1. Dokumen tersebut membahas kontroversi apakah CSR merupakan strategi bisnis atau kewajiban etika perusahaan. 2. Beberapa ahli seperti Milton Friedman berpandangan bahwa tujuan perusahaan hanya untuk keuntungan pemegang saham, namun pandangan ini dinilai ketinggalan zaman. 3. Contoh kasus Nestle di India menunjukkan bahwa program CSR yang diintegrasikan dengan strategi bisnis dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan perus
1. Kasus - Fenomena CSR, sebagai strategi atau akal-akalan korporasi?
Tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih singkatnya CSR (Corporate Social Responsibility)
adalah suatu komitmen yang berkelanjutan dari suatu perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi
secara positif kepada karyawannya, komunitas dan lingkungan sekitarnya, serta masyarakat luas. Dengan
kata lain, hal ini merupakan pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi
kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menghargai manusia, masyarakat dan lingkungan. Jadi selain
mempunyai kewajiban ekonomis dan legal kepada shareholder, perusahaan juga diharapkan memiliki
perhatian kepada stakeholders.
Logika ekonomi adalah bahwa dengan meningkatnya keuntungan dan kemakmuran sebuah
perusahaan sudah pasti akan meningkatkan kemakmuran rakyat karena lebih efisien dan murah produk yang
dihasilkan. Kenyataannya tidak demikian, banyak perusahaan bukan hanya makin kaya tetapi juga semakin
berkuasa sementara penduduk miskin dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan
lingkungan makin banyak. Kemajuan perusahan juga menyumbang ketidak-adilan dan kesenjangan sosial.
Pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan.
Hal ini menuntut para pelaku bisnis utk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab.
Pelaku bisnis tidak hanya dituntut utk memperoleh capital gain atau profit dari lapangan usahanya,
melainkan mereka juga diminta utk memberikan kontribusi-baik materiil maupun spirituil- kepada
masyarakat dan pemerintah.
Hasil Survey “The Millenium Poll on CSR” (1999) yang dilakukan oleh Environics International
(Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) diantara
25.000 responden di 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60%
mengatakan bahwa etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, tanggungjawab
sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan, sedangkan bagi 40% citra perusahaan & brand image yang
akan paling mempengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis
fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen. Lebih lanjut,
sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin “menghukum” (40%)
dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain
tentang kekurangan perusahaan tersebut.
Di Inggris, sebuah survei membuktikan, bahwa 86% konsumen merasa melihat suatu citra positif
sebuah perusahaan jika mereka melihat perusahaan tersebut benar-benar “melakukan sesuatu untuk
menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik” (Acces Ommibus Survei 1997). Di Amerika, tahun 1999,
survei lembaga Environic menyatakan sepertiga konsumen di Amerika Serikat yang menyukai produkproduk dari perusahaan yang memiliki visi bisnis pembangunan masyarakat yang lebih baik.
2. Sedangkan di Indonesia, data riset majalah SWA atas 45 perusahaan menunjukkan CSR bermanfaat
memelihara dan meningkatkan citra perusahaan (37,38 persen), hubungan baik dengan masyarakat (16,82
persen), dan mendukung operasional perusahaan (10,28 persen) (Sinar Harapan 16/03/2006)
CSR pada dasarnya memiliki kerinduan yg sama; ingin menjalankan bisnis dengan lebih
bermartabat, dgn konsekuensi akan mengurangi profit. Merupakan ethical dilemma tentang pro dan kontra
CSR ini, antara mendahulukan kepentingan shareholder atau stakeholders, antara mencari economic value
added atau social value added. Di satu sisi perusahaan dituntut untuk dapat membuat / menjual produk
sebanyak-banyaknya sehingga perusahaan memperoleh keuntungan yang maksimal. Di sisi lain timbul
masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, lingkungan, dll, sebagai akibat dari tindakan-tindakan
tidak etis yang dilakukan baik secara / tidak secara sengaja oleh perusahaan.
Pasal 74 Ayat 1 UU PT menyatakan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
atau CSR. Sedangkan dalam pasal 2 berbunyi, tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Sementara pada pasal 3 menggariskan, perseroan
yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana pasal 1 dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan dan di pasal 4 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Permasalahannnya adalah pelaku usaha menolak
adanya regulasi tersebut, karena CSR adalah permasalahan etika dan tidak seharusnya dibuat aturannya
CSR dan strategi perusahaan? Kedengarannya kedua hal tersebut saling bertentangan. Milton
Friedman, sang ekonom pemenang Hadiah Nobel, malah mencibir upaya-upaya untuk menjadikan
perusahaan sebagai alat untuk tujuan sosial. Tujuan korporasi, menurut beliau, hanyalah menghasilkan
keuntungan ekonomis buat para pemegang saham. Tentu saja pendapat Friedman tersebut dianggap semakin
ketinggalan jaman. Walau demikian, menciptakan sinergi antara CSR dan strategi perusahaan bukanlah
sesuatu yang lazim juga.
Untung saja beberapa perusahaan besar dan kalangan akademis, termasuk Michael Porter, Clayton
Christensen, dan Rosabeth Moss Kanter (ketiganya dari Harvard Business School) telah berhasil
membuktikan program-program CSR yang disinergikan dengan strategi perusahaan akan memberikan
dampak yang jauh lebih besar kepada masyarakat dan perusahaan itu sendiri dibanding upaya-upaya CSR
yang ala kadarnya. Menurut mereka, hanya dengan menjadikan CSR sebagai bagian dari strategi perusahaan,
program-program CSR tersebut bisa langgeng. Karena strategi perusahaan terkait erat dengan program CSR,
perusahaan tidak akan menghilangkan program CSR tersebut meski dilanda krisis, kecuali ingin merubah
strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus-kasus CSR pada umumnya, begitu perusahaan dilanda
krisis, program CSR akan dipotong terlebih dahulu.
Salah satu contoh kasus yang sangat menarik adalah Nestle yang membantu para peternak sapi di
India. Sebelum Nestle masuk ke India, para peternak yang sulit memperoleh akses ke saluran air bersih,
3. tanah-tanah yang subur, dan infrastruktur lainnya yang mendukung harus puas hidup dengan sapi-sapi kurus
dan berumur pendek. Ketika Nestle masuk ke India, perusahaan ini dengan cepat menyadari untuk
mendapatkan pasokan susu murni yang cukup, mereka harus membantu para peternak tersebut. Maka,
diluncurkanlah program CSR besar-besaran. Nestle mendirikan pusat-pusat penyimpanan susu dengan mesin
pendingin di beberapa tempat. Selain itu, secara berkala, mobil Nestle yang membawa para dokter hewan,
ahli gizi, ahli pertanian, dan ahli kualitas datang mengunjungi para peternak. Bantuan finansial dan teknis
juga diberikan untuk membantu para peternak menggali sumur-sumur dan memperbaiki sistem irigasi.
Hasilnya? Ketika Nestle pertama kali meluncurkan program ini, hanya 180 peternak lokal yang ikut.
Sekarang Nestle harus menangani sekitar 75.000 peternak. Produksi susu per peternak meningkat 50 kali
lipat, dan taraf hidup para peternak tentu ikut meningkat jauh.
Sinergi antara keduanya ternyata sangat mungkin dilakukan. Bila kita ingin menyelesaikan
permasalahan sosial, mungkin kunci utamanya justru terletak pada keterlibatan sektor korporasi karena saat
ini kekuatan korporasi telah melebihi kekuatan pemerintahan dan lembaga-lembaga lainnya. Yang menjadi
masalah utama adalah sulitnya melakukan perubahan cara pikir yang selama ini melihat tujuan perusahaan
dan CSR saling bertolak belakang. Dalam lingkungan masyarakat konsumen yang kritis, CSR dapat
menciptakan brand image (citra positif) dari suatu perusahaan.
Brand image tentu saja sangat berperan dalam mendongkrak volume penjualan, mempertahankan
loyalitas konsumen lama, serta membangun / mengembalikan citra positif perusahaan yang sebelumnya
(mungkin) sempat terdistorsi.Hasil akhir dari implementasi CSR ini tentu saja juga kembali kepada
peningkatan corporate value yang akhirnya berpulang kepada shareholder lagi.