Ayat Al Qur'an mewajibkan pengangkatan khalifah dan menetapkan hukum secara adil. Ayat Al Baqarah:30 menyebutkan pengangkatan khalifah di muka bumi, sementara ayat An Nisa':58 memerintahkan penyerahan amanah kepada yang berhak dan penetapan hukum secara adil, menunjukkan bahwa khalifah bertugas menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
NOVEL PELARI MUDA TINGKATAN 1 KARYA NGAH AZIA.pptx
04-DALIL-DALIL WAJIBNYA KHILAFAH BAGIAN KEDUA 25 SEPTEMBR 2020.ppt
1. Oleh :
KH. M. SHIDDIQ AL JAWI, S.Si, MSI
INSTITUT MUAMALAH INDONESIA
25 SEPTEMBER 2020
DALIL-DALIL WAJIBNYA KHILAFAH
(BAGIAN KEDUA)
2. POKOK BAHASAN
(1) DALIL-DALIL AL QUR`AN WAJIBNYA
KHILAFAH
QS Al Baqarah : 30
QS Al Nisa` : 58
QS Al Nisa` : 59
QS Al Maidah : 48 dan 49.
Ayat-Ayat Yang Pelaksanaannya
Ditugaskan Secara Khusus Hanya
Kepada Seorang Khalifah (Imam)
4. QS AL BAQARAH : 30
قال
هللا
تعالى
:
(
ْ
ذِإَو
ْ
َلاَق
َْكُّبَر
ْ
َلَملِل
ْ
ِةَكِئ
ىِنِإ
ْ
لِعاَج
ىِف
ِْ
ضرَٱْل
ْ
ةَفيِلَخ
)
[
البقرة
:
30
]
.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka
bumi."
(QS Al Baqarah : 30).
5. QS AL BAQARAH : 30
قال
اإلمام
القرطبي
:
(
وهذه
اآلية
أصل
في
نصب
إمام
وخليف
ة
يسمع
له
،ويطاع
لتجتمع
به
،الكلمة
وتنفذ
به
أحكام
الخ
ليفة
.
)
[
،القرطبي
الجامع
ْلحكام
،القرآن
ج
1
ص
81
]
.
Imam Al Qurthubi berkata,“Ayat ini
adalah dasar dalam pengangkatan
seorang Imam atau Khalifah yang
didengar dan ditaati, agar terjadi
kesatuan pendapat umat dan agar dapat
diterapkan hukum-hukum Khalifah."
(Imam Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al
Qur`an, Juz I, hlm. 81).
6. QS AL BAQARAH : 30
Analisis Wajhul Istidlal (cara memahami
dalil) :
Cara memahami ayat di atas, yaitu QS Al
Bqarah : 30, khususnya pemaknaan kata
“khalifah”, menggunakan pemaknaan
secara dalaalah muthaabaqah.
Dalaalah Muthaabaqah adalah
pemaknaan suatu kata yang mencakup
semua yang dikandung oleh kata itu.
)‘Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul,
hlm.154; M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al
Fiqh, hlm. 353)
7. QS AL BAQARAH : 30
Contoh pemaknaan secara dalaalah
muthaabaqah, pemaknaan kata “shadaqah”
yang terdapat dalam QS Al Baqarah : 264,
yang mencakup semua kata “shaqadah” baik
shadaqah sunnah maupun shadaqah wajib
(zakat).
Firman Allah SWT :
يا
اَهُّيَأ
َْينِذَّلا
واُنَمآ
َْ
ل
واُلِطبُت
اَقَدَص
ُمكِت
ِْنَمالِب
ْ
ىَذَاْلَو
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
membatalkan (pahala) shadaqah-shadaqahmu,
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima).(QS Al Baqarah : 264).
8. QS AL BAQARAH : 30
Pemaknaan secara dalaalah muthaabaqah,
berbeda dengan pemaknaan dalaalah at
tadhammun, yaitu pemaknaan suatu kata
yang hanya mencakup sebagian makna yang
dikandung oleh kata itu.
(‘Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al
Ushul, hlm.154; M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 353)
Contoh dalaalah at tadhammun, pemaknaan
kata “shadaqah” dalam QS At Taubah : 60,
yang hanya berarti “shadaqah yang wajib”
(zakat) saja.
9. QS AL BAQARAH : 30
Firman Allah SWT :
اَمَّنِإ
ُْتَقَدَّصٱل
ِْءاَرَقُفلِل
ِْينِكَسَمٱلَو
َْينِلِمَعٱلَو
اَهيَلَع
ْ
َّلَؤُمٱل َو
ْ
ِةَف
ْ
مُهُبوُلُق
ىِفَو
ْ
ِباَق ِ
ٱلر
َْينِم ِ
رَغٱلَو
ىِفَو
ْ
ِليِبَس
ْ
ِ َّ
ٱّلل
ْ
ٱبَو
ِْن
ْ
ِليِبَّسٱل
ْۖ
ْ
ةَضي ِ
رَف
َْنِم
ٱ
ْ
ِ َّ
ّلل
ْۗ
ْ
ُ َّ
ٱّللَو
ْ
يمِلَع
ْ
يمِكَح
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah : 60)
10. QS AL BAQARAH : 30
Demikian pula, cara memahami kata
“khalifah” dalam QS Al Baqarah : 30 tadi.
Pemaknaan yang digunakan oleh Imam
Qurthubi, adalah pemaknaan secara dalaalah
muthaabaqah,
Yaitu, kata “khalifah” dalam ayat tersebut
mencakup semua makna “khalifah”, yaitu :
Pertama, khalifatullah fil ardhi (yaitu khalifah
sebagai pengganti Allah di muka bumi).
Kedua, khalifatu rasulillah (yaitu khalifah
dalam arti pengganti Rasulullah sebagai
pemimpin negara Khilafah).
11. QS AL BAQARAH : 30
Maka dari itu, makna “khalifah” dalam QS Al
Baqarah : 30 tadi, secara syar’i memang absah
jika diartikan “khalifah” sebagai pemimpin
Negara Khilafah,
Jadi kata “khalifah” dalam QS Al Baqarah : 30
tidak tepat jika dibatasi hanya pada pengertian
“khalifatullah fil ardhi” semata.
Demikianlah, maka ayat QS Al Baqarah : 30
tersebut, memang layak untuk dijadikan salah
satu dalil yang mewajibkan pengangkatan
khalifah (nashbul khalifah) dalam Negara
Khilafah, sebagaimana penafsiran Imam
Qurthubi. Wallahu a’lam
13. QS AN NISA` : 58
قال
هللا
تعالى
:
(
َّْنِإ
ْ
َ َّ
ّللا
ْ
ُمكُرُمأَي
ْ
نَأ
َْؤُت
ُّواد
ِْتاَناَمَاْل
ىَلِإ
اَهِلهَأ
َْو
اَذِإ
ْ
مُتمَكَح
َْنيَب
ِْ
اسَّنال
ْ
نَأ
واُمُكحَت
ْ
َعالِب
ْ
ِلد
َّْنِإ
ْ
َ َّ
ّللا
اَّمِعِن
ْ
ُظِعَي
ْ
ُمك
ْ
ِهِب
َّْنِإ
ْ
َ َّ
ّللا
َْانَك
ايعِمَس
اير ِ
صَب
)
[
النساء
:
58
]
.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An Nisa`
: 58).
15. QS AN NISA` : 58
Wajhul istidlal (cara memahami dalil) sbb :
Allah SWT telah mengarahkan khithab untuk
menunaikan berbagai amanat ini kepada ahlinya, dan
amanah ini maknanya umum meliputi semua amanah.
Agama Islam itu adalah amanah, syariah adalah amanah,
menjalankan hukum Syariah Islam juga amanah. (Manna’
Khalil Al Qaththan, Wujub Tahkim Al Syariah, hlm. 126)
Menjalankan hukum Syariah Islam ini menuntut
pengangkatan seorang khalifah bagi kaum muslimin,
karena menjalankan hukum Syariah Islam ini tidak
mungkin terlaksana kecuali dengan pengangkatan
seorang khalifah bagi kaum muslimin.
Maka perintah menunaikan amanah ini menunjukkan
wajibnya mengangkat seorang Khalifah bagi kaum
muslimin.
16. QS AN NISA` : 58
Analisis Wajhul Istidlal :
Cara memahami ayat di atas, yaitu QS An
Nisa` : 58, disebut dalalatul iltizam,
Yaitu menarik suatu makna yang berupa
makna dzihni (pemahaman dalam pikiran),
yang merupakan konsekuensi logis dari
makna lafzhi (pemahaman lafal secara
harfiyah).
Makna lafzhi-nya, wajib menunaikan amanah
secara umum (termasuk amanah menjalankan
Syariah Islam). Makna dzihni-nya, wajib
mengangkat khalifah untuk menjalankan
Syariah Islam itu.
17. QS AN NISA` : 58
Syaikh Muhammad Husain Abdullah
dalam kitab Ushul Fiqihnya berkata :
دللة
اإللتزام
هو
المعنى
الذهني
المالزم
للمعنى
اللفظي
Dalalatul iltizam adalah suatu makna
yang ada dalam pikiran (makna dzihni)
yang merupakan konsekuensi logis dari
makna lafzhi (makna yang diambil dari
ayat atau hadis secara harfiyah).
(Muhammad Husain, Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 354)
19. QS AN NISA` : 58
Contoh Dalalatul iltizam :
Kewajiban mendirikan akademi militer dan pabrik alutsista
(alat utama sistem persenjataan), yang dipahami dari
Firman Allah SWT :
ْ
ُّوادِعَأَو
مُهَل
اَّم
مُتعَطَتٱس
نِم
ْ
ةَّوُق
نِمَو
ِْاطَب ِ
ر
ْ
ٱل
ْ
ِليَخ
َْونُبِهرُت
ۦِهِب
َُّْودَع
ْ
ِ َّ
ٱّلل
َْو
ْ
ُمكَُّودَع
َْين ِ
رَخاَءَو
نِم
ْ
مِهِنُود
َْ
ل
ْ
ُمُهَنوُمَلعَت
ْ
ُ َّ
ٱّلل
ْ
مُهُمَلعَي
ْۚ
اَمَو
ْ
واُقِفنُت
نِم
ْ
ءَىش
ىِف
ْ
ِليِبَس
ْ
ِ َّ
ٱّلل
َّْفَوُي
ْ
ُمكيَلِإ
ْ
مُتنَأَو
َْ
ل
َْونُمَلظُت
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan
orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja
yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).” (QS Al Anfaal : 60)
20. QS AN NISA` : 58
Firman Allah SWT dalam QS Al Anfaal
ayat 60 tersebut itu, disebut lafal ayat,
Makna lafzhi ayat ini, wajib hukumnya
kaum muslimin melakukan I’dad
(mempersiapkan diri untuk berperang).
Makna dzihni ayat ini, wajib hukumnya
ada akademi militer dan pabrik alutsista,
untuk I’dad tersebut.
(Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah
Al Khilafah, hlm. 128).
21. QS AN NISA` : 58
Selain memahami ayat secara Dalalatul
iltizam, ayat ini (QS Al Nisa` : 58), ayat ini
juga dipahami dengan kaidah ushuliyah
untuk bentuk kata umum (shighat al
‘aam), untuk kata “al amaanaat”.
Kata اتَناَمَاْل merupakan bentuk kata isim
jamak yang dima’rifatkan dengan alim laf
jinsiyyah atau alif lam istighriqiyyah,
yang merupakan salah bentuk kata
umum (min shiyagh al ‘umum).
22. QS AN NISA` : 58
Kata Syekh ‘Atha` bin Khalil :
من
صيغ
العموم
الجمع
المعرف
بأل
الجنسية
أو
اإلستغراقية
مثل
لفظ
الرجال
في
قوله
تعالى
:
للرجال
نصيب
مما
ترك
الوال
دن
واْلقربون
وللنساء
نصيب
(
النساء
:
7
)
“Termasuk bentuk kata umum, adalah isim
jamak yang dima’rifatkan dengan alif lam
jinsiyyah atau alif lam istighraqiyyah, seperti
kata “ar rijaal” dalam firman Allah SWT
dalam QS An Nisaa` : 7”.
(Syekh ‘Atha` bin Khalil, Taisiir Al Wushuul
Ilaa Al Ushuul, hlm. 203).
26. QS AN NISA` : 59
Wajhul istidlal (cara memahami dalil) sbb :
Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk
mentaati ulil amri di antara mereka, yaitu para Imam.
Perintah untuk mentaati ulil amri itu adalah dalil untuk
mengangkat ulil amri, sebab tak mungkin Allah
memerintahkan taat kepada pihak yang tidak ada, dan
tidak mungkin pula Allah mewajibkan mentaati orang
yang keberadaannya hanya disunnahkan (mandub).
Maka perintah mentaati itu menghendaki adanya
perintah untuk meng-ada-kan ulil amri.
Maka perintah ini menunjukkan wajibnya mengangkat
seorang Imam bagi kaum muslimin.
(Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal
Jamaah, h. 47; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, Juz II, hlm. 14).
27. QS AN NISA` : 59
Analisis Wajhul Istidlal :
Cara memahami ayat di atas, yaitu QS An
Nisa` : 59, disebut dalalatul iltizam,
Yaitu menarik suatu makna yang berupa
makna dzihni (pemahaman dalam pikiran),
yang merupakan konsekuensi logis dari
makna lafzhi (pemahaman lafal secara
harfiyah).
Makna lafzhi-nya, wajib mentaati Ulil Amri.
Makna dzihni-nya, wajib mengangkat Ulil Amri.
(Muhammad Husain, Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 354)
29. QS AL MAIDAH : 48
قال
هللا
تعالى
:
﴿
ُمكاحَف
مُهَنيَب
اَمِب
ْ
َلَنزَأ
ْ
ُّللا
ْ
َلَو
ْ
عِبَّتَت
ْ
هَأ
ْ
مُهاءَو
اَّمَع
َْاءكَج
َْنِم
ْ
ِقَحال
﴾
اآلية
[
المائدة
:
48
]
.
“Maka tegakkanlah hukum di antara
mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48).
30. QS AL MAIDAH : 49
قال
هللا
تعالى
:
﴿
ِْنَأَو
ُمكاح
مُهَنيَب
اَمِب
ْ
َلَنزَأ
ْ
ُّللا
ْ
َلَو
ْ
عِبَّتَت
ْ
ُهاءَوهَأ
ْ
م
ْ
مُهرَذاحَو
نَأ
َْوكُنِتفَي
َنع
ِْ
ضعَب
اَم
َْنزَأ
ْ
َل
ْ
ُّللا
﴾َكيَلِإ
اآلية
[
المائدة
:
9
4
]
.
“Dan tegakkanlah hukum di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu…”
(QS Al Maidah : 49).
32. QS AN NISA` : 59
Wajhul istidlal (cara memahami dalil) sbb :
Ini adalah perintah Allah SWT kepada Rasul-Nya
untuk menegakkan hukum di antara kaum
muslimin dengan apa yang diturunkan Allah, yaitu
dengan Syariat-Nya.
Khithab dari Allah kepada Rasul-Nya adalah juga
khithab kepada umatnya, selama tidak terdapat
dalil yang mengkhususkan khithab hanya untuk
Rasul-Nya.
Di sini tidak terdapat dalil pengkhususan khithab
kepada Rasul, maka ini adalah khithab kepada
kaum muslimin semuanya untuk menegakkan
hukum yang diturunkan Allah, hingga Hari
Kiamat.
33. QS AN NISA` : 59
Dan menegakkan hukum [yang diturunkan
Allah] tidaklah mungkin berlangsung kecuali
dengan mengangkat seorang Imam (Khalifah)
yang memegang urusan itu, karena ini adalah
salah tugas Imam Khalifah) itu.
Maka dua ayat yang memerintahkan
menegakkan hukum yang diturunkan oleh Allah,
adalah dalil yang mewajibkan mengangkat
seorang Imam (Khalifah) yang akan melakukan
tugas tersebut.
(Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal
Jamaah, h. 48; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, Juz II, hlm. 13).
34. QS AN NISA` : 59
Analisis Wajhul istidlal (cara memahami dalil) :
Cara memahami dua ayat di atas,
menggunakan dalalatul iltizam, yaitu:
Lafal ayat dua ayat tersebut, menghasilkan
makna lafzhi, yaitu kewajiban menegakkan
hukum yang diturunkan Allah.
Selanjutnya, makna lafzhi ini menuntut adanya
makna dzihni, yaitu makna dalam pikiran kita
yang menjadi konsekuensi logisnya, yaitu
wajib ada seseorang yang diangkat untuk
memimpin penegakan hukum yang diturunkan
Allah itu, yaitu seorang Imam (Khalifah).
35. QS AN NISA` : 59
Selain itu, cara memahami dua ayat di atas,
juga menggunakan kaidah ushuliyah
mengenai keumuman dalil, yang berbunyi :
وخطاب
الرسول
صلى
هللا
عليه
وسلم
خطاب
ْلمته
ما
لم
يرد
دليل
يخصصه
به
“Khithab dari Allah kepada Rasul-Nya
[perintah atau larangan dari Allah] adalah juga
khithab kepada umatnya, selama tidak
terdapat dalil yang mengkhususkan khithab
tersebut hanya untuk Rasul-Nya.”
(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, Juz III (Ushul Fiqh), hlm. 246).
38. AYAT-AYAT LAINNYA
Contohnya :
(1) Ayat tentang kewajiban qishash (QS Al
Baqarah : 178)
(2) Ayat tentang kewajiban potong tangan bagi
pencuri (QS Al Maidah : 38)
(3) Ayat tentang kewajiban hukuman cambuk bagi
pezina ghairu muhshon (belum menikah) (QS An
Nuur : 2)
(4) Ayat hukuman untuk penuduh zina (QS An
Nuur : 4). Dan lain-lain.
Ayat-ayat tersebut tidak boleh dilaksanakan oleh
individu, karena memang ditugaskan khusus
kepada seorang Imam (Khalifah).
39. AYAT-AYAT LAINNYA
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah disebutkan :
وقد
اتفق
الفقهاء
على
أنه
ل
يقيم
الحد
إل
اإلمام
أو
نائبه
“Para fuqoha telah sepakat bahwa tidak boleh
ada yang melaksanakan sanksi huduud,
kecuali Imam (Khalifah) atau wakilnya.”
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz
V, hlm. 280).
Maka ayat-ayat yang terkait dengan hudud,
dan semisalnya, berarti telah mewajibkan
pengangkatan seorang Imam (Khalifah) agar
dapat terlaksana. Wallahu a’lam.