SlideShare a Scribd company logo
1 of 170
Download to read offline
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
128 + vii, 2007
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
A. ISBN 979-1176-09-5
1. Dekonsentrasi 2. Kinerja Pemerintah Daerah
Tim Peneliti :
¡Tri Widodo W. Utomo, SH., MA (Peneliti Utama)
¡Dr. Meiliana, SE.,M.Si (Peneliti)
¡Said Fadhil, S.IP (Peneliti)
¡Siti Zakiyah, S.Si (Peneliti)
¡Drs. M. Noor, M.Si (Peneliti)
¡Syahrumsyah Asrie, SH, M.Si (Peneliti)
¡Drs. Syahrial (Pembantu Peneliti)
¡Djamilah,SE (Pembantu Peneliti)
¡Baharuddin, S.Sos., M.Pd (Pembantu Peneliti)
Sekretariat :
¡Said Fadhil, S.IP
¡Royani, A.Md.
¡Arita Saidi
Editor :
¡Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
¡Said Fadhil, SIP
¡Siti Zakiyah, S.Si
Diterbitkan Oleh :
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)
LAN Samarinda
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh)tahundan/ataudendapalingbanyakRp.5.000.000.000,-(limamiliarrupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
(limaratusjutarupiah).
KATA PENGANTAR
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara
kesatuan Republik Indonesia didasarkan pada 3 (tiga) prinsip utama, yakni
desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan (medebewind).
Diantara ketiga prinsip tadi, fungsi desentralisasi sudah mendapat
pengaturanyangrelatiflengkapdanjelasdibandingduaprinsipberikutnya.
Desentralisasi sendiri merupakan konsekuensi logis dari proses
reformasi dan demokratisasi yang berjalan semenjak akhir dekade 1990-an.
Tuntutan kemandirian dan pemberdayaan potensi daerah, menjadi
keniscayaan yang dipilih oleh para pemimpin bangsa sebagai sebuah
"kontrak sosial" baru penyelenggaraan negara. Implikasinya, lahirlah UU
Nomor 22 tahun 1999 - disusul oleh revisi melalui UU Nomor 32 tahun 2004 -
yang dipandang dunia sebagai kebijakan desentralisasi yang paling berani di
negara-negara modern. Beberapa ahli lain menyebut proses pembalikan
bandul manajemen pemerintahan dari karakter sentralistik ke karakter yang
sangatdesentralistikinisebagaiBigBangDecentralization.
Meskipun kebijakan ini sudah sangat tepat, namun belum tentu
memiliki efektivitas yang tinggi. Sebagaimana diingatkan oleh UNDP (2000),
perencanaan yang cermat dan pengelolaan yang baik terhadap desentralisasi
menjadi syarat mutlak keberhasilan mencapai tujuan penyelenggaraan
pemerintahan daerah, yakni kemajuan daerah dan meningkatnya
kesejahteraanmasyarakat.Selengkapnya,UNDPmenulissebagaiberikut:
Decentralized governance, when carefully planned, effectively
implemented, and appropriately managed, can lead to
significant improvement in the welfare of people at the local
level, the cumulative effect of which can lead to enhanced
human development. In addition, if decentralization involves
real devolution of power to local levels, the enabling
environment for poverty reduction is likely to be stronger. On
the contrary, badly planned decentralization can worsen
regional inequalities. Left to their own devices, richer regions
are likely to develop faster than poor ones. And a system of
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/iii/
matching grants, intendedbycentral government tomotivate
local government to raise funds, typically exacerbates
regionaldisparities.
Atas dasar pemikiran diatas, maka menjadi tugas kita semua untuk
mengawal pelaksanaan otonomi daerah agar tidak menyimpang dari filosofi
dasarnya(filosofischegrondslag).Padasaatyangbersamaan,kita perluuntuk
membuat "wilayah kerja" bagi asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang selama ini masih kabur, menjadi lebih jelas dan terang benderang.
Sebab, dalam koridor Negara Kesatuan, antara desentralisasi dan
dekonsentrasi tidak dapat didikotomiskan, keduanya harus saling mengisi
dan saling memperkuat. Bahkan sering dikatakan bahwa asas dekonsentrasi
sesungguhnya memiliki fungsi strategis sebagai faktor pengikat bagi tetap
utuhnyaNKRI.
Sayangnya, regulasi di bidang dekonsentrasi dan tugas pembantuan
ini masih sangat minim, baik yang mengatur kebijakan umumnya; rincian
kewenangan yang menjadi domain-nya; mekanisme perencanaan hingga
pertanggungjawabannya, dan sebagainya. PP Nomor 39 tahun 2001 sendiri
sesungguhnya merupakan penjabaran dari UU Nomor 22 tahun 1999,
sehingga sudah waktunya untuk disesuaikan dengan semangat
desentralisasisebagaimanadianutdalamUUNomor32tahun2004.
Sehubungan dengan hal tersebut, saya menyambut gembira
dilaksanakannya kajian tentang evaluasi kinerja kewenangan dekonsentrasi
oleh PKP2A III LAN Samarinda ini. Saya berharap hasil dari kajian ini dapat
memberikan sumbangsih pemikiran yang relatif komprehensif untuk turut
membenahidanmeningkatkanmutupenyelenggaraanpemerintahandaerah
diIndonesia,khususnyadierademokratisasidewasaini.
Kepada semua pihak yang telah telah membantu baik dari persiapan,
masa penelitian hingga penyusunan dan penerbitan laporan penelitian yang
berupa buku ini disampaikan ucapan terima kasih yang sangat mendalam,
semoga kerja keras dan kerjasama yang telah terjalin baik dalam penelitian
ini dapat lebih erat lagi untuk penelitian selanjutnya. Tentunya laporan hasil
penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu berbagai kritik dan saran
membangunsangatdinantikandemiperbaikankitabersama.
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/iv/
Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai dan
memberkahi usaha kita dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
baikbagidaerahsertabagisemuapihakyangterkait.
Jakarta, Desember 2007
Lembaga Administrasi Negara RI
Kepala,
Sunarno
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/v/
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………….................... iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………..…....................... vi
Daftar Tabel .........................………………………………………………………………..... ix
Daftar Gambar ....................…………………………………………………………………. x
Executive Summary ...................…………………………………………………………... xi
Bab I Pendahuluan ..……………………………………................................... 1
A. Latar Belakang .........…………………………………......……………...... 1
B. Perumusan Masalah ...........………………………….......……………… 6
C. Tujuan dan Kegunaan ...........………………………………………....... 7
D. Ruang Lingkup Kajian ………………………………………….............. 8
E. Target/Hasil yang Diharapkan ..........……………………………..... 8
F. Metodologi Penelitian ......................................................................... 8
1. Lokus Kajian ...................................................................................... 8
2. Responden dan Informan Kunci ...........……………………...... 9
3. Prosedur Kajian ............................................................................... 10
4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data .......................... 11
5. Rencana Analisis Data ............….....................……………………. 13
G. Status dan Jangka Waktu .............……………………………….......... 15
Bab II Fungsi Dekonsentrasi Dalam Kerangka Sistem
Desentralisasi Negara Kesatuan ................................................ 16
A. Hubungan Desentralisasi dan Dekonsentrasi .......................... 16
B. Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan UU
No. 32 / 2004 .......................................................................................... 21
C. Kewenangan Dekonsentrasi ............................................................. 23
1. Konsep Dekonsentrasi .................................................................. 23
2. Dekonsentrasi sebagai Sistem Kesatuan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah .............................. 28
3. Fungsi Kewenangan Dekonsentrasi ........................................ 30
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/vi/
D. Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi ........................ 32
1. Jenis dan Kriteria Kewenangan ................................................ 32
2. Kewenangan Pembiayaan Dekonsentrasi ............................ 36
E. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Penyelenggaraan
Dekonsentrasi ........................................................................................ 39
1. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Koordinasi
Penyelenggaraan ............................................................................. 39
2. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Koordinasi
Pengawasan ...................................................................................... 46
3. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Pembinaan ............... 51
Bab III Kondisi dan Kebijakan Dekonsentrasi di Tingkat
Departemen dan Mekanisme Koordinasi Kewenangan
Dekonsentrasi di Tingkat Provinsi ........................................... 55
A. Implikasi UU No 32 / 2004 Terhadap Eksistensi
“Pemerintahan Wilayah" di Daerah .............................................. 55
B. Penyelenggaraan Kebijakan Dekonsentrasi di Tingkat
Departemen ............................................................................................ 56
1. Aspek Pendelegasian / Pelimpahan Kewenangan ............ 56
2. Aspek Koordinasi Internal .......................................................... 60
3. Aspek Pelaporan dan Pertanggungjawaban ....................... 60
C. Kelembagaan Dekonsentrasi, Mekanisme
Penyelenggaraan, dan Koordinasi Pelaksanaan
Dekonsentrasi di Tingkat Provinsi ............................................... 68
D. Indikasi Umum Penyelenggaraan Kewenangan
Dekonsentrasi di Propinsi ................................................................. 73
E. Rekomendasi Penyelenggaraan Koordinasi Fungsi
Dekonsentrasi di Propinsi ................................................................ 75
1. Integrasi Fungsional ...................................................................... 75
2. Integrasi Institusional / Kelembagaan ……………………... 76
3. Integrasi Program .......................................................................... 78
Bab IV Permasalahan Penyelenggaraan Kewenangan
Dekonsentrasi di Daerah ............................................................. 80
A. Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Daerah ... 80
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/vii/
B. Perkembangan Pembiayaan Dekonsentrasi di Daerah ........ 86
C. Praktek Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di
Daerah dan Permasalahanya (contoh kasus di wilayah
Kalimantan) ............................................................................................. 95
1. Alokasi Anggaran ............................................................................ 96
2. Mekanisme Perencanaan .............................................................. 99
3. Mekanisme Koordinasi dan Monitoring di Daerah ........... 101
4. Keterbatasan SDM Pengelola Kegiatan (keuangan) ......... 103
Bab V Analisis Kinerja Penyelenggaraan Kewenangan
Dekonsentrasi di Kalimantan .................................................... 105
A. Analisis Substansi dan Kemungkinan Duplikasi
Kewenangan ........................................................................................... 105
Bab VI Penutup .....……………………………………………………...................... 111
A. Kesimpulan …………………………………………………........................ 111
B. Rekomendasi ............................…………………………………………… 113
LAMPIRAN
Lampiran 1 SK Tim Pelaksana Kajian ................................................................. 114
Lampiran 2 Instrumen Penelitian ........................................................................... 118
Lampiran 3 Rincian Kewenangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah
(Kewenangan Dekonsentrasi) Sebagai Penjabaran Dari PP
Nomor 38 Tahun 2007 ........................................................................ 120
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/viii/
DAFTAR TABEL
Tabel1.1. DaerahSampel/TujuanKajian......………………………………. 9
Tabel3.1. RincianDanaDekonsentrasiDepartemenSosial
Tahun2006......................................................................................... 63
Tabel3.2. DaftarAsetTetapDanaDekonsentrasidanTugas
PembantuanyangBelumDilaporkanTahun
Anggaran 2006 ................................................................................ 65
Tabel3.3. DaftarAsetTetapDanaDekonsentrasiyangBelum
DilaporkanTahunAnggaran2005 ........................................... 66
Tabel4.1 AnggaranDekonsentrasiKementeriandanLembaga
Negara(2005-2006)..................................................................... 88
Tabel4.2 DistribusiDanaDekonsentrasiKePropinsiSeluruh
Indonesia(2005-2006)................................................................ 90
Tabel4.3 RekapitulasiDaerahyangMenyerahkanLaporan
PenggunaanAnggaranDekonsentrasiDepartemen
SosialTA2006 ................................................................................ 92
Tabel4.4 IdentifikasiJenisProgramPadaDinasSosial
Prov.Kalsel(2006)YangBerpotensiTerjadiTumpang
TindihPembiayaan......................................................................... 95
Tabel 4.5 Rekapitulasi Dana Dekonsentrasi di Kalimantan .............. 96
Tabel 4.6 Rekapitulasi Daerah yang Menyerahkan Laporan
Penggunaan Anggaran Dekonsentrasi Departemen
Sosial Wilayah Kalimantan TA 2006 ....................................... 104
Tabel 5.1. Rekapitulasi Bidang, Sub-Bidang, dan Rincian
Kewenangan Dekonsentrasi yang Diusulkan Sebagai
Penjabaran PP No. 38 Tahun 2007 .......................................... 108
Tabel 5.2. Persandingan Kegiatan Dinas Pendidikan Prov.
Kalimantan Barat yang Bersumber dari APBD
(Tugas Desentralisasi) dan dari ABPN
(Tugas Dekonsentrasi) ................................................................. 110
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/ix/
DAFTAR GAMBAR
Gambar2.1. SpektrumBandulSentralisasi,Desentralisasi
DanDekonsentrasi………………………………………………….... 20
Gambar 2.2. ProsesKomunikasi .......................................................................... 44
Gambar 2.3. Hubungan Komposisi Pengawasan (Diadaptasi dari
Anthony and Dearden, 1985) .................................................... 50
Gambar 2.4. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan di Daerah berdasarkan
PP No. 79/2005 ............................................................................... 53
Gambar 3.1. Pola Koordinasi Dalam Penyelenggaraan Kewenangan
Dekonsentrasi di Propinsi ........................................................... 71
Gambar 3.2. Perbandingan Pola Kerja Kewenangan Desentralisasi
dan Kewenangan Dekonsentrasi .............................................. 72
Gambar 3.3. Integrasi Fungsi-Fungsi Manajemen Dalam
Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di
Propinsi ............................................................................................... 76
Gambar 3.4. Integrasi Institusi / Kelembagaan Dalam
Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di
Propinsi ...........................................................………………………... 77
Gambar 3.5. Integrasi Program Dalam Penyelenggaraan
Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ............................... 79
Gambar 4.1. Dana Dekonsentrasi Propinsi Kalimantan Selatan
(2004 - 2006) .................................................................................. 97
Gambar 4.2. Trend Dana Dekonsenrtasi Dinas Pendidikan Prop.
Kalsel (2005 - 2007) ...................................................................... 98
Gambar 4.3. Trend Dana Dekonsentrasi Dinas Sosial Prop. Kalsel
(2005 - 2007) ................................................................................... 99
Gambar 5.1. Distribusi dan Alokasi Dana Dekonsentrasi Seluruh
Provinsi di Indonesia (2006-2007) ......................................... 106
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/x/
RINGKASAN EKSEKUTIF
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA
PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN
DEKONSENTRASI
Dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah di Indonesia,
terdapat 2 (dua) prinsip dasar yakni desentralisasi (penyerahan urusan) dan
dekonsentrasi (pelimpahan wewenang), disamping prinsip lainnya yakni
tugas pembantuan (medebewind). Infrastruktur dan framework
desentralisasi nampaknya jauh lebih siap untuk diimplementasikan
dibandingkan penerapan prinsip dekonsentrasi. Hal ini terlihat dari berbagai
aspek, misalnya regulasi yang relatif sudah lengkap mengatur
penyelenggaraan asas desentralisasi, dari UU Pemerintahan Daerah dan
Perimbangan Keuangan, hingga PP tentang Pembagian Urusan dan
OrganisasiPerangkatDaerah.
Sementara untuk fungsi dekonsentrasi, pengaturan dalam UU No.
32/2004 masih sangat minim. Tercatat hanya ada beberapa pasal yang
mengatur tentang hal ini, misalnya pasal 10 ayat (4) dan (5)b, pasal 12, pasal
37,pasal228.
Diantara berbagai pasal tersebut, pasal 37-38 memuat ketentuan
yang sangat tegas tentang melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
diluar6(enam)urusanmutlakkepadaGubernurselakuwakilPemerintah;
Fungsi Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah dimaksudkan
untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaantugas
dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan
kabupaten dan kota. Selain itu, Gubernur juga wajib melakukan pembinaan
atas penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk menjamin tercapainya
tujuanpenyelenggaraanotonomidaerah.
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/xi/
Namun, maksud pemberian tugas/fungsi dekonsentrasi kepada
Gubernur ini bisa menjadi tidak efektif jika tidak disertai dengan pedoman
yang jelas dan menyeluruh, baik bagi pihak delegan (pemberi delegasi, yakni
Departemen/Lembaga) maupun bagi delegataris (penerima delegasi, yakni
Gubernur selaku wakil pemerintah). Dewasa ini, fenomena tentang kurang
efektifnya penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi sudah mengemuka,
misalnya belum teridentifikasikannya kewenangan dekonsentrasi dan
keterkaitannya dengan fungsi pembiayaan dari APBN, belum padunya proses
perencanaan hingga pertanggungjawaban antara kegiatan yang dibiayai oleh
dana dekonsentrasi dengan kegiatan yang dibiayai oleh ABPD, dan
sebagainya.
Atas dasar fenomena tersebut, maka kajian ini ingin mengungkap
berbagai masalah/kendala dalam pelaksanaan tugas/kewenangan
dekonsentrasi serta kebijakan/upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pelaksanaan tugas dekonsentrasi. Bahkan kajian ini juga sampai
kepada rekomendasi berupa usulan rincian kewenangan dekonsentrasi
berdasarkan pembidangannya. Dalam kaitan ini, fungsi, urusan, dan/atau
kewenangan dekonsentrasi tidak hanya dikembangkan berdasarkan fungsi-
fungsi klasik seperti koordinasi, pengawasan, dan pembinaan, namun lebih
dikembangkan pada fungsi-fungsi pendukung lainnya seperti fasilitasi,
promosi,sosialisasi,danfungsipelaksanaan.
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/xii/
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan
desentralisasi yang baru, kewenangan dan urusan pemerintah daerah
(khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan kewenangan dan
urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian,
demi mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan” suatu
negara bangsa (nation-state), maka pemerintah pusat masih memiliki
hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi dalam
bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi
di daerah. Hak ”intervensi” Pusat atas Daerah ini dapat dijalankan secara
langsungolehinstansitingkatPusat(departemen/LPND),maupunsecara
tidaklangsungmelaluiaparatnyadidaerahyakniGubernur.
Secara idealistik, gagasan besar desentralisasi pasca tumbangnya
rezim Orde Baru memang sangat bagus. Namun dalam tataran
implementasi, masih banyak yang perlu dibenahi kembali. Hal ini antara
laintercermindariberbagaikritikdankoreksiyangbanyakdiberikanoleh
para pakar sehubungan dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Diantara para pakar tadi
adalah dari Prof. Dr. Miftah Thoha, Guru Besar Universitas Gajah Mada
yang menyebutnya undang-undang tersebut menebarkan ”aroma
sentralistik” selain dipandang menyiratkan adanya keinginan untuk
kembali sebgaimana masa pemerintahan Orde Baru, yakni pemerintahan
yang kuat, efektif dan dapat dikendalikan dari sentral. Dinyatakan lebih
lanjut, Pemerintah Orde Baru tidak pernah menggunakan istilah
kewenangan pemerintahan, melainkan urusan pemerintahan, mengingat
yangmemegangkewenangansaatituadalahpemerintahpusat.
DemikianhalnyadenganProfesorRyaasRasyidyangjugaberopini
bahwa undang-undang tersebut menarik empat kewenangan penting
kembali ke atas, yakni pengangkatan sekretaris wilayah daerah
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/1/
(sekwilda), pengesahan peraturan daerah, pengaturan kecamatan,
desa/kelurahan dan rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS). Keempat
penarikan kewenangan tersebut mengindikasikan adanya kemauan
politik yang mengarah pada sentralistik. Demikian halnya dengan
pandangan Dr. Syarif Hidayat yang juga mencermati kewenangan
dekonsentrasi kini menunjukkan kemunduran, di mana pada UU No 22
Tahun 1999, dekonsentrasi sudah mulai dikurangi, maka pada UU No 32
Tahun2004,justrudekonsentrasikembalidihidupkan.
Pada sisi lain, Ketua Fraksi II DPR RI Ferry Mursidan Baldan secara
politis memberi tanggapan balik, bahwa: ”UU No. 32/2004 tidak perlu
ditafsirkan bernuansa sentralistik. Kalaupun ada, sentralisasi itu berlaku
pada nasib pegawai negeri sipil (PNS) agar jenjang karier mereka dapat
berkembang. Selain itu didasarkan unda-undang tersebut muncul sebagai
respon atas berbagai kekhawatiran akan munculnya fanatisme
kedaerahan (etnosentrisme) yang justru akan mengancam persatuan dan
kesatuanbangsa”.
Berbagai perhelatan pandangan dan opini tersebut menunjukan,
bahwa kewenangan desentralisasi pemerintah (Pusat) dikritisi dan
dipertimbangan untung ruginya dalam penguatan kapasitas
pemerintahan di daerah. Sebagaimana dipahami, undang-undang
sebelumnya telah menjadikan pengurangan dan penghapusan sejumlah
kantor departemen di kabupaten/kota dan sebagian kantor wilayah di
provinsi. Perhelatan ini sekaligus menjadikan status kewenangan
dekonsentrasi pada UU No. 32 Tahun 2004 harus diperjelas dan dirunkan
dalambentukkebijakanyanglebihoperasional.
Desentralisasi yang dimaknai sebagai ”penyerahan” sebagian
wewenang memeng telah berjelintang dengan tugas dan wewenang pusat
dalam bentuk dekonsentrasi atau ”pelimpahan” sebagian wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (khususnya
kabupaten/kota), selain juga tugas pembantuan. Penguatan peran
pemerintah pusat dengan dekonsentrasi memang secara implisit bukan
sekedar menambah peran yang sebelumnya mengecil, melainkan lebih
jauh dilandasi oleh pemikiran ke depan yakni menjaga kedaulatan suatu
negara bangsa (nation-state). Untuk itu perundangan tersebut
memberikan landasan bahwa pemerintah pusat berhak melakukan
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
/2/
intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan
penilaian kinerja otonomi pada pemerintahan daerah. Hak Pemerintah
Pusat dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat
(departemen/ LPND), maupun tidak langsung dengan pelimpahan
wewenangmelaluiaparatnyayangadadidaerahyaitupejabatGubernur.
Posisi Pemerintah Provinsi dalam koridor otonomi daerah
memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat
dengan menjadikan aparat dekonsentrasi, dan sekaligus juga menjadi
pelaksana otonomi daerah itu sendiri atau aparat desentralisasi.
Sementara kabupaten/kota diposisikan tidak lagi memiliki fungsi yang
inherendenganfungsidekonsentrasi.
Fungsi Pemerintah Provinsi dengan Gubernur-nya sebagai aparat
dekonsentrasi (baca: Wakil Pemerintah), pada dasarnya berfungsi sebagai
unit penghubung (intermediate administrative entity) antara Pusat dan
Daerah (Kabupaten/Kota). Posisi yang intermediasi ini menjadikan
Pemerintah Provinsi menjalankan dua tugas, yaitu sebagai ”agen tunggal”
dalam menjabarkan berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang
menyangkut urusan kepemerintahan daerah, dan juga sebagai ”agen
tunggal” dalam menyediakan seluruh informasi tentang keadaan
Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat (Schiavo-Campo dan
Sundaram, dalam To Serve and To Preserve: Improving Public
AdministrationInACompetitiveWorld,2000).
Dengan landasan undang-undang Nomor 32/2004 tersebut
mestinya Pemerintah Provinsi benar-benar berfungsi sebagai
intermediasi tersebut. Namun dalam kenyataan, penyelenggaraan
dekonsentrasi juga telah menjadikan efek loncatan katak (leapfrogging
effect),dengantransferkewenangandansumberdayaPusatyanglangsung
diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada sisi yang lain, telah
terjadi pula transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi yang harus diturunkan kepada
pemerintah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan dekonsentrasi inilah yang
menjadikanfenomenapersoalandilapanganmenjadikrusial.
Sebagaimana tertera pada pasal 38 UU No. 32/2004, bahwa fungsi
dan peran Pemerintah Provinsi memiliki tiga tugas/wewenang Gubernur
selaku wakil Pemerintah, yaitu sebagai koordinasi, pembinaan, dan
/3/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
pengawasan dalampenyelenggaraan pemerintahan daerahdanjugatugas
pembantuan di daerah. Mengingat demikian, maka dalam kaitan dengan
desentralisasi, Pemerintah Provinsi tidak bisa tidak harus lebih diperkuat.
Penguatan Pemerintah Provinsi dalam desentralisasi tersebut diarahkan
untuk menjamin roda otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota tidak
lagi mengalami salah arah atau dengan kata lain tidak menimbulkan ekses
yang tidak diharapkan. Untuk itu, fungsi dekonsentrasi yang
diselenggarakan oleh pemerintah provinsi menjadi faktor kunci dalam
sukses atau gagalnya suatu implementasi desentralisasi politik yang telah
dilaksanakan dengan seluas-luasnya (devolution) tersebut di tingkat
pemerintahkabupaten/kota.
Pengalaman di tingkat internasional membuktikan, bahwa
pelaksanaan desentralisasi yang sifatnya ”kebablasan” telah memberi
dampak sosial ekonomi yang merugikan bagi sebagian besar masyarakat
daerah. Hasil penelitian Mark Turner (2002, dalam Public Administration
and Development Journal, No. 22, www.interscience.wiley.com) justru
menunjukkan, bahwa pelaksanaan dekonsentrasi pada Bangsa Kamboja
telah memberi manfaat yang bervariasi. Sementara desentralisasi
cenderung dipandang gagal dapat memenuhi harapan yang ditetapkan
sebelumnya.
Beberapa keuntungan dari dekonsentrasi menurut Turner (2002)
tersebutadalahsebagaiberikut:
1. Accessibility of officials. Officials are available for consultation, advice,
and complaint. As local officials can exercise decentralized authority,
theymakethedecisionsanddonotneedtopassthemupthelinetodistant
centraloffices.
2. Mobilization of local resources. It is easier for locally based officials to
identify local resources, both human and physical, and then mobilize
them in the pursuit of locally determined developmental purposes.
Officials should also be familiar with specific local constraints and the
dynamicsoflocalpolitics.
3. Rapid response to local needs. Officials are better placed to respond
rapidly to local needs as they are in the territory and fully aware of local
conditions.
/4/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
4. Orientation to the specific local needs. Because officials knowthe local
conditions, they are well placed to make decisions and allocate resources
which fit with the specific conditions prevailing in a particular territory.
Each sub-national territory may have some unique features which can be
takenintoaccountwhenplanningandallocatingresources.
5. Motivationoffieldpersonnel.Appointedgovernmentofficialsaremore
motivated to perform well when they have greater responsibility for
programstheymanage.
6. Inter-office coordination. Coordination between offices dealing with
differentfunctionsismoreeasilyachievedatthelocallevelwhereofficials
arephysicallyclosetogetherandareoftenfamiliarwitheachother.
7. Central agencies. The decentralization of service functions relieves
central agencies of routine tasks.Responsibility for these has been passed
down to the local level. Central agencies can thus focus on improving the
quality of policy. Monitoring local-level performance and providing
assistance to sub-national units are key element of this reformulated
centralgovernmentrole.
Berdasarkan pengalaman itu menjadi bertambah penting untuk
menguatkan peran Pemerintah Provinsi dalam konteks pelaksanaan
fungsi dekonsentrasi dalam kebijakan otonomi daerah. Kepentingan
tersebut diterawang bukan hanya sekedar ”perekat” antara kepentingan
nasional dengan kepentingan daerah, namun lebih jauh lagi menjadi
jaminan keterlaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang
pembangunan dan pelayanan yang dapat berjalan secara efektif dan
efisien. Mengingat kepentingan tersebut, maka dapatlah dipahami
bilamana UU Nomor 32/2004 telah memberi porsi peran dekonsentrasi
yang diimplementasikan dalam bentuk pengalokasian sejumlah dana bagi
berlangsungnya dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada Pemerintah
Provinsi.
Atas berbagai pertimbangan dan argumentasi kepentingan akan
fungsi dekonsentrasi tersebut, serta berkelindannya permasalahan
penyelenggaraan dekonsentrasi di lapangan menjadikan PKP2A III LAN
Samarinda memang urgen dilakukannya studi yang berkenaan dengan
sejauhmana pelaksanaan fungsi dekonsentrasi Pemerintah Pusat kepada
/5/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Pemerintah Provinsi, khususnya pada Pemerintah Provinsi yang ada di
wilayah Kalimantan. Arah kajian pelaksanan fungsi dekonsentrasi
tersebut, secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan studi
mengenai gambaran kinerja berikut dengan indikator pengukuran kinerja
yang selama ini ditampilkan oleh Pemerintah Provinsi dalam
penyelenggaraankewenangandekonsentrasitersebut.
B. PerumusanMasalah
Dari berbagai fenomena yang dipaparkan pada latar belakang di
atas, dapatlah dirumuskan mengenai permasalahan dekonsentrasi
berikutpenguatanperanpemerintahprovinsimenjadi,sebagaiberikut:
1. Fungsi dekonsentrasi sering dipandang sebagai ”tugas kelas dua”
setelah penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Pandangan ini
mengakibatkan menjadi kurang perhatiannya banyak pihak untuk
mengkaji lebih jauh berbagai persoalan yang berkaitan dengan
pelaksanaan fungsi dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi. Selain itu,
pandangan dan sikap yang kurang proporsional ini juga telah
berdampak pada kurangnya daya upaya yang serius dan sistematis
dalam kerangka penyempurnaan dan penguatan fungsi dekonsentrasi
yang seharusnya di masa depan. Kenyataan ini merupakan bagian
kelemahan dari praktek kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang
memberikanotonomiseluas-luasnyakepadakabupaten/kota.
2. Adanya fenomena mengenai kebutuhan sumber daya (SDM maupun
anggaran) dalam pelaksanaan fungsi dekonsentrasi disinyalir
cenderung sangat minim. Kurangnya anggaran berkaitan dengan
pandangan bahwa tugas-tugas dekonsentrasi adalah sebagai
”pelengkap” saja dari kebijakan desentralisasi secara keseluruhan.
Dengan demikian dapat dipahami bilamana, kinerja penyelenggaraan
kewenangan dekonsentrasi tersebut menjadi kurang mendapat
perhatian.
Untuk kedalaman kajian, fokus penyelenggaraan dekonsentrasi
yang berlangsung pada pemerintah provinsi Kalimantan, akan diarahkan
pada penyelenggaraan dekonsentrasi yang berkaitan dengan bidang dan
sektor kebutuhan dasar pada departeman yang ada di pusat kepada
/6/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
departeman di wilayah pemerintah provinsi. Bidang tersebut, yakni
pendidikan, kesehatan, sosial, dan pekerjaan umum. Dengan demikian
maka rumusan masalah dapat diformulasikan sebagai berikut:
”Sejauhmana ketercapaian penyelenggaraan fungsi dekonsentrasi dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi yang ada di wilayah
Kalimantan? Rumusan masalah ini diharapkan dapat diurai lebih rinci
kedalamlimapertanyaan,yakni:
1. Penyelenggaraan urusan apa dan seberapa besar pendanaan yang
dilimpahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dalam
melaksanakan fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah
melaluidekonsentrasidiwilayahKalimantan?
2. Bagaimana gambaran kinerja Pemerintah Provinsi dalam
penyelenggaraankewenangandekonsentrasidiwilayahKalimantan?
3. Hambatan-hambatan apa yang dirasakan oleh Pemerintah Provinsi di
wilayah Kalimantan dalam melaksanakan fungsi kewenangan
dekonsentrasi?.
4. Upaya-upaya apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi untuk mencapai
peningkatan fungsi penyelenggaraan urusan dekonsentrasi di wilayah
Kalimantan?.
5. Bagaimana formulasi kebijakan yang direkomendasikan untuk
memperkuat Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan dalam
memperkuat fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah
melalui dekonsentrasi yang dapat memperkuat tegaknya NKRI di masa
datang?.
C. TujuandanKegunaan
Serangkaian kajian, baik teoritik ataupun lapangan diharapkan
dapatmencapaitujuan-tujuansebagaiberikut:
1. Untuk mengetahui rincian kewenangan dekonsentrasi masing-masing
daerahberdasarkanbidang-bidangnya.
2. Untuk mengidentifikasi berbagai masalah atau kendala dalam
pelaksanaan tugas/kewenangan dekonsentrasi beserta kebijakan atau
upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas
pelaksanaantugasdekonsentrasitersebut.
3. Untuk mengidentifikasi besaran sumber daya yang digunakan untuk
/7/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
menjalankan tugas/kewenangan dekonsentrasi serta kebutuhan ideal
bagimasing-masingdaerahprovinsi.
4. Untuk mengetahui dan jika mungkin mengukur tingkat kinerja
penyelenggaraankewenangandekonsentrasidiwilayahKalimantan.
5. Untuk mencari dan/atau merumuskan alternatif kebijakan yang lebih
operasional dalam mengembangkan atau memperkuat fungsi
dekonsentrasi sebagai penyeimbang dari fungsi desentralisasi
sehingga dapat direkomendasikan strategi terbaik untuk menjamin
tetap tegaknya NKRI ditengah praktek otonomi daerah yang begitu
cepat.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil kajian adalah
diperolehnya upaya peningkatan praktek penyelenggaraan pelayanan
oleh Pemerintahan Provinsi melalui pelimpahan kewenangan
dekonsentrasidiwilayahKalimantan.
D. RuangLingkupKajian
Kajian ini akan difokuskan pada berbagai aspek yang terkait
dengan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah
provinsi, baik menyangkut bidang-bidang dan rincian kewenangan
dekonsentrasi, anggaran dan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan kewenangan dekonsentrasi, dan sebagainya.
Sedangkan dari jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4 (empat)
ProvinsidiKalimantan.
E. Target/Hasilyangdiharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya
sebuah laporan tentang permasalahan, kondisi dan arah penataan
kewenangan, serta strategi peningkatan kinerja penyelenggaraan
kewenangan dekonsentrasi di Indonesia, dengan fokus utama wilayah
Kalimantan.
F. MetodologiPenelitian
1. LokusKajian
Kajianiniakanmemfokuskanpadaaspek-aspekyangberkaitan
dengan kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi
/8/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi berkenan dengan
bidang-bidang pelayanan dasar. Aspek-aspek tersebut menyangkut
bidang dan penganggaran pelayanan dasar; kinerja perencanaan,
koordinasi, pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi ; hambatan dan upaya-upaya yang dilakukan dan
formulasi kebijakan yang memperkuat penyelenggaraan kewenangan
PemerintahProvinsidalamdekonsentrasi.
Kajian ini juga memfokuskan pada kinerja Pemerintah Provinsi
yang berada di wilayah Kalimantan. Untuk itu yang menjadi lokus
kajiannya adalah seluruh Pemerintah Provinsi yang ada di wilayah
Kalimantan, khususnya lembaga-lembaga Pemerintah Provinsi yang
bertugas melayani masalah pelayanan dasar. Lokus kajian tersebut
yakni Lembaga-lembaga pelauanan dasar pada Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur; Lembaga-lembaga pelayanan dasar pada Provinsi
Kalimantan Barat; lembaga-lembaga pelayanan dasar pada Provinsi
Kalimantan Selatan; dan lembaga-lembaga pelayanan dasar pada
Provinsi Kalimantan Tengah. Rincian lokus yang akan diteliti dapat
dicermatisebagaimanatableberikutini:
Tabel 1.1.
Daerah Sampel / Tujuan Kajian
Wilayah Lokus Kajian
Pemerintah
Provinsi di wilayah
Kalimantan
1. Lembaga-lembaga Pelayanan dasar pada
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
2. Lembaga-lembaga Pelayanan dasar pada
Pemerintah Provinsi
Kesehatan, Dinas Sosial dan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah
Provinsi.
3. ProsedurKajian
Proses kajian dilakukan dengan menggunakan beberapa
pentahapanyangsalingberhubungan.Pentahapantersebutyakni:
—Tahap pengidentifikasian dan penganalisisan bidang dan program
apayangdidistribusikanolehPemerintahPusatkepadaPemerintah
Provinsi;
—Tahap pengindentifikasian dan penganalisisan besaran dana yang
dilimpahkan untuk melaksanakan dekonsentrasi dari Pemerintah
PusatkepadapemerintahProvinsi;
—Tahap identifikasi dan analisis kinerja perencanaan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan
desentralisasidibidangpelayanandasar;
—Tahap identifikasi dan analisis kinerja koordinasi yang dilakukan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan
desentralisasidibidangpelayanandasar;
—Tahap identifikasi dan analisis kinerja pengawasan yang dilakukan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan
desentralisasidibidangpelayanandasar;
—Tahap identifikasi dan analisis kinerja pembinaan yang dilakukan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah kabupaten dalam kewenangan
desentralisasidibidangpelayanandasar;
—Tahap Identifikasi dan analisis berbagai hambatan dalam
pelaksanaan kinerja yang dilakukan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasi di bidang
pelayanandasar;
—Tahap Identifikasi dan analisis berbagai upaya dalam peningkatan
kinerja yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi
dalamkewenangandesentralisasidibidangpelayanandasar;
—Tahap perumusan analisis dan penarikan sintesa formula kebijakan
yang menjadi alternatif dalam peningkatan dan penguatan kinerja
Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan dalam memperkuat
fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah melalui
/10/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
dekonsentrasi yang dapat memperkuat tegaknya NKRI di masa
datang.
4. TeknikdanInstrumenPengumpulanData
Data kajian akan dikumpulkan dengan menggunakan
beberapa teknik dan instrumen pengumpulan data. Teknik dan
instrumendimaksuddijelaskansebagaiberikut:
—Teknik telaah dokumen. Yang dimaksud dengan telaah dokumen
dalam Kajian ini adalah pengkajian berkenaan dengan berbagai
dokumen, baik berupa peraturan perndangan, kebijakan internal,
laporan-laporan pelaksanaan, dan lain-lain yang berhubungan erat
dengan topik kajian evalusi kinerja pelimpahan wewenang
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi berkenaan dengan
pelaksanaan dekonsentrasi dalam pelayanan dasar bidang
pendidikan,kesehatan,sosialdansaranadanprasarana.
—Teknik penyebaran angket/kuesioner. Teknik ini menginventalisir
berbagai data kuantitaif yang dilakukan dengan penyebaran
kuesioner berkenaan dengan kinerja Pemerintah Provinsi dalam
kewenangandekonsentrasidalampelayanandasarjenisdanbidang
pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum berikut dengan
besaran pembiayaannya yang bersumber dari dana dekonsentrasi
yang dilimpahkan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah
Provinsi.
Kuesioner dirancang dengan format matriks untuk
mengidentifikasi dan memetakan jenis dan bidang pelayanan dasar
yang selama ini diterima oleh pemerintah Provinsi dari Pemerintah
Pusat. Format kuesioner dengan menggunakan matrik dipandang
banyak kelebihan dalam upaya mengidentifikasi dan membandingkan
jenis dan bidang kewenangan yang dilimpahkan berikut dengan
besaran dan distribusi dana pada masing-masing Pemerintah Provinsi
dari Pemerintah Pusat. Penggunakan matrik kuesioner juga digunakan
untuk mengukur kinerja Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Provinsi dalam perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan
yang selama ini dilakukan dalam pelayanan pendidikan, kesehatan,
sosial,danpekerjaanumum.
/11/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Dengan memanfaatkan kedua matrik tersebut memungkinkan
peneliti akan mudah melakukan penganalisaan dan pembandingan
mengenai tingkat kinerja penyelenggaraan yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan Timur dalam
melaksanakanpelimpahankewenangandariPemerintahPusatkepada
PemerintahProvinsidengandekonsentrasi.
—Teknik wawancara atau interview. Teknik ini digunakan untuk
memperkaya dan dan memvalidasi data-data yang diperoleh
melalui kuesioner. Teknik wawancara dalam kajian ini dilakukan
terbatas namun juga secara mendalam (deep interview) kepada
individu-individu tertentu yang dipandang memeiliki informasi
yang banyak berkenaan dengan topic kajian. Informasi-informasi
tersebut diperoleh dari informan kunci (key informant) yang
ditetapkan pada masing-masing departeman pada Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Provinsi yang diperasionalkan dalam
bentuk panduan wawancara (interview guide). Penggalian
informasi diarahkan untuk menggali berbagai informasi berkenaan
dengan hambatan-hambatan baik menyangkut bidang dan besaran
pendanaannya maupun aspek-aspek kinerja pelaksanaan
kewenangan dekonsentrasi (perencanaan, koordinasi, pengawasan
dan pembinaan). Selain itu juga teknik wawancara diarahkan juga
untuk menggali informasi sedalam mungkin berkenaan dengan
upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat
ataupun Pemerintah Provinsi dalam peningkatan kinerjanya dalam
dekonsentrasi pelayanan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan,
sosialdanpekerjaanumum.
—Teknik Modeling, yakni teknik penggalian data yang ditujukan untuk
melahirkan sintesa kajian. Teknik ini merupakan ramuan dari
berbagai hasil analisis data, baik hasil analisis data dari kuesioner
maupun wawancara untuk menjadi sintesa model penguatan
kinerja Pemerintah Provinsi dalam pelaksanaan penlimpahan
wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi .
Teknik modelyang merupakansintesa analisisdata inijugadipandu
dengan studi dokumen dan pendapat (judgment) sehingga menjadi
alternatifrekomendasikepadapihakyangberkepentingan.
/12/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
5. RencanaAnalisisData
Adanya rincian jenis dan bidang yang didekonsentrasikan dari
pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi menunjukkan adanya
pola hubungan kerja antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Provinsi. Besaran dana dekonsentrasi masing-masing jenis dan bidang
pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, social dan pekerjaan umum
menjadi faktor pendorong dilaksanakannya kebijakan dekonsentrasi.
Berdasarkan data mengenai jenis dan bidang berikut dengan besaran
alokasi dana dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada Pemerintah
Provinsi dapat menjadi arahan untuk mengidentifikasi kinerja yang
ditampilkan oleh Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan tugas
dekonsentrasi, khususnya dalam pelayanan dasar bidang pendidikan,
kesehatan,socialdanpekerjaanumum.
Analisis kinerja Pemerintah Provinsi dalam pelaksanaan
kewenangan dekonsentrasi dapat dilakukan dengan empat
perspesktif. Pertama, perspektif kinerja perencanaan Pemerintah
Provinsi dalam melaksanakan pelimpahan kewenangan dalam
pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum yang
bersumber dari dana dekonsentrasi. Analisis kinerja perencanaan
dapat dilihat dari ada atau tidaknya mekanisme atau prosedur
perencanaan masing-masing departemen, baik Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan. Dalam analisis
kinerja perencanaan akan digali faktor-faktor yang menjadi hambatan,
baik faktor hambatan perencanaan yang datang dari Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Provinsi. Selain juga analisis diarahkan untuk
menggali upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh kedua belah
pihak, baik inisiatif upaya yang datang dari Pemerintah Pusat maupun
dariPemerintahProvinsi.
Kedua, perspektif kinerja koordinasi yang mengarah pada pola
atau sistem hubungan yang selama ini dijalin sedemikian rupa antara
departeman Pemerintah Pusat dan Departeman Pemerintah Provinsi
berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan dasar bidang
pendidikan,kesehatan, sosialdan pekerjaan umum. Kinerja koordinasi
dipandang dari intensitas koordinasi antara Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Provinsi yang berupa pembakuan sistem
/13/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
koordinasi dan frekuensi koordinasi. Selain itu juga dicermati
mengenai ektensitas koordinasi, yakni perluasan jangkauan
koordinasi yang melibatkan terjalinnya cross hubungan yang berbeda
departemen antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Provinsi dalam
rangka mengoptimalkan penyelenggaraan dekonsentrasi. Dalam
kinerja koordinasi yang ada dianalisis mengenai berbagai hambatan
dan solusi penyelesaian untuk mengatasi hambatan koordinasi
tersebut, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun
PemerintahProvinsi.
Ketiga, perspektif kinerja pengawasan yang mengarah analisis
pada sisitem kepengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat
kepada pemerintah Provinsi, ataupun kepengawasan Pemerintah
Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota berkenaan dengan
pelaksanaan jenis dan bidang berikut penggunaan pendanaan
dekonsentrasi dalam pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, sosial
dan pekerjaan umum. Pola kinerja kepengawasan Pemerintah Provinsi
menghubungkan antara perencanaan dan ketercapaian program
bidang pelayanan dasar yang dilakukan secara profesional oleh
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam kinerja kepengawasan yang sedang
berlangsung dianalisis pula berbagai hambatan yang dirasakan oleh
pihak Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi, berikut dengan
upaya-upayayangdilakukanolehkeduabelahpihak.
Keempat, perspektif kinerja pembinaan, baik yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi maupun
Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota berkenaan
dengan pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi pelayanan dasar
bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum. Pola
kinerja pembinaan berkaitan dengan temuan-temuan hasil
pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada
pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam pola kerja pembinaan yang berjalan akan
digali dan dianalisis sumber-sumber hambatan dan juga upaya-upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi
dalammengatasipersoalanpembinaan.
/14/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Kelima, perspektif analisis perumusan sintesa. Perspektif ini
mengarah pada perumusan hasil analisis dari perspektif kinerja
perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Analisis diarahkan untuk
membangun sistem hubungan yang akan meningkatkan kinerja dalam
pelimpahan kewenangan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan,
sosial dan pekerjaan umum antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Provinsi. Hasil analisis berupa sintesa yang tiada lain dari formulasi
yang digunakan sebagai bahan untuk perumusan kebijakan hubungan
kerja dalam kaitandenganpelimpahan kewenanganPemerintah Pusat
kepadaPemerintahProvinsimelaluidekonsentrasi.
Telaah penyelenggaraan kinerja pemerintah provinsi dalam
bidang/fungsi dekonsentrasi dilakukan dengan cara mengelaborasi
data kuesioner dan data wawancara digali sehingga akan
mendapatkan gambaran mengenai bidang dan sektor pelayanan dasar
apa yang selama ini didekonsentrasikan, bagaimana kinerja
perencanaan, pola koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang
dilakukan berikut dengan hambatan dan upaya yang telah dilakukan
untuk kemudian dapat menarik benang bagaimana formulasi sintesa
yang merupakan alternatif pelaksanaan kebijakan seharusnya
ditetapkan dalam penyelenggaraan fungsi dekonsentrasi dari
pemerintah pusat kepada provinsi berdasarkan undang-undang di
masadatang.
G. StatusdanJangkaWaktuKegiatan
Kajian ini akan difokuskan pada berbagai aspek yang terkait
dengan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah
provinsi, baik menyangkut bidang-bidang dan rincian kewenangan
dekonsentrasi, anggaran dan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan kewenangan dekonsentrasi, dan sebagainya.
Sedangkan dari jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4 (empat)
ProvinsidiKalimantan.
/15/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
BAB II
FUNGSI DEKONSENTRASI DALAM
KERANGKA SISTEM DESENTRALISASI
NEGARA KESATUAN
A. HubunganDesentralisasidanDekonsentrasi
Konsep desentralisasi diartikan secara sempit maupun meluas.
Desentralisasi dalam arti sempit sebagai penyebaran kewenangan secara
vertikal, yakni dari pusat kepada bagian yang ada di bawahnya. Pusat
adalah pemegang kewenangan tertinggi dan terluas yang disebarkan
kepada struktur dibawahnya. Berbeda dengan desentralisasi dalam arti
luas, dimana penyebaran wewenang tidak hanya vertikal melainkan juga
horizontal, dimana penyebaran bukan saja dari struktur tinggi ke bawah,
melainkan antar organ yang ada dalam kawasan struktur pusat, baik yang
ada berada di wilayah pusat maupun di wilayah yang lebih bawah. Bahkan
lebih dari itu terjadi penyebaran wewenang dari pusat struktur kepada
kelompokmasyarakat.
Dalam konteks Pemerintahan di Indonesia, pengertian
desentralisasi, baik dalam arti yang sempit ataupun luas termuat dalam
peraturan perundangan nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perundangan tersebut mengatur penyebaran kewenangan tidak hanya
bersifat vertikal berupa penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, melainkan mengatur penyebaran
secara horizontal, yaitu pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah
pusat kepada internal organ pemerintah pusat lainnya yang berada di
wilayah daerah. Kebanyakan desentralisasi di Indonesia diartikan sempit,
yakni sebagai penyebaran atau stranfer wewenang (transfer kekuasaan)
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan
desentralisasi yang merupakan penyebaran, atau pelimpahan sebagian
wewenang (transfer kekuasaan) dari pemerintah pusat kepada otoritas
/16/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
lain yang bersifat spesial dan legal personal kurang populer. Padahal
proses penyebaran tersebut juga mengikutkan pelimpahan tugas-tugas,
sumber daya dan kekuatan politik kepada lembaga yang ada region
tertentu bahkan kepada komunitas masyarakat yang dilakukan secara
kooperatif(Marz,2001:2).
Secara teoritik Van Der Pot (dalam Manan 1994:21)
mengemukakan, desentralisasi dapat dibedakan ke dalam dua bagian,
yakni: 1). Desentralisasi teritorial yang berupa pembentukan dan
pengoperasian badan-badan yang didasarkan atas kewilayahan dan; 2)
desentralisasi fungsional, yang berupa pembentukan dan pengoperasian
badan-badan yang didasarkan atas tujuan-tujuan tertentu. Pembedaan
jenis desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional tidak
mengubah makna secara mendasar, yakni pelimpahan wewenang.
Berbeda dengan Irawan Soejipto mencoba membalah ke dalam tiga
bagian, yakni menjadi: l) Desentralisasi teritorial; 2) Desentralisasi
fungsional; dan 3) Desentralisasi administratif. Ahli lain adalah, Amrah
Muslimin (1978: 15) yang juga membedakan desentralisasi menjadi tiga
bagian, yakni: 1) Desentralisasi politik; 2) Desentralisasi fungsional; dan
3) Desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi politik memiliki kemiripan
dengan desentralisasi teritorial. Desentralisasi fungsional maknanya
hampir sama dengan yang dimasud oleh Van Der Pot. Sementara
desentralisasi kebudayaan dipahami sebagai pemberian hak kepada
golongan minoritas dalam upaya penyelenggaraan kebudayaan
lingkungansendiri.
Pengkategorian desentralisasi yang banyak dirujuk oleh para ahli
yang dikemukakan Cheema dan Rondinelli (1983: 18-25).
Dikemukakannya, bahwa desentralisasi dapat dibedakan menjadi empat
kategori, yakni: 1) Delegation to semi autonomous or parastatal
organization; 2) Devolution; 3) Transfer of function from government to
nongovernmentInstitution;dan4)Dekonsentrasi.
Desentralisasi sebagai delegation to semi autonomous or
Parastatal Organization, yaitu pendelegasian pengambilan keputusan dan
kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu
kepada organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah
pengawasan pemerintah pusat. Dalam desentralisasi dengan
/17/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
pendelegasiansemiotonomterjadiprosestransferpembuatankeputusan
pemerintah yang harus dilakukan secara hati-hati penjabarannya oleh
institusi atau organisasi yang posisinya berada di bawah kontrol tidak
langsung dari pemerintah (UNDP, 1999:7). Pendelegasian tiada lain
merupakan transfer responsibili berkenaan dengan kebijakan-kebijakan
yang diberikan kepada pemerintah daerah yang bersifat semi otonom,
namun tetap harus bertanggung jawab kepada pemerintah pusat
(Schneider, 2003:12). Pendelegasian tersebut berupa kebijakan
mewajibkan pemerintah daerah menciptakan perusahan publik, institusi
perumahan, transportasi, pelayanan spesial kecamatan semi sekolah
otonom badan perusahan daerah atau unit proyek-proyek khusus
(LitvackandSeddon,1998:3).
Kategori desentralisasi sebagai devolution yang dimaknai upaya
pembentukan dan juga penguatan unit-unit organisasi secara
independen. Cheema dan Rondinelli (1983: 22) menyatakan karakteristik
devolusi adalah pemerintah daerah yang memiliki status otonom, bersifat
independen atau terpisah dari pemerintah pusat, sehingga kewenangan
pusat terhadap pemerintah daerah relatif menjadi kecil dan juga ditandai
dengan tidak adanya pengawasan pemerintah pusat secara langsung
kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang dimaksud memiliki
batas geografis yang jelas dan bersifat legal dalam menyelenggarakan
kewenangannya dan juga dapat melaksanakan fungsi kepemerintahan
dengan sendirinya. Dalam hal ini pemerintah daerah tersebut memiliki
kekuasaan untuk melindungi sumber-sumber yang sekaligus dapat
memelihara fungsi-fungsi pemerintahannya. Dalam kaitan itu, devolusi
juga memiliki kaitan dengan kebutuhan pengembangan kelembagaan
pemerintah daerah dalam bentuk institusi-institusi yang diperankan
sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat dengan cara pemberi pelayanan
secaramemuaskan.Namundemikian,desentralisasimelaluidevolusijuga
mengharuskan adanya hubungan yang bersifat timbal balik atau saling
menguntungkan dengan cara memelihara hubungan koordinatif antara
pemerintahpusatdanpemerintahdaerah.
Kategori pemaknaan desentralisasi sebagai transfer of function
from government to non-government institution. Kategori desentralisasi
ini adalah transfer beberapa jenis bidang perencanaan dan juga
/18/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
tanggungjawab yang bersifat administratif yang berkaitan dengan fungsi-
fungsi publik dari pemerintah pusat kepada LSM, organisasi swasta atau
organisasi non pemerintah. Kategori desentralisasi ini dapat disejajarkan
dengan kebijakan debirokratisasi. Transfer fungsi publik kepada non-
pemerintah hanya bisa berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang
demokratis, yang ditandai dengan pelimpahan sektor-sektor yang
berkaitan dengan pemasukan keuangan ataupun yang bersifat
administratif kepada lembaga-lembaga volunteer, atau lembaga swasta
atau institusi non-pemerintah lainnya seperti organisasi hybrid,
diantaranya asosiasi industri dan perdagangan, asosiasi profesi, dll.
Bahkan lebih jauhnya pemerintah dapat saja menyerahkan tugas dan
kewajibannya pada organisasi non-pemerintah untuk memproduksi
barangmaupunjasalayananyangseringdisebutjugaprivatisasi.
Kategori pemaknaan desentralisasi keempat adalah
deconcentration. Dekonsentrasi dimaknai sebagai proses redistribusi
tanggungjawab yang bersifat administratif untuk diberikan kepada
institusi yang berada dalam sayap pemerintah pusat. Institusi tersebut
diwujudkan dalam dengan cara pembentukan dan pengoperasionalan
berbagai kantor atau institusi pusat yang ditempatkan pada berbagai
wilayah atau lembaga pemerintah lain yang dibawahnya yang diatur dan
ditetapkanmelaluiperundangan.
Berkaitan dengan keempat kategori desentralisasi yang berbeda-
beda, maka Morrison (2004) memvisualisasikan hubungan antara
sentralisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sebuah spektrum
yang menjelaskan bahwa perubahan struktur pemerintahan dapat
berlangsung dalam dua arah, yakni arah kanan yang menandai
penyebaran atau desentralisasi dan bisa juga arah ke sebelah kiri dari titik
sentralisasimenjadikanpelimpahanwewenangpusatataudekonsentrasi.
Spektrum tadi selintas memperlihatkan adanya arah yang berlawanan
secara diametral yang tidak memungkinkan keduanya bisa bertemu.Akan
tetapi, sesungguhnya kedua arah tersebut bisa dipersatukan dengan
posisi sentral (pusat) yang harus terjaga, sehingga menyerupai bandul
jarum jam tembok yang mengayun ke kiri dan kemudian mengayun
kekanan. Posisi sentral yang dapat mengayun ke kiri (desentralisasi) dan
ke kanan (dekonsentrasi) dikembangkan oleh Ayat dan Faozan (2007)
sepertinampakpadagambarberikut:
/19/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Gambar 2.1
Spektrum Bandul Sentralisasi, Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Bandul bola yang berawal dari sentral itu bisa mengayun ke
sebelah kiri (desentralisasi) dan frekuensi yang teratur akan mengarah ke
tengah (sentralisasi) dan kemudian mengayun ke sebelah kanan
(dekonsentrasi). Dengan kata lain, bola yang berada di sebelah kanan
dalam waktu bersamaan akandihimpitkandenganbola yang mengarah ke
kiri. Ayunan bola bisa menyerupai, institusi pemerintah daerah
(pemerintah provinsi) yang desentralisasi akan secara berhimpitan juga
menjadi lembaga administratif yang juga berfungsi sebagai
penyelanggaran kewenangan dekonsentrasi dari pemerintah pusat.
Dengan demikian pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi
tergantung ritme dan frekuensi ayunan bola yang digerakkan. Tepatnya
pemerintah provinsi memainkan peran ganda, yakni sebagai pemerintah
daerah pada satu sisi dan pada sisi lain menjadi perpanjangan dari
pemerintah pusat. Peran ganda ini dijalankan secara dinamis dan tidak
bersifattumpangtindih.
Dalam konteks perubahan struktur pemerintahan, khususnya di
negara berkembang pola perubahan bisa berlangsung cepat, manakala
struktur yang ada tidak menampakkan adanya keteraturan atau
keseimbangan fungsi dari masing-masing struktur yang ada. Keteraturan
/20/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
tersebut ditandai dengan tetap kokoh dan kesatuan pemerintahan suatu
wilayah negara. Atau dengan kata lain, pilihan untuk desentralisasi atau
dekonsentrasi pada dan atau bahkan keduanya senantiasa terikat dengan
keteraturanpemerintahansuatubangsa.Polapemerintahanyangbersifat
dekonsentrasi adalah pola dan struktur pemerintahan yang selama ini
kekuasannya digenggam kemudian dilimpahkan kepada lembaga atau
badan dan juga kepala pemerintah administratif yang terpercaya, dan
kewenangan tersebut sifatnya terbatas untuk menjadi perpanjangan
tangandaripemerintahpusat(UNDP,1999:17).
B. HubunganPusatdanDaerahBerdasarkanUUNo.32Tahun2004
UU No. 22 Tahun 1999 diubah karena dipandang lemah, terutama
pada Pasal 4 ayat (2) yang memandang bahwa keberadaan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang cenderung berdiri
sendiri yang ditunjukkan dengan tidak adanya hubungan hierarki satu
sama lain. Hubungan ini dipandang mengingkari azas dan komitmen
dalam kesatuan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana
peranan Daerah Provinsi tidak lagi membawahi Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota. Konsekwensinya, Pemerintah daerah kabupaten dan kota
merasa dirinya sejajar dengan pemerintah provinsi, sehingga pemerintah
daerah provinsi berada dalam peran yang lemah. Dalam penjelasan
memang masih ada klausul yang menyebutkan, bahwa gubernur selaku
wakil Pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan
terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, namun peran tersebut
tidaklahmengigit.
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22
Tahun 1999 adalah perubahan yang dipandang menarik kepada bandul
desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Berbagai respon berlangsung di
berbagai kalangan, termasuk kalangan pemikir tata negara di Indonesia.
Sebagian respon tersebut mengarah pada penilaian pengembalian
paradigma lama yang sentralistik, dan sebagian lagi memberi respon
positif atas kesetujuannya dengan format pemerintahan yang mengawal
keteraurandankesatuandengantetapdesentralisasiterusberperan.
Pada pasal 2 ayat 4 ditegaskan bahwa, pemerintahan daerah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan
/21/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
dengan Pemerintah (pusat) dan dengan pemerintah daerah lainnya. Di
samping itu pada pasal 2 ayat 7 ditetapkan bahwa hubungan wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan
antarsusunanpemerintahan.
Perlunya kembali menata hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah dalam kaitannya dengan hubungan kerja yang saling berkaitan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berformat
hubungan kerja bersistem kesatuan. Dikembalikannya hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam wadah satu kesatuan
pada hakekat mengembalikan organisasi pemerintah yang pada dasarnya
bersifat tunggal dengan muara penanggung jawab pemerintahan adalah
pemerintah pusat. Sehubungan dengan hal itu dan mengingat akan azas
dan komitmen sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pada
Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas
mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
tersebut.
Hubungan keduanya dapat dikategorikan (1) hubungan vertikal;
(2) hubungan horizontal; dan (3) hubungan diagonal. Hubungan vertikal
diasosiasikan dengan pola hubungan atas-bawah. Sedangkan hubungan
horizontallebihmengarahpadahubungankesederajatan,yaknihubungan
hubungan antarpejabat/unit/instansi yang setingkat. Sementara
hubungan diagonal adalah hubungan yang menyilang dari atas ke bawah
secara timbal balik antara dua unit yang berbeda induk. Ketiga pola
hubungan tersebut mengarah pada dua hubungan sebagaimana
ditegaskanpadapasal18A,UUNomor32Tahun2004,yakni:(l)Hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi, kabupaten dan kota diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah; (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumberdaya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secaraadildanselarasberdasarkanundang-undang.
/22/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
C. KewenanganDekonsentrasi
1. KonsepDekonsentrasi
Sebagaibagiandaritranferwewenangtidakdipandangsebagai
bagian dari makna desentralisasi dalam arti yang luas. Dekonsentrasi
sebaliknya diasosiasikan sebagai kebalikan dari desentralisasi dalam
arti devolusi karena lebih menekankan pada distribusi kekuasaan
pusat yang memperkuat dan menstabilkan kekuasaan pusat di daerah.
Kebijakan ini dipandang tidak popular di Indonesia sejak reformasi di
gulirkan pasca krisis, selain juga pengalaman-pengalaman masa lalu
yang tidak menyenangkan ketika Orde baru berkuasa. Ketika
dekonsentrasi digulirkan bersamaan dengan desentralisasi dan tugas
perbantuan dalam UU nomor 32/2004, maka dapat dipahami
bilamana mengundang banyak opini. Dalam Undang-undang tersebut
dekonsentrasi menjadi salah satu pilar yang dimaksudkan untuk
belangsungnya keseimbangan dalam struktur pemerintahan di
Indonesia, khususnya dalam kesatuan dan persatuan dalam wilayah
RepublikIndonesia.
Bagi Dore dan Woodhill (1999: 16) dekonsentrasi dipandang
sebagai proses kepemerintahan yang dilakukan dengan cara
menciptakan daerah-daerah administratif untuk tujuan efisiensi
manajemen program. Implementasi dekonsentrasi diberikan atau
diturunkan, baik secara luas ataupun terbatas dari pemerintah pusat
kepada regional manager yang ditempatkan pada suatu daerah. Selain
itu dekonsentrasi juga melibatkan transfer kewenangan yang sifatnya
terbatas dalam hal pengambilan keputusan yang spesifik dan
manajemen fungsional dengan cara-cara administratif kepada level
organisasi yang berbeda, namun demikian tetap berada di bawah
kewenangan yuridis yang sama dari pemerintah pusat (UNDP, 1999:
17). Karena itu dekonsentrasi sering dianggap pula pseudo
desentralisasi atau desentralisasi yang tidak sebenarnya, karena tidak
mengandung dan menjalankan kebijakan yang sifatnya substansi lokal
dalampengambilankeputusan(Fesler,1969,danMorrison,2004).
Munculnya konsep dekonsentrasi dilakukan ketika terjadi
peningkatan fungsi dan aktivitas pemerintahan yang memperlihatkan
adanya gejala kesenjangan (gap) yang kian hari kian melebar antara
/23/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
pemerintah pusat dan daerah. Dekonsentrasi muncul terhadap
kebutuhan publik untuk berinteraksi secara intensif dengan
pemerintah pusat. Kemunculan dekonsentrasi ditandai dengan
dibentuk dan diperasionalkannya sejumlah kantor-kantor parlemen
dan pemerintah yang berada di luar ibukota (Asia Researh Centre,
2001).
Makna dekonsentrasi sendiri oleh Cheema dan Rondinelli
(1983 18 - 25) sebagai redistribusi tanggungjawab administratif yang
diberikan di antara lembaga pemerintah pusat. Lembaga pemerintah
tersebut adalah kantor-kantor perwakilan yang berada di setiap
wilayah daerah. Redistribusi tersebut bisa berupa field administration;
danataulocaladministration.
Field administration, adalah penempatkan kantor-kantor
pemerintah pusat di setiap wilayah daerah yang sering disebut juga
regionalisasi. Umumnya regionalisasi mengarah pada pendistribusian
wewenang pemerintah pusat yang diberikan kepada kantor pusat di
daerah dalam bentuk beberapa pelayanan publik, sehingga
menyerupai kantor cabang. Urusan pelayanan publik itu ada yang
sifatnya sektoral dan ada pula pelayanan yang fungsional. Sedangkan
Local administration, adalah jenis desentralisasi yang menjadikan
seluruh subordinasi pemerintahan dalam suatu negara adalah sebagai
agen pemerintah pusat. Biasanya yang menjadi agen pemerintah pusat
tersebut adalah lembaga-lembaga eksekutif. Administrasi lokal
tersebut ada yang bersifat mengikat (integrated) dan ada administrasi
lokal yang tidak terintegrasi (unintegrated). Dalam pandangan Irawan
Soejipto (1976: 33-34), desentralisasi dalam pemahaman
administratif diartikan sebagai wewenang pemerintah pusat yang
dilaksanakan dengan cara melimpahkannya kepada organ pemerintah
yang dibentuk dan ditempatkan di wilayah daerah, dimana limpahan
kewenangan tersebut diberikan melalui pejabat-pejabat pemerintah
daerah.
Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa secara teoritik
dekonsentrasi merupakan bagian dari desentralisasi, atau dengan kata
lain desentralisasi dalam arti luas mencakup makna dekonsentrasi.
Perbedaan dekonsentrasi dan desentralisasi dikemukakan oleh Ateng
/24/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Syafrudin (2006: v) adalah desentralisasi bermakna bentuk
penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah atau organ yang lebih bawah, sedangkan dekonsentrasi sebagai
bentuk pelimpahan sebagian wewenang antarlembaga pemerintah
pusat atau yang di bawahnya. Mengingat demikian, maka kebijakan
dekonsentrasi sama pentingnya dengan desentralisasi dalam sistem
pemerintahandiIndonesia.
Keuntungan diterapkannya dekonsentrasi menurut Turner
(2002) adalah menjadi 1) Accessibility of officials; 2) Mobilization of
local resources; 3) Rapid response to local needs; 4) Orientation to the
specific local needs; 5) Motivation of field personnel; 6) Inter-office
coordination; dan 7) Central agencies. Secara lebih lengkap, Turner
menulissebagaiberikut:
a. Accessibility of officials. Officials are available for consultation,
advice, and complaint. As local officials can exercise decentralized
authority, theymake thedecisions and do not need topass themup the
linetodistantcentraloffices.
b. Mobilization of local resources. It is easier for locally based officials
to identify local resources, both human and physical, and then
mobilize them in the pursuit of locally determined developmental
purposes. Officials should also be familiar with specific local
constraintsandthedynamicsoflocalpolitics.
c. Rapid response to local needs. Officials are better placed to respond
rapidly to local needs as they are in the territory and fully aware of
localconditions.
d. Orientation to the specific local needs. Because officials know the
local conditions, they are well placed to make decisions and allocate
resources which fit with the specific conditions prevailing in a
particular territory. Each sub-national territory may have some
unique features which can be taken into account when planning and
allocatingresources.
e. Motivation of field personnel. Appointed government officials are
moremotivatedtoperformwellwhentheyhavegreaterresponsibility
forprogramstheymanage.
/25/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
f. Inter-office coordination. Coordination between offices dealing
withdifferentfunctionsismoreeasilyachievedatthelocallevelwhere
officials are physically close together and are often familiar with each
other.
g. Central agencies. The decentralization of service functions relieves
central agencies of routine tasks. Responsibility for these has been
passed down to the local level. Central agencies can thus focus on
improving the quality of policy. Monitoring local-level performance
and providing assistance to sub-national units are key element of this
reformulatedcentralgovernmentrole.
Bagi Smith (1993) menyatakan ada sembilan keuntungan atau
manfaat bilamana dilaksanakan desentralisasi. Keuntungan tersebut,
yaitu:
a. Dapatlebihefektifuntukpemenuhankebutuhanmasyarakatlokal;
b. Dapat memberikan pelayanan kepada kelompok-
ketempokmasyarakatmiskin;
c. Masyarakat dapat memiliki akses terhadap kantor-kantor
pelayananditingkatlokal;
d. Dapat menjadi sarana untuk memobilisasi dukungan bagi
pembangunan,khususnyaditingkatpedesaan;
e. Bisa menjadi obat bagi pemerintah pusat yang terkena penyakit
patologibirokrasi;
f. Dapat meningkatkan persatuan dan stabilitas politik (unity and
stability)
g. Dapatmeningkatkanpartisipasimasyarakatditingkatlokal;
h. Dapat dipakai sebagai alat untuk memobilisasi sumber-sumber
lokal;
i. Dapat memungkinkan adanya koordinasi pembangunan di daerah
lebihefektiflagi.
Kendati demikian, penerapan desentralisasi di negara-negara
berkembang (khususnyadiIndonesia)harusdipersiapkansedemikian
rupa untuk mencegah permasalahan yang lebih komplek. Pandangan
itu disampaikan oleh Jennie Litvack, Juaid Ahmad dan Richard Bird
/26/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
(1998; 7) bahwa "Designing decentralisation policy is difficult in any
countrybecausedecentralisationcanaffectmanyaspectsofpublicsector
performance and generate a wide range of outcomes. But it is
particularly difficult in deeloping countries because institutions,
informationandcapacityareallverywell.
Lebih lanjut mereka memperingatkan dampak penerapan
desentralisasi dapat menambah semakin menganganya
ketidakmerataan dan kesenjangan masyarakat miskin terhadap
pelayanan publik: "..... if the central government makes no effort to
redistribute resources to poorer areas, fiscal decentralisation will result
in growing disparities. Similarly if provinces or state do not redistribute
within their jurisdiction, poor people may lack access to public
services"(1998;8).
Baik pemilihan desentralisasi ataupun dekonsentrasi
keberhasilannya bukan semata-mata dari sisi konsep, melainkan
dipengaruhidanditentukanolehkondisilingkungan.Werin(Nasution;
2000 ; 28) menyatakan bahwa "there is no way of organizing, they will
say, sametimes addling: no best policy, approach, or technology. As
evidence, they can point to the centralized hierarchical organization
have no greater probability of success than fragmented or decentralized
ones. Kenyataan permasalahan lebih banyak ditentukan dari realitas di
lapangan. Permasalahan tersebut bisa timbul pada level pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah disebabkan adanya keterbatasan
akansumberdaya.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia
memang diakui bersama tidak dipersiapkan secara maksimum.
Kebijakan ini cenderung lebih banyak didorong oleh respon yang
ketergesa-gesa pasca krisis multidimensi. Dalam perjalannyan dapat
diperhatikan banyaknya ekses yang mengarah pada ketidakteraturan,
diantaranya ditunjukkan dengan tanda-tanda kesenjangan atau gap
antarberbagai pihak yang ada dalam struktur pemerintahan,
khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah ataupun
antarpemerintahan daerah. Ketidakteraturan yang bersifat senjang itu
semakin menajam oleh pemahaman bahwa pelaksanaan otonomi
daerah hanya kaitan dengan dengan urusan sendiri yang mengabaikan
urusanpihakpemerintahdaerahlain.
/27/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Pembakuan dekonsentrasi dipandang sebagai formulasi yang
akan merekatkan kembali berbagai persepsi dan implementasi
desentralisasi yang menyalahi penggunaan, sehingga jalinan
interkoneksi dan ketergantungan antarpemerintahan menjadi
terciptakan, dan mencegah terjadinya ketergantungan mutlak dan
represif sebagaimana pengalaman pemerintahan di masa lalu.
Interkoneksi tersebut menjadi temali yang mengikat kebersamaan
gerak dengan memfungsikan kantor-kantor atau badan-badan dan
juga pemerintahan yang berada di struktur menengah untuk menjadi
tangankananpelimpahankewenanganpemerintahpusat.Dengankata
lain interkoneksi adalah perwujudan responsibilitas kebijakan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau semi organisasi-
otonom yang kedudukannya tidak dikontrol oleh pemerintah pusat,
namun tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Schneider,
2003:12).
2. Dekonsentrasi sebagai Sistem Kesatuan Penyelenggaraan
PemerintahanDaerah
Mandat wewenang yang menitikberatkan desentralisasi,
tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan penguatan
pada struktur pemerintahan menengah untuk memerankan
dekonsentrasi, selaindesentralisasi.Pemandatan untuk melaksanakan
urusan desentralisasi diorientasikan agar pemerintah lebih
menghayati eksistensi dirinya sebagai bagian dari rakyat dan sekaligus
menjadiinstrumenuntukpemenuhankebutuhanrakyat.
Tugas utama pemerintah yang dimandatkan dengan
perundangan tersebut, tidak lain agar dapat melaksanakan pelayanan
kepada masyarakat secara lebih baik, yaitu pelayanan yang baik, cepat,
murah, adil dan terjangkau. Prinsip dasar pelayanan publik yang telah
diuji menunjukkan, hanya pemerintah yang dekat dengan rakyat yang
dapat memahami dan melaksanakan fungsi pelayanan secara
berkualitas. Struktur pemerintahan yang paling dekat dan dapat
merapat dengan rakyat adalah pemerintah daerah. Dengan demikian
kebijakan desentralisasi merupakan prasyarat dalam upaya
peningkatanpelayanankepadamasyarakat.
/28/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Pelaksanaan desentralisasi yang telah berlangsung lebih dari
enam tahun memberi pengalaman, bahwa desentralisasi dalam batas-
batas tertentu dipandang berhasil meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, namun pada sisi lain menunjukkan arah kebebasan dan
eklusivisme. Kondisi demikian apabila dibiarkan akan mengancam
keteraturan dalam wadah kesatuan. Untuk itu pasal 2 Undang-Undang
Nomor32tahun2004menegaskan,bahwa:
1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota
yangmasing-masingmempunyaipemerintahandaerah;
2) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asasotonomidantugaspembantuan;dan
3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraanmasyarakat,pelayananumum,dandayasaingdaerah.
Selain itu pada masih dalam pasal yang sama, pada ayat 4, 5, 6
dan 7 diberikan penegasan kepentingan hubungan untuk meminta
keteraturan.Bunyiayattersebutadalahsebagaiberikut:
4) Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan
pemerintahandaerahlainnya;
5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam,dansumberdayalainnya;
6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam,dansumberdayalainnyadilaksanakansecaraadildanselaras;
dan
7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan
pemerintahan.
/29/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Ketentuan yang menunjukkan karakeristik negara kesatuan
dengan kebijakan desentralisasi tersebut harus diikat oleh suatu pola
hubungan antara pemerintah Pusat dan daerah dalam upaya mencapai
pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Dengan demikian
penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia yang ditafsirkan sebagai
pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dilihat dari dua aspek, yakni (1) pembentukan daerah otonom
dan(2)penyerahankekuasaan secarahukumdaripemerintahpusatke
daerah tidak bisa dipisahkan dari ruh dan komitmen dari negara
kesatuan.
3. FungsiKewenanganDekonsentrasi
Kewenangan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi
mengalami pasang surut dalam perubahan struktur pemerintahan di
Indonesia. Sejalan dengan kebutuhan kebangsaan, perubahan struktur
pemerintahan melalui peraturan perundang-undangan yang ada telah
ada telah mengalami delapan kali perubahan sejak kemerdekaan. Pada
dasarnya kebijakan dekonsentrasi mendapat perhatian pada
perubahan di tahun 1945 dan 1965. Sedangkan perubahan yang
menyeimbangkan antara desentralisasi dan dekonsentrasi mengalami
tiga kali, yakni tahun 1957; tahun 1974; dan tahun 2004. Selengkapnya
perubahankebijakantersebutdapatdiperhatikan,sebagaiberikut:
a. UU No. 1 Tahun 1945 lebih menitikberatkan pada kebijakan
dekonsentrasi.
b. UU No. 22 Tahun 1948 lebih menitik beratkan pada kebijakan
desentralisasi.
c. UU No. 1 Tahun 1957 mengabungkan kebijakan desentralisasi dan
dekonsentrasi.
d. Perpres No. 6 Tahun 1959 menitikberatkan pada kebijakan
dekonsentrasi.
e. UU No. 18 tahun 1965 menitikberatkan pada kebijakan
desentralisasi.
f. UU No. 5 Tahun 1974 menggabungkan kebijakan desentralisasi,
dekonsentrasi,dantugasperbantuan.
g. UU No. 22 tahun 1999 menitikberatkan pada kebijakan
desentralisasi.
/30/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
h. UU No. 32 Tahun 2004 penggabungan kebijakan desentralisasi,
dekonsentrasi,dantugaspembantuan.
Tugas dan wewenang penyelenggaraan dekosentrasi pada UU
Nomor 5 Tahun 1974 menunjukkan kepala wilayah mendapat
pelimpahanwewenanguntukmelaksanakandekonsentrasidalamhal:
a. Membina ketentraman dan ketertiban di wilayah sesuai dengan
kebijakan ketentraman dan ketertiban yang ditetapkan oeh
pemerintah.
b. Melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan
idiologi negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan
bangsasesuaidengankebijaksanaanyangditetapkanpemerintah.
c. Menyelenggarakan koordinasi atas segala kegiatan dan antara
instansi-instansi vertikal. Instansi vertikal dengan dinas-dinas
daerah, baik dalam perencanaan, pelaksanaan untuk mencapai
dayagunadanhasilgunayangsebesar-besarnya.
d. Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
e. Mengusahakan secara terus-menerus segala peraturan
perundangan-undangan dan peraturan daerah dijalankan oleh
instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pejabat-
pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan
yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan.
f. Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau
berdasarkanperaturanperundang-undangandiberikankepadanya.
g. Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang tidak termasuk
dalamtugassesuatuinstansilainnya.
Sedangkan fungsi dan wewenang pejabat dekonsentrasi yang
melekat pada jabatan Gubernur berdasarkan PP nomor 39 Tahun 2000
terbagi dalam sepuluh butir, yaitu: (1) Mengaktualisasikan Nilai
Pancasila; (2) Mengkoordinasikan manajeman wilayah; (3)
Memfasilitasi kerjasama dan mengatasi konflik; (4) Melantik
Bupati/Walikota; (5) Memelihara hubungan antardaerah; (6)
/31/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Memfasilitasi perencanaan dan penegakan perundang-undangan; (7)
Menyelenggarakan tugas-tugas lain (urusan pemerintahan); (8)
Merencanakan pemindahan kabupaten/kota; (9) Melakukan penega
kan represif antardaerah provinsi , kabupaten/kota; dan (10)
Memberikanpertimbanganpembentukandanpemekaranwilayah.
Selanjutnya pada Undang-undang nomor 32/2004 tugas
kewenangan desentralisasi untuk pemerintah provinsi menjadi lebih
kuat. Tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
tersebut diperas menjadi tiga bagian, yaitu pemerintah provinsi
sebagai wakil pemerintah berkewajiban melaksanakan pembinaan
dan pengawasan kepada pemerintah kabupaten/kota diatur dalam
Pasal38ayat(1)UUNomor32tahun2004,yaitu:
a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerahkabupaten/kota.
b. Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi
dankabupaten/kota;
c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuandidaerahprovinsidankabupaten/kota.
D. PenyelenggaraanKewenanganDekonsentrasi
1. JenisdanKriteriaKewenangan
Penyelenggaraan kewenangan akan berkaitan dengan
pembagian urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah
(Pusat) dengan daerah otonom. Dalam konteks dekonsentrasi
disandarkan pada pemikirann akan terdapat berbagai urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan khusus Pemerintah sebagai
penanggung jawab akhir pemerintahan. Urusan pemerintahan
tersebut bersifat mendasar yakni menyangkut jaminan untuk tetap
berlangsungnya kehidupan bangsa dan negara, yakni tertuang dalam
Pasal 10 ayat (3): Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: politik luar
negeri; pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional;
danagama.
/32/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, termasuk
pemerintah provinsi terbagi dalam dua kategori, yakni urusan wajib
dan urusan pilihan sebagaimana tercantum pada Pasal 13 dan 14,
sebagaiberikut:
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan merupakan urusan
dalamskalaprovinsiyangmeliputi:
a. perencanaandanpengendalianpembangunan;
b. perencanaan,pemanfaatan,danpengawasantataruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
d. penyediaansaranadanprasaranaumum;
e. penangananbidangkesehatan;
f. penyelenggaraanpendidikandanalokasisumberdayamanusia
potensial;
g. penanggulanganmasalahsosiallintaskabupaten/kota;
h. pelayananbidangketenagakerjaanlintaskabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuklintaskabupaten/kota;
j. pengendalianlingkunganhidup;
k. pelayananpertanahantermasuklintaskabupaten/kota;
l. pelayanankependudukan,dancatatansipil;
m. pelayananadministrasiumumpemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakanolehkabupaten/kota;dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan,danpotensiunggulandaerahyangbersangkutan.
Selain jenis urusan pemerintah yang didesentralisasikan
kepada pemerintah provinsi, juga terdapat urusan yang bersifat
/33/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
concurrent. Artinya urusan pemerintahan tersebut yang
pelaksanaannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukan
bersama antara Pemerintah dan pemerintahan provinsi. Dengan
demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent itu senantiasa ada
bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah yang sifatnya
meluas. Bagian urusan tersebut yang pelaksanaannya
didekonstrasikan atau diserahkan kepada pemerintah provinsi, selain
juga dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada pemerintah
provinsi yang kemudian diteruskan kepada pemerintah
kabupaten/Kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent
yang akan didekonsentrasikan secara proporsional antara Pemerintah,
Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka terdapat tiga
kriteria dan sekaligus menjadi karakteristik utamanya: (l)
eksternalitas; (2) akuntabilitas dan (3) efisiensi dengan tetap
mempertimbangkan azas keserasian hubungan pengelolaan urusan
pemerintahanantartingkatpemerintahan.
Kriteria eksternalitas adalah kriteria dalam pembagian urusan
pemerintahan yang menitikberatkan dan mempertimbangkan pada
dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat
lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan
kabupaten/kota. Demikian juga bilamana bersifat regional, akan
menjadi kewenangan provinsi, dan bilamana berskala nasional
menjadikewenanganPemerintahPusat.
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan bahwa tingkat
pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak dari akibat
urusan yang ditangani tersebut. Pertimbangan ini menjadikan
akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut
kepadamasyarakatakanlebihterjamin.
Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personil, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan,
/34/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan. Artinya, apabila suatu bagian urusan
dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan
berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau daerah
Kabupaten/Kota dibandingkan apabila suatu bagian urusan ditangani
oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh
Pemerintah. Untuk itu, pembagian bagian urusan harus disesuaikan
dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian
urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna
tersebutdilihatdaribesarnyamanfaatyangdirasakanolehmasyarakat
danbesarkecilnyaresikoyangharusdihadapi.
Keserasian hubungan dimaksudkan pengelolaan bagian
urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan itu
berbeda, yakni memiliki karakteristik yang sifatnya saling
berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan
saling mendukung sebagai perwujudan satu kesatuan dalam sistem
denganmemperhatikancakupankemanfaatan.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) merupakan tindak lanjut dari Pasal 11 ayat (4) dan
Pasal14ayat(3)Undang-UndangNomor32Tahun2004.PadaPasal11
ayat (4) disebutkan bahwa 'Penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal
dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah'.
Selanjutnya pada Pasal 14 ayat (3) disebutkan 'Pelaksanaan ketentuan
sebagaimanadimaksuddalamPasal10,Pasal11,Pasal12,Pasal13dan
Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah'. Kerjasama pemberian pelayanan publik ini sangat
penting, mengingat tidak semua pelayanan dapat dilakukan secara
'sendirian' oleh pemerintah daerah. Dengan demikian,
kerjasama/kemitraan pemberian pelayanan ini dapat menjadi salah
satusolusidalammenciptakanpelayananyangprima.
Berdasarkan substansi kedua pasal di atas, urusan
pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan pelayanan seperti pendidikan dasar, kesehatan,
/35/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan;
sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat
denganpotensiunggulandankekhasandaerah.
2. KewenanganPembiayaanDekonsentrasi
Mekanisme pelimpahan urusan pemerintahan melalui
dekonsentrasi dilakukan dengan mekanisme penyerahan atas usul
pemerintah daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintah yang
akan diatur dan diurusnya tersebut. Berbagai usulan itu kemudian
dilakuakan verifikasi oleh pihak Pemerintah pusat. Sebelum itu
pemerintah pusat juga memberikan penjelasan atas bagian urusan-
urusanapayangsaatinimasihmenjadikewenanganPusatdengancara
menyandarkan pada kriteria eksternalitas; akuntabilitas dan efisiensi
yangsepantasnyadiserahkankepadaDaerah.
Di dalam UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
dinyatakan bahwa dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari
APBNyangdilaksanakanolehgubernursebagaiwakilPemerintahyang
mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka
pelaksanaan Dekonsentrasi yang di dalamnya tidak termasuk dana
yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Besarnya
dana disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan
antara Pemerintah dan Daerah. Dalam hal semua sumber keuangan
yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada
daerahmenjadisumberkeuangandaerah.
Dalam hal ini pemerintah daerah diberi hak untuk
mendapatkan sumber keuangan yang diantaranya dari ketersediaan
pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang
diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan
retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-
sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan
lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan
sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber
pembiayaan, sebagaimana tercantum pada pasal 15 UU No 32 Tahun
2004sebagaiberikut:
/36/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
(1) Hubungan dalam bidang keuangan antara Pemerintah dan
pemerintahandaerahsebagaimanadimaksuddalamPasal2ayat
(4)danayat(5)meliputi:
a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyeleng-
garakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahandaerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan
daerah;dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan
daerah.
(2) Hubungan dalam bidang keuangan antarpemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5)
meliputi:
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah
provinsidanpemerintahandaerahkabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung
jawabbersama;
c. pembiayaanbersamaataskerjasamaantardaerah;dan
d. pinjamandan/atauhibahantarpemerintahandaerah.
(3) Hubungan dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Pada UU No 17 Tahun 2003 terdapat penegasan bidang
pengelolaan keuangan dimana kekuasaan pengelolaan keuangan
negara adalah bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan
pengelolaan keuangan negara dari Presiden sebagian diserahkan
kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan
daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah
daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan
keuangan daerah, yaitu bahwa Gubernur/Bupati/Walikota
bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah. Dengan
demikianpengaturanpengelolaandanpertanggungjawabankeuangan
daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan
daerah,yaitudalamundang-undangmengenaiPemerintahanDaerah.
/37/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
Pasal 87 UU No 17 Tahun 2003 menyebutkan: (1) Pendanaan
dalam rangka Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan
wewenang Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah; (2) Pelaksanaan
pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai
oleh Pemerintah; (3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan wewenang yang
dilimpahkan;(4). Kegiatan Dekonsentrasi di Daerah dilaksanakan oleh
SKPD yang ditetapkan oleh gubernur; (5). Gubernur memberitahukan
rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga yang
berkaitan dengankegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada DPRD;(6).
Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 6
diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD; dan (7).
Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk
kegiatanyangbersifatnonfisik.
Pasal 89 UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dijelaskan mekanisme
penyaluran Dana Dekonsentrasi dilakukan melalui Rekening Kas
Umum Negara. Pada setiap awal tahun anggaran gubernur sebagai
kepala pemerintahan provinsi akan menetapkan Satuan Kerja
Perangkat Daerah untuk menjadi pelaksana kegiatan Dekonsentrasi.
Apabila terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi,
maka sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN. Demikian
juga dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Dekonsentrasi,
maka saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
Bilamana pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan,
maka penerimaan tersebut juga dipandang sebagai penerimaan APBN
dan karenannya harus disetor melalui Rekening Kas Umum Negara
sesuaidenganperaturanperundang-undanganyangberlaku.
Berkenaan dengan mekanisme pertanggungjawaban dan juga
Pelaporan Dana dekonsentrasi dijelaskan oleh pasal 90 UU Nomor 33
tahun 2004, yaitu: Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan
Dekonsentrasi harus dilakukan secara terpisah dari penatausahaan
keuangan dalam bidang pelaksanaan Tugas Pembantuan dan
Desentralisasi. SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang
/38/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
dalam rangka Dekonsentrasi itu mesti dilakukan secara tertib sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SKPD-SKPD
tersebut senantiasa menyampaikan laporan akan pelaksanaan
kegiatan Dekonsentrasi yang diperolehnya kepada gubernur, yang
selanjutnya Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban
secara keseluruhan menganai pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi
kepada para menteri negara ataupun pimpinan lembaga yang
memberikan pelimpahan wewenang dekonsentrasi. Akhirnya para
menteri negara atau pimpinan lembaga tersebut kemudian
menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan
DekonsentrasisecaranasionalkepadaPresiden.
Mengenai status barang yang digunakan dalam pelaksanaan
dekonsentrasi diatur melalui pasal 91 UU Nomor 33 tahun 2004.
Dalam ketentuan bahwa semua barang yang diperoleh dari dana
dekonsentrasi adalah menjadi barang milik Negara. Barang miliki
negara itu dihibahkan kepada Daerah yang wajib untuk dikelola dan
diarsipkan. Sedangkan barang milik negara yang tidak dihibahkan
kepada Daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh pihak
kementerian negara atau lembaga yang memberikan pelimpahan
wewenang.
E. KinerjaPemerintahProvinsidalamPenyelenggaraanDekonsentrasi
1. KinerjaPemerintahProvinsidalamKoordinasiPenyelenggaraan
Berkenaan dengan tugas dan fungsi sebagai bagian dari
pemerintah yang diberi pelimpahan sebagian wewenang melalui
dekonsentrasi, maka pemerintah provinsi membutuhkan instrumen
yang tetap untuk dapat mengintegrasikan antara satu unit dengan unit
yang lain dan antara satu jabatan dengan jabatan yang lain. Dalam
kaitan ini koordinasi menjadi penting adanya dalam menciptakan
integrasi dan sinkronisasi agar keseluruhan unit badan yang ada
berfungsi seirama dalam mencapai tujuan desentralisasi sebagaimana
yang ditetapkan. Sejalan dengan hal itu, Stonner (1990: 318)
mendefinisikan koordinasi sebagai “proses pemaduan tujuan dan
kegiatan unit-unit yang terpisah (departemen dan bidang-bidang
fungsional) dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara
efisien”.
/39/
KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

More Related Content

What's hot

Pemantapan Kompetensi Kinerja Sumber Daya Aparatur Daerah di Wilayah Kalimantan
Pemantapan Kompetensi Kinerja Sumber Daya Aparatur Daerah di Wilayah KalimantanPemantapan Kompetensi Kinerja Sumber Daya Aparatur Daerah di Wilayah Kalimantan
Pemantapan Kompetensi Kinerja Sumber Daya Aparatur Daerah di Wilayah KalimantanTri Widodo W. UTOMO
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera baratEKPD
 
Proker pas/uas smk ganjil 17 18
Proker pas/uas smk ganjil 17 18Proker pas/uas smk ganjil 17 18
Proker pas/uas smk ganjil 17 18Wahyu Amin
 
Proker pat 2018-2019
Proker pat 2018-2019Proker pat 2018-2019
Proker pat 2018-2019Wahyu Amin
 
Borang brawijaya
Borang brawijayaBorang brawijaya
Borang brawijayaAndri ZZs
 
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanBidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanTri Widodo W. UTOMO
 
Laporan Partisipatif Persebaran Wisata Kuliner Sepanjang Jalan Mulyosari
Laporan Partisipatif Persebaran Wisata Kuliner Sepanjang Jalan MulyosariLaporan Partisipatif Persebaran Wisata Kuliner Sepanjang Jalan Mulyosari
Laporan Partisipatif Persebaran Wisata Kuliner Sepanjang Jalan MulyosariNational Cheng Kung University
 
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019Lukman Agung Widodo
 
Buku iiia-borang-akreditasi-d4-pjj-2012 rev-copy2
Buku iiia-borang-akreditasi-d4-pjj-2012 rev-copy2Buku iiia-borang-akreditasi-d4-pjj-2012 rev-copy2
Buku iiia-borang-akreditasi-d4-pjj-2012 rev-copy2Muhammad Iqbal
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Banten - UNTIRTA
Laporan Akhir EKPD 2009 Banten - UNTIRTALaporan Akhir EKPD 2009 Banten - UNTIRTA
Laporan Akhir EKPD 2009 Banten - UNTIRTAEKPD
 
Laporan akhir _siti mutiah ramadania sukmawati _d14180032
Laporan akhir _siti mutiah ramadania sukmawati _d14180032Laporan akhir _siti mutiah ramadania sukmawati _d14180032
Laporan akhir _siti mutiah ramadania sukmawati _d14180032Siti Mutiah Ramadania Sukmawati
 
konsep region dan aplikasi regionalisasi
konsep region dan aplikasi regionalisasikonsep region dan aplikasi regionalisasi
konsep region dan aplikasi regionalisasiagungkunaedi
 
KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 DAN UNUSIDA
KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 DAN UNUSIDAKKN UNUSIDA BERDAYA 2021 DAN UNUSIDA
KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 DAN UNUSIDAnurulrohmatinismi
 
Laporan tahunan
Laporan tahunanLaporan tahunan
Laporan tahunanPaul Aurel
 
Memori Jabatan Dr. Dadang Solihin, SE, MA
Memori Jabatan Dr. Dadang Solihin, SE, MAMemori Jabatan Dr. Dadang Solihin, SE, MA
Memori Jabatan Dr. Dadang Solihin, SE, MADadang Solihin
 
Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Pemda Otonom Kabupaten/Kota di Kalima...
Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Pemda Otonom Kabupaten/Kota di Kalima...Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Pemda Otonom Kabupaten/Kota di Kalima...
Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Pemda Otonom Kabupaten/Kota di Kalima...Tri Widodo W. UTOMO
 

What's hot (20)

Pemantapan Kompetensi Kinerja Sumber Daya Aparatur Daerah di Wilayah Kalimantan
Pemantapan Kompetensi Kinerja Sumber Daya Aparatur Daerah di Wilayah KalimantanPemantapan Kompetensi Kinerja Sumber Daya Aparatur Daerah di Wilayah Kalimantan
Pemantapan Kompetensi Kinerja Sumber Daya Aparatur Daerah di Wilayah Kalimantan
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 
Proker pas/uas smk ganjil 17 18
Proker pas/uas smk ganjil 17 18Proker pas/uas smk ganjil 17 18
Proker pas/uas smk ganjil 17 18
 
Proker pat 2018-2019
Proker pat 2018-2019Proker pat 2018-2019
Proker pat 2018-2019
 
Laporan ojl
Laporan ojlLaporan ojl
Laporan ojl
 
Cvprofsahyar
CvprofsahyarCvprofsahyar
Cvprofsahyar
 
Borang brawijaya
Borang brawijayaBorang brawijaya
Borang brawijaya
 
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
 
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
 
Laporan Partisipatif Persebaran Wisata Kuliner Sepanjang Jalan Mulyosari
Laporan Partisipatif Persebaran Wisata Kuliner Sepanjang Jalan MulyosariLaporan Partisipatif Persebaran Wisata Kuliner Sepanjang Jalan Mulyosari
Laporan Partisipatif Persebaran Wisata Kuliner Sepanjang Jalan Mulyosari
 
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
Rencana strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2015 2019
 
Buku iiia-borang-akreditasi-d4-pjj-2012 rev-copy2
Buku iiia-borang-akreditasi-d4-pjj-2012 rev-copy2Buku iiia-borang-akreditasi-d4-pjj-2012 rev-copy2
Buku iiia-borang-akreditasi-d4-pjj-2012 rev-copy2
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Banten - UNTIRTA
Laporan Akhir EKPD 2009 Banten - UNTIRTALaporan Akhir EKPD 2009 Banten - UNTIRTA
Laporan Akhir EKPD 2009 Banten - UNTIRTA
 
Laporan akhir _siti mutiah ramadania sukmawati _d14180032
Laporan akhir _siti mutiah ramadania sukmawati _d14180032Laporan akhir _siti mutiah ramadania sukmawati _d14180032
Laporan akhir _siti mutiah ramadania sukmawati _d14180032
 
konsep region dan aplikasi regionalisasi
konsep region dan aplikasi regionalisasikonsep region dan aplikasi regionalisasi
konsep region dan aplikasi regionalisasi
 
Tugas kelompok kesbangpol ok ACHMAD AVANDI,SE,MM
Tugas kelompok kesbangpol  ok  ACHMAD AVANDI,SE,MMTugas kelompok kesbangpol  ok  ACHMAD AVANDI,SE,MM
Tugas kelompok kesbangpol ok ACHMAD AVANDI,SE,MM
 
KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 DAN UNUSIDA
KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 DAN UNUSIDAKKN UNUSIDA BERDAYA 2021 DAN UNUSIDA
KKN UNUSIDA BERDAYA 2021 DAN UNUSIDA
 
Laporan tahunan
Laporan tahunanLaporan tahunan
Laporan tahunan
 
Memori Jabatan Dr. Dadang Solihin, SE, MA
Memori Jabatan Dr. Dadang Solihin, SE, MAMemori Jabatan Dr. Dadang Solihin, SE, MA
Memori Jabatan Dr. Dadang Solihin, SE, MA
 
Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Pemda Otonom Kabupaten/Kota di Kalima...
Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Pemda Otonom Kabupaten/Kota di Kalima...Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Pemda Otonom Kabupaten/Kota di Kalima...
Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Pemda Otonom Kabupaten/Kota di Kalima...
 

Similar to evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Modul whole of government cetak
Modul whole of government cetakModul whole of government cetak
Modul whole of government cetakHarun Surya
 
1. whole of government
1. whole of government1. whole of government
1. whole of governmentdillaazhar
 
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdfTeori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdfWellaSitumorang
 
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdfTeori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdfRosihanAnwar26
 
Kajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah di Kalimantan
Kajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah di KalimantanKajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah di Kalimantan
Kajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah di KalimantanTri Widodo W. UTOMO
 
Materi 9 good governance dan otonomi daerah
Materi 9 good governance dan otonomi daerahMateri 9 good governance dan otonomi daerah
Materi 9 good governance dan otonomi daerahfirdaanggraeni2
 
Studi igos 2008
Studi igos 2008Studi igos 2008
Studi igos 2008fsfarisya
 
Analisis singkat terhadap pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dar...
Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dar...Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dar...
Analisis singkat terhadap pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dar...jelita249
 
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatanMakalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatanRarasati Aningsih
 
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...Tri Widodo W. UTOMO
 
Desentralisasi
DesentralisasiDesentralisasi
Desentralisasiadysintang
 
Siti Cholifah_Kkn unusida berdaya 2021 desa sentul
Siti Cholifah_Kkn unusida berdaya 2021 desa sentul Siti Cholifah_Kkn unusida berdaya 2021 desa sentul
Siti Cholifah_Kkn unusida berdaya 2021 desa sentul SitiCholifa
 
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...Tri Widodo W. UTOMO
 
makalah penelitian kualitatif
makalah penelitian kualitatifmakalah penelitian kualitatif
makalah penelitian kualitatifYoski Haryono
 
Kbk sma 11. sosiologi
Kbk sma 11. sosiologiKbk sma 11. sosiologi
Kbk sma 11. sosiologiJasmin Jasin
 
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045Dadang Solihin
 
3. ETIKA PEMERINTAHAN.pdf
3. ETIKA PEMERINTAHAN.pdf3. ETIKA PEMERINTAHAN.pdf
3. ETIKA PEMERINTAHAN.pdfR7MediaPrinting
 

Similar to evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi (20)

Modul whole of government cetak
Modul whole of government cetakModul whole of government cetak
Modul whole of government cetak
 
1. whole of government
1. whole of government1. whole of government
1. whole of government
 
4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
 
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdfTeori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
 
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdfTeori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
Teori_Organisasi_Konsep_dan_Aplikasi.pdf
 
Kajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah di Kalimantan
Kajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah di KalimantanKajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah di Kalimantan
Kajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah di Kalimantan
 
Materi 9 good governance dan otonomi daerah
Materi 9 good governance dan otonomi daerahMateri 9 good governance dan otonomi daerah
Materi 9 good governance dan otonomi daerah
 
Studi igos 2008
Studi igos 2008Studi igos 2008
Studi igos 2008
 
Analisis singkat terhadap pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dar...
Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dar...Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dar...
Analisis singkat terhadap pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dar...
 
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatanMakalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
 
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
 
Desentralisasi
DesentralisasiDesentralisasi
Desentralisasi
 
Desentralisasi
DesentralisasiDesentralisasi
Desentralisasi
 
Desentralisasi
DesentralisasiDesentralisasi
Desentralisasi
 
Siti Cholifah_Kkn unusida berdaya 2021 desa sentul
Siti Cholifah_Kkn unusida berdaya 2021 desa sentul Siti Cholifah_Kkn unusida berdaya 2021 desa sentul
Siti Cholifah_Kkn unusida berdaya 2021 desa sentul
 
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
 
makalah penelitian kualitatif
makalah penelitian kualitatifmakalah penelitian kualitatif
makalah penelitian kualitatif
 
Kbk sma 11. sosiologi
Kbk sma 11. sosiologiKbk sma 11. sosiologi
Kbk sma 11. sosiologi
 
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045
 
3. ETIKA PEMERINTAHAN.pdf
3. ETIKA PEMERINTAHAN.pdf3. ETIKA PEMERINTAHAN.pdf
3. ETIKA PEMERINTAHAN.pdf
 

More from Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN

Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKNPolicy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKNBidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdfBuku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdfBidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 

More from Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN (20)

Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
 
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKNPolicy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
 
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdfBuku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
 
Penguatan Daerah Penyangga Ibu Kota Negara (IKN)
Penguatan Daerah Penyangga Ibu Kota Negara (IKN)Penguatan Daerah Penyangga Ibu Kota Negara (IKN)
Penguatan Daerah Penyangga Ibu Kota Negara (IKN)
 
Pengenalan Pengelolaan Jurnal Borneo Administrator-2020
Pengenalan Pengelolaan Jurnal Borneo Administrator-2020Pengenalan Pengelolaan Jurnal Borneo Administrator-2020
Pengenalan Pengelolaan Jurnal Borneo Administrator-2020
 
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
 
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
 
survey kepuasan masyarakat & survey kepuasan pegawai 2020
survey kepuasan masyarakat & survey kepuasan pegawai 2020survey kepuasan masyarakat & survey kepuasan pegawai 2020
survey kepuasan masyarakat & survey kepuasan pegawai 2020
 
Daftar berita inovasi melawan corona (jilid 1)
Daftar berita inovasi melawan corona (jilid 1)Daftar berita inovasi melawan corona (jilid 1)
Daftar berita inovasi melawan corona (jilid 1)
 
Ekspose Kajian Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah 2019
Ekspose Kajian Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah 2019Ekspose Kajian Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah 2019
Ekspose Kajian Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah 2019
 
Policy Brief Optimalisasi Pengawasan Netralitas ASN
Policy Brief Optimalisasi Pengawasan Netralitas ASNPolicy Brief Optimalisasi Pengawasan Netralitas ASN
Policy Brief Optimalisasi Pengawasan Netralitas ASN
 
Policy Brief Pelaksanaan Kebijakan Netralitas ASN
Policy Brief Pelaksanaan Kebijakan Netralitas ASNPolicy Brief Pelaksanaan Kebijakan Netralitas ASN
Policy Brief Pelaksanaan Kebijakan Netralitas ASN
 
Kajian aktualisasi revolusi mental-PKP2A III LAN 2017
Kajian aktualisasi revolusi mental-PKP2A III LAN 2017Kajian aktualisasi revolusi mental-PKP2A III LAN 2017
Kajian aktualisasi revolusi mental-PKP2A III LAN 2017
 
Kajian pemetaan kemanfaatan proyek perubahan pasca diklatpim
Kajian pemetaan kemanfaatan proyek perubahan pasca diklatpimKajian pemetaan kemanfaatan proyek perubahan pasca diklatpim
Kajian pemetaan kemanfaatan proyek perubahan pasca diklatpim
 
Telaahan TPP Kaltim 2016
Telaahan TPP Kaltim 2016Telaahan TPP Kaltim 2016
Telaahan TPP Kaltim 2016
 
Policy Brief 2016 (Diskresi)
Policy Brief 2016 (Diskresi)Policy Brief 2016 (Diskresi)
Policy Brief 2016 (Diskresi)
 
Policy Brief 2016 (Potensi SDM)
Policy Brief 2016 (Potensi SDM)Policy Brief 2016 (Potensi SDM)
Policy Brief 2016 (Potensi SDM)
 
Policy Brief 2016 (Peningkatan Kapasitas Desa)
Policy Brief 2016 (Peningkatan Kapasitas Desa)Policy Brief 2016 (Peningkatan Kapasitas Desa)
Policy Brief 2016 (Peningkatan Kapasitas Desa)
 
Policy Brief 2016 (kapasitas desa)
Policy Brief 2016 (kapasitas desa)Policy Brief 2016 (kapasitas desa)
Policy Brief 2016 (kapasitas desa)
 
Presentasi potensi SDM sebatik/ Perbatasan
Presentasi potensi SDM sebatik/ PerbatasanPresentasi potensi SDM sebatik/ Perbatasan
Presentasi potensi SDM sebatik/ Perbatasan
 

evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

  • 1.
  • 2. KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI 128 + vii, 2007 Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) A. ISBN 979-1176-09-5 1. Dekonsentrasi 2. Kinerja Pemerintah Daerah Tim Peneliti : ¡Tri Widodo W. Utomo, SH., MA (Peneliti Utama) ¡Dr. Meiliana, SE.,M.Si (Peneliti) ¡Said Fadhil, S.IP (Peneliti) ¡Siti Zakiyah, S.Si (Peneliti) ¡Drs. M. Noor, M.Si (Peneliti) ¡Syahrumsyah Asrie, SH, M.Si (Peneliti) ¡Drs. Syahrial (Pembantu Peneliti) ¡Djamilah,SE (Pembantu Peneliti) ¡Baharuddin, S.Sos., M.Pd (Pembantu Peneliti) Sekretariat : ¡Said Fadhil, S.IP ¡Royani, A.Md. ¡Arita Saidi Editor : ¡Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ¡Said Fadhil, SIP ¡Siti Zakiyah, S.Si Diterbitkan Oleh : Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III) LAN Samarinda UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002 Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)tahundan/ataudendapalingbanyakRp.5.000.000.000,-(limamiliarrupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (limaratusjutarupiah).
  • 3. KATA PENGANTAR Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia didasarkan pada 3 (tiga) prinsip utama, yakni desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan (medebewind). Diantara ketiga prinsip tadi, fungsi desentralisasi sudah mendapat pengaturanyangrelatiflengkapdanjelasdibandingduaprinsipberikutnya. Desentralisasi sendiri merupakan konsekuensi logis dari proses reformasi dan demokratisasi yang berjalan semenjak akhir dekade 1990-an. Tuntutan kemandirian dan pemberdayaan potensi daerah, menjadi keniscayaan yang dipilih oleh para pemimpin bangsa sebagai sebuah "kontrak sosial" baru penyelenggaraan negara. Implikasinya, lahirlah UU Nomor 22 tahun 1999 - disusul oleh revisi melalui UU Nomor 32 tahun 2004 - yang dipandang dunia sebagai kebijakan desentralisasi yang paling berani di negara-negara modern. Beberapa ahli lain menyebut proses pembalikan bandul manajemen pemerintahan dari karakter sentralistik ke karakter yang sangatdesentralistikinisebagaiBigBangDecentralization. Meskipun kebijakan ini sudah sangat tepat, namun belum tentu memiliki efektivitas yang tinggi. Sebagaimana diingatkan oleh UNDP (2000), perencanaan yang cermat dan pengelolaan yang baik terhadap desentralisasi menjadi syarat mutlak keberhasilan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni kemajuan daerah dan meningkatnya kesejahteraanmasyarakat.Selengkapnya,UNDPmenulissebagaiberikut: Decentralized governance, when carefully planned, effectively implemented, and appropriately managed, can lead to significant improvement in the welfare of people at the local level, the cumulative effect of which can lead to enhanced human development. In addition, if decentralization involves real devolution of power to local levels, the enabling environment for poverty reduction is likely to be stronger. On the contrary, badly planned decentralization can worsen regional inequalities. Left to their own devices, richer regions are likely to develop faster than poor ones. And a system of KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /iii/
  • 4. matching grants, intendedbycentral government tomotivate local government to raise funds, typically exacerbates regionaldisparities. Atas dasar pemikiran diatas, maka menjadi tugas kita semua untuk mengawal pelaksanaan otonomi daerah agar tidak menyimpang dari filosofi dasarnya(filosofischegrondslag).Padasaatyangbersamaan,kita perluuntuk membuat "wilayah kerja" bagi asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang selama ini masih kabur, menjadi lebih jelas dan terang benderang. Sebab, dalam koridor Negara Kesatuan, antara desentralisasi dan dekonsentrasi tidak dapat didikotomiskan, keduanya harus saling mengisi dan saling memperkuat. Bahkan sering dikatakan bahwa asas dekonsentrasi sesungguhnya memiliki fungsi strategis sebagai faktor pengikat bagi tetap utuhnyaNKRI. Sayangnya, regulasi di bidang dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini masih sangat minim, baik yang mengatur kebijakan umumnya; rincian kewenangan yang menjadi domain-nya; mekanisme perencanaan hingga pertanggungjawabannya, dan sebagainya. PP Nomor 39 tahun 2001 sendiri sesungguhnya merupakan penjabaran dari UU Nomor 22 tahun 1999, sehingga sudah waktunya untuk disesuaikan dengan semangat desentralisasisebagaimanadianutdalamUUNomor32tahun2004. Sehubungan dengan hal tersebut, saya menyambut gembira dilaksanakannya kajian tentang evaluasi kinerja kewenangan dekonsentrasi oleh PKP2A III LAN Samarinda ini. Saya berharap hasil dari kajian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang relatif komprehensif untuk turut membenahidanmeningkatkanmutupenyelenggaraanpemerintahandaerah diIndonesia,khususnyadierademokratisasidewasaini. Kepada semua pihak yang telah telah membantu baik dari persiapan, masa penelitian hingga penyusunan dan penerbitan laporan penelitian yang berupa buku ini disampaikan ucapan terima kasih yang sangat mendalam, semoga kerja keras dan kerjasama yang telah terjalin baik dalam penelitian ini dapat lebih erat lagi untuk penelitian selanjutnya. Tentunya laporan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu berbagai kritik dan saran membangunsangatdinantikandemiperbaikankitabersama. KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /iv/
  • 5. Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai dan memberkahi usaha kita dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baikbagidaerahsertabagisemuapihakyangterkait. Jakarta, Desember 2007 Lembaga Administrasi Negara RI Kepala, Sunarno KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /v/
  • 6. DAFTAR ISI Kata Pengantar ………………………………………………………………….................... iii Daftar Isi ……………………………………………………………………..…....................... vi Daftar Tabel .........................………………………………………………………………..... ix Daftar Gambar ....................…………………………………………………………………. x Executive Summary ...................…………………………………………………………... xi Bab I Pendahuluan ..……………………………………................................... 1 A. Latar Belakang .........…………………………………......……………...... 1 B. Perumusan Masalah ...........………………………….......……………… 6 C. Tujuan dan Kegunaan ...........………………………………………....... 7 D. Ruang Lingkup Kajian ………………………………………….............. 8 E. Target/Hasil yang Diharapkan ..........……………………………..... 8 F. Metodologi Penelitian ......................................................................... 8 1. Lokus Kajian ...................................................................................... 8 2. Responden dan Informan Kunci ...........……………………...... 9 3. Prosedur Kajian ............................................................................... 10 4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data .......................... 11 5. Rencana Analisis Data ............….....................……………………. 13 G. Status dan Jangka Waktu .............……………………………….......... 15 Bab II Fungsi Dekonsentrasi Dalam Kerangka Sistem Desentralisasi Negara Kesatuan ................................................ 16 A. Hubungan Desentralisasi dan Dekonsentrasi .......................... 16 B. Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan UU No. 32 / 2004 .......................................................................................... 21 C. Kewenangan Dekonsentrasi ............................................................. 23 1. Konsep Dekonsentrasi .................................................................. 23 2. Dekonsentrasi sebagai Sistem Kesatuan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah .............................. 28 3. Fungsi Kewenangan Dekonsentrasi ........................................ 30 KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /vi/
  • 7. D. Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi ........................ 32 1. Jenis dan Kriteria Kewenangan ................................................ 32 2. Kewenangan Pembiayaan Dekonsentrasi ............................ 36 E. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Penyelenggaraan Dekonsentrasi ........................................................................................ 39 1. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Koordinasi Penyelenggaraan ............................................................................. 39 2. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Koordinasi Pengawasan ...................................................................................... 46 3. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Pembinaan ............... 51 Bab III Kondisi dan Kebijakan Dekonsentrasi di Tingkat Departemen dan Mekanisme Koordinasi Kewenangan Dekonsentrasi di Tingkat Provinsi ........................................... 55 A. Implikasi UU No 32 / 2004 Terhadap Eksistensi “Pemerintahan Wilayah" di Daerah .............................................. 55 B. Penyelenggaraan Kebijakan Dekonsentrasi di Tingkat Departemen ............................................................................................ 56 1. Aspek Pendelegasian / Pelimpahan Kewenangan ............ 56 2. Aspek Koordinasi Internal .......................................................... 60 3. Aspek Pelaporan dan Pertanggungjawaban ....................... 60 C. Kelembagaan Dekonsentrasi, Mekanisme Penyelenggaraan, dan Koordinasi Pelaksanaan Dekonsentrasi di Tingkat Provinsi ............................................... 68 D. Indikasi Umum Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ................................................................. 73 E. Rekomendasi Penyelenggaraan Koordinasi Fungsi Dekonsentrasi di Propinsi ................................................................ 75 1. Integrasi Fungsional ...................................................................... 75 2. Integrasi Institusional / Kelembagaan ……………………... 76 3. Integrasi Program .......................................................................... 78 Bab IV Permasalahan Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Daerah ............................................................. 80 A. Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Daerah ... 80 KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /vii/
  • 8. B. Perkembangan Pembiayaan Dekonsentrasi di Daerah ........ 86 C. Praktek Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Daerah dan Permasalahanya (contoh kasus di wilayah Kalimantan) ............................................................................................. 95 1. Alokasi Anggaran ............................................................................ 96 2. Mekanisme Perencanaan .............................................................. 99 3. Mekanisme Koordinasi dan Monitoring di Daerah ........... 101 4. Keterbatasan SDM Pengelola Kegiatan (keuangan) ......... 103 Bab V Analisis Kinerja Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Kalimantan .................................................... 105 A. Analisis Substansi dan Kemungkinan Duplikasi Kewenangan ........................................................................................... 105 Bab VI Penutup .....……………………………………………………...................... 111 A. Kesimpulan …………………………………………………........................ 111 B. Rekomendasi ............................…………………………………………… 113 LAMPIRAN Lampiran 1 SK Tim Pelaksana Kajian ................................................................. 114 Lampiran 2 Instrumen Penelitian ........................................................................... 118 Lampiran 3 Rincian Kewenangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah (Kewenangan Dekonsentrasi) Sebagai Penjabaran Dari PP Nomor 38 Tahun 2007 ........................................................................ 120 KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /viii/
  • 9. DAFTAR TABEL Tabel1.1. DaerahSampel/TujuanKajian......………………………………. 9 Tabel3.1. RincianDanaDekonsentrasiDepartemenSosial Tahun2006......................................................................................... 63 Tabel3.2. DaftarAsetTetapDanaDekonsentrasidanTugas PembantuanyangBelumDilaporkanTahun Anggaran 2006 ................................................................................ 65 Tabel3.3. DaftarAsetTetapDanaDekonsentrasiyangBelum DilaporkanTahunAnggaran2005 ........................................... 66 Tabel4.1 AnggaranDekonsentrasiKementeriandanLembaga Negara(2005-2006)..................................................................... 88 Tabel4.2 DistribusiDanaDekonsentrasiKePropinsiSeluruh Indonesia(2005-2006)................................................................ 90 Tabel4.3 RekapitulasiDaerahyangMenyerahkanLaporan PenggunaanAnggaranDekonsentrasiDepartemen SosialTA2006 ................................................................................ 92 Tabel4.4 IdentifikasiJenisProgramPadaDinasSosial Prov.Kalsel(2006)YangBerpotensiTerjadiTumpang TindihPembiayaan......................................................................... 95 Tabel 4.5 Rekapitulasi Dana Dekonsentrasi di Kalimantan .............. 96 Tabel 4.6 Rekapitulasi Daerah yang Menyerahkan Laporan Penggunaan Anggaran Dekonsentrasi Departemen Sosial Wilayah Kalimantan TA 2006 ....................................... 104 Tabel 5.1. Rekapitulasi Bidang, Sub-Bidang, dan Rincian Kewenangan Dekonsentrasi yang Diusulkan Sebagai Penjabaran PP No. 38 Tahun 2007 .......................................... 108 Tabel 5.2. Persandingan Kegiatan Dinas Pendidikan Prov. Kalimantan Barat yang Bersumber dari APBD (Tugas Desentralisasi) dan dari ABPN (Tugas Dekonsentrasi) ................................................................. 110 KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /ix/
  • 10. DAFTAR GAMBAR Gambar2.1. SpektrumBandulSentralisasi,Desentralisasi DanDekonsentrasi………………………………………………….... 20 Gambar 2.2. ProsesKomunikasi .......................................................................... 44 Gambar 2.3. Hubungan Komposisi Pengawasan (Diadaptasi dari Anthony and Dearden, 1985) .................................................... 50 Gambar 2.4. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah berdasarkan PP No. 79/2005 ............................................................................... 53 Gambar 3.1. Pola Koordinasi Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ........................................................... 71 Gambar 3.2. Perbandingan Pola Kerja Kewenangan Desentralisasi dan Kewenangan Dekonsentrasi .............................................. 72 Gambar 3.3. Integrasi Fungsi-Fungsi Manajemen Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ............................................................................................... 76 Gambar 3.4. Integrasi Institusi / Kelembagaan Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ...........................................................………………………... 77 Gambar 3.5. Integrasi Program Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ............................... 79 Gambar 4.1. Dana Dekonsentrasi Propinsi Kalimantan Selatan (2004 - 2006) .................................................................................. 97 Gambar 4.2. Trend Dana Dekonsenrtasi Dinas Pendidikan Prop. Kalsel (2005 - 2007) ...................................................................... 98 Gambar 4.3. Trend Dana Dekonsentrasi Dinas Sosial Prop. Kalsel (2005 - 2007) ................................................................................... 99 Gambar 5.1. Distribusi dan Alokasi Dana Dekonsentrasi Seluruh Provinsi di Indonesia (2006-2007) ......................................... 106 KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /x/
  • 11. RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI Dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah di Indonesia, terdapat 2 (dua) prinsip dasar yakni desentralisasi (penyerahan urusan) dan dekonsentrasi (pelimpahan wewenang), disamping prinsip lainnya yakni tugas pembantuan (medebewind). Infrastruktur dan framework desentralisasi nampaknya jauh lebih siap untuk diimplementasikan dibandingkan penerapan prinsip dekonsentrasi. Hal ini terlihat dari berbagai aspek, misalnya regulasi yang relatif sudah lengkap mengatur penyelenggaraan asas desentralisasi, dari UU Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan, hingga PP tentang Pembagian Urusan dan OrganisasiPerangkatDaerah. Sementara untuk fungsi dekonsentrasi, pengaturan dalam UU No. 32/2004 masih sangat minim. Tercatat hanya ada beberapa pasal yang mengatur tentang hal ini, misalnya pasal 10 ayat (4) dan (5)b, pasal 12, pasal 37,pasal228. Diantara berbagai pasal tersebut, pasal 37-38 memuat ketentuan yang sangat tegas tentang melimpahkan sebagian urusan pemerintahan diluar6(enam)urusanmutlakkepadaGubernurselakuwakilPemerintah; Fungsi Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah dimaksudkan untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaantugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Selain itu, Gubernur juga wajib melakukan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk menjamin tercapainya tujuanpenyelenggaraanotonomidaerah. KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /xi/
  • 12. Namun, maksud pemberian tugas/fungsi dekonsentrasi kepada Gubernur ini bisa menjadi tidak efektif jika tidak disertai dengan pedoman yang jelas dan menyeluruh, baik bagi pihak delegan (pemberi delegasi, yakni Departemen/Lembaga) maupun bagi delegataris (penerima delegasi, yakni Gubernur selaku wakil pemerintah). Dewasa ini, fenomena tentang kurang efektifnya penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi sudah mengemuka, misalnya belum teridentifikasikannya kewenangan dekonsentrasi dan keterkaitannya dengan fungsi pembiayaan dari APBN, belum padunya proses perencanaan hingga pertanggungjawaban antara kegiatan yang dibiayai oleh dana dekonsentrasi dengan kegiatan yang dibiayai oleh ABPD, dan sebagainya. Atas dasar fenomena tersebut, maka kajian ini ingin mengungkap berbagai masalah/kendala dalam pelaksanaan tugas/kewenangan dekonsentrasi serta kebijakan/upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dekonsentrasi. Bahkan kajian ini juga sampai kepada rekomendasi berupa usulan rincian kewenangan dekonsentrasi berdasarkan pembidangannya. Dalam kaitan ini, fungsi, urusan, dan/atau kewenangan dekonsentrasi tidak hanya dikembangkan berdasarkan fungsi- fungsi klasik seperti koordinasi, pengawasan, dan pembinaan, namun lebih dikembangkan pada fungsi-fungsi pendukung lainnya seperti fasilitasi, promosi,sosialisasi,danfungsipelaksanaan. KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /xii/
  • 13. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan desentralisasi yang baru, kewenangan dan urusan pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan kewenangan dan urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian, demi mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan” suatu negara bangsa (nation-state), maka pemerintah pusat masih memiliki hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi di daerah. Hak ”intervensi” Pusat atas Daerah ini dapat dijalankan secara langsungolehinstansitingkatPusat(departemen/LPND),maupunsecara tidaklangsungmelaluiaparatnyadidaerahyakniGubernur. Secara idealistik, gagasan besar desentralisasi pasca tumbangnya rezim Orde Baru memang sangat bagus. Namun dalam tataran implementasi, masih banyak yang perlu dibenahi kembali. Hal ini antara laintercermindariberbagaikritikdankoreksiyangbanyakdiberikanoleh para pakar sehubungan dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Diantara para pakar tadi adalah dari Prof. Dr. Miftah Thoha, Guru Besar Universitas Gajah Mada yang menyebutnya undang-undang tersebut menebarkan ”aroma sentralistik” selain dipandang menyiratkan adanya keinginan untuk kembali sebgaimana masa pemerintahan Orde Baru, yakni pemerintahan yang kuat, efektif dan dapat dikendalikan dari sentral. Dinyatakan lebih lanjut, Pemerintah Orde Baru tidak pernah menggunakan istilah kewenangan pemerintahan, melainkan urusan pemerintahan, mengingat yangmemegangkewenangansaatituadalahpemerintahpusat. DemikianhalnyadenganProfesorRyaasRasyidyangjugaberopini bahwa undang-undang tersebut menarik empat kewenangan penting kembali ke atas, yakni pengangkatan sekretaris wilayah daerah KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /1/
  • 14. (sekwilda), pengesahan peraturan daerah, pengaturan kecamatan, desa/kelurahan dan rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS). Keempat penarikan kewenangan tersebut mengindikasikan adanya kemauan politik yang mengarah pada sentralistik. Demikian halnya dengan pandangan Dr. Syarif Hidayat yang juga mencermati kewenangan dekonsentrasi kini menunjukkan kemunduran, di mana pada UU No 22 Tahun 1999, dekonsentrasi sudah mulai dikurangi, maka pada UU No 32 Tahun2004,justrudekonsentrasikembalidihidupkan. Pada sisi lain, Ketua Fraksi II DPR RI Ferry Mursidan Baldan secara politis memberi tanggapan balik, bahwa: ”UU No. 32/2004 tidak perlu ditafsirkan bernuansa sentralistik. Kalaupun ada, sentralisasi itu berlaku pada nasib pegawai negeri sipil (PNS) agar jenjang karier mereka dapat berkembang. Selain itu didasarkan unda-undang tersebut muncul sebagai respon atas berbagai kekhawatiran akan munculnya fanatisme kedaerahan (etnosentrisme) yang justru akan mengancam persatuan dan kesatuanbangsa”. Berbagai perhelatan pandangan dan opini tersebut menunjukan, bahwa kewenangan desentralisasi pemerintah (Pusat) dikritisi dan dipertimbangan untung ruginya dalam penguatan kapasitas pemerintahan di daerah. Sebagaimana dipahami, undang-undang sebelumnya telah menjadikan pengurangan dan penghapusan sejumlah kantor departemen di kabupaten/kota dan sebagian kantor wilayah di provinsi. Perhelatan ini sekaligus menjadikan status kewenangan dekonsentrasi pada UU No. 32 Tahun 2004 harus diperjelas dan dirunkan dalambentukkebijakanyanglebihoperasional. Desentralisasi yang dimaknai sebagai ”penyerahan” sebagian wewenang memeng telah berjelintang dengan tugas dan wewenang pusat dalam bentuk dekonsentrasi atau ”pelimpahan” sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota), selain juga tugas pembantuan. Penguatan peran pemerintah pusat dengan dekonsentrasi memang secara implisit bukan sekedar menambah peran yang sebelumnya mengecil, melainkan lebih jauh dilandasi oleh pemikiran ke depan yakni menjaga kedaulatan suatu negara bangsa (nation-state). Untuk itu perundangan tersebut memberikan landasan bahwa pemerintah pusat berhak melakukan KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI /2/
  • 15. intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi pada pemerintahan daerah. Hak Pemerintah Pusat dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat (departemen/ LPND), maupun tidak langsung dengan pelimpahan wewenangmelaluiaparatnyayangadadidaerahyaitupejabatGubernur. Posisi Pemerintah Provinsi dalam koridor otonomi daerah memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat dengan menjadikan aparat dekonsentrasi, dan sekaligus juga menjadi pelaksana otonomi daerah itu sendiri atau aparat desentralisasi. Sementara kabupaten/kota diposisikan tidak lagi memiliki fungsi yang inherendenganfungsidekonsentrasi. Fungsi Pemerintah Provinsi dengan Gubernur-nya sebagai aparat dekonsentrasi (baca: Wakil Pemerintah), pada dasarnya berfungsi sebagai unit penghubung (intermediate administrative entity) antara Pusat dan Daerah (Kabupaten/Kota). Posisi yang intermediasi ini menjadikan Pemerintah Provinsi menjalankan dua tugas, yaitu sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang menyangkut urusan kepemerintahan daerah, dan juga sebagai ”agen tunggal” dalam menyediakan seluruh informasi tentang keadaan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat (Schiavo-Campo dan Sundaram, dalam To Serve and To Preserve: Improving Public AdministrationInACompetitiveWorld,2000). Dengan landasan undang-undang Nomor 32/2004 tersebut mestinya Pemerintah Provinsi benar-benar berfungsi sebagai intermediasi tersebut. Namun dalam kenyataan, penyelenggaraan dekonsentrasi juga telah menjadikan efek loncatan katak (leapfrogging effect),dengantransferkewenangandansumberdayaPusatyanglangsung diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada sisi yang lain, telah terjadi pula transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi yang harus diturunkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan dekonsentrasi inilah yang menjadikanfenomenapersoalandilapanganmenjadikrusial. Sebagaimana tertera pada pasal 38 UU No. 32/2004, bahwa fungsi dan peran Pemerintah Provinsi memiliki tiga tugas/wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah, yaitu sebagai koordinasi, pembinaan, dan /3/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 16. pengawasan dalampenyelenggaraan pemerintahan daerahdanjugatugas pembantuan di daerah. Mengingat demikian, maka dalam kaitan dengan desentralisasi, Pemerintah Provinsi tidak bisa tidak harus lebih diperkuat. Penguatan Pemerintah Provinsi dalam desentralisasi tersebut diarahkan untuk menjamin roda otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota tidak lagi mengalami salah arah atau dengan kata lain tidak menimbulkan ekses yang tidak diharapkan. Untuk itu, fungsi dekonsentrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi menjadi faktor kunci dalam sukses atau gagalnya suatu implementasi desentralisasi politik yang telah dilaksanakan dengan seluas-luasnya (devolution) tersebut di tingkat pemerintahkabupaten/kota. Pengalaman di tingkat internasional membuktikan, bahwa pelaksanaan desentralisasi yang sifatnya ”kebablasan” telah memberi dampak sosial ekonomi yang merugikan bagi sebagian besar masyarakat daerah. Hasil penelitian Mark Turner (2002, dalam Public Administration and Development Journal, No. 22, www.interscience.wiley.com) justru menunjukkan, bahwa pelaksanaan dekonsentrasi pada Bangsa Kamboja telah memberi manfaat yang bervariasi. Sementara desentralisasi cenderung dipandang gagal dapat memenuhi harapan yang ditetapkan sebelumnya. Beberapa keuntungan dari dekonsentrasi menurut Turner (2002) tersebutadalahsebagaiberikut: 1. Accessibility of officials. Officials are available for consultation, advice, and complaint. As local officials can exercise decentralized authority, theymakethedecisionsanddonotneedtopassthemupthelinetodistant centraloffices. 2. Mobilization of local resources. It is easier for locally based officials to identify local resources, both human and physical, and then mobilize them in the pursuit of locally determined developmental purposes. Officials should also be familiar with specific local constraints and the dynamicsoflocalpolitics. 3. Rapid response to local needs. Officials are better placed to respond rapidly to local needs as they are in the territory and fully aware of local conditions. /4/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 17. 4. Orientation to the specific local needs. Because officials knowthe local conditions, they are well placed to make decisions and allocate resources which fit with the specific conditions prevailing in a particular territory. Each sub-national territory may have some unique features which can be takenintoaccountwhenplanningandallocatingresources. 5. Motivationoffieldpersonnel.Appointedgovernmentofficialsaremore motivated to perform well when they have greater responsibility for programstheymanage. 6. Inter-office coordination. Coordination between offices dealing with differentfunctionsismoreeasilyachievedatthelocallevelwhereofficials arephysicallyclosetogetherandareoftenfamiliarwitheachother. 7. Central agencies. The decentralization of service functions relieves central agencies of routine tasks.Responsibility for these has been passed down to the local level. Central agencies can thus focus on improving the quality of policy. Monitoring local-level performance and providing assistance to sub-national units are key element of this reformulated centralgovernmentrole. Berdasarkan pengalaman itu menjadi bertambah penting untuk menguatkan peran Pemerintah Provinsi dalam konteks pelaksanaan fungsi dekonsentrasi dalam kebijakan otonomi daerah. Kepentingan tersebut diterawang bukan hanya sekedar ”perekat” antara kepentingan nasional dengan kepentingan daerah, namun lebih jauh lagi menjadi jaminan keterlaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pembangunan dan pelayanan yang dapat berjalan secara efektif dan efisien. Mengingat kepentingan tersebut, maka dapatlah dipahami bilamana UU Nomor 32/2004 telah memberi porsi peran dekonsentrasi yang diimplementasikan dalam bentuk pengalokasian sejumlah dana bagi berlangsungnya dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi. Atas berbagai pertimbangan dan argumentasi kepentingan akan fungsi dekonsentrasi tersebut, serta berkelindannya permasalahan penyelenggaraan dekonsentrasi di lapangan menjadikan PKP2A III LAN Samarinda memang urgen dilakukannya studi yang berkenaan dengan sejauhmana pelaksanaan fungsi dekonsentrasi Pemerintah Pusat kepada /5/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 18. Pemerintah Provinsi, khususnya pada Pemerintah Provinsi yang ada di wilayah Kalimantan. Arah kajian pelaksanan fungsi dekonsentrasi tersebut, secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan studi mengenai gambaran kinerja berikut dengan indikator pengukuran kinerja yang selama ini ditampilkan oleh Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraankewenangandekonsentrasitersebut. B. PerumusanMasalah Dari berbagai fenomena yang dipaparkan pada latar belakang di atas, dapatlah dirumuskan mengenai permasalahan dekonsentrasi berikutpenguatanperanpemerintahprovinsimenjadi,sebagaiberikut: 1. Fungsi dekonsentrasi sering dipandang sebagai ”tugas kelas dua” setelah penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Pandangan ini mengakibatkan menjadi kurang perhatiannya banyak pihak untuk mengkaji lebih jauh berbagai persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi. Selain itu, pandangan dan sikap yang kurang proporsional ini juga telah berdampak pada kurangnya daya upaya yang serius dan sistematis dalam kerangka penyempurnaan dan penguatan fungsi dekonsentrasi yang seharusnya di masa depan. Kenyataan ini merupakan bagian kelemahan dari praktek kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang memberikanotonomiseluas-luasnyakepadakabupaten/kota. 2. Adanya fenomena mengenai kebutuhan sumber daya (SDM maupun anggaran) dalam pelaksanaan fungsi dekonsentrasi disinyalir cenderung sangat minim. Kurangnya anggaran berkaitan dengan pandangan bahwa tugas-tugas dekonsentrasi adalah sebagai ”pelengkap” saja dari kebijakan desentralisasi secara keseluruhan. Dengan demikian dapat dipahami bilamana, kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi tersebut menjadi kurang mendapat perhatian. Untuk kedalaman kajian, fokus penyelenggaraan dekonsentrasi yang berlangsung pada pemerintah provinsi Kalimantan, akan diarahkan pada penyelenggaraan dekonsentrasi yang berkaitan dengan bidang dan sektor kebutuhan dasar pada departeman yang ada di pusat kepada /6/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 19. departeman di wilayah pemerintah provinsi. Bidang tersebut, yakni pendidikan, kesehatan, sosial, dan pekerjaan umum. Dengan demikian maka rumusan masalah dapat diformulasikan sebagai berikut: ”Sejauhmana ketercapaian penyelenggaraan fungsi dekonsentrasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi yang ada di wilayah Kalimantan? Rumusan masalah ini diharapkan dapat diurai lebih rinci kedalamlimapertanyaan,yakni: 1. Penyelenggaraan urusan apa dan seberapa besar pendanaan yang dilimpahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah melaluidekonsentrasidiwilayahKalimantan? 2. Bagaimana gambaran kinerja Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraankewenangandekonsentrasidiwilayahKalimantan? 3. Hambatan-hambatan apa yang dirasakan oleh Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan dalam melaksanakan fungsi kewenangan dekonsentrasi?. 4. Upaya-upaya apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi untuk mencapai peningkatan fungsi penyelenggaraan urusan dekonsentrasi di wilayah Kalimantan?. 5. Bagaimana formulasi kebijakan yang direkomendasikan untuk memperkuat Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan dalam memperkuat fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah melalui dekonsentrasi yang dapat memperkuat tegaknya NKRI di masa datang?. C. TujuandanKegunaan Serangkaian kajian, baik teoritik ataupun lapangan diharapkan dapatmencapaitujuan-tujuansebagaiberikut: 1. Untuk mengetahui rincian kewenangan dekonsentrasi masing-masing daerahberdasarkanbidang-bidangnya. 2. Untuk mengidentifikasi berbagai masalah atau kendala dalam pelaksanaan tugas/kewenangan dekonsentrasi beserta kebijakan atau upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaantugasdekonsentrasitersebut. 3. Untuk mengidentifikasi besaran sumber daya yang digunakan untuk /7/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 20. menjalankan tugas/kewenangan dekonsentrasi serta kebutuhan ideal bagimasing-masingdaerahprovinsi. 4. Untuk mengetahui dan jika mungkin mengukur tingkat kinerja penyelenggaraankewenangandekonsentrasidiwilayahKalimantan. 5. Untuk mencari dan/atau merumuskan alternatif kebijakan yang lebih operasional dalam mengembangkan atau memperkuat fungsi dekonsentrasi sebagai penyeimbang dari fungsi desentralisasi sehingga dapat direkomendasikan strategi terbaik untuk menjamin tetap tegaknya NKRI ditengah praktek otonomi daerah yang begitu cepat. Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil kajian adalah diperolehnya upaya peningkatan praktek penyelenggaraan pelayanan oleh Pemerintahan Provinsi melalui pelimpahan kewenangan dekonsentrasidiwilayahKalimantan. D. RuangLingkupKajian Kajian ini akan difokuskan pada berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi, baik menyangkut bidang-bidang dan rincian kewenangan dekonsentrasi, anggaran dan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kewenangan dekonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan dari jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4 (empat) ProvinsidiKalimantan. E. Target/Hasilyangdiharapkan Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya sebuah laporan tentang permasalahan, kondisi dan arah penataan kewenangan, serta strategi peningkatan kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi di Indonesia, dengan fokus utama wilayah Kalimantan. F. MetodologiPenelitian 1. LokusKajian Kajianiniakanmemfokuskanpadaaspek-aspekyangberkaitan dengan kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi /8/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 21. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi berkenan dengan bidang-bidang pelayanan dasar. Aspek-aspek tersebut menyangkut bidang dan penganggaran pelayanan dasar; kinerja perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi ; hambatan dan upaya-upaya yang dilakukan dan formulasi kebijakan yang memperkuat penyelenggaraan kewenangan PemerintahProvinsidalamdekonsentrasi. Kajian ini juga memfokuskan pada kinerja Pemerintah Provinsi yang berada di wilayah Kalimantan. Untuk itu yang menjadi lokus kajiannya adalah seluruh Pemerintah Provinsi yang ada di wilayah Kalimantan, khususnya lembaga-lembaga Pemerintah Provinsi yang bertugas melayani masalah pelayanan dasar. Lokus kajian tersebut yakni Lembaga-lembaga pelauanan dasar pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; Lembaga-lembaga pelayanan dasar pada Provinsi Kalimantan Barat; lembaga-lembaga pelayanan dasar pada Provinsi Kalimantan Selatan; dan lembaga-lembaga pelayanan dasar pada Provinsi Kalimantan Tengah. Rincian lokus yang akan diteliti dapat dicermatisebagaimanatableberikutini: Tabel 1.1. Daerah Sampel / Tujuan Kajian Wilayah Lokus Kajian Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan 1. Lembaga-lembaga Pelayanan dasar pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2. Lembaga-lembaga Pelayanan dasar pada Pemerintah Provinsi
  • 22. Kesehatan, Dinas Sosial dan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi. 3. ProsedurKajian Proses kajian dilakukan dengan menggunakan beberapa pentahapanyangsalingberhubungan.Pentahapantersebutyakni: —Tahap pengidentifikasian dan penganalisisan bidang dan program apayangdidistribusikanolehPemerintahPusatkepadaPemerintah Provinsi; —Tahap pengindentifikasian dan penganalisisan besaran dana yang dilimpahkan untuk melaksanakan dekonsentrasi dari Pemerintah PusatkepadapemerintahProvinsi; —Tahap identifikasi dan analisis kinerja perencanaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasidibidangpelayanandasar; —Tahap identifikasi dan analisis kinerja koordinasi yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasidibidangpelayanandasar; —Tahap identifikasi dan analisis kinerja pengawasan yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasidibidangpelayanandasar; —Tahap identifikasi dan analisis kinerja pembinaan yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah kabupaten dalam kewenangan desentralisasidibidangpelayanandasar; —Tahap Identifikasi dan analisis berbagai hambatan dalam pelaksanaan kinerja yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasi di bidang pelayanandasar; —Tahap Identifikasi dan analisis berbagai upaya dalam peningkatan kinerja yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalamkewenangandesentralisasidibidangpelayanandasar; —Tahap perumusan analisis dan penarikan sintesa formula kebijakan yang menjadi alternatif dalam peningkatan dan penguatan kinerja Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan dalam memperkuat fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah melalui /10/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 23. dekonsentrasi yang dapat memperkuat tegaknya NKRI di masa datang. 4. TeknikdanInstrumenPengumpulanData Data kajian akan dikumpulkan dengan menggunakan beberapa teknik dan instrumen pengumpulan data. Teknik dan instrumendimaksuddijelaskansebagaiberikut: —Teknik telaah dokumen. Yang dimaksud dengan telaah dokumen dalam Kajian ini adalah pengkajian berkenaan dengan berbagai dokumen, baik berupa peraturan perndangan, kebijakan internal, laporan-laporan pelaksanaan, dan lain-lain yang berhubungan erat dengan topik kajian evalusi kinerja pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi berkenaan dengan pelaksanaan dekonsentrasi dalam pelayanan dasar bidang pendidikan,kesehatan,sosialdansaranadanprasarana. —Teknik penyebaran angket/kuesioner. Teknik ini menginventalisir berbagai data kuantitaif yang dilakukan dengan penyebaran kuesioner berkenaan dengan kinerja Pemerintah Provinsi dalam kewenangandekonsentrasidalampelayanandasarjenisdanbidang pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum berikut dengan besaran pembiayaannya yang bersumber dari dana dekonsentrasi yang dilimpahkan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi. Kuesioner dirancang dengan format matriks untuk mengidentifikasi dan memetakan jenis dan bidang pelayanan dasar yang selama ini diterima oleh pemerintah Provinsi dari Pemerintah Pusat. Format kuesioner dengan menggunakan matrik dipandang banyak kelebihan dalam upaya mengidentifikasi dan membandingkan jenis dan bidang kewenangan yang dilimpahkan berikut dengan besaran dan distribusi dana pada masing-masing Pemerintah Provinsi dari Pemerintah Pusat. Penggunakan matrik kuesioner juga digunakan untuk mengukur kinerja Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi dalam perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang selama ini dilakukan dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial,danpekerjaanumum. /11/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 24. Dengan memanfaatkan kedua matrik tersebut memungkinkan peneliti akan mudah melakukan penganalisaan dan pembandingan mengenai tingkat kinerja penyelenggaraan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan Timur dalam melaksanakanpelimpahankewenangandariPemerintahPusatkepada PemerintahProvinsidengandekonsentrasi. —Teknik wawancara atau interview. Teknik ini digunakan untuk memperkaya dan dan memvalidasi data-data yang diperoleh melalui kuesioner. Teknik wawancara dalam kajian ini dilakukan terbatas namun juga secara mendalam (deep interview) kepada individu-individu tertentu yang dipandang memeiliki informasi yang banyak berkenaan dengan topic kajian. Informasi-informasi tersebut diperoleh dari informan kunci (key informant) yang ditetapkan pada masing-masing departeman pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi yang diperasionalkan dalam bentuk panduan wawancara (interview guide). Penggalian informasi diarahkan untuk menggali berbagai informasi berkenaan dengan hambatan-hambatan baik menyangkut bidang dan besaran pendanaannya maupun aspek-aspek kinerja pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi (perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan). Selain itu juga teknik wawancara diarahkan juga untuk menggali informasi sedalam mungkin berkenaan dengan upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Provinsi dalam peningkatan kinerjanya dalam dekonsentrasi pelayanan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, sosialdanpekerjaanumum. —Teknik Modeling, yakni teknik penggalian data yang ditujukan untuk melahirkan sintesa kajian. Teknik ini merupakan ramuan dari berbagai hasil analisis data, baik hasil analisis data dari kuesioner maupun wawancara untuk menjadi sintesa model penguatan kinerja Pemerintah Provinsi dalam pelaksanaan penlimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi . Teknik modelyang merupakansintesa analisisdata inijugadipandu dengan studi dokumen dan pendapat (judgment) sehingga menjadi alternatifrekomendasikepadapihakyangberkepentingan. /12/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 25. 5. RencanaAnalisisData Adanya rincian jenis dan bidang yang didekonsentrasikan dari pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi menunjukkan adanya pola hubungan kerja antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Besaran dana dekonsentrasi masing-masing jenis dan bidang pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, social dan pekerjaan umum menjadi faktor pendorong dilaksanakannya kebijakan dekonsentrasi. Berdasarkan data mengenai jenis dan bidang berikut dengan besaran alokasi dana dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi dapat menjadi arahan untuk mengidentifikasi kinerja yang ditampilkan oleh Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan tugas dekonsentrasi, khususnya dalam pelayanan dasar bidang pendidikan, kesehatan,socialdanpekerjaanumum. Analisis kinerja Pemerintah Provinsi dalam pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi dapat dilakukan dengan empat perspesktif. Pertama, perspektif kinerja perencanaan Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan pelimpahan kewenangan dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum yang bersumber dari dana dekonsentrasi. Analisis kinerja perencanaan dapat dilihat dari ada atau tidaknya mekanisme atau prosedur perencanaan masing-masing departemen, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan. Dalam analisis kinerja perencanaan akan digali faktor-faktor yang menjadi hambatan, baik faktor hambatan perencanaan yang datang dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi. Selain juga analisis diarahkan untuk menggali upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh kedua belah pihak, baik inisiatif upaya yang datang dari Pemerintah Pusat maupun dariPemerintahProvinsi. Kedua, perspektif kinerja koordinasi yang mengarah pada pola atau sistem hubungan yang selama ini dijalin sedemikian rupa antara departeman Pemerintah Pusat dan Departeman Pemerintah Provinsi berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan dasar bidang pendidikan,kesehatan, sosialdan pekerjaan umum. Kinerja koordinasi dipandang dari intensitas koordinasi antara Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi yang berupa pembakuan sistem /13/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 26. koordinasi dan frekuensi koordinasi. Selain itu juga dicermati mengenai ektensitas koordinasi, yakni perluasan jangkauan koordinasi yang melibatkan terjalinnya cross hubungan yang berbeda departemen antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Provinsi dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan dekonsentrasi. Dalam kinerja koordinasi yang ada dianalisis mengenai berbagai hambatan dan solusi penyelesaian untuk mengatasi hambatan koordinasi tersebut, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun PemerintahProvinsi. Ketiga, perspektif kinerja pengawasan yang mengarah analisis pada sisitem kepengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi, ataupun kepengawasan Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota berkenaan dengan pelaksanaan jenis dan bidang berikut penggunaan pendanaan dekonsentrasi dalam pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum. Pola kinerja kepengawasan Pemerintah Provinsi menghubungkan antara perencanaan dan ketercapaian program bidang pelayanan dasar yang dilakukan secara profesional oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam kinerja kepengawasan yang sedang berlangsung dianalisis pula berbagai hambatan yang dirasakan oleh pihak Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi, berikut dengan upaya-upayayangdilakukanolehkeduabelahpihak. Keempat, perspektif kinerja pembinaan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota berkenaan dengan pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi pelayanan dasar bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum. Pola kinerja pembinaan berkaitan dengan temuan-temuan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam pola kerja pembinaan yang berjalan akan digali dan dianalisis sumber-sumber hambatan dan juga upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi dalammengatasipersoalanpembinaan. /14/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 27. Kelima, perspektif analisis perumusan sintesa. Perspektif ini mengarah pada perumusan hasil analisis dari perspektif kinerja perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Analisis diarahkan untuk membangun sistem hubungan yang akan meningkatkan kinerja dalam pelimpahan kewenangan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Hasil analisis berupa sintesa yang tiada lain dari formulasi yang digunakan sebagai bahan untuk perumusan kebijakan hubungan kerja dalam kaitandenganpelimpahan kewenanganPemerintah Pusat kepadaPemerintahProvinsimelaluidekonsentrasi. Telaah penyelenggaraan kinerja pemerintah provinsi dalam bidang/fungsi dekonsentrasi dilakukan dengan cara mengelaborasi data kuesioner dan data wawancara digali sehingga akan mendapatkan gambaran mengenai bidang dan sektor pelayanan dasar apa yang selama ini didekonsentrasikan, bagaimana kinerja perencanaan, pola koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan berikut dengan hambatan dan upaya yang telah dilakukan untuk kemudian dapat menarik benang bagaimana formulasi sintesa yang merupakan alternatif pelaksanaan kebijakan seharusnya ditetapkan dalam penyelenggaraan fungsi dekonsentrasi dari pemerintah pusat kepada provinsi berdasarkan undang-undang di masadatang. G. StatusdanJangkaWaktuKegiatan Kajian ini akan difokuskan pada berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi, baik menyangkut bidang-bidang dan rincian kewenangan dekonsentrasi, anggaran dan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kewenangan dekonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan dari jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4 (empat) ProvinsidiKalimantan. /15/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 28. BAB II FUNGSI DEKONSENTRASI DALAM KERANGKA SISTEM DESENTRALISASI NEGARA KESATUAN A. HubunganDesentralisasidanDekonsentrasi Konsep desentralisasi diartikan secara sempit maupun meluas. Desentralisasi dalam arti sempit sebagai penyebaran kewenangan secara vertikal, yakni dari pusat kepada bagian yang ada di bawahnya. Pusat adalah pemegang kewenangan tertinggi dan terluas yang disebarkan kepada struktur dibawahnya. Berbeda dengan desentralisasi dalam arti luas, dimana penyebaran wewenang tidak hanya vertikal melainkan juga horizontal, dimana penyebaran bukan saja dari struktur tinggi ke bawah, melainkan antar organ yang ada dalam kawasan struktur pusat, baik yang ada berada di wilayah pusat maupun di wilayah yang lebih bawah. Bahkan lebih dari itu terjadi penyebaran wewenang dari pusat struktur kepada kelompokmasyarakat. Dalam konteks Pemerintahan di Indonesia, pengertian desentralisasi, baik dalam arti yang sempit ataupun luas termuat dalam peraturan perundangan nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perundangan tersebut mengatur penyebaran kewenangan tidak hanya bersifat vertikal berupa penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, melainkan mengatur penyebaran secara horizontal, yaitu pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada internal organ pemerintah pusat lainnya yang berada di wilayah daerah. Kebanyakan desentralisasi di Indonesia diartikan sempit, yakni sebagai penyebaran atau stranfer wewenang (transfer kekuasaan) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan desentralisasi yang merupakan penyebaran, atau pelimpahan sebagian wewenang (transfer kekuasaan) dari pemerintah pusat kepada otoritas /16/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 29. lain yang bersifat spesial dan legal personal kurang populer. Padahal proses penyebaran tersebut juga mengikutkan pelimpahan tugas-tugas, sumber daya dan kekuatan politik kepada lembaga yang ada region tertentu bahkan kepada komunitas masyarakat yang dilakukan secara kooperatif(Marz,2001:2). Secara teoritik Van Der Pot (dalam Manan 1994:21) mengemukakan, desentralisasi dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yakni: 1). Desentralisasi teritorial yang berupa pembentukan dan pengoperasian badan-badan yang didasarkan atas kewilayahan dan; 2) desentralisasi fungsional, yang berupa pembentukan dan pengoperasian badan-badan yang didasarkan atas tujuan-tujuan tertentu. Pembedaan jenis desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional tidak mengubah makna secara mendasar, yakni pelimpahan wewenang. Berbeda dengan Irawan Soejipto mencoba membalah ke dalam tiga bagian, yakni menjadi: l) Desentralisasi teritorial; 2) Desentralisasi fungsional; dan 3) Desentralisasi administratif. Ahli lain adalah, Amrah Muslimin (1978: 15) yang juga membedakan desentralisasi menjadi tiga bagian, yakni: 1) Desentralisasi politik; 2) Desentralisasi fungsional; dan 3) Desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi politik memiliki kemiripan dengan desentralisasi teritorial. Desentralisasi fungsional maknanya hampir sama dengan yang dimasud oleh Van Der Pot. Sementara desentralisasi kebudayaan dipahami sebagai pemberian hak kepada golongan minoritas dalam upaya penyelenggaraan kebudayaan lingkungansendiri. Pengkategorian desentralisasi yang banyak dirujuk oleh para ahli yang dikemukakan Cheema dan Rondinelli (1983: 18-25). Dikemukakannya, bahwa desentralisasi dapat dibedakan menjadi empat kategori, yakni: 1) Delegation to semi autonomous or parastatal organization; 2) Devolution; 3) Transfer of function from government to nongovernmentInstitution;dan4)Dekonsentrasi. Desentralisasi sebagai delegation to semi autonomous or Parastatal Organization, yaitu pendelegasian pengambilan keputusan dan kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Dalam desentralisasi dengan /17/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 30. pendelegasiansemiotonomterjadiprosestransferpembuatankeputusan pemerintah yang harus dilakukan secara hati-hati penjabarannya oleh institusi atau organisasi yang posisinya berada di bawah kontrol tidak langsung dari pemerintah (UNDP, 1999:7). Pendelegasian tiada lain merupakan transfer responsibili berkenaan dengan kebijakan-kebijakan yang diberikan kepada pemerintah daerah yang bersifat semi otonom, namun tetap harus bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Schneider, 2003:12). Pendelegasian tersebut berupa kebijakan mewajibkan pemerintah daerah menciptakan perusahan publik, institusi perumahan, transportasi, pelayanan spesial kecamatan semi sekolah otonom badan perusahan daerah atau unit proyek-proyek khusus (LitvackandSeddon,1998:3). Kategori desentralisasi sebagai devolution yang dimaknai upaya pembentukan dan juga penguatan unit-unit organisasi secara independen. Cheema dan Rondinelli (1983: 22) menyatakan karakteristik devolusi adalah pemerintah daerah yang memiliki status otonom, bersifat independen atau terpisah dari pemerintah pusat, sehingga kewenangan pusat terhadap pemerintah daerah relatif menjadi kecil dan juga ditandai dengan tidak adanya pengawasan pemerintah pusat secara langsung kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang dimaksud memiliki batas geografis yang jelas dan bersifat legal dalam menyelenggarakan kewenangannya dan juga dapat melaksanakan fungsi kepemerintahan dengan sendirinya. Dalam hal ini pemerintah daerah tersebut memiliki kekuasaan untuk melindungi sumber-sumber yang sekaligus dapat memelihara fungsi-fungsi pemerintahannya. Dalam kaitan itu, devolusi juga memiliki kaitan dengan kebutuhan pengembangan kelembagaan pemerintah daerah dalam bentuk institusi-institusi yang diperankan sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat dengan cara pemberi pelayanan secaramemuaskan.Namundemikian,desentralisasimelaluidevolusijuga mengharuskan adanya hubungan yang bersifat timbal balik atau saling menguntungkan dengan cara memelihara hubungan koordinatif antara pemerintahpusatdanpemerintahdaerah. Kategori pemaknaan desentralisasi sebagai transfer of function from government to non-government institution. Kategori desentralisasi ini adalah transfer beberapa jenis bidang perencanaan dan juga /18/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 31. tanggungjawab yang bersifat administratif yang berkaitan dengan fungsi- fungsi publik dari pemerintah pusat kepada LSM, organisasi swasta atau organisasi non pemerintah. Kategori desentralisasi ini dapat disejajarkan dengan kebijakan debirokratisasi. Transfer fungsi publik kepada non- pemerintah hanya bisa berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, yang ditandai dengan pelimpahan sektor-sektor yang berkaitan dengan pemasukan keuangan ataupun yang bersifat administratif kepada lembaga-lembaga volunteer, atau lembaga swasta atau institusi non-pemerintah lainnya seperti organisasi hybrid, diantaranya asosiasi industri dan perdagangan, asosiasi profesi, dll. Bahkan lebih jauhnya pemerintah dapat saja menyerahkan tugas dan kewajibannya pada organisasi non-pemerintah untuk memproduksi barangmaupunjasalayananyangseringdisebutjugaprivatisasi. Kategori pemaknaan desentralisasi keempat adalah deconcentration. Dekonsentrasi dimaknai sebagai proses redistribusi tanggungjawab yang bersifat administratif untuk diberikan kepada institusi yang berada dalam sayap pemerintah pusat. Institusi tersebut diwujudkan dalam dengan cara pembentukan dan pengoperasionalan berbagai kantor atau institusi pusat yang ditempatkan pada berbagai wilayah atau lembaga pemerintah lain yang dibawahnya yang diatur dan ditetapkanmelaluiperundangan. Berkaitan dengan keempat kategori desentralisasi yang berbeda- beda, maka Morrison (2004) memvisualisasikan hubungan antara sentralisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sebuah spektrum yang menjelaskan bahwa perubahan struktur pemerintahan dapat berlangsung dalam dua arah, yakni arah kanan yang menandai penyebaran atau desentralisasi dan bisa juga arah ke sebelah kiri dari titik sentralisasimenjadikanpelimpahanwewenangpusatataudekonsentrasi. Spektrum tadi selintas memperlihatkan adanya arah yang berlawanan secara diametral yang tidak memungkinkan keduanya bisa bertemu.Akan tetapi, sesungguhnya kedua arah tersebut bisa dipersatukan dengan posisi sentral (pusat) yang harus terjaga, sehingga menyerupai bandul jarum jam tembok yang mengayun ke kiri dan kemudian mengayun kekanan. Posisi sentral yang dapat mengayun ke kiri (desentralisasi) dan ke kanan (dekonsentrasi) dikembangkan oleh Ayat dan Faozan (2007) sepertinampakpadagambarberikut: /19/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 32. Gambar 2.1 Spektrum Bandul Sentralisasi, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Bandul bola yang berawal dari sentral itu bisa mengayun ke sebelah kiri (desentralisasi) dan frekuensi yang teratur akan mengarah ke tengah (sentralisasi) dan kemudian mengayun ke sebelah kanan (dekonsentrasi). Dengan kata lain, bola yang berada di sebelah kanan dalam waktu bersamaan akandihimpitkandenganbola yang mengarah ke kiri. Ayunan bola bisa menyerupai, institusi pemerintah daerah (pemerintah provinsi) yang desentralisasi akan secara berhimpitan juga menjadi lembaga administratif yang juga berfungsi sebagai penyelanggaran kewenangan dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Dengan demikian pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi tergantung ritme dan frekuensi ayunan bola yang digerakkan. Tepatnya pemerintah provinsi memainkan peran ganda, yakni sebagai pemerintah daerah pada satu sisi dan pada sisi lain menjadi perpanjangan dari pemerintah pusat. Peran ganda ini dijalankan secara dinamis dan tidak bersifattumpangtindih. Dalam konteks perubahan struktur pemerintahan, khususnya di negara berkembang pola perubahan bisa berlangsung cepat, manakala struktur yang ada tidak menampakkan adanya keteraturan atau keseimbangan fungsi dari masing-masing struktur yang ada. Keteraturan /20/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 33. tersebut ditandai dengan tetap kokoh dan kesatuan pemerintahan suatu wilayah negara. Atau dengan kata lain, pilihan untuk desentralisasi atau dekonsentrasi pada dan atau bahkan keduanya senantiasa terikat dengan keteraturanpemerintahansuatubangsa.Polapemerintahanyangbersifat dekonsentrasi adalah pola dan struktur pemerintahan yang selama ini kekuasannya digenggam kemudian dilimpahkan kepada lembaga atau badan dan juga kepala pemerintah administratif yang terpercaya, dan kewenangan tersebut sifatnya terbatas untuk menjadi perpanjangan tangandaripemerintahpusat(UNDP,1999:17). B. HubunganPusatdanDaerahBerdasarkanUUNo.32Tahun2004 UU No. 22 Tahun 1999 diubah karena dipandang lemah, terutama pada Pasal 4 ayat (2) yang memandang bahwa keberadaan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang cenderung berdiri sendiri yang ditunjukkan dengan tidak adanya hubungan hierarki satu sama lain. Hubungan ini dipandang mengingkari azas dan komitmen dalam kesatuan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana peranan Daerah Provinsi tidak lagi membawahi Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Konsekwensinya, Pemerintah daerah kabupaten dan kota merasa dirinya sejajar dengan pemerintah provinsi, sehingga pemerintah daerah provinsi berada dalam peran yang lemah. Dalam penjelasan memang masih ada klausul yang menyebutkan, bahwa gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, namun peran tersebut tidaklahmengigit. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 adalah perubahan yang dipandang menarik kepada bandul desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Berbagai respon berlangsung di berbagai kalangan, termasuk kalangan pemikir tata negara di Indonesia. Sebagian respon tersebut mengarah pada penilaian pengembalian paradigma lama yang sentralistik, dan sebagian lagi memberi respon positif atas kesetujuannya dengan format pemerintahan yang mengawal keteraurandankesatuandengantetapdesentralisasiterusberperan. Pada pasal 2 ayat 4 ditegaskan bahwa, pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan /21/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 34. dengan Pemerintah (pusat) dan dengan pemerintah daerah lainnya. Di samping itu pada pasal 2 ayat 7 ditetapkan bahwa hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunanpemerintahan. Perlunya kembali menata hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kaitannya dengan hubungan kerja yang saling berkaitan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berformat hubungan kerja bersistem kesatuan. Dikembalikannya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam wadah satu kesatuan pada hakekat mengembalikan organisasi pemerintah yang pada dasarnya bersifat tunggal dengan muara penanggung jawab pemerintahan adalah pemerintah pusat. Sehubungan dengan hal itu dan mengingat akan azas dan komitmen sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pada Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut. Hubungan keduanya dapat dikategorikan (1) hubungan vertikal; (2) hubungan horizontal; dan (3) hubungan diagonal. Hubungan vertikal diasosiasikan dengan pola hubungan atas-bawah. Sedangkan hubungan horizontallebihmengarahpadahubungankesederajatan,yaknihubungan hubungan antarpejabat/unit/instansi yang setingkat. Sementara hubungan diagonal adalah hubungan yang menyilang dari atas ke bawah secara timbal balik antara dua unit yang berbeda induk. Ketiga pola hubungan tersebut mengarah pada dua hubungan sebagaimana ditegaskanpadapasal18A,UUNomor32Tahun2004,yakni:(l)Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi, kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secaraadildanselarasberdasarkanundang-undang. /22/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 35. C. KewenanganDekonsentrasi 1. KonsepDekonsentrasi Sebagaibagiandaritranferwewenangtidakdipandangsebagai bagian dari makna desentralisasi dalam arti yang luas. Dekonsentrasi sebaliknya diasosiasikan sebagai kebalikan dari desentralisasi dalam arti devolusi karena lebih menekankan pada distribusi kekuasaan pusat yang memperkuat dan menstabilkan kekuasaan pusat di daerah. Kebijakan ini dipandang tidak popular di Indonesia sejak reformasi di gulirkan pasca krisis, selain juga pengalaman-pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan ketika Orde baru berkuasa. Ketika dekonsentrasi digulirkan bersamaan dengan desentralisasi dan tugas perbantuan dalam UU nomor 32/2004, maka dapat dipahami bilamana mengundang banyak opini. Dalam Undang-undang tersebut dekonsentrasi menjadi salah satu pilar yang dimaksudkan untuk belangsungnya keseimbangan dalam struktur pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam kesatuan dan persatuan dalam wilayah RepublikIndonesia. Bagi Dore dan Woodhill (1999: 16) dekonsentrasi dipandang sebagai proses kepemerintahan yang dilakukan dengan cara menciptakan daerah-daerah administratif untuk tujuan efisiensi manajemen program. Implementasi dekonsentrasi diberikan atau diturunkan, baik secara luas ataupun terbatas dari pemerintah pusat kepada regional manager yang ditempatkan pada suatu daerah. Selain itu dekonsentrasi juga melibatkan transfer kewenangan yang sifatnya terbatas dalam hal pengambilan keputusan yang spesifik dan manajemen fungsional dengan cara-cara administratif kepada level organisasi yang berbeda, namun demikian tetap berada di bawah kewenangan yuridis yang sama dari pemerintah pusat (UNDP, 1999: 17). Karena itu dekonsentrasi sering dianggap pula pseudo desentralisasi atau desentralisasi yang tidak sebenarnya, karena tidak mengandung dan menjalankan kebijakan yang sifatnya substansi lokal dalampengambilankeputusan(Fesler,1969,danMorrison,2004). Munculnya konsep dekonsentrasi dilakukan ketika terjadi peningkatan fungsi dan aktivitas pemerintahan yang memperlihatkan adanya gejala kesenjangan (gap) yang kian hari kian melebar antara /23/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 36. pemerintah pusat dan daerah. Dekonsentrasi muncul terhadap kebutuhan publik untuk berinteraksi secara intensif dengan pemerintah pusat. Kemunculan dekonsentrasi ditandai dengan dibentuk dan diperasionalkannya sejumlah kantor-kantor parlemen dan pemerintah yang berada di luar ibukota (Asia Researh Centre, 2001). Makna dekonsentrasi sendiri oleh Cheema dan Rondinelli (1983 18 - 25) sebagai redistribusi tanggungjawab administratif yang diberikan di antara lembaga pemerintah pusat. Lembaga pemerintah tersebut adalah kantor-kantor perwakilan yang berada di setiap wilayah daerah. Redistribusi tersebut bisa berupa field administration; danataulocaladministration. Field administration, adalah penempatkan kantor-kantor pemerintah pusat di setiap wilayah daerah yang sering disebut juga regionalisasi. Umumnya regionalisasi mengarah pada pendistribusian wewenang pemerintah pusat yang diberikan kepada kantor pusat di daerah dalam bentuk beberapa pelayanan publik, sehingga menyerupai kantor cabang. Urusan pelayanan publik itu ada yang sifatnya sektoral dan ada pula pelayanan yang fungsional. Sedangkan Local administration, adalah jenis desentralisasi yang menjadikan seluruh subordinasi pemerintahan dalam suatu negara adalah sebagai agen pemerintah pusat. Biasanya yang menjadi agen pemerintah pusat tersebut adalah lembaga-lembaga eksekutif. Administrasi lokal tersebut ada yang bersifat mengikat (integrated) dan ada administrasi lokal yang tidak terintegrasi (unintegrated). Dalam pandangan Irawan Soejipto (1976: 33-34), desentralisasi dalam pemahaman administratif diartikan sebagai wewenang pemerintah pusat yang dilaksanakan dengan cara melimpahkannya kepada organ pemerintah yang dibentuk dan ditempatkan di wilayah daerah, dimana limpahan kewenangan tersebut diberikan melalui pejabat-pejabat pemerintah daerah. Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa secara teoritik dekonsentrasi merupakan bagian dari desentralisasi, atau dengan kata lain desentralisasi dalam arti luas mencakup makna dekonsentrasi. Perbedaan dekonsentrasi dan desentralisasi dikemukakan oleh Ateng /24/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 37. Syafrudin (2006: v) adalah desentralisasi bermakna bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau organ yang lebih bawah, sedangkan dekonsentrasi sebagai bentuk pelimpahan sebagian wewenang antarlembaga pemerintah pusat atau yang di bawahnya. Mengingat demikian, maka kebijakan dekonsentrasi sama pentingnya dengan desentralisasi dalam sistem pemerintahandiIndonesia. Keuntungan diterapkannya dekonsentrasi menurut Turner (2002) adalah menjadi 1) Accessibility of officials; 2) Mobilization of local resources; 3) Rapid response to local needs; 4) Orientation to the specific local needs; 5) Motivation of field personnel; 6) Inter-office coordination; dan 7) Central agencies. Secara lebih lengkap, Turner menulissebagaiberikut: a. Accessibility of officials. Officials are available for consultation, advice, and complaint. As local officials can exercise decentralized authority, theymake thedecisions and do not need topass themup the linetodistantcentraloffices. b. Mobilization of local resources. It is easier for locally based officials to identify local resources, both human and physical, and then mobilize them in the pursuit of locally determined developmental purposes. Officials should also be familiar with specific local constraintsandthedynamicsoflocalpolitics. c. Rapid response to local needs. Officials are better placed to respond rapidly to local needs as they are in the territory and fully aware of localconditions. d. Orientation to the specific local needs. Because officials know the local conditions, they are well placed to make decisions and allocate resources which fit with the specific conditions prevailing in a particular territory. Each sub-national territory may have some unique features which can be taken into account when planning and allocatingresources. e. Motivation of field personnel. Appointed government officials are moremotivatedtoperformwellwhentheyhavegreaterresponsibility forprogramstheymanage. /25/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 38. f. Inter-office coordination. Coordination between offices dealing withdifferentfunctionsismoreeasilyachievedatthelocallevelwhere officials are physically close together and are often familiar with each other. g. Central agencies. The decentralization of service functions relieves central agencies of routine tasks. Responsibility for these has been passed down to the local level. Central agencies can thus focus on improving the quality of policy. Monitoring local-level performance and providing assistance to sub-national units are key element of this reformulatedcentralgovernmentrole. Bagi Smith (1993) menyatakan ada sembilan keuntungan atau manfaat bilamana dilaksanakan desentralisasi. Keuntungan tersebut, yaitu: a. Dapatlebihefektifuntukpemenuhankebutuhanmasyarakatlokal; b. Dapat memberikan pelayanan kepada kelompok- ketempokmasyarakatmiskin; c. Masyarakat dapat memiliki akses terhadap kantor-kantor pelayananditingkatlokal; d. Dapat menjadi sarana untuk memobilisasi dukungan bagi pembangunan,khususnyaditingkatpedesaan; e. Bisa menjadi obat bagi pemerintah pusat yang terkena penyakit patologibirokrasi; f. Dapat meningkatkan persatuan dan stabilitas politik (unity and stability) g. Dapatmeningkatkanpartisipasimasyarakatditingkatlokal; h. Dapat dipakai sebagai alat untuk memobilisasi sumber-sumber lokal; i. Dapat memungkinkan adanya koordinasi pembangunan di daerah lebihefektiflagi. Kendati demikian, penerapan desentralisasi di negara-negara berkembang (khususnyadiIndonesia)harusdipersiapkansedemikian rupa untuk mencegah permasalahan yang lebih komplek. Pandangan itu disampaikan oleh Jennie Litvack, Juaid Ahmad dan Richard Bird /26/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 39. (1998; 7) bahwa "Designing decentralisation policy is difficult in any countrybecausedecentralisationcanaffectmanyaspectsofpublicsector performance and generate a wide range of outcomes. But it is particularly difficult in deeloping countries because institutions, informationandcapacityareallverywell. Lebih lanjut mereka memperingatkan dampak penerapan desentralisasi dapat menambah semakin menganganya ketidakmerataan dan kesenjangan masyarakat miskin terhadap pelayanan publik: "..... if the central government makes no effort to redistribute resources to poorer areas, fiscal decentralisation will result in growing disparities. Similarly if provinces or state do not redistribute within their jurisdiction, poor people may lack access to public services"(1998;8). Baik pemilihan desentralisasi ataupun dekonsentrasi keberhasilannya bukan semata-mata dari sisi konsep, melainkan dipengaruhidanditentukanolehkondisilingkungan.Werin(Nasution; 2000 ; 28) menyatakan bahwa "there is no way of organizing, they will say, sametimes addling: no best policy, approach, or technology. As evidence, they can point to the centralized hierarchical organization have no greater probability of success than fragmented or decentralized ones. Kenyataan permasalahan lebih banyak ditentukan dari realitas di lapangan. Permasalahan tersebut bisa timbul pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah disebabkan adanya keterbatasan akansumberdaya. Dalam kaitan dengan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia memang diakui bersama tidak dipersiapkan secara maksimum. Kebijakan ini cenderung lebih banyak didorong oleh respon yang ketergesa-gesa pasca krisis multidimensi. Dalam perjalannyan dapat diperhatikan banyaknya ekses yang mengarah pada ketidakteraturan, diantaranya ditunjukkan dengan tanda-tanda kesenjangan atau gap antarberbagai pihak yang ada dalam struktur pemerintahan, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah ataupun antarpemerintahan daerah. Ketidakteraturan yang bersifat senjang itu semakin menajam oleh pemahaman bahwa pelaksanaan otonomi daerah hanya kaitan dengan dengan urusan sendiri yang mengabaikan urusanpihakpemerintahdaerahlain. /27/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 40. Pembakuan dekonsentrasi dipandang sebagai formulasi yang akan merekatkan kembali berbagai persepsi dan implementasi desentralisasi yang menyalahi penggunaan, sehingga jalinan interkoneksi dan ketergantungan antarpemerintahan menjadi terciptakan, dan mencegah terjadinya ketergantungan mutlak dan represif sebagaimana pengalaman pemerintahan di masa lalu. Interkoneksi tersebut menjadi temali yang mengikat kebersamaan gerak dengan memfungsikan kantor-kantor atau badan-badan dan juga pemerintahan yang berada di struktur menengah untuk menjadi tangankananpelimpahankewenanganpemerintahpusat.Dengankata lain interkoneksi adalah perwujudan responsibilitas kebijakan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau semi organisasi- otonom yang kedudukannya tidak dikontrol oleh pemerintah pusat, namun tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Schneider, 2003:12). 2. Dekonsentrasi sebagai Sistem Kesatuan Penyelenggaraan PemerintahanDaerah Mandat wewenang yang menitikberatkan desentralisasi, tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan penguatan pada struktur pemerintahan menengah untuk memerankan dekonsentrasi, selaindesentralisasi.Pemandatan untuk melaksanakan urusan desentralisasi diorientasikan agar pemerintah lebih menghayati eksistensi dirinya sebagai bagian dari rakyat dan sekaligus menjadiinstrumenuntukpemenuhankebutuhanrakyat. Tugas utama pemerintah yang dimandatkan dengan perundangan tersebut, tidak lain agar dapat melaksanakan pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik, yaitu pelayanan yang baik, cepat, murah, adil dan terjangkau. Prinsip dasar pelayanan publik yang telah diuji menunjukkan, hanya pemerintah yang dekat dengan rakyat yang dapat memahami dan melaksanakan fungsi pelayanan secara berkualitas. Struktur pemerintahan yang paling dekat dan dapat merapat dengan rakyat adalah pemerintah daerah. Dengan demikian kebijakan desentralisasi merupakan prasyarat dalam upaya peningkatanpelayanankepadamasyarakat. /28/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 41. Pelaksanaan desentralisasi yang telah berlangsung lebih dari enam tahun memberi pengalaman, bahwa desentralisasi dalam batas- batas tertentu dipandang berhasil meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, namun pada sisi lain menunjukkan arah kebebasan dan eklusivisme. Kondisi demikian apabila dibiarkan akan mengancam keteraturan dalam wadah kesatuan. Untuk itu pasal 2 Undang-Undang Nomor32tahun2004menegaskan,bahwa: 1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yangmasing-masingmempunyaipemerintahandaerah; 2) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asasotonomidantugaspembantuan;dan 3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraanmasyarakat,pelayananumum,dandayasaingdaerah. Selain itu pada masih dalam pasal yang sama, pada ayat 4, 5, 6 dan 7 diberikan penegasan kepentingan hubungan untuk meminta keteraturan.Bunyiayattersebutadalahsebagaiberikut: 4) Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahandaerahlainnya; 5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,dansumberdayalainnya; 6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,dansumberdayalainnyadilaksanakansecaraadildanselaras; dan 7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan. /29/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 42. Ketentuan yang menunjukkan karakeristik negara kesatuan dengan kebijakan desentralisasi tersebut harus diikat oleh suatu pola hubungan antara pemerintah Pusat dan daerah dalam upaya mencapai pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Dengan demikian penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia yang ditafsirkan sebagai pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilihat dari dua aspek, yakni (1) pembentukan daerah otonom dan(2)penyerahankekuasaan secarahukumdaripemerintahpusatke daerah tidak bisa dipisahkan dari ruh dan komitmen dari negara kesatuan. 3. FungsiKewenanganDekonsentrasi Kewenangan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi mengalami pasang surut dalam perubahan struktur pemerintahan di Indonesia. Sejalan dengan kebutuhan kebangsaan, perubahan struktur pemerintahan melalui peraturan perundang-undangan yang ada telah ada telah mengalami delapan kali perubahan sejak kemerdekaan. Pada dasarnya kebijakan dekonsentrasi mendapat perhatian pada perubahan di tahun 1945 dan 1965. Sedangkan perubahan yang menyeimbangkan antara desentralisasi dan dekonsentrasi mengalami tiga kali, yakni tahun 1957; tahun 1974; dan tahun 2004. Selengkapnya perubahankebijakantersebutdapatdiperhatikan,sebagaiberikut: a. UU No. 1 Tahun 1945 lebih menitikberatkan pada kebijakan dekonsentrasi. b. UU No. 22 Tahun 1948 lebih menitik beratkan pada kebijakan desentralisasi. c. UU No. 1 Tahun 1957 mengabungkan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi. d. Perpres No. 6 Tahun 1959 menitikberatkan pada kebijakan dekonsentrasi. e. UU No. 18 tahun 1965 menitikberatkan pada kebijakan desentralisasi. f. UU No. 5 Tahun 1974 menggabungkan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi,dantugasperbantuan. g. UU No. 22 tahun 1999 menitikberatkan pada kebijakan desentralisasi. /30/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 43. h. UU No. 32 Tahun 2004 penggabungan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi,dantugaspembantuan. Tugas dan wewenang penyelenggaraan dekosentrasi pada UU Nomor 5 Tahun 1974 menunjukkan kepala wilayah mendapat pelimpahanwewenanguntukmelaksanakandekonsentrasidalamhal: a. Membina ketentraman dan ketertiban di wilayah sesuai dengan kebijakan ketentraman dan ketertiban yang ditetapkan oeh pemerintah. b. Melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan idiologi negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan bangsasesuaidengankebijaksanaanyangditetapkanpemerintah. c. Menyelenggarakan koordinasi atas segala kegiatan dan antara instansi-instansi vertikal. Instansi vertikal dengan dinas-dinas daerah, baik dalam perencanaan, pelaksanaan untuk mencapai dayagunadanhasilgunayangsebesar-besarnya. d. Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. e. Mengusahakan secara terus-menerus segala peraturan perundangan-undangan dan peraturan daerah dijalankan oleh instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pejabat- pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. f. Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkanperaturanperundang-undangandiberikankepadanya. g. Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalamtugassesuatuinstansilainnya. Sedangkan fungsi dan wewenang pejabat dekonsentrasi yang melekat pada jabatan Gubernur berdasarkan PP nomor 39 Tahun 2000 terbagi dalam sepuluh butir, yaitu: (1) Mengaktualisasikan Nilai Pancasila; (2) Mengkoordinasikan manajeman wilayah; (3) Memfasilitasi kerjasama dan mengatasi konflik; (4) Melantik Bupati/Walikota; (5) Memelihara hubungan antardaerah; (6) /31/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 44. Memfasilitasi perencanaan dan penegakan perundang-undangan; (7) Menyelenggarakan tugas-tugas lain (urusan pemerintahan); (8) Merencanakan pemindahan kabupaten/kota; (9) Melakukan penega kan represif antardaerah provinsi , kabupaten/kota; dan (10) Memberikanpertimbanganpembentukandanpemekaranwilayah. Selanjutnya pada Undang-undang nomor 32/2004 tugas kewenangan desentralisasi untuk pemerintah provinsi menjadi lebih kuat. Tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tersebut diperas menjadi tiga bagian, yaitu pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah berkewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah kabupaten/kota diatur dalam Pasal38ayat(1)UUNomor32tahun2004,yaitu: a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerahkabupaten/kota. b. Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dankabupaten/kota; c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuandidaerahprovinsidankabupaten/kota. D. PenyelenggaraanKewenanganDekonsentrasi 1. JenisdanKriteriaKewenangan Penyelenggaraan kewenangan akan berkaitan dengan pembagian urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah (Pusat) dengan daerah otonom. Dalam konteks dekonsentrasi disandarkan pada pemikirann akan terdapat berbagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan khusus Pemerintah sebagai penanggung jawab akhir pemerintahan. Urusan pemerintahan tersebut bersifat mendasar yakni menyangkut jaminan untuk tetap berlangsungnya kehidupan bangsa dan negara, yakni tertuang dalam Pasal 10 ayat (3): Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: politik luar negeri; pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; danagama. /32/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 45. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, termasuk pemerintah provinsi terbagi dalam dua kategori, yakni urusan wajib dan urusan pilihan sebagaimana tercantum pada Pasal 13 dan 14, sebagaiberikut: (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan merupakan urusan dalamskalaprovinsiyangmeliputi: a. perencanaandanpengendalianpembangunan; b. perencanaan,pemanfaatan,danpengawasantataruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaansaranadanprasaranaumum; e. penangananbidangkesehatan; f. penyelenggaraanpendidikandanalokasisumberdayamanusia potensial; g. penanggulanganmasalahsosiallintaskabupaten/kota; h. pelayananbidangketenagakerjaanlintaskabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuklintaskabupaten/kota; j. pengendalianlingkunganhidup; k. pelayananpertanahantermasuklintaskabupaten/kota; l. pelayanankependudukan,dancatatansipil; m. pelayananadministrasiumumpemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakanolehkabupaten/kota;dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,danpotensiunggulandaerahyangbersangkutan. Selain jenis urusan pemerintah yang didesentralisasikan kepada pemerintah provinsi, juga terdapat urusan yang bersifat /33/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 46. concurrent. Artinya urusan pemerintahan tersebut yang pelaksanaannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara Pemerintah dan pemerintahan provinsi. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent itu senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah yang sifatnya meluas. Bagian urusan tersebut yang pelaksanaannya didekonstrasikan atau diserahkan kepada pemerintah provinsi, selain juga dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada pemerintah provinsi yang kemudian diteruskan kepada pemerintah kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent yang akan didekonsentrasikan secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka terdapat tiga kriteria dan sekaligus menjadi karakteristik utamanya: (l) eksternalitas; (2) akuntabilitas dan (3) efisiensi dengan tetap mempertimbangkan azas keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahanantartingkatpemerintahan. Kriteria eksternalitas adalah kriteria dalam pembagian urusan pemerintahan yang menitikberatkan dan mempertimbangkan pada dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota. Demikian juga bilamana bersifat regional, akan menjadi kewenangan provinsi, dan bilamana berskala nasional menjadikewenanganPemerintahPusat. Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak dari akibat urusan yang ditangani tersebut. Pertimbangan ini menjadikan akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepadamasyarakatakanlebihterjamin. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, /34/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 47. kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya, apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila suatu bagian urusan ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu, pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebutdilihatdaribesarnyamanfaatyangdirasakanolehmasyarakat danbesarkecilnyaresikoyangharusdihadapi. Keserasian hubungan dimaksudkan pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan itu berbeda, yakni memiliki karakteristik yang sifatnya saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai perwujudan satu kesatuan dalam sistem denganmemperhatikancakupankemanfaatan. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan tindak lanjut dari Pasal 11 ayat (4) dan Pasal14ayat(3)Undang-UndangNomor32Tahun2004.PadaPasal11 ayat (4) disebutkan bahwa 'Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah'. Selanjutnya pada Pasal 14 ayat (3) disebutkan 'Pelaksanaan ketentuan sebagaimanadimaksuddalamPasal10,Pasal11,Pasal12,Pasal13dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah'. Kerjasama pemberian pelayanan publik ini sangat penting, mengingat tidak semua pelayanan dapat dilakukan secara 'sendirian' oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, kerjasama/kemitraan pemberian pelayanan ini dapat menjadi salah satusolusidalammenciptakanpelayananyangprima. Berdasarkan substansi kedua pasal di atas, urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan seperti pendidikan dasar, kesehatan, /35/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 48. pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat denganpotensiunggulandankekhasandaerah. 2. KewenanganPembiayaanDekonsentrasi Mekanisme pelimpahan urusan pemerintahan melalui dekonsentrasi dilakukan dengan mekanisme penyerahan atas usul pemerintah daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya tersebut. Berbagai usulan itu kemudian dilakuakan verifikasi oleh pihak Pemerintah pusat. Sebelum itu pemerintah pusat juga memberikan penjelasan atas bagian urusan- urusanapayangsaatinimasihmenjadikewenanganPusatdengancara menyandarkan pada kriteria eksternalitas; akuntabilitas dan efisiensi yangsepantasnyadiserahkankepadaDaerah. Di dalam UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBNyangdilaksanakanolehgubernursebagaiwakilPemerintahyang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi yang di dalamnya tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Besarnya dana disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Dalam hal semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerahmenjadisumberkeuangandaerah. Dalam hal ini pemerintah daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang diantaranya dari ketersediaan pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber- sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan, sebagaimana tercantum pada pasal 15 UU No 32 Tahun 2004sebagaiberikut: /36/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 49. (1) Hubungan dalam bidang keuangan antara Pemerintah dan pemerintahandaerahsebagaimanadimaksuddalamPasal2ayat (4)danayat(5)meliputi: a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyeleng- garakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahandaerah; b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah;dan c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah. (2) Hubungan dalam bidang keuangan antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsidanpemerintahandaerahkabupaten/kota; b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabbersama; c. pembiayaanbersamaataskerjasamaantardaerah;dan d. pinjamandan/atauhibahantarpemerintahandaerah. (3) Hubungan dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang- undangan. Pada UU No 17 Tahun 2003 terdapat penegasan bidang pengelolaan keuangan dimana kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari Presiden sebagian diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Gubernur/Bupati/Walikota bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikianpengaturanpengelolaandanpertanggungjawabankeuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah,yaitudalamundang-undangmengenaiPemerintahanDaerah. /37/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 50. Pasal 87 UU No 17 Tahun 2003 menyebutkan: (1) Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah; (2) Pelaksanaan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai oleh Pemerintah; (3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan;(4). Kegiatan Dekonsentrasi di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh gubernur; (5). Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga yang berkaitan dengankegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada DPRD;(6). Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 6 diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD; dan (7). Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk kegiatanyangbersifatnonfisik. Pasal 89 UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dijelaskan mekanisme penyaluran Dana Dekonsentrasi dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara. Pada setiap awal tahun anggaran gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi akan menetapkan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk menjadi pelaksana kegiatan Dekonsentrasi. Apabila terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi, maka sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN. Demikian juga dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Dekonsentrasi, maka saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara. Bilamana pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, maka penerimaan tersebut juga dipandang sebagai penerimaan APBN dan karenannya harus disetor melalui Rekening Kas Umum Negara sesuaidenganperaturanperundang-undanganyangberlaku. Berkenaan dengan mekanisme pertanggungjawaban dan juga Pelaporan Dana dekonsentrasi dijelaskan oleh pasal 90 UU Nomor 33 tahun 2004, yaitu: Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi harus dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dalam bidang pelaksanaan Tugas Pembantuan dan Desentralisasi. SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang /38/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI
  • 51. dalam rangka Dekonsentrasi itu mesti dilakukan secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SKPD-SKPD tersebut senantiasa menyampaikan laporan akan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi yang diperolehnya kepada gubernur, yang selanjutnya Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara keseluruhan menganai pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada para menteri negara ataupun pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang dekonsentrasi. Akhirnya para menteri negara atau pimpinan lembaga tersebut kemudian menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan DekonsentrasisecaranasionalkepadaPresiden. Mengenai status barang yang digunakan dalam pelaksanaan dekonsentrasi diatur melalui pasal 91 UU Nomor 33 tahun 2004. Dalam ketentuan bahwa semua barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi adalah menjadi barang milik Negara. Barang miliki negara itu dihibahkan kepada Daerah yang wajib untuk dikelola dan diarsipkan. Sedangkan barang milik negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh pihak kementerian negara atau lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang. E. KinerjaPemerintahProvinsidalamPenyelenggaraanDekonsentrasi 1. KinerjaPemerintahProvinsidalamKoordinasiPenyelenggaraan Berkenaan dengan tugas dan fungsi sebagai bagian dari pemerintah yang diberi pelimpahan sebagian wewenang melalui dekonsentrasi, maka pemerintah provinsi membutuhkan instrumen yang tetap untuk dapat mengintegrasikan antara satu unit dengan unit yang lain dan antara satu jabatan dengan jabatan yang lain. Dalam kaitan ini koordinasi menjadi penting adanya dalam menciptakan integrasi dan sinkronisasi agar keseluruhan unit badan yang ada berfungsi seirama dalam mencapai tujuan desentralisasi sebagaimana yang ditetapkan. Sejalan dengan hal itu, Stonner (1990: 318) mendefinisikan koordinasi sebagai “proses pemaduan tujuan dan kegiatan unit-unit yang terpisah (departemen dan bidang-bidang fungsional) dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien”. /39/ KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI