Be, gg, edi putra, hapzi ali, ethics and business, csr , corporate social res...
CSR
1. Socially Responsible Corporation
BAB 1
Memahami dan
Mengelola Masalah Sosial dalam Bisnis
Relasi Bisnis (dan Korporasi) Tambang dan Migas dengan Masyarakat
Perkembangan dunia bisnis mungkin jauh lebih dinamis dari pada dunia politik dan
sosial ataupun budaya. Sejalan dengan hal tersebut dunia bisnis memiliki tantangan yang
lebih kompleks serta kecepatan perubahan yang sangat tinggi, namun hasil dan akibatnya
dapat dirasakan secara lebih nyata dan segera pula. Perubahan dalam dunia bisnis dapat
disebabkan dan dipengaruhi oleh perubahan dalam dunia politik, seperti proses demokratisasi
dan perkembangan kesadaran hak asasi manusia, dan dunia sosial budaya, dalam bentuk gaya
hidup dan perubahan pola konsumsi (Aspinal, 2003). Dinamika dan kompleksitas yang tinggi
ini dapat pula dilihat pada sektor produksi industri pertambangan dan migas serta mineral
lainnya. Permasalahan dalam sistem produksi tambang bukan sekadar masalah kemampuan
modal, teknologi, kebercukupan cadangan mineral serta pasar, melainkan juga oleh legitimasi
sosial, yakni diterima-tidaknya kehadiran dan kegiatan sebuah industri dan korporasi di
tengah-tengah rnasyatakat sekitarnya (Evans, et al., 2008). Konsekuensinya masalah etika
sosial rnenjadi salah satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh industri dan
korporasi tambang dan migas (Freeman, 2005). Banyak opini menggarisbawahi bahwa,
pertumbuhan jumlah dan aset korporasi--khususnya multinational corporation (MNC)
tambang dan migas--menunjukkan angka yang spektakuler tingginya, namun pertumbuhan
ini tidak diikuti dengan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat secara nyata, khususnya
masyarakat sekitar tambang. Dengan kata lain, tidak terlihat korelasi positif bahwa
pertumbuhan produksi pertambangan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
sekitarnya secara umum.
Khususnya dalam relasi antara industri atau korporasi dengan masyarakat, baik
terhadap masyarakat nasional maupun lokal, mendapat sorotan tajam akibat sejumlah dampak
yang ditimbulkan oleh kehadiran dan kegiatan tambang (Evans, 2008; Yakoveleva, 2005).
Kerusakan lingkungan (kasus Lapindo), upah dan kesejahteraan pekerja yang (relatif) rendah
(Kasus Freeport dan Newmont), korupsi dan manipulasi (kasus mafia minyak, kasus
1
2. Socially Responsible Corporation
divestasi, bahkan kasus mafia pajak korporasi tambang), serta sejumlah permasalahan sejenis
lain ditengarai melekat di dalamnya. Dunia bisnis tambang dan migas memang berkembang
cepat, namun dalam prosesnya etika sosial banyak dilanggar sehingga menimbulkan sikap
negatif dan resistansi terhadap industri ini. Dengan dasar pertimbangan seperti ini maka etika
sosial dalam bisnis tambang dan migas sangat diperlukan, bukan sekadar untuk mengatur
ulang besar-kecilnya profit atau legalitas keuntungan bisnis, melainkan untuk menciptakan
legitimasi sosial dunia bisnis dalam relasinya dengan masyarakat secara umum (Hechter,
2003). Etika bisnis perlu dikembangkan tidak hanya untuk melindungi kepentingan
masyarakat melainkan untuk menjamin bahwa bisnis dan korporasi yang bersangkutan dapat
diterima, berproduksi dan berkembang berdampingan dan sejajar dengan perkembangan
masyarakat di sekitarnya (Prayogo, 2008a).
Terdapat tiga nilai pokok dalam etika bisnis yang perlu dikedepankan dalam praktik
korporasi, yakni masalah keadilan (justice), distribusi hasil dan pemerataan (equality), dan
keberlanjutan (sustainability) (Prayogo, 2008a). Secara singkat saja dapat disebutkan,
masalah keadilan berkenaan dengan hak masyarakat terhadap akses ekonomi (utamrnya),
politik dan sosial-budaya. Masalah pemerataan adalah masalah kesejahteraan ekonomi dan
distribusinya, khususnya antara warga korporasi dengan masyarakat di sekitarnya. Masalah
keberlanjutan berkenaan dengan kelangsungan ekologis dan ketersediaan sumber alam dan
ekonomi masyarakat, gangguan lingkungan serta kelangsungan sumber ekonomi masyarakat
terdekat dengan lokasi dan kegiatan korporasi. Karena itu semakin jelas bahwa relasi antara
korporasi dengan masyarakat meniadi salah satu tantangan berat dalam dunia bisnis tambang
dan migas masa kini. Terlebih lagi pada industri ekstraktif yang sangat tergantung pada
ketersediaan sumber alam yang terdapat secara terbatas hanya pada wilayah tertentu,
menjadikan keterkaitan kegiatan industri tersebut dengan masyarakat dan komunitas lokal
sangat signifikan-baik dalam pengertian memengaruhi maupun dipengaruhi-sehingga
keberadaan dan perkembangan korporasi dan komunitas lokal akan saling rnenentukan secara
timbal balik (Martinussen, 1999). Korporasi membutuhkan dukungan komunitas sekitar
untuk melakukan kegiatannya, sebaliknya komunitas dapat mempereoleh manfaat dari
keberadaan dan, kegiatan korporasi.
Jika terjadi kerugian pada salah saru pihak akibat keberadaan dan kegiatan korporasi
maka akan terjadi konflik. Konflik dapat dilihat sebagai fenomena permukaan saja dari
adanya sebab dan proses relasi yang (dirasakan) merugikan oleh salah satu- pihak (Prayogo
2008a). Biasanya korporasi disebut sebagai pihak penyebab yang merugikan komunitas,
sehingga dalam konflik komunitas kerap berperan sebagai ofender sedang korporasi sebagai
2
3. Socially Responsible Corporation
defender. Sebaliknya dalam pemahaman pihak komunitas, konflik merupakan sebuah upaya
“koreksi” untuk memperbaiki relasi karena merasa dirugikan kepentingannya. Di Indonesia,
konflik antara korporasi dengan masyarakat atau komunitas lokal menjadi sangat fenomenal
utamanya saat terjadi perubahan besar pada dimensi politik dan sosial. Reformasi politik
1998, diikuti dengan proses demokratisasi melalui pemilu secara langsung, serta
desentralisasi dan otonomi daerah, telah menyediakan ruang bagi gerakan-gerakan resistansi.
Gerakan resistansi ini merupakan alat untuk melakukan “koreksi” sosial namun sekaligus
berfungsi sebagai mekanisme mencari bentuk kesepakatan atau “kontrak sosial” baru dalam
relasi antara korporasi dengan masyarakat dan komunitas disekitarnya (Prayogo, 2008b).
Untuk itu menciptakan hubungan saling mendukung antar keduanya, korporasi perlu
memahami, mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengelola relasinya dengan masyarakat,
khususnya masyarakat komunitas sekitar. Untuk melakukan hal tersebut maka korporasi
perlu membuka diri dan mengembangkan pradigma bisnisnya, tidak semata hanya
menghitung berapa dan bagaimana keuntungan finansial jangka pendek, melainkan juga
harus-kiranya tidak tersedia pilihan lain mempertimbangkan legitimasi dan dukungan sosial
terhadap keberadaan dan kegiatan korporasi untuk jangka panjang. Oleh karenanya,
pemahaman korporasi terhadap komunitas di sekitarnya sangat dibutuhkan serta menentukan
untuk menjamin kelangsungan bisnis itu sendiri.
Dalam konteks masyarakat Indonesia masa kini serta kebutuhan bisnis tambang dan
migas jangka panjang seperti diurai di atas keseluruhan isi buku penting dipahami.
Paradigma bisnis, khususnya bisnis ekstraktif seperti tambang dan migas, tidak bisa lagi
mempertahankan paradigma tradisional, berperan sebagai digger, hanya menggali dan
menggali dan mengeksploitasi sumber alam. Kontrol, kritik bahkan tekanan dan konflik
terhadap industri tambang secara nyata semakin kuat dan meluas, bahkan pada beberapa
tambang menjadi konflik dengan kerusakan fisik dan korban jiwa dan penutupan tambang.
Perubahan paradigma bisnis dimaksudkan secara lebih luas sebagai perubahan filosofi bisnis
yang berwawasan sosial guna menghasilkan kemaslahatan bagi banyak pihak tidak hanya
semata keuntungan finansial bagi korporasi. Bisnis bukan sekadar menumpuk keuntungan-
walaupun keuntungan merupakan tujuan utama-tetap harus nrempertimbangkan aspek yang
lebih luas. Filosofi bisnis liberalis seperti Milton Friedman sudah gugur dan tidak lagi relevan
untuk masa sekarang apalagi masa mendatang, dan harus segera ditinggalkan. Dalam filosofi
bisnis yang baru pemahaman dan kalkulasi tentang masyarakat menjadi bagian dan menyatu
dalam kalkulasi bisnis itu sendiri. Harus ditekankan bahwa kontrol dan tekanan oleh
komunitas dan masyarakat lokal tidak perlu dilihat sebagai hambatan, melainkan peluang
3
4. Socially Responsible Corporation
untuk mengembangkan industri itu sendiri dengan memperkuat dukungan sosial korporasi
yang bersangkutan.
Untuk itu, dengan semangat untuk mempraktikkan etika bisnis yang lebih baik dan
benar korporasi harus memperhatikan dan mengelola stakholder sosialnya (Svendsen, 1998).
Relasi sosial korporasi dengan stakholder sosial-tidak hanya stakeholder bisnis-.harus
dikelola dan dikembangkan sedemikian rupa agar mereka dapat menjadi salah satu pilar
pendukung bisnis yang secara reciprocal dapat melindungi dan mengembangkan bisnis itu
sendiri. Guna mencapai tujuan tersebut maka pemahaman dan pengelolaan relasi dengan
masyarakat dan komunitas lokal menjadi sangat penting (Prayogo, 2003). Untuk mewujudkan
tujuan tersebut diperlukan pemetaan sosial sebagai alat dan cara bagaimana korporasi bisa
mengidentifikasi dan memahami masyarakat dan komunitas di sekeliling mereka.
Selaniutnya, pemahaman tentang masyatakat ini perlu dilaniutkan dengan pengelolaan dan
pengembangan relasi yang saling mendukung antara korporasi dengan komunitas (Prayogo,
2008b). Program tanggung jawab sosial korporasi (CSR) dan pengembangan komunitas (CD)
merupakan alat dan cara bagaimana melakukan pengelolaan relasi dengan komunitas tersebut
dilakukan. Kemudian, untuk memastikan bahwa pemahaman dan pengelolaan relasi dengan
masyarakat sudah benar dan baik maka diperlukan evaluasi terhadap apa yang telah
dikerjakan korporasi melalui program CSR dan CD-nya. Keseluruhan substansi ini akan
diurai secara komprehensif sehingga korporasi- khususnya para manajer dan CEO-memiliki
pemahaman dan etika bisnis sebagaimana dituntut untuk kemaslahatan dan pengembangan
bisnis dan masyarakat secara lebih baik di masa depan.
Tantangan Sosial-politik Dunia Pertambangan
Ekspansi industri pertambangan dan migas merupakan hal yang “tak terhindarkan”
sebagai konsekuensi dari semakin meningkatnva kebutuhan dan permintaan, menurunnya
cadangan mineral dan energi, serta meningkatnya harga pasar. Industrialisasi merupakan
sebab utama dari peningkatan ekspansi ini, pembangunan industri menuntut penambahan
input energi dan bahan dasar mineral lainnya. Saat industri berjalan, maka ketergantungan
manusia terhadap sumber energi fosil menjadi tidak terhindarkan, dan karenanya ekspansi
secara luas, guna memenuhi kebutuhan ini menjadi pilihan utama. Karena tingkat kebutuhan
terus meningkat dan cadangan sumber alam semakin menipis, akibatnya tingkat harga
mineral dan migas, di pasaran internasional terus meningkat, sementara cadangan sumber
alam tambang dan migas terus menipis karena memang sifatnya non-renewable resources
yang masih sulit digantikan perannya dengan sumber lain. Hal inilah yang mendorong dunia
4
5. Socially Responsible Corporation
bisnis tambang dan migas terus mencari dan memperluas wilayah eksplotasi baru untuk
memperoleh cadangan baru karena mengejar keuntungan berlipat. Dalam proses ekspansi ini
kerap terjadi kompetisi, baik antarnegara, antarkelompok bisnis maupun antarwilayah.
Dominasi Amerika atas distribusi komoditas minyak dan gas dunia mulai “terganggu”
dengan peningkatan pesat permintaan negara Cina dan India akibat industrialisasi dan
perturnbuhan ekonomi yang sangat pesat. Amerika sekarang ,menghadapi Cina sebagai
pesaing baru di Asia dalam hal konsumsi dan kontrol atas sumber energi dunia. Karenanya
tidak mengherankan minyak dan gas jika khususnya dapat menjadi sebab dan “alat” perang-
dengan embargo-serta alat diplomasi internasional dalam menekan atau tawar menawar
politik. Akibatnya, Amerika melakukan “pengamanan” (baca: dalam pengertian penguasaan
dan kontrol) atas wilayah-wilayah penghasil energi dan mineral di negara berkembang guna
mengamankan kebutuhan dalam negerinya sekaligus mempertahankan posisi negara
adidayanya.
Dengan kondisi yang demikian, tidak mengherankan jika bisnis tambang dan migas
dapat dikatakan sebagai bisnis “keras” baik dalam arti simbolik maupun harfiah (Perkins,
2004). Perang dan konflik kerap rnewarnai negara dan kelompok yang berkompetisi untuk
memperoleh akses dan dominasi terhadap sumber energi dan mineral. Perang di Timur
Tengah, Afghanistan, Iran dan sejumlah wilayah lain yang memiliki. cadangan energi dan
mineral sangat besar, menunjukkan secara harfiah demikian kuat dan kerasnya kompetisi
untuk Penguasaan sumber alarn tersebut. Secara simbolik, Penguasaan atas sumber energi
dan mineral dapat dijadikan sebagai alat diplomasi dan kerja sama, atau sebagai alat menekan
oleh sebuah negara melalui embargo dan sejenisnya. Banyak pendapat menuding bantuan
pinjaman IMF dan Worldbank digunakan sebagai alat untuk “menekan” Indonesia untuk
melakukan liberalisasi dunia bisnis perminyakan sehingga lahir UU Migas No. 22 Tahun
2001. Undang-undang ini belakangan banyak disalahkan sebagai "kekalahan" Indonesia
menghadapi tekanan IMF dan asing sebagai timbal balik dari hutang yang diberikan. Dengan
liberalisasi di sektor migas ini Indonesia kehilangan “kontrol penuhnya” atas sumber alam
melalui sistem kontrak karya atas konsesi perusahaan asing mengeksploitasi migas Indonesia.
Dengan sistem ini pula para perusahaan asing yang lebih memiliki dominasi atas sumber
alam migas Indonesia, bukan sekadar pada proses eksploitasinya. Keadaan ini oleh banyak
kalangan dinilai lebih buruk-secara politik dan ekonomi-dari sistem production sharing
contract yang berbentuk sistem bagi hasil produksi, dan sudah menjadi model bagi sejumlah
negara penghasil minyak lainnya (Ramadhan, K.H.,2008).
5
6. Socially Responsible Corporation
Pada tingkat lebih meso (nasional) dan mikro (lokal), tantangan industri tambang dan
migas menghadapi resistansi sangat kuat dari sejumlah pihak (stakeholders) seperti pers,
NGO, aktivis lingkungan, dan-khusus di Indonesia pada satu dekade terakhir-dari masyarakat
dan komunitas lokal. Terdapat dua hal yang penting diperhatikan dalam fenomena terkahir
ini, yakni dari pihak stakeholders dan korporasi sendiri. Dari pihak stakeholder, perubahan
politik akibat Reformasi politik 1998 dan demokratisasi dengan sistem multipartai penuh dan
pemilihan langsung presiden serta desentralisasi dan otonomi daerah (Otda), menghasilkan
perubahan atmosfer dan perilaku politik warga masyarakat dan komunitas secara sangat
mendasar dan sangat cepat, bahkan hirgga ke tingkat grassroot (Prayogo dalam Kano, 2006).
Dalam atmosfer politik demikian ruang publik untuk mengungkap dan menyalurkan aspirasi
semakin luas dan beragam, dapat secara tidak langsung melalui perwakilan atau lembaga lain,
atau secara langsung melalui demonstrasi massa atau kegiatan sejenisnya. Rasa takut warga
dalam berhadapan dengan aparat dan lembaga negara seolah hilang, bahkan pada sejumlah
kasus cenderung anarkis warga masyarakat “menguasai” dan “memaksa” negara memenuhi
kehendaknya.
Proses ini diperkuat lagi dengan desentralisasi dan Otda yang memberikan otonomi
politik dan otoritas administrasi secara luas kepada otoritas administrasi di tingkat kabupaten
dan kota. Desentralisasi dan otda menimbulkan sentimen kedaerahan lebih kuat-
meningkatkan sence of localism-yang dikaitkan tidak hanya atas penguasaan terhadap sumber
politik (kuasa) melainkan juga terhadap sumber ekonomi (material). Dengan demikian
desentralisasi dan Otda menghasilkan persepsi tentang otonomi politik dan ekonomi,
masyarakat lokal menganggap dirinya sebagai “pemilik” utama-atau minimal memiliki
priotitas-atas seluruh sumber ekonomi lokal, baik atas sumber alam maupun lainnya. Dalam
konteks ini maka tekanan dari masyarakat lokal berupaya untuk mengubah posisinya dari
stakeholder menjadi salah satu owner atas sumber ekonomi lokal. Perubahan ini tentunya
berdampak sangat signifftan atas sistem bagi hasil dan hak kerja masyarakat lokal terhadap
korporasi tambang di wilayah bersangkutan. Tidak hanya itu, di antara masyarakat lokal juga
terjadi kompetisi atas sumber alam sehingga banyak terjadi pemekaran wilayah kabupaten,
bahkan provinsi dengan dalih untuk “percepatan pembangunan”. Keadaan belum banyak
dipahami oleh kalangan industri dan korporasi tambang dan migas.
Dari sisi korporasi, karena terjadi peningkatan permintaan dan harga pasar komoditas
tambang dan migas maka korporasi semakin agresif untuk memperluas wilayah eksploitasi
dan meningkatkan produksi agar dapat terus berkembang pesat. Untuk itu korporasi perlu
melakukan ekspansi wilayah untuk memperoleh sumber cadangan energi dan mineral baru
6
7. Socially Responsible Corporation
sehingga perlu melakukan “penguasaan” atas wilayah-wilayah yang potensial di negara
berkembang. Tingginya permintaan dan semakin menipisnya cadangan sumber energi dan
mineral menyebabkan kompetisi dalam eksploitasi sumber alam semakin keras sehingga
korporasi perlu melakukan berbagai upaya, mulai dari penguatan organisasi dan manajemen
dengan melakukan merger sebagaimana terjadi pada sejumlah perusahaan minyak Amerika
dan Eropa, maupun melakukan langkah coercive dengan menekan para elite dan politisi
negara penghasil baik dengan imbalan ekonomi, operasi intelejen atau bahkan melakukan
tindakan militer. Kolaborasi segitiga antara korporasi tambang dan migas dengan negara adi
daya (asal korporasi) dan lembaga keuangan dan perbankan internasional dilakukan untuk
memperkuat posisi korporasi atas sumber alam yang potensial (Warhurts, 2001). Tidak hanya
itu merger dan bahkan kartel dilakukan untuk memperkuat posisi korporasi terhadap pesaing
bisnisnya sekaligus juga terhadap negara penghasil surnber alam yang biasanya negara
berkembang di Asia, Amerika Latin serta sedikit Afrika. Akibatnya persaingan ketat dan
keras ini maka etika bisnis dalam industri tambang dan migas sangat loose kerap
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lebih lagi, dampak lingkungan-utamanya
tambang terbuka (open pit mining) demikian hebat terhadap lingkungan lokal sehingga
mendapat banyak tantangan. Industi tambang dan migas kerap menjadi “musuh” nomor
wahid bagi pegiat lingkungan serta stakeholder lain yang merasakan dampak praktik kerja
industri ini.
Dengan gambaran ini maka kitanya cukup jelas bahwa tantangan dalam bisnis dan
praktik tambang dan migas semakin keras dan kompleks, tidak hanya kompetisi yang
semakin ketat antarsesama kalangan bisnis dan semakin menipisnya cadangan mineral
melainkan juga resistansi dari sejumlah stakeholder, dan terakhir adalah resistansi dari
masyatakat dan komunitas lokal. oleh sebab itu banyak hal perlu dibenahi mengatasi
kerumitan masalah ini. Dai satu sisi kalangan bisnis tambang dan migas perlu banyak
berbenah dengan mengembangkan dan mempraktikkan etika sosial dan etika bisnis secara
lebih bijak dan bertanggung jawab. Di sisi lain masyarakat dan stakeholder sosial-seperti
Pers, NGO, asosiasi, komunitas lokal-perlu mengembangkan sistem dan mekanisme kontrol
yang lebih konsturktif namun efektif dalam melihat, menilai dan mengoreksi korporasi jika
melakukan penyimpangan dan pelanggatan, tidak hanya secara legal namun juga secara
sosial. Pada pokoknya, fenomena global yang terus menguat adalah, bersamaan dengan
meningkatnya demokratisasi (politik) dan liberalisasi (ekonomi), maka posisi dan peran
masyarakat dan komunitas lokal cenderung semakin kuat baik terhadap negara maupun
terhadap korporasi lintas negara (transnational corporation). Cukup banyak kasus
7
8. Socially Responsible Corporation
menunjukkan gejala ini, seperti kasus Ogoni di Nigeria, OK Tedi di PNG, Teluk Buyat di
Sulawesi Utara, serta masih banyak contoh lain. Harus diperhitungkan bahwa komunitas
lokal dalam beberapa kasus mampu menunjukkan kemampuannya dalam melakukan
resistansi secara efektif terhadap korporasi (TNC) dalam industri tambang dan migas yang
dirasakan sangat merugikan mereka. Umumnya resistansi masyarakat merupakan respons
komunitas berkenaan dengan tiga hal, yakni 1) jika terjadi injustice (secara politik dan hak
asasi), 2) inequality (secara ekonomi) dan 3) unsustainable (secara ekologis). Implikasi
teoretiknya, pendekatan srtukturalis seperti mazhab Dependencia (Gunder Frank dan
Cardoso) dan world sytem (Walletstein) perlu direvisi kembali menyikapi perubahan
mendasar dari gerakan yang bersifat grassroot dan local dalam dekade terakhir (So dan
Suwasono, 1991). Bahwa secara politik dan ekonomi global tidak selalu dapat mendominasi
local, melainkan pula dapat sebaliknya local mampu mengoreksi global. Legitimasi sosial
dari masyarakat dan komunitas lokal, dengan demikian, sangat memengaruhi berkembang-
tidaknya operasi industti dan korporasi tambang di Indonesia.
Tanggung Jawab Sosial Korporasi
Dengan semakin kompleksnya permasalahan sosial yang dihadapi industri tambang
dan migas maka korporasi dituntut untuk bertindak lebih arif dan bijak “secara sosial” dalam
bentuk sejumlah tangung jawab sosial. Tanggung jawab korporasi secara bisnis adalah tetap
menciptakan keuntungan, tanggung jawab secara legal mematuhi perundangan dan peratuan
yang berlaku, tanggung jawab secara lingkungan adalah turut melestarikan lingkungan (Elliot
2003), maka tangung jawab secara sosial kerap disebut corporate sosial rerponsibility (CSR)-
adalah korporasi berkewajiban untuk turut menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat
sekaligus secara bersamaan membangun relasi saling mendukung antara korporasi dengan
masyarakat di sekitarnya (Dennis, 2007; Freeman, 2005; Bartkus, 2002; Kotler, 2005; Saiia,
2003). Perlu digarisbawahi, kata turut berarti menempatkan korporasi bukan sebagai aktor
utama melainkan aktor pendukung namun berpartisipasi secara aktif. Korporasi pada industri
tambang dan migas dituntut memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar kepedulian-terhadap
masyarakat, utamanya masyarakat sekitar operasi tambang, karena sifat industial spesificsnya
yang eksploitatif terhadap sumber alam dan ekologi lokal. Secara bisnis, implikasi penting
dari tantangan dan masalah sosial adalah korporasi perlu melakukan tindakan lebih dari
sekadar filantropi terhadap lingkungan sosial. Lebih jauh dari itu adalah secara etik dan
normatif korporasi dituntut melakukan tindakan nyata dan langsung yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya di sekitar lingkungan sosialnya. Sebagai
8
9. Socially Responsible Corporation
imbal balik dari CSR korporasi adalah terciptanya social legitimacy (legitimasi sosial), yakni
keabsahan sosial berupa dukungan dan bahkan berupa proteksi-masyarakat atau komunitas
lokal terhadap keberadaan dan kegiatan korporasi karena keberadaan dan kegiatannya
dirasakan bermanfaat oleh mereka (Hechter, 2003). Akan lebih baik lagi jika komunitas bisa
terintegrasi (menyatu) dengan industri tersebut, sehingga keberhasilan bisnis merupakan
keberhasilan komunitas dan sebaliknya. Hal demikian masih sangat langka dalam industri
tambang dan migas.
Secara filosofis, konsep tanggung jawab sosial dimaksudkan lebih dari sekedar
“kepedulian” korporasi terhadap stakeholder sosialnya atau masyarakat secara umum. Secara
substantif, institusi bisnis diformalisasikan dan didukung oleh negara untuk berkembang
karena diharapkan dapat menghasilkan manfaat luas dari sekadar untuk menciptakan profit
bagi korporasi dan pembayaran pajak. Secara inherent-apa pun bentuk bisnisnya selalu
terkandung sifat “tamak” dalam perilaku dan transaksi pasar, sehingga perilaku bisnis dan
tindakan korporasi perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan pihak lain bahkan
diarahkan untuk dapat memberikan dampak kesejahteraan secara luas. Dalam kenyataannya
“pasar sempurna” seluruh pihak terlibat memperoleh keuntungan yang sama sulit terjadi
karena terdapat perbedaan informasi, pengetahuan dan kekuasaan dalam transaksi ekonomi,
baik di sektor produksi maupun konsumsi. Karenanya, selain dibuat sistem aturan ekonomi
yang mengatur perilaku pasar secara ekonomi, juga dibutuhkan tersedianya seperangkat
aturan sosial-kerap disebut etika sosial yang diperlukan untuk mengatur perilaku bisnis dan
korporasi sedemikian rupa agar tercipta keadilan, kesetaraan dan keberlanjutan dalam proses
ekonomi, baik untuk bisnis itu sendiri maupun untuk komunitas sekitar dan masyarakat luas.
Konsep “kontak sosial” digunakan sebagai sebuah penjelasan mengapa diperlukan tanggung
jawab sosial sedemikian rupa (Rousseau, 1968). Sejatinya tanggung jawab sosial korporasi
merupakan sebuah “kesepakatan” antara pihak bisnis dengan masyarakat atau komunitas
yang terpengaruh atau signifikan terhadap bisnis tersebut (Prayoga, 2008a). Hal demikian
berlaku khususnya pada industti ekstraktif yang mengeksploitasi sumber alam. Dalam
pemahaman ini, tanggung jawab sosial merupakan sekumpulan etika sosial, yang terbentuk
dari sebuah proses “kontrak sosial” yang melekat di dalam kegiatan sebuah industri-
khususnya industri tambang dan migas yang mengeksploitasi sumber alam pada sebuah
wilayah tertentu-agar tercipta proses dan hubungan antara bisnis dengan masyarakat secara
berkeadilan, berkesetaraan dan berkelanjutan.
Karena sifatnya sebuah “kontrak sosial” maka tanggung jawab sosial idealnya lebih
dari sekadar “kepedulian” atau filantropi, melainkan sebuah komitmen korporasi untuk antara
9
10. Socially Responsible Corporation
bertangung jawab terhadap para stakeholdernya, serta turut menciptakan kesejahteraan
masyarakat secata luas (freeman, 2005). Secara sosial, korporasi hanya memiliki makna liku
diterima kehadirannya (social legitimacy) di tengah-tengah masyarakat, dan hanya dapat
berkembang jika mendapat dukungan dari masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang
signifikan terhadap korporasi seperti dukungan komunitas lokal terhadap korporasi tambang
dan migas. Inilah makna penting dari social legitimacy yang merupakan sebuah mutual
benefit yang layak diperoleh korporasi atas tanggung jawab sosial yang dilakukannya,
sementara komunitas layak memperoleh peningkatan kesejahteraan dari kegiatan korporasi.
Untuk menciptakan sebuah reciprocal beneficial relationship antara, korporasi dan
masyarakat, maka konsep tanggung jawab sosial idealnya harus diperhitungkan sebagai
bagian dari “biaya produksi”. Artinya, biaya tanggung jawab sosial korporasi (CSR)
merupakan bagian dari biaya produksi karena industri dan korporasi membutuhkan legitimasi
sosiai dalam proses produksi tersebut, khususnya pada industri tambang dan migas yang
mengeksploitasi sumber alam lokal. Deviden, pajak dan royalti adalah bagian dari tanggung
jawab bisnis dan legal, tidak dapat dikelompokkan sebagai komponen tanggung jawab sosial
karena penerimanya adalah para stakeholder (untuk deviden) dan negara (untuk paiak dan
royalti). Oleh sebab itu dapat dipahami jika ada tekanan bahwa masyarakat lokal “merasa”
berhak menerima program "tanggung jawab sosial korporasi". Hal seperti ini menjadi logis
khususnya berkenaan dengan hak ekonomi dan sosial masyarakat dan komunitas lokal atas
sumber alam lokal, yang secara politik dan sosial-budaya semakin menguat dalam atmosfer
dan sistem politik yang demokratik.
Peran dan fungsi tanggung jawab sosial memang tidak setara dengan peran dan fungsi
tanggung jawab bisnis atau tanggung jawab legal yang sudah secara formal tertulis dalam
akte pendirian korporasi sebagai badan hukum serta sejumlah perundangan. Tanggung jawab
bisnis tentunya menjadi pertimbangan utama dalam kalkulasi dan tindakan korporasi, bisnis
tidak dapat berjalan tanpa menghasilkan profit. Tanggung jawab legal tentunya menjadi
acuan normatif utama korporasi dalam kebijakan dan tindakannya, korporasi tidak dapat
dibiarkan bertindak jika melanggar hukum. Oleh sebab itu, walaupun sudah ditetapkan dalam
UU No. 40/2007 Pasal 74, tanggung jawab sosial lebih merupakan sebuah “fakta sosial”
daripada “fakta hukum” atau “fakta ekonomi”. Artinya tanggung jawab sosial ada dan
signifikan-bahkan semakin signifikan perannya akhir-akhir ini namun belum disepakati
bagaimana operasionalisasi secara formal dan implikasi finansialnya. Peraturan Pemerintah
yang mengatur aplikasi pasal dalam UU tersebut belum dirumuskan sehingga praktik
tanggung jawab sosial masih cenderung dihindari oleh kalangan bisnis, dan faktanya memang
10
11. Socially Responsible Corporation
Pasal 74 tersebut masih menjadi sebuah “hiasan” hukum saja. Namun demikian, secara
empirik dipraktikan atau tidak, tanggung jawab sosial sangat menentukan legitimasi sosial
korporasi, khususnya di hadapan stakeholder komunitas lokal. Dapat dibuktikan bahwa pada
industri tambang, minyak dan gas, jumlah dan intensitas dalam konflik yang terjadi antara
korporasi dengan komunitas di sekitarnya menurun tajam dalam kurun 10 tahun terakhir
setelah korporasi menggelar program CSR dan community development (CD). Artinya,
program tanggung jawab sosial dan khususnya CD sebagai “fakta sosial” efektif dapat
menurunkan dan meredam “tekanan” masyarakat sekitar terhadap korporasi. Fakta ini
merupakan salah satu indikasi bagaimana signifikansi CSR bagi praktik tambang, masih
terdapat banyak signifikansi lain dan praktik tanggung jawab sosial seperti meningkatnya
citra perusahaan, wujud dari legal compliance, sebagai bentuk komitrnen sosial korporasi,
sebagai bentuk partisipasi korporasi dalam mensukseskan MDG's, dan masih banyak lagi,
yang semuanya akan menghasilkan manfaat balik bagi korporasi bersangkutan.
Memahami Komunitas Lokal
Komunitas sosial, atau dalam konteks industri tambang dan migas ketap disebut
komunitas lokal, merupakan sebuah unit sosial dalam wilayah spasial tertentu yang di
dalamnya terdiri atas sekumpulan anggota yang memiliki identitas dan diikat oleh kesadaran
bersama serta melakukan interaksi antarmereka. Definisi klasik tentang komunitas lokal
biasanya dilengkapi dengan adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan secara mandiri
dan otonom, baik secara ekonomi, budaya dan politik (Theodorson and Theodorson, 1979).
Narnun secara empirik definisi komunitas sepeni ini sudah sulit ditemukan karena
perkembangan kompleksitas dan peradaban sosial menyebabkan ketergantungan dan
pengaruh antarkelompok sosial semakin tinggi sehingga sulit dicari komunitas sosial yang
sungguh-sungguh otonom dan mandiri. Salah satu ciri pokok sosiologis yang terdapat dalam
komunitas lokal adalah adanya kelekatan sosial (social cohesivenees) antarwarga komunitas,
yang masih dapat diidentifikasi dan fungsional dalam berbagai komunitas lokal (Green,
2002). Komunitas lokal biasanya masih memiliki tingkat cohesivenees yang sangat tirggi
karena identitas dan tingkat kesadaran kelokalannya masih sangat kuat sebagai sebuah
warisan sosial. Solidaritas sosiai antarwarga komunitas sangat tinggi karena sifat komunalitas
lebih dominan daripada individualitas, komunitas merniliki kekuatan untuk mengatasi
individu. Pada komunitas lokal yang terpencil, sifat lokalitas sangat penting dan menentukan
dalam interaksinya dengan korporasi, karena wilayah spasial secara budaya dikonversikan
dengan penguasaan wilayah berdasar suku atau clan. Di Papua misalnya, unit terkecil dalam
11
12. Socially Responsible Corporation
struktur masyarakat berupa sebuah suku kecil atau clan namun banyak jumlahnya sehingga
secara keseluruhan Masyarakat Papua merupakan agregasi (kumpulan) dari sejumlah clan
yang maiemuk. Dalam konteks ini, pengertian komunitas lokal tradisional secara umum dapat
diidentikkan dengan sebuah clan yang memiiiki kelekatan sosial tinggi dan relatif mandiri
secara ekonomi dan budaya.
Secara sosial, hakikat utama dari sebuah komunitas adalah “kelekatan sosial” yang
dalam ungkapan awam kerap disebut dengan paguyuban, kolektivitas, atau bentuk aktifnya
adalah gotong-royong. Pada banyak komunitas lokal yang masih tradisional sangat jelas
bagaimana kolektivitas mengatasi individu sehingga secara struktural ekualitas antarwarga
secara harfiah diwujudkan bentuk kesetaraan dalam kepemilikan ekonomi dan aktivitas sosial
(Ife, 1995; 2008). Dalam sttuktur sosial komunitas sepeti ini, setiap warga dijamin
pemenuhan kebutuhan ekonominya secara sama dan merata, sehingga relatif tidak ada satu
warga yang memiliki hal lebih atau kurang dari lainnya. Komunitas lokal tradisional seperti
di Badui Dalam di Jawa Barat, Orang Rimbo di Jambi, Dayak Pedalaman di Kalimantan, atau
clan di Lembah Baliem di Papua, secara relatif bercorak seperti ini. Bahkan sifat egaliter
demikian rnenonjol, mungkin sebagai konsekuensi logis dari wuiud ekualitas antarsesama
warga . Implikasi penting dari kelekatan sosial komunitas ini adalah bahwa, konsep justice,
equality dan sustainability secara inherent sudah melekat di dalam budaya dan struktur sosial
mereka dan bersifat fungsional serta sudah berlangsung secara turun-temurun. Akibatnya,
komunalitas dan kelekaan sosial seperti ini menghasilkan rasa solidaritas dan empati
antarwarga sangat tinggi. Lebih dari itu, praktik ekualitas dan keadilan yang sudah melekat
dalam budaya mereka menghasilkan pandangan yang sangat egaliter tentang pemilikan
sumber ekonomi dan distribusinya.
Karena kelekatan sosial dan ekualitas ini, maka konsep “lokalitas” dipahami secara
sepihak oleh komunitas bahwa segala potensi dan sumber ekonomi yang terlingkup dalam
wilayah komunal mereka klaim (secara budaya dan politik) sebagai “milik” atau minimal
“prioritas” untuk warga mereka. Dengan demikian maka sumber alarn-tembaga, timah, nikel,
batu bara, minyak, gas dan mineral lainnya-yang terkandung di bawah tanah diakui sebagai
“milik” komunitas, atau setidaknya “utamatanya” untuk komunitas setempat. UUD ‘45 Pasal
33 tentang “bumi dan segala isinya sebagai milik negara” tidak sepenuhnya socially
legytimate karena mereka merasa sebagai “pemilik wilayah” dan karenanya kandungan
ekonomi di wilayah tersebut menjadi milik mereka. Pemahaman lokal seperti ini
menunjukkan bahwa komunitas lokal menganggap dirinya sebagai owner dan bukan sebagai
stakeholder atas sumber ekonomi tersebut. Oleh sebab itu, jika sumber alam tersebut
12
13. Socially Responsible Corporation
dieksploitasi oleh korporasi, maka komunitas lokal merasa sumber ekonominya “diambil”
oleh korporasi tanpa kesepakatan terlebih dahulu. Maka agar operasi dan proses eksploitasi
korporasi disepakati oleh komunitas maka perlu didukung oleh legitimasi sosial yang dapat
dibangun melalui berbagai cara dan bentuk mekanisme ekonomi dan sosial (Prayogo, 2008b).
Dengan demikian legitimasi sosial merupakan bentuk pengakuan komunitas atas
keberadaan dan kegiatan korporasi melakukan eksploitasi sumber alam lokal. Secara sosial,
keberadaan dan aktivitas korporasi tidak hanya membutuhkan keabsahan legal (hukum)
melainkan juga-justru kerap sangat menentukan dalam praktiknya-adalah keabsahan sosial,
penerimaan komunitas atas korporasi untuk berada dan melakukan kegiatan di kawasan
tambang tersebut. Keabsahan sosiai bukanlah sekadar sebuah lisence to operate (Warhurst,
2001) melainkan lebih dari itu sebuah “keabsahan sosial”' atas kehadiran dan kegiatan
tambang. Bahkan jika korporasi dapat diterima sepenuhnya maka diperlakukan sebagai
“warga” komunitas yang bersangkutan, secara sosiai terjadi integrasi sosial antara korporasi
ke dalam komunitas bersangkutan. Konsep “warga” secara sosial merupakan bentuk paling
tinggi dari konsep citizenship sebagaimana banyak digunakan dalam manajemen bisnis.
Untuk memperoleh legitimasi sosial maka idealnya komunitas lokal ditempatkan sebagai
salah satu owner dari industri tambang. Namun hal demikian tentu hampir tidak mungkin
dilakukan karena secara legal pemilikan komunitas lokal atas sumber alam tersebut tidak atau
belum diakui oleh negara. Untuk mengatasinya, beberapa korporasi tambang melakukan
proses divestasi dengan memberikan kesempatan Pemertintah Daerah (kabupaten) membeli
(kembali) sebagian saham pemilikan, seperti yang terjadi pada kasus KPC di Kaltim dan
Nervmont di Sumbawa. Divestasi ini sudah meniadi salah satu ketentuan dalam kontrak
karya penambangan, namun pada beberapa kasus Pemda setempat diberi prioritas untuk
rnemiliki domestic share dari operasi tambang di wilayahnya. Namun konsep “pemilikan
lokal” tidak diakui secara konstitusional oleh negara dan akibatnya komunitas kerap
melakukan tekanan terhadap korporasi. Banyak pihak tentunya tidak setuju, namun fakta
sosial seperti inilah yang secara empirik teriadi di sejumlah masyarakat dan komunitas lokal
khususnya setelah reformasi politik 1998 dan Otonomi Daerah 1999.
Salah satu bentuk tekanan komunitas adalah, korporasi dibebani “kewajiban” untuk
turut mengembangkan kesejahteraan komunitas dalam berbagai wuiud dan cara, antara lain
memberi prioritas kesempatan kerja bagi warga lokal dan melakukan program tanggung
jawab sosial (CSR) dan pengembangan komunitas (CD). Program CSR dan CD memang
bukan bentuk konversi atas ”pemilikan komunitas lokal”, namun jika korporasi melakukan
tanggung jawab ini maka komunitas merasa dan menganggap bahwa korporasi memiliki
13
14. Socially Responsible Corporation
tanggung jawab dan partisipasi untuk turut menyejahterakan mereka. Alasan mereka cukup
sederhana, jika pemilikan mereka atas sumber alam tidak diakui, maka korporasi-dan
pemerintah tentunya-turut “bertanggung jawab” atas adanya ketimpangan (inequality)
ekonomi antara warga komunitas dengan warga korporasi akibat kehadiran dan kegiatan
korporasi. Program CSR dan CD, dengan demikian, merupakan “kewajiban” korporasi atau
merupakan “hak” komunitas lokal untuk mendapatkannya (economic redistribusion).
Tentunya, untuk korporasi dan negara (pemerintah) program CSR dan CD jauh lebih masuk
akal dilakukan daripada memenuhi klaim “pemilikan” komunitas lokal atas sumber alam
tersebut. Dengan demikian maka program CSR dan khususnya CD dapat dilihat sebagai
wujud konkret dari sebuah “kontrak sosial” hasil social bargaining untuk menciptakan
legitimasi sosial atas keberadaan dan kegiatan korporasi. Data dari sejumlah hasil penelitian
saya menunjukkan bahwa, sejak sebagian besar korporasi tambang dan migas menggelar dan
mengintesifkan program CSR dan CD maka jumlah dan intensitas konflik menurun secara
sangat signifikan pada hampir seluruh perusahaan, walaupun belum meniadakan sama sekali
sebab dan potensi konfliknya.
Program CSR dan GD
Karena permasalahan yang muncul dalam relasi antara masyatakat dan komunitas
lokal dengan korporasi tambang dan migas sangat mendasar dan kompleks, meraka sangat
mustahil jika keseluhannya dapat diselesaikan oleh hanya semata program CSR dan CD.
Sejatinya permasalahan dalam relasi tersebut berkenaan dengan masalah mendasar tentang
justice, equality, dan sustainability, dan karenanya penyelesaian sempurna hanya dapat
dilakukan jika ketiga konsep tersebut dapat diwujudkan. Namun tentunya sangat sulit
menyelesaikan masalah tersebut karena ketiga sektor-yakni korporasi masyarakat-negara
belum sepakat dengan klaim komunitas lokal tentang konsep “pemilikan lokal”. Oleh sebab
itu, secara strategis fungsi program CSR dan CD adalah secara politik untuk “mengurangi”
tekanan dan kritik sekaligus memberi ruang ekspresi bagi komunitas atas tuntutannya dan
menyajikan win-win solution (Welker, 2009). Secara ekonomi tentunya CSR dan CD
diharapkan dapat memberi alternatif peluang ekonomi dan peningkatan pendapatan warga
komunitas lokal. Program CSR dan CD bukanlah dan tidaklah setara sebagai kompensasi
“pemilikan lokal” atas sumber tambang, melainkan dapat dilihat sebagai bentuk lain dalam
upaya korporasi membangun sebuah “kontrak sosial” alternatif dalam membangun legitimasi
sosial korporasi tambang dan migas di hadapan masyarakat dan komunitas lokal.
14
15. Socially Responsible Corporation
Dalam konteks adanya berbagai kepentingan seperti di atas maka program CSR dan
CD dapat dikelola dengan ragam tujuan dan manfaat baik untuk korporasi maupun
masyarakat dan komunitas lokal atau bahkan pemerintah. Untuk tujuan tersebut program
CSR dan CD tidak dapat dilepaskan dari visi dan misi bisnis korporasi itu sendiri, bahkan
sebaiknya menyatu dan saling mendukung. Program CSR dan CD harus dibangun dan
dielaborasi dari visi dan misi korporasi, sekaligus diintegrasikan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang terdapat di dalam masyarakat. Bagaimanapun juga korporasi akan
berjalan baik dan memperoleh keuntungan optimum jika beroperasi di dalam lingkungan
masyarakat yang sejahtera. Artinya, keuntungan bisnis dan kesejahtetaan masyarakat secara
umum adalah dua hal yang melekat (embeded) dan saling berhubungrn (reciprocal), masing-
masing saling membutuhkan dan menunjang. Oleh sebab itu secara internasional tidak
mengherankan jika CSR menjadi sebuah gerakan global dengan memprornosikan MDG’s
dalam salah satu agendanya. Lebih dari itu, perumusan dan pengembangan CSR serta bentuk
aplikasinya telah menjadi upaya internasional yang terus diupayakan menjadi acuan untuk
penilaian manajemen korporasi melalui ISO 26000 (ISO 26000, draft 3 dan 4.1). Secara
nasional pemerintah telah memasukkan kewajiban korporasi untuk melaksanakan CSR dalarn
UU pendirian perseroan terbatas (Pasal 74, UU 10/2007), walaupun aturan ini belum
operasional karena belum dibuat peraturan pelaksanaannya. Dengan berbagai kepentingan
dan kebutuhan yang muncul baik secara global melalui MDG’s dan ISO 26000, secara legal
melalui Pasal 74 UU 40/2007 dan kepentingan bisnis korporasi untuk memperoleh corporate
image yang baik dan mendapat dukungan sosial yang kuat, dan kepentingan masyarakat dan
komunitas untuk meningkatkan kesejahteraannya, maka program CSR dan CD harus dikemas
sedemikian rupa untuk dapat mengakomodasi keseluruhan kepentingan tersebut. Idealnya
keseluruhan kepentingan tersebut diakomodasi secara proporsional. Namun jika tidak
mungkin keseluruhanya diwujudkan, korporasi perlu membuat prioritas secara proporsional
kepentingan mana yang perlu didahulukan. Secara bisnis tentunya kepentingan corporate
image sangat penting sehingga promosi kegiatan CSR dan CD perlu pula dilakukan. Narnun
jika terjadi bencana alam misalnya, maka program (sosial) emergency penanggulangan
bencana harus didahulukan sementara promosi bisnis dapat dilakukan kemudian. Atau
lainnya, jika tingkat kesejahteraan masyarakat dan komunitas sekitar sangat rendah sehingga
terdapat kesenjangan tajam antara warga komunitas dengan korporasi, maka korporasi perlu
turut membantu peningkatan kesejahteraan misalnya dengan membantu pelayanan kesehatan,
pendidikan, prasarana publik dan lainnya, atau bahkan menyediakan program income
generating. Dalam konteks dua kondisi di atas maka program CSR dan CD korporasi seperti
15
16. Socially Responsible Corporation
itu dapat dikatakan sudah sejalan dengan amanat MDG's, ISO 26000 serta ketentuan
sebagaimana tertera dalam Pasal 74 UU 40/2007. Secara singkat, dapat disebutkan bahwa
substansi pokok dari program CSR adalah cermin dari komitmen korporasi karena
merupakan elaborasi dari visi dan misi korporasi, sekaligus pengakuan dan akomodasi dari
kebutuhan rnasyarakat. Secara normatif semua hal tersebut sejalan dengan amanat MDG's,
amanat ISO 26000 dan UU 40/2007. Oleh sebab itu dapat ditegaskan sekali lagi bahwa
pengemasan isi dan pengelolaan program CSR dan CD mencerminkan bagaimana komitmen
dan kebutuhan (bisnis) korporasi terhadap masalah sosial, baik pada tingkat global, nasional
maupun lokal.
Tentunya program CSR dan CD harus didukung oleh dana yang memadai, organisasi
yang kuat serta kebijakan manaiemen dan dukungan korporasi keseluruhan sehingga terbebas
dari hambatan internal yang dapat melemahkannya. Namun demikan dalam praktiknya
korporasi memiliki keterbatasan dana dan kemampuan organisasi untuk melakukan CSR dan
CD secara besar-besaran. Oleh sebab itu program CSR dan CD harus disejajarkan
“kemampuan” finansial dan manajemen. Namun “kemampuan” finansial ini sangat erat
dengan ,”komitmen” korporasi terhadap masalah sosial, semakin tinggi komitmen maka akan
semakin besar porsi budget untuk kegiatan CSR dan CD. Salah satu indikator penting melihat
bagaimana komitmen korporasi adalah dali budget korporasi untuk CSR dan CD. Budget ini
bukan dilihat dari besarannya, melainkan bagaimana kebijakan dana CD ditetapkan: yakni
ditetapkan secara sepihak oleh manajemen (sebagai bentuk kedermawanan sosial saja disebut
biaya filantropi), ditetapkan berdasarkan persentase keuntungan (disebut biaya etika sosial),
ditetapkan dalam persentase ,biaya produksi (disebut biaya produksi), atau dana CSR dan CD
sudah menyatu dalam dana bagi hasil keuntungan dalam bentuk dividen atau sejenisnya
karena komunitas merupakan salah satu pemilik (korporasi dan komunitas sama posisinya
sebagai pemilik). Besar-kecilnya dana tidak menjadi permasalahan utama, lebih penting
adalah perbedaan cara penetapan porsi budget sehingga menunjukkan bagaimana komitmen
korporasi terhadap CSR dan CD serta masalah masyarakat secara umum. Cara bagaimana
penetapan porsi budget ini mencerminkan kembali visi dan misi bisnis korporasi, semakin
peduli secara sosial akan semakin tinggi komitmen korporasi dan semakin proporsional
budget CSR dan CD. Dalam konteks ini, penetapan budget CSR dan CD menunjukkan
bagaimana komitmen dan kebijakan korporasi terhadap masalah sosial yang dihadapi
korporasi.
16
17. Socially Responsible Corporation
Evaluasi Kinerja CSR dan CD
Jika komitmen korporasi sudah kuat, substansi program sudah tepat dan lengkap,
dukungan dana dan organisasi memadai, pengelolaan kegiatan program sudah baik dan
seterusnya, maka perlu dinilai bagaimana hasil dari program CSR dan CD tersebut. Berhasil
gagalnya program CSR dan CD memiliki nilai strategis bagi banyak pihak. Untuk korporasi
keberhasilan program CSR dan CD akan meningkatkan legitimasi sosial korporasi di hadapan
masyarakat dan komunitas lokal, meningkatkan citra korporasi dan meningkatkan dukungan
publik terhadap korpotasi dan produknya, dukungan dan pengakuan pemerintah (Wood,
1991; Schwatz, 1999; Saiia, 2003; Orlitzky, 2001; Neville, 2006; May, 2007). Untuk
masyarakat dan komunitas lokal keberhasilan program CSR dan CD dapat membantu
rneningkatkan kesejahteraan, menyerap tenaga kerja lokal dan melestarikan lingkungan dan
kenyamanan tinggal bagi kornunitas lokal. Untuk pemerintah, keberhasilan program berarti
mengurangi beban keria dan tugas pemerintah terhadap rnasyarakat dalam hal
kesejahteraan,lingkungan dan penyediaan infrastruktur. Untuk memastikan apakah
keseluruhan atau sebagian saja hasil tersebur dapat dicapai maka diperlukan kegiatan evaluasi
kinerja CSR dan CD. Perlu drsadari bahwa keberhasilan program CSR dan CD tidak hanya
ditentukan oleh faktor korporasi saja, melainkan juga masyarakat dan pemanfaat, serta
dukungan dan bantuan nyata pemerintah. Untuk itulah evaluasi program meniadi penting
dilakukan guna melihat kekuatan dan kelemahan, kesesuaian langkah kerja dengan tujuan,
serta bagaimana menyempurnakan program untuk masa selanjutnya.
Evaluasi merupakan penilaian atas capaian sebuah kegiatan yang direncanakan.
Evaluasi dapat dibedakan dengan monitoring dan appraisal atau penilaian singkat (Dale,
2004). Secara substansial kegiatan evaluasi lebih komprehensif daripada monitoring dan
appraisal. Jika terhadap program CSR dan CD dilakukan evaluasi, rnaka hasil program dapat
menjadi cermin bagaimana tingkat keberhasilan program tersebut dicapai. Untuk itu evaluasi
harus dilakukan secara independent, sebailiknya oleh pihak ketiga yang tidak memiliki
kepentingan terhadap penilaiannya, sehingga dapat netral dan objektif. Secara internal, hasil
evaluasi bermanfaat untuk perbaikan internal, khususnya jika terdapat kelemahan pada
internal organisasi dan kesulitan yang dialami. Secara ekstemal, hasil evaluasi bermanfaat
untuk promosi hasil kegiatan CSR untuk peningkatan corporate image, dan tentunya
meningkatkan nilai jual saham untuk korporasi yang sudah go public. Dengan demikian
kegiatan evaluasi program merupakan kegiatan yang penting dalam CSR dan CD serta
pengelolaan masalah sosial korporasi secara umum.
17
18. Socially Responsible Corporation
Seperti sudah disinggung di atas, tingkat keberhasilan program CSR dan CD dapat
beragam tergantung dari dimensi dan kepentingan siapa program tersebut diukur. Dari sisi
kepentingan korporasi maka keberhasilan CSR dan CD adalah jika dapat meningkatkan
legitimasi sosial dan dukungan publik (dan komunitas lokal) terhadap korporasi dan
produknya, termasuk di dalamnya corporate image dan stock price (harga saham). Bagi
masyarakat dan komunitas lokal, keberhasilan CSR dan CD adalah jika mereka merasakan
secara nyata manfaat ekonomi (kesejahteraan) dan sosial-budaya (integrasi sosial) sehingga
diperoleh legitimasi sosial dan dukungan (proteksi) masyarakat yang tinggi, bahkan
meniadakan potensi konflik (Welker, 2009). Bagi pemerintah, keberhasilan program CSR
dan CD dilihat dari seberapa besar beban pekerjaan pemerintah dapat diperingan dan
dipenuhi oleh kegiatan CSR dan CD. Secara keseluruhan penilaian terhadap keberhasilan
program dapat beragam, dan oleh sebab itu penetapan indikator keberhasilan program sangat
menentukan, apakah indikatornya ditekankan kepada kepentingan korporasi, masyarakat
penerima atau pemerintah. Selain itu perlu dibatasi pada tingkatan mana penilaian dilakukan,
apakah pada tingkat input, process, output, outcome atau impact program. Penilaian pada
tingkat input dan proses lebih mudah dilakukan karena hanya melihat tercapai-tidaknya input
program seperti dana dan logistik, serta proses penyelengaraan kegiatan CSR. Pada tingkat
ouput penilaian menjadi lebih kompleks karena sangat tergantung pada bagaimana sasaran
yang hendak dicapai program, apakah sejalan dan dapat diwujudkan. Pada tingkat outcome
penilaian program bermakna lebih komprehensif karena menunjukkan bagaimana capaian
program secara keseluruhan disejajarkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Secara teknis,
ukuran keberhasilan program biasanya dilihat dari tingkat outcome ini. Namun akan sangat
baik jika hasil program dilihat pula dari impact-nya, yakni sejauh mana dampak positif
program dapat dirasakan, baik oleh pihak korporasi, masyarakat maupun pemerintah.
Keseluruhan tingkat penilaian ini merupakan jangkauan pengukuran keberhasilan program
CSR dan CD, sejauh mana pengukuran keberhasilan hendak dinilai. Untuk mengukur hal
tersebut maka, indikatot besar yang bersifat general perlu didefinisikan dan kemudian
dielaborasi ke dalam indikator yang measurable secara objektif, sehingga secara umum
keberhasilan CSR dan CD dapat diungkap dengan dukungan data dan penjelasan yang kuat.
Bagaimanapun juga, keberhasilan pengelolaan masalah sosial oleh korporasi hanya dapat
ditunjukkan jika tersedia alat bukti kuat yang dapat diperoleh melalui kegiatan evaluasi
program CSR dan CD.
18
19. Socially Responsible Corporation
Mengelola Masalah Sosial: Sebuah Tantangan dan Peluang Bisnis
Uraian di atas menjelaskan secara umum namun runut bagaimana interelasi antara
permasalahan dalam bisnis tambang dan migas dengan masyarakat dan komunitas lokal,
tantangan dan peta masalah sosial, bagaimana memahami masyarakat dan komunitas lokal,
apa dan bagaimana tanggung jawab sosial korporasi, bagaimana memforrnulasi program CSR
dan CD serta bagaimana melakukan evaluasi untuk melihat keberhasilan program. Pada
hakikatnya, hubungan antara bisnis (dan korporasi tambang dan migas) dengan masyarakat
dan komunitas lokal adalah hubungan saling memengaruhi (reciprocal). sccara timbal balik
satu pihak memengaruhi pihak yang lain, sehingga hubungan dapat berupa “saling dukung”
atau sebaliknya “saling tekan” (konflik) (Welker, 2009). Tentunya yang diharapkan oleh
kedua pihak adalah hubungan “saling dukung”. Untuk mewujudkan keadaan ini perlu upaya
pengelolaan relasi sosial antar keduanya. Dalam konteks ini, korporasi memiliki kekuatan
dan kemampuan jauh lebih besar untuk membangun relasi dengan masyarakat dan komunitas
lokal daripada sebaliknya. Lebih dari itu khususnya dalam industri tambang dan migas,
karena komunitas lokal umumnya penduduk asli yang berada lebih dahulu di lokasi tersebut
daripada korporasi, maka kerap mereka merasa sebagai “pemilik wilayah dan sumber alam”
dan korporasi dianggap sebagai “pendatang dan eksploitator sumber alam mereka”. Dalam
posisi demikian maka konsekuensinya kewajiban untuk membangun relasi lebih besar
terletak pada korporasi daripada sebaliknya, sehingga tanggung jawab korporasi harus lebih
dahulu ada daripada komunitas.
Relasi antara korporasi dengan masyarakat dan komunitas lokal merupakan relasi
yang dinamis dan lebih dominan dilihat sebagai relasi sosial-ekonomi daripada sosiai-budaya
dan sosialpotitik. Dinamika perubahan persepsi dan sikap, khususnya masyarakat dan
komunitas lokal terhadap korporasi, sangat ditentukan oleh bagaimana korporasi
menempatkan dan bertindak terhadap kepentingan ekonomi masyarakat dan komunitas
tersebut. Artinya, persepsi dan sikap masyarakat dan komunitas merupakan respons atas
tindakan korporasi terhadap kepentingan ekonomi mereka. Akibatnya, korporasi lebih
memiliki “kewaiiban” secara sosial karena kemampuan lebih secara ekonomi untuk
mengambil inisiatif dan tindakan untuk membangun relasi yang konstruktif baik secara sosial
maupun secara bisnis. Dalam sejumlah kasus konflik antara korporasi dengan komunitas
lokal, terungkap bahwa komunitas selalu berposisi sebagai ofender karena merasa sebagai
pihak yang dirugikan-atau tidak memperoleh keuntungan--dalam berbagai bentuk oleh
kehadiran dan kegiatan korporasi, sementara korporasi sebagai defender karena dianggap
sebagai pihak yang menyebabkan kerugian tersebut (Prayogo, 2008). Oleh karenanya dapat
19
20. Socially Responsible Corporation
dipahami jika korporasi dibebani tanggung jawab pertama dan utama untuk mengambil
inisiatif membangun relasi tersebut sebelum pemerintah dan kornunitas.
Dalam konteks bisnis khususnya industri ekstraktif, resistansi komunitas dan
masyarakat merupakan tantangan sekaligus peluang untuk membangun sebuah industri yang
menguntungkan secara finansial sekaligus kuat mendapat dukungan sosial dan politik.
Industri ekstraktif kerap mendapat penolakan keras dari berbagai pihak karena dituding oleh
beberapa pihak lebih banyak menimbulkan “mudarat” daripada “manfaat” bagi masyarakat
dan komunitas lokal apalagj terhadap lingkungan (Rusnadi, 2003). Tantangan karena
sebagian besar korporasi tambang dan migas mendapat penolarkan dari masyarakat lokal
dalam berbagai bentuk dan intensitas, sehingga dapat dipastikan bahwa korporasi akan selalu
berhadapan dengan masalah ini, bukan menghindarinya. Disebut peluang karena sumber alam
dengan cadangan yang menguntungkan hanya terdapat pada lokasi tertentu dan tidak bisa
dialihkan ke lokasi lain, sehingga peluang bisniss bukan terletak semata pada penemuan
cadangan mineral dan sumber energi melainkan juga memperoleh legitimasi dari masyarakat
dan komunitas lokal untuk melakukan eksploitasi.
Lebih dari itu, tantangan industri tambang dan migas sekarang ini adalah, selain
menghadapi semakin menipisnya cadangan sumber alam juga semakin meningkatnya
kesadaran masyarakat secara umum terhadap tingkat kerusakan lingkungan yang sedang
berjalan (Ostensson, 1996; Elliot, 2003)). Global climate change telah membuka mata
banyak penduduk dunia betapa besar kerugian dan beban lingkungan yang harus ditanggung
warga masyarakat, khususnya masyarakat pemilik hutan tropis seperti Indonesia sebagai
paru-paru dunia (Schawtz, l999). Sementara itu, tingkat konsumsi energi dan sumber alan
terbesar adalah pada masyarakat negara-negara industri maju yang justru tidak memiliki
hutan dan cadangan sumber energi bedimpah. Ketimpangan Utara-Selatan bukanlah sekadar
ketimpangan kesejahteraan melainkan ketimpangan power yang sangat besar di Utara
sementara beban dan konsekuensi negatifnya lebih banyak dirasakan oleh masyarakat di
Selatan. Oleh sebab itu sangat logis jika banyak gerakan masif dari kalangan civil society
maupun grassroot masyarakat melakukan penolakan secara langsung terhadap operasi
tambang dan migas korporasi milik negara-negara Utara. Lebih buruk lagi, kontrol terhadap
harga dan distribusi hasil tambang dan migas tidak dipegang oleh negara-negra penghasil
melainkan lebih dominan oleh negara-negara konsumen. Bahkan banyak negara,
nonpenghasil justru menentukan suplai dan harga hasil tambang dan migas karena posisinya
sebagai “warga istimewa” seperti negara.-negara G-7. Ketimpangan dan ketidakadilan
meniadi alasan mendasar penolakan ini sementara keuntungan finansial dan kesejahteraan
20
21. Socially Responsible Corporation
hasil dari eksploitasi dinikmati oleh masyarakat di Utara, sementara konsekuensi dan beban
tanggung jawab lingkungan dialamatkan kepada masyarakat di Selatan.
Peta relasi antar negara penghasil dan konsumen hasil tambang dan migas memang
terus bergerak Cina dan India dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi mulai
menunjukkan kemampuannya untuk mengubah peta dominasi indusri tambang dan Migas.
Untuk memenuhi kebutuhan energi karena pertumbuhan ekonomi yang demikian pesat,
kedua negara mulai menambah wilayah-wilayah penghasil sumber alam di Asia, Eropa Timur
dan Amerika Latin. Kesepakatan Cina dengan Rusia untuk membangun jaringan pipa minyak
dan gas sepaniang 1.000 km melintas kedua negata, menunjukkan demikian seriusnya
kompetisi “perebutan” dominasi dalam industri tambang dan migas. Di Indonesia, Cina dan
India sudah masuk ke dalarn industri migas dan batubara melalui sejumlah korporasinya.
Bahkan Cina akan masuk lebih jauh ke industri biofuel khususnya kelapa sawit di Papua
dengan program sejuta hektar menggandeng perusahaan lokal.
Sebaliknya, Amerika melakukan langkah strategis dengan melakukan merger,
.sejumlah korporasi migasnya, seperti Chevron dan Conoco Phillips, hingga menjadi lebih
besar dan kuat bersaing menghadapi munculnya raksasa baru dari Cina, India, bahkan
Malaysia seperti Petronas. Kompetisi antarnegra melalui korporasinya dalam industri
tambang dan migas semakin kuat, sementara cadangan sumber alarn semakin menipis. Jika
tingkat konsumsi terus meningkat, maka pasti nilai ekonomis sumber energi dan tarnbang
tersebut akan semakin tinggi. Hanya korporasi yang kuat mampu bertahan dan memenangkan
“pertarungan” tetsebut. Untuk memenangkannya tidak hanya secara internal perlu dilakukan
pembenahan manajemen melalui merger, melainkan juga secara eksternal korporasi harus-
tidak dapat dihindari-membangun relasi dan citra yang baik terhadap selutuh stakeholder
sosialnya, khususnya masyarakat dan komunitas lokal di mana cadangan mineral tersebut
berada. Salah satu tantangan terbesar korporasi dalam industri tambang dan migas adalah
membangun relasi sosial yang baik dengan masyarakat di mana lokasi cadangan mineral
terkandung.
Program CSR dan CD hanya salah satu bentuk yang empirik tentunya selain upaya
korporasi secara bisnis seperti melakukan operasi bussiness intelegent-yang perlu dilakukan
oleh korporasi tambang dan migas (Petkins, 2004). Dalam banyak kasus yang penulis teliti,
program CSR dan CD bcrhasil menurunkan walau tidak menghilangkan sama sekali-
peristiwa dan potensi konflik antara korporasi dengan komunitas lokal. Kenyataan empirik
menunjukkan bahwa program CSR dan CD dapat menurunkan potensi konflik sosial. Karena
sifat dan filosofi kerja industri tarnbang dan migas yang eksploitatif maka masyarakat lokal
21
22. Socially Responsible Corporation
menjadi subjek utama yang merasakan kerugiannya selain lingkungan lokal sebagai objek
utamanya. Oleh karena itu ketimpangan antara korporasi dengan masyarakat dan komunitas
lokal secara umum harus masuk sebagai agenda kerja manajemen, semakin tinggi
ketimpangan ekonomi akan semakin besar masalah sosial yang dihadapi korporasi. Program
CSR dan CD merupakan instrumen bagaimana ketimpangan ekonomi tersebut diperkecil
melalui mekanisrne pembangunan masyarakat lokal. Tidak dapat dihindari, korporasi
tambang dan migas dituntut melaksanakan program CSR dan CD apa pun bentuk dan
besarnya serta bagaimanapun strateginya. Sementara tekanan unruk menuntut “pemilikan
lokal” atas pemilikan tambang terus menguat dan tidak dapat dihindari, program CSR dan
CD bermanfaat untuk menunjukkan komitmen korporasi terhadap masyarakat dan komunitas
lokal. Dengan demikian, pemaharnan terhadap komunitas lokal, pengembangan desain dan
penerapan program CSR dan CD yang benar dan tepat serta evaluasi terhadap program yang
telah digulirkan meniadi sangat signifikan dalam membangun relasi saling mendukung antara
korporasi dengan masyarakat dan komunitas lokal.
Organisasi lsi Buku
Buku ini menjelaskan secara komprehensif bagaimana relasi antara korporasi dengan
komunitas lokal, khususnya untuk indurstri tambang dan migas di Indonesia, serta bagaimana
cara korporasi rnengelola masalah sosial pada masyarakat dan komunitas di sekitarnya. Bab I
di atas sebagai pembuka mengetengahkan garis besar keseluruhan permasalahan dan jalan
keluar yang perlu dipahami oleh korporasi. Bab 2 memaparkan apa dan bagaimana
permasalahan dalam relasi korporasi dengan masyarakat dan komunitas lokal, khususnya
dengan melihat potensi dan relasi konflik antata kedua institusi tersebut. Bab 3 menjelaskan
apa makna dan signifikansi konsep corporate social responsibility (CSR), baik perdebatan
filosofis maupun implikasi praktisnya untuk korporasi tambang dan migas. Bab 4 mengupas
apa dan bagaimana konsep community developnent (CD) khususnya berkenaan dengan
kegiatan korporasi tambang dan migas. Bab 5 mengetengahkan pemetaan sosial sebagai
sebuah konsep dan metode yang sangat penting untuk dipahami dan digunakan korporasi
untuk dapat mengelola masalah sosial dalam masyarakat dan komunitas lokal di sekitarnya.
Bab 6 secara lebih praktis memaparkan kiat dan langkah bagaimana memformulasi rencana
program CD dengan mengintegrasikan dari visi dan misi serta kemampuan korposasi dengan
kebutuhan masyarakat dan komunitas lokal. Bab 7 menjelaskan apa pentingnya serta
bagaimana melakukan evaluasi program sebagai cara melihat dan mengukur capaian dan
tingkat keberhasilan program, CSR dan CD. Terakhir,-Bab 8 merupakan bab penutup,
22
23. Socially Responsible Corporation
mengetengahkan diskusi tentang apa dan bagaimana implikasi penting dari permasalahan
hingga pengelolaan relasi sosial antara. Korporasi dengan masyarakat dan komunitas lokal.
Melalui buku ini diharapkan pembaca, yakni kalangan akademik, praktisi manajemen
korporasi, NGO dan pers, dapat memperkaya pengetahuan dan kemampuan secara akademik
maupun praktisnya,agar lebih memahami bagaimana permasalahan dan pengelolaan masalah
sosial dalam bisnis.
23
24. Socially Responsible Corporation
Dunia bisnis tambang dan migas boleh berkembang, dan menurut saya saharusnya
para pebisnis memiliki etika bisnis yang baik sebelum membangun suatu kegiatan industri di
suatu wilayah. Etika bisnis perlu dikembangkan tidak hanya untuk melindungi kepentingan
masyarakat melainkan untuk menjamin bahwa bisnis dan korporasi yang bersangkutan dapat
diterima, berproduksi dan berkembang berdampingan dan sejajar dengan perkembangan
masyarakat di sekitarnya, sehingga masyarakat dan korporasi dapat berjalan dengan baik
tanpa terjadi konflik dan ketimpangan. dan mengelola relasinya dengan masyarakat,
khususnya masyarakat komunitas sekitar. Untuk melakukan hal tersebut maka korporasi
perlu membuka diri dan mengembangkan pradigma bisnisnya, tidak semata hanya
menghitung berapa dan bagaimana keuntungan finansial, melainkan juga harus dampak
lingkungan dan dampak bisnis pada masyarakat di sekitarnya terhadap keberadaan dan
kegiatan korporasi untuk jangka panjang dengan meyakinkan masyarakat, dan paling penting
dalam etika bisnis adalah “kejujuran” dan “tanggung jawab” korporasi harus jujur, transparan
dan bertanggung jawab kepada masyarakat jika ingin membangun suatu kegiatan industri di
suatu wilayah. Karena itu semakin jelas bahwa relasi antara korporasi dengan masyarakat
meniadi salah satu tantangan berat dalam dunia bisnis tambang dan migas masa kini.
“Bumi dan Alam Semesta beserta isinya adalah milik Allah SWT, jadi jika ingin melakukan
apapun kepada bumi ini izinlah terlebih dahulu kepada-Nya.”
24