Pola hubungan antara laki laki dan perempuan dalam birokrasi
Gender
1. BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gender merupakan salah satu issue paling menarik untuk di bahas dewasa ini. Bagi
masyarakat umum gender sungguh mudah diucapkan akan tetapi sangat sulit untuk di pahami.
Tentu saja tidak semua tentang gender sulit dipahami. Seperti kata Gayle Rubin (1975) yang
tercatat pertama kali mempopulerkan konsep kesetaraan gender, yang mendefinisikan gender
sebagai social construction and codification of differences between the sexes refers to social
relantionship between women and men. Mudahnya gender adalah pembedaan peran perempuan
dan laki-laki dimana yang membentuk adalah konstruksi social dan kebudayaan, jadi bukan
karena konstruksi yang dibawa sejak lahir.
Wacana gender mengemuka pada 1977 ketika sekelompok feminis di London tidak lagi
memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist. Mereka mamilih jargo baru gender
discourse. Ini adalah perkembanngan yang cerdas, karena sebenarnya masalah ketidaksetaraan
hubungan perempuan dan laki-laki sebagian besar dibentuk oleh pembedaan konstruksi
“perempuan” dan “laki-laki” secara social budaya, dan bukan secara biologis (seks,kelamin).
Karena itu memindahkan wacana ketidaksetaraan tersebut dari panggung biologis ke panggung
social-budaya secara teoritis lebih efektif.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk lebih mudah memahami makalah ini maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana munculnya istilah gender ?
2. Bagaimana ketidakadilan gender bisa terjadi ?
3. Bagaimana peran serta fungsi Masyarakat untuk mencegah terjadinya ketidakadilan
dalam hal gender ?
2. BAB II
PEMBAHASAN
GENDER
1. DEFINISI GENDER
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert stoller (1968) untuk memisahkan
pencirian manusia yang didasarkan pada definisi yang bersifat social budaya dengan
pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sementara itu, kantor menteri Negara
pemberdayaan perempuan republic Indonesia, mengartikan gender adalah peraan peran social
yang dikonstruksikan oleh masyarakat serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan
perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran peran social tersebut dapat dilakukan oleh
keduanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan oleh karean itu, gender berkaitan
denngan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan
bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan social dan budaya di tempat mereka
berada. Dengan kata lain, gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran,
fungsi, hak, perilaku, yang dibentuk oleh ketentuan social dan budaya setempat.
Di dalam women’s studies encyclopedia di jelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik, emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
Sedangkan Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender: an introduction
mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terahadap laki-laki dan perempuan.
Pendapar ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti Linda L. Lindsey, yang
menganggap semua keteapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan
perempuan adalah termasuk bidang kajian gender.
H.T. Wilson dalam Sex And Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untk
menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan
kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.
Gender tidak bersifat universal namun bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat
yang lain dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian ada 2 elemen gender yang bersifat universal
yaitu :
3. 1. Gender tidak identic dengan jenis kelamin
2. Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat(Gllari,1987)
Sedangkan keonsep gender lainnya sebagaimna yang di ungkapkan oleh Mansour fakih
dalam bukunya analisis gender dan tranformasi social adalah suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksiakan secara social maupun kultural. Misalnya
bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan sedangkan laki-laki
dianggapa kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan gender adalah suatu konstruksi atau
bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat di bentuk atau di ubah
tergantung dari tempat , waktu, suku atau ras budaya, status social, pemahaman agama, Negara
idiologi, politik, hukum, ekonomi. Oleh karenanya gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan
buatan manusia yang dapat di pertukarkan dan memiliki sifat relative.
2. KETIMPANGAN GENDER
Perbedaan atau ketimpangan gender sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak
menimbulkan gender inequalities ( ketidakadilan gender ). Namun yang menjadi masalah ketika
perbedaan gender ini menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan
utamanya terhadap kaum perempuan.
Ketidakadilan gender merupakan system dan strktur dimana kaum laki-laki dan perempuan
menjadi korban dari system tesebut. Dengan demikian agar dapat memahami perbedaan gender
yang menyebabkan ketidakadilan, maka dapat dilihat dari berbagai manifestasi yaitu sebagai
berikut:
1. Marginalisasi
2. Subordinasi
3. Streotipe
4. Violence
5. Beban kerja
4. 3. PERSPEKTIF GENDER
Anggapan mengenai perbedaan antara jenis kelamin adalah ‘alamiah’, atau merupakan
fakta biologis telah terjadi sejak berabad-abad lamanya. Alamiah disisni tidak selalu diartikan
sebagai fakta biologis, tetapi sering kali diartikan sebagai ketentuan Tuhan. Sehingga adanya
streotik perempuan sebagai makhluk emosional dan laki-laki sebagai pemikir dan rasional tidak
perlu dipertanyakan lagi mengingat hal tersebut lebih banyak ditentukan secara kultural, begitu
pula perilaku yang pantas bagi perempuan maupun laki-laki baik anak-anak maupun dewasa .
Donelson G. dalam bukunya ‘ Women a psychological perspective memberikan suatu
hipotesis dalam distribusi bimodal dan karakteristik gender yang meng- gambarkan bahwa
derajat feminitas dan maskulinitas merupakan kombinasi dari karakteristik biologis dimana
perilaku dan sikap yang dapat digambarkan me-rentang pada suatu skala gender.
Identitas gender merupakan definisi diri tentang seseorang, khususnya sebagai perempuan
atau laki-laki, yang berinteraksi secara kompleks antara kondisi biologisnya sebagai perempuan
maupun laki-laki dengan berbagai karakteristik perilakunya yang dikembangkan sebagai hasil
proses sosialisasinya.
Identitas gender ini mulai berkembang pada saat seorang bayyi berinteraksi dengan orang-
orang tertentu yang berada di sekitarnya, baika ayah, ibu, maupun pengasuh. Perilaku orang
dewasa dalam berinteraksi dengan seorang bayi secara tidak di sadari sepenuhnya akan
dipengaruhi oleh stereotip yang berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari, stereotip dan preferensi
orang tua akan banyak menentukan caranya berkomunikasi terhadap anaknya.
Ditinjau dari tahap perkembangan seorang, dinyatakan bahwa, pada sekitar usia 2 tahun
seorang anak mulai menyadari tentang identitas dirinya. Pada anak usia 3 hingga 6 tahun,
perkembangan kepribadian anak laki-laki maupun perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini
melhirkan pembedaan formasi social yang berdasarkan identitas gender yakni bersifat laki-laki
dan perempuan.
Kesadaran akan identitas gendernya masih akan diperkuat lagi oleh lingkungan yang
menyadarkannya dalam berbagai kesempatan bahwa ia anak perempuan atau laki-laki. Pada
umumnya seorang anak perempuan bermain pasar-pasaran dan anak laki-laki bemain perang-
perangan, bahkan orang tua maupun orang yang berada di sekitarnya kerap kali mengingatkan
bahwa ia anak perempuan atau laki-laki sehingga apa yang pantas dilakukan oleh anak
perempuan atau laki-laki sudah diarahkan. Pada saat seorang anak berusia remaja, idntitas gender
muncul paling kuat .
Kecendrungan untuk memilih peran gender yang sesuai dengan jenis kelamin dimulai
sejak anak-anak meskipun ada kalanya orang tua modern yang tidak menghendaki peran gender
yang dipilih oleh si anak karena mereka ingin agar anaknya tidak terkungkung oleh stereotip
5. gender. Namun, kecenderungan ini terjadi pada usia anak-anak karena memilih peran gender
yang sesuai dengan jenis kelaminnya membantu seorang anak untuk dapat memberi struktur
pada realitas yang dihadapinya.
4. KESETARAAN GENDER
Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis, hamper selalu diartikan sebagai kondisi
‘ketidaksetaraan’ yang dialami oleh para wanita. Maka istilah kesetaraan gender sering terkait
dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan seperti subordinasi, penindasan,
kekerasan, dan semacamnya.
Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan
mengundang kontorversial. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari
kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan yang dimaksud
adalah kesamaan hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Kemudian ada pula yang
mengartikannya dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang juga
belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hak
yang sama dalam melakukan aktualisasi diri namun harus sesuai dengan kodratnya masing-
masing.
Persoalan kesetaraan gender yang paling mendasar adalah bahwa belum semua perempuan
memiliki atribut – atribut social yang mendukung pemberdayaannya dalam meraih kesetaraan
berperan. Denga demikian, tanpa upaya melihat kesetaraan gender dari sudut pandang
perempuan, tampaknya subordinasi tersembunyi bagi perempuan akan tetap berlangsung.
Meskipun banyak pihak yang tidak sepaham akan tetap menyanggah dengan keras. Akan
tetapi apabila ada persoalan seperti ini dibiarkan terus maka stereotip pencitraan peran yang
membedakan kemampuan seseorang dalam dalam berperan berdasarkan perbedaan biologis akan
terus membelenggu.
Upaya-upaya yang paling tepat dilakukan untuk mensosialisasikan kesetaraan gender ini
yaitu dengnan cara:
1. Pembakuan istilah gender dengan acuan pada keberadaan segala sesuatu yang ada di
masyarakat secara ttradisi, dengan mempertimbangkan berbagai muatan social budaya,
ekonomi dan poltik dalam konteks akses terhadap berbagai muatan pembangunan
2. Pendekatan analisis gender tidak lagi sekedar merujuk pada pembedaan biologis atau
seks (laki-laki atau perempuan) atau sifat perseorangan (maskulin-feminin) akan tetapi
mengacu pada perspektif gender menurut dimensi social budaya.
3. Perencanaan pembangunan perlu dilakukan dengan memepertimbangkan perbedaan
peran gender dan ketergantungan antara laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu hal
yang dapat diubah dan akan mengalami perubahan sesuai dengna kondisi social-budaya
6. masyrakat yang bersangkutan. Jika cara ini dilakukan maka dapat diharapkan proses
pemudaran stereotip pembagian peran seks (biologis) yang bersifat rigid dapat
berlangsung.
Dengan demikian sosialisasi kesetaraan gender tidak lepas dengan sendirinya dari
kepedulian kaum perempuan maupun laki-laki. Nmaun, hal ini bukan berarti dalam konteks
ketergantungan atau pendominasian.Pemahaman mengenai kesetaraan gender ini akan membawa
hikamah besar pada kaum perempuan dalam menyinergikan persoaan dengan lebih sistematis.
Sedangkan bagi kaum laki-laki akan membantu dalam memahami dan mengantisipasi
kemungkinan pergeseran peran perempuan di masa mendatang, dalam konteks yang lebih adil
berdasarkan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi. Harapan akan kesetaraan gender
ini menuntut keberanian para perempuan dan kerelaan kaum laki-laki dalam melaksanakan
justifikasi terhadap mitos-mitos yang merugikan refleksi optimal dari aplikasi pean menurut
gender.
7. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam Gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan
lahir sehingga dapat di bentuk atau di ubah tergantung dari tempat , waktu, suku atau ras budaya,
status social, pemahaman agama, Negara idiologi, politik, hukum, ekonomi. Oleh karenanya
gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia yang dapat di pertukarkan dan
memiliki sifat relative.
Jika dilihat dari dari berbagai manifestasinya perbedaan gender yang menjadi peneyebab
ketidakadilan dalam hal gender adalah sebagai berikut
1. Marginalisasi
2. Subordinasi
3. Stereotype (pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin
tertentu)
4. Violence (kekerasan)
5. Beban kerja
Sosialisasi kesetaraan gender tidak lepas dengan sendirinya tanpa kepedulian kaum
perempuan maupun laki-laki. Pemahaman menegnai kesetaraan gender ini akan membawa
hikmah besar pada kaum perempuan maupaun laki-laki dalam menyinergikan persoalan dengan
lebih sistematis.
8. DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Riant. 2008.Gender dan Strategi Pengarus-Utamaanya di
Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haq, Hamka, 2009. ISLAM Rahmah untuk Bangsa.Jakarta: RMBOOKS