Kemenkop LAPORAN KEUANGAN KOPERASI- SAK EP (25042024).pdf
Akad akad syariah
1. A. Wadhiah (Depostory)
Secara etimologi kata wadhiah berasal dari bahasa Arab yang berarti meninggalkan,1 yakni
meninggalkan suatu barang yang diletakkan pada bukan pemiliknya untuk tujuan
menjaganya. Menurut pengertian tersebut, wadhiah adalah barang yang diletakkan pada
orang selain pemiliknya agar orang itu memeliharanya.2
Kata wadhiah berasal dari kata wada’a asy-syari’ jika ia meninggalkan pada orang yang
menerima titipan. Kadang pula dikatakan auda’ahu maala “ َاَوًَلَم ُهعد ” yang berarti ia
menyerahkan harta atau barang kepada seseorang agar harta itu menjadi titipannya.
Dalam kamus istilah fikih disebutkan, bahwa wadhiah adalah menitipkan sesuatu kepada
orang lain dengan berdasarkan amanah atau kepercayaan agar dijaga dengan sebaik-baiknya
dan dipelihara dengan semestinya.3 Menurut ulama fikih, pengertian wadhiah adalah sebagai
berikut:
1) Ulama Hanafiah mendefinisikan, wadhiah adalah mengikut sertakan orang lain dalam
memelihara harta, baik dalam ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui
isyarat, misalnya seseorang berkata pada orang lain: “saya titipkan uang ini pada anda”.
Lalu orang itu menjawab “saya terima”, maka sempurnalah akad wadhiah. Bisa saja
orang yang dititipkan diam saja tanda bahwa ia setuju.
2) Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mendefiniskan bahwa wadhiah adalah
mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.4
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio bahwa dalam fikih Islam, prinsip titipan atau simpanan
dikenal dengan al-wadhiah. Al-wadhiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak
kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki.5
Skema akad di bawah ini menunjukan bahwa wadhiah adalah akad transaksi sosial, bukan
akad jual beli ataupun komersiil. Sehingga dapat dipahami pula bahwa wadhiah tidak
menggunakan teori pertukaran ataupun pencampuran, namun wadhiah ini merupakan akad
antara pihak yang menitipkan barang dengan pihak yang dititipkan tanpa adanya imbalan
yang diberikan oleh orang yang menitipkan barang. Dalam praktiknya di Bank Syariah,
barang yang dititipkan biasanya berupa uang. Uang titipan tersebut dapat dimanfaatkan oleh
bank untuk keperluan bank, namun ketika bank memperoleh keuntungan dari hasil
pemanfaatan tersebut maka bank tidak boleh membagikan keuntungannya kepada nasabah
yang menitipkan uang. Bank hanya boleh memberikan insentif atau bonus tanpa ada
kesepakatan di awal. Mengenai praktik wadhiah di Bank Syariah ini akan kami jelaskan pada
pembahasan selanjutnya.
1 Atabi Ali Ahmad Zuhdi Mudhor, Kamus Kontemporer, (t.t: Multi Karya Grafika, 1996), hal. 2007.
2 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al mu’jam al wasith, (Mesir: Daar al-Maarif, 1393 H/1973), cet II, hal. 1021.
3 M. Abdul Mujib, et.al, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), hal. 410.
4 Wahbah Zuhailiy, Fiqh al-Islamy wa Adilatuha, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1984), Jilid V, hal. 38
5 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (t.t: Bank Indonesia dan Tazkia
Institute, 1420/1999 M), cet. I, hal. 12
2. ban
1. Produk Wadhiah di Bank Syariah
Secara umum terdapat dua jenis wadhiah, yaitu wadhiah yad al- amanah dan wadhiah yad
adh-dhamanah.
1. Karakteristik wadhiah yad al-amanah ialah sebagai berikut:
a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c. Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya
kepada yang menitipkan.
d. Mengingat barang atau harta yag dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima
titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan
atau safe deposit box.
2. Karakteristik wadhiah yad adh-dhamanah ialah sebagai berikut:
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima
titipan.
Akad
Transaksi
Komersiil
Transaksi
sosial
1. Qard
2. Wadhiah
3. Wakalah
4. Kafalah
5. Rahn
6. Hibah
7. Waqf
1. Murabahah
2. Salam
3. Istishna’
4. Ijarah
Natural Certainty
Contracts
Teori Pertukaran
Natural Uncertainty
Contract
1. Musyarakah (wujud,
inan, abdan,
muwafadhah,
mudharabah)
2. Muzara’ah
3. Musaqah
4. Mukhbarah
5.Teori Pencampuran
3. b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan
untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
Produk Bank Syariah yang menggunakan akad wadhiah adalah sebagai berikut:
1. Current Account (giro)
2. Saving Account (tabungan wadhiah)
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan
cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan pemindahbukuan.6 Adapun yang
dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan
bahwa giro yang dibenarkan secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip
wadhiah dan mudharabah.7
Bank Syariah menerapkan prinsip yad adh-dhamanah dalam produk giro ini. Seperti yang
telah dijelaskan di atas bahwa karakteristik atau konsep yad adh-dhamanah ialah harta yang
dititipkan dapat dimanfaatkan oleh Bank Syariah. Dengan menggunakan konsep ini maka
implikasi hukumnya sama dengan qard, yakni nasabah sebagai pihak yang meminjami uang
sedangkan bank sebagai yang dipinjami. Oleh karenanya, bank tidak dibolehkan untuk
memberikan imbalan atas pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.8
Contoh giro wadhiah: Tn Seron Sidik memeiliki rekening giro wadhiah di Bank Syariah
Pangkal Pinang dengan saldo rata-rata pada bulan Mei 2003 adalah Rp. 1.000.000,-. Bonus
yang diberikan Bank Syariah Pangkal Pinang kepada nasabah adalah 30% dengan saldo rata-
rata minimal Rp. 500.000,-. Diasumsikan total dana giro wadhiah di Bank Syariaih Pangkal
Pinang adalah Rp. 1000.000.000,-. Pendapatan Bank Syariah Pangkal Pinang dari
penggunaan giro wadhiah adalah Rp. 100.000.000,-.
Pertanyaan: berapa bonus yang diterima oleh Tn. Seron Sidik pada akhir bulan Mei 2003.
Jawab:
Bonus yang diterima =
Rp.1000 .000 ,−
Rp. 1000.000.000,−
× Rp. 100.000.000,- × 30% = Rp. 30.000,-
(sebelum dipotong pajak)
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu
yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang
6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
7 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 01/DSN-MUI/V/2000 Tentang Giro.
8 Adiwarman Kariem, Bank Islam: AnalisisFiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 351
4. dipersamakan dengan itu.9 Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan
yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Ketentuan umum tabungan wadhiah sebagai berikut10:
1. Tabunngan wadhiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga
dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
2. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik
atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian.
3. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif
selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.
2. Skema Akad Wadhiah
1. Titip baran atau jasa
4. Beri Bonus
3. Bagi Hasil
2. Pemanfaatan
Barang/uang
Wadhiah Yadh adh-Dhamanah
Titip Barang/Uang
Wadhiah Yad Amanah
9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
10 Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 352
Nasabah (penitip)
Mustawdhi
Pengguna
Dana
Bank (penyimpan)
Mustawdha’
Penitip/Muwaddi Penyimpan/Mustaudha’
5. Skema Akad Tabarru’11
11 Ibid., hal. 67
Akad-akad Tabarru’
Memberikan/meminjamkan sesuatu
Memberikan
sesuatu
Meminjamkan harta
Meminjamkan harta
Meminjamkan harta +
agunan
Meminjamkan harta untuk
mengambil alih pinjaman dari pihak
lain
Qard
Rahn
Hiwalah
Hibah, shadaqah, waqf
Meminjamkan jasa
Meminjamkan jasa pada saat ini untuk
melakukan sesuatu aatas nama orang
lain
Wakalah dengan tugas tertentu yaitu
memberikan jasa pemeliharaan
Wakalah kontinjensi yaitu
mempersiapkan diri untuk melakukan
sesuatu apabila terjadi sesuatu
Wakalah
Wadi’ah
Kafalah
6. B. Qard (Soft and BenevolentLoan)
Dalam skema akad tabarru’ di atas, qard termasuk akad tabarru’ meminjamkan harta. Perlu
diketahui bahwa akad tabarru’ ialah segala macam perjanjian yang menyangkut non profit
transaction (transaksi nirlaba). Jadi qard ialah pinjaman yang diberikan tanpa mensyaratkan
apapun selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu.12
Secara etimologis qard merupakan bentuk mashdar dari qaradha asy-syai’-yaqridhu, yang
berarti dia memutuskanya. Dikatakan pula dengan istilah qaradhu asy-syai’ bil miqradh yang
artinya dia memutus sesuatu dengan gunting.
Secara terminologis, Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar mengartikan qard ialah
memberikan hata kepada orang lain yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan
gantinya di kemudian hari.13 Menurut kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, qard adalah
penyediaan dana atau tagihan antarlembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam
jangka waktu tertentu.14 Dalam fatwa DSN-MUI tentang al-qardh dijelaskan bahwa qard
adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Syafi’i
Antonio juga memberikan definisi yakni qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih, atau dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan hutangnya.15
Jadi, dapat dipahami bahwa qard ialah akad tabarru’ antara pihak yang meminjamkan dana
dan pihak yang meminjam dana di mana pihak yang meminjam dana akan menggunakan
dana tersebut untuk kegiatan yang bermanfaat seperti usaha kecil (UMKM) dan keperluan
sosial, dan dana yang dipinjamkan dapat ditagih atau akan dikembalikan dalam jangka waktu
tertentu baik secara tunai maupun cicilan.
1. Aplikasi Qard di Bank Syariah
Berikut al-qardh dalam aplikasi perbankan syariah:
1) Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitsnya dan
bondifidistasnya yang memutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif
pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang
dipinjami itu.
2) Sebagai fasilitas nasabah yang membutuhkan dana cepat sedangkan ia tidak bisa
menarik dananya karena, misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.16
3) Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil, atau membantu sektor
sosial. Untuk aplikasi yang satu ini, bank syariah akan menggunakan produk khusus
yaitu qardhul hasan.17
12Adiwarman Kariem, Bank Islam: AnalisisFiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 68
13 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Loc.Cit., hal. 153
14 Pasal 20 ayat (36) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
15 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, hal. 152
16 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, hal. 133
7. 2. Skema umum Qard:18
Akad perjanjian qardh
Tenaga Modal
kerja 100%
100% Modal
kembali
C. Wakalah/Amanat(Deputyship)
Dalam skema akad tabarru’, wakalah termasuk ke dalam akad tabarru’ meminjamkan diri
kita (Lending Yourself) atau meminjamkan jasa. Bila kita meminjamkan “diri kita” (yakni
jasa, keahlian, keterampilan, dan sebagainya) saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama
orang lain. Karena kita melakukan sesuatu atas nama orang tersebut, sebenarnya kita menjadi
wakil orang itu. Itu sebabnya akad ini diberi nama wakalah.19 Secara etimologis wakalah atau
wakilah merupakan isim mashdar yang berasal dari kata taukil yang berarti menyerahkan,
mewakilkan, dan menjaga.
Dalam praktiknya di Bank Syariah, Bank sebagai pihak yang memberikan jasa wakalah atau
yang menerima mandat, dan nasabah sebagai muwakkil atau pihak yang menyerahkan,
mewakilkan, dan memberi mandat kepada Bank Syariah untuk melakukan sesuatu (taukil).
Bank akan menerima upah atau biaya administrasi atas jasa tersebut. Wakalah ini biasanya
disebut wakalah bil ujrah yakni wakalah yang disertai upah atau fee dalam bentuk nominal
untuk pihak yang menjadi wakil.
1. Aplikasi Wakalah di Bank Syariah
Contoh: Bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon
kepada perusahaan listrik atau telepon. Contoh lain, bank mewakili sekolah atau universitas
sebagai penerima biaya SPP dari para pelajar untuk biaya studi.20 Prinsip wakalah juga
17 Ibid., hal. 226
18 Ibid., hal. 226, 227
19 Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 68
20 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), hal. 164
Nasabah Bank
Proyek/
usaha
Keuntungan
8. diterapkan untuk pengiriman uang atau transfer, penagihan (collection/inkaso), dan letter of
credit (L/C).21
2. Skema akad wakalah:
Kontrak + fee
Kontrak + fee
D. Kafalah (Guaranty)
Kafalah termasuk ke dalam akad tabarru’ yakni dalam meminjamkan jasa. Kafalah ialah
wakalah bersyarat (wakalah contingent), dalam artian bahwa orang yang meminjamkan jasa
bersedia meminjamkan jasanya jika terpenuhi kondisinya atau jika sesuatu terjadi.
Contohnya, seorang dosen menyatakan kepada asistennya demikian: “Anda adalah asisten
saya. Tugas anda adalah menggantikan saya mengajar bila saya berhakangan.” Dalam
kasus ini, yang terjadi adalah wakalah bersyarat yakni asisten hanya bertugas mengajar atau
menjadi wakil dosen tersebut bila dosennya berhalangan atau bila sesuatu terjadi.22 Jadi,
asisten tidak secara otomatis menjadi wakil dosen.
Secara etimologis kafalah, dhaman, za’amah, hawalah memiliki arti yang sama yaitu
jaminan. Dalam fatwa DSN-MUI tentang kafalah, kafalah didefiniskan sebagai akad
pemberian jaminan yang dilakukan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil).23
Ketentuan umum Kafalah:
1. Pernyataan ijab kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
21 Dokumen atau surat jaminan yang diterbitkan oleh issuing bank (bank penerbit) atas permintaan pemohon
untuk menjamin suatu pembayaran kepada penerima (beneficiary) apabila pemohon gagal memenuhi
kewajibanya.
22 Adiwarman Kariem, Bank Islam: AnalisisFiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 68
23 Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah
Nasabah
Muwakkil
Bank
Wakil
Investor
Muwakil
Agency
Administration
Collection
Payment
Co arranger
Dll
Taukil
9. 2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak
memberatkan.
3. Kafalah imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Agar lebih memahami lagi akad kafalah ini, maka penulis mengutip rukun dan syarat kafalah
dari fatwa DSN-MUI tentang kafalah. Sebagai berikut:
1. Pihak penjamin (Kafiil)
2. Pihak yang berutang (Ashil, Makfuul ‘anhu)
3. Pihak yang berpiutang (Makfuul lahu)
4. Objek penjaminan (Makfuul bihi)
Jadi dari penjabaran pengenai kafalah di atas, dapat dipahami bahwa kafalah ialah akad
jaminan yang diberikan oleh pihak penjamin kepada pihak yang berpiutang untuk menjamin
utang pihak yang berutang dengan suatu objek jaminan, pihak penjamin sebagai pihak yang
meminjamkan jasannya dapat menerima upah (fee) atas jasanya tersebut. Objek jaminan
dapat berupa uang, benda, nama baik, maupun pekerjaan. Jenis objek jaminan ini menentukan
pula jenis kafalah yang akan dilakukan.
1. Aplikasi Kafalah di Bank Syariah
Jenis-jenis kafalah dan aplikasinya di Bank Syariah:
a. Kafalah bin nafs: merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal
guarantee). Sebagai contoh, seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan
jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun
bank secara fisik tidak memerima apapun, tetapi bank memberi kepercayaan kepada
tokoh untuk dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayainya
mengalami kesulitan.
b. Kafalah bim maal: merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
c. Kafalah bit taslim: merupakan jaminan pengembalian atas barang yang disewa pada
waktu masa sewa berakhir.
d. Kafalah al munjazah: merupakan jaminan mutlak uang tidak dibatasi oleh jangka
waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Contohnya, pemberian jaminan dalam
bentuk performance bonds atau “jaminan prestasi”.
e. Kafalah al muthlaqah: merupakan penyederhanaan dari kafalah al munjazah.24
Dalam aplikasi kafalah di Bank Syariah, kafalah biasanya digunakan untuk instrumen letter
of credit (L/C) yang dikeluarkan oleh bank untuk membantu kelancaran perdagangan antar
bangsa (eksport dan import). Dalam hal ini instrumen letter of credit mempunyai peranan
sebagai penghubung, pengambilalihan risiko bagi masing-masing Negara yang melakukan
transaksi, sehingga dapat merasa aman dalam perdagangan.
Penerbitan instrumen letter of credit oleh bank merupakan permohonan dari pembeli melalui
jual beli kontrak yang telah disetujui oleh pembeli dan penjual. Bank bukan mewakili
24 Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hal. 125
10. importir tetapi bank memberi jaminan terhadap kelangsungan bisnis pembeli. Melalui
instrumen letter of credit pihak penjual merasa aman untuk mengirim barang yang diperlukan
pembeli. Pembayaran akan dilakukan setelah penjual memenuhi persyaratan dokumen-
dokumen yang ditetapkan dalam instrumen letter of credit.25
Skim kafalah pada perbankan secara luas telah diterapkan pada produk bank yang memberi
jaminan, namun AAOIFI yang berkedudukan di Bahrain belum mengeluarkan standar syariah
yang berkakitan dengan produk ini. Bank Muamalat Indonesia sebenarnya telah
mempersiapkan pedoman untuk produk ini, tetapi pedoman tersebut belum dipadukan.26
2. Skema kafalah:
(3) memberikan kafalah
(4) surat jaminan bank
diserahkan kepada pemda (2) Ajukan
permohonan kafalah
(1)
Tender proyek dari DEPDIKNAS
E. Hawalah/PengalihanHutang (TransferService)
Secara etimologis hawalah atau hiwalah berasal dari kata hala asy-syai’ haulan yang berarti
berpindah. Tahawwala min maqanihi artinya berpindah dari tempatnya. Adapun hawalah
secara terminologis, adalah memindahkan utang dari tanggungan muhil (orang yang
memindahkan) kepada tanggungan mhal ‘alaih (orang yang berutang kepada muhil.27
Hawalah menurut Pasal 20 ayat (13) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah pengalihan
hutang dari muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih.
Hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban hutang dari
muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang
berkewajiban membayar hutang. Secara sederhana hal ini dapat dijelaskan bahwa A (muhal)
memberi pinjaman pada B (muhil). Sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal
‘alaih). Begitu B tidak mampu membayar hutangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban
25 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk, dan Implementasi
Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hal 245-246
26 Adiwarman, Ekonomi Islam Kontemporer, hal 107-108
27 Ibnu Muflih, al-mughni fi Syarhi al-Muqni,Juz IV, hal. 270
Pihak yang
menjamin
Bank
Pihak yang
dijamin
11. hutang tersebut pada C. Dengan demikian C yang harus membayar hutang B kepada A.
Sedangkan hutang C sebelumnya kepada B dianggap lunas.28
Hawalah dibagi menjadi dua bagian, yakni:
1. Pemindahan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua,
yang disebut hawalah muqayyadah (pemindahan bersyarat).
2. pemindahan hutang yang itdak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang pihak
pertama kepada pihak kedua yang disebut hawalah muthlaqah (pemindahan mutlak).29
1. Aplikasi Hawalah di Bank Syariah
Aplikasi hawalah dalam perbankan ialah sebagai berikut:
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada
pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang
tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2. Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu
piutang tersebut.
3. Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya,
dalam bill discounting, nasabah membayar fee, sementara pembahasan fee tidak
didapati dalam kontrak hawalah.30
Dalam sumber lain, fee dalam kontrak atau akad hawalah ini diberlakukan. Contohnya
aplikasi pada perbankan saat proses pemindahan hutang (debt transfer). Pemindahan hutang
dapat dilakukan karena:31 1) dianggap sebagai nasabah, 2) dianggap sebagai bank, 3)
dianggap sebagai mira usaha nasabah. Ilustrasinya: hutang A dialihkan kepada C berupa
transaksi yang harus dilunasi akibat bisnis atau perdagangan. Demikian juga hutang B kepada
A adalah deposito nasabah di bank atas permintaan A, maka B dapat melakukan
pemindahbukuan kepada C.
Adapula pembiayaan take over yakni suatu bentuk jasa pelayanan keuangan bank syariah
dalam membantu masyarakat untuk mengalihkan transaksi nonsyariah yang telah berjalan
menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Jasa hiwalah hanya akan diaplikasikan untuk
hutang nasabah yang berbentuk hutang pokok saja atau tanpa bunga, karena hiwalah tidak
bisa diaplikasikan untuk menalangi hutang yang berbasis bunga.32
28 Muhammad Syafii Antonio,Op. Cit., hal. 201
29 Nasroen Haroen, Perdagangan Saham di Bursa Efek, Tinjauan Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Kalimah, Cet
I, 2000), hal. 223.
30 Muhammad Syafii Antonio,Op. Cit., 209
31 Konsep hawalah merujuk pada pemindahan atau pengiriman uang atau hutang dari rekening pemilik deposito
atau peminjam kepada rekening penerima atau pemberi hutang, yang mana komisi atau upah dikenakan sebagai
imbalan jasa. AB Mumin AB Ghani, Sistem keuangan Islam dan pelaksanaannya di Malaysia, hal 282-283.
32 Adiwarman Kariem, Bank Islam: AnalisisFiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 248
12. 2. Skema Hawalah dalam Anjak Piutang:
2. Invoice 3. Bayar 4. Tagih 5. Bayar
1. Suplai barang
F. Rahn/Gadai (Mortgage)
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas peminjam
yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam
jaminan hutang atau gadai.33
Ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad rahn ialah sebagai berikut:
1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/batil seperti murtahin mensyaratkan
barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun bih (pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada
murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang di-rahn-kan tersebut. Serta pinjaman
itu jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang di-rahn-kan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terikat
dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidas barang yang di-rahn-kan serta jangka
waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi, penyimpanan,
keamanan, dan pengelolaan serta administrasi.
Dari penjelasan mengenai rahn di atas, dapat dipahami bahwa rahn adalah akad tabarru’
dalam hal meminjamkan uang dengan menahan barang sebagai jaminan, di mana uang yang
dipinjamkan mesti seimbang dengan nilai barang yang menjadi jaminan. Jaminan (marhun)
tetap menjadi hak milik pihak yang dipinjamkan uang (rahin) dan pihak yang meminjamkan
uang (murtahin) tidak diperkenankan untuk memanfaatkan jaminan tersebut kecuali atas
seizin rahin. Pemanfaatan yang dilakukan oleh murtahin pun tidak boleh sampai mengurangi
33 Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hal. 213
Muhal ‘alaih
Factor/Bank/Wakil
Muhil
Penyuplai
Muhal
Pembeli
13. nilai marhun atau secara berlebih-lebihan. Pemanfaatan hanya boleh dilakukan untuk
mengganti biaya perawatan dan pemeliharaannya.
1. Aplikasi Rahn di Bank Syariah
Aplikasi rahn dalam perbankan:
1. Sebagai prinsip, artinya sebagai akad tambahan terhadap produk lain seperti dalam
pembiayaan ba’i al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai
konsekuensi akad tersebut.
2. Sebagai produk. Di beberapa negara Islam akad rahn telah dipakai sebagai alternatif
dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn nasabah
tidak dikenakan bunga tetap, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.34
2. Skema Rahn:
2. Permohonan Pembiayaan
3. Akad Pembiayaan
4. Hutang + Mark Up
1. Titipan/Gadai Pembiayaan
G. Al-Bai’/Jual Beli
Al-bai’ secara etimologis berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Lafal al-bai’ dalam terminologi fikih terkadang dipakai unutk pengertian
lawannya, yaitu lafal asy-syira yang berarti membeli. Dengan demikian lafal al bai’
mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli. Menurut Hanafiah pengertian jual
beli (al bai’) secara definitif yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan
dengan sesuatu yang sepadan dengan cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah bahwa jual beli (al bai’) yaitu tukaar menukar harta
34 Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hal. 218
Marhun bih
Pembiayaan
Rahin
Nasabah
Marhun
Jaminan
Murtahin
Bank
14. dengan harta pula dalam benutk pemindahan milik dan kepemilikan.35 Dan, menurut Pasal 20
ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, al bai’ adalah jual beli antara benda dan benda,
atau pertukaran antara benda dengan uang. Singkatnya, al bai’ adalah akad tukar menukar
barang. Kegiatan tukar menukar ini secara sederhana sudah dilakukan sejak zaman primitif.
Masyarakat dahulu masih menukarkakn barang dengan barang bukan barang dengan uang.
Pertuakaran barang dengan barang ini disebut barter. Dalam masyarakat modern sekarang ini
telah dilakukan transaksi pertukaran (bai’) antara uang dengan uang.
Ada lima macam akad al-bai’ jika dilihat dari sisi serah terima, yakni36:
a. Al-Bai’ Naqdan
b. Al-Bai’ Muajjal
c. Al-bai’ Taqsith
d. Salam
e. Istishna’.
Al-bai’ naqdan adalah akad jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. (al bai’ berarti jual
beli sedangkan naqdan artinya tunai). Dalam artian bahwa barang beserta uang diserahkan
secara bersamaan di awal transaksi (tunai).
Berikut ilustrasinya:
Rp
Al-bai’ muajjal adalah adalah jual beli di mana barang diserahkan di awal transaksi
sedangkan uang diserahkan kemudian atau diakhir periode (waktu yang telah ditentukan)
secara sekaligus (lump-sum). Berikut ilustrasinya:
Rp
Al-bai’ taqsith adalah akad jual beli di mana barang diserahkan di awal periode sedangkan
uang dibayarkan secara cicilan selama periode utang.
Berikut ilustrasi al-bai’ taqsith:
Rp Rp Rp Rp
35 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hal 101
36 Adiwarman Kariem, Bank Islam: AnalisisFiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 72-73
15. Ditinjau dari sisi objek akad bai’, bai’ dibagi lagi menjadi:
a. Tukar menukar uang dengan barang.
b. Tukar menukar barang dengan barang, disebut sebagai bai’ muqayyadah (barter).
c. Tukar menukar uang dengan uang, disebut sebagai sharf.
Ditinjau dari cara menetapkan harga, al-bai’ dibagi menjadi:
a. Bai’ Musawamah (jual beli dengan cara tawa menawar), yaitu jual beli di mana pihak
penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan harga
tertentu dan membuka peluang untuk ditawar.
b. Bai’ Amanah, yaitu jual beli di mana pihak penjual menyebutkan harga pokok barang
lalu menyebutkan harga jual barang tersebut. Bai’ jenis ini terbagi lagi menjadi tiga
bagian:
1) Bai’ Murabahah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan laba.
Misalnya: pihak penjual mengatakan, “Barang ini saya beli dengan harga Rp.
10.000,- dan saya jual dengan harga Rp. 11.000,- atau saya jual dengan laba 10%
dari modal.”
2) Bai’ al-Wadhi’iyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang atau
menjual barang tersebut di bawah harga pokok. Misalnya penjual berkata:
“Barang ini saya beli dengan harga Rp. 10.000,- dan saya jual dengan harga Rp.
9.000,- atau saya potong 10% dari harga pokok.”
3) Bai’ Tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan
harga tersebut. Misalnya penjual berkata, “Barang ini saya beli dengan harga Rp.
10.000,- dan saya jual dengan harga Rp. 10.000,- atau saya jaul sama dengan
harga pokok.”37
1. Aplikasi Bai’ Sharf di Bank Syariah
Dalam aplikasinya, bank syariah menerapkan bai’ murabahah, salam, istishna’, dan sharf.
Namun, penulis hanya akan menjelaskan aplikasi sharf di Bank Syariah, sedangkan salam
dan istishna’ akan dijelaskan di bagian berikutnya.
Menurut Fatwa DSN-MUI transaksi jual beli mata uang asing (valas) yang dibolehkan harus
memenuhi kriteria berikut:
a. Ada kebutuhan transaksi atau berjaga-jaga
b. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. Tidak ada unsur spekulasi (maysir).
Jadi sharf harus terbebas dari unsur riba dan spekulasi.
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama
dan secara tunai (at-taqabudh), misalnya Rp. 100.000 harus ditukar dengan Rp.
100.000 juga.
37 Yusuf al-Subailiy, Fiqh Perbankan: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern,
Penerjemah: Erwandi Tarmidzi (Saudi Arabia: Darul Ilmi, t.th), hal 4-5.
16. d. Tidak unsur gharar (ketidak jelasan, manipulasi, dan penipuan).
Berdasarkan Fatwa di atas maka transaksi sharf yang dibolehkan hanya transaksi spot, yakni
transaksi pembelian dan penjualan valuta asing secara naqdan (over the counter). Dalam
transaksi spot, paling lambat pelaksanaannya ialah selama dua hari. Waktu dua hari tersebut
dianggap wajar dan tidak bisa dihindari, berhubung transaksi ini merupakan transaksi
internasional.
Contoh praktik yang menggunakan akad bai’ sharf ini ialah praktik money changer. Dalam
praktiknya bank sebagai money changer menawarkan jasa money changer tersebut kepada
nasabah yang ingin menukarkan mata uangnya. Dan atas jasanya ini, bank berhak
mendapatkan fee.
2. Skema Sharf (Bai’ valuta Asing):
ABN Bank ABC di
Amro Bank di USA Jakarta
Keterangan:
1. ABN Amro menukarkan dollar kepada Bank ABC di Jakarta
2. Bank ABC menyerahkan rupiah pada Bank ABN Amro
H. Bai’ Salam (In Front Payment Sale)
Bai’ salam adalah menjual sesuatu yang hanya ditentukan oleh sifat, karena masih di dalam
tanggungan orang yang dipesan/penjual, pembayaran diberikan duluan, sedangkan barang
yang dibeli/dipesan akan diserahkan di kemudian hari oleh si penjual. Contohnya: si penjual
berkata kepada si pembeli, bahwa ia menjual sebuah meja tulis dari jati ukurannya 140 × 100
cm, tingginya 75 cm, 5 laci, dengan harga Rp. 4000.000.,- kemudian pembeli berkata, bahwa
ia membeli meja dengan sifat dan harga tersebut dan menyerahkan harga barang pada waktu
akad, tetapi mejanya belum ada, masih disebutkan sifatnya oleh penjual. Dengan demikian,
maka salam tersebut adalah jual beli utang dari penjual dan kontan dari pihak pembeli, karena
ia telah menyerahkan uang sebagai bayaran barang yang dipesan.38
Secara etimologis salam sinonim dengan salaf. Dikatakan aslama ats-tsauba lil khiyath,
artinya ia memberikan atau menyerahkan pakaian untuk dijahit. Dikatakan salam karena
orang yang memesan menyerahkan harta pokoknya dalam majelis. Dikatakan salam karena ia
38 Syarif Hidayatullah, Qawaid Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syariah
Kontemporer: Muamalat, Maliyyah Islamiyyah, Mu’ashirah, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hal. 148
1
2
17. menyerahkan uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangannya. Salam
termasuk jual beli yang sah jika memenuhi persyaratan keabsahan jual beli pada umumnya.
Menurut Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, secara terminologis salam adalah akad
terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam suatu tempo dengan harga
yang diberikan kontan di tempat transaksi.39
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan
dengan jual beli yang pembiayaannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.40
Jadi, dapat dipahami bahwa salam adalah akad jual beli pesanan dengan uang diserahkan di
awal transaksi yakni bersamaan dengan pemesanan barang, sedangkan barang diserahkan di
akhir periode atau pada waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak. Saat pemesanan,
si penjual hanya akan menjelaskan tentang sifat-sifat barang yang dipesan secara spesifik dan
jelas.
1. Aplikasi Salam di Bank Syariah
Bai’ salam biasanya digunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang
relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank, seperti jagung dan cabai, bank
tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory,
maka dilakukan akad bai’ salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada bulog, pedagang
pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan dikenal sebagai salam paralel.
Bai’ salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk
garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya saat
nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan
penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen
tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli
kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen
garmen tersebut. Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut akan diantarkan
kepada rekanan. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur
maupun tunai.41
Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari supplier ditambah
keuntungan. Jika bank menjualnya secara tunai, maka biasanya disebut pembiayaan talangan
(bridging financing). Jika bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati
harga jual dan waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah
disepakati maka tidak dapat berubah selama berlakunya akad.42
39 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Ensiklopedia Muamalah, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal.
137
40 Pasal 20 ayat (34)
41 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, hal. 157, 158.
42 Adiwarman Kariem, Bank Islam: AnalisisFiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 99
18. 2. Skema Salam di Bank Syariah
4. Kirim Pesanan
Produsen Penjual Nasabah
3. Kirim Dokumen 5. Bayar
1. Negosiasi
dengan pesanan
kriteria
2. Pemesanan barang
nasabah dan bayar tunai Bank Syariah
I. Istishna’ (Purchase by Order or Manufacture)
Istishna’ secara etimologis berarti perpimtaan untuk dibuatkan sesuatu.43 Menurut isilah
dalam fikih, istishna’ adalah akad penjualan antara pembeli dan pembuat barang.44 Dalam
akad ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha
melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang yang telah disepakati dan
menjualnya kepada pembeli akhir: Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan,
atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.45
Menurut zumhur ulama, bai’ istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ salam.
Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’
istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan bai’ salam.46
Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna’ adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa hukum bai’ istishna’ ialah sah menurut
qiyas dan aturan umum syariah, karena bai’ istishna’ merupakan jual beli biasa yang
mengharuskan si penjual mengadakan barang yang dipesan pada saat penyerahan (waktu
yang telah ditentukan).47 Spesifikasi, misalnya seperti ukuran barang dan bahan material
pembuatan barang mesti dicantumkan secara jelas dan terperinci agar tidak terjadi
43 Majma al-Lughah al-Arabiyyah, al Mu’jam al Wasith, Jilid I, hal. 525
44 Wahbah al-Zuhaily, al Fiqh al-Islamy wa Adilatuh, Jilid IV, hal. 631
45 Ibid., hal. 631
46 Al-Kasany, Bada’i al Shana’i, Jilid V, hal. 209
47 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hal. 116
19. perselisihan di anatara keduanya. Prinsip suka sama suka dalam akad ini jelas sangat
diperhatikan.
Jadi, dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa istishna’ ialah akad jual beli pesanan
biasanya dalam bidang manufaktur atau untuk barang-barang yang dibuat. Pembayarannya
dapat dilakukan di muka, dengan cicilan, ataupun sekaligus (lump-sum) di akhir periode.
Sama halnya dengan akad salam, akad istishna’ juga mensyaratkan si penjual untuk
memberitahukan spesifikasi barang yang dipesan secara jelas dan benar.
1. Aplikasi Istishna’ di Bank Syariah
Pembiayaan istishna’ contohnya pada pemesanan barang investasi dan renovasi. Dan berikut
tahapan akad istishna’ dan istishna’ paralel menurut SOP Bank Syariah:48
1. Adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah
pembeli kepada bank syariah sebagai mustashni’.
2. Wa’ad nasabah untuk membeli barang dengan harga dan waktu tangguh pengiriman
barang yang disepakati.
3. Mencari produsen yang sanggup untuk menyediakan barang dimaksud (sesuai batas
waktu yang disepakati dengan haraga yang lebih rendah).
4. Pengikatan I antara bank dan nasabah untuk membeli barang dengan spesifikasi
tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan.
5. Pembayaran oleh nasabah dilakukan sebagian di awal akad dan sisanya sebelum
barang diterima (atau sisanya disepakati untuk diangsur).
6. Pengikatan II antara bank dan produsen untuk membeli barang dengan spesifikasi
tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan.
7. Pembayaran dilakukan secara bertahap oleh bank kepada produsen setelah
pengikatan dilakukan.
8. Pengiriman barang dilakukan langsung oleh produsen kepada nasabah.
2. Skema istishna’ Paralel (di Bank Syariah)
1. Pesan
2. Beli
3. Jual
48 Ascarya, Akad dan Produk Perbankan Syariah, (Jakarata: Rajawali Pers, 2007), hal. 227
Nasabah Konsumen
(Pembeli)
Mustashni’
Bank (Penjual)
Produsen (Pembuat)
Shani’
20. Daftar Pustaka
Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004).
Syarif Hidayatullah, Qawaid Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan
Syariah Kontemporer: Muamalat, Maliyyah Islamiyyah, Mu’ashirah, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2012).
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012).
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, (Jakarta: BI-
Tazkia Institute, 1999).
Kashmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).
Nurul Huda dan Mohammad Haykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Cet II (Jakarta: Kencana, 2013).
Ascarya, Akad dan Produk Perbankan Syariah, (Jakarata: Rajawali Pers, 2007).
Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Tim Penulis DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: Intermasa,
2003).
Henricus Ismanthono, Kamus Istilah Ekonomi dan Bisnis, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010).
Nama: Tita Novitasari
Nim: 11140460000046
Muamalat (Hukum Ekonomi Islam), Kelas A Semseter III
Dosen Pembimbing: Yuke Rahmawati, MA.