SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Download to read offline
1
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT AGRARIS DALAM
KETAHANAN PANGAN DI PEDESAAN LERENG LAWU
KABUPATEN KARANGANYAR
LOCAL WISDOM AGRICULTURAL SOCIETIES IN FOOD SECURITY
IN THE COUNTRYSIDE SLOPES LAWU KARANGANYAR REGENCY
Tiwuk K. Hastuti, Hayu Adi Darmarastri, Sri Wahyuningsih
Abstrak
Penelitian ini bertujuan: (1) memberikan mode pemahaman baru terhadap potensi dan kemampuan
masyarakat desa dalam mengupayakan ketahanan pangan dengan mengembangkan strategi-strategi adaptasi
yang sesuai dengan kondisi/tantangan yang dihadapi; (2) menawarkan alternatif perspektif dalam memahami
masalah-masalah orang desa, strategi ketahanan pangan, (3) menghasilkan suatu model pengembangan desa
mandiri dengan lebih memperhatikan keberadaan lembaga-lembaga perdesaan yang tumbuh dari
bawah.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara
mendalam, pengamatan (observasi), analisis isi dokumen, dan diskusi kelompok terarah. Analisis data
dilakukan secara interaktif yaitu dengan menelaah semua data, mengadakan reduksi, dan memeriksa
keabsahan data untuk menghasilkan kerangka analisis yang memiliki bingkai makna sambil menafsirkan data
untuk memperoleh kesimpulan.Ketahanan pangan menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi negara-
negara berkembang sejak beberapa dekade terakhir ini. Meskipun dikenal sebagai negara yang kaya akan
sumber daya alam yang melimpah, Indonesia masih termasuk salah satu negara berkembang yang
menghadapi masalah kecukupan pangan secara berkelanjutan. Bagi masyarakat desa di Kawasan Lereng
Lawu, pengalaman traumatis kekurangan pangan atau ancaman kelaparan relatif tidak pernah dialami. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di desa itu mempunyai kemampuan internal yang cukup
tangguh dalam memenuhi kebutuhan dasar khususnya pangan. Sumberdaya ekonomi setempat mampu
memberi jaminan keamanan pangan.
Abstract
This research aims to: (1) provide a new understanding of the mode of the potential and ability of village
community in seeking food security by developing strategies of adaptation to suit conditions/challenges
faced; (2) offer an alternative perspective in understanding the problems of the villagers, the food security
strategy, (3) development of models generate a self-contained village with more attention to the existence of
rural institutions that grow from below.This research is qualitative research, data collected by using in-depth
interviews, observation techniques (observation), the analysis of the contents of the documents, and
discussion groups. Data analysis is done interactively by reviewing all the data, performing the reduction, and
checking the validity of the data to produce a framework of analysis that has a frame of meaning while
interpreting the data to derive the conclusion.Food security is one of the major problems faced by developing
countries since these past few decades. Although known as a country that is rich in natural resources in
abundance, Indonesia is still one of the developing countries which are facing problems of sufficiency in
food in a sustainable way. For the community of the village on the slopes of the Lawu, traumatic experience
food shortages or the threat of hunger relative never experienced. This shows that the people who live in the
village that had a pretty tough internal capabilities in meeting basic needs, especially food. Local economic
resources able to give assurance of food safety.
Keywords: food security, local wisdom, self-contained villages, rural communities
2
1. Pendahuluan
Masalah kekurangan pangan telah menjadi
fenomena sosial ekonomi di Indonesia sejak
zaman penjajahan hingga sekarang (Suryo, 2010:
1-9). Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara
yang subur dan kaya sumberdaya ekonomi, krisis
pangan sering melanda wilayah-wilayah tertentu
dan terjadi secara endemik mengikuti siklus
musim. Masalah kekurangan pangan dan
kemiskinan sesungguhnya telah menjadi perhatian
serius Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad
ke-20. Terlepas dari perdebatan mengenai faktor-
faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan
kekurangan pangan, misalnya apakah kemiskinan
itu akibat dari kemalasan penduduk atau mereka
malas karena miskin, tekanan struktural menjadi
faktor penting terjadinya krisis pangan. Penduduk
miskin sangat rentan terhadap perubahan politik
dan tekanan struktural lainnya seperti
keterbatasan sumberdaya, ketimpangan alokasi
dan akses, serta politik ekstraksi kolonialisme
yang berjalan cukup lama. Sampai dengan akhir
abad ke-19, hampir tidak ditemukan adanya
lembaga ketahanan pangan di pedesaan yang
mampu memberi jaminan sosial ketika terjadi
krisis dan kekurangan pangan. Pranata-pranata
tradisional seperti resiprositas dan hubungan
patron-klien tidak selamanya mampu memberi
jaminan sosial. Dengan demikian kekurangan
pangan menjadi ancaman permanen di pedesaan.
Tekanan demografis yang terus meningkat
mendorong munculnya ketegangan dan konflik
dalam memanfaatkan sumberdaya alam terutama
tanah/lahan untuk berbagai keperluan. Bagi
masyarakat pedesaan, lahan pertanian mempunyai
nilai ekonomi dan sosial yang sangat tinggi dalam
rangka mempertahankan kelangsungan hidup.
Perekonomian desa yang berbasis pertanian
sangat tergantung pada tersedianya lahan yang
cukup sebagai jaminan sosial. Terjadinya
ketimpangan dalam mengakses dan mengontrol
sumberdaya ekonomi telah melahirkan berbagai
bentuk kesenjangan sosial ekonomi. Ada
sekelompok orang atau golongan, yang karena
kekuasaan yang dimiliki, berhasil menguasai
lahan secara leluasa dan bahkan tak terbatas;
tetapi ada kelompok lain yang tidak mempunyai
akses sama sekali terhadap sumber daya pertanian
itu. Timbullah diferensisasi sosial yang semakin
tajam antara golongan kaya yang menguasai
sebagian besar sumberdaya desa, dan golongan
lainnya yang relatif miskin.
Dalam konteks mendukung upaya
pemerintah meningkatkan ketahanan pangan di
pedesaan, kajian terhadap bentuk-bentuk strategi
ketahanan pangan yang dikembangkan secara
mandiri oleh masyarakat desa perlu dilakukan
secara saksama. Hal ini menjadi modal sosial
yang sangat berharga dalam mengatasi krisis dan
kekurangan pangan, dan sekaligus menjadi katup
pengaman bagi kelangsungan hidup penduduk
miskin. Masyarakat yang tinggal di kawasan
lereng Lawu mempunyai pranata dan lembaga
ketahanan pangan yang secara mandiri telah
mereka kembangkan selama puluhan tahun.
Sesuai dengan kondisi lingkungan setempat,
sudah barang tentu institusi ketahanan pangan
yang berkembang di kawasan ini berbeda dengan
tempat lain. Oleh karena itu perlu dielaborasi
lebih jauh seperti apa wujud pranata ketahanan
pangan yang dikembangkan itu sebagai bagian
dari warisan intelektual Jawa yang tinggi nilainya.
Penelitian inimengkaji masalah itu terutama
memusatkan perhatian pada segi-segi sosial dan
budaya masyarakat nggunung di Lereng Lawu
dalam mengupayakan ketahanana pangan.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menitikberatkan pada upaya
mengungkap kedalaman mengenai pemahaman
masyarakat dalam mendefinisikan ketahanan
pangan, bentuk-bentuk respon dan strategi
adaptasi masyarakat pedesaan dalam
mengupayakan ketahanan pangan. Lembaga dan
pranata tradisional yang mampu meningkatkan
ketahanan pangan secara mandiri dan memberi
jaminan sosial ekonomi bagi penduduk di
pedesaan Lereng Lawu. Strategi dalam
mengupayakan ketahanan pangan diharapkan
dapat memberi manfaat bagi masyarakat
pedesaan.
Penelitian dilakukan di wilayah pedesaan
Kecamatan Ngargoyoso dan Tawangmangu
Kabupaten Karanganyar. Desa-desa yang berada
di lereng Lawu ini mempunyai karakteristik
sebagai desa “nggunung” yang berbeda dengan
desa yang terletak di dataran rendah (“ngare”).
Kondisi ekologis diduga kuat berpengaruh
terhadap munculnya bentuk-bentuk strategi dan
pranata ketahanan pangan.
Penelitian ini bersifat kualitatif dan
pengumpulan data dilakukan dalam tiga tahap
yaitu studi bahan dokumen, wawancara
mendalam, observasi dan Focus Group
Discussion (FGD). Data-data statistik, monografi
dan catatan tertulis lainnya yang berkaitan dengan
produksi pangan dimanfaatkan untuk mendukung
penelitian ini. Data-data dimaksud tersimpan di
kantor kelurahan, kecamatan, dan instansi
pemerintah lainnya. Wawancara mendalam
dilakukan dengan sejumlah informan yang dipilih
secara purposif sesuai dengan permasalahan yang
akan diteliti, terutama kepada tokoh-tokoh formal
dan informal setempat. Wawancara dilakukan
3
secara bebas dan terfokus untuk memberi
kemudahan dalam menggali data secara
mendalam tentang bentuk-bentuk strategi yang
dikembangkan dalam mewujudkan ketahanan
pangan secara mandiri. Observasi dilakukan
untuk mengetahui kondisi riil desa “nggunung”
seperti kondisi fisik, keadaan sosial budaya, dan
aktivitas masyarakat sehari-hari dalam rangka
memenuhi kebutuhan pangan. Data ini sangat
penting untuk melengkapi data hasil wawancara
yang dilakukan kepada sejumlah informan. FGD
dilakukan terutama untuk menggali pendapat,
pandangan, atau pemikiran sejumlah orang
terhadap potensi dan kemampuan masyarakat
desa dalam mengupayakan ketahanan pangan
dengan mengembangkan strategi-strategi adaptasi
yang sesuai dengan kondisi/tantangan yang
dihadapi. Dalam diskusi kelompok akan
dirumuskan model pengembangan desa mandiri
dengan lebih memperhatikan keberadaan
lembaga-lembaga perdesaan yang tumbuh dari
bawah. FGD akan dilakukan 3 kali untuk setiap
kecamatan dan kalurahan dengan komposisi
perwakilan nara sumber masing-masing yaitu
perwakilan aparat pemerintah, tokoh-tokoh
masyarakat setempat, LSM dan penduduk
setempat.
Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Proses analisis data dimulai dari menelaah seluruh
data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari
dokumen, wawancara, pengamatan yang
dituliskan dalam catatan lapangan. Langkah
berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang
dilakukan dengan jalan membuat abstraksi,
menyusunnya dalam satuan-satuan, kemudian
dikategorisasikan. Tahap akhir dari analisis
adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data,
cek dan recek untuk menghasilkan kerangka
analisis yang memiliki bingkai makna sambil
menafsirkan data untuk memperoleh kesimpulan.
3. Hasil Dan Pembahasan
a. Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan judul “Lumbung Desa
sebagai Lembaga Ketahanan Pangan di
Karesidenan Rembang pada Awal abad ke-20”
(Warto, 2007) sebagai referensi dan studi
komparasi dalam penelitian ini. Penelitian di
Karesidenan Rembang tersebut mempunyai
beberapa tujuan: (1) untuk mengetahui ciri-ciri
lumbung desa sebagai lembaga ketahanan pangan
yang berkembang pada awal abad ke-20, (2)
mengkaji kemampuan dan kemandirian lumbung
desa sebagai lembaga ketahanan pangan di
perdesaan, (3) mengkaji peran Pemerintah Hindia
Belanda dalam usaha mengembangkan lumbung
desa sebagai lembaga ketahanan pangan di
perdesaan, dan (4) untuk menganalisis
rasionalisasi kebijakan mendirikan lumbung desa
sebagai lembaga alternatif untuk mengatasi krisis
pangan di wilayah perdesaan. Hasil penelitian
menujukkan bahwa lumbung desa mempunyai
fungsi sangat penting dalam kehidupan sosial
ekonomi penduduk desa terutama dalam
mengatasi kekurangan pangan dan kesulitan
bersama. Lembaga ini sesungguhnya lahir dari
masyarakat sendiri, sebelum akhirnya dikooptasi
Pemerintah Hindia Belanda untuk mensukseskan
program ekonomi perdesaan dalam rangka
mengimplementasikan kebijakan politik etis pada
awal abad ke-20. Penelitian yang dilakukan Warto
mempunyai relevansi dan sebagai studi komparasi
dengan penelitian ini Oleh karena masyarakat di
pedesaan Lereng Lawu juga mempunyai “pogo”,
tempat yang dibangun di bagian atap rumah (di
dapur, rumah belakang, rumah depan) berfungsi
untuk menyimpan jagung dan hasil pertanian
lainnya yang dapat diawetkan. Apakah fungsi
“pogo” ini sama dengan lumbung padi di daerah
persawahan ? Bagaimanakah pranata kelembagan
ekonomi (Pogo) sebagai aset ekonomi dan
eksistensinya pada masa sekarang dalam
mengupayakan ketahanan pangan di pedesaan
Lereng Lawu ?
Tulisan Untoro (2010) “Kearifan Lokal
Masyarakat agraris dalam Ketahanan Pangan di
Kesultanan Banten Abad 15-18”, menggambarkan
tentang bagaimana masyarakat di Kesultanan
Banten pada abad 15-18 mengelola sumber daya
lingkungan hidupnya sehingga mampu menjadi
masyarakat agraris dalam menghadapi ketahanan
pangan. Kearifan lokal yang dijalankan oleh
penguasa Banten untuk mempertahankan pangan
antara lain terus memacu memperluas lahan
pertanian dan disertai pengambilan keputusan
yang tepat menentukan kapan mulai budidaya
tanaman industri dan kapan menghentikannya.
Berani melepaskan diri dari ketergantungan
perdagangan internasional diiringi dengan
mencukupi pangan di dalam negeri, sebuah
keputusan yang sangat rasional untuk
menyelamatkan negeri Banten. Kebijakan yang
ditempuh para penguasa Banten beberapa abad
silam telah membuktikannya sehingga nama
kebesaran Kesultanan Banten ini dikenal hingga
ke manca negara saat itu. Dengan demikian
kearifan lokal mengelola lingkungan bagi
ketahanan pangan di masa lalu dapat dijadikan
pembelajaran bagi masa kini sehingga kejayaan
yang pernah dicapai oleh Kesultanan Banten
dapat terulang kembali. Tulisan tersebut sebagai
bahan referensi dan perbandingan dengan
penelitian ini. Masyarakat Lereng Lawu dalam
mengelola lingkungan alam telah terbiasa
mendiversifikasi tanaman di atas lahan tegalan,
4
yaitu secara simultan menanam beberapa jenis
tanaman yang laku dijual di pasar dan tanaman
pangan lain. Jenis tanaman yang akan ditanam
disesuaikan dengan tren harga yang sedang
berlaku. Petani menanam beberapa jenis tanaman
pasar yang dapat disimpan, seperti bawang putih
dan bawang merah yang dapat dijual ketika
mereka membutuhkan. Hal ini menunjukkan
perubahan penting dari masyarakat subsisten ke
masyarakat pasar. Sejalan dengan tulisan Semedi
(Untoro, 2010: 1), mengungkapkan bahwa sejak
masa pra-kolonial mayoritas petani Jawa sudah
terintegrasi dengan sistem pasar. Panen tanaman
panganpun sebagian mereka jual ke pasar. Fakta
sejarah menunjukkan bahwa petani Jawa memiliki
daya tanggap yang tinggi, sangat responsif,
terhadap peluang pasar (Untoro, 2010) Apakah
kondisi tersebut yang menawarkan kesempatan
untuk secara kreatif mengubah pola perilaku
penduduk pedesaan Lereng Lawu ? Apakah
diversifikasi tanaman komersil dan tanaman
pangan tersebut mampu memberi jaminan
ketersediaan pangan yang cukup sekaligus
mampu memenuhi gizi seimbang ? Mungkinkah
diversifikasi jenis tanaman dan selisih harga di
pasar menjadi katup pengaman penting bagi
terjaminnya kebutuhan dasar khususnya beras
yang dibutuhkan setiap hari ? Meskipun beras
tidak dihasilkan sendiri, mereka tetap mampu
menyediakan beras dengan menukarkan hasil
ladangnya, apakah demikian yang terjadi ? Untuk
menjawab permasalahan-permasalahan tersebut
perlu penelitian lebih mendalam.
Tulisan Maryoto (2010) “Diversifikasi
Pangan dan Tradisi Kuliner di Indonesia”,
mengungkapkan bahwa terkait dengan wisata
kuliner sebagai pintu masuk diversifikasi pangan
maka Indonesia mempunyai ketahanan pangan.
Maryoto melihat sejarah pangan bisa menjadi
penopang bagi usaha itu. Orang akan makin
menikmati berbagai jenis hidangan lokal bila
mereka mengetahui aspek sejarah dan juga aspek
antropologi pangan. Melalui sejarah pangan dan
sejarah kuliner, dapat dilihat aspek kebudayaan
secara luas. Kekayaan kuliner telah
memperlihatkan persatuan-kesatuan,
multikulturalisme, silang budaya, ketahanan
pangan, pengakuan terhadap minoritas, dan lain-
lain (Maryoto, 2010: 1), Hal ini dapat
dibandingkan dengan tradisi penduduk Lereng
Lawu dalam mendiversifikasi jenis makanan.
Penduduk Lereng Lawu melakukan perubahan
pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi,
cara ini untuk menghemat makanan pokok agar
tidak cepat habis sebelum panen berikutnya. Pada
waktu makanan pokok mereka masih berupa
jagung, mereka makan jagung dua kali sehari
yaitu pada pagi hari dan sore hari saja, sedangkan
siang hari dengan cara brakahan (makan ketela,
ubi atau talas, ganyong, pisang, dan umbi-umbian
lainnya). Selain itu juga mengolah jagung menjadi
nasi bubur supaya dapat dibagi rata dan
memperbanyak sayuran. Strategi ini sebenarnya
sangat baik karena penduduk sudah mampu
mencukupi gizi seimbang. Hal ini menarik untuk
diteliti lebih lanjut karena mendiversifikasi jenis
makanan merupakan cara untuk mengurangi
ketergantungan pada beras yang diperoleh di
pasar. Ketika beras menjadi satu-satunya sumber
karbohidrat dan dinilai tinggi statusnya, makanan
lokal seperti talas, jagung, ketela, dijadikan
makanan tambahan.
b. Landasan Teori
Ketahanan pangan merupakan bagian
terpenting dari pemenuhan hak atas pangan
sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak
azasi manusia. Dalam hal ini hak atas pangan
seharusnya mendapatkan perhatian yang sama
besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak
azasi manusia lain. Kelaparan dan kekurangan
pangan merupakan bentuk terburuk dari
kemiskinan yang dihadapi rakyat, karena
kelaparan sendiri merupakan suatu proses sebab-
akibat dari kemiskinan. Oleh karena itu, usaha
mengembangkan ketahanan pangan tidak dapat
dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah
kemiskinan. Masalah pangan yang dikaitkan
dengan kemiskinan sesungguhnya juga telah
menjadi perhatian dunia, terutama seperti
dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia dan
Indonesia memiliki tanggungjawab untuk turut
serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap
usaha menghapuskan kelaparan di dunia.
Berkaitan dengan masalah tersebut,
dalam Prinsip-Prinsip Piagam Bumi disebutkan
keharusan semua negara untuk (1) Menghormati
dan memelihara komunitas kehidupan, (2)
Keutuhan ekologi, (3) Keadilan sosial dan
Ekonomi, (dan (4) Demokrasi, anti kekerasan dan
perdamaian. Dalam menjaga keutuhan ekologi,
misalnya salah satu prinsipnya menyebutkan
perlunya “mengelola pemanfaatan sumberdaya
yang terbarukan seperti air, tanah, hasil hutan, dan
kehidupan laut dengan cara-cara yang tidak
melampaui kecepatan beregenerasi dan yang
melindungi kesehatan ekosistem” (KLH, 2004: 12
dst). Selanjutnya dalam UN Millinium
Development Goals (MDG) juga disebutkan
tentang usaha-usaha yang diperlukan untuk
memperbaiki kondisi masyarakat global, yang
antara lain juga mencakup “jaminan lingkungan
yang berkelanjutan” (Yuwono, 2004: 5).
Ketahanan pangan juga merupakan
bagian sangat penting dari ketahanan nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun
2002 tentang Ketahanan Pangan disebutkan,
”ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
5
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”
(pasal 1). Pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Selanjutnya dijelaskan, ”ketersediaan pangan
adalah tersedianya pangan dari hasil produksi
dalam negeri dan/atau sumber lain”.
Penyediaan pangan diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
tangga yang terus berkembang dari waktu ke
waktu. Untuk mewujudkan penyediaan pangan
dilakukan dengan: (a) mengembangkan sistem
produksi pangan yang bertumpu pada
sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal; (b)
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan;
(c) mengembangkan teknologi produksi pangan;
(d) mengembangkan sarana dan prasarana
produksi pangan; dan (e) mempertahankan dan
mengembangkan lahan produktif (pasal 2 Bab II).
Selanjutnya dalam pasal 3 dikatakan bahwa
”sumber penyediaan pangan berasal dari produksi
pangan dalam negeri, cadangan pangan, dan
pemasukan pangan. Sumber penyediaan pangan
diutamakan berasal dari produksi pangan dalam
negeri. Cadangan pangan dilakukan untuk
mengantisipasi kekurangan pangan, kelebihan
pangan, gejolak harga dan/atau keadaan darurat”.
Ketahanan pangan tidak hanya
mencakup pengertian ketersediaan pangan yang
cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses
(termasuk membeli) pangan dan tidak terjadi
ketergantungan pangan pada pihak manapun
(Lihat Husodo, 2010: 1-3). Dalam hal inilah,
petani memiliki kedudukan strategis dalam
ketahanan pangan. Petani adalah produsen pangan
dan mereka sekaligus kelompok konsumen
terbesar yang sebagian masih miskin dan
membutuhkan daya beli yang cukup untuk
membeli pangan.
Ketahanan pangan di wilayah pedesaan
dapat dibangun melalui dukungan pranata yang
menjadi undang-undang kolegial di masyarakat
desa. Pranata tersebut merupakan aset
sumberdaya yang melekat sejak keberadaan desa
tersebut, yaitu berupa pranata-pranata hidup dan
berkembang di desa. Pranata dan lembaga-
lembaga perdesaan yang tumbuh dari bawah,
merupakan manifestasi dari kumpulan kelompok-
kelompok masyarakat untuk menanggulangi
berbagai kebutuhan dan kesulitan bersama.
Lembaga perdesaan kemudian dibedakan menjadi
dua kategori. Pertama, disebut lembaga naluri
yaitu lembaga-lembaga yang berkaitan dengan
upacara keagamaan, kematian, dan beberapa adat
sekitar peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Lembaga seperti ini juga disebut pranata
sosial budaya yang bertumpu pada nilai-nilai
solidaritas, pirukunan, gotong royong, dan
resiprositas. Kedua, disebut lembaga yang
berorientasi pada tujuan di mana unsur manusia
turut menciptakan untuk memenuhi kebutuhan di
luar sekedar naluri, misalnya motif ekonomi.
Bentuk terakhir juga dikatakan sebagai organisasi
(Sajogjo, 1985).
Lembaga naluri biasanya ditandai oleh
cirinya yang dominan yaitu bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan (need compliance),
sedangkan pada organisasi yang dikembangkan
orang di desa dengan ciri power compliance,
yakni ketika orang desa bersatu dalam organisasi
untuk tujuan tertentu, mereka berbuat tak lepas
dari pengaruh “fihak yang berwajib” atau
“pemerintah” (Warto, 2003: 31). Dalam hubungan
itu orang lebih sering merasakan dorongan untuk
mengikuti kemauan pihak yang
berkuasa/pemerintah. Sementara itu, dalam
kehidupan lembaga naluri, para pemimpin formal
menjunjung tinggi adat musyawarah dalam
menentukan sesuatu kebijakan dimana kontrol
sosial terhadap kepemimpinan adalah nilai wajar.
Dengan singkat dapat dikemukakan,
lembaga perdesaan baik yang berupa pranata atau
lembaga naluri maupun organisasi, dapat
dibedakan ke dalam beberapa tipologi. Pertama,
kelembagaan di bidang agama, pendidikan, sosial,
seperti misalnya rukun kematian, sinoman,
rewang, sambatan, kelompok pengajian, yasinan,
upacara-upacara penting di sekitar lingkaran
hidup, sedekah bumi dan lain-lain. Kelompok
berikutnya adalah kelembagaan ekonomi sebagai
aset ekonomi desa misalnya lumbung desa,
perkumpulan irigasi, arisan, simpan-pinjam,
sistem maro, dan lain-lain. Sedangkan kelompok
lembaga lainnya adalah merupakan aset budaya
dan politik desa misalnya pemilihan kepala desa,
rembug atau telik desa, komite atau gerakan-
gerakan reformasi, sistem bondo desa, kelompok-
kelompok kesenian dan budaya, dan lain-lain.
Kesemua unsur aset desa tersebut pada
hakekatnya merupakan potensi sumberdaya desa
yang dapat dipergunakan sebagai instrumen untuk
memajukan dan memandirikan desa dengan tanpa
harus menghilangkan segala yang telah ada di
desa dan menggantikannya dengan hal yang baru.
Potensi tersebut mempunyai nilai riil untuk dapat
memajukan dan memandirikan desa. Oleh karena
itu, usaha menumbuhkan dan membangun
ketahanan pangan di desa tidak dapat dilepaskan
dari usaha mengembangkan pranata dan
kelembagaannya sebagai sarana untuk
mengembangkan potensi dan sumberdaya desa
6
secara keseluruhan. Pranata tradisional selain
berfungsi untuk menjaga solidaritas dan
kohesivitas masyarakat desa, ia sekaligus juga
dapat dijadikan tempat mendapatkan jaminan
sosial dalam menghadapi kesulitan dan krisis
ekonomi. Berbeda dengan lembaga/organisasi
yang dibentuk atas dasar perintah dari pihak lain
(kekuasaan supra desa), pranata tradisional
berakar kuat dalam tradisi setempat karena
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan
sehari-hari masyarakat lokal.
Isu-isu tentang jaminan sosial (social
security) menyangkut interrelasi antara
kompleksitas hukum, akses dan pemakaian
sumberdaya alam. Salah satu pandangan di balik
studi interrelasi ini adalah ide bahwa „peraturan
dan hak-hak hukum menjadi sumberdaya sosial
penting dalam strategi dan negosiasi rakyat
terhadap sumber daya alam seperti tanah, air,
tanaman, dan mineral‟. Ia membentuk dimensi
penting dalam praktik-praktik sosial dan ini
mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi secara
substansial (F. dan K. von Benda-Beckmaan,
2001: 261).
Terbatasnya sumber daya dalam
pemenuhan kebutuhan hidup akan mempengaruhi
tingkat kesejahteraan dan jaminan sosial. Jaminan
sosial di Indonesia merupakan respons terhadap
tingkat kesejahteraan yang rendah dan respons
terhadap gagalnya pemerintah dan lembaga-
lembaga non-pemerintah dalam menjamin
kesejahteraan penduduk. Rendahnya
kesejahteraan juga dipengaruhi oleh akses dan
kontrol terhadap sumber daya. Akses dan kontrol
menjelaskan beberapa hal: (1) menjelaskan suatu
struktur sosial politik dalam kelompok yang
menentukan hubungan-hubungan kekuasaan
antarkelompok dan struktur ini kemudian menjadi
konteks di mana persoalan redistribusi dapat
berlangsung dalam kaitannya dengan hubungan
antarkelompok; (2) akses ini memperlihatkan
posisi politik seseorang yang mana kemampuan
orang itu untuk mengakses sumber daya sangat
ditentukan oleh kapasitas yang dimilikinya; (3)
akses dan kontrol memperlihatkan suatu kemauan
politik yang lebih mendasar, khususnya
menyangkut bagaimana orientasi yang dimiliki
dalam memberdayakan publik atau justru
memperkuat struktur yang hirarkis dan dominatif
sehingga ruang-ruang publik tidak terbuka dengan
cukup untuk dapat mewadahi aspirasi masyarakat.
Perubahan sebuah rezim yang seringkali
diikuti pula perubahan kondisi sosial, ekonomi,
politik secara makro serta perubahan internal
masyarakat sendiri menumbuhkan bentuk-bentuk
adaptasi dan strategi tertentu dalam
mempertahankan kelangsungan hidup (survival)
atau akumulasi (accumulation). Keduanya bukan
hanya memperlihatkan perbedaan tingkat
kesejahteraan melainkan juga memperlihatkan
hubungan struktural menyangkut persoalan akses
dan kontrol dalam masyarakat. Perubahan-
perubahan yang terjadi juga menegaskan adanya
ketidakpastian terus-menerus yang dialami
kelompok-kelompok yang tidak berdaya baik
secara ekonomi maupun politik.
Terbatasnya jaminan sosial bagi
kelompok masyarakat yang rentan
memperlihatkan buruknya kinerja sebuah rezim
(bad governance) yang gagal memerankan dirinya
sebagai institusi yang berfungsi memberi jaminan
sosial. Persoalan jaminan sosial di Indonesia,
masih menyisakan berbagai agenda. Pertama,
menyangkut pengakuan hukum dan politik atas
keberadaan penduduk dalam penyelenggaraan
negara. Kedua, menyangkut isu hak dan
pemilikan atas sumber daya alam dan barang
publik yang terkait dengan hubungan kekuasaan.
Hak dan kepemilikan di kalangan orang kecil
merupakan persoalan rentan karena dapat dengan
mudah mereka kehilangan hak atas sumber daya
yang dimilikinya akibat suatu proses politik yang
tidak mampu mereka kendalikan. Dalam suatu
struktur hubungan yang hirarkis dan timpang,
kelompok yang lemah ini tidak memiliki capital
sosial yang kuat untuk mempertahankan milik
mereka yang sangat terbatas sekalipun. Ketiga,
persoalan jaminan sosial menyangkut masalah
akses dan kontrol yang akan menentukan keadaan
terjamin tidaknya hak publik atas sumber daya
yang tersedia. Keempat, menyangkut kelompok
yang dirugikan dan diuntungkan dalam berbagai
hal (Abdullah dan Abdul Aziz Saleh, 2001).
Bagi penduduk pedesaan, sumber daya
alam merupakan sumber jaminan sosial utama
baik dalam kondisi kesulitan maupun cadangan di
masa datang sehingga mereka tetap ingin menjaga
kelestariannya. Namun, di sisi lain pemerintah
yang dilatarbelakangi kepentingan internasional
berusaha menjaga kontrol atas sumber daya alam
dengan berbagai alasan. Masing-masing aktor lalu
mempunyai kepentingan berbeda-beda, baik
untuk jangka pendek maupun jangka panjang
menyangkut strategi dan manajemen pemanfaatan
sumber daya alam. Akibatnya timbul kontradiksi-
kontradiksi, tidak hanya antaraktor yang terlibat
dalam pengelolaan sumber daya alam akan tetapi
juga antarkepentingan. Menipisnya sumber daya
alam dipandang sebagai ancaman serius bagi
sekelompok orang dibanding mereka yang dapat
berganti pada sumberdaya yang lain. Persoalan
kompleksitas hukum, jaminan sosial, dan
kelestarian lingkungan merupakan isu yang
saling berkaitan. Ketidakterjaminan sosial (social
insecurity) berkaitan dengan isu hak dan
eksploitasi sumberdaya alam serta akses dan
kontrol (F & K von Benda-Beckmann and Marks,
2000).
7
Sebuah persoalan klasik yang berkaitan
dengan manajemen sumberdaya alam
berkelanjutan dan juga jaminan sosial adalah
gagasan komunitas (the notion of community).
Kebijakan jaminan sosial secara resmi biasanya
berasumsi bahwa komunitas lokal masih
merupakan penyokong yang kuat bagi jaminan
sosial. Namun fenomena terakhir menunjukkan
bahwa lingkaran-lingkaran sokongan jaminan
sosial menjadi semakin kecil ketika melampaui
masa yang panjang sehingga menyebabkan
masyarakat desa kehilangan keluwesan pada
masa-masa sulit. Tidak setiap penduduk desa
mempunyai sarana yang sama untuk menciptakan
akses pada sumber daya alam serta produk-
produknya, dan bahwa faktor-faktor seperti status
sosial-ekonomi, usia, gender, dan konfigurasi
rumah tangga semuanya memainkan peran dalam
upaya penduduk desa mencapai jaminan sosial
ekonomi (F & K von Benda Beckmann &
Koning, 2001: 262).
c. Kearifan Lokal Masyarakat Lereng Lawu
Dalam Ketahanan Pangan
Kecamatan Ngargoyoso merupakan salh
satu dari 17 kecamatan di Kabupaten
Karanganyar. Kecamatan Ngargoyoso terdiri dari
9 desa, yaitu Berjo, Dukuh, Girimulyo, Jatirejo,
Kemuning, Ngargoyoso, Nglegok, Puntukrejo,
dan Segorogunung.Secara geografis Kecamatan
Ngargoyoso memiliki batas wilayah sebagai
berikut: Sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Magetan (Gunung Lawu), Kecamatan
Ngargoyoso. Sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Karangpandan, sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Tawangmangu,
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Jenawi. Sebagian besar wilayah Kecamatan
Ngargoyoso berada di lereng barat Gunung Lawu
yang berudara dingin. Di Kecamatan Ngargoyoso
terdapat obyek wisata antara lain Candi Sukuh,
Kebun Teh Kemuning. Jumlah Penduduk di
Kecamatan Ngargoyoso adalah 35.845 Jiwa.
Dilihat dari Keadaan Topografisnya, Kecamatan
Ngargoyo memiliki Jenis tanah: Komplek
Andosol Coklat, Andosol Coklat kekuningan, dan
Litosol.
Desa Berjo merupakan sebuah Desa di
Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini yang terletak di
lereng Gunung Lawu. Desa Berjo memiliki
topografi berupa daerah yang tinggi, berada di
ketinggian ± 1.500 mdpl, dengan suhu udara rata
– rata ± 22 °C sampai dengan 32 °C dan beriklim
tropis. Desa Berjo mempunyai luas wilayah
1623,865 Ha dan memiliki batas wilayah sebagai
berikut: sebelah utara Desa Berjo dibatasi oleh
Desa Girimulyo, sebelah timur dibatasi oleh hutan
Lawu, sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Tawangmangu, dan sebelah
barat berbatasan dengan Desa Puntukrejo. Letak
topografis desa Berjo adalah tanahnya terdiri dari
dataran tinggi dengan ketinggian tanah dan
permukaan laut 1000m, suhu udara rata-rata 20-
23 C.
Desa Berjo merupakan salah satu daerah
tujuan wisata di Kabupaten Karanganyar.
Karena mempunyai banyak keunikan sejarah
yaitu Candi Sukuh dan Budaya serta panorama
alam yang indah dan sejuk. Desa Berjo memiliki
beberapa tempat wisata seperti Candi Sukuh, Air
Terjun Jumog, dan Telaga Madigda di lembah
Gunung Purung. Desa Berjo terdiri dari beberapa
dusun, yaitu: Tagung, Tambak, Berjo, Pabongan,
Gandu, Selorejo, Sukuh, Gero, Moroto, Tlogo.
Jumlah seluruh penduduk Desa Berjo adalah 6545
orang, terdiri dari 3294 laki-laki dan 3251
perempuan.
Mayoritas penduduk Desa Berjo bermata
pencaharian sebagai petani dengan pendapatan
perkapita rata-rata Rp 550.000 / bulan dengan
kategori desa sedang diantara 9 desa di
Kecamatan Ngargoyoso. Lahan pertanian mereka
kebanyakan berupa tegal/kebun. Sektor industri
yang menjadi andalan Desa Berjo adalah
makanan kecil, minuman instan dan penyulingan
cengkeh, yang kesemuanya tergolong kedalam
industri kecil (rumah tangga). Pekerjaan
penduduk desa Berjo sebagian besar adalah
sebagai petani, sebagian lainnya menjadi buruh
tani, pedagang dan pegawai negeri. Pertanian
menjadi basis perekonomian desa terutama
pertanian ladang yang menghasilkan berbagai
jenis komoditas sayuran. Kegiatan Pertanian yang
dikembangkan penduduk Berjo sebagian besar
berorientasi pasar. Berbagai jenis tanaman yang
diusahakan di tegalan maupun dan di pekarangan
merupakan jenis tanaman komoditas yang dijual
ke pasar-pasar lokal dan ke daerah lain di
Indonesia. Aktivitas perdagangan hasil-hasil
pertanian khususnya sayuran sangat dinamis dan
berlangsung setiap hari. Hal ini juga didukung
oleh kemudahan aksesibilitas menuju pusat-pusat
perdagangan (pasar) dan prasarana transportasi
yang mudah. Model yang dikembangkan dalam
proses penggalian tingkat kesejahteraan
masyarakat dilakukan mulai dari kelompok
masyarakat tingkat dusun.
Selain menghasilkan berbagai tanaman
sayuran yang menjadi tanaman andalan,
masyarakat Desa Berjo juga dikenal sebagai
penghasil tanaman perkebunan. Beberapa jenis
tanaman perkebunan yang banyak diusahakan
oleh penduduk antara lain cengkeh. Terutama
tanaman cengkeh, hampir setiap penduduk
menanam tanaman ini. Sebelum tahun 90a-an
awal yaitu ketika berdiri BPPC, cengkeh
mempunyai nilai yang cukup tinggi sehingga
8
sangat menguntungkan penduduk. Namun, ketika
harga cengkeh dikendalikan BPPC, harga
cengkeh di tingkat petani merosot tajam dan
banyak pohon cengkeh ditebangi. Saat ini
cengkeh tidak lagi menjadi andalan komoditas
penduduk Berjo, dan digantikan tanaman lain
seperti wortel dan bunga. Selama tiga tahun
terakhir, tanaman bunga jenis anthurium
(gelombang cinta dan jenmani) menjadi produk
unggulan yang nilai sangat tinggi. Berkat tanaman
ini tingkat perekonomian sebagian penduduk
Berjo meningkat tajam. Sekitar tahun 2003,
kelompok tani Berjo, mendirikan perkumpulan
petani bunga dan sampai sekarang masih berjalan
dan semakin maju. Dengan hasil tanaman bunga
dan bunga potong, maka desa Berjo dikatakan
sebagai desa maju.
Pemahanan penduduk terhadap
ketahanan pangan di Desa Berjo pada tahun 1960-
an berbeda dengan pemahaman penduduk setelah
tahun 1980-an. Pada tahun 1960-an menurut
penduduk Berjo ketahanan pangan adalah kondisi
di mana setiap orang atau keluarga mampu
menydiakan bahan makanan baik berupa jagung
maupun beras yang biasa mereka konsumsi setiap
harinya. Mereka akan merasa tentram jika di
rumah tersedia beras, jagung, maupun ketela. Hal
tersebut karena pada tahun 1960-an dan masa-
masa sebelumnya penduduk Desa Berjo masih
merupakan petani subsisten yaitu hanya menanam
untuk kebutuhan sendiri, jagung dan ubi-ubian
merupakan makanan pokok penduduk Berjo.
Sedangkan Konsep kekurangan pangan menurut
penduduk desa Berjo adalah bila dalam keluarga
tidak tersedia cukup bahan makanan pokok untuk
dikonsumsi sehari-hari, bahkan pola makan yang
semula tiga kali dalam satu hari menjadi dua atau
bahkan sekali sehari.
Sesudah tahun 1980 an terjadi perubahan
pada jenis makanan pokok Berjo yaitu berupa
beras. Meskipun beras tidak dihasilkan sendiri,
mereka dapat membeli di pasar. Dengan adanya
perubahan jenis makanan pokok tersebut, maka
jagung yang semula merupakan makanan pokok,
justru sekarang jagung menjadi makanan yang
istimewa karena hanya sebagai campuran saja.
Mereka tidak lagi menanam jagung karena hasil
jualnya lebih rendah, waktu yang dibutuhkan
sampai panen lama. Tanaman jagung banyak
dimakan oleh monyet. Hama ini sulit diatasi.
Sehingga banyak masyarakat Berjo yang beralih
ke tanaman lain seperti sayuran, tanaman bunga
yang dapat di jual lebih cepat. Hasil dari menjual
sayuran dan tanaman sudah dapat untuk
mencukupi kebutuhan keluarga. Artinya mereka
dapat membeli kebutuhan makan dengan menjual
hasil dari kebun yang harganya masih jauh lebih
tinggi dibandingkan harga jagung atau palawija
yang lainnya. Dengan demikian perubahan sistem
ekonomi yang semula merupakan sistem ekonomi
subsisten menjadi ekonomi komersial
mempengaruhi juga pola makan yaitu dari jagung
ke beras (Wahyuningsih, 2007).
Selain mengenal apa yang disebut
kekurangan pangan dan kecukupan pangan,
masyarakat Berjo juga mengenal apa yang disebut
dengan masa panen dan masa paceklik. Pada
masa panen masyarakat petani disibukkan dengan
memetik hasil. Dan pada saat petani tersebut
panen justru harga jual hasil panen biasanya lebih
murah dari pada saat para petani mulai tanam.
Sesudah masa panen berakhir petani mulai
mempersiapkan lahan untuk ditanami lagi. Pada
saat petani mulai menanam sampai pada musim
panen berikutnya disebut masa paceklik. Oleh
karena itu untuk mencukupi kebutuhan pangan
maka para petani membiasakan diri menyimpan
bahan tersebut sampai pada masa panen
berikutnya. Apabila cuaca baik dan air terpenuhi,
tidak ada hama yang menyerang tanaman, maka
hasilnya juga akan bagus. Namun banyak kendala
yang sering dialami oleh petani pada saat mereka
menanti panenan. Dengan merawat tanaman maka
kendala-kendala yang sifatnya ringan dapat
teratasi.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Desa Berjo menjalin hubungan kerja sama dengan
sesama warga desa. Hubungan dalam masalah
ekonomi tampak dalam kebiasaaan hidup mereka,
misalnya dalam kasus-kasus pinjam-meminjam
uang antar tetangga. Bila ada warga
membutuhkan uang yang sifatnya mendesak,
sedangkan ia tidak memiliki uang, maka biasanya
akan berusaha untuk meminjam pada salah
seorang tetangganya. Untuk keperluan konsumsi
dan biaya usaha tani pada umumnya mereka dapat
meminjam dari tetangga tanpa jaminan.
Kemudian, apabila memerlukan uang yang cukup
besar untuk keperluan penting seperti
mengadakan perkawinan, pengobatan anggota
keluarga, mencari pekerjaan dan keperluan
pendidikan anak-anak mereka dapat meminjam
pada petani kaya atau orang-orang kaya di
desanya dengan jaminan barang atau tanah atau
pinjam di lembaga keuangan desa.
Antara sesama warga dari berbagai
lapisan tidak terdapat sikap antipati. Hal ini
tercermin bahwa semua rumah tangga dapat
menerima sesama warga desa dari semua
golongan dan lapisan sosial untuk bekerja sama
dalam berbagai konteks hubungan sosial.
Misalnya sebagai tetangga baru, sebagai teman
seperkumpulan dan sebagai penasehat dalam
mengatasi masalah ekonomi rumah tangga. Hal
tersebut juga tercermin dari pola pemukiman
penduduk. Komplek perumahan penduduk di
semua dusun merupakan komplek yang
menghimpun rumah tempat tinggal warga desa
9
dari semua lapisan saling berdekatan. Selain itu,
di Desa Berjo juga terdapat perkumpulan yang
menghimpun anggota dari berbagai lapisan sosial,
misalnya Pendidikan Ketrampilan Keluarga
(PKK), karang taruna, dasa wisma, kelompok-
kelompok rukun tetangga, arisan dan tahlilan.
Kekompakan antar lapisan petani terlihat
secara jelas dalam penggarapan tanah pertanian.
Dalam berbagai tahap penggarapan, petani lapisan
atas terlibat dalam kegiatan yang sama dengan
kegiatan yang dilakukan oleh buruh tani. Pakaian
kerja yang digunakan oleh petani lapisan bawah
sama dengan pakaian kerja yang digunakan petani
lapisan atas. Ketika seorang petani penggarap
bekerja bersama sejumlah buruh tani di sawahnya,
secara sepintas dia sukar dibedakan dari buruh
tani yang diupahnya.
Warga Desa Berjo juga melakukan kerja
sama yang diujudkan dalam tindakan kolektif,
seperti sistem sambatan dan sistem sumbangan.
Sambatan merupakan tolong-menolong dalam
bentuk pengerahan tenaga manusia untuk
membantu penyelesaian pekerjaan rumah tangga
yang cukup besar, seperti pembangunan rumah,
pesta perkawinan, penguburan jenazah, dan
kenduri atau selamatan. Sumbangan adalah
tolong-menolong dalam bentuk pemberian barang
atau uang untuk biaya penyelesaian pekerjaan
rumah tangga yang cukup besar seperti
penyelenggaraan pesta perkawinan dan upacara
kematian.
Kerjasama warga masyarakat juga
dipelihara melalui penyelenggaraan berbagai
upacara keagamaan berdasarkan tradisi Islam
setempat. Diantara upacara tersebut yang
terpenting adalah tahlilan, kenduren, dan upacara
bersih desa. Tahlilan adalah upacara agama yang
berintikan bacaan tahlil (yaitu bacaan suci yang
bertema pengakuan terhadap ke-Esaan Tuhan)
dalam rangka mendoakan arwah leluhur.
Kenduren adalah upacara agama yang berintikan
pembacaan doa keselamatan dengan pembagian
makanan berupa nasi dan lauk-pauk. Makanan
yang dihidangkan dalam kenduren pada dasarnya
sama dengan makanan yang dihidangkan setiap
hari dalam kehidupan rumah tangga, dengan kata
lain tidak ada bentuk makanan yang khas dalam
kenduren. Penyelenggaraan upacara ini dikaitkan
dengan peristiwa penting dalam siklus kehidupan
individu.
Tahlilan biasanya diselenggarakan oleh
suatu rumah tangga atau oleh suatu kelompok
tahlilan. Bila suatu rumah tangga
menyelenggarakan tahlilan, biasanya mereka
mengundang para tetangga terdekat dan kaum
kerabat. Mereka menyelenggarakan tahlilan
dalam rangka mendoakan keselamatan arwah
anggota keluarga yang baru saja meninggal.
Biasanya tahlilan semacam ini diselenggarakan
setiap hari, pada malam hari, selama seminggu
sejak kematian. Di sisi lain, tahlilan yang
diselenggarakan oleh suatu kelompok tahlilan
biasanya hanya dihadiri oleh anggota kelompok
bersangkutan. Tahlilan semacam ini biasanya
diselenggarakan sebulan sekali secara bergiliran
di rumah anggota kelompok. Biasanya biaya
penyelenggaraan dipikul oleh para anggota
kelompok dengan cara penarikan iuran pada
setiap kali diadakan tahlilan.
Kenduren diselenggarakan oleh suatu
rumah tangga dengan mengundang tetangga
terdekat. Penyelenggaraan kenduren dikaitkan
dengan peristiwa penting dalam siklus hidup
seorang manusia maupun peristiwa tertentu yang
tidak tergolong siklus hidup tetapi dianggap
sebagai masa gawat bagi kehidupan individu atau
rumah tangga, misalnya menempati rumah baru.
Banyak cara yang dilakukan individu
atau rumah tangga ketika terjadi kekurangan
pangan atau menjamin agar tidak kekurangan
pangan yaitu dengan merubah pola makan dan
jenis makanan yang dikonsumsi. Pada waktu
makanan pokok mereka masih berupa jagung,
mereka makan jagung dua kali sehari yaitu pada
pagi hari dan sore hari saja. Sedangkan siang hari
makan ketela, ubi atau talas yang direbus. Cara
seperti ini sama dengan yang dilakukan oleh
masyarakat desa Berjo. Cara ini dilakukan supaya
dapat menghemat makanan pokok agar tidak
cepat habis sebelum panen berikutnya.
Pada setiap rumah tangga di desa Berjo
memiliki tempat untuk menyimpan bahan
makanan pokok berupa jagung dan hasil panen
yang lain seperti bawang merah atau bawang
putih. Tempat untuk menyimpan hasil panenan
disebut. Pogo dibangun di atas tungku di dapur
(bagian belakang) atau di bawah atap rumah di
ruang depan (di atas ruang tamu). Pogo berfungsi
sebagai lumbung petani untuk menyimpan hasil
panenan mereka. Apabila persediaan makanan
yang di luar sudah menipis mereka mengambil
bahan tersebut dari pogo secukupnya. Biasanya
jagung yang disimpan di pogo diikat, setiap akan
memasak mereka mengambil beberapa ikatan,
kemudian digecrok atau ditumbuk menjadi beras
jagung. Masyarakat Berjo telah membangun
tempat sebagai tempat persediaan makanan untuk
dijual maupun untuk kebutuhan sendiri
(Wahyuningsih, 2007).
Setiap mereka panen tidak habis untuk
kebutuhan makan keluarga, oleh karena itu
mereka menyimpan untuk persediaan selama
menunggu panen berikutnya.Setelah terjadinya
perubahan pola makan dari jagung ke beras, maka
fungsi pogo tidak lagi dipakai sebagai tempat
penyimpanan bahan makanan atau hasil panen
yang lain.
10
Bangunan ”pogo” tidak lagi ditemui
dalam rumah desa di Berjo. Sebelum tahun 1980-
an, penduduk Berjo masih banyak yang
mendirikan pogo, tetapi setelah terjadi perubahan
pola makan dari jagung dan sekarang dipakai
sebagai campuran nasi, bangunan pogo juga ikut
berubah. Makanan pokok yang semula adalah
jagung mulai bergeser makan nasi, maka tanaman
jagung tidak lagi ditanam oleh penduduk Berjo
dan mereka beralih ke tanaman sayur, seperti
wortel, sawi, bawang putih, bawangmerah yang
tidak membutuhkan waktu lama dan bisa
menghasilkan uang lebih cepat. Menurut mereka
jagung memerlukan waktu lama (6 bulan) sampai
panen. Sedangkan sayuran hanya membutuhkan
waktu kurang lebih 50 hari.
Tahun 1990-an masyarakat Berjo sudah
tidak lagi makan jagung, sebagai makanan pokok
mereka beralih makan nasi. Meskipun di wilayah
Berjo tidak dapat menghasilkan sendiri beras,
mereka membeli di pasar dari hasil menjual sayur,
beras yang dihasilkan dari Tegal, karena tidak ada
sawah. Makan nasi jagung menjadi makanan
istimewa karena sulit didapat.
Strategi pengembangan ketahanan
pangan di desa Berjo selain tingkat individu yaitu
dengan mendirikan pogo tempat menyimpan
bahan makanan, perubahan pola makan dan
diversifikasi tanaman, maka mereka pada tahun
1980-an di tingkat desa sudah mendirikan
lumbung desa. Fungsi dari lumbung desa ini sama
dengan pogo. Masing-masing desa menyetorkan
hasil panen kemudian disimpan di lumbung milik
desa. Tetapi lumbung desa ini tidak dapat berjalan
seperti harapan banyak masyarakat. Terjadi
kemacetan dalam pengelolaan sampai sekarang
bangunan itu masih ada tetapi sudah beralih
fungsi yaitu tempat untuk klinik bersalin di desa
Berjo. Sedangkan organisasi atau perkumpulan
petani masih tetap berjalan sampai sekarang yang
selalu mengadakan pertemuan selapan (35 hari)
dua kali. Mengadakan koperasi arisan, simpan
pinjam, tujuannya adalah untuk kesejahteraan
bagi anggota perkumpulan dan keluarga
(Wahyuningsih, 2007). Tahun 2013 pemerintah
desa menggalakkan lagi keberadaan lumbung
desa. Ada 4 lumbung desa yang didirikan. Petani
desa Berjo menghasilkan sayuran. Oleh karena
sayuran tidak dapat disimpan maka lumbung desa
nantinya diisi dengan hasil tanaman dari desa lain
berupa jagung, dengan sistem barter.
Desa Berjo hanya memiliki tanah sawah
yang terbatas, dengan dukungan irigasi
sederhanan yaitu seluas 8,4 hektar (0,51%).
Selebihnya berupa lahan tegalan (11,01%) dan
tanah hutan negara yang mencapai seluas 76,11
persen dari wilayah Desa Berjo. Hal ini
menunjukkan bahwa Desa Berjo bukanlah desa
yang berbasis pertanian sawah dengan padi
sebagai tanaman utama, melainkan desa gunung
yang mengembangkan tanaman sayuran di atas
lahan tegalan di lereng perbukitan. Hal ini
menunjukkan bahwa Desa Berjo bukanlah desa
yang berbasis pertanian sawah dengan padi
sebagai tanaman utama, melainkan desa gunung
yang mengembangkan tanaman sayuran di atas
lahan tegalan di lereng perbukitan. Kondisi
pengairan di Desa Berjo terdapat saluran irigasi
sepanjang 8950 meter dan 8 pembagi air.
Petani di Desa Berjo adalah petani
subsistem. Sumber daya yang mereka miliki
adalah tenaga dan tanah milik yang sempit,
bahkan ada yang tidak memiliki sawah sama
sekali. Untuk menjamin kelangsungan hidup
rumah tangga, petani mengambil berbagai
strategi, misalnya terlibat dalam aktivitas off-
farm, non farm, atau mengambil strategi bercocok
tanam baru. Pilihan yang terakhir ini misalnya
mengembangkan sistem pertanian multiple
cropping, yaitu palawija sebagai tanaman
sekunder, sedangkan sayur-sayuraan dan tanaman
semusim lainnya sebagai tanaman utama. Sistem
ini merupakan salah satu contoh sawah multiple
cropping, yaitu sistem pertanian yang paling
intensif dalam memanfaatkan tanah.
Sistem pertanian ini merupakan
perkembangan dari sawah monokultur yang tidak
sesuai dengan kondisi ekologi dan luas usaha tani
yang sempit. Dibandingkan dengan pertanian
monocropping, pertanian multicropping ini
ternyata mempunyai beberapa keuntungan. Salah
satunya yang menonjol menyangkut
kemampuannya dalam menampung tenaga kerja.
Ekologi sawah ini menghendaki curahan tenaga
kerja yang tinggi dan distribusi curahan tenaga
kerja tersebut merata sepanjang musim. Kondisi
ekologi sawah multiplecropping juga mendorong
petani hanya mampu mengelola tanah yang
sempit. Kondisi ini memaksa anggota rumah
tangga baik pria maupun wanita sibuk bekerja
untuk melangsungkan usaha taninya sepanjang
musim.
Di Desa Berjo, revolusi hijau telah
menyebabkan perubahan dalam pola tanam.
Sebelum ada revolusi hijau petani hanya
menanam tanaman palawija untuk kebutuhan
sehari-hari. Mereka belum berfikir kearah
komersialisasi hasil panen. Hasil panen dari
sawah mereka sekedar untuk mencukupi
kebutuhan hidup keluarga sampai panen
berikutnya. Kalaupun ada sisa hasil panen,
mereka baru menukarnya dengan barang
kebutuhan lain. Adapun tanaman yang mereka
usahakan adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, padi.
Setelah masuknya revolusi hijau petani menanam
tanaman sayuran seperti wortel, loncang bawang
merah, bawang daun, sawi,bunga kol, kacang
panjang, buncis, dan cabe. Komersialisasi
11
pertanian di pedesaan berkembang pesat pada
tahun 1980-an sebagai wujud dan hasil dari
introduksi revolusi hijau. Munculnya sawah
multiplecropping di Desa Berjo ini sebagai
strategi berpartisipasi dalam ekonomi komersial
dan mengatasi fragmentasi tanah. Karakteristik
sawah multiplecropping menghendaki curahan
tenaga kerja yang tinggi. Hal ini memaksa
anggota rumah tangga untuk terlibat dalam usaha
tani. Sementara itu, intensitas kerja yang tinggi
diperlukan dalam penanaman sebagai strategi
untuk meningkatkan hasil produksi. Intensitas
kerja tersebut merupakan respon dari kondisi
tanah dan sifat tanaman palawija dan sayuran
yang memerlukan perawatan terus-menerus
supaya produktifitasnya tinggi.
4. Kesimpulan
Masyarakat Lereng Lawu dalam
mengelola lingkungan alam telah terbiasa
mendiversifikasi tanaman di atas lahan tegalan,
yaitu secara simultan menanam beberapa jenis
tanaman yang laku dijual di pasar dan tanaman
pangan lain. Jenis tanaman yang akan ditanam
disesuaikan dengan tren harga yang sedang
berlaku. Petani menanam beberapa jenis tanaman
pasar yang dapat disimpan, seperti bawang putih
dan bawang merah yang dapat dijual ketika
mereka membutuhkan. Hal ini menunjukkan
perubahan penting dari masyarakat subsisten ke
masyarakat pasar. Para petani sanggup dan
tanggap terhadap peluang pasar sehingga berhasil
meningkatkan kemakmuran. Dibandingkan pada
periode 1960-an, petani di Desa Berjo sejak tahun
1990-an sudah jauh lebih makmur. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di
desa itu mempunyai kemampuan internal yang
cukup tangguh dalam memenuhi kebutuhan dasar
khususnya pangan. Sumberdaya ekonomi
setempat mampu memberi jaminan keamanan
pangan dan masyrakat Desa Berjo sudah
terintegrasi dengan sistem pasar, sehingga mereka
sukar untuk dikatakan sebagai petani subsisten
yang melakukan budidaya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Struktur dinamis pasar tidak
hanya mendatangkan resiko, namun juga
membuka peluang dan masyarakat desa Berjo
memiliki daya tanggap yang tinggi, sangat
responsif terhadap peluang pasar.
Dalam Pertanian multipplecropping
wanita mempunyai peran yang besar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai daya
yang perlu terus dikembangkan. Perbedaan peran
antara pria dan wanita dalam pertanian
multiplecropping merupakan fenomena yang
sudah terkonstruksi secara budaya. Pembagian
peran tersebut dipakai sebagai “survival stategy”
untuk menangkal kemiskinan. Berbeda dengan
daerah sawah yang mengembangkan tanaman
sejenis (monokultur), penduduk di kawasan Lawu
telah terbiasa mendeversifikasi tanaman di atas
lahan yang subur seperti menanam sayur mayur
dan tanaman pangan lain. Cara ini mampu
memberi jaminan ketersediaan pangan yang
cukup dan sekaligus mampu memenuhi
kebutuhan gizi seimbang.
Strategi ketahanan pangan dilakukan
melalui dua cara. Pertama dengan
mengembangkan sistem pertanian
multiplecropping dengan melakukan diversifikasi
tanaman di lahan tegalan, yaitu secara simultan
menanam berbagai jenis tanaman yang laku dijual
di pasar. Jenis tanaman yang akan ditanam
disesuaikan dengan tren harga yang sedang
berlaku. Petani menanam beberapa jenis tanaman
pasar yang dapat disimpan, seperti bawang putih
dan bawang merah, yang sewaktu-waktu dapat
dijual ketika mereka membutuhkan. Kedua,
membentuk kelompok-kelompok atau
perkumpulan di tingkat desa untuk
memberdayakan potensi desa. Perkumpulan ini
secara sosial ekonomi mampu menjadi sarana
mengembangkan solidaritas dan daya tawar dalam
menghadapi kekuatan luar. Pranata ini sekaligus
juga dijadikan alat untuk mengeliminasi
terjadinya ketegangan dan konflik yang mungkin
terjadi. Dan sekarang mulai dikembangkan lagi
lumbung desa. Lumbung ini diisi dengan jagung
yang didapat dari desa lain dengan cara barter
karena sayuran tidak dapat disimpan. Peran
lumbung desa dalam kemandirian pangan ini
perlu untuk diteliti lebih lanjut karena lembaga ini
dapat direvitalisasi untuk menumbuhkan
kemandirian desa khususnya dalam meningkatkan
ketahanan pangan.
Penduduk Lereng Lawu melakukan
perubahan pola makan dan jenis makanan yang
dikonsumsi, cara ini untuk menghemat makanan
pokok agar tidak cepat habis sebelum panen
berikutnya. Pada waktu makanan pokok mereka
masih berupa jagung, mereka makan jagung dua
kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari saja,
sedangkan siang hari dengan cara brakahan
(makan ketela, ubi atau talas, ganyong, pisang,
dan umbi-umbian lainnya). Selain itu juga
mengolah jagung menjadi nasi bubur supaya
dapat dibagi rata dan memperbanyak sayuran.
Strategi ini sebenarnya sangat baik karena
penduduk sudah mampu mencukupi gizi
seimbang. Hal ini menarik untuk diteliti lebih
lanjut karena mendiversifikasi jenis makanan
merupakan cara untuk mengurangi
ketergantungan pada beras yang diperoleh di
pasar. Ketika beras menjadi satu-satunya sumber
karbohidrat dan dinilai tinggi statusnya, makanan
12
lokal seperti talas, jagung, ketela, dijadikan
makanan tambahan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan dan Abdul Aziz Saleh.
“Pentingnya Jaminan Sosial dalam
masyarakat yang Sedang Berubah”,
Sebuah Pengantar Buku Benda
Beckmann, von F & K., and Juliette
Koning, Sumber Daya Alam dan
Jaminan Sosial, Jogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2001
Benda-Beckman, F. von., et.al. Between Kinship
and State: Social Security and Law in
Developing Countries, Dordrecht: Foris,
1988
Benda Beckmann, von F & K., and Hands Marks,
Coping with Insecurity: An “underall”
perspective on social security in the
third world, Pustaka Pelajar (Indonesia)
and Focaal Foundation (The
Netherlands), 2000.
Benda Beckmann, von F & K., and Juliette
Koning, Sumber Daya Alam dan
Jaminan Sosial, Jogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Husodo, Siswono Yudo.”Ketahanan Pangan:
Kebijakan, Tantangan dan Harapan di
Masa Depan”. Makalah disampaikan
dalam Seminar Ketahanan Pangan:
Strategi, Politik dan Kearifan Lokal
dalam Perspektif Sejarah.
Diselenggarakan oleh Direktorat
Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal
sejarah dan Purbakala, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata dengan
Jurusan Sejarah Universitas Gadjah
Mada tanggal 5 Mei 2010.
Kementerian Lingkungan Hidup. Kesepakatan
Nasional dan Rencana Tindak
Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta:
KLH, 2004.
Maryoto, Andreas “Diversifikasi Pangan dan
Tradisi Kuliner di Indonesia”, Makalah
disampaikan dalam Seminar Ketahanan
Pangan: Strategi, Politik dan Kearifan
Lokal dalam Perspektif Sejarah.
Diselenggarakan oleh Direktorat
Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal
sejarah dan Purbakala, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata dengan
Jurusan Sejarah Universitas Gadjah
Mada tanggal 5 Mei 2010.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan.
Sajogyo. “Golongan Miskin dan Partisipasinya
dalam Pembangunan Desa”, Prisma,
Januari 1980
Semedi, Pujo. “Ketahanan Petani Jawa dan
Peluang Pasar”. Makalah disampaikan
dalam Seminar Ketahanan Pangan:
Strategi, Politik dan Kearifan Lokal
dalam Perspektif Sejarah.
Diselenggarakan oleh Direktorat
Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal
sejarah dan Purbakala, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata dengan
Jurusan Sejarah Universitas Gadjah
Mada tanggal 5 Mei 2010.
Suryo, Joko. “Politik Pangan Pada Masa
Kolonial”. Makalah disampaikan dalam
Seminar Ketahanan Pangan: Strategi,
Politik dan Kearifan Lokal dalam
Perspektif Sejarah. Diselenggarakan
oleh Direktorat Geografi Sejarah,
Direktorat Jenderal sejarah dan
Purbakala, Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata dengan Jurusan Sejarah
Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Mei
2010.
Untoro, Heriyanti O. “Kearifan Lokal Masyarakat
Agraris dalam Ketahanan Pangan di
Kesultanan Banten Abad 15-18”,
Makalah disampaikan dalam Seminar
Ketahanan Pangan: Strategi, Politik dan
Kearifan Lokal dalam Perspektif
Sejarah. Diselenggarakan oleh
Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat
Jenderal sejarah dan Purbakala,
Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata dengan Jurusan Sejarah
Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Mei
2010.
Wahyuningsih, Sri. ”Kajian Tentang Strategi
Ketahanan Pangan Yang Bertumpu Pada
Pranata Tradisional di Pedesaan Lereng
Lawu” Laporan Penelitian. LPPM UNS,
2007.
Warto. ”Fungsi dan Peran Lembaga Perdesaan
dalam Menumbuhkan Otonomi dan
Kemandirian Desa” dalam Diakronik
Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Sejarah Vol. 1. No. 2- Januari Jurusan
Ilmu Sejarah Fakultas sastra dan Seni
rupa UNS, 2003.
_______”Lumbung Desa sebagai Lembaga
Ketahanan Pangan di Karesidenan
Rembang pada Awal Abad ke-20”.
Laporan Penelitian. Fakultas Sastra dan
Seni Rupa UNS, 2007.
Yuwono, Arief. “Implementasi Pembangunan
Berkelanjutan”, makalah Seminar
Nasional Peningkatan Peran
Perempuan dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Hotel Quality
Solo, 14 April 2004.
13

More Related Content

What's hot

Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan Akademi Desa 4.0
 
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)Belajar Bareng Aquaponik
 
Angkubah yang sering digunakan untuk mengukur penggunaan isirumah
Angkubah yang sering digunakan untuk mengukur penggunaan isirumahAngkubah yang sering digunakan untuk mengukur penggunaan isirumah
Angkubah yang sering digunakan untuk mengukur penggunaan isirumahmandalina landy
 
Intervensi konsumsi pangan dan gizi
Intervensi konsumsi pangan dan giziIntervensi konsumsi pangan dan gizi
Intervensi konsumsi pangan dan giziHusHa Hatimah
 
Keamanan dan Ketahanan Pangan
Keamanan dan Ketahanan PanganKeamanan dan Ketahanan Pangan
Keamanan dan Ketahanan PanganLilik Sholeha
 
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan panganMeileni Nurhayati
 
Memahami sistem kewaspadaan pangan dan gizi
Memahami sistem kewaspadaan pangan dan giziMemahami sistem kewaspadaan pangan dan gizi
Memahami sistem kewaspadaan pangan dan giziriri_hermana
 
Otonomi Daerah dan Permasalahan Ketahanan Pangan
Otonomi Daerah dan Permasalahan Ketahanan PanganOtonomi Daerah dan Permasalahan Ketahanan Pangan
Otonomi Daerah dan Permasalahan Ketahanan PanganTriando Triando
 
majalah
majalahmajalah
majalahrin26
 
Memahami konsep sistem ketahanan pangan
Memahami konsep sistem ketahanan panganMemahami konsep sistem ketahanan pangan
Memahami konsep sistem ketahanan panganriri_hermana
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanWarnet Raha
 
Ketersediaan pangan kelompok 2
Ketersediaan pangan kelompok 2Ketersediaan pangan kelompok 2
Ketersediaan pangan kelompok 2Maulida Mardianaa
 
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Kemiskinan pada masyarakat nelayan di indonesia
Kemiskinan pada masyarakat nelayan di indonesiaKemiskinan pada masyarakat nelayan di indonesia
Kemiskinan pada masyarakat nelayan di indonesiaSidi Rana Menggala
 
Sistem Mata Pencaharian
Sistem Mata PencaharianSistem Mata Pencaharian
Sistem Mata PencaharianErna Mariana
 
Hubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
Hubungan status gizi dengan ketersediaan panganHubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
Hubungan status gizi dengan ketersediaan panganArsad Rahim Ali
 
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraftHak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraftBiotani & Bahari Indonesia
 

What's hot (20)

Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
 
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
 
Coffee morning syahyuti 5
Coffee morning syahyuti 5Coffee morning syahyuti 5
Coffee morning syahyuti 5
 
Angkubah yang sering digunakan untuk mengukur penggunaan isirumah
Angkubah yang sering digunakan untuk mengukur penggunaan isirumahAngkubah yang sering digunakan untuk mengukur penggunaan isirumah
Angkubah yang sering digunakan untuk mengukur penggunaan isirumah
 
Intervensi konsumsi pangan dan gizi
Intervensi konsumsi pangan dan giziIntervensi konsumsi pangan dan gizi
Intervensi konsumsi pangan dan gizi
 
Keamanan dan Ketahanan Pangan
Keamanan dan Ketahanan PanganKeamanan dan Ketahanan Pangan
Keamanan dan Ketahanan Pangan
 
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
 
Memahami sistem kewaspadaan pangan dan gizi
Memahami sistem kewaspadaan pangan dan giziMemahami sistem kewaspadaan pangan dan gizi
Memahami sistem kewaspadaan pangan dan gizi
 
Otonomi Daerah dan Permasalahan Ketahanan Pangan
Otonomi Daerah dan Permasalahan Ketahanan PanganOtonomi Daerah dan Permasalahan Ketahanan Pangan
Otonomi Daerah dan Permasalahan Ketahanan Pangan
 
majalah
majalahmajalah
majalah
 
Memahami konsep sistem ketahanan pangan
Memahami konsep sistem ketahanan panganMemahami konsep sistem ketahanan pangan
Memahami konsep sistem ketahanan pangan
 
ketahanan pangan
ketahanan panganketahanan pangan
ketahanan pangan
 
Vedro
VedroVedro
Vedro
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
 
Ketersediaan pangan kelompok 2
Ketersediaan pangan kelompok 2Ketersediaan pangan kelompok 2
Ketersediaan pangan kelompok 2
 
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
 
Kemiskinan pada masyarakat nelayan di indonesia
Kemiskinan pada masyarakat nelayan di indonesiaKemiskinan pada masyarakat nelayan di indonesia
Kemiskinan pada masyarakat nelayan di indonesia
 
Sistem Mata Pencaharian
Sistem Mata PencaharianSistem Mata Pencaharian
Sistem Mata Pencaharian
 
Hubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
Hubungan status gizi dengan ketersediaan panganHubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
Hubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
 
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraftHak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
 

Similar to KEARIFAN LOKAL

Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan produksi pana pana d...
Partisipasi  masyarakat  terhadap  pelestarian  hutan  produksi  pana pana  d...Partisipasi  masyarakat  terhadap  pelestarian  hutan  produksi  pana pana  d...
Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan produksi pana pana d...Operator Warnet Vast Raha
 
Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan produksi pana pana d...
Partisipasi  masyarakat  terhadap  pelestarian  hutan  produksi  pana pana  d...Partisipasi  masyarakat  terhadap  pelestarian  hutan  produksi  pana pana  d...
Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan produksi pana pana d...Operator Warnet Vast Raha
 
PEDUM MAPAN 2011.pdf
PEDUM MAPAN 2011.pdfPEDUM MAPAN 2011.pdf
PEDUM MAPAN 2011.pdfOoThaib
 
KEL 1-Sosial Ekonomi Wilayah Pesisir Laut.pptx
KEL 1-Sosial Ekonomi Wilayah Pesisir Laut.pptxKEL 1-Sosial Ekonomi Wilayah Pesisir Laut.pptx
KEL 1-Sosial Ekonomi Wilayah Pesisir Laut.pptxarifmuhtar1
 
Efforts to Minimize Poverty of the Central Lombok Sasak Farmer Community
Efforts to Minimize Poverty of the Central Lombok Sasak Farmer CommunityEfforts to Minimize Poverty of the Central Lombok Sasak Farmer Community
Efforts to Minimize Poverty of the Central Lombok Sasak Farmer CommunityRizkiAminAlQadry
 
Pelatihan pendamping & tpd
Pelatihan  pendamping & tpdPelatihan  pendamping & tpd
Pelatihan pendamping & tpdBbpp Ketindan
 
Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir & Pedalaman di Kalimantan
Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir & Pedalaman di KalimantanTransformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir & Pedalaman di Kalimantan
Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir & Pedalaman di KalimantanTri Widodo W. UTOMO
 
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan panganPeranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan panganHerry Mulyadie
 
Artikel desa wisata
Artikel desa wisataArtikel desa wisata
Artikel desa wisataedi sofyan
 
Materi Analisis Sosial_SLA_Dadan F.pdf
Materi Analisis Sosial_SLA_Dadan F.pdfMateri Analisis Sosial_SLA_Dadan F.pdf
Materi Analisis Sosial_SLA_Dadan F.pdfDedeLeo3
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanWarnet Raha
 
Otonomi daerah dan desentralisasi pangan
Otonomi daerah dan desentralisasi panganOtonomi daerah dan desentralisasi pangan
Otonomi daerah dan desentralisasi panganJeffri Argon
 
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...Luhur Moekti Prayogo
 
Makalah sosisologi pedesaan (lingkungan hidup pedesaan) (1)
Makalah sosisologi pedesaan (lingkungan hidup pedesaan) (1)Makalah sosisologi pedesaan (lingkungan hidup pedesaan) (1)
Makalah sosisologi pedesaan (lingkungan hidup pedesaan) (1)Haniatur Rohmah
 
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat DesaPemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat DesaHabibullah
 
Ilmu pengetahuan Sosial untuk kelas 7.pptx
Ilmu pengetahuan Sosial untuk kelas 7.pptxIlmu pengetahuan Sosial untuk kelas 7.pptx
Ilmu pengetahuan Sosial untuk kelas 7.pptxAkuAku52
 
Etika masyarakat pedalaman dalam pembangunan
Etika masyarakat pedalaman dalam pembangunanEtika masyarakat pedalaman dalam pembangunan
Etika masyarakat pedalaman dalam pembangunanSuhadi Rembang
 

Similar to KEARIFAN LOKAL (20)

Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan produksi pana pana d...
Partisipasi  masyarakat  terhadap  pelestarian  hutan  produksi  pana pana  d...Partisipasi  masyarakat  terhadap  pelestarian  hutan  produksi  pana pana  d...
Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan produksi pana pana d...
 
Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan produksi pana pana d...
Partisipasi  masyarakat  terhadap  pelestarian  hutan  produksi  pana pana  d...Partisipasi  masyarakat  terhadap  pelestarian  hutan  produksi  pana pana  d...
Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan produksi pana pana d...
 
PEDUM MAPAN 2011.pdf
PEDUM MAPAN 2011.pdfPEDUM MAPAN 2011.pdf
PEDUM MAPAN 2011.pdf
 
KEL 1-Sosial Ekonomi Wilayah Pesisir Laut.pptx
KEL 1-Sosial Ekonomi Wilayah Pesisir Laut.pptxKEL 1-Sosial Ekonomi Wilayah Pesisir Laut.pptx
KEL 1-Sosial Ekonomi Wilayah Pesisir Laut.pptx
 
Efforts to Minimize Poverty of the Central Lombok Sasak Farmer Community
Efforts to Minimize Poverty of the Central Lombok Sasak Farmer CommunityEfforts to Minimize Poverty of the Central Lombok Sasak Farmer Community
Efforts to Minimize Poverty of the Central Lombok Sasak Farmer Community
 
Pelatihan pendamping & tpd
Pelatihan  pendamping & tpdPelatihan  pendamping & tpd
Pelatihan pendamping & tpd
 
Pelatihan pendamping & tpd
Pelatihan  pendamping & tpdPelatihan  pendamping & tpd
Pelatihan pendamping & tpd
 
Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir & Pedalaman di Kalimantan
Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir & Pedalaman di KalimantanTransformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir & Pedalaman di Kalimantan
Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir & Pedalaman di Kalimantan
 
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan panganPeranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
 
Artikel desa wisata
Artikel desa wisataArtikel desa wisata
Artikel desa wisata
 
Materi Analisis Sosial_SLA_Dadan F.pdf
Materi Analisis Sosial_SLA_Dadan F.pdfMateri Analisis Sosial_SLA_Dadan F.pdf
Materi Analisis Sosial_SLA_Dadan F.pdf
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
 
Otonomi daerah dan desentralisasi pangan
Otonomi daerah dan desentralisasi panganOtonomi daerah dan desentralisasi pangan
Otonomi daerah dan desentralisasi pangan
 
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
 
Makalah sosisologi pedesaan (lingkungan hidup pedesaan) (1)
Makalah sosisologi pedesaan (lingkungan hidup pedesaan) (1)Makalah sosisologi pedesaan (lingkungan hidup pedesaan) (1)
Makalah sosisologi pedesaan (lingkungan hidup pedesaan) (1)
 
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat DesaPemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
 
Konsep ketahanan
Konsep ketahananKonsep ketahanan
Konsep ketahanan
 
Ilmu pengetahuan Sosial untuk kelas 7.pptx
Ilmu pengetahuan Sosial untuk kelas 7.pptxIlmu pengetahuan Sosial untuk kelas 7.pptx
Ilmu pengetahuan Sosial untuk kelas 7.pptx
 
Sosbud 5
Sosbud 5Sosbud 5
Sosbud 5
 
Etika masyarakat pedalaman dalam pembangunan
Etika masyarakat pedalaman dalam pembangunanEtika masyarakat pedalaman dalam pembangunan
Etika masyarakat pedalaman dalam pembangunan
 

KEARIFAN LOKAL

  • 1. 1 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT AGRARIS DALAM KETAHANAN PANGAN DI PEDESAAN LERENG LAWU KABUPATEN KARANGANYAR LOCAL WISDOM AGRICULTURAL SOCIETIES IN FOOD SECURITY IN THE COUNTRYSIDE SLOPES LAWU KARANGANYAR REGENCY Tiwuk K. Hastuti, Hayu Adi Darmarastri, Sri Wahyuningsih Abstrak Penelitian ini bertujuan: (1) memberikan mode pemahaman baru terhadap potensi dan kemampuan masyarakat desa dalam mengupayakan ketahanan pangan dengan mengembangkan strategi-strategi adaptasi yang sesuai dengan kondisi/tantangan yang dihadapi; (2) menawarkan alternatif perspektif dalam memahami masalah-masalah orang desa, strategi ketahanan pangan, (3) menghasilkan suatu model pengembangan desa mandiri dengan lebih memperhatikan keberadaan lembaga-lembaga perdesaan yang tumbuh dari bawah.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, pengamatan (observasi), analisis isi dokumen, dan diskusi kelompok terarah. Analisis data dilakukan secara interaktif yaitu dengan menelaah semua data, mengadakan reduksi, dan memeriksa keabsahan data untuk menghasilkan kerangka analisis yang memiliki bingkai makna sambil menafsirkan data untuk memperoleh kesimpulan.Ketahanan pangan menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi negara- negara berkembang sejak beberapa dekade terakhir ini. Meskipun dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia masih termasuk salah satu negara berkembang yang menghadapi masalah kecukupan pangan secara berkelanjutan. Bagi masyarakat desa di Kawasan Lereng Lawu, pengalaman traumatis kekurangan pangan atau ancaman kelaparan relatif tidak pernah dialami. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di desa itu mempunyai kemampuan internal yang cukup tangguh dalam memenuhi kebutuhan dasar khususnya pangan. Sumberdaya ekonomi setempat mampu memberi jaminan keamanan pangan. Abstract This research aims to: (1) provide a new understanding of the mode of the potential and ability of village community in seeking food security by developing strategies of adaptation to suit conditions/challenges faced; (2) offer an alternative perspective in understanding the problems of the villagers, the food security strategy, (3) development of models generate a self-contained village with more attention to the existence of rural institutions that grow from below.This research is qualitative research, data collected by using in-depth interviews, observation techniques (observation), the analysis of the contents of the documents, and discussion groups. Data analysis is done interactively by reviewing all the data, performing the reduction, and checking the validity of the data to produce a framework of analysis that has a frame of meaning while interpreting the data to derive the conclusion.Food security is one of the major problems faced by developing countries since these past few decades. Although known as a country that is rich in natural resources in abundance, Indonesia is still one of the developing countries which are facing problems of sufficiency in food in a sustainable way. For the community of the village on the slopes of the Lawu, traumatic experience food shortages or the threat of hunger relative never experienced. This shows that the people who live in the village that had a pretty tough internal capabilities in meeting basic needs, especially food. Local economic resources able to give assurance of food safety. Keywords: food security, local wisdom, self-contained villages, rural communities
  • 2. 2 1. Pendahuluan Masalah kekurangan pangan telah menjadi fenomena sosial ekonomi di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sekarang (Suryo, 2010: 1-9). Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang subur dan kaya sumberdaya ekonomi, krisis pangan sering melanda wilayah-wilayah tertentu dan terjadi secara endemik mengikuti siklus musim. Masalah kekurangan pangan dan kemiskinan sesungguhnya telah menjadi perhatian serius Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Terlepas dari perdebatan mengenai faktor- faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan kekurangan pangan, misalnya apakah kemiskinan itu akibat dari kemalasan penduduk atau mereka malas karena miskin, tekanan struktural menjadi faktor penting terjadinya krisis pangan. Penduduk miskin sangat rentan terhadap perubahan politik dan tekanan struktural lainnya seperti keterbatasan sumberdaya, ketimpangan alokasi dan akses, serta politik ekstraksi kolonialisme yang berjalan cukup lama. Sampai dengan akhir abad ke-19, hampir tidak ditemukan adanya lembaga ketahanan pangan di pedesaan yang mampu memberi jaminan sosial ketika terjadi krisis dan kekurangan pangan. Pranata-pranata tradisional seperti resiprositas dan hubungan patron-klien tidak selamanya mampu memberi jaminan sosial. Dengan demikian kekurangan pangan menjadi ancaman permanen di pedesaan. Tekanan demografis yang terus meningkat mendorong munculnya ketegangan dan konflik dalam memanfaatkan sumberdaya alam terutama tanah/lahan untuk berbagai keperluan. Bagi masyarakat pedesaan, lahan pertanian mempunyai nilai ekonomi dan sosial yang sangat tinggi dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup. Perekonomian desa yang berbasis pertanian sangat tergantung pada tersedianya lahan yang cukup sebagai jaminan sosial. Terjadinya ketimpangan dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya ekonomi telah melahirkan berbagai bentuk kesenjangan sosial ekonomi. Ada sekelompok orang atau golongan, yang karena kekuasaan yang dimiliki, berhasil menguasai lahan secara leluasa dan bahkan tak terbatas; tetapi ada kelompok lain yang tidak mempunyai akses sama sekali terhadap sumber daya pertanian itu. Timbullah diferensisasi sosial yang semakin tajam antara golongan kaya yang menguasai sebagian besar sumberdaya desa, dan golongan lainnya yang relatif miskin. Dalam konteks mendukung upaya pemerintah meningkatkan ketahanan pangan di pedesaan, kajian terhadap bentuk-bentuk strategi ketahanan pangan yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat desa perlu dilakukan secara saksama. Hal ini menjadi modal sosial yang sangat berharga dalam mengatasi krisis dan kekurangan pangan, dan sekaligus menjadi katup pengaman bagi kelangsungan hidup penduduk miskin. Masyarakat yang tinggal di kawasan lereng Lawu mempunyai pranata dan lembaga ketahanan pangan yang secara mandiri telah mereka kembangkan selama puluhan tahun. Sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, sudah barang tentu institusi ketahanan pangan yang berkembang di kawasan ini berbeda dengan tempat lain. Oleh karena itu perlu dielaborasi lebih jauh seperti apa wujud pranata ketahanan pangan yang dikembangkan itu sebagai bagian dari warisan intelektual Jawa yang tinggi nilainya. Penelitian inimengkaji masalah itu terutama memusatkan perhatian pada segi-segi sosial dan budaya masyarakat nggunung di Lereng Lawu dalam mengupayakan ketahanana pangan. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menitikberatkan pada upaya mengungkap kedalaman mengenai pemahaman masyarakat dalam mendefinisikan ketahanan pangan, bentuk-bentuk respon dan strategi adaptasi masyarakat pedesaan dalam mengupayakan ketahanan pangan. Lembaga dan pranata tradisional yang mampu meningkatkan ketahanan pangan secara mandiri dan memberi jaminan sosial ekonomi bagi penduduk di pedesaan Lereng Lawu. Strategi dalam mengupayakan ketahanan pangan diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat pedesaan. Penelitian dilakukan di wilayah pedesaan Kecamatan Ngargoyoso dan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Desa-desa yang berada di lereng Lawu ini mempunyai karakteristik sebagai desa “nggunung” yang berbeda dengan desa yang terletak di dataran rendah (“ngare”). Kondisi ekologis diduga kuat berpengaruh terhadap munculnya bentuk-bentuk strategi dan pranata ketahanan pangan. Penelitian ini bersifat kualitatif dan pengumpulan data dilakukan dalam tiga tahap yaitu studi bahan dokumen, wawancara mendalam, observasi dan Focus Group Discussion (FGD). Data-data statistik, monografi dan catatan tertulis lainnya yang berkaitan dengan produksi pangan dimanfaatkan untuk mendukung penelitian ini. Data-data dimaksud tersimpan di kantor kelurahan, kecamatan, dan instansi pemerintah lainnya. Wawancara mendalam dilakukan dengan sejumlah informan yang dipilih secara purposif sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, terutama kepada tokoh-tokoh formal dan informal setempat. Wawancara dilakukan
  • 3. 3 secara bebas dan terfokus untuk memberi kemudahan dalam menggali data secara mendalam tentang bentuk-bentuk strategi yang dikembangkan dalam mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri. Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi riil desa “nggunung” seperti kondisi fisik, keadaan sosial budaya, dan aktivitas masyarakat sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan. Data ini sangat penting untuk melengkapi data hasil wawancara yang dilakukan kepada sejumlah informan. FGD dilakukan terutama untuk menggali pendapat, pandangan, atau pemikiran sejumlah orang terhadap potensi dan kemampuan masyarakat desa dalam mengupayakan ketahanan pangan dengan mengembangkan strategi-strategi adaptasi yang sesuai dengan kondisi/tantangan yang dihadapi. Dalam diskusi kelompok akan dirumuskan model pengembangan desa mandiri dengan lebih memperhatikan keberadaan lembaga-lembaga perdesaan yang tumbuh dari bawah. FGD akan dilakukan 3 kali untuk setiap kecamatan dan kalurahan dengan komposisi perwakilan nara sumber masing-masing yaitu perwakilan aparat pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat setempat, LSM dan penduduk setempat. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Proses analisis data dimulai dari menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari dokumen, wawancara, pengamatan yang dituliskan dalam catatan lapangan. Langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi, menyusunnya dalam satuan-satuan, kemudian dikategorisasikan. Tahap akhir dari analisis adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, cek dan recek untuk menghasilkan kerangka analisis yang memiliki bingkai makna sambil menafsirkan data untuk memperoleh kesimpulan. 3. Hasil Dan Pembahasan a. Penelitian Terdahulu Penelitian dengan judul “Lumbung Desa sebagai Lembaga Ketahanan Pangan di Karesidenan Rembang pada Awal abad ke-20” (Warto, 2007) sebagai referensi dan studi komparasi dalam penelitian ini. Penelitian di Karesidenan Rembang tersebut mempunyai beberapa tujuan: (1) untuk mengetahui ciri-ciri lumbung desa sebagai lembaga ketahanan pangan yang berkembang pada awal abad ke-20, (2) mengkaji kemampuan dan kemandirian lumbung desa sebagai lembaga ketahanan pangan di perdesaan, (3) mengkaji peran Pemerintah Hindia Belanda dalam usaha mengembangkan lumbung desa sebagai lembaga ketahanan pangan di perdesaan, dan (4) untuk menganalisis rasionalisasi kebijakan mendirikan lumbung desa sebagai lembaga alternatif untuk mengatasi krisis pangan di wilayah perdesaan. Hasil penelitian menujukkan bahwa lumbung desa mempunyai fungsi sangat penting dalam kehidupan sosial ekonomi penduduk desa terutama dalam mengatasi kekurangan pangan dan kesulitan bersama. Lembaga ini sesungguhnya lahir dari masyarakat sendiri, sebelum akhirnya dikooptasi Pemerintah Hindia Belanda untuk mensukseskan program ekonomi perdesaan dalam rangka mengimplementasikan kebijakan politik etis pada awal abad ke-20. Penelitian yang dilakukan Warto mempunyai relevansi dan sebagai studi komparasi dengan penelitian ini Oleh karena masyarakat di pedesaan Lereng Lawu juga mempunyai “pogo”, tempat yang dibangun di bagian atap rumah (di dapur, rumah belakang, rumah depan) berfungsi untuk menyimpan jagung dan hasil pertanian lainnya yang dapat diawetkan. Apakah fungsi “pogo” ini sama dengan lumbung padi di daerah persawahan ? Bagaimanakah pranata kelembagan ekonomi (Pogo) sebagai aset ekonomi dan eksistensinya pada masa sekarang dalam mengupayakan ketahanan pangan di pedesaan Lereng Lawu ? Tulisan Untoro (2010) “Kearifan Lokal Masyarakat agraris dalam Ketahanan Pangan di Kesultanan Banten Abad 15-18”, menggambarkan tentang bagaimana masyarakat di Kesultanan Banten pada abad 15-18 mengelola sumber daya lingkungan hidupnya sehingga mampu menjadi masyarakat agraris dalam menghadapi ketahanan pangan. Kearifan lokal yang dijalankan oleh penguasa Banten untuk mempertahankan pangan antara lain terus memacu memperluas lahan pertanian dan disertai pengambilan keputusan yang tepat menentukan kapan mulai budidaya tanaman industri dan kapan menghentikannya. Berani melepaskan diri dari ketergantungan perdagangan internasional diiringi dengan mencukupi pangan di dalam negeri, sebuah keputusan yang sangat rasional untuk menyelamatkan negeri Banten. Kebijakan yang ditempuh para penguasa Banten beberapa abad silam telah membuktikannya sehingga nama kebesaran Kesultanan Banten ini dikenal hingga ke manca negara saat itu. Dengan demikian kearifan lokal mengelola lingkungan bagi ketahanan pangan di masa lalu dapat dijadikan pembelajaran bagi masa kini sehingga kejayaan yang pernah dicapai oleh Kesultanan Banten dapat terulang kembali. Tulisan tersebut sebagai bahan referensi dan perbandingan dengan penelitian ini. Masyarakat Lereng Lawu dalam mengelola lingkungan alam telah terbiasa mendiversifikasi tanaman di atas lahan tegalan,
  • 4. 4 yaitu secara simultan menanam beberapa jenis tanaman yang laku dijual di pasar dan tanaman pangan lain. Jenis tanaman yang akan ditanam disesuaikan dengan tren harga yang sedang berlaku. Petani menanam beberapa jenis tanaman pasar yang dapat disimpan, seperti bawang putih dan bawang merah yang dapat dijual ketika mereka membutuhkan. Hal ini menunjukkan perubahan penting dari masyarakat subsisten ke masyarakat pasar. Sejalan dengan tulisan Semedi (Untoro, 2010: 1), mengungkapkan bahwa sejak masa pra-kolonial mayoritas petani Jawa sudah terintegrasi dengan sistem pasar. Panen tanaman panganpun sebagian mereka jual ke pasar. Fakta sejarah menunjukkan bahwa petani Jawa memiliki daya tanggap yang tinggi, sangat responsif, terhadap peluang pasar (Untoro, 2010) Apakah kondisi tersebut yang menawarkan kesempatan untuk secara kreatif mengubah pola perilaku penduduk pedesaan Lereng Lawu ? Apakah diversifikasi tanaman komersil dan tanaman pangan tersebut mampu memberi jaminan ketersediaan pangan yang cukup sekaligus mampu memenuhi gizi seimbang ? Mungkinkah diversifikasi jenis tanaman dan selisih harga di pasar menjadi katup pengaman penting bagi terjaminnya kebutuhan dasar khususnya beras yang dibutuhkan setiap hari ? Meskipun beras tidak dihasilkan sendiri, mereka tetap mampu menyediakan beras dengan menukarkan hasil ladangnya, apakah demikian yang terjadi ? Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut perlu penelitian lebih mendalam. Tulisan Maryoto (2010) “Diversifikasi Pangan dan Tradisi Kuliner di Indonesia”, mengungkapkan bahwa terkait dengan wisata kuliner sebagai pintu masuk diversifikasi pangan maka Indonesia mempunyai ketahanan pangan. Maryoto melihat sejarah pangan bisa menjadi penopang bagi usaha itu. Orang akan makin menikmati berbagai jenis hidangan lokal bila mereka mengetahui aspek sejarah dan juga aspek antropologi pangan. Melalui sejarah pangan dan sejarah kuliner, dapat dilihat aspek kebudayaan secara luas. Kekayaan kuliner telah memperlihatkan persatuan-kesatuan, multikulturalisme, silang budaya, ketahanan pangan, pengakuan terhadap minoritas, dan lain- lain (Maryoto, 2010: 1), Hal ini dapat dibandingkan dengan tradisi penduduk Lereng Lawu dalam mendiversifikasi jenis makanan. Penduduk Lereng Lawu melakukan perubahan pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi, cara ini untuk menghemat makanan pokok agar tidak cepat habis sebelum panen berikutnya. Pada waktu makanan pokok mereka masih berupa jagung, mereka makan jagung dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari saja, sedangkan siang hari dengan cara brakahan (makan ketela, ubi atau talas, ganyong, pisang, dan umbi-umbian lainnya). Selain itu juga mengolah jagung menjadi nasi bubur supaya dapat dibagi rata dan memperbanyak sayuran. Strategi ini sebenarnya sangat baik karena penduduk sudah mampu mencukupi gizi seimbang. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut karena mendiversifikasi jenis makanan merupakan cara untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang diperoleh di pasar. Ketika beras menjadi satu-satunya sumber karbohidrat dan dinilai tinggi statusnya, makanan lokal seperti talas, jagung, ketela, dijadikan makanan tambahan. b. Landasan Teori Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapatkan perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, karena kelaparan sendiri merupakan suatu proses sebab- akibat dari kemiskinan. Oleh karena itu, usaha mengembangkan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Masalah pangan yang dikaitkan dengan kemiskinan sesungguhnya juga telah menjadi perhatian dunia, terutama seperti dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia dan Indonesia memiliki tanggungjawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia. Berkaitan dengan masalah tersebut, dalam Prinsip-Prinsip Piagam Bumi disebutkan keharusan semua negara untuk (1) Menghormati dan memelihara komunitas kehidupan, (2) Keutuhan ekologi, (3) Keadilan sosial dan Ekonomi, (dan (4) Demokrasi, anti kekerasan dan perdamaian. Dalam menjaga keutuhan ekologi, misalnya salah satu prinsipnya menyebutkan perlunya “mengelola pemanfaatan sumberdaya yang terbarukan seperti air, tanah, hasil hutan, dan kehidupan laut dengan cara-cara yang tidak melampaui kecepatan beregenerasi dan yang melindungi kesehatan ekosistem” (KLH, 2004: 12 dst). Selanjutnya dalam UN Millinium Development Goals (MDG) juga disebutkan tentang usaha-usaha yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi masyarakat global, yang antara lain juga mencakup “jaminan lingkungan yang berkelanjutan” (Yuwono, 2004: 5). Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan disebutkan, ”ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
  • 5. 5 pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau” (pasal 1). Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Selanjutnya dijelaskan, ”ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain”. Penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Untuk mewujudkan penyediaan pangan dilakukan dengan: (a) mengembangkan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal; (b) mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; (c) mengembangkan teknologi produksi pangan; (d) mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan; dan (e) mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif (pasal 2 Bab II). Selanjutnya dalam pasal 3 dikatakan bahwa ”sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan, dan pemasukan pangan. Sumber penyediaan pangan diutamakan berasal dari produksi pangan dalam negeri. Cadangan pangan dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan pangan, kelebihan pangan, gejolak harga dan/atau keadaan darurat”. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadi ketergantungan pangan pada pihak manapun (Lihat Husodo, 2010: 1-3). Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan. Petani adalah produsen pangan dan mereka sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Ketahanan pangan di wilayah pedesaan dapat dibangun melalui dukungan pranata yang menjadi undang-undang kolegial di masyarakat desa. Pranata tersebut merupakan aset sumberdaya yang melekat sejak keberadaan desa tersebut, yaitu berupa pranata-pranata hidup dan berkembang di desa. Pranata dan lembaga- lembaga perdesaan yang tumbuh dari bawah, merupakan manifestasi dari kumpulan kelompok- kelompok masyarakat untuk menanggulangi berbagai kebutuhan dan kesulitan bersama. Lembaga perdesaan kemudian dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, disebut lembaga naluri yaitu lembaga-lembaga yang berkaitan dengan upacara keagamaan, kematian, dan beberapa adat sekitar peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Lembaga seperti ini juga disebut pranata sosial budaya yang bertumpu pada nilai-nilai solidaritas, pirukunan, gotong royong, dan resiprositas. Kedua, disebut lembaga yang berorientasi pada tujuan di mana unsur manusia turut menciptakan untuk memenuhi kebutuhan di luar sekedar naluri, misalnya motif ekonomi. Bentuk terakhir juga dikatakan sebagai organisasi (Sajogjo, 1985). Lembaga naluri biasanya ditandai oleh cirinya yang dominan yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan (need compliance), sedangkan pada organisasi yang dikembangkan orang di desa dengan ciri power compliance, yakni ketika orang desa bersatu dalam organisasi untuk tujuan tertentu, mereka berbuat tak lepas dari pengaruh “fihak yang berwajib” atau “pemerintah” (Warto, 2003: 31). Dalam hubungan itu orang lebih sering merasakan dorongan untuk mengikuti kemauan pihak yang berkuasa/pemerintah. Sementara itu, dalam kehidupan lembaga naluri, para pemimpin formal menjunjung tinggi adat musyawarah dalam menentukan sesuatu kebijakan dimana kontrol sosial terhadap kepemimpinan adalah nilai wajar. Dengan singkat dapat dikemukakan, lembaga perdesaan baik yang berupa pranata atau lembaga naluri maupun organisasi, dapat dibedakan ke dalam beberapa tipologi. Pertama, kelembagaan di bidang agama, pendidikan, sosial, seperti misalnya rukun kematian, sinoman, rewang, sambatan, kelompok pengajian, yasinan, upacara-upacara penting di sekitar lingkaran hidup, sedekah bumi dan lain-lain. Kelompok berikutnya adalah kelembagaan ekonomi sebagai aset ekonomi desa misalnya lumbung desa, perkumpulan irigasi, arisan, simpan-pinjam, sistem maro, dan lain-lain. Sedangkan kelompok lembaga lainnya adalah merupakan aset budaya dan politik desa misalnya pemilihan kepala desa, rembug atau telik desa, komite atau gerakan- gerakan reformasi, sistem bondo desa, kelompok- kelompok kesenian dan budaya, dan lain-lain. Kesemua unsur aset desa tersebut pada hakekatnya merupakan potensi sumberdaya desa yang dapat dipergunakan sebagai instrumen untuk memajukan dan memandirikan desa dengan tanpa harus menghilangkan segala yang telah ada di desa dan menggantikannya dengan hal yang baru. Potensi tersebut mempunyai nilai riil untuk dapat memajukan dan memandirikan desa. Oleh karena itu, usaha menumbuhkan dan membangun ketahanan pangan di desa tidak dapat dilepaskan dari usaha mengembangkan pranata dan kelembagaannya sebagai sarana untuk mengembangkan potensi dan sumberdaya desa
  • 6. 6 secara keseluruhan. Pranata tradisional selain berfungsi untuk menjaga solidaritas dan kohesivitas masyarakat desa, ia sekaligus juga dapat dijadikan tempat mendapatkan jaminan sosial dalam menghadapi kesulitan dan krisis ekonomi. Berbeda dengan lembaga/organisasi yang dibentuk atas dasar perintah dari pihak lain (kekuasaan supra desa), pranata tradisional berakar kuat dalam tradisi setempat karena menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Isu-isu tentang jaminan sosial (social security) menyangkut interrelasi antara kompleksitas hukum, akses dan pemakaian sumberdaya alam. Salah satu pandangan di balik studi interrelasi ini adalah ide bahwa „peraturan dan hak-hak hukum menjadi sumberdaya sosial penting dalam strategi dan negosiasi rakyat terhadap sumber daya alam seperti tanah, air, tanaman, dan mineral‟. Ia membentuk dimensi penting dalam praktik-praktik sosial dan ini mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi secara substansial (F. dan K. von Benda-Beckmaan, 2001: 261). Terbatasnya sumber daya dalam pemenuhan kebutuhan hidup akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dan jaminan sosial. Jaminan sosial di Indonesia merupakan respons terhadap tingkat kesejahteraan yang rendah dan respons terhadap gagalnya pemerintah dan lembaga- lembaga non-pemerintah dalam menjamin kesejahteraan penduduk. Rendahnya kesejahteraan juga dipengaruhi oleh akses dan kontrol terhadap sumber daya. Akses dan kontrol menjelaskan beberapa hal: (1) menjelaskan suatu struktur sosial politik dalam kelompok yang menentukan hubungan-hubungan kekuasaan antarkelompok dan struktur ini kemudian menjadi konteks di mana persoalan redistribusi dapat berlangsung dalam kaitannya dengan hubungan antarkelompok; (2) akses ini memperlihatkan posisi politik seseorang yang mana kemampuan orang itu untuk mengakses sumber daya sangat ditentukan oleh kapasitas yang dimilikinya; (3) akses dan kontrol memperlihatkan suatu kemauan politik yang lebih mendasar, khususnya menyangkut bagaimana orientasi yang dimiliki dalam memberdayakan publik atau justru memperkuat struktur yang hirarkis dan dominatif sehingga ruang-ruang publik tidak terbuka dengan cukup untuk dapat mewadahi aspirasi masyarakat. Perubahan sebuah rezim yang seringkali diikuti pula perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik secara makro serta perubahan internal masyarakat sendiri menumbuhkan bentuk-bentuk adaptasi dan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan hidup (survival) atau akumulasi (accumulation). Keduanya bukan hanya memperlihatkan perbedaan tingkat kesejahteraan melainkan juga memperlihatkan hubungan struktural menyangkut persoalan akses dan kontrol dalam masyarakat. Perubahan- perubahan yang terjadi juga menegaskan adanya ketidakpastian terus-menerus yang dialami kelompok-kelompok yang tidak berdaya baik secara ekonomi maupun politik. Terbatasnya jaminan sosial bagi kelompok masyarakat yang rentan memperlihatkan buruknya kinerja sebuah rezim (bad governance) yang gagal memerankan dirinya sebagai institusi yang berfungsi memberi jaminan sosial. Persoalan jaminan sosial di Indonesia, masih menyisakan berbagai agenda. Pertama, menyangkut pengakuan hukum dan politik atas keberadaan penduduk dalam penyelenggaraan negara. Kedua, menyangkut isu hak dan pemilikan atas sumber daya alam dan barang publik yang terkait dengan hubungan kekuasaan. Hak dan kepemilikan di kalangan orang kecil merupakan persoalan rentan karena dapat dengan mudah mereka kehilangan hak atas sumber daya yang dimilikinya akibat suatu proses politik yang tidak mampu mereka kendalikan. Dalam suatu struktur hubungan yang hirarkis dan timpang, kelompok yang lemah ini tidak memiliki capital sosial yang kuat untuk mempertahankan milik mereka yang sangat terbatas sekalipun. Ketiga, persoalan jaminan sosial menyangkut masalah akses dan kontrol yang akan menentukan keadaan terjamin tidaknya hak publik atas sumber daya yang tersedia. Keempat, menyangkut kelompok yang dirugikan dan diuntungkan dalam berbagai hal (Abdullah dan Abdul Aziz Saleh, 2001). Bagi penduduk pedesaan, sumber daya alam merupakan sumber jaminan sosial utama baik dalam kondisi kesulitan maupun cadangan di masa datang sehingga mereka tetap ingin menjaga kelestariannya. Namun, di sisi lain pemerintah yang dilatarbelakangi kepentingan internasional berusaha menjaga kontrol atas sumber daya alam dengan berbagai alasan. Masing-masing aktor lalu mempunyai kepentingan berbeda-beda, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang menyangkut strategi dan manajemen pemanfaatan sumber daya alam. Akibatnya timbul kontradiksi- kontradiksi, tidak hanya antaraktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam akan tetapi juga antarkepentingan. Menipisnya sumber daya alam dipandang sebagai ancaman serius bagi sekelompok orang dibanding mereka yang dapat berganti pada sumberdaya yang lain. Persoalan kompleksitas hukum, jaminan sosial, dan kelestarian lingkungan merupakan isu yang saling berkaitan. Ketidakterjaminan sosial (social insecurity) berkaitan dengan isu hak dan eksploitasi sumberdaya alam serta akses dan kontrol (F & K von Benda-Beckmann and Marks, 2000).
  • 7. 7 Sebuah persoalan klasik yang berkaitan dengan manajemen sumberdaya alam berkelanjutan dan juga jaminan sosial adalah gagasan komunitas (the notion of community). Kebijakan jaminan sosial secara resmi biasanya berasumsi bahwa komunitas lokal masih merupakan penyokong yang kuat bagi jaminan sosial. Namun fenomena terakhir menunjukkan bahwa lingkaran-lingkaran sokongan jaminan sosial menjadi semakin kecil ketika melampaui masa yang panjang sehingga menyebabkan masyarakat desa kehilangan keluwesan pada masa-masa sulit. Tidak setiap penduduk desa mempunyai sarana yang sama untuk menciptakan akses pada sumber daya alam serta produk- produknya, dan bahwa faktor-faktor seperti status sosial-ekonomi, usia, gender, dan konfigurasi rumah tangga semuanya memainkan peran dalam upaya penduduk desa mencapai jaminan sosial ekonomi (F & K von Benda Beckmann & Koning, 2001: 262). c. Kearifan Lokal Masyarakat Lereng Lawu Dalam Ketahanan Pangan Kecamatan Ngargoyoso merupakan salh satu dari 17 kecamatan di Kabupaten Karanganyar. Kecamatan Ngargoyoso terdiri dari 9 desa, yaitu Berjo, Dukuh, Girimulyo, Jatirejo, Kemuning, Ngargoyoso, Nglegok, Puntukrejo, dan Segorogunung.Secara geografis Kecamatan Ngargoyoso memiliki batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Magetan (Gunung Lawu), Kecamatan Ngargoyoso. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Karangpandan, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tawangmangu, Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jenawi. Sebagian besar wilayah Kecamatan Ngargoyoso berada di lereng barat Gunung Lawu yang berudara dingin. Di Kecamatan Ngargoyoso terdapat obyek wisata antara lain Candi Sukuh, Kebun Teh Kemuning. Jumlah Penduduk di Kecamatan Ngargoyoso adalah 35.845 Jiwa. Dilihat dari Keadaan Topografisnya, Kecamatan Ngargoyo memiliki Jenis tanah: Komplek Andosol Coklat, Andosol Coklat kekuningan, dan Litosol. Desa Berjo merupakan sebuah Desa di Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini yang terletak di lereng Gunung Lawu. Desa Berjo memiliki topografi berupa daerah yang tinggi, berada di ketinggian ± 1.500 mdpl, dengan suhu udara rata – rata ± 22 °C sampai dengan 32 °C dan beriklim tropis. Desa Berjo mempunyai luas wilayah 1623,865 Ha dan memiliki batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara Desa Berjo dibatasi oleh Desa Girimulyo, sebelah timur dibatasi oleh hutan Lawu, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tawangmangu, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Puntukrejo. Letak topografis desa Berjo adalah tanahnya terdiri dari dataran tinggi dengan ketinggian tanah dan permukaan laut 1000m, suhu udara rata-rata 20- 23 C. Desa Berjo merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Kabupaten Karanganyar. Karena mempunyai banyak keunikan sejarah yaitu Candi Sukuh dan Budaya serta panorama alam yang indah dan sejuk. Desa Berjo memiliki beberapa tempat wisata seperti Candi Sukuh, Air Terjun Jumog, dan Telaga Madigda di lembah Gunung Purung. Desa Berjo terdiri dari beberapa dusun, yaitu: Tagung, Tambak, Berjo, Pabongan, Gandu, Selorejo, Sukuh, Gero, Moroto, Tlogo. Jumlah seluruh penduduk Desa Berjo adalah 6545 orang, terdiri dari 3294 laki-laki dan 3251 perempuan. Mayoritas penduduk Desa Berjo bermata pencaharian sebagai petani dengan pendapatan perkapita rata-rata Rp 550.000 / bulan dengan kategori desa sedang diantara 9 desa di Kecamatan Ngargoyoso. Lahan pertanian mereka kebanyakan berupa tegal/kebun. Sektor industri yang menjadi andalan Desa Berjo adalah makanan kecil, minuman instan dan penyulingan cengkeh, yang kesemuanya tergolong kedalam industri kecil (rumah tangga). Pekerjaan penduduk desa Berjo sebagian besar adalah sebagai petani, sebagian lainnya menjadi buruh tani, pedagang dan pegawai negeri. Pertanian menjadi basis perekonomian desa terutama pertanian ladang yang menghasilkan berbagai jenis komoditas sayuran. Kegiatan Pertanian yang dikembangkan penduduk Berjo sebagian besar berorientasi pasar. Berbagai jenis tanaman yang diusahakan di tegalan maupun dan di pekarangan merupakan jenis tanaman komoditas yang dijual ke pasar-pasar lokal dan ke daerah lain di Indonesia. Aktivitas perdagangan hasil-hasil pertanian khususnya sayuran sangat dinamis dan berlangsung setiap hari. Hal ini juga didukung oleh kemudahan aksesibilitas menuju pusat-pusat perdagangan (pasar) dan prasarana transportasi yang mudah. Model yang dikembangkan dalam proses penggalian tingkat kesejahteraan masyarakat dilakukan mulai dari kelompok masyarakat tingkat dusun. Selain menghasilkan berbagai tanaman sayuran yang menjadi tanaman andalan, masyarakat Desa Berjo juga dikenal sebagai penghasil tanaman perkebunan. Beberapa jenis tanaman perkebunan yang banyak diusahakan oleh penduduk antara lain cengkeh. Terutama tanaman cengkeh, hampir setiap penduduk menanam tanaman ini. Sebelum tahun 90a-an awal yaitu ketika berdiri BPPC, cengkeh mempunyai nilai yang cukup tinggi sehingga
  • 8. 8 sangat menguntungkan penduduk. Namun, ketika harga cengkeh dikendalikan BPPC, harga cengkeh di tingkat petani merosot tajam dan banyak pohon cengkeh ditebangi. Saat ini cengkeh tidak lagi menjadi andalan komoditas penduduk Berjo, dan digantikan tanaman lain seperti wortel dan bunga. Selama tiga tahun terakhir, tanaman bunga jenis anthurium (gelombang cinta dan jenmani) menjadi produk unggulan yang nilai sangat tinggi. Berkat tanaman ini tingkat perekonomian sebagian penduduk Berjo meningkat tajam. Sekitar tahun 2003, kelompok tani Berjo, mendirikan perkumpulan petani bunga dan sampai sekarang masih berjalan dan semakin maju. Dengan hasil tanaman bunga dan bunga potong, maka desa Berjo dikatakan sebagai desa maju. Pemahanan penduduk terhadap ketahanan pangan di Desa Berjo pada tahun 1960- an berbeda dengan pemahaman penduduk setelah tahun 1980-an. Pada tahun 1960-an menurut penduduk Berjo ketahanan pangan adalah kondisi di mana setiap orang atau keluarga mampu menydiakan bahan makanan baik berupa jagung maupun beras yang biasa mereka konsumsi setiap harinya. Mereka akan merasa tentram jika di rumah tersedia beras, jagung, maupun ketela. Hal tersebut karena pada tahun 1960-an dan masa- masa sebelumnya penduduk Desa Berjo masih merupakan petani subsisten yaitu hanya menanam untuk kebutuhan sendiri, jagung dan ubi-ubian merupakan makanan pokok penduduk Berjo. Sedangkan Konsep kekurangan pangan menurut penduduk desa Berjo adalah bila dalam keluarga tidak tersedia cukup bahan makanan pokok untuk dikonsumsi sehari-hari, bahkan pola makan yang semula tiga kali dalam satu hari menjadi dua atau bahkan sekali sehari. Sesudah tahun 1980 an terjadi perubahan pada jenis makanan pokok Berjo yaitu berupa beras. Meskipun beras tidak dihasilkan sendiri, mereka dapat membeli di pasar. Dengan adanya perubahan jenis makanan pokok tersebut, maka jagung yang semula merupakan makanan pokok, justru sekarang jagung menjadi makanan yang istimewa karena hanya sebagai campuran saja. Mereka tidak lagi menanam jagung karena hasil jualnya lebih rendah, waktu yang dibutuhkan sampai panen lama. Tanaman jagung banyak dimakan oleh monyet. Hama ini sulit diatasi. Sehingga banyak masyarakat Berjo yang beralih ke tanaman lain seperti sayuran, tanaman bunga yang dapat di jual lebih cepat. Hasil dari menjual sayuran dan tanaman sudah dapat untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Artinya mereka dapat membeli kebutuhan makan dengan menjual hasil dari kebun yang harganya masih jauh lebih tinggi dibandingkan harga jagung atau palawija yang lainnya. Dengan demikian perubahan sistem ekonomi yang semula merupakan sistem ekonomi subsisten menjadi ekonomi komersial mempengaruhi juga pola makan yaitu dari jagung ke beras (Wahyuningsih, 2007). Selain mengenal apa yang disebut kekurangan pangan dan kecukupan pangan, masyarakat Berjo juga mengenal apa yang disebut dengan masa panen dan masa paceklik. Pada masa panen masyarakat petani disibukkan dengan memetik hasil. Dan pada saat petani tersebut panen justru harga jual hasil panen biasanya lebih murah dari pada saat para petani mulai tanam. Sesudah masa panen berakhir petani mulai mempersiapkan lahan untuk ditanami lagi. Pada saat petani mulai menanam sampai pada musim panen berikutnya disebut masa paceklik. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan pangan maka para petani membiasakan diri menyimpan bahan tersebut sampai pada masa panen berikutnya. Apabila cuaca baik dan air terpenuhi, tidak ada hama yang menyerang tanaman, maka hasilnya juga akan bagus. Namun banyak kendala yang sering dialami oleh petani pada saat mereka menanti panenan. Dengan merawat tanaman maka kendala-kendala yang sifatnya ringan dapat teratasi. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Berjo menjalin hubungan kerja sama dengan sesama warga desa. Hubungan dalam masalah ekonomi tampak dalam kebiasaaan hidup mereka, misalnya dalam kasus-kasus pinjam-meminjam uang antar tetangga. Bila ada warga membutuhkan uang yang sifatnya mendesak, sedangkan ia tidak memiliki uang, maka biasanya akan berusaha untuk meminjam pada salah seorang tetangganya. Untuk keperluan konsumsi dan biaya usaha tani pada umumnya mereka dapat meminjam dari tetangga tanpa jaminan. Kemudian, apabila memerlukan uang yang cukup besar untuk keperluan penting seperti mengadakan perkawinan, pengobatan anggota keluarga, mencari pekerjaan dan keperluan pendidikan anak-anak mereka dapat meminjam pada petani kaya atau orang-orang kaya di desanya dengan jaminan barang atau tanah atau pinjam di lembaga keuangan desa. Antara sesama warga dari berbagai lapisan tidak terdapat sikap antipati. Hal ini tercermin bahwa semua rumah tangga dapat menerima sesama warga desa dari semua golongan dan lapisan sosial untuk bekerja sama dalam berbagai konteks hubungan sosial. Misalnya sebagai tetangga baru, sebagai teman seperkumpulan dan sebagai penasehat dalam mengatasi masalah ekonomi rumah tangga. Hal tersebut juga tercermin dari pola pemukiman penduduk. Komplek perumahan penduduk di semua dusun merupakan komplek yang menghimpun rumah tempat tinggal warga desa
  • 9. 9 dari semua lapisan saling berdekatan. Selain itu, di Desa Berjo juga terdapat perkumpulan yang menghimpun anggota dari berbagai lapisan sosial, misalnya Pendidikan Ketrampilan Keluarga (PKK), karang taruna, dasa wisma, kelompok- kelompok rukun tetangga, arisan dan tahlilan. Kekompakan antar lapisan petani terlihat secara jelas dalam penggarapan tanah pertanian. Dalam berbagai tahap penggarapan, petani lapisan atas terlibat dalam kegiatan yang sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh buruh tani. Pakaian kerja yang digunakan oleh petani lapisan bawah sama dengan pakaian kerja yang digunakan petani lapisan atas. Ketika seorang petani penggarap bekerja bersama sejumlah buruh tani di sawahnya, secara sepintas dia sukar dibedakan dari buruh tani yang diupahnya. Warga Desa Berjo juga melakukan kerja sama yang diujudkan dalam tindakan kolektif, seperti sistem sambatan dan sistem sumbangan. Sambatan merupakan tolong-menolong dalam bentuk pengerahan tenaga manusia untuk membantu penyelesaian pekerjaan rumah tangga yang cukup besar, seperti pembangunan rumah, pesta perkawinan, penguburan jenazah, dan kenduri atau selamatan. Sumbangan adalah tolong-menolong dalam bentuk pemberian barang atau uang untuk biaya penyelesaian pekerjaan rumah tangga yang cukup besar seperti penyelenggaraan pesta perkawinan dan upacara kematian. Kerjasama warga masyarakat juga dipelihara melalui penyelenggaraan berbagai upacara keagamaan berdasarkan tradisi Islam setempat. Diantara upacara tersebut yang terpenting adalah tahlilan, kenduren, dan upacara bersih desa. Tahlilan adalah upacara agama yang berintikan bacaan tahlil (yaitu bacaan suci yang bertema pengakuan terhadap ke-Esaan Tuhan) dalam rangka mendoakan arwah leluhur. Kenduren adalah upacara agama yang berintikan pembacaan doa keselamatan dengan pembagian makanan berupa nasi dan lauk-pauk. Makanan yang dihidangkan dalam kenduren pada dasarnya sama dengan makanan yang dihidangkan setiap hari dalam kehidupan rumah tangga, dengan kata lain tidak ada bentuk makanan yang khas dalam kenduren. Penyelenggaraan upacara ini dikaitkan dengan peristiwa penting dalam siklus kehidupan individu. Tahlilan biasanya diselenggarakan oleh suatu rumah tangga atau oleh suatu kelompok tahlilan. Bila suatu rumah tangga menyelenggarakan tahlilan, biasanya mereka mengundang para tetangga terdekat dan kaum kerabat. Mereka menyelenggarakan tahlilan dalam rangka mendoakan keselamatan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal. Biasanya tahlilan semacam ini diselenggarakan setiap hari, pada malam hari, selama seminggu sejak kematian. Di sisi lain, tahlilan yang diselenggarakan oleh suatu kelompok tahlilan biasanya hanya dihadiri oleh anggota kelompok bersangkutan. Tahlilan semacam ini biasanya diselenggarakan sebulan sekali secara bergiliran di rumah anggota kelompok. Biasanya biaya penyelenggaraan dipikul oleh para anggota kelompok dengan cara penarikan iuran pada setiap kali diadakan tahlilan. Kenduren diselenggarakan oleh suatu rumah tangga dengan mengundang tetangga terdekat. Penyelenggaraan kenduren dikaitkan dengan peristiwa penting dalam siklus hidup seorang manusia maupun peristiwa tertentu yang tidak tergolong siklus hidup tetapi dianggap sebagai masa gawat bagi kehidupan individu atau rumah tangga, misalnya menempati rumah baru. Banyak cara yang dilakukan individu atau rumah tangga ketika terjadi kekurangan pangan atau menjamin agar tidak kekurangan pangan yaitu dengan merubah pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Pada waktu makanan pokok mereka masih berupa jagung, mereka makan jagung dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari saja. Sedangkan siang hari makan ketela, ubi atau talas yang direbus. Cara seperti ini sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat desa Berjo. Cara ini dilakukan supaya dapat menghemat makanan pokok agar tidak cepat habis sebelum panen berikutnya. Pada setiap rumah tangga di desa Berjo memiliki tempat untuk menyimpan bahan makanan pokok berupa jagung dan hasil panen yang lain seperti bawang merah atau bawang putih. Tempat untuk menyimpan hasil panenan disebut. Pogo dibangun di atas tungku di dapur (bagian belakang) atau di bawah atap rumah di ruang depan (di atas ruang tamu). Pogo berfungsi sebagai lumbung petani untuk menyimpan hasil panenan mereka. Apabila persediaan makanan yang di luar sudah menipis mereka mengambil bahan tersebut dari pogo secukupnya. Biasanya jagung yang disimpan di pogo diikat, setiap akan memasak mereka mengambil beberapa ikatan, kemudian digecrok atau ditumbuk menjadi beras jagung. Masyarakat Berjo telah membangun tempat sebagai tempat persediaan makanan untuk dijual maupun untuk kebutuhan sendiri (Wahyuningsih, 2007). Setiap mereka panen tidak habis untuk kebutuhan makan keluarga, oleh karena itu mereka menyimpan untuk persediaan selama menunggu panen berikutnya.Setelah terjadinya perubahan pola makan dari jagung ke beras, maka fungsi pogo tidak lagi dipakai sebagai tempat penyimpanan bahan makanan atau hasil panen yang lain.
  • 10. 10 Bangunan ”pogo” tidak lagi ditemui dalam rumah desa di Berjo. Sebelum tahun 1980- an, penduduk Berjo masih banyak yang mendirikan pogo, tetapi setelah terjadi perubahan pola makan dari jagung dan sekarang dipakai sebagai campuran nasi, bangunan pogo juga ikut berubah. Makanan pokok yang semula adalah jagung mulai bergeser makan nasi, maka tanaman jagung tidak lagi ditanam oleh penduduk Berjo dan mereka beralih ke tanaman sayur, seperti wortel, sawi, bawang putih, bawangmerah yang tidak membutuhkan waktu lama dan bisa menghasilkan uang lebih cepat. Menurut mereka jagung memerlukan waktu lama (6 bulan) sampai panen. Sedangkan sayuran hanya membutuhkan waktu kurang lebih 50 hari. Tahun 1990-an masyarakat Berjo sudah tidak lagi makan jagung, sebagai makanan pokok mereka beralih makan nasi. Meskipun di wilayah Berjo tidak dapat menghasilkan sendiri beras, mereka membeli di pasar dari hasil menjual sayur, beras yang dihasilkan dari Tegal, karena tidak ada sawah. Makan nasi jagung menjadi makanan istimewa karena sulit didapat. Strategi pengembangan ketahanan pangan di desa Berjo selain tingkat individu yaitu dengan mendirikan pogo tempat menyimpan bahan makanan, perubahan pola makan dan diversifikasi tanaman, maka mereka pada tahun 1980-an di tingkat desa sudah mendirikan lumbung desa. Fungsi dari lumbung desa ini sama dengan pogo. Masing-masing desa menyetorkan hasil panen kemudian disimpan di lumbung milik desa. Tetapi lumbung desa ini tidak dapat berjalan seperti harapan banyak masyarakat. Terjadi kemacetan dalam pengelolaan sampai sekarang bangunan itu masih ada tetapi sudah beralih fungsi yaitu tempat untuk klinik bersalin di desa Berjo. Sedangkan organisasi atau perkumpulan petani masih tetap berjalan sampai sekarang yang selalu mengadakan pertemuan selapan (35 hari) dua kali. Mengadakan koperasi arisan, simpan pinjam, tujuannya adalah untuk kesejahteraan bagi anggota perkumpulan dan keluarga (Wahyuningsih, 2007). Tahun 2013 pemerintah desa menggalakkan lagi keberadaan lumbung desa. Ada 4 lumbung desa yang didirikan. Petani desa Berjo menghasilkan sayuran. Oleh karena sayuran tidak dapat disimpan maka lumbung desa nantinya diisi dengan hasil tanaman dari desa lain berupa jagung, dengan sistem barter. Desa Berjo hanya memiliki tanah sawah yang terbatas, dengan dukungan irigasi sederhanan yaitu seluas 8,4 hektar (0,51%). Selebihnya berupa lahan tegalan (11,01%) dan tanah hutan negara yang mencapai seluas 76,11 persen dari wilayah Desa Berjo. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Berjo bukanlah desa yang berbasis pertanian sawah dengan padi sebagai tanaman utama, melainkan desa gunung yang mengembangkan tanaman sayuran di atas lahan tegalan di lereng perbukitan. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Berjo bukanlah desa yang berbasis pertanian sawah dengan padi sebagai tanaman utama, melainkan desa gunung yang mengembangkan tanaman sayuran di atas lahan tegalan di lereng perbukitan. Kondisi pengairan di Desa Berjo terdapat saluran irigasi sepanjang 8950 meter dan 8 pembagi air. Petani di Desa Berjo adalah petani subsistem. Sumber daya yang mereka miliki adalah tenaga dan tanah milik yang sempit, bahkan ada yang tidak memiliki sawah sama sekali. Untuk menjamin kelangsungan hidup rumah tangga, petani mengambil berbagai strategi, misalnya terlibat dalam aktivitas off- farm, non farm, atau mengambil strategi bercocok tanam baru. Pilihan yang terakhir ini misalnya mengembangkan sistem pertanian multiple cropping, yaitu palawija sebagai tanaman sekunder, sedangkan sayur-sayuraan dan tanaman semusim lainnya sebagai tanaman utama. Sistem ini merupakan salah satu contoh sawah multiple cropping, yaitu sistem pertanian yang paling intensif dalam memanfaatkan tanah. Sistem pertanian ini merupakan perkembangan dari sawah monokultur yang tidak sesuai dengan kondisi ekologi dan luas usaha tani yang sempit. Dibandingkan dengan pertanian monocropping, pertanian multicropping ini ternyata mempunyai beberapa keuntungan. Salah satunya yang menonjol menyangkut kemampuannya dalam menampung tenaga kerja. Ekologi sawah ini menghendaki curahan tenaga kerja yang tinggi dan distribusi curahan tenaga kerja tersebut merata sepanjang musim. Kondisi ekologi sawah multiplecropping juga mendorong petani hanya mampu mengelola tanah yang sempit. Kondisi ini memaksa anggota rumah tangga baik pria maupun wanita sibuk bekerja untuk melangsungkan usaha taninya sepanjang musim. Di Desa Berjo, revolusi hijau telah menyebabkan perubahan dalam pola tanam. Sebelum ada revolusi hijau petani hanya menanam tanaman palawija untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka belum berfikir kearah komersialisasi hasil panen. Hasil panen dari sawah mereka sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sampai panen berikutnya. Kalaupun ada sisa hasil panen, mereka baru menukarnya dengan barang kebutuhan lain. Adapun tanaman yang mereka usahakan adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, padi. Setelah masuknya revolusi hijau petani menanam tanaman sayuran seperti wortel, loncang bawang merah, bawang daun, sawi,bunga kol, kacang panjang, buncis, dan cabe. Komersialisasi
  • 11. 11 pertanian di pedesaan berkembang pesat pada tahun 1980-an sebagai wujud dan hasil dari introduksi revolusi hijau. Munculnya sawah multiplecropping di Desa Berjo ini sebagai strategi berpartisipasi dalam ekonomi komersial dan mengatasi fragmentasi tanah. Karakteristik sawah multiplecropping menghendaki curahan tenaga kerja yang tinggi. Hal ini memaksa anggota rumah tangga untuk terlibat dalam usaha tani. Sementara itu, intensitas kerja yang tinggi diperlukan dalam penanaman sebagai strategi untuk meningkatkan hasil produksi. Intensitas kerja tersebut merupakan respon dari kondisi tanah dan sifat tanaman palawija dan sayuran yang memerlukan perawatan terus-menerus supaya produktifitasnya tinggi. 4. Kesimpulan Masyarakat Lereng Lawu dalam mengelola lingkungan alam telah terbiasa mendiversifikasi tanaman di atas lahan tegalan, yaitu secara simultan menanam beberapa jenis tanaman yang laku dijual di pasar dan tanaman pangan lain. Jenis tanaman yang akan ditanam disesuaikan dengan tren harga yang sedang berlaku. Petani menanam beberapa jenis tanaman pasar yang dapat disimpan, seperti bawang putih dan bawang merah yang dapat dijual ketika mereka membutuhkan. Hal ini menunjukkan perubahan penting dari masyarakat subsisten ke masyarakat pasar. Para petani sanggup dan tanggap terhadap peluang pasar sehingga berhasil meningkatkan kemakmuran. Dibandingkan pada periode 1960-an, petani di Desa Berjo sejak tahun 1990-an sudah jauh lebih makmur. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di desa itu mempunyai kemampuan internal yang cukup tangguh dalam memenuhi kebutuhan dasar khususnya pangan. Sumberdaya ekonomi setempat mampu memberi jaminan keamanan pangan dan masyrakat Desa Berjo sudah terintegrasi dengan sistem pasar, sehingga mereka sukar untuk dikatakan sebagai petani subsisten yang melakukan budidaya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Struktur dinamis pasar tidak hanya mendatangkan resiko, namun juga membuka peluang dan masyarakat desa Berjo memiliki daya tanggap yang tinggi, sangat responsif terhadap peluang pasar. Dalam Pertanian multipplecropping wanita mempunyai peran yang besar, hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai daya yang perlu terus dikembangkan. Perbedaan peran antara pria dan wanita dalam pertanian multiplecropping merupakan fenomena yang sudah terkonstruksi secara budaya. Pembagian peran tersebut dipakai sebagai “survival stategy” untuk menangkal kemiskinan. Berbeda dengan daerah sawah yang mengembangkan tanaman sejenis (monokultur), penduduk di kawasan Lawu telah terbiasa mendeversifikasi tanaman di atas lahan yang subur seperti menanam sayur mayur dan tanaman pangan lain. Cara ini mampu memberi jaminan ketersediaan pangan yang cukup dan sekaligus mampu memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Strategi ketahanan pangan dilakukan melalui dua cara. Pertama dengan mengembangkan sistem pertanian multiplecropping dengan melakukan diversifikasi tanaman di lahan tegalan, yaitu secara simultan menanam berbagai jenis tanaman yang laku dijual di pasar. Jenis tanaman yang akan ditanam disesuaikan dengan tren harga yang sedang berlaku. Petani menanam beberapa jenis tanaman pasar yang dapat disimpan, seperti bawang putih dan bawang merah, yang sewaktu-waktu dapat dijual ketika mereka membutuhkan. Kedua, membentuk kelompok-kelompok atau perkumpulan di tingkat desa untuk memberdayakan potensi desa. Perkumpulan ini secara sosial ekonomi mampu menjadi sarana mengembangkan solidaritas dan daya tawar dalam menghadapi kekuatan luar. Pranata ini sekaligus juga dijadikan alat untuk mengeliminasi terjadinya ketegangan dan konflik yang mungkin terjadi. Dan sekarang mulai dikembangkan lagi lumbung desa. Lumbung ini diisi dengan jagung yang didapat dari desa lain dengan cara barter karena sayuran tidak dapat disimpan. Peran lumbung desa dalam kemandirian pangan ini perlu untuk diteliti lebih lanjut karena lembaga ini dapat direvitalisasi untuk menumbuhkan kemandirian desa khususnya dalam meningkatkan ketahanan pangan. Penduduk Lereng Lawu melakukan perubahan pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi, cara ini untuk menghemat makanan pokok agar tidak cepat habis sebelum panen berikutnya. Pada waktu makanan pokok mereka masih berupa jagung, mereka makan jagung dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari saja, sedangkan siang hari dengan cara brakahan (makan ketela, ubi atau talas, ganyong, pisang, dan umbi-umbian lainnya). Selain itu juga mengolah jagung menjadi nasi bubur supaya dapat dibagi rata dan memperbanyak sayuran. Strategi ini sebenarnya sangat baik karena penduduk sudah mampu mencukupi gizi seimbang. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut karena mendiversifikasi jenis makanan merupakan cara untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang diperoleh di pasar. Ketika beras menjadi satu-satunya sumber karbohidrat dan dinilai tinggi statusnya, makanan
  • 12. 12 lokal seperti talas, jagung, ketela, dijadikan makanan tambahan. Daftar Pustaka Abdullah, Irwan dan Abdul Aziz Saleh. “Pentingnya Jaminan Sosial dalam masyarakat yang Sedang Berubah”, Sebuah Pengantar Buku Benda Beckmann, von F & K., and Juliette Koning, Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Jogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001 Benda-Beckman, F. von., et.al. Between Kinship and State: Social Security and Law in Developing Countries, Dordrecht: Foris, 1988 Benda Beckmann, von F & K., and Hands Marks, Coping with Insecurity: An “underall” perspective on social security in the third world, Pustaka Pelajar (Indonesia) and Focaal Foundation (The Netherlands), 2000. Benda Beckmann, von F & K., and Juliette Koning, Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Husodo, Siswono Yudo.”Ketahanan Pangan: Kebijakan, Tantangan dan Harapan di Masa Depan”. Makalah disampaikan dalam Seminar Ketahanan Pangan: Strategi, Politik dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Sejarah. Diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Mei 2010. Kementerian Lingkungan Hidup. Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: KLH, 2004. Maryoto, Andreas “Diversifikasi Pangan dan Tradisi Kuliner di Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Seminar Ketahanan Pangan: Strategi, Politik dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Sejarah. Diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Mei 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Sajogyo. “Golongan Miskin dan Partisipasinya dalam Pembangunan Desa”, Prisma, Januari 1980 Semedi, Pujo. “Ketahanan Petani Jawa dan Peluang Pasar”. Makalah disampaikan dalam Seminar Ketahanan Pangan: Strategi, Politik dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Sejarah. Diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Mei 2010. Suryo, Joko. “Politik Pangan Pada Masa Kolonial”. Makalah disampaikan dalam Seminar Ketahanan Pangan: Strategi, Politik dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Sejarah. Diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Mei 2010. Untoro, Heriyanti O. “Kearifan Lokal Masyarakat Agraris dalam Ketahanan Pangan di Kesultanan Banten Abad 15-18”, Makalah disampaikan dalam Seminar Ketahanan Pangan: Strategi, Politik dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Sejarah. Diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Mei 2010. Wahyuningsih, Sri. ”Kajian Tentang Strategi Ketahanan Pangan Yang Bertumpu Pada Pranata Tradisional di Pedesaan Lereng Lawu” Laporan Penelitian. LPPM UNS, 2007. Warto. ”Fungsi dan Peran Lembaga Perdesaan dalam Menumbuhkan Otonomi dan Kemandirian Desa” dalam Diakronik Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sejarah Vol. 1. No. 2- Januari Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas sastra dan Seni rupa UNS, 2003. _______”Lumbung Desa sebagai Lembaga Ketahanan Pangan di Karesidenan Rembang pada Awal Abad ke-20”. Laporan Penelitian. Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2007. Yuwono, Arief. “Implementasi Pembangunan Berkelanjutan”, makalah Seminar Nasional Peningkatan Peran Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Hotel Quality Solo, 14 April 2004.
  • 13. 13