1. 1
LAPORAN KASUS
BLOK ELEKTIF
“Kolaborasi Dokter Paliatif dengan Tim Medis Lain Dalam
Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Kanker”
Nama : Dewi Rahmita Sari
NPM : 1102011078
Kelompok 2
Bidang Kepeminatan Perawatan Paliatif
Dosen Pengampu : dr. Hj. Riyani W, DMM, MSc
Tutor : dr. Zwasta Pribadi Mahardika, M. Med Ed
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
2014/2015
2. 2
“Kolaborasi Dokter Paliatif dengan Tim Medis Lain Dalam Meningkatkan
Kualitas Hidup Pasien Kanker”
Abstract
Background – The incidence of cancer in Indonesia has been rising in elderly people. When a cancer patient’s
health care team determines that the cancer can no longer be controlled, cancer treatment often stop. But the
person’s care continues, with an emphasis on improving their quality of life. In such circumstances the patient
should be given palliative care. Patients with cancer receiving palliative care during chemotherapy are more likely to
complete their cycle of treatment than similar patients who did not receive palliative care. A healthcare system that
supports effective teamwork can improve the quality of patient care, enhance patient safety.
Case Report – Patient B is 46-year-old who is suffering from brain cancer which she had suffered in 2009 before.
Her disease recovered when she got treatment in Singapura. She came to Dharmais hospital in 2014 with
unconscious condition. When consciousness was recovered, she felt mad with her condition. Her disease is no
longer curable, so she is referred by her doctor to attend palliative care.
Discussion – Quality of life (Qol) tools like SF-36(Surey Questionnaire), AQoL (Assessment Quality of Life),
LOT-R (Life Orientation Test), MQoL(McGill Quality of Life Questionnaire), CGI (Client Genererated Index) that
commonly use in patients with advance stage. The purpose of all this questionnaire for assess physical,
psychological, existential which include outlook in life and support domains. Palliative care teams ensuring good
communication with everyone: the patient, the family, the primary doctor and nurse, all the consulting physicians
and the rest of the interdisciplinary health care team. The need for greater collaboration is being driven by the same
pressures as those driving the cancer services, the pressure for timely access to care, lack of continuity in care, needs
unmet by current services, demand for supportive care and dearth of health human resources.
Conclusion – Application of Interprofessional Collaborative Practice according to POBC3 program and
recommendations from RNAO can be implemented to the medical team collaboration in Indonesia. It can be
implemented since in medical college. This collaboration is absolutely necessary to providing quality, coordinated
care of patients.
Keywords: palliative physician collaboration, medical teams, quality of life
Abstrak
Latar belakang- Angka kejadian kanker di Indonesia meningkat pada orang tua. Ketika tim kesehatan pasien kanker
menentukan bahwa kanker tidak lagi dapat dikendalikan, pengobatan kanker seringkali tidak dilanjutkan. Tapi
perawatan pada pasien harus terus dilakukan, dengan penekanan pada peningkatan kualitas hidup mereka. Dalam
keadaan tersebut pasien harus diberikan perawatan paliatif. Pasien dengan kanker yang menerima perawatan paliatif
selama kemoterapi lebih mungkin untuk melengkapi siklus pengobatan dibandingkan pasien kanker yang tidak
menerima perawatan paliatif. Sistem kesehatan yang mendukung kerja sama tim, efektif dapat meningkatkan
kualitas perawatan pasien, meningkatkan keselamatan pasien.
Kasus – Pasien B, 46 tahun, menderita kanker otak yang diderita sejak tahun 2009 sebelumnya. Penyakitnya
sembuh ketika ia mendapat perawatan di Singapura. Dia datang ke rumah sakit Dharmais tahun 2014 dengan kondisi
tak sadarkan diri. Ketika kesadaran itu pulih, ia merasa marah dengan kondisinya. Penyakitnya tidak lagi dapat
disembuhkan, sehingga dia dirujuk oleh dokter untuk perawatan paliatif.
Diskusi – Alat yang umum digunakan pada pasien dengan stadium lanjut untuk menilai kualitas hidup (Qol) seperti
SF-36(Surey Questionnaire), AQoL (Assessment Quality of Life), LOT-R (Life Orientation Test), MQoL(McGill
Quality of Life Questionnaire), CGI (Client Genererated Index). Tujuan dari semua kuesioner ini untuk menilai
fisik, psikologis, eksistensial yang meliputi pandangan hidup dan faktor pendukung. Tim perawatan paliatif
memastikan komunikasi yang baik dengan semua orang: pasien, keluarga, dokter primer dan perawat, semua dokter
konsultasi dan seluruh tim kesehatan interdisipliner. Perlunya kerja sama yang lebih besar didorong oleh tekanan
yang sama seperti usaha peningkatan dalam layanan kanker, tekanan untuk akses yang tepat terhadap perawatan,
kurangnya kontinuitas dalam perawatan, kebutuhan yang belum terpenuhi oleh layanan saat ini, permintaan untuk
perawatan suportif dan terbatasnya sumber daya pada tenaga kesehatan.
Kesimpulan - Penerapan kolaborasi interprofesional sesuai dengan program POBC3 dan rekomendasi dari RNAO
dapat diimplementasikan untuk kolaborasi tim medis di Indonesia. Hal ini dapat diterapkan sejak di perguruan tinggi
kesehatan. Kerjasama ini diperlukan untuk menyediakan kualitas, perawatan terkoordinasi pasien.
Kata kunci: kolaborasi dokter paliatif, tim medis, kualitas hidup
3. 3
Latar Belakang
Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/ jaringan yang tidak terkendali, terus
bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Prevalensi kanker di Indonesia pada tahun
2013 meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi kanker agak tinggi pada bayi (0,3‰) dan
meningkat pada umur ≥15 tahun, dan tertinggi pada umur ≥75 tahun (5‰). (Riskesdas, 2013)
Profesi kedokteran berjuang terus dalam mengobati pasien. Peluang 5% keberhasilan
menjadi alasan untuk mengusahakan kemoterapi bagi pasien kanker stadium lanjut walaupun
pasien menderita lebih banyak. Ketika tim kesehatan pasien kanker menentukan bahwa kanker
tidak lagi dapat dikendalikan, pengobatan kanker seringkali tidak dilanjutkan. Profesi medis
tidak perlu merasa “kalah”, bila pasien meninggal. Kematian harus diterima sebagai sebagian
dari kehidupan. Tugas dokter berusaha agar pasien bisa disembuhkan, tetapi apabila pasien tidak
dapat disembuhkan lagi (sudah terminal) dokter bertugas untuk menjaga agar cara meninggalnya
berlangsung dengan baik. Dalam keadaan tersebut pasien harus diberikan asuhan paliatif. Paliatif
berasal dari kata Latin pallium yang berarti mantol, artinya menciptakan keadaan nyaman bagi
pasien dan sedapat mungkin meringankan penderitaannya. (Bertens. K, 2011).
Kualitas hidup pada kanker stadium lanjut menjadi faktor penting. Instrumen yang
termasuk dalam kualitas hidup atau Quality of Life (QoL) adalah gejala klinis, fungsi psikologis,
spiritual dan kehidupan sosial. (Maria, 2007). Perawatan paliatif membantu pasien melakukan
pengobatan secara lengkap, penelitian menunjukkan bahwa pasien kanker yang menerima
perawatan paliatif selama kemoterapi lebih mungkin untuk melengkapi siklus pengobatan
mereka, daripada pasien kanker yang tidak menerima perawatan paliatif.
Oleh karena itu dalam perawatan paliatif pasien terminal pada kanker, diperlukan peranan
dari berbagai tenaga medis seperti dokter onkologi, dokter paliatif, perawat, psikolog, apoteker,
dan lainnya sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kanker. Kerjasama yang
efektif oleh tenaga kesehatan dari berbagai profesi merupakan kunci penting dalam
meningkatkan kualitas perawatan pasien dan meningkatkan keselamatan pasien.
Kasus
Pasien B seorang wanita berusia 46 tahun memiliki riwayat tumor otak. Keluhan awal
dirasakan sejak tahun 2009. Ia menjalankan pengobatan kemoterapi di Singapura. Setelah
melakukan pengobatan di Singapura kondisinya membaik dan dinyatakan sembuh. Ia dapat
beraktivitas kembali sebagai istri sekaligus ibu dari tiga orang anak dan pengusaha.
Pada bulan April 2014 ia datang ke RS Dharmais dalam keadaan sudah tidak sadar.
Dokter menyatakan bahwa kondisi tumor di otaknya semakin buruk. Ketika sadar kembali
pasien tidak dapat berbicara, hanya dapat menangis, ekstremitas kaku, dan terlihat kurang dapat
menerima keadaanya.
Setelah dokter onkologi menyatakan sudah tidak dapat dilakukan pengobatan lagi,
akhirnya ia dirawat di rumah oleh keluarga dan “care giver”. Pasien saat ini hanya dapat
berbaring di tempat tidur. Ia menggunakan NGT sebagai alat bantu untuk asupaan nutrisi,
disamping itu pasien masih dapat minum dengan bantuan sendok. Ia juga menggunakan kateter.
Kesadarannya cukup baik hanya saja ia tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Komunikasi
4. yang dilakukan hanya dapat dilihat dari mata saja. Kondisinya juga semakin memburuk karena
tubuhnya semakin kaku yang disebabkan kejang akibat penyakit tumor otak nya berkembang.
Selain sakit fisik yang dideritanya ia juga mengalami penderitaan secara emosionalnya.
Hal tersebut dikarenakan pasien dengan suaminya telah berpisah sejak sakitnya memburuk.
Selain itu usaha yang dimilikinya juga diambil oleh suaminya. Saat ini ia tinggal bersama ibu
dan anak-anaknya.
Pada awalnya keluarga juga belum dapat menerima kondisinya. Ibu dari pasien juga
mengatakan apabila ia menjaga pola makan dengan baik pasti penyakit tersebut tidak akan
muncul kembali dan makin memburuk seperti ini. Tetapi dokter paliatif meluruskan
pernyataannya tersebut dengan mengatakan bahwa pasien yang didiagnosa tumor atau ca dapat
mengalami kekambuhan kembali walaupun telah membaik setelah 20 tahun.
Dokter paliatif dan perawat dari rumah sakit secara rutin datang ke rumah untuk melihat
kondisinya dan memberikan obat yang dibutuhkan. Kegiatan yang disenangi olehnya adalah
karaoke atau mendengarkan lagu. Kondisinya saat ini sudah terlihat lebih tenang walaupun
apabila bertemu dengan orang asing terlihat lebih sensitif. Keluarga juga sudah semakin
menerima keadaan pasien dan juga rutin mengajak pasien untuk berdoa. Ketika berdoa ia
terlihat semakin tenang.
4
Diskusi
Neoplasma SSP mencakup neoplasma yang berasal dari dalam otak, medulla spinalis,
atau meningen, serta tumor metastatik dari tempat lain. Neoplasma SSP primer berbeda dengan
neoplasma yang timbul di tempat lain, lesi yang secara histologis jinak dapat menyebabkan
kematian karena penekanan terhadap struktur vital. Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor
termasuk letak, derajat histologik tumor, dan usia.
Manifestasi dari tumor otak bermacam-macam diantaranya peningkatan tekanan
intrakranial (nyeri kepala) atau kelainan fokal yang berkaitan dengan lokasinya (kejang). (Kumar
et al, 2007) Manifestasi, komplikasi penyakit dan peristiwa terkait pengobatan dapat
mengurangi kualitas hidup pasien. Pasien tumor otak dengan prognosis buruk sehingga terapi
oleh dokter onkologi sudah tidak bermanfaat lagi, maka pasien sebaiknya dimasukkan ke dalam
perawatan paliatif agar kualitas hidup yang dijalani lebih baik.
Kondisi psikologis pasien terminal juga tidak boleh lepas dari perhatian tenaga medis.
Psikologis pada pasien terminal berbeda – beda namun dapat digariskan suatu perkembangan
tertentu yang meliputi lima fase, yaitu : 1. Fase pertama pasien menyangkal begitu saja, setelah
memperoleh kabar buruk tentang penyakitnya yang fatal. 2. Fase kedua pasien memberontak. 3.
Fase ketiga pasien coba tawar menawar dengan penyakit yang mengancam dirinya. 4. Fase
depresif. 5. Fase terakhir adalah penerimaan nasibnya dengan pasrah.(Bertens, 2011). Pada kasus
ini awalnya keluarga korban tidak menerima bahwa pasien tidak dapat ditangani dan pasien juga
tidak menerima dengan kondisinya yang tidak dapat beraktivitas seperti dahulu. Tetapi setelah
mendapatkan perawatan paliatif pasien terlihat lebih tenang dan keluarga juga sudah lebih
menerima keadaan pasien.
Kualitas hidup sesorang dapat dinilai dengan beberapa metode kuesioner diantaranya
dengan SF-36(Surey Questionnaire), AQoL (Assessment Quality of Life), LOT-R (Life
5. Orientation Test), MQoL(McGill Quality of Life Questionnaire), CGI (Client Genererated
Index), dll. Kuesioner ataupun indikator yang digunakan dalam Qol bertujuan untuk menilai
secara fisik, psikologis, eksistensial termasuk pandangan hidup dan perkembangan dari kondisi
pasien yang bermakna secara sosisal dan faktor pendukung seperti keluarga maupun tenaga
kesehatan. Kuesioner yang cocok digunakan bagi pasien perawatan paliatif di Asia adalah
MQoL. (Maria, 2007)
Pada kasus pasien tumor otak ini, pasien memiliki kualitas hidup yang lebih baik setelah
mendapatkan perawatan paliatif. Pasien sudah dapat mengatasi sakit yang disebabkan oleh
masalah pribadinya. Hal tersebut dikarenakan dokter paliatif bersama tim selalu memantau
perkembangan dari pasien baik fisik maupun psikis.
Pasien kanker mengharapkan mendapatkan pelayanan perawatan paliatif yang baik
diantaranya dapat mengontrol rasa sakit pasien dan gejala lainnya, selain itu pasien ingin
perawatan terkoordinasi dengan baik. Keinginan pasien agar dapat terkoordinasi dengan baik
ditentukan dari koordinasi dokter paliatif dengan tim medis lainnya. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan komunikasi dan kerjasama yang baik antar profesi medis. Komunikasi yang
baik diperlihatkan seperti pada model kolaboratif tipe 2.
5
Dokter
pasien
pemberi
layanan
lain
perawat
Dokter
Pemberi
layanan lain
pasien
perawat
Gambar 1. Model praktek kolaboratif, tipe 1 Gambar 2. Model praktek kolaboratif tipe 2
(sumber: Siegler & Whitney, 1999)
Praktek kolaboratif yang ditunjukkan oleh tim paliatif pada pasien ini sudah mengacu
pada model kolaboratif tipe 2. Dokter bersama perawat berusaha meningkatkan kualitas hidup
pasien. Selama perawatan selain dengan dokter paliatif, dokter spesialis ikut berperan.
Contohnya apabila terjadi hal yang tidak terduga seperti adanya edema paru maka dokter paliatif
segera berkonsultasi dengan dokter spesialis. Dokter juga bekerja sama dengan pemberi layanan
lain pada pasien ini dalam mengurus asuransi kesehatan pasien seperti BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial).
Ada beberapa hal yang sebaiknya dicermati antar tim medis yaitu:
1. instruksi yang diberikan kurang jelas dan petugas yang diberikan instruksi tidak minta
klarifikasi,
2. tidak terjadi interaksi verbal sama sekali, biasanya antar dokter ahli kecuali bila ada
konferensi kasus,
3. pemberi instruksi tidak meyakinkan bahwa instruksinya dimengerti oleh petugas,
4. dokter ahli tidak menganggap dokter ruangan, perawat sebagai mitra kerja,
5. Lemahnya aturan mengenai hak dan tanggung jawab masing-masing petugas kesehatan.
6. Instruksi yang diberikan kurang jelas dan yang diberikan instruksi tidak minta klarifikasi
merupakan hal sering terjadi. Seperti pada kasus, perawat mengatakan bahwa pernah terjadi
kesalahan karena adanya komunikasi yang salah dengan dokter sehingga perawat salah
memberikan obat.
Perlunya kerja sama yang lebih besar didorong oleh tekanan yang sama seperti usaha
peningkatan dalam layanan kanker, tekanan untuk akses yang tepat terhadap perawatan,
kurangnya kontinuitas dalam perawatan, kebutuhan yang belum terpenuhi oleh layanan saat ini,
permintaan untuk perawatan suportif dan terbatasnya sumber daya pada tenaga kesehatan.
Untuk menerapkan praktek kolaborasi interprofesional (EIPCP) dengan baik banyak
komponen yang harus dipenuhi. Cara yang ditempuh untuk menghasilkan kolaborasi tersebut
menurut program POBC3, educational workshop, yang dihubungkan dengan rekomendasi
Registered Nurses' Association of Ontario (RNAO) sebagai panduan praktik terbaik yaitu :
6
Tabel 1. Penerapan Praktek Kolaborasi Interprofesional
Strategi POBC3 Rekomendasi RNAO
Peserta membahas komponen praktik
kolaboratif untuk memahami apa yang terlibat
dan argumen yang mendasari. Intervensi ini
membangkitkan minat para profesional dan
membantu untuk menentukan kecocokan
dengan lingkungan kerja mereka.
Mengembangkan pengetahuan tentang nilai-nilai
dan perilaku yang mendukung kerja tim
serta dampak dari kerja sama tim terhadap
keselamatan pasien Dengan demikian :
▪Menginformasikan diri sendiri tentang atribut
tim yang mendukung.
▪Mengartikulasikan keyakinan mereka nilai
kerja sama tim.
▪Menunjukkan kesediaan mereka untuk bekerja
secara efektif dengan orang lain.
Peserta yang terlibat dalam pendidikan latihan
strategi komunikasi dari beragam profesi
mengembangkan kapasitas relasional mereka.
Strategi ini mengidentifikasi hambatan
komunikasi yang efektif
Berkontribusi terhadap budaya yang
mendukung kerja sama tim yang efektif
dengan:
▪Mendemonstrasikan akuntabilitas atas
tindakan, antusiasme, motivasi, dan komitmen
untuk tim.
▪Memahami peran sendiri, ruang lingkup
praktek, dan tanggung jawab, serta mencari
informasi dan mengembangkan pemahaman
tentang peran dan lingkup praktik lainnya.
▪Bertanggung jawab dan saling menghormati
dalam berkomunikasi.
Setelah peserta mengidentifikasi situasi klinis
yang menarik, mereka mendiskusikan
intervensi psiko-sosial dengan cara kolaboratif.
Kegiatan dilakukan oleh peserta bekerjasama
dengan ahli psikososial dan profesional
terlatih.
Tim menetapkan proses yang jelas dan struktur
kolaborasi yang mengarah ke kualitas kerja
lingkungan dan hasil yang berkualitas bagi
pasien dengan:
▪Proses untuk membangun resolusi konflik dan
pemecahan masalah.
▪Menetapkan proses untuk mengembangkan,
7. 7
Mentoring oleh para ahli profesional
menargetkan strategi pemecahan masalah,
untuk menjamin kelanjutan dalam melakukan
pembelajaran, dan mengidentifikasi untuk
kebutuhan lokakarya pendidikan lebih lanjut.
mencapai, dan mengevaluasi kinerja tim,
tujuan bersama, dan hasil.
▪Membangun kapasitas untuk pemecahan
masalah yang sistematis.
▪Berpartisipasi dengan pelaksanaan praktek
untuk mendukung peningkatan kerjasama di
tingkat fungsional dan organisasi.
▪Memasukkan non-hirarki, praktek kerja yang
demokratis untuk memvalidasi semua
kontribusi dari anggota tim.
Membangun proses pengambilan keputusan
untuk berbagai keadaan seperti:
• darurat;
• hari-hari fungsi;
• perencanaan jangka panjang;
• pengembangan kebijakan;
• perencanaan perawatan
Menilai persepsi peserta dari fungsi mereka
saat ini antar-profesional dan memberikan
umpan balik satu sama lain.
Tim melakukan dengan terbuka, jujur, dan
transparan:
▪Proses membangun untuk memastikan
komunikasi yang efektif.
▪Mengembangkan kemampuan dalam
mendengarkan aktif.
Sumber : Tremblay dkk , 2010.
Gambar 4. Faktor yang mempengaruhi kerjasama interprofesi
Jika setiap orang yang akan melakukan kerjasama mengetahui kelemahan dari dirinya
maka hambatan yang mempengaruhi proses kerjasama dapat diatasi. Berbagai strategi dalam
mewujudkan kolaborasi interprofesional yang baik dapat diterapkan sejak menempuh pendidikan
kesehatan. Sehingga timbul metode pembelajaran IPE (Interprofessional Education) yang
bertujuan agar tim medis selanjutnya dapat berkolaborasi secara baik. Metode Pembelajaran
Interprofesional yang mungkin dapat diterapkan di perguruan tinggi yaitu:
1) Kuliah klasikal
Perkuliahan melibatkan beberapa pengajar dari berbagai disiplin ilmu dan melibatkan mahasiswa
dari berbagai profesi kesehatan.
2) Kuliah Tutorial (PBL)
8. Kuliah tutorial dilakukan dengan diskusi kelompok kecil melibatkan mahasiswa dari berbagai
profesi kesehatan kemudian membahas suatu masalah dan mencoba mengindentifikasi serta
mencari penyelesaian dari masalah yang dihadapi.
8
3) Kuliah Laboratorium
Kuliah laboratorium dilaksanakan pada tatanan laboratorium. Modul yang digunakan adalah
modul terintegrasi yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai profesi kesehatan.
4) Kuliah Skills Laboratorium
Dalam pembelajaran skills laboratorium, mahasiswa dapat mempraktekkan cara berkolaborasi
dengan mahasiswa dari berbagai profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien.
5) Kuliah Profesi/Klinis-Lapangan
Pada pendidikan profesi mahasiswa dihadapkan pada situasi nyata di lapangan untuk
memberikan pelayanan kepada pasien nyata.
Gambar 4. Pendidikan Interprofesi untuk mempersiapkan Praktik Kolaborasi
(sumber: Dikti, 2014)
Kerjasama Interprofesional dalam Islam
Rasulullah sangat memahami bahwa manusia itu memiliki kemampuan sekaligus
keterbatasan. Masing- masing orang memiliki keterbatasan skill individu yang tidak dimiliki
orang lain. Beliau juga memahami bahwa tidak ada orang yang bisa menguasai segala bidang,
karena dalam satu keunggulan seseorang dihalangi oleh keterbatasan-keterbatasan lain.
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai kesanggupannya” (Al- Baqarah: 286)
Sebagai contoh adalah Sibawaih yang dikenal sebagai pakar ilmu Nahwu. Dia pernah
belajar hadits, namun tidak mampu dan daya tangkapnya rendah. Kemudian dia berpindah
belajar tentang Nahwu. Ternyata dalam bidang ini, dia sangat cerdas menangkap disiplin ilmu
Nahwu. Bahkan dia banyak merintis teori teori baru dalam ilmu Nahwu.
Dalam sebuah hadits disebutkan : “Setiap sesuatu dimudahkan berdasarkan (untuk apa) ia
diciptakan.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Timirdzi, Ibnu Hibban, dll dari Imran bin
Hushain).
9. Al- Khalil bin Ahmad berkata bahwa manusia itu terdiri dari empat macam yaitu
pertama, orang yang paham dan ia tahu bahwa dirinya paham. Itulah tipe orang alim, maka
ikutilah dia. Kedua, orang yang paham, namun dia tidak tahu bahwa dirinya paham. Itulah tipe
orang tidur, maka bangunkanlah dia. Ketiga, orang yang tidak paham, dan tahu bahwa dirinya
tidak paham. Itulah orang yang belajar, maka ajarkanlah dia. Keempat, orang yang tidak paham
dan dia tidak tahu bahwa dirinya tidak paham. Itulah orang jahil, maka tolaklah dia.
Mengenali lapisan kepribadian kita sangat penting sebelum berkontribusi. Tujuannya,
untuk mengenal berapa banyak daya dan amunisi yang sanggup kita berikan. Tanpa mengetahui
peta kemampuan pribadi, maka dikhawatirkan kontribusi tidak akan maksimal dan tidak terarah
dengan baik. Rasulullah bersabda : “Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar; yang
paling keras memperjuangkan agama Allah adalah Umar; yang paling benar malunya adalah
Utsman; yang paling adil dalam menetapkan hukum adalah Ali bin Abi Thalib; yang paling fasih
bacaan Al Qur’annya adalah Ubay bin Ka’ab; yang paling mengerti halal dan haram adalah
Mu’adz bin Jabal; yang paling pintar berargumentasi dari mereka adalah Zaid bin Tsabit.
Ingatlah, setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu
Ubaidah bin Al Jarrah” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik). (Yasir. M, 2012)
Belajar dari Rasulullah yang memahami secara detil lapisan- lapisan kepribadian dirinya
bahkan juga sahabatnya, sehingga bisa memaksimalkan mereka dalam membangun peradaban
Islam. Begitu juga dalam membangun kerjasama antar profesi, harus menyadari terlebih dahulu
bahwa masing-masing memiliki keterbatasan dalam pengetahuan. Sehingga akan terjalin
komunikasi baik antar profesi dan akan maksimal dalam mencapai tujuan dari kerjasama
tersebut.
9
Simpulan
Pasien kanker dengan perawatan paliatif diharapkan memiliki kualitas hidup yang lebih
baik dibandingkan pasien kanker yang tidak mendapatkan perawatan paliatif. Untuk memperoleh
kualitas hidup pasien yang lebih baik diperlukan kolaborasi dari tim medis. Komunikasi
interprofesional yang baik diperlukan dalam membangun kerjasama untuk perbaikan kualitas dan
perawatan pasien. Penerapan Praktek Kolaborasi Interprofesional menurut program POBC3 dan
rekomendasi RNAO dapat diterapkan pada kolaborasi tim medis di Indonesia. Kerjasama
interprofesional ini dapat dibangun dari masa menempuh pendidikan kesehatan. Dalam
bekerjasama tentunya kita akan memberikan kontribusi, seperti Rasulullah, sebelum memberikan
kontribusi sebaiknya kita mengenal potensi diri.
Acknowledgment
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT atas rahmat-Nyalah penyusunan
case Report ini dapat terlaksana, DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun dan dr. Hj. RW. Susilowati,
Mkes selaku koordinator penyusun dan pelaksana blok elektif, dr. Hj. Riyani W, DMM, MSc
selaku dosen pengampu kepeminatan perawatan paliatif, dr. Zwasta Pribadi Mahardika, M. Med
Ed selaku dosen tutor, dr. Maria Asterina Witjaksono, Pall Med dari RS Kanker Dharmais selaku
koordinator lapangan serta rekan-rekan kelompok yang telah membantu dalam penyusunan
laporan ini.
10. 10
Daftar Pustaka
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Basuki, Endang. 2008. Komunikasi Antar Petugas Kesehatan. Maj Kedokt Indon, Volum: 58,
No: 9.
Bertens, K. 2011. Etika Biomedis. Yogyakarta : Kanisius.
Center to advance palliative care. The Case For Hospital Palliatie Care. Improving Quality.
Reducing Cost. Available at: www.capc.org. 15 November 2014 (14:30).
Dikti. 2014. Nilai Kolaborasi Antar Profesi dan Pengembangan Pendidikan Interprofesi Menuju
Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas. Kementrian pendidikan dan kebudayaan.
IDACC. Questionnaires. Available at: http://idacc.healthbase.info/questionnaires.html. 16
November 2014 (13:05).
Foxman, Stuart. 2013. It Takes a Team. Complexity of palliative care demands interprofessional
collaboration. End-of-Life Care.
Kumar, Cotran R.S, Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Sedyowinarso, Mariyono, Mora Claramita. Buku Acuan Umum CFHC-IPE. Bab II. Yogyakarta :
UGM.
Siegler, Fay.W. 1999. Kolaborasi perawat – dokter. Perawatan orang dewasa dan lansia.
Jakarta: EGC.
Tremblay, Dominique, dkk. 2010. Interprofessional collaborative practice within cancer teams:
Translating evidence into action. A mixed methods study protocol. Implementation Science,
5:53.
Witjaksono, Maria. A. 2007. Quality of Life Assessment in Palliatie Stage Cancer Patients.
Indonesian Journal of Cancer, 2 : 77-79.
World Health Organization. WHO Palliative care is an essential part of cancer control.
Available at: http: http://www.who.int/cancer/palliative/en/. 15 November 2014 (09:25).
Yasir, Muhamad. 2012. Jangan Hidup Jika tak Memberi Manfaat. Jakarta : Pustaka Al- Kautsar.