Halo Kerabat!
Pada edisi kali ini, Lentera mengusung tema “Seksualitas dan Gender”. Tema ini sengaja dipilih mengingat begitu memprihatinkannya kebebasan dan kesetaraan antara seksualitas dan gender. Dalam dunia yang diatur oleh kentalnya prinsip patriarki, kesenjangan dan ketidakadilan pada gender atau seksualitas tertentu justru dianggap normal dan wajar.
Dengan hadirnya Lentera edisi kali ini, diharapkan mampu menambah wawasan para pembaca mengenai beragam sudut pandang terhadap isu seputar seksualitas dan gender yang tak kunjung rampung hingga kini.
Lentera "Seroja" edisi kali ini dapat dibaca melalui medium resmi HIMANTARA yang tertera pada bio kami atau melalui tautan:
https://bit.ly/LanteraSeroja
Semoga buletin ini dapat bermanfaat serta membuka wawasan para pembaca, ya! Selamat membaca!
1. Lentera
B u l e t i n T e r b a r u H i m a n t a r a
Always be a first-rate version of yourself instead of a second-rate version of
somebody else. ― Judy Garland
EDISI JUNI 2022
Seroja
Cenderasa
Feminisme: Apa Kabarnya
Di Indonesia?
Citraleka
Fangirl Culture: Standar
Ganda Dalam Kelompok
Penggemar Perempuan
2. i
Rafida Az Zahra
Ketua Pelaksana
Ika Febriyan Triana K.
Sekretaris & Bendahara
Ella Inayah MardatillaH
Richita Camelia Mayne. P
Penyunting
Fatimah Rosyidah
Naisya Nazirah
Desain Tata Letak
Kontributor:
Ni’mah Fara Kamila
Deskripsi
Ocik Adinalita
Fathan Hifny Ghifary
Artikel
Ni’mah Fara Kamila
Esai
Anggi Sicilia Irmansyah
Fun Fact
Andin Okfitaningrum
Review Film
Amadea Zulfaa Fiadi
Adilla sekar aulia Permatasari
Puisi
REDAKSI
SUSUNAN
Riki ari pradana
Opini Lentera
3. Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
telah memberikan kesempatan berupa waktu dan juga kemudahan,
sehingga kami dapat mempublikasikan Lentera periode kali ini
dengan tema “Seksualitas dan Gender”. Di era globalisasi dengan
semakin canggihnya IPTEK kita dapat melihat bahwa begitu
memprihatinkannya kebebasan dan kesetaraan antara seksualitas
dan gender. Dalam dunia yang diatur oleh kentalnya prinsip
patriarki, kesenjangan dan ketidakadilan pada gender atau
seksualitas tertentu justru dianggap normal dan wajar. Nyatanya,
secara alami manusia tak hanya memiliki dua varian seksualitas dan
gender. Terdapat begitu banyak ragam seksualitas dan gender
yang justru tak banyak orang tahu dan memahami nya. Akibatnya,
orang-orang dengan seksualitas dan gender “tak dianggap” ini
justru kerap menjadi korban bulan-bulanan orang sekitarnya.
Dengan hadirnya LENTERA edisi kali ini, diharapkan dapat
menambah wawasan mengenai kondisi kesenjangan dan juga
kesetaraan gender yang ada di Indonesia melalui tema Lentera kali
ini. Kami sadar betul bahwa masih ada banyak kekurangan yang
terdapat dalam Lentera edisi kali ini. Maka dari itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca,
agar kedepannya Lentera bisa lebih baik lagi.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat. Semoga LENTERA kali ini dapat memberikan
manfaat serta membuka wawasan para pembaca mengenai kondisi
seksualitas dan gender di Indonesia. Terimakasih dan selamat
membaca.
Kata Pengantar
i i
4. 1
DAFTAR ISI
Susunan redaksi...................................................................................................i
Kata pengantar ...................................................................................................ii
citraleka
Kesetaraan Gender dan Seksualitas...................................................2
daftar pustaka...................................................................................................................1
berkalih
Tulisan Nasib Seseorang.....................................................................5
cenderasa
Feminisme: Apa Kabarnya di Indonesia..............................................6
citraleka
Fangirl Culture: Standar Ganda Dalam Kelompok Penggemar
Perempuan..........................................................................................9
berkalih
Wanita...............................................................................................13
opini lentera.....................................................................................................................14
Cenderasa
Waspada! Mengerikannya Kekerasan Seksual Berbasis Gender
Online................................................................................................18
kilas sinema
Review Film The Handmaiden............................................................21
fun fact
Feminisme Sudah Ada Sejak Zaman Romawi Kuno............................24
berkalih
Di Balik Suara Kata Sang Gadis........................................................27
5. Saat ini, isu seksualitas dan gender menjadi salah satu pembahasan yang
cukup ramai diperbincangkan masyarakat. Hal ini selaras dengan
berkembangnya pula kesadaran masyarakat mengenai kesetaraan gender dan
keberagaman seksualitas. Pembahasan tersebut tampaknya juga mendorong
adanya mispersepsi mengenai pemaknaan seksualitas dan gender. Banyak orang
yang menganggap seksualitas dan gender memiliki makna yang sama. Padahal
kenyataannya kedua kata tersebut memiliki makna dan konteks yang sedikit
berbeda.
Menurut Women’s Studies Encyclopedia, gender merupakan sebuah konsep
kultural yang menciptakan pembeda dalam konteks perilaku, karakteristik,
peran, dan mental emosional laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
masyarakat. Syamsiah (2014:266) juga mengutip pernyataan Hilary M. Lips
dalam bukunya yang berjudul Sex & Gender: An Introduction bahwa dalam
gender, perempuan dan laki-laki dikonstruksi oleh ekspektasi kebudayaan
masyarakat. Konsep gender ini memandang perbedaan laki-laki dan perempuan
dengan tidak menitikberatkan pada aspek biologis dan kodrati. Salah satu
contohnya yakni laki-laki kerap diidentifikasi sebagai seseorang yang kuat,
maskulin, dominan, dan agresif. Di sisi lain, perempuan dipandang sebagai
seseorang yang lemah lembut, emosional, dan pengalah. Meskipun demikian,
mengidentifikasikan laki-laki dan perempuan menurut gender ini bersifat fleksibel
dan dapat dipertukarkan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa gender
merupakan konsep pengidentifikasian antara peran, perilaku, dan karakteristik
laki-laki dengan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya yang
berkembang di tengah masyarakat.
Kesetaraan Gender dan Seksualitas
Citraleka
Oleh: Ni’mah Fara Kamila
2
6. Berbeda halnya dengan gender, seksualitas merupakan istilah yang berakar
dari kata seks, yang berarti jenis kelamin secara biologis. Seksualitas merupakan
wujud yang lebih luas dan kompleks dari seks atau jenis kelamin. Seksualitas
merupakan ciri, peranan atau sifat seks, dorongan seks, dan kehidupan seks
dalam seorang manusia (Moa, 2004:3). Seksualitas tidak hanya menyangkut
pemahaman mengenai jenis kelamin biologis saja, tetapi mencakup keseluruhan
tindakan manusia baik secara lahir dan batin terhadap manusia atau lingkungan
luar. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
seksualitas merupakan wujud kombinasi dari pikiran, perilaku, dan perasaan
manusia yang dikorelasikan dengan pemenuhan kebutuhan seksual dan
reproduksi manusia.
Membahas mengenai gender dan
seksualitas pastinya tidak jauh dari isu
kesetaraan gender. Dalam beberapa tahun
terakhir, isu kesetaraan gender sedang
gencar diperbincangkan. Hal ini berkaca dari
kondisi sosial budaya masyarakat yang saat
ini belum sepenuhnya memahami dan
menerapkan kesetaraan gender. Belum
terwujudnya kesetaraan gender dipengaruhi
oleh banyak aspek yang cukup kompleks,
mulai dari pola pikir, kualitas pendidikan,
hingga budaya patriarki yang masih melekat
di sebagian besar masyarakat. Budaya
patriarki mendorong tertanamnya pola pikir
bahwa laki-laki dianggap ‘lebih’ daripada
perempuan. Seperti yang sudah disebutkan
dalam pembahasan sebelumnya, bahwa laki-
laki dianggap sebagai kelompok yang lebih
kuat, rasional, dan dominan. Sedangkan
perempuan merupakan kelompok yang lebih
lemah, emosional, dan mudah didominasi.
Pernyataan subjektif tersebut telah melekat
dalam pikiran masyarakat lintas generasi.
Citraleka
3
7. Ketimpangan gender akibat langgengnya budaya patriarki memiliki banyak
dampak negatif, di antaranya yaitu; (1) marginalisasi dan diskriminasi, yang
umumnya terjadi di ranah publik; (2) subordinasi atau penomorduaan, yakni
penempatan gender tertentu di posisi yang lebih rendah dibandingkan gender
lainnya; (3) stereotip negatif terhadap gender tertentu yang keberadaannya
dianggap lebih remeh; (4) kekerasan seksual, baik dalam bentuk fisik maupun
verbal; (5) beban ganda atau standar ganda terhadap gender tertentu (Susanto,
2015: 123-124). Dampak tersebut kemudian termanifestasi dan saling berkaitan
satu sama lain hingga membentuk sebuah pola yang berkelanjutan, yang bahkan
dapat terjadi secara turun temurun. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya
masyarakat memiliki kesadaran lebih perihal isu kesetaraan gender dan
seksualitas. Sudah bukan saatnya lagi untuk mendiskriminasi pihak tertentu
hanya karena latar belakang gender dan seksualitas yang mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Juditha, C. (2015). Gender dan Seksualitas dalam Konstruksi Media Massa. Balai
Besar Pengkajian Dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika (BBPPKI)
Makassar Kementerian Komunikasi Dan Informatika RI, 1(1), 6–14.
http://ojs.uma.ac.id/index.php/simbolika/article/view/45
Moa, A. (2004). Seksualitas Manusia Sebagai Realitas dan Panggilan Kepada
Cinta Kasih: Refleksi atas Hakekat Seksualitas Manusia. Logos (Jurnal Filsafat-
Teologi), 3(1), 1–14. https://www.neliti.com/publications/282740/seksualitas-
manusia-sebagai-realitas-dan-pang gilan-kepada-cinta-kasih-refleksi-a#cite
Raharjo, Y. (2016). Seksualitas Manusia Dan Masalah Gender: Dekonstruksi Sosial
Dan Reorientasi. Populasi, 8(1). https://doi.org/10.22146/jp.11578
Susanto, N. H. (2015). Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam
Budaya Patriarki. Jurnal Muwazah, 7(2), 120–130.
Syamsiah, N. (2014). Wacana Kesetaraan Gender. Sipakalebbi’, 1(2), 265–301.
Citraleka
4
8. Kata 'harus' itu melekat
Tanpa bisa lepas dalam diri
Sampai akhirnya melupakan jati diri
Kita terlalu berdiam diri
Menahan kekesalan yang menumpuk di hati
Mereka tidak pernah mengerti
Bahwa itu hak asasi
Bukan ciri menormalisasi
Pria selalu dituntut berekonomi
Perempuan harus bisa menjaga buah hati
Bertubi-tubi tanpa henti
Seolah takdir hanya sesederhana itu
Seolah mereka adalah tempatnya berguru
Padahal kita tak pernah tahu
Seberapa banyak kita menggerutu
Bertanya-tanya
Kapan kita lepas dari belenggu?
Tulisan Nasib Seseorang
Oleh: Adilla Sekar Aulia Permatasari
Ber-
kalih
5
9. Feminisme adalah gerakan sosial yang dibangun untuk menuntut kesetaraan
gender antara perempuan dan laki-laki. Gender menjadi alat analisis penting
untuk melihat posisi seseorang dalam struktur sosial di masyarakat. Dalam
budaya Asia yang menganut patriarki, keberadaan feminisme masih cukup tabu
di kehidupan sehari-hari, di mana peran-peran dalam masyarakat masih dikuasai
oleh kaum pria. Banyak orang masih miskonsepsi terhadap makna sebenarnya
dari feminisme. Gerakan ini sering dianggap sebagai gerakan perempuan yang
berusaha untuk mengungguli dan menuntut hak yang lebih dari kaum pria. Tentu
anggapan tersebut keliru karena feminisme hanya menuntut kesetaraan, bukan
untuk mengungguli, apalagi mendominasi sehingga makna yang harus
ditumbuhkan pada feminisme adalah bukan untuk persaingan atau kompetisi,
melainkan kolaborasi dalam suatu masyarakat yang adil gender.
Banyak orang juga masih beranggapan bahwa feminisme adalah sebuah
gerakan yang dibangun dari barat. Penyebabnya adalah pertama, nilai-nilai
yang dibangun feminisme tidak sesuai dengan budaya atau kultur masyarakat
Indonesia. Historiografi yang ditulis tidak ada yang memiliki makna feminis,
tetapi hanya gerakan maskulin perempuan melawan perang. Kedua, tokoh
feminis Indonesia tidak ada yang disorot sehingga muncul prasangka feminisme
berasal dari tokoh-tokoh luar.
Feminisme: Apa Kabarnya Di Indonesia?
Feminisme dalam mewujudkan gerakannya
perlu menerapkan dekonstruksi maskulinitas,
namun bukan berarti melemahkan laki-laki.
Feminisme sendiri hadir untuk memperbaiki dan
menyeimbangkan relasi gender, bukan dengan
memperkuat yang satu dan melemahkan yang
lain. Feminisme bukan hanya bertujuan untuk
wanita, tetapi juga laki-laki untuk mengakhiri
standar masyarakat mengenai keduanya.
Feminisme merupakan gerakan untuk mengubah
praktik seksis, norma seksual, serta peran-peran
gender. Melalui gerakan ini laki-laki berhak
untuk melakukan hal-hal di luar batas ‘aturan’
maskulinitas yang selama ini berkembang.
Oleh: Fathan Hifny Ghifary
Cenderasa
6
10. Anggapan yang paling keliru dan sesat terhadap feminisme adalah feminis
tidak percaya akan pernikahan. Nyatanya banyak sekali feminis mempunyai
rumah tangga bahagia. Pernikahan di dalamnya justru berisikan nilai pribadi dan
sosial yang setara di antara keduanya. Tidak ada penolakan apapun dalam
feminis soal pernikahan dan tidak ada pula kekerasan dalam rumah tangga.
Feminisme telah lama dikenalkan pada sejarah Indonesia, sebut saja Raden
Ajeng Kartini. Tokoh perempuan Indonesia yang dikenal hampir seluruh
masyarakat karena perjuangannya atas hak-hak perempuan. Pada tahun 1920-
an, di mana sedang gencar-gencarnya pergerakan di Indonesia, terlaksana
Kongres Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 yang dianggap aman oleh
Belanda karena hanya membicarakan isu-isu sosial. Padahal di balik isu-isu sosial
yang dibicarakan tersebut (seperti poligami, pernikahan dini, serta pendidikan
perempuan) terdapat tujuan kemerdekaan nasional yang dibahas. Isu-isu
perempuan pada masa itu dilihat sebagai sesuatu yang politis.
Pandangan feminisme sangat bergantung kepada kondisi dan situasi zaman
yang sedang dihadapi. Misalnya saat ini, pandangan utama terhadap feminisme
yang menarik di Indonesia adalah pandangan terhadap kondisi kerja para buruh
hingga tenaga kerja wanita (TKW). Banyak permasalahan yang dialami oleh
tenaga kerja wanita terutama setelah era industrialisasi menjalar ke daerah
perkotaan. Situasi bertambah parah sejak era reformasi tahun 1999 yang
mengakibatkan krisis ekonomi. Tenaga kerja wanita pada saat itu memiliki
proporsi 47,5% terhadap sektor industri. Itu bukanlah angka yang kecil karena
matinya berbagai sektor ekonomi pada saat itu mengakibatkan pengangguran
yang tinggi.
Kondisi di atas telah memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai
pergerakan feminisme di Indonesia. Perjuangan mereka tidak semata berfokus
kepada isu gender semata yang membela hak-hak perempuan, tetapi juga
buruh, hingga anak-anak yang dipelopori oleh Wardah Hafiz dan demokrasi oleh
Ratna Sarumpaet. Perempuan Indonesia kini berada dalam suatu era transisi
kebudayaan, ia memiliki peran ganda yang tidak ringan. Perempuan harus dapat
berhati-hati menentukan posisi dan perannya, hingga dalam melakukan suatu
kegiatan hendaknya tidak menjadi korban dari berbagai kepentingan individu
maupun kelompok, swasta maupun birokrat. Selalu berada dalam koridor etis
Cenderasa
7
11. dan moralis juga berikanlah perlindungan hukum yang layak kepada para
perempuan. Feminisme adalah gerakan yang bukan mengungguli kaum pria,
tetapi lebih pada bagaimana menjunjung tinggi kesetaraan hak-hak perempuan.
Nantinya, perempuan Indonesia akan memberi kontribusi yang penting terhadap
kesejahteraan keluarga, bangsa, dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Afni, I. N. (2021). Perempuan Dan Pandemi: Beban Perempuan Dan “Nyaris”
Hilangnya Kesetaraan. Dinamika masyarakat Di masa PanDemi, 60.
Daryono, Y., Nulhaqim, S. A., & Fedryansyah, M. (2020). Konflik Gender Dan
Partisipasi Perempuan Sebagai Pengawas Pemilu 2019. Jurnal Kolaborasi
Resolusi Konflik, 2(1), 47-57.
Djoeffan, S. H. (2001). Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi
Mendatang. Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 17(3), 284-300.
Cenderasa
8
12. Fangirl. Mungkin istilah tersebut sudah tidak asing
lagi di telinga masyarakat, khususnya bagi mereka
yang aktif di berbagai media sosial, seperti
Instagram, Twitter, dan lain-lain. Sejauh
pemahaman penulis, pemaknaan fangirl adalah
sebutan atau istilah bagi perempuan-perempuan
yang menggemari suatu budaya pop, baik itu dalam
wujud seseorang yang terkenal maupun benda-
benda tertentu. Semakin populernya istilah fangirl
ini, tentunya juga mendatangkan pemaknaan dan
stereotip yang beragam bagi para fangirl itu sendiri.
Pandangan masyarakat yang semakin beragam
terhadap fangirl tersebut beberapa kali
memunculkan keresahan dari dalam diri penulis
sebagai salah satu bagian dari fangirl.
Fangirl merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan seseorang atau
sekelompok perempuan yang menggemari suatu budaya pop, baik itu seorang
tokoh terkenal ataupun bentuk-bentuk budaya pop lainnya. Istilah fangirl
sebenarnya berakar dari istilah fan yang berarti penggemar, kemudian ditambah
girl untuk secara spesifik menyebut kelompok penggemar perempuan. Meskipun
demikian, kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat adalah pemaknaan fangirl
yang terkadang dikonotasikan sebagai suatu hal yang negatif. Fangirl kerap
diasosiasikan dengan sekelompok remaja perempuan yang menggemari sesuatu
secara fanatik, obsesif, dan kekanak-kanakan. Sejalan dengan hal tersebut,
berdasarkan Urban Dictionary yang dikutip dalam artikel Girls and Cultural
Consumption: ‘Typical Girls’, ‘Fangirls’ and the Value of Femininity, fangirl disebut
sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut penggemar perempuan yang
terobsesi pada seseorang atau sesuatu serta dianggap cenderung mengancam,
aneh, serta dianggap remeh. Perilaku antusiasme para fangirl kerap diremehkan
oleh media berita dan dicap dengan istilah kegilaan, histeria, dan obsesi (Gerrard,
2021: 7).
Fangirl Culture: Standar Ganda Dalam Kelompok
Fangirl Culture: Standar Ganda Dalam Kelompok
Penggemar Perempuan
Penggemar Perempuan
Citraleka
Oleh: Ni’mah Fara Kamila
9
13. Keresahan baik yang penulis maupun teman-teman perempuan lain rasakan sebagai
fangirl kemudian membawa pada pertanyaan-pertanyaan lain. Salah satu pemantik
pertanyaan yang ada di pikiran penulis, yakni ketika menyimak presentasi Yve Blake
dalam sesi Tedx Talk mengenai fangirl. Dalam presentasi tersebut, ia mengatakan bahwa
pada dasarnya, para fangirl hanyalah sekelompok penggemar biasa yang memiliki
ketertarikan besar terhadap idolanya, tetapi mengapa image yang dikenal masyarakat
mengenai fangirl identik dengan image obsesif, fanatik, atau halu. Sedangkan kelompok
penggemar lain yang didominasi oleh laki-laki, contohnya seperti kelompok penggemar
klub sepak bola, menjadi sebuah fenomena yang wajar dan normal bagi masyarakat.
Ketika ada sekelompok fangirl yang mengekspresikan perasaannya dengan berteriak dan
menangis ketika konser musik, banyak orang yang menganggap hal tersebut lebay, gila,
bahkan merembet hingga ke penilaian-penilaian negatif lain yang tidak ada hubungannya
sama sekali. Di sisi lain, ketika ada laki-laki penggemar sepak bola yang berteriak ketika
menonton pertandingan dan merasa sedih ketika klub kesayangannya kalah, masyarakat
menganggap hal tersebut normal karena dianggap sebagai wujud dedikasi dan kecintaan
mereka terhadap klub sepak bola kesayangannya. Bukankah sebenarnya kedua kelompok
penggemar tersebut memiliki karakteristik dan melakukan hal yang kurang lebih sama?
Penulis sempat membaca beberapa artikel jurnal yang membahas mengenai lika-liku
kehidupan seorang fangirl di tengah masyarakat. Dari bacaan-bacaan tersebut, dapat
ditemukan beberapa kalimat yang dirasa oleh penulis sangat tepat sasaran dan relatable.
Victoria Cann (2015: 167) menyebutkan pernyataan salah satu narasumbernya bahwa
“Whereas boys listen to music, girls just fangirl”. Dari sebuah kalimat tersebut, bisa kita
lihat bahwa perempuan kerap dipandang rendah, tidak rasional, dan tidak dihargai atas
apapun yang mereka sukai. Apapun yang perempuan sukai, pada akhirnya hanya akan
dinilai sebatas “Ah, paling dia nge-fans cuma gara-gara artisnya cakep. Fans musiman,
kali.” Keresahan serta pandangan penulis mengenai standar ganda dalam kelompok
penggemar tentu saja tidak akan mengaburkan pandangan objektif penulis terhadap
kelompok-kelompok tersebut. Penulis sendiri tidak menyangkal secara mentah-mentah
bahwa seluruh fangirl di muka bumi ini tidak memiliki sifat yang obsesif, fanatik, bahkan
Citraleka
10
14. membahayakan. Kenyataannya, memang ada segelintir fangirl yang kekagumannya
terhadap sang idola justru mengancam keselamatan sang idola sendiri. Meskipun
demikian, tidak dapat dibenarkan juga bahwa label obsesif, fanatik, halu, dan kekanak-
kanakan digeneralisasi terhadap kelompok fangirl secara keseluruhan.
Saat ini, sudah bukan waktunya lagi masyarakat memberikan standar ganda terhadap
kelompok penggemar perempuan atau fangirl. Masyarakat perlu menggeser persepsi dan
pandangannya ke arah yang lebih objektif dan positif mengenai fangirl. Berdasarkan
pengamatan penulis, fangirl tidak melulu hanya menghabiskan waktunya untuk
mendengarkan musik, menonton konten-konten idolanya, menaikkan tagar dan memenuhi
trending topic Twitter dengan nama-nama idolanya, ataupun hanya berandai-andai
bahwa kelak idolanya akan menjadi jodohnya, tentu saja tidak. Ada banyak kegiatan
positif yang dilakukan oleh para fangirl, contohnya seperti kegiatan penggalangan dana
untuk pendidikan, kemanusiaan, lingkungan, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Dari
situlah kemudian para fangirl memiliki keinginan untuk bisa mengikuti jejak idolanya dalam
bidang kemanusiaan. Salah satu contoh tersebut menunjukkan bahwa kegiatan yang
dilakukan oleh fangirl cukup kompleks dan beragam, dan tentu saja tidak akan bisa
terlaksana secara baik jika memang para fangirl ini hanya dipenuhi oleh remaja
perempuan yang tidak rasional, obsesif, dan halu.
Jika perempuan tumbuh dengan stereotip gila, obsesif, dan halu untuk menggambarkan
antusiasme mereka, lalu bagaimana mereka akan menilai diri mereka sendiri? Sepertinya,
stereotip tersebut juga mempengaruhi rasa percaya diri dan kebebasan perempuan
dalam berekspresi. Secara tidak langsung, standar ganda yang diterapkan pada
perempuan akan mendorong mereka untuk membatasi diri untuk mengekspresikan
kebahagiaan. Pada dasarnya, semua orang baik laki-laki maupun perempuan pastinya
memiliki hobi dan kegemaran masing-masing. Setiap orang juga memiliki hak untuk mencari
kebahagiaan dan mengekspresikan dengan caranya masing-masing. Selagi tidak
membahayakan orang lain, perempuan memiliki hak yang sama untuk merasakan
kebahagiaan, merasakan euforia konser musik kesukaannya sambil berteriak dan ikut
bernyanyi, serta memberikan support terhadap artis kesayangannya tanpa harus
terbebani stereotip negatif dari masyarakat. Salah satu ucapan Yve Blake dalam sesi Tedx
Talks-nya yang bagi penulis cocok untuk menutup artikel ini adalah “We can all die
tomorrow, so why not love things while we’re still breathing?”.
Citraleka
11
15. DAFTAR PUSTAKA
Cann, V. (2015). Girls and cultural consumption:‘typical girls’,‘fangirls’ and the
value of femininity. In The Politics of Being a Woman (pp. 154-174). Palgrave
Macmillan, London.
Gerrard, Y. (2021). Groupies, Fangirls and Shippers: The Endurance of a
Gender Stereotype. American Behavioral Scientist, 00027642211042284.
Rosan. (2020, December 19). This is BTS ARMY | Introduction to BTS fans.
[Video]. Youtube. https://youtu.be/iEy4wSU0t88.
Savigny, H., & Warner, H. (Eds.). (2015). The politics of being a woman:
Feminism, media and 21st century popular culture. Springer.
TED. (2020, May 10) For the love of fangirls | Yve Blake [Video]. Youtube.
https://youtu.be/0B543Zkqq88.
Tedx Talks. (2018, July 25) Fangirl: Cultivating Creativity and Enthusiasm in
Young Womxn | Megan Russell. [Video]. Youtube.
https://youtu.be/aRjnep8jeno.
Citraleka
12
16. Bertahun aku hidup,
Aku menyadari tidak semua wanita berada dalam dekapan hangat.
Mungkin hanya aku atau beberapa wanita lain
Yang berada dalam dekapan hangat.
Dinginnya pandangan manusia,
Menjalar di seluruh tubuh wanita.
Tuntutan dari berbagai macam arah menghujamnya.
Bisikan tajam menusuk hatinya,
Suara samar masuk ke jiwanya,
Dia yang tidak menerima dekapan hangat itu.
Goresan tajam seringkali melukai harga dirinya.
Tangan-tangan tak berjiwa, lidah tidak bertuan, dan mata yang menjijikkan
Seringkali membuatnya menggigil ketakutan.
Harus bisa ini, harus bisa itu, dan harus bisa segalanya.
Tubuhnya dikendalikan oleh manusia lain.
Hatinya yang tegar,
Kini berubah menjadi kotak saran.
Selalu menelan apa yang manusia lain katakan.
Seperti boneka kayu yang kaku,
Dia digerakkan manusia lain.
Segala macam ekspektasi ditumpahkan dalam dirinya.
Perlu kau tau,
Wanita diciptakan Tuhan dengan indahnya
Segala macam perasaan telah ditanamkan dalam jiwanya
Hatinya yang tegar, wajah yang cantik, dan tubuh yang mampu membawa insan
lain Membuat dirinya istimewa.
Wanita
Berkalih
Oleh: Amadea Zulfaa Fiadi
13
17. Menurut aku adanya tuntutan kalau laki-laki harus macho dan
perempuan harus feminim itu kayak praktik gender dalam budaya
patriarki di beberapa daerah, khususnya daerah Timur Tengah.
Laki-laki harus selalu kelihatan lebih kuat dan perempuan yang
harus ‘lemah’ gemulai. Cuma karena sudah banyak yang menentang
budaya patriarki yang berlebihan, akhirnya praktik gender ini juga
mulai bergeser. Mungkin sejak isu gender equality mulai marak jadi
sekarang orang udah gak mau lagi dikotak-kotakkan berdasarkan
gender, terlebih ngikutin tuntutan yang buat seorang individu gak
nyaman. Orang-orang udah mulai berani untuk menyuarakan
pendapatnya dan ketidaknyamanannya sama budaya patriarki,
jadinya tuntutan itu mulai bergeser seiring perkembangan zaman.
Aileen (Antropologi'19)
Gender merupakan sebuah konstruksi sosial yang kemudian
menciptakan pengotak-ngotakan yang menurut kesepahaman
umum di mana laki-laki dituntut untuk memiliki sifat khusus. Sama
halnya dengan perempuan yang pada intinya masyarakat
sendirilah yang melakukan hal itu. Apalagi di zaman modern ini,
banyak variasinya terkait identitas gender, seperti cisgender,
transgender, transgender biner, dan non biner.
Alya Shafiyyah (Antropologi'20)
Menurut sudut pandangku, antropologi itu paling
sederhananya netral. Jadi kalau membahas seksualitas
dan gender, dalam opiniku tidak memihak pada
pembahasannya. Untuk contoh isu seksualitas dan
gender kan ada feminisme yang banyak digaungkan
sama masyarakat urban untuk menyetarakan hak-hak
perempuan. Nah, untuk contoh yang di budaya lokal itu,
khususnya Asia timur itu patriarki.
Fathan (Antropologi'19)
Oleh: Riki Ari Pradana
OPINI LENTERA
14
18. Dari sudut pandang antro, mungkin kalo kita bahas gender dan seksualitas di
zaman ini kita ga bisa jauh-jauh dari globalisasi, yang intinya pastinya ya budaya
hollywood. Aku liatnya sebenarnya itu ada banyak banget. Istilahnya kayak misal,
kebetulan aku ada temen di Sulawesi di Bugis dan mereka gendernya ada sendiri.
Budaya itu kan hasil karya manusia terhadap lingkungannya. Menurut aku
Indonesia udah susah ngomongin gender dan seksualitas karena kita udah terlalu
banyak pengaruh dari Barat, dan Barat yang kumaksud bukan Amerika atau UK,
tapi Arab Saudi. Intinya semua budaya semua masyarakat punya pandangannya
sendiri, kita ga bisa generalisir. Kalo kamu belajar antropologi ini ya, kok, kamu bisa
mendiskriminasi secara hardfile ya, bener-bener kamu mendiskriminasi orang lain
karena dia gay misalnya, atau karena dia kristen bukan islam, atau karena dia
china bukan pribumi. I think there’s something wrong in your study in Anthropology.
Azka (Antropologi'18)
Oleh: Riki Ari Pradana
OPINI LENTERA
Salah satu yang sering ditemukan di Indonesia adalah mengenai pandangan
terhadap superioritas seseorang dalam kehidupan sosialnya yang dilihat dari siapa
yang mereka idolakan. Misalnya laki-laki yang mengidolakan girl band akan
dianggap kurang macho, dan perempuan yang mengidolakan boy band akan
dianggap kurang feminim.
Egga (Antropologi'20)
15
19. Di zaman yang bisa dibilang ‘serba viral’ ini, hampir sebagian orang mulai
membicarakan isu seksualitas dan gender. Setiap orang bisa terdorong
ngobrolin itu berawal karena pertanyaan, bahkan kegelisahan ya. Jadi aku
pribadi mencoba buat lebih peka terhadap sekitar. Alasannya, aku berpegang
pada kemampuan manusia yang dapat membangun identitasnya karena
sedang atau telah menciptakan pengalaman hidup. Setidaknya dari situ kita
bisa sadar kalau semua orang punya pilihan, mana yang mau diambil dan
tidak. Aku melihat bahwa keberagaman itu unik karena menurutku
keberagaman identitas yang berhubungan dengan isu di atas memberikan aku
pandangan buat belajar mendengar. Aku sadar banyak suara dari berbagai
kelompok orang atau bahkan suatu komunitas saling berbagi ruang di dunia
virtual, seperti medsos yang saddened to be said, memang bikin kita
mengernyitkan dahi. Contohnya, isu gender di mana perempuan rentan
termarginalkan karena suatu stigma terhadap pekerjaan domestik rumah.
Ruang bicara perempuan untuk berjuang sekaligus menghidupi dua jalan
hidup seakan-akan tuh jadi pilihan yang sulit. Padahal aku percaya, terlepas
dari gender, bentuk tubuh, dan orientasi seksual seseorang, kita berdaya lebih
dari yang kita kira. Engga menutup kemungkinan dan kesempatan,
kemampuan yang kita punya bisa teralokasi untuk urusan sosial di sekitar kita.
Kuncinya adalah saling mendukung setiap peran yang bisa menciptakan
perdamaian. Aku rasa kalau kita semua mendukung satu sama lain, kelompok
budaya punya ruang terbuka buat menampung dan meneruskan suaranya. So,
that’s how the real act of culture as a dynamic movement!
Alifia (Antropologi'18)
OPINI LENTERA
Oleh: Riki Ari Pradana
16
20. Heteroseksualitas saat ini diakui masyarakat sebagai
orientasi seksual yang “normal”, maka dari itu
homoseksualitas dan biseksualitas, atau yang lainya tidak
dapat diterima bagi masyarakat Indonesia karena
dianggap menyimpang dari norma yang ada. Menurut
saya cara saya melihat keberagaman gender dan
seksualitas ini adalah (dengan menganggapnya sebagai)
hal yang biasa. Sebenarnya keberagaman tersebut sudah
ada sejak zaman dahulu, namun pada saat zaman
modernitas yang di dalamnya terdapat norma-norma
agama dan moral dalam masyarakat, gender dan
seksualitas dipandang sesuai dengan norma yang ada.
Maka dengan hal ini apa yang tidak sesuai dengan norma
akan dianggap sebagai hal yang menyimpang.
Noval (Antropologi'19)
OPINI LENTERA
Oleh: Riki Ari Pradana
17
21. Kemajuan teknologi membawa manfaat bagi kehidupan sosial
masyarakat. Terlebih lagi kondisi dunia akibat pandemi
membuat semua orang tidak lagi aktif bersosialisasi. Alhasil,
kehidupan sosial semua orang beralih dan bergantung pada
media sosial. Hampir semua orang menjadi addicted terhadap
sosial media, rasanya kurang apabila tidak online sehari saja.
Namun, siapa sangka di balik peran besarnya, sosial media
membawa beberapa dampak yang mengerikan bagi kita. Salah
satunya adalah muncul Kekerasan Seksual Berbasis Gender
Online atau KBGO. Nah, apa sih sebenarnya KBGO ini? Simak
jawabannya, yuk!
Mengenal Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online
Menurut Hayati (2021), Kekerasan Seksual Berbasis Gender
Online adalah kekerasan yang didasari oleh seks atau gender
seseorang yang tidak dilakukan secara fisik, tetapi secara
verbal yang difasilitasi oleh teknologi. Korban yang rawan
terhadap Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online adalah
perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan apabila laki-
laki juga dapat mengalaminya. Komisi Nasional Perempuan di
Indonesia mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap
perempuan di dunia maya pada 2017 setidaknya terdapat 65
laporan kasus. Bisa dibayangkan bagaimana peningkatannya
pada tahun 2022 di mana pengguna media sosial semakin
banyak.
Waspada! Mengerikannya Kekerasan
Seksual Berbasis Gender Online
Oleh: Ocik Adinalita
Cenderasa
18
22. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
menyebutkan bahwa motivasi yang dilakukan oleh pelaku KBGO
meliputi kecemburuan, balas dendam, hasrat seksual, agenda politik
dan ideologi, kemarahan, ekonomi, dan status sosial. Di samping itu,
motivasi-motivasi tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan
untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber
harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content),
pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi
foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik
(online defamation), rekrutmen online (online recruitment).
Macam-macam perilaku yang dikategorikan ke dalam
Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online, yaitu;
(1)Menyebarkan foto atau video tanpa sepengetahuan pihak
yang bersangkutan dengan maksud yang jahat; (2)Menguntit
seseorang dengan mengawasi kegiatannya ke mana pun dan
di mana pun; (3)Menyerang seseorang melalui komentar
dengan ujaran-ujaran jahat, fitnah, dan manipulasi sehingga
reputasinya buruk; (4)Melakukan pesan-pesan atau kontak
yang berorientasi pada pelecehan seksual; (5)Menggunakan
gambar-gambar yang tidak senonoh; (6)Perdagangan
perempuan melewati situs-situs online; (7)Pemaksaan dan
pengancaman untuk menyebarkan identitas atau foto-foto
seseorang pada publik; (8)Mengunggah video-video yang
bermaksud menjadikan wanita atau laki-laki sebagai objek
seksual;
Cenderasa
19
23. (9)Tuduhan atas gaslighting atau melakukan pelecehan seksual padahal hal tersebut
tidak benar adanya. Perilaku-perilaku tersebut menimbulkan dampak dalam berbagai
aspek yang sangat merugikan bagi para korban, di antaranya adalah korban
mengalami depresi, rasa cemas, dan ketakutan hingga dapat membuat korban ingin
mengakhiri hidupnya. Korban juga dapat dikucilkan di lingkungannya karena dianggap
melakukan perbuatan yang melanggar asusila sehingga membatasi mobilitas sosialnya.
Hal tersebut dapat membuat korban menarik seluruh identitasnya yang ada di internet
dan memilih untuk mengasingkan diri dari kehidupan sosial karena ketidakpercayaan
dirinya. Di samping itu, para korban juga dapat kehilangan pekerjaan karena
reputasinya menjadi buruk.
Berdasarkan perilaku-perilaku KBGO dan dampak mengerikan yang harus diterima
para korban, maka kita dapat melakukan tips-tips berikut untuk mencegah terjadinya
KBGO. Lindungi akun dengan menerapkan fitur privacy pada akun pribadi Anda,
pandai menggunakan media sosial dan me-report akun yang mengunggah atau
membuat konten yang mengarah pada kekerasan seksual dan gender. Jauhi seseorang
yang mendekati kita hanya untuk memenuhi hasrat seksual. Hindari mengaktifkan
berbagi lokasi kepada publik. Jangan membagikan pin atau password Anda ke
sembarang orang.
Nah, itulah beberapa penjelasan mengenai Kekerasan Seksual Berbasis Gender
Online atau KBGO. Media sosial yang sering kita gunakan ternyata dapat membawa
ruang yang mengerikan. Oleh karena itu, kita harus menjadi netizen yang pandai dalam
memanfaatkan dan menggunakan media sosial.
Daftar Pustaka
Hayati, N. (2021). Media sosial dan kekerasan berbasis gender online selama pandemi
covid-19. Jurnal Hukum, Humaniora, Masyarakat, Dan Budaya (HUMAYA), 1(1), 43-52.
SAFEnet. Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online. Diakses dari
https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf pada 13
Juni 2022
Cenderasa
20
24. The Handmaiden merupakan film yang mengusung genre erotic psychological
thriller asal Korea Selatan. Film yang disutradarai oleh Park Chan Wook ini berhasil
dirilis pada tahun 2016 dan banyak menuai komentar positif dari para pecinta film.
Cerita dalam film ini diadopsi dari novel karya Sarah Waters yang berjudul
Fingersmith. Film ini mengambil setting pada masa pemerintahan kolonial Jepang
di Korea. Kisah tentang kehidupan orang berbeda kasta yang dibalut oleh
romansa erotis yang emosional dan penuh ketegangan menjadi daya tarik dari film
ini. Dalam film tersebut, Park Chan Wook menggambarkan kisah kelam yang
pernah terjadi antara Jepang dan Korea selama masa penjajahan.
Cerita film The Handmaiden dimulai ketika lahirnya seorang anak perempuan
yatim piatu bernama Nam Sook Hee di markas pencuri dan penipu. Menginjak
remaja, Nam Sook Hee dikirim untuk dipekerjakan sebagai pembantu di rumah
salah satu orang kaya berkebangsaan Jepang. Ia memiliki misi untuk mengambil
hati Lady Hideko yang tinggal di rumah mewah milik pamannya yang sadis, yaitu
Kouzuki, agar mau menikahi rekannya bernama Fujiwara, seorang penipu Korea
yang sedang menyamar sebagai bangsawan Jepang. Sayangnya, rencana utama
Sook Hee kacau saat ia mulai jatuh cinta pada Lady Hideko. Bagian yang telah
disebutkan tersebut hanya sekilas bab pertama dari tiga bab yang ada dalam film.
Dua bab berikutnya menceritakan tentang masing-masing perspektif Sook Hee
dan Lady Hideko secara bergantian untuk mengungkapkan serangkaian teka-teki
yang pernah terjadi di masa lalu. Terdapat adegan film yang mempertontonkan
pembacaan teatrikal erotika bergambar atau biasa disebut shunga (seni erotis) di
mana menggambarkan spektrum seks yang lengkap. Pada dasarnya, mengusut
aspek-aspek seksual yang bebas, agresif, dan fungsional. Hubungan asmara yang
terjalin antara Sook Hee dan Lady Hideko merupakan representasi konsep dan
praktik seksualitas yang menarik untuk dikaji secara lebih lanjut.
Kaitannya dengan relokasi budaya, film ini menonjolkan identitas dan hierarki
etnis di Korea pada masa kolonial Jepang di mana saat itu Jepang sebagai tuan
rumah (penjajah) dan Korea sebagai pelayan (dijajah). Hal ini tentu berkaitan erat
dengan budaya patriarki. Patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur
yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan
segala-galanya (Rokhmansyah, 2013). Dominasi sistem patriarki dalam masyarakat
Review Film The Handmaiden
Oleh: Andin Okfitaningrum
Kilas Sinema
21
25. mau, Lady Hideko harus tunduk kepada Kouzuki untuk menghindari ancaman dan
hukuman yang ditujukan kepadanya apabila ia tidak menuruti perintah pamannya.
Kouzuki juga turut ikut campur dalam kehidupan Lady Hideko dengan mengatur cara
berpakaian dan cara bersikap. Menuju akhir film, terdapat sebuah pergerakan yang
dilakukan oleh Lady Hideko dan Nam Sook Hee untuk mendapatkan kebebasannya.
Adegan tersebut merepresentasikan konsep feminisme. Gerakan feminisme adalah aksi
yang dilakukan guna memperjuangkan kesetaraan dalam segala aspek kehidupan.
Alasan di balik keberadaan gerakan feminisme adalah karena kesejahteraan kaum
perempuan menurun. Hubungan kesetaraan ini meliputi ekonomi, politik, ideologi,
kultural, dan lain sebagainya.
Penulis dari novel yang diadaptasi oleh film ini terkenal dengan julukan sebagai
penulis lesbian karena karya-karyanya yang selalu berinti pada orientasi seksual
tersebut. Orientasi seksual didefinisikan sebagai suatu kondisi emosional yang awet,
romantis, dan daya pikat seksual untuk berhubungan dengan orang lain, baik lawan
jenis, sesama jenis, kedua jenis, maupun lebih dari satu gender (American Psychological
Association, 2008). Keberadaan homoseksualitas tersebut hadir dan tercermin pada
interaksi romantis dan seksual yang terjalin antara Lady Hideko dan Nam Sook Hee.
Film ini diperuntukkan bagi penonton yang sudah berusia 17 tahun ke atas. Sesuai
dengan genre filmnya, terdapat adegan seksual dan kekerasan di dalamnya. Film yang
penuh dengan unsur sensualitas ini menampilkan keintiman fisik antara kedua wanita di
beberapa tempat yang berbeda. Film ini dapat membawa risiko dengan merepresenta-
menyebabkan adanya kesenjangan gender
yang berpengaruh pada seluruh aspek
kehidupan manusia. Laki-laki berperan sebagai
kontrol utama di bidang ekonomi, sosial, dan
politik, sedangkan perempuan tidak memiliki
pengaruh besar. Pembatasan peran perempuan
akibat adanya budaya patriarki membuat
perempuan mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif. Ketidaksetaraan antara peran
kedua gender ini menjadi salah satu hambatan
struktural yang menyebabkan setiap individu
dalam masyarakat tidak memiliki hak dan akses
yang sama.
Fenomena budaya patriarki dapat ditemui
dalam film ini ketika Lady Hideko dipaksa oleh
Kouzuki untuk melakukan pementasan seni
erotis di depan para audiens pria. Mau tidak
Kilas Sinema
22
26. sikan fetisistik dan voyeuristik seksualitas lesbian, khususnya bagi penonton laki-laki.
Fenomena relasi kuasa dan seksualitas pun turut melengkapi plot cerita. Seks
mengacu pada perilaku manusia, sedangkan seksualitas lebih kepada identitas atau
posisi seorang individu. Seksualitas dimaknai sebagai konstruksi sosial tentang norma,
pengetahuan, dan perilaku serta subjektivitas yang berkaitan dengan seks dan
berkaitan erat dengan sistem kekuasaan pengetahuan. Di dalam seksualitas terdapat
nilai atau norma, aturan-aturan, yang memberikan status dan peran, yang membatasi
dan mengatur perilaku seks. Seseorang yang dikendalikan oleh kekuatan atau kuasa
akan bertendensi untuk melakukan hal-hal yang ‘menindas’ kaum lemah, seperti
melakukan pemerkosaan, pembatasan gerak atau kebebasan berideologi, kekerasan
seksual, dan lain sebagainya. Akibat dari stereotyping pada setiap gender dan
pandangan tentang pihak superior dan inferior menimbulkan aksi penindasan pada
kelas yang lebih rendah. Ketimpangan relasi kuasa antara superior dan inferior ini
menyebabkan ketidaksetaraan hak dan berujung pada kemungkinan terjadinya
kekerasan seksual. Kekerasan seksual, yang dalam hal ini adalah pelecehan seksual,
merupakan ketidaksetujuan terhadap segala tindakan dari pihak lain yang berlatar
belakang seksual.
Saat yang paling menegangkan di film The Handmaiden adalah ketika Lady Hideko
mencoba gantung diri dari pohon ceri. Ia berupaya untuk mengakhiri hidupnya
karena tidak mampu mengatasi tekanan yang sedang dialami. Tepat sebelum ia jatuh,
Sook Hee muncul dan memegangi kakinya serta mengakui rencananya untuk mencuri
warisan. Semenjak peristiwa tersebut, mereka membuat rencana untuk membalaskan
dendam pada Kouzuki dan Fujiwara dengan sangat epik. Film ini ditutup dengan
adegan yang menunjukkan pasangan tersebut berada di kabin feri yang aman dalam
perjalanan menuju ke Shanghai. Selain itu, Lady Hideko menyamar sebagai seorang
pria untuk menghindari kejaran pamannya. Di tempat itu, mereka merayakan
kebebasan atas kontrol patriarki yang telah mereka alami sebelumnya.
Daftar Pustaka
American Psychological Association. (2008). Answer to your question: for a better
understanding of sexual orientation and homosexuality. Washington, DC: Author
Heebon, P., Sanders, J., & Moonyoung, C. (2019). Secondary Pleasures, Spatial
Occupations and Postcolonial Departures: Park Chan-wook's Agassi/The
Handmaiden and Sarah Waters's Fingersmith. Neo-Victorian Studies, 11(2).
Rokhmansyah, A. (2016). Pengantar gender dan feminisme: Pemahaman awal kritik
sastra feminisme. Garudhawaca.
Shin, C. Y. (2019). In another time and place: The Handmaiden as an adaptation.
Journal of Japanese and Korean cinema, 11(1), 1-13.
Kilas Sinema
23
27. Saat ini, feminisme sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Bahkan,
banyak orang yang memperjuangkan feminisme, terutama perempuan.
Namun, masih banyak yang salah tangkap dengan feminisme. Mereka
menganggap bahwa feminisme menginginkan derajat seorang perempuan
lebih tinggi daripada laki-laki. Eitss, itu salah besar, ya. Para feminis hanya
ingin mencapai keadilan yang nyata untuk semua gender.
Gerakan ini lahir pada masyarakat yang masih menganut sistem patriarki.
Patriarki sendiri adalah sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan
melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi. Dalam artian, laki-laki memiliki
akses dan keuntungan yang lebih besar daripada perempuan. Tapi tahukah
kamu, kalau feminisme itu sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi kuno,
lhoo! Lalu siapa, sih, tokoh pencetus feminisme pertama kali di dunia?
Pada zaman Yunani dan Romawi Kuno sebenarnya gerakan feminisme
sudah muncul, namun tidak dilakukan secara terang-terangan. Misalnya,
Plato yang menuliskan dalam bukunya, Republik, jika perempuan dapat
berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara. Hal ini juga yang
menjadikannya sebagai feminis laki-laki pertama meskipun beberapa
pemikirannya terhadap perempuan masih memiliki kecacatan. Feminisme
juga muncul di biara pada abad pertengahan. Gerakan ini diinisiasi oleh para
biarawati yang menolak hierarki dan dominasi di gereja dengan perspektif
maskulin. Para perempuan kemudian membentuk suatu komunitas yang
saling memberi dukungan satu sama lain.
Feminisme Sudah Ada Sejak Zaman Romawi
Kuno
Oleh: Anggi Sicilia Irmansyah
F
U
N
F
A
C
T
Pada tahun 1405, seorang filsuf dan
penyair Prancis, yaitu Christine de Pizan
menulis buku yang berjudul The Book of
The City of Ladies. Buku ini
menggambarkan masyarakat utopis
yang menempatkan perempuan di mana
mereka memiliki kebebasan layaknya
laki-laki. Ia adalah tokoh pencetus
feminisme pertama atau bisa dibilang
perempuan pertama yang
memperjuangkan feminisme.
24
28. Christine de Pizan lahir di Venesia pada tahun 1364 dan meninggal pada tahun
1430 (perkiraan) di biara Poissy. Kecerdasan dan khazanah pengetahuan yang
dimiliki dirinya membedakannya dari penulis-penulis lain pada zaman itu.
Popularitas yang didapat semasa hidupnya menggapai seluruh Eropa. Ia dikenal
sebagai penulis profesional perempuan pertama dan satu-satunya pada abad
itu. Ia sudah menjadi janda di usia yang ke-24 dan menghidupi dirinya serta
keluarganya dari buah penanya.
Karya-karya Christine de Pizan bukan karya biasa, apalagi di zaman itu. Tidak
hanya tema-tema yang dianggap sebagai tema “laki-laki”, seperti politik dan
militer, tetapi dalam tiap karyanya terkandung female virtue. Christine de Pizan
mengandalkan ujung pena bukan semata untuk mencari nafkah, tetapi tulisan-
tulisannya menjadi alat baginya untuk menentang budaya misogini.
Christine de Pizan aktif membela hak perempuan dan menentang diskriminasi
terhadap mereka. Ia juga mengkritik penggambaran perempuan dalam karya
sastra di masa itu. Dengan tegas ia menyatakan bahwa ketidaksetaraan
intelektual antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh faktor bawaan,
melainkan karena faktor pendidikan atau pengasuhan. Jika anak-anak
perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar, mereka juga
akan secerdas anak-anak laki-laki. Selain itu, ia juga mengecam penggambaran
perempuan yang negatif dalam literatur akibat wacana misogini yang
dianggapnya turut andil dalam menyebabkan ketidaksetaraan. Christine de
Pizan juga bergabung dengan tokoh-tokoh pemegang kekuasaan (yang
umumnya adalah laki-laki) dalam debat epistemologi terhadap karya Jean de
Meung, Roman de la rose. Para feminis modern menobatkannya sebagai peletak
cikal bakal feminisme (proto-feminisme).
25
29. Sudah tidak diragukan lagi bahwa Christine de Pizan telah menginspirasi
banyak perempuan untuk berani memperjuangkan haknya. Hal tersebut
membuat semakin banyak tokoh feminisme yang lahir seiring dengan
perkembangan zaman, misalnya Marie de Gournay yang menulis buku The
Equality of Men and Women (1622) dan menjadi titik mula pemikiran mengenai
equal rights. Feminisme juga ikut andil dalam beberapa perubahan besar di
dunia, seperti zaman Renaissance yang memunculkan berbagai tokoh
perempuan. Salah satunya adalah Olympe de Gouges yang merupakan seorang
aktivis HAM dan seniman Prancis yang menulis Declaration of The Rights of
Women and The Female Citizen (1791). Perubahan besar tersebut diikuti dengan
gerakan lainnya, seperti Revolusi Prancis, Revolusi Gereja, dan masih banyak
lagi.
Daftar Pustaka
Kumparan.com. (2019, 9 Maret). Sejarah Feminisme Barat, Perjuangan untuk
Keadilan Gender. Diakses pada 14 Juni 2022, dari https://kumparan.com/alifia-
putri-yudanti/sejarah-feminisme-barat-perjuangan-untuk-keadilan-gender-
1vJilGVAEsA
Thisisgender.com. (2015, 12 Mei). Isu Gender : Sejarah Dan Perkembangannya.
Diakses pada 14 Juni 2022, dari https://thisisgender.com/isu-gender-sejarah-
dan-perkembangannya/?amp
26
30. Alunan foklor itu seolah candu
Bagi mereka yang tak pernah tahu
Bahwa kami bisa cemburu
Entah kami yang terlalu
Atau mereka yang semu?
Membedakan kami seolah hal tabu
Coba lihat lagi!
Mereka selalu disanjung
Tapi kami selalu dikurung
Sebenarnya apa hak yang kami punya?
Selalu ditekan, seolah kami sumber bencana
Padahal kami selalu menjadi 'mangsa'
Selalu hidup dalam ketakutan
Lantas, apakah ini yang namanya keadilan?
Membiarkan satu sisi menang dan satu sisi lain terabaikan
Sekali lagi, lucu memang!
Jika gadis ini boleh bersua, Cobalah sekali menjadi wanita
Di Balik Suara Kata Sang Gadis
Oleh: Adilla Sekar Aulia Permatasari
Berkalih
27
31. MUSARA
Punya minat menulis tapi bingung nanti bakal dipublikasikan kemana? Kalian
ingin punya kontribusi bareng HIMANTARA gak? Program Musara kini hadir
untuk kalian yang tulisannya ingin dipublikasikan oleh kami! Kamu bisa submit
tulisanmu ke himantaralitbang@gmail.com dengan format nama untuk file kalian
adalah Nama penulis_Prodi_Tahun Angkatan dan bisa dikirim langsung melalui
e-mail kami yaa! Oiyaa, buat ketentuan Musara sendiri dapat ditulis dengan
panjang maksimal 2 halaman. Kami menerima tulisan berupa artikel, esai, opini
dan resensi buku. Nantinya, tulisanmu akan dipublikasikan di berbagai media
sosial dan situs resmi kami. Ayoo tunggu apa lagi! Jangan sampai ketinggalan
yaa!
Daging sapi dimakan buaya
Ayo Submit tulisan kalian untuk Musara!
(Menulis Bersama Himantara)
Baca juga Lentera edisi sebelumnya!
28
32. Biar nggak ketinggalan infonya, follow akun sosial HIMANTARA yukk
Instagram : antropologi_ub
Twitter : Antropologi_ub
Spotify : Himantara Brawijaya
Youtube : Antropologi Univ. Brawijaya
SAMPAI JUMPA DI LENTERA PERIODE SELANJUTNYA YA!
Lentera
HIMANTARA 2022