosi,
seperti kemampuan untuk menghargai dan mengelola emosi diri dan orang lain, untuk
memotivasi diri seseorang dan mengekang impuls, dan untuk mengatasi hubungan
interpersonal secara efektif.
Sejarah
Manusia diciptakan dengan dianugerahi kelebihan dibanding makhluk lainnya, yaitu
adanya cipta, rasa dan karsa. Dari ketiga kelebihan tadi masing-masing bisa dikembangkan
ke dalam potensi-potensi. Potensi yang bersumber dari cipta, yaitu potensi intelektual
atau intelectual quotient (IQ). Potensi dari rasa, yakni potensi emosional atau emosional
quotinet (EQ) dan potensi spiritual (SQ). Sedangkan potensi yang bersumber dari karsa,
adalah potensi ketahanmalangan atau adversity quotient (AQ) dan potensi vokasional
quotient (VQ).
Konsep Kecerdasan Emosional – EQ mulai menjadi perhatian di tahun 1995 oleh Daniel
Goleman disebut ‘Emotional Intelligence’. Awal Teori Kecerdasan Emosional pada awalnya
dikembangkan pada 1970-an dan 80-an dengan karya dan tulisan-tulisan dari psikolog
Howard Gardner (Harvard), Peter Salovey (Yale) dan John ‘Jack’ Mayer (New Hampshire).
26. 26
Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial yang
dikemukakan oleh Thordike pada tahun 1920 dengan membagi 3 bidang kecerdasan yaitu
kecerdasan abstrak (seperti kemampuan memahami dan memanipulasi simbol verbal dan
matematika), kecerdasan konkrit seperti kemampuan memahami dan memanipulasi objek,
dan kecerdasan sosial seperti kemampuan berhubungan dengan orang lain.
Psikolog AS John Mayer dan Peter Salovey memberikan definisi formal pertama kecerdasan
emosional pada tahun 1990. Publikasi mereka juga mengklaim bahwa ada kemungkinan
untuk menilai dan mengukur kecerdasan emosional seseorang. Mayer dan Salovey percaya
bahwa kecerdasan emosional adalah bagian dari kecerdasan sosial dan tentang kemampuan
seseorang untuk: (1) merasakan emosi dalam diri sendiri dan orang lain; (2)
mengintegrasikan emosi dalam pikiran; (3) memahami emosi dalam diri sendiri dan orang
lain; dan (4) mengelola atau mengatur emosi dalam diri sendiri dan orang lain.
Kecerdasan sosial menurut Thordike yang dikutip Daniel Goleman (2002) adalah
kemampuan untuk memahami dan mengatur orang lain untuk bertindak bijaksana dalam
menjalin hubungan, meliputi kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.
Kecerdasan interprersonal adalah kecerdasan untuk kemampuan untuk memahami orang lain,
sedangkan kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan mengelola diri sendiri
(Mangkunegara, 2005).
Menurut Goleman (2001:512), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal
perasaan diri sendiri dan orang lain untuk memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi
dengan baik dalam diri kita dan hubungan kita. Kemampuan ini saling melengkapi dan
berbeda dengan kemampuan akademik murni, yaitu kemampuan kogniktif murni yang diukur
dengan Intelectual Quetient (IQ). Sedangkan menurut Cooper dan Sawaf (1998), kecerdasan
emosional adalah kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan
kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh. Salovely dan
Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan
mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk
memandu pikiran dan tindakan.
Konsep EQ berpendapat bahwa IQ, atau kecerdasan konvensional, terlalu sempit, dan ada
faktor lain yaitu Emotional Intelligence yang dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang.
Dengan kata lain, kesuksesan membutuhkan lebih dari IQ (Intelligence Quotient), yang
cenderung menjadi ukuran tradisional kecerdasan, mengabaikan perilaku penting dan elemen
karakter.
Penelitian EQ
Beberapa penelitian mengenai EQ
1. Elizabeth Stubbs Koman, Steven B. Wolff, (2008) “Emotional intelligence competencies
in the team and team leader: A multi-level examination of the impact of emotional
intelligence on team performance”, Journal of Management Development
2. Hsi-An Shih, Ely Susanto, (2010) “Conflict management styles, emotional intelligence,
and job performance in public organizations”, International Journal of Conflict
Management
3. Malcolm Higgs, (2004) “A study of the relationship between emotional intelligence and
performance in UK call centres”, Journal of Managerial Psychology
27. 27
4. Lee Huey Yiing, Kamarul Zaman Bin Ahmad, (2009) “The moderating effects of
organizational culture on the relationships between leadership behaviour and
organizational commitment and between organizational commitment and job satisfaction
and performance”, Leadership & Organization Development Journal
5. Cheok San Lam, Eleanor R.E. O’Higgins, (2012) “Enhancing employee outcomes: The
interrelated influences of managers’ emotional intelligence and leadership
style”Leadership & Organization Development Journal
6. Cavazotte, F., Moreno, V., & Hickmann, M. (2012). Effects of leader intelligence,
personality and emotional intelligence on transformational leadership and managerial
performance.
7. Farh, C. I., Seo, M., & Tesluk, P. E. (2012). Emotional Intelligence, teamwork
effectiveness, and job performance: The moderating role of job context
Review dan Implikasi Manajerial
Emotional Intelligence semakin relevan dengan pengembangan organisasi dan
mengembangkan orang-orang, karena prinsip-prinsip EQ memberikan cara baru untuk
memahami dan menilai perilaku orang, gaya manajemen, sikap, keterampilan interpersonal,
dan potensi. Kecerdasan Emosional merupakan pertimbangan penting dalam perencanaan
sumber daya manusia, profil pekerjaan, rekrutmen dan seleksi wawancara, pengembangan
manajemen, hubungan pelanggan dan layanan pelanggan, dan lainnya.
7 MEMBANGUN KAPABILITAS DAN KOMPETENSI SDM
Membangun SDM Kapabilitas dan Kompetensi
Sumber Daya Manusia Kapabilitas
Barney (1991) mengemukakan empat kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu sumber
daya dapat disebut sebagai sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan sebagai berikut:
(1) merupakan sumber daya organisasional yang sangat berharga (valuable), terutama dalam
kaitannya dengan kemampuan untuk mengeksploitasi kesempatan dan atau menetralisasi
ancaman dari lingkungan perusahaan.
(2) relative sulit untuk dikembangkan, sehingga menjadi langka di lingkungan kompetitif.
(3) sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi.
(4)tidak dapat dengan muddah digantikan substitute yang secara strategis signifikan.
masalahnya adalah bagaimana “menterjemahkan” berbagai strategi, kebijakan dan praktik
MSDM menjadi keunggulan kompetitif berkelanjutan.
28. 28
Kompetensi SDM berkarier di Bidang Sumber Daya Manusia
Menurut Covey, Roger dan Rebecca Merrill (1994), kompetensi tersebut mencakup:
a. Kompetensi teknis : pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil- hasil yang telah
disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif- alternatif baru
b. Kompetensi Konseptual: kemampuan untuk melihat gambar besar, untuk menguji berbagai
pengandaian dan pengubah prespektif
c. Kompetensi untuk hidup : dan saling ketergantungan kemampuan secara efektif dengan
orang lain, termasuk kemampuan untuk mendengar, berkomunikasi, mendapat alternatif
ketiga.
8. KONSEP AUDIT KINERJA DAN PELAKSANAAN AUDIT KINERJA
JENIS-JENIS AUDIT DALAM AUDIT SEKTOR PUBLIK
Audit yang dilakukan pada sektor publik pemerintah berbeda dengan yang dilakukan pada
sektor swasta. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang
institusional dan hukum, dimana audit sektor publik pemerintah mempunyai prosedur dan
tanggung jawab yang berbeda serta peran yang lebih luas dibanding audit sektor swasta
(Wilopo, 2001).
Secara umum, ada tiga jenis audit dalam audit sektor publik, yaitu audit keuangan
(financial audit), audit kepatuhan (compliance audit) dan audit kinerja (performance audit).
Audit keuangan berjalan secara efisien dan tepat serta transaksi keuangan diotorisasi serta
dicatat secara adalah audit yang menjamin bahwa sistem akuntansi dan pengendalian
keuangan benar. Audit kepatuhan adalah audit yang memverifikasi/memeriksa bahwa
pengeluaran-pengeluaran untuk pelayanan masyarakat telah disetujui dan telah sesuai dengan
undang-undang peraturan. Dalam audit kepatuhan terdapat asas kepatutan selain kepatuhan
(Harry Suharto, 2002). Dalam kepatuhan yang dinilai adalah ketaatan semua aktivitas sesuai
dengan kebijakan, aturan, ketentuan dan undang-undang yang berlaku. Sedangkan kepatutan
lebih pada keluhuran budi pimpinan dalam mengambil keputusan. Jika melanggar kepatutan
belum tentu melanggar kepatuhan. Audit yang ketiga adalah audit kinerja yang merupakan
perluasan dari audit keuangan dalam hal tujuan dan prosedurnya. Audit kinerja memfokuskan
pemeriksaan pada tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi yang menggambarkan
kinerja entitas atau fungsi yang diaudit. Audit kinerja merupakan suatu proses yang sistematis
untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian
secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi, efektifitas dalam pencapaian hasil yang
diinginkan dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan dan hukum yang berlaku,
menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna
laporan tersebut.
AUDIT KINERJA SEKTOR PUBLIK PEMERINTAH
Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi yang bersangkutan mampu melaksanakan
tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada standar yang tinggi
dengan biaya yang rendah. Kinerja yang baik bagi suatu organisasi dicapai ketika
29. 29
administrasi dan penyediaan jasa oleh organisasi yang bersangkutan dilakukan pada tingkat
yang ekonomis, efisien dan efektif. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas saling
berhubungan satu sama lain dan tidak dapat diartikan secara terpisah. Konsep ekonomi
memastikan bahwa biaya input yang digunakan dalam operasional organisasi dapat
diminimalkan. Konsep efisien memastikan bahwa output yang maksimal dapat dicapai
dengan sumber daya yang tersedia. Sedangkan konsep efektif berarti bahwa jasa yang
disediakan/dihasilkan oleh organisasi dapat melayani kebutuhan pengguna jasa dnegan tepat.
Jadi, audit yang dilakukan dalam audit kinerja meliputi audit ekonomi, efisiensi dan
efektivitas. Audit ekonomi dan efisiensi disebut management audit atau operational audit,
sedangkan audit efektivitas disebut program audit. Istilah lain untuk performance audit adalah
Value for Money Audit atau disingkat 3E’s audit (economy, efficiency and effectiveness
audit). Penekanan kegiatan audit pada ekonomi, efisiensi dan efektivitas suatu organisasi
memberikan ciri khusus yang membedakan audit kinerja dengan audit jenis lainnya.
Berikut ini adalah karakteristik audit kinerja yang merupakan gabungan antara audit
manajemen dan audit program.
A. Audit Ekonomi dan Efisiensi
Konsep yang pertama dalam pengelolaan organisasi sektor publik adalah ekonomi, yang
berarti pemerolehan input dengan kualitas dan kuantits tertentu pada harga yang terendah.
Ekonomi merupakan perbandingan input dengan input value yang dinyatakan dalam satuan
moneter. Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir
input resources yang digunakan, yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak
produktif.
Konsep kedua dalam penegelolaan organisasi sektor publik adalah efisiensi, yang berarti
pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang
terendah untuk mencapai output tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output/input
yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan.Dapat disimpulkan
bahwa ekonomi mempunyai arti biaya terendah, sedangkan efisiensi mengacu pada rasio
terbaik antara output dengan biaya (input). Karena output dan biaya diukur dalam unit yang
berbeda, maka efisiensi dapat terwujud ketika dengan sumber daya yang ada dapat dicapai
output yang maksimal atau output tertentu dapat dicapai dengan sumber daya yang sekecil-
kecilnya.
Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk menentukan bahwa suatu entitas telah
memperoleh, melindungi, menggunakan sumber dayanya (karyawan, gedung, ruang dan
peralatan kantor) secara ekonomis dan efisien. Selain itu juga bertujuan untuk menentukan
dan mengidentifikasi penyebab terjadinya praktik-praktik yang tidak ekonomis atau tidak
efisien, termasuk ketidakmampuan organisasi dalam mengelola sistem informasi, prosedur
administrasi dan struktur organisasi
Menurut The General Accounting Office Standards (1994), beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam audit ekonomi dan efisiensi, yaitu dengan mempertimbangkan
apakah entitas yang diaudit telah: (1) mengikuti ketentuan pelaksanaan pengadaan yang
sehat; (2) melakukan pengadaan sumber daya (jenis, mutu dan jumlah) sesuai dengan
kebutuhan pada biaya terendah; (3) melindungi dan memelihara semua sumber daya yang ada
secara memadai; (4) menghindari duplikasi pekerjaan atau kegiatan yang tanpa tujuan atau
kurang jelas tujuannya; (5) menghindari adanya pengangguran sumber daya atau jumlah
pegawai yang berlebihan; (6) menggunakan prosedur kerja yang efisien; (7) menggunakan
sumber daya (staf, peralatan dan fasilitas) yang minimum dalam menghasilkan atau
menyerahkan barang/jasa dengan kuantitas dan kualitas yang tepat; (8) mematuhi persyaratan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perolehan, pemeliharaan dan
penggunaan sumber daya Negara; (9) melaporkan ukuran yang sah dan dapat
dipertanggungjawabkan mengenai kehematan dan efisiensi (Mardiasmo, 2002) Untuk dapat
30. 30
mengetahui apakah organisasi telah menghasilkan output yang optimal dengan sumber daya
yang dimilikinya, auditor dapat membandingkan output yang telah dicapai pada periode yang
bersangkutan dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, kinerja tahun-tahun
sebelumnya dan unit lain pada organisasi yang sama atau pada organisasi yang berbeda.
B. Audit Efektivitas
Konsep yang ketiga dalam pengelolaan organisasi sektor publik adalah efekivitas.
Efektivitas berarti tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan.
Efektivitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output. Outcome seringkali
dikaitkan dengan tujuan (objectives) atau target yang hendak dicapai. Jadi dapat dikatakan
bahwa efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan. Sedangkan menurut Audit
Commission (1986) disebutkan bahwa efektivitas berarti menyediakan jasa-jasa yang benar
sehingga memungkinkan pihak yang berwenang untuk mengimplementasikan kebijakan dan
tujuannya (Mardiasmo, 2002).
Audit efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang
diinginkan, kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya dan menentukan
apakah entitas yang diaudit telah mempertimbangkan alternatif lain yang memberikan hasil
yang sama dengan biaya yang paling rendah. Secara lebih rinci, tujuan pelaksanaan audit
efektivitas atau audit program adalah dalam rangka: (1) menilai tujuan program, baik yang
baru maupun yang sudah berjalan, apakah sudah memadai dan tepat; (2) menentukan tingkat
pencapaian hasil suatu program yang diinginkan; (3) menilai efektivitas program dan atau
unsur-unsur program secara terpisah; (4) mengidentifikasi faktor yang menghambat
pelaksanaan kinerja yang baik dan memuaskan; (5) menentukan apakah manajemen telah
mempertimbangkan alternatif untuk melaksanakan program yang mungkin dapat memberikan
hasil yang lebih baik dan dengan biaya yang lebih rendah; (6) menentukan apakah program
tersebut saling melengkapi, tumpang-tindih atau bertentangan dengan program lain yang
terkait; (7) mengidentifikasi cara untuk dapat melaksanakan program tersebut dengan lebih
baik; (8) menilai ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
program tersebut; (9) menilai apakah sistem pengendalian manajemen sudah cukup memadai
untuk mengukur, melaporkan dan memantau tingkat efektivitas program; (10) menentukan
apakah manajemen telah melaporkan ukuran yang sah dan dapatdipertanggungjawabkan
mengenai efektivitas programEfektivitas berkenaan dengan dampak suatu output bagi
pengguna jasa. Untuk mengukur efektivitas suatu kegiatan harus didasarkan pada kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika hal ini belum tersedia, auditor bekerja sama dengan
manajemen puncak dan badan pembuat keputusan untuk menghasilkan kriteria tersebut
dengan berpedoman pada tujuan pelaksanaan suatu program. Meskipun efektivitas suatu
program tidak dapat diukur secara langsung, ada beberapa alternatif yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi pelaksanaan suatu program, yaitu mengukur dampak/pengaruh, evaluasi
oleh konsumen dan evaluasi yang menitikberatkan pada proses, bukan pada hasil. Tingkat
komplain dan tingkat permintaan dari pengguna jasa dapat dijadikan sebagai pengukuran
standar kinerja yang sederhana untuk berbagai jasa. Evaluasi terhadap pelaksanaan suatu
program hendaknya mempertimbangkan apakah program tersebut relevan atau realistis,
apakah ada pengaruh dari program tersebut, apakah program telah mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dan apakah ada cara-cara yang lebih baik dalam mencapai hasil.
C. Struktur Audit Kinerja
Sebelum melakukan audit, auditor terlebih dahulu harus memperoleh informasi umum
organisasi guna mendapatkan pemahaman yang memadai tentang lingkungan organisasi yang
diaudit, struktur organisasi, misi organisasi, proses kerja serta sistem informasi dan
pelaporan. Pemahaman lingkungan masing-masing organisasi akan memberikan dasar untuk
memperoleh penjelasan dan analisis ynag lebih mendalam mengenai sistem pengendalian
manajemen.
31. 31
Berdasarkan hasil analisis terhadap kelemahan dan kekuatan sistem pengendalian dan
pemahaman mengenai keluasan (scope), validitas dan reabilitas informasi kinerja yang
dihasilkan oleh entitas/organisasi, auditor kemudian menetapkan kriteria audit dan
mengembangkan ukuran-ukuran kinerja yang tepat. Berdasarkan rencana kerja yang telah
dibuat, auditor melakukan pengauditan, mengembangkan hasil-hasil temuan audit dan
membandingkan antara kinerja yang dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Hasil temuan kemudian dilaporkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan
yang disertai dengan rekomendasi yang diusulkan oleh auditor. Pada akhirnya, rekomendasi-
rekomendasi yang diusulkan oleh auditor akan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang
berwenang.
Struktur audit kinerja terdiri atas tahap pengenalan dan perencanaan, tahap pengauditan,
tahap pelaporan dan tahap penindaklanjutan. Pada tahap pengenalan dilakukan survei
pendahuluan dan review sistem pengendalian manajemen. Pekerjaan yang dilakukan pada
survei pendahuluan dan review sistem pengendalian manajemen bertujuan untuk
menghasilkan rencana penelitian yang detail yang dapat membantu auditor dalam mengukur
kinerja dan mengembangkan temuan berdasarkan perbandingan antara kinerja dan kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya.Tahap pengauditan dalam audit kinerja terdiri dari tiga
elemen, yaitu telaah hasil-hasil program, telaah ekonomi dan efisiensi dan telaah kepatuhan.
Tahapan-tahapan dalam audit kinerja disusun untuk membantu auditor dalam mencapai
tujuan audit kinerja. Review hasil-hasil program akan membantu auditor untuk mengetahui
apakah entitas telah melakukan sesuatu yang benar. Review ekonomis dan efisiensi akan
mengarahkan auditor untuk mengetahui apakah entitas telah melakukan sesuatu yang benar
secara ekonomis dan efisien. Review kepatuhan akan membantu auditor untuk menentukan
apakah entitas telah melakukan segala sesuatu dengan cara-cara yang benar, sesuai dengan
peraturan dan hukum yang berlaku. Masing-masing elemen tersebut dapat dijalankan sendiri-
sendiri atau secara bersama-sama, tergantung pada sumber daya yang ada dan pertimbangan
waktu.Tahap pelaporan merupakan tahapan yang harus dilaksanakan karena adanya tuntutan
yang tinggi dari masyarakat atas pengelolaan sumber daya publik. Hal tersebut menjadi
alasan utama untuk melaporkan keseluruhan pekerjaan audit kepada pihak manajemen,
lembaga legislatif dan masyarakat luas. Penyampaian hasil-hasil pekerjaan audit dapat
dilakukan secara formal dalam bentuk laporan tertulis kepada lembaga legislatif maupun
secara informal melalui diskusi dengan pihak manajemen. Namun demikian, akan lebih baik
bila laporan audit disampaikan secara tertulis, karena pengorganisasian dan pelaporan
temuan-temuan audit secara tertulis akan membuat hasil pekerjaan yang telah dilakukan
menjadi lebih permanen. Selain itu, laporan tertulis juga sangat penting untuk akuntabilitas
publik. Laporan tertulis merupakan ukuran yang nyata atas nilai sebuah pemeriksaan yang
dilakukan oleh auditor. Laporan yang disajikan oleh auditor merupakan kriteria yang penting
bagi kesuksesan atau kegagalan pekerjaannya.
Tahapan yang terakhir adalah tahap penindaklanjutan, dimana tahap ini didesain untuk
memastikan/memberikan pendapat apakah rekomendasi yang diusulkan oleh auditor sudah
diimplentasikan. Prosedur penindaklanjutan dimulai dengan tahap perencanaan melalui
pertemuan dengan pihak manajemen untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi
organisasi dalam mengimplementasikan rekomendasi auditor. Selanjutnya, auditor
mengumpulkan data-data yang ada dan melakukan analisis terhadap data-data tersebut untuk
kemudian disusun dalam sebuah laporan.
PERLUNYA MENJAGA KUALITAS AUDIT SEKTOR PUBLIK
Audit sektor publik tidak hanya memeriksa serta menilai kewajaran laporan keuangan sektor
publik, tetapi juga menilai ketaatan aparatur pemerintahan terhadap undang-undang dan
peraturan yang berlaku. Disamping itu, auditor sektor publik juga memeriksa dan menilai
sifat-sifat hemat (ekonomis), efisien serta keefektifan dari semua pekerjaan, pelayanan atau
32. 32
program yang dilakukan pemerintah. Dengan demikian, bila kualitas audit sektor publik
rendah, akan mengakibatkan risiko tuntutan hukum (legitimasi) terhadap pejabat pemerintah
dan akan muncul kecurangan, korupsi, kolusi serta berbagai ketidakberesan.
a. Kapabilitas Teknikal Auditor
Kualitas audit sektor publik pemerintah ditentukan oleh kapabilitas teknikal auditor dan
independensi auditor (Wilopo, 2001). Kapabilitas teknikal auditor telah diatur dalam standar
umum pertama, yaitu bahwa staf yang ditugasi untuk melaksanakan audit harus secara
kolektif memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk tugas yang disyaratkan, serta
pada standar umum yang ketiga, yaitu bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan
laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan
seksama. Disamping standar umum, seluruh standar pekerjaan lapangan juga
menggambarkan perlunya kapabilitas teknikal seorang auditor.
b. Independensi Auditor
Independensi auditor diperlukan karena auditor sering disebut sebagai pihak pertama dan
memegang peran utama dalam pelaksanaan audit kinerja, karena auditor dapat mengakses
informasi keuangan dan informasi manajemen dari organisasi yang diaudit, memiliki
kemampuan profesional dan bersifat independen. Walaupun pada kenyataannya prinsip
independen ini sulit untuk benar-benar dilaksanakan secara mutlak, antara auditor dan auditee
harus berusaha untuk menjaga independensi tersebut sehingga tujuan audit dapat tercapai.
Independensi auditor merupakan salah satu dasar dalam konsep teori auditing. Dalam hal ini
ada dua aspek independensi, yaitu independensi yang sesungguhnya (real independence) dari
para auditor secara individual dalam menyelesaikan pekerjaannya, yang biasa disebut dengan
“practitioner independence”. Real independence dari para auditor secara individual
mengandung dua arti, yaitu kepercayaan diri (self reliance) dari setiap personalia dan
pentingnya istilah yang berkaitan dengan opini auditor atas laporan keuangan. Aspek
independensi yang kedua adalah independensi yang muncul/tampak (independence in
appearance) dari para auditor sebagai kelompok profesi yang biasa disebut “profession
independence”.Disamping dua aspek di atas, independensi memiliki tiga dimensi, yaitu
independensi dalam mebuat program, independensi dalam melakukan pemeriksaan dan
independensi dalam membuat laporan. Independensi dalam membuat program meliputi bebas
dari campur tangan dan perselisihan dengan auditee yang dimaksudkan untuk membatasi,
menetapkan dan mengurangi berbagai bagian audit; bebas dari campur tangan dengan atau
suatu sikap yang tidak kooperatif yang berkaitan dengan prosedur yang dipilih dan bebas dari
berbagai usaha yang dikaitkan dengan pekerjaan audit untuk mereview selain dari yang
diberikan dalam proses audit.Independensi dalam melakukan pemeriksaan meliputi akses
langsung dan bebas terhadap semua buku, catatan, pejabat dan karyawan serta sumber-
sumber yang berkaitan dengan kegiatan, kewajiban dan sumber daya yang diperiksa; kerja
sama yang aktif dari pimpinan yang diperiksa selama pelaksanaan pemeriksaan; bebas dari
berbagai usaha pihak diperiksa untuk menentukan kegiatan pemeriksaan atau untuk
menentukan dapat diterimanya suatu bukti dan bebas dari kepentingan dan hubungan pribadi
yang mengakibatkan pembatasan pengujian atas berbagai kegiatan dan catatan
Independensi dalam membuat laporan meliputi bebas dari berbagai perasaan loyal atau
kewajiban untuk mengurangi dampak dari fakta-fakta yang dilaporkan; pengabaian
penggunaan yang sengaja atau tidak sengaja dari bahasa yang mendua dalam pernyataan
fakta, pendapat dan rekomendasi serta dalam penafsirannya dan bebas dari berbagai usaha
untuk menolak pertimbangan auditor sebagai kandungan yang tepat dari laporan audit, baik
dalam hal yang faktual maupun opininya
Jadi, untuk meningkatkan sikap independensi auditor sektor publik, maka kedudukan auditor
sektor publik baik secara pribadi maupun kelembagaan, harus terbebas dari pengaruh dan
campur tangan serta terpisah dari pemerintah. Auditor yang independen dapat menyampaikan
33. 33
laporannya kepada semua pihak secara netral.
Selama ini sektor publik/pemerintah tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi, kolusi,
nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara, padahal sektor publik merupakan
lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari
masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada
penyelenggara pemerintahan haruslah diimbangi dengan adanya pemerintahan yang bersih.
Seiring dengan munculnya tuntutan dari masyarakat agar organisasi sektor publik
mempertahankan kualitas, profesionalisme dan akuntabilitas publik serta value for money
dalam menjalankan aktivitasnya, diperlukan audit terhadap organisasi sektor publik tersebut.
Akan tetapi, audit yang dilakukan tidak hanya terbatas pada audit keuangan dan kepatuhan
saja, namun perlu diperluas dengan melakukan audit terhadap kinerja organisasi sektor publik
tersebut.
Audit kinerja memfokuskan pemeriksaan pada tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian
ekonomi yang menggambarkan kinerja entitas atau fungsi yang diaudit. Audit kinerja
merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara
obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi
operasi, efektifitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan dan kepatuhan terhadap
kebijakan, peraturan dan hukum yang berlaku, menentukan kesesuaian antara kinerja yang
telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta mengkomunikasikan
hasilnya kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut.
Kemampuan mempertanggungjawabkan (akuntabilitas) dari sektor publik pemerintah sangat
tergantung pada kualitas audit sektor publik. Tanpa kualitas audit yang baik, maka akan
timbul permasalahan, seperti munculnya kecurangan, korupsi, kolusi dan berbagai
ketidakberesal di pemerintahan. Kualitas audit sektor publik dipengaruhi oleh kapabilitas
teknikal auditor serta independensi auditor baik secara pribadi maupun kelembagaan. Untuk
meningkatkan sikap independensi auditor sektor publik, maka kedudukan auditor sektor
publik harus terbebas dari pengaruh dan campur tangan serta terpisah dari pemerintah, baik
secara pribadi maupun kelembagaan.
34. 34
KESIMPULAN
Evaluasi kinerja adalah suatu sistem dan cara penilaian pencapaian hasil kerja individu pegawai, unit
kerja maupun organisasi secara keseluruhan.
HR score card merupakan suatu pendekatan baru dalam pengukuran kinerja SDM dalam rangka
mebingkatkan kinerja organisasi. Model pengukuran ini sangat penting bagi manager SDM untuk
menghadapi tantangan dimasa depan, mengingat lingkungan yang selalu berubah.
Motivasi dapat diartikan sebagai kondisi fisiologis dan psikologis yabg terdapat dalam diri seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan aktifitas dengan cara tertentu yang terarah untuk mencapai
tujuan sedangkan kepuasan kerja merupakan refleksi dari seseorang karyawan terhadap pekerjaannya
yang timbul bukan hanya sebagai hasil interaksi antara karyawan dengan pekerjaannya, tetapi dengan
lingkungan kerja, situasi dan kondisi kerja serta rekan kerja karyawan.
Efektivitas adalah kunci keberhasilan organisasi. Sehingga pegawai dituntut bagaimana caranya
menemukan pekerjaan yang benar untuk dilakukan, dan memusatkan sumber daya dan upaya
kepadanya. Dengan memiliki kemampuan untuk mengelola kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual secara seimbang maka kinerja dari pegawai kan tercapai.
Audit kinerja mengalami perkembangan dan perubahan dari periode ke periode sesuai dg
perkembangan jaman. Audit kinerja memiliki peran yang sangat esensial khusunya dalam melakukan
audit pada sektor publik
Sumber daya manusia akan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan perusahaan. Untuk itu
dalam mencapaitujuan organisasi dibutuhkan kompetensi SDM yang memadai dalam mendorong
kinerja karyawan. Setiap perusahaan dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu, dan apabila
35. 35
tercapaidapat dikatakan berhasil. Untuk mencapai keberhasilan, diperlukan landasan yang kuat berupa
kompetensi dengan demikian, kompetensi menjadi sangat berguna untuk membantu organisasi dan
meningkatkan kinerja nya.
Daftar pustaka
Ambar Teguh Sulistiani dan Rosidah. 2009.
Manajemen Sumber Daya Manusia, Konsep, Teori Dan Pembangunan Dalam Kontek Organisasi
Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
B.S. Wibowo,Dkk. (2002). “Trustco SHOOT : Sharpening, Our Concept And Tools”
Bastian, Indra. 2011. Audit Sektor Publik. Edisi 2. Salemba Empat : Jakarta Mardiasmo.2002.
Akuntansi Sektor Publik.Andi Yogyakarta : Yogyakarta Aiip1726.blogspot.com
Jus Maliani. 2011. Pengelolaan Sumber Daya Insani. Bumi aksara. Jakarta.
Nur Nasution. 2010. Manajemen Perubahan Galia Indonesia. Bogor. Rianto. 2002.
Robert L. Mathis. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Salemba Empat. Jakarta.