Referat_Rizqi Anisah Yumna_G992202065_Keloid dan Hipertrofik pada Daerah Dada dan Axilla.pdf
1. REFERAT BEDAH PLASTIK
KELOID DAN HIPERTROFIK PADA DAERAH DADA DAN AXILLA
Oleh:
Rizqi Anisah YumnaG992202065
Periode: 26 September 2022 - 20 November 2022
Pembimbing:
Dr. dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP-RE (KKF)
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK
FK UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2022
2. HALAMAN PENGESAHAN
Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Referensi artikel dengan judul:
Keloid dan Hipertrofik pada Dada dan Axilla
Hari, tanggal: Selasa, 27 September2022
Disusun oleh:
Rizqi Anisah Yumna G992202065
Mengetahui dan menyetujui,
Pembimbing
Dr. dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP-RE(KKF)
NIP. 19640101 198910 0 003
3. BAB I
PENDAHULUAN
Keloid dan bekas luka hipertrofik merupakan respon yang menyimpang
dari proses penyembuhan luka. Kedua bekas luka ini ditandai dengan pertumbuhan
yang tidak teratur dan pembentukan kolagen yang berlebihan sehingga dapat
mengganggu pasien secara kosmetik dan fungsional.
Luka bekas hipertrofik sering ditemukan di bagian tubuh dengan tekanan
tinggi seperti sendi-sendi ekstensor. Adapun keloid sering ditemukan salah
satunya pada dada dan jarang sekali ditemukan pada axilla. Penyebab pasti keloid
pada axilla beberapa masih dugaan dengan beberapa hipotesis baru.
4. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Bekas luka hipertrofik merupakan penonjolan keras di tempat cedera yang
kemerahan dan gatal, serta biasanya berkembang dalam 4 sampai 8 minggu setelah
cedera. Bekas luka ini biasanya terbentuk di atas sendi ekstensor dan area dengan
tegangan tinggi lainnya. Bekas luka hipertrofik cenderung menghilang seiring
waktu, meskipun dapat membutuhkan waktu beberapa tahun (Berman, Maderal &
Raphael, 2017 ; Barones et al, 2021).
Tidak seperti bekas luka hipertrofik, penonjolan keloid dapat muncul
bertahun-tahun kemudian dan meluas ke luar lokasi cedera. Keloid sering muncul
di cuping telinga, dada, bahu, punggung atas, leher posterior, pipi, dan lutut. Pasien
dengan keloid dapat datang dengan rasa terbakar, pruritus, nyeri, dan hiperestesia
(Berman, Maderal & Raphael, 2017 ; Barones et al, 2021).
Gambar 1. Bekas luka hipertrofik (A) dan Keloid (B) (Carswell & Borger, 2022)
Bila dua bekas luka ini dianalisis secara mikroskopis, ditemukan kolagen
pada bekas luka hipertrofik mempertahankan pola bergelombang sejajar dengan
epidermis sedangkan kolagen keloid tersusun sembarangan dalam pola acak
(Berman, Maderal & Raphael, 2017).
5. B. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi bekas luka hipertrofik dan keloid yang tepat sangat
bervariasi dalam literatur. Keloid terjadi sama pada pria dan wanita. Tingkat
perkembangan keloid lebih tinggi ditemukan pada individu berkulit gelap
keturunan Afrika, Asia, dan Hispanik dibandingkan dengan Kaukasia. Insiden
pada populasi berpigmen lebih gelap ini berkisar antara 4,5% hingga 16%. Insiden
ini terutama lebih tinggi selama kehamilan dan pubertas. Risiko perkembangan
keloid meningkat pada keluarga dengan riwayat keluarga yang positif meskipun
tidak ada gen spesifik yang diidentifikasi. Sindrom genetik yang langka juga dapat
meningkatkan risiko perkembangan keloid termasuk sindrom Rubinstein-Taybi,
sindrom Dubowitz, miopati Bethlem, sindrom Noonan, dan sindrom Goeminne
(Baron et al, 2021 ; McGinty & Siddiqui, 2022).
Berbeda dengan keloid, tidak ada bukti yang mendukung pengaruh faktor
genetik terhadap perkembangan luka bekas hipertrofik. Seperti keloid, insidensi
luka bekas hipertrofik lebih tinggi pada orang berusia 10 hingga 30 tahun. Studi
telah melaporkan insiden luka bekas hipertrofik yang lebih tinggi pada remaja dan
wanita hamil. wanita dan insiden yang rendah di antara pasien dengan albinisme
(Baron et al, 2021 ; McGinty & Siddiqui, 2022).
C. Etiologi dan Patofisiologi
Keloid dan bekas luka hipertrofik disebabkan oleh cidera dan iritasi pada
kulit, termasuk di dalamnya adalah trauma, gigitan serangga, luka bakar, vaksinasi,
tindik kulit, jerawat, folikulitis, cacar air, dan infeksi herpes zoster.
Keloid dan bekas luka hipertrofik muncul pada cedera kulit yang mencapai
lapisan retikuler dermis.
Bekas luka patologis ini disebabkan oleh cedera pada lapisan kulit ini dan
proses penyembuhan luka di dalamnya yang mengalami kelainan, ditandai dengan
peradangan yang terus menerus dan terlokalisasi secara histologis. Akibatnya,
lapisan retikuler dari keloid dan bekas luka hipertrofi mengandung sel-sel
inflamasi, fibroblas yang meningkat, pembuluh darah yang baru terbentuk, dan
deposit kolagen (Ogawa, 2017).
6. Dalam kasus luka bedah, baik pasien maupun dokter cenderung percaya
(secara keliru) bahwa luka yang dijahit telah matang ketika jahitan dilepas. Ini
karena pada titik ini (yaitu, 7-14 hari setelah operasi), epidermis telah beregenerasi
dan luka telah tertutup dan kering. Namun pada tahap ini, matriks dermal masih
dalam proses pematangan dan ada peradangan yang sedang berlangsung di dermis
retikuler. Jika pada fase ini, lapisan retikuler mendapatkan rangsangan eksternal
dan/atau internal, peradangan gagal mereda dan malah menjadi semakin parah.
Proses ini menghasilkan bekas luka patologis yang akhirnya menjadi jelas
beberapa bulan setelahnya (Ogawa, 2017).
Intensitas, frekuensi, dan durasi rangsangan menentukan seberapa cepat
bekas luka muncul, arah dan kecepatan pertumbuhan, serta intensitas gejala.
Stimulus yang mempengaruhi karakteristik dan jumlah keloid dan bekas luka
hipertrofik termasuk berbagai faktor lokal, sistemik, dan faktor genetik (Ogawa,
2017).
D. Keloid dan Luka Bekas Hipertrofik pada Dada dan Axilla
Daerah dada merupakan salah satu bagian tubuh dimana keloid tumbuh
paling sering, sedangkan keloid yang terjadi pada daerah axilla jarang ditemukan.
Keloid pada kedua axilla seorang pasien laki-laki, 21 tahun ditemukan pada
luka bekas operasi osmidrosis dan diduga muncul akibat perawatan luka post-
operasi dan inflamasi yang tidak adekuat selama wajib militer (Hwang, Lee, Kim,
Jung & Kim, 2013).
7. Gambar 2. Keloid pada axilla bilateral seorang pasien laki-laki 21 tahun (Hwang, Lee,
Kim, Jung & Kim, 2013).
Seorang laki-laki Afrika-Amerika pada tahun 2007 berusia 81 tahun
dirujuk untuk pemeriksaan lesi eruptif seperti keloid pada batang tubuhnya. Pasien
dilaporkan memiliki riwayat renal cell carcinoma pada tahun 1988 yang telah
dilakukan nefrektomi, gagal jantung kongestif, dan riwayat panjang keloid ringan
setelah trauma ringan. Riwayat keloid pada keluarga pasien diakui. Keloid
ditemukan pada helix telinga kiri, punggung, axilla bilateral, selangkangan,
genitalia, tungkai, dada, dan perut. Pasien menyangkal riwayat trauma pada area
keloid baru. Diagnosis keloid ditegakkan berdasar hasil biopsi untuk
menyingkirkan kemungkinan lain termasuk mikosis fungoides, sarkoid, dan sifilis.
Beberapa bulan kemudian pasien dibawa ke instalasi gawat darurat rumah sakit
akibat hal lain yang tidak terkait. Pasien saat itu didiagnosis dengan kanker
payudara. Pada pasien ini, perubahan keloid-promoting growth factor dan sitokin
sebagai akibat seknder dari kanker payudaranya diduga menyebabkan peningkatan
keparahan keloidnya. Hal ini kemudian terbukti setelah tindakan reseksi kanker
dilakukan, gejala yang terkait dengan keloid dilaporkan pulih. Dari kasus ini
didapatkan hipotesis bahwa kanker mungkin menginduksi respons imun spesifik
8. tumor yang dapat memengaruhi pertumbuhan keloid, baik dengan cross-
recognizing sel fibroblas atau dengan mekanisme bystander (Maverakis, He,
Reyes Merin & Sharon, 2011).
Gambar 3. Perbaikan keloid sebelum (A) dan sesudah (B) eksisi kanker payudara
(Maverakis, He, Reyes Merin & Sharon, 2011).
E. Tata Laksana dan Pencegahan
Tersedia banyak pilihan perawatan untuk luka bekas hipertrofik dan keloid.
Perawatan yang tersedia diantaranya pengobatan non invasif, injeksi, dan
pembedahan yang memiliki kemanjuran berbeda-beda.
Terapi topikal non-invasif dilakukan dengan silicon-sheeting dan terapi
tekanan sebagai pencegahan. Agen yang biasa digunakan adalah imiquimod dan
verapamil. Agen yang digunakan dalam terapi injeksi diantaranya adalah steroid
sebagai lini pertama, 5-fluorouracil (5FU), dan bleomisin. Krioterapi merupakan
modalitas yang efektif untuk keloid kecil dan bekas luka hipertrofik. Eksisi untuk
mengurangi atau menghilangkan bekas luka dapat diindikasikan. Umumnya
pembedahan dianjurkan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil signifikan
(Barone et al., 2021).
Strategi terbaru dalam mencegah timbulnya keloid adalah dengan berfokus
mengurangi inflamasi. Meminimalisir tekanan pada penutupan luka. Hal ini karena
ketika tekanan yang lebih besar diberikan pada tepian luka, bekas luka yang lebih
besar akan muncul. Hidrasi luka dengan emolien dan penggunaan sunscreen dapat
melindungi kulit dari paparan radiasi ultraviolet yang dapat memicu pigmentasi
dan memperburuk tampilan luka (Barone et al., 2021).
9. F. Prognosis
Keloid merupakan lesi jinak, dengan tata laksana utamanya bertujuan
untuk menghilangkan gejala atau dengan tujuan kosmetik (McGinty & Siddiqui,
2022). Adapun luka bekas hipertrofik merupakan lesi jinak yang dapat menghilang
seiring tahun (Berman, Maderal & Raphael, 2017).
10. BAB III
KESIMPULAN
Luka bekas hipertrofik dan keloid merupakan penonjolan kemerahan pada
kulit akibat proses penyembuhan luka yang menyimpang. Luka bekas hipertrofik
paling sering muncul pada bagian tubuh dengan tekanan tinggi seperti sendi ekstensor
dan akan menghilang sendiri seiring waktu. Keloid paling sering muncul pada dada,
daun telinga, lengan atas, leher belakang. Kasus keloid pada axilla jarang ditemukan,
dan diduga muncul akibat perawatan post operasi yang tidak adekuat serta induksi
respons imun spesifik tumor oleh sel kanker. Faktor lainnya masih bisa menjadi
kemungkinan penyebab munculnya keloid di axilla. Luka bekas hipertrofik dan keloid
merupakan lesi jinak yang dapat dicegah dan ditangani dengan berbagai pilihan
terapi.
11. DAFTAR PUSTAKA
Berman, B., Maderal, A., & Raphael, B. (2017). Keloids and Hypertrophic Scars:
Pathophysiology, Classification, and Treatment. Dermatologic Surgery, 43(1), S3-
S18. doi: 10.1097/dss.0000000000000819
Carswell, L., & Borger, J. (2022). Hypertrophic Scarring Keloids. Retrieved 26 September
2022, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537058/
Deitch, E.A.; Wheelahan, T.M.; Rose, M.P.; Clothier, J.; Cotter, J. Hypertrophic burn scars:
Analysis of variables. J. Trauma 1983, 23, 895–898. [CrossRef] [PubMed]
Finnerty CC, Jeschke MG, Branski LK, Barret JP, Dziewulski P, Barone, N., Safran, T.,
Vorstenbosch, J., Davison, P., Cugno, S., & Murphy, A. (2021). Current Advances
in Hypertrophic Scar and Keloid Management. Seminars In Plastic Surgery, 35(03),
145-152. doi: 10.1055/s-0041-1731461
Frangogiannis N. Transforming growth factor-β in tissue fibrosis. J Exp Med
2020;217(03):e20190103 35 Ogawa R, Akita S, Akaishi S, et al. Diagnosis and
treatment of keloids and hypertrophic scars-Japan Scar Workshop Consensus
Document 2018. Burns Trauma 2019;7:39
Gold MH, McGuire M, Mustoe TA, et al; International Advisory Panel on Scar
Management. Updated international clinical recommendations on scar
management: part 2–algorithms for scarprevention and treatment. Dermatol Surg
2014;40(08):825–831
Gold MH, McGuire M, Mustoe TA, Pusic A, et al. Updated international clinical
recommendations on scar management: part 2—algorithms for scar prevention and
treatment. Dermatol Surg 2014;40:825–31.
Huang, C.; Akaishi, S.; Hyakusoku, H.; Ogawa, R. Are keloid and hypertrophic scar
different forms of the same disorder? A fibroproliferative skin disorder hypothesis
based on keloid findings. Int. Wound J. 2014, 11, 517–522. [CrossRef] [PubMed]
12. Huang, C.; Liu, L.; You, Z.; Wang, B.; Du, Y.; Ogawa, R. Keloid progression: A stiffness
gap hypothesis. Int. Wound J. 2016. [CrossRef] [PubMed]
Hwang, S., Lee, S., Kim, H., Jung, Y., & Kim, H. (2013). Axillary Keloid Formation after
Osmidrosis Surgery. Archives Of Aesthetic Plastic Surgery, 19(3), 162. doi:
10.14730/aaps.2013.19.3.162
Jones CD, Guiot L, Samy M, Gorman M, et al. The Use of Chemotherapeutics for the
treatment of keloid scars. Dermatol Rep 2015;7:5880.
Longaker MT, Rohrich RJ, Greenberg L, Furnas H, et al. A randomized controlled trial of
the embrace advanced scar therapy device to reduce incisional scar formation. Plast
Reconstr Surg 2014; 134:536–46.
Maverakis, E., He, Y., Reyes Merin, M., & Sharon, V. (2011). Eruptive Keloids Associated
with Breast Cancer: A Paraneoplastic Phenomenon?. Acta Dermato Venereologica,
91(4), 480-481. doi: 10.2340/00015555-1089
McGinty, S., & Siddiqui, W. (2022). Keloid. Retrieved 26 September 2022, from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507899/#!po=4.54545
O’Boyle CP, Shayan-Arani H, Hamada MW. Intralesional cryo-therapy for hypertrophic
scars and keloids: a review. Scars Burn Heal 2017;3:2059513117702162
Ogawa, R. (2017). Keloid and Hypertrophic Scars Are the Result of Chronic Inflammation
in the Reticular Dermis. International Journal Of Molecular Sciences, 18(3), 606.
doi: 10.3390/ijms18030606
Oosterhoff TCH, Beekman VK, van der List JP, Niessen FB. Laser treatment of specifi
scar characteristics in hypertrophic scars and keloid: a systematic review. J Plast
Reconstr Aesthet Surg 2021;74(01):48–64
Schmieder SJ, Ferrer-Bruker SJ. Hypertrophic Scarring. Treasure Island, FL: StatPearls;
2021
13. Williams EA, Thaller SR. The role of fat grafting in the treatment of keloid scars and
venous ulcers. J Craniofac Surg 2019;30(03): 696–697
Wong VW, Rustad KC, Akaishi S, Sorkin M, et al. Focal adhesion kinase links mechanical
force to skin fibrosis via inflammatory signaling. Nat Med 2012;18:148–52.