Ayat Al-Baqarah 31-32 menjelaskan tentang Allah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam kemudian ditanyakan kepada malaikat, malaikat menjawab hanya mengetahui apa yang diajarkan Allah dan Dia lah Yang Maha Mengetahui. Ayat ini menunjukkan pentingnya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan Allah dalam menciptakan manusia.
1. Tafsir Ayat-Ayat tentang Ilmu Pengetahuan
Disusun Oleh :
Ahmad Mu’alim (13222002)
Ayu Dara Kharisma (13222011)
Dosen Pembimbing
Baldi Anggar, M.Pd.I
PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2014
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dan memberi akal kepadanya tidak lain
adalah agar manusia berfikir terhadap berbagai kejadian atau fenomena yang
terjadi di muka bumi ini sehingga manusia mengenal berbagai macam tanda
kebesaran-Nya. Allah SWT menciptakan fitrah yang bersih dan mulia itu lalu
melengkapinya dengan bakat dan sarana pemahaman yang baik yang
memungkinkan manusia mengetahui kenyataan-kenyataan besar di alam raya
ini. Fitrah manusia mukmin mengarah ke alam raya untuk mengungkap
rahasia dan tujuan penciptaannya serta berakhir dengan memahami posisi
dirinya di alam raya ini dan menentukan bagaimana ia harus berbuat dan
bersikap di dalamnya. Ilmu yang diperoleh manusia semestinya dapat
membuahkan penanaman akidah dan pendalaman keimanan yang tulus
kepada Allah.
Jika terjadi lompatan kemajuan ilmu dan teknologi melalui penelitian
terhadap gejala-gejala alam dan kehidupan, sebenarnya sangat mengherankan
kalau orang-orang yang lalai itu hanya berhenti pada batas studi yang bersifat
mekanis dan tidak menyeberang untuk menemukan rahasia-rahasia hukum
Tuhan serta memahami hikmah di balik ciptaan-Nya. Orang yang melihat
langit hanya dari warna yang biru, atau bumi dari tanahnya, ia tidak ubahnya
hewan, bahkan lebih rendah dan lebih sesat.
Sebagai makhluk yang diberi akal dan pikiran, manusia dituntut untuk
berpikir serta menggali ilmu karena Islam sendiri telah mewajibkan untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Berbicara tentang Ilmu Pengetahuan dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, ada persepsi bahwa Al-Qur’an itu adalah
kitab Ilmu Pengetahuan. Sekarang ini, di saat semua teknologi sudah canggih,
dunia membuktikan dengan banyaknya temuan-temuan terkini yang ternyata
semuanya sudah terdapat dalam Al-Qur’an. Penafsiran Al-Quran sendiri
seolah tidak pernah selesai, karena setiap saat bisa muncul sesuatu yang baru,
sehingga Al-Quran terasa selalu segar karena dapat mengikuti perkembangan
3. zaman. Pada kesempatan ini penulis hendak sedikit mengulas tentang ayat-
ayat Al-Quran tentang ilmu pengetahuan beserta tafsir dan analisisnya.
Semoga apa yang penulis tulis dalam makalah ini sedikit membantu pembaca
dalam memperoleh khazanah-khazanah keislaman yang baru.
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi ilmu pengetahuan dalam islam.
2. Memahami kedudukan ilmu pengetahuan dalam islam.
3. Mengetahui dan memahami ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan beserta
penafsirannya.
4. BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu adalah pengetahuan manusia mengenai segala hal yang dapat
diindera oleh potensi manusia (penglihatan, pendengaran, perasaan dan
keyakinan) melalui akal atau proses berfikir (logika). Ini adalah konsep
umum (barat) yang disebut (knowledge). Pengetahuan yang telah dirumuskan
secara sistematis merupakan formula yang disebut ilmu pengetahuan
(science). Dalam Al-Qur’an, keduanya disebut (ilmu). Para sarjana muslim
berpandangan bahwa yang dimaksud ilmu itu tidak terbatas pada pengetahuan
(knowledge) dan ilmu (sience) saja, melainkan justru diawali oleh ilmu Allah
yang dirumuskan dalam lauhil mahfudzh yang disampaikan kepada kita
melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah.1
Ilmu Allah itu melingkupi ilmu manusia tentang alam semesta dan
manusia sendiri. Bila diikuti jalan fikiran ini, maka dapatlah kita fahami
bahwa Al-Qur’an merupakan sumber pengetahuan manusia (Knowledge dan
science). Dengan membaca dan memahami Al-Qur’an, manusia pada
hakekatnya akan memahami ilmu Allah, yaitu firman-firman-Nya.2
Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang ada dan apa-apa yang terkandung
dalam al-qur’an, kita dapat membulatkan pernyataan bahwa ilmu yang
dimiliki oleh manusia dan yang wajib dituntut oleh manusia, semua berporos
pada agama. Agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam mengenal
hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan
dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal
yang telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam semesta. Melalui
akal, manusia dengan proses berfikir berusaha memahami berbagai realita
yang hadir dalam dirinya, sehinga manusia mampu menemukan kebenaran
sesuatu, membedakan antara haq dan bathil. Sehingga dapat dikatakan bahwa
1 Qohar Masjqoery, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta, 2003), hlm. 213
2 Ibid.
5. akal dan kemampuan berpikir yang dimiliki manusia adalah fitrah manusia
yang membedakannya dari makhluk yang lain.
B. Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Sebagai orang yang rendah pengetahuan keislamannya beranggapan
bahwa Al-Qur’an adalah sekedar kumpulan cerita-cerita kuno yang tidak
mempunyai manfaat yang signifikan terhadap kehidupan modern, apalagi jika
dikolerasikan dengan kemajuan IPTEK saat ini. Al-Qur’an menuntut mereka
cukuplah dibaca untuk sekedar mendapatkan pahala bacaannya, tidak untuk
digali kandungan ilmu didalamnya, apalagi untuk menjawab permasalahan-
permasalahan dunia modern dan diterapkan dalam segala aspek kehidupan, hal
itu adalah sesuatu yang nonsense. Anggapan-anggapan di atas merupakan
indikasi bahwa orang tersebut tidak mau berusaha untuk membuka Al-Qur’an
dan menganalisis kandungan ayat-ayatnya. Oleh karenanya maka anggapan
tersebut adalah sangat keliru dan bertolak belakang dengan semangat Al-
Qur’an itu sendiri. Bukti-bukti ini yang menunjukkan sebaliknya misalnya,
bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya
Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca/belajar dan menggunakan
akal, bukan perintah untuk shalat, puasa atau dzikrullah. Demikian tinggi
hikmah turunnya ayat ini, menunjukkan perhatian Islam yang besar terhadap
ilmu pengetahuan.3
Sejarah menunjukkan, bahwa pada masa kaum muslimin mempelajari dan
melaksanakan agamanya dengan benar, maka mereka memimpin dunia dengan
pakar-pakar yang menguasai dalam disiplin ilmunya masing-masing, sehingga
Barat pun belajar dari mereka. Baru di masa kaum muslimin meninggalkan
ajaran agamanya dan tergiur dengan kenikmatan duniawi dan berpaling ke
barat, maka Allah SWT merendahkan dan menghinakan mereka. Sungguh
telah benar Rasulullah SAW yang telah memperingatkan umatnya dalam hal
3 Ibid.hlm. 215
6. ini. Karena kedudukan ilmu yang sedemikian tingginya, maka islam
mewajibkan umatnya untuk memperlajari ilmu.4
C. Ayat-ayat tentang Ilmu Pengetahuan
1. Surat Al-Baqarah (31-32)
ََمَّلَع َوََ َمَداَءََءٓاَمأسَ أٱۡلََ ىَلَعَ أمُهَضَرَعَ َّمَُث اَهَّلُكَِةَكِئَٓلَمأٱلََِبۢنَأَ َلاَقَفَ ِنِنو
َ َينِقِدَصَ أمُتنُكَنِإَ ِءٓ ََلُؤَٓهَ ِءٓاَمأسَأِب١٣ََِنواُالَقََاَمَ ََّلِإَٓاَنَلََمألِعَ َََل ََكنَحأبُس
َنَت أمَّلَعََنتَأََكَّنِإَٓۖٓاَُميِلَعأٱلََُميِكَحأٱلَ١٣ََ
Artinya :
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar! (31). Mereka menjawab: "Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (32).
Tafsir Ayat :
Pada firman-Nya : “kemudian Dia memaparkannya kepada
malaikat..”, ada yang memahaminya sebagai waktu yang relatif lama
antara pengajaran Adam dan pemaran itu, dan ada juga yang
memahaminya bukan dalam arti selang waktu, tetapi sebagai isyarat
tentang kedudukan yang lebih tinggi, dalam arti pemaparan serta
ketidakmampuan malaikat dan jelasnya keistimewaan Adam as. melalui
pengetahuan yang dimilikinya, serta terbuktinya ketetapan kebijaksanaan
Allah menyangkut pengangkatan Adam as. sebagai kholifah, semua itu
lebih tinggi nilainya dari pada sekedar informasi tentang pengajaran Allah
kepada Adam yang dikandung oleh penggalan ayat sebelumnya. Firman-
Nya : “innaka anta al-‘alim al-hakim / sesungguhnya Engkau, Engkau
4 Ibid.hlm. 216
7. Yang Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana”, mengandung dua kata
yang menunjukkan kepada mitra bicara yaitu huruf ()ك kaf pada kata ( )إنك
innaka dan kata ()أنت anta. Kata anta oleh banyak ulama dipahami dalam
arti penguat sekaligus untuk memberi makna pengkhususan yang tertuju
kepada Allah swt. Dalam hal ini pengetahuan dan hikmah, sehingga
penggalan ayat ini menyatakan “Sesungguhnya hanya Engkau tidak ada
selain Engkau” Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Kata ()العليم
al-‘alim terambil dari akar kata ()علم ‘ilm yang menurut pakar-pakar bahasa
berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya.
Allah swt.dinami ()عالم ‘alim atau ()عليم ‘alim karena pengetahuan-Nya
yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang sekecil-kecilnya
apapun. Kata ()الحكيم al-hakim dipahami oleh sementara ulama dalam arti
Yang Memiliki hikmah, sedang hikmah lain berarti mengetahui yang
paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan.
Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai ()حكيم hakim, hikmah
juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan
menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar dan atau
mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna ini
ditarik dari kata ()حكمة hakamah, yang berarti kendali karena kendali
menghalangi hewan atau kendaraan mengarah ke arah yang tidak
diinginkan.5
Analisa :
Ayat ini menjelaskan tentang kebijaksanaan Allah dalam
menetapkan Adam sebagai khalifah berkat keistimewaan Adam a.s melalui
pengetahuan yang dimilikinya serta kekeliruan malaikat sebagaimana
dipahami dari kata kemudian Allah mepaparkan benda-benda itu kepada
para malaikat lalu berfirman, “ sebutkan kepada ku nama-nama benda itu,
jika kamu orang-orang yang benar dalam dugaan kamu bahwa kalian
lebih wajar menjadi khalifah”. Sebenarnya perintah ini bukan bertujuan
5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 147.
8. menugaskan menjawab. Para malaikat yang ditanya itu secara tulus
menjawab sambil mensucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami
selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya
engkaulah yang maha mengetahui lagi maha bijaksana maksudnya mereka,
apa yang engkau tanyakan itu tidak pernah engkau ajarkan kepada kami.
Engkau tidak ajarkan kepada kami bukan karna engkau tidak tau, tetapi
ada hikmah dibalik itu. Demikian jawaban malaikat yang bukan hanya
mengakuti dan mengatahui jawaban pertanyaan tetapi sekaligus mengakui
kelemahan mereka dan kesucian Allah SWT. Dari segala macam
kekurangan atau ketidakadilan, sebagaimana dipahami dari penutup surat
ini. Jawaban para malaikat sesungguhnya engkau mengatahui lagi maha
bijaksana, juga mengandung makna bahwa sumber pengetahuan adalah
Allah SWT. Jadi, Allah maha mengetahui segala sesuatu, termasuk yang
wajar menjadi khalifah, dan dia maha bijaksana dalam segala tindakannya,
termasuk menetapkan mahluk yang wajar menjadi khalifah.
2. Surat Taubah (9) ayat 122
َ َانَكَاَمَ۞وََِنونُنِم أؤُمأٱلََ أمُهأنَِم ٖةَق أرِفَ ِلُكَنَِم َرَفَنَ ََل أِنوَلَفَ
ٗۚ
ةَّفٓاَكَواُرِفنَيِل
َ ِفَِنواُهَّقَفَتَيَِل ٞةَفِئٓاَطَِِينٱلدََ أمُهَّلَعَلَ أمِهأيَلِإَا ِٓنوُعَجََراَذِإَ أمُهَم أِنوَقَواُِرذنُيِل َو
ََونُرَذ أحَي٣٣٣ََ
Artinya :
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Tafsir Ayat :
Anjuran yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi
yang berjihad, serta kecaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang
9. enggan, menjadikan kaum beriman berduyun-duyun dan dengan penuh
semangat maju ke medan juang. Ini tidak pada tempatnya karena ada
area perjuangan lain yang harus dipikul. Ulama yang menyatakan
bahwa ketika Rasul saw. tiba kembali di Madinah, beliau mengutus
pasukan yang terdiri dari beberapa orang ke beberapa daerah. Hal ini
banyak sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil itu sehingga jika
diperturutkan, tidak akan tinggal di Madinah bersama Rasul kecuali
beberapa gelintir orang saja. Maka dalam hal ini ayat ini menuntun
kaum muslimin untuk membagi tugas dengan menyatakan : Tidak
sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang selama ini dianjurkan agar
bergegas menuju medan perang pergi semua ke medan perang sehingga
tidak tersedia lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika
memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum, maka
mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar, di
antara mereka beberapa orang dari golongan itu untuk bersungguh-
sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka
dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain dan
juga untuk memberi peringataan kepada kaum mereka yang
menjadikan anggota pasukan yang ditugaskan oleh Rasul saw. itu
apabila nanti setelah selesainya tugas, mereka, yakni anggota pasukan
itu, telah kembali kepada mereka yang memperdalam pengetahuan itu
supaya mereka yang jauh dari Rasul saw. karena tugasnya dapat
berhati-hati dan menjaga diri mereka.6
Menurut al-Biqa’i sebagaimana dikutip Quraish menyatakan
bahwa kata thaaifah dapat berarti satu atau dua orang. Sementara ulama
yang lain tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang jelas ia lebih
kecil dari firqah yang bermakna sekelompok manusia yang berbeda
dengan kelompok yang lain. Karena itu, satu suku atau bangsa, masing-
masing dapat dinamai dengan firqah. Sedangkan kata liyatafaqqahuu
6 Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2012),
Hlm. 187
10. terambil dari kata fiqh, yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut
hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Bukan hanya sekadar pengetahuan.
Penambahan huruf taa pada kata tersebut mengandung makna
kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku
menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikianlah kata-kata tersebut
mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan.
Sementara kata fiqh bukan terbatas pada apa yang diistilahkan dalam
disiplin ilmu agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan tentang
hukum-hukum agama islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh
melalui penalaran terhadap dalil-dalil yang terperinci. Tetapi, kata itu
mencakup segala macam pengetahuan mendalam. 7
Analisa :
Orang-orang yang beriman tidak wajib pergi semua untuk berjihad
dan meninggalkan negeri mereka dalam keadaan kosong. Tapi harus
tetap ada yang tinggal disana dan satu kelompok lagi yang keluar
menuntut ilmu yang bermanfaat. Apabila mereka kembali ke kampung
halaman, mereka wajib mengajarkan ilmu yang diperoleh kepada
kaumnya yang tidak ikut menuntut ilmu. Mereka harus memberikan
pemahaman kepada kaumnya tentang agama Allah SWT,
memperingatkan mereka akan bahaya maksiat dan melanggar perintah-
Nya. Menyerukan supaya mereka bertakwa kepada Tuhan mereka
dengan mengamalkan kitab-Nya dan sunnah Nabi SAW.
7 Ibid. hlm. 188
11. 3. Az-Zumar (39) ayat 9
َأنَّمَأََ َءٓاَناََء ٌتِنَقَ َِنوُهَِلأيَّٱلََ ُرَذ أحَيَ امِئٓاَقََو اد ِاجَسََةَر ِخٓ أٱۡلََِنواُج أرَي َو
َِهِبََرَةَم أحَرَۦََيِِنوَت أسَيَ ألَهَ ألُقََِينذَّٱلََََو َِنونُمَلعأَيََِينذَّٱلََاَمَّنِإَ َِنونُمَلعأَيَ ََل
َِنواُلوَُأُرَّكَذَتَيَِبَبألَ أٱۡلَ٩ََ
Artinya :
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang
yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Tafsir Ayat:
Allah berfirman : Apakah orang yang beribadah secara
tekun dan tulus di waktu-waktu malam dalam keadaan sujud akan
berdiri secara mantap demikian juga yang rukuk dan duduk atau
berbaring, sedang ia terus menerus takut siksa akhirat dan saat yang
sama senantiasa mengharapkan rahmat Tuhannya sama dengan mereka
yang baru berdoa saat mendapat musibah dan melupakan-Nya ketika
memperoleh nikmat serta menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu? Tentu
saja tidak sama! Katakanlah : “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui hak-hak Allah dan mengesakan-Nya dengan orang yang
tidak mengetahui hak Allah dan mengkufuri-Nya? Sesungguhnya orang
yang dapat menarik banyak pelajaran adalah Ulul Albab, yakni orang-
orang yang cerah pikirannya.8
Awal ayat di atas ada yang membacanya aman dalam bentuk
pertanyaan dan ada juga yang membacanya amman. Yang pertama
merupakan bacaan Naafi, ini merupakan pendapat Ibnu Katsir, dan
8 Ibid. Hlm. 180
12. Hamzah. Ia terdiri dari huruf alif dan man yang berarti siapa. Kata man
berfungsi sebagai subjek (mubtada), sedang predikat (khabar)-nya tidak
tercantum karena telah diisyaratkan oleh kalimat sebelumnya yang
menyatakan bahwa orang-orang kafir mengada-adakan bagi Allah
sekutu-sekutu dan seterusnya. Menurut Quraish bahwa bacaan kedua
amman adalah bacaan mayoritas ulama. Ini pada mulanya terdiri dari
dua kata yaitu am dan man, lalu digabung dalam bacaan dan tulisannya.
Ia mengandung dua kemungkinan makna. Yang pertama kata am yang
berfungsi sebagai kata yang digunakan bertanya. Maka dengan
demikian ayat ini bagaikan menyatakan “Apakah si kafir yang
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sama dengan yang percaya dan
tekun beribadah? Yang kedua, kata am berfungsi memindahkan uraian
ke uraian yang lain, serupa dengan kata bahkan. Makna ini menjadikan
ayat di atas bagaikan menyatakan. “ Tidak usah mengancam mereka,
tapi tanyakanlah apakah sama yang mengada-adakan sekutu bagi Allah
dengan yang tekun beribadah? Sedangkan kata qaanit terambil dari kata
qanuut, yaitu ketekunan dalam ketaatan disertai dengan ketundukan hati
dan ketulusannya. Sementara itu, ulama menyebut juga nama-nama
tertentu bagi tokoh yang dinamai qaanit oleh ayat di atas, seperti
Sayyidina Abu Bakar, atau ‘Ammar Ibnu Yasir ra. dan lain-lain. Ini
merupakan contoh dari sekian tokoh yang dapat menyandang sifat
tersebut. Dengan kata lain ayat di atas menggambarkan sikap lahir dan
batin siapa yang tekun itu. Sikap lahirnya digambarkan oleh kata-kata
saajidan/ sujud dan qaaiman/ berdiri sedangkan sikap batinnya
dilukiskan oleh kalimat yahdzaru al-akhirata wa yarjuu ar-rahmah/
takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. 9
Analisa :
Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang
mengetahui (berilmu) dengan melakukan ibadah di waktu malam, takut
9 Ibid. hlm. 179
13. terhadap siksaan Allah di akhirat serta mengaharapkan ridha dari Allah;
dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian itu merupakan salah
satu ciri dari ulul al-bab, yaitu orang yang menggunakan hati untuk
menggunakan dan mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan
peningkatan akidah, ketekunan beribadah dan ketinggian akhlak yang
mulia.
Sehubungan dengan ayat يعلمو ال ذينّلوا يعلمون ذينّلا يستوى هلن , al-
Maraghi mengatakan: “Katakanlah hai rasul kepada kaummu, adakah
sama, orang-orang yang menengetahui bahwa ia akan mendapatkan
pahala karena ketaatan kepada tuhannya dan akan mendapatkan siksaan
disebabkan karena kedurhakaannya dengan orang yang mengetahui al-
hal yang demikian itu?” Ungkapan pertanyaan dalam ayat ini
menunjukan bahwa yang pertama (orang-orang yang mengetahui) akan
dapat mencapai derajat kebaikan; sedangkan yang kedua (-orang-orang
yang tidak mengetahui) akan mendapatkan kehinaan dan keburukan.
Imam Al Qurtubi berkata: "Menurut Az-Zujaj Radhiyallahuanhu,
maksud ayat tersebut yaitu orang yang tahu berbeda dengan orang yang
tidak tahu, demikian juga orang taat tidaklah sama dengan orang
bermaksiat. Orang yang mengetahui adalah orang yang dapat
mengambil manfaat dari ilmu serta mengamalkannya. Dan orang yang
tidak mengambil manfaat dari ilmu serta tidak mengamalkannya, maka
ia berada dalam barisan orang yang tidak mengetahui".
14. 4. Mujaadalah (58) ayat 11
اَهُّيَأَٓيَََِينذَّٱلََ ِفَ ِنواُحَّسَفَتَ أمُكَلَ َليِقَ اَذِإَ ا ِٓنوُنَماَءَ ِسِلَجَمأٱلَََفَِنواُحَسأٱفَ
َِحَسأفَيَُ َّٱّللََ َليِقَاَذِإ ََو ٓۖأمُكَلَواُزُشٱنَََفَواُزُشٱنََِعَف أرَيَُ َّٱّللَََِينذَّٱلََِنواُنَماَء
َََو أمُكنِمََِينذَّٱلََِنواُتوُأََمألِعأٱلََََو ٖٗۚتَجَرَدَُ َّٱّللََِبَخََِنونُلَمَعأتَاَمِبَ ٞير٣٣ََ
Artinya :
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
Tafsir Ayat :
Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila
dikatakan kepada kamu, oleh siapapun: “Berlapang-lapanglah, yakni
berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri
untuk memberikan tempat pada orang lain, dalam majelis-majelis,
yakni satu tempat, baik itu tempat duduk maupun bukan untuk duduk,
apabila diminta kepada kamu untuk melakukan itu maka lapangkanlah
tempat itu untuk orang lain itu dengan sukarela. Maka jika kamu
melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala
sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila dikatakan : Berdirilah
kamu ke tempat yang lain, atau duduk diduduki tempatmu buat orang
yang lebih wajar, atau bangkitlah untuk melakukan sesuatu seperti
untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkitlah, Allah akan
meninggikan orang-orang beriman di antara kamu, wahai yang
memperkenankan tuntunan ini, dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat kemuliaan di dunia dan di akhirat dan
15. Allah terhadap apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa datang
Maha mengetahui.10
Kata tafassahuu dan ifsahuu pada ayat tersebut, terambil
dari kata fasaha, yakni lapang. Sedangkan kata unsyuzuu terambil dari
kata nuzuz, yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya
berarti beralih ke tempat yang lebih tinggi. Yang dimaksudkan adalah
pindah ke tempat lain untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih
wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit
melakukan suau aktifitas yang positif. Sementara itu, ada juga yang
memahaminya dengan berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama
di sana, karena boleh jadi ada kepentingan nabi saw yang lain dan yang
perlu segera beliau hadapi. Sedangkan kata majaalis adalah bentuk
jamak dari majelis. Pada umumnya berarti tempat duduk. Dalam
konteks ayat ini adalah tempat Nabi saw memberikan tuntunan agama
ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan
secara mutlak, baik itu tempat duduk, tempat berdiri, atau bahkan
tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah
memberi tempat yang wajar secara mengalah kepada orang-orang yang
dihormati atau pun orang-orang yang lemah. Seorang tua non-muslim
sekalipun.11
Analisa :
Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa para sahabat berlomba-
lomba untuk berdekatan dengan tempat duduk Rasulallah SAW untuk
mendengarkan pembicaraan beliau yang mengandung banyak kebaikan
dan keutamaan yang besar. Diperintahkan pula untuk memberi
kelonggaran dalam majlis dan tidak merapatkannya, dan apabila yang
demikian ini menimbulkan rasa cinta didalam hati dan kebersamaan
10 Ibid. hlm. 174
11 Ibid. hlm. 175
16. dalam mendengarkan hukum-hukum agama, maka akan dilapangkan
baginya kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat.
Isi kandungan pada ayat diatas berbicara tentang etika atau
akhlak ketika berada dalam majelis ilmu. Etika dan akhlak tersebut
antara lain ditunjukan untuk mendukung terciptanya ketertiban,
kenyamanan dan ketenangan suasana dalam majelis, sehingga dapat
mendukung kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan. Ayat diatas juga
sering digunakan para ahli untuk mendorong diadakannya kegiatan di
bidang ilmu pengetahuan, dengan cara mengunjungi atau mengadakan
dan menghadiri majeis ilmu. Dan orang yang mendapatkan ilmu itu
selanjutnya akan mencapai derajat yang tinggi dari Allah.
Menurut Imam Al Qurthubi "Maksud ayat di atas yaitu, dalam
hal pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia, Allah Subhanahu wa
Taala akan meninggikan orang beriman dan berilmu di atas orang yang
tidak berilmu. Kata Ibnu Mas`ud, dalam ayat ini Allah Subhanahu wa
Taala memuji para ulama. Dan makna bahwa Allah Subhanahu wa Ta
ala akan meninggikan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat,
adalah derajat dalam hal agama, apabila mereka melakukan perintah-
perintah Allah".
5. Surat Al-Alaq (96) ayat 1-5
َأأَرأٱقََِبَِم أٱسَََكِبَرِيذَّٱلَََقَلَخ٣ََََقَلَخََنَسنِ أٱۡلٍََقَلَعَ أنِم٣ََأأَرأٱقََكُّبَر َوَ
َُمَر أكَ أٱۡلَ١ََِيذَّٱلََِبََمَّلَعَِمَلَقأٱلَ٤َََمَّلَعَََنَسنِ أٱۡلََ أمَلعأَيَ أمَلَاَم٥ََ
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3). Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya (5).
17. Tafsir Ayat :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan” (ayat 1). Dari suku kata pertama saja yaitu “bacalah”,
telah terbuka kepentingan pertama dalam perkembangan agama ini
selanjutnya. Nabi Muhammad disuruh untuk membaca wahyu yang
akan diturunkan kepada beliau atas nama Allah, tuhan yang telah
menciptakan. Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal
darah” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah. Yaitu
segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si
perempuan yang setelah 40 hari lamanya, air itu akan menjelma
menjadi segumpal darah dan dari segumpal darah itu kelak setelah 40
hari akan menjadi segumpal daging. “Bacalah, dan tuhanmu itu adalah
maha mulia”(ayat 3).12
Setelah pada ayat pertama beliau menyuruh membaca dengan
nama allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, diteruskan
lagi menyuruh membaca diatas nama tuhan. Sedang nama tuhan yang
selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah yang maha
mulia, maha dermawan, maha kasih dan saying kepada
mahluknya. “Dia yang mengajarkan dengan kalam”(ayat 4). Itulah
istimewanya tuhan itu lagi. Itulah kemulianya yang tertinggi. Yaitu
diajarkanya kepada manusia berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia,
diserahkanya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah
yaitu dengan qalam. Dengan pena disamping lidah untuk membaca,
tuhanpun mentaksirkan pula bahwa dengan pena ilmu dapat dicatat.
Pena itu kaku dan beku serta tidak hidup namun yang dituliskan oleh
pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahami oleh manusia
“Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu” (Ayat 5). Terlebih
dahulu Allah ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah
dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan
12
HAMKA, Tafsir Al-Azhar jilid 10 (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1998) hlm. 8059
18. diberikan oleh allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatat ilmu yang
baru didapatnya itu dengan qalam yang sudah ada dalam tanganya.13
Analisa :
Berdasarkan ayat tersebut Rasululallah disuruh untuk
membaca agar menjadi orang yang bisa membaca sebelum tadinya
tidak. Betapa pentingnya membaca itu, bahkan sesungguhnya setiap
detik hidup ini adalah membaca. Tanpa membaca, orang akan kesulitan
untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Setiap orang bisa saja membaca
objek yang sama. Namun yang membedakan adalah kualitas
pembacaannya. Pada masa jahiliyyah dahulu, kondisi kehidupan
masyarakat didominasi oleh pembacaan yang salah. Membaca yang
benar dalam arti menyeluruh harus menjadi bagian dari hidup seorang
muslim. Manusia dapat baru dapat dimintai pertanggungjawaban
setelah mampu membaca dalam arti luas. Sebab kemampuan membaca
adalah tanda berfungsinya akal seseorang. Dikutip dari sebuah hadits,
“Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal”. Kualitas
pembacaan juga ditandai dengan kedalaman atau kejauhan pandangan.
Dengan hanya sedikit indikator atau tanda, seharusnya setiap Muslim
mampu membaca jauh melebihi apa yang dilihatnya.
Dalam ayat tersebut dapat diketahui perintah Allah SWT
kepada manusia untuk menuntut ilmu, dan dijelaskan pula sarana yang
digunakan untuk menuntut ilmu yaitu kalam. Mencari ilmu adalah
sebuah kewajiban bagi umat manusia dan mengamalkannya juga
merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai, semakin takut
pula kepada Allah SWT sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan
diri kepada-Nya. Adapun dalam salah satu hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW
bersabda:
13
Ibid. Hlm. 8060
19. "Perumpamaan apa yang aku bawa dari petunjuk dan ilmu adalah
seperti air hujan yang banyak yang menyirami bumi, maka di antara
bumi tersebut terdapat tanah yang subur, menyerap air lalu
menumbuhkan rumput dan ilalang yang banyak. Dan di antaranya
terdapat tanah yang kering yang dapat menahan air maka Allah
memberikan manfaat kepada manusia dengannya sehingga mereka bisa
minum darinya, mengairi tanaman dengannya dan bercocok tanam
dengan airnya. Dan air hujan itu pun ada juga yang turun kepada
tanah/lembah yang tandus, tidak bisa menahan air dan tidak pula
menumbuhkan rumput-rumputan. Itulah perumpamaan orang yang
memahami agama Allah dan orang yang mengambil manfaat dengan
apa yang aku bawa, maka ia mengetahui dan mengajarkan ilmunya
kepada yang lainnya, dan perumpamaan orang yang tidak perhatian
sama sekali dengan ilmu tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah
yang aku diutus dengannya." (HR. Al-Bukhariy)
Di dalam hadits ini terdapat pengarahan dari Nabi SAW agar
bersemangat untuk mencari ilmu, yaitu beliau SAW memberikan
perumpamaan terhadap apa yang beliau bawa, yaitu hujan yang
menyeluruh di mana manusia mengambil dan memanfaatkan air hujan
tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian beliau
SAWmenyerupakan orang yang mendengar ilmu dengan bumi/tanah
yang bermacam-macam dimana air hujan (ilmu) turun padanya:
1. Diantara mereka ada orang yang berilmu, beramal dan
mengajarkan ilmunya kepada yang lainnya, maka orang ini seperti
tanah yang baik, yang menyerap air lalu memberikan manfaat pada
dirinya dan menumbuhkan tanaman dan rumput-rumputan sehingga
memberikan manfaat bagi yang lainnya.
2. Diantara mereka ada yang mengumpulkan ilmu yang dia sibuk
dengannya, di mana ilmu tersebut dimanfaatkan pada masanya dan
masa setelahnya dalam keadaan dia belum bisa mengamalkan
sebagian darinya atau belum bisa memahami apa yang dia
20. kumpulkan, akan tetapi dia sampaikan kepada yang lainnya, maka
orang ini seperti tanah yang menahan air sehingga manusia dapat
mengambil manfaat darinya.
3. Dan di antara mereka ada orang yang mendengar ilmu tetapi tidak
menghafalnya, tidak beramal dengannya dan tidak pula
menyampaikannya kepada yang lainnya, maka orang ini seperti
tanah lumpur atau tanah tandus yang tidak dapat
menerima/menampung air.
Kelompok pertama dan kedua dalam perumpamaan tersebut
kelak akan dikumpulkan menjadi satu karena kebersamaan mereka
dalam memanfaatkan ilmu yang mereka miliki walaupun derajat
kemanfaatannya bertingkat-tingkat. Dan kelompok ketiga yang
tercela akan dipisahkan dari kelompok satu dan dua karena tidak
adanya kemanfaatan darinya. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya
terdapat perbedaan yang besar antara orang yang mencari ilmu lalu
memberikan manfaat pada dirinya dan orang lain dengan orang
yang rela dengan kebodohan dan hidup dalam kegelapannya
sehingga dia tidak mendapat bagian sedikit pun dari warisannya
para Nabi.14
14
Ibid.
21. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam mengenal
hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan
dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal yang
telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam semesta.
Allah akan meninggikan tempat bagiorang-orang yang berilmu
disurganya dan menjadikan mereka di dalam surga termasuk orang-orang yang
berbakti tanpa kekhwatiran dan kesedihan. Mencari ilmu adalah sebuah
kewajiban bagi umat manusia dan mengamalkannya juga merupakan ibadah.
Semakin tinggi ilmu yang dikuasai, semakin takut pula kepada Allah SWT
sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan diri kepada-Nya.
B. Saran
Demikian makalah ini penyusun buat, penyusun mohon maaf apabila
dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan. Penyusun meminta kritik
dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
22. DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. 1998. Tafsir Al-Azhar. jilid 10. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Masjqoery, Qohar. 2003. Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Gunadarma.
Nata, Abudin. 2012. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta : Lentera Hati.