1. Dokumen tersebut membahas tentang pengertian leasing dan ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT) dalam hukum Islam. Ia menjelaskan perbedaan antara leasing dengan ijarah serta larangan melakukan dua akad sekaligus dalam satu transaksi menurut ajaran Islam. Dokumen ini juga memberikan pengertian leasing, IMBT, dan perbedaan antara sewa dengan jual beli.
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Leasing memiliki sejarah yang cukup panjang. Meskipun tidak diketahui secara pasti,
namun diyakini kegiatan transaksi leasing ini telah terjadi sejak tahun 2000 SM yang
dilakukan oleh orang-orang Sumeria.1 Sesuai dengan dokumen, pada awalnya transaksi
leasing dilakukan oleh orang-orang Sumeria yang dimulai dari peralatan pertanian, hak-hak
penggunaan tanah dan air sampai binatang ternak. Pada awalnya leasing merupakan usaha
pembiayaan peralatan, pertanahan dan peternakan. Seiring dengan perkembangan industri,
manufaktur dan transportasi menjadikan bertambahnya obyek leasing di Inggris. Di samping
di Inggris, praktek pembiayaan dengan menggunakan leasing di Amerika juga telah mulai
dikenal sejak tahun 1970-an. Praktek leasing di Amerika tumbuh dengan pesatnya setelah
adanya pembangunan rel kereta api, yang rata-rata pembiayaannya dilakukan dengan cara
leasing. Selanjutnya kegiatan usaha leasing menyebar ke berbagai negara dengan pesatnya
setelah tahun 1950-an, khususnya di Eropa dan Amerika.
Leasing diperkenalkan di Indonesia untuk kali pertama pada tahun 1974 dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan
Menteri Perindustrian No. Kep. 122/MK/2/974 dan No.30/Kpb/I/974 tanggal 7 Pebruari 1974
tentang”Perizinan Usaha Leasing”2 Pada dekade 80-an perusahaan leasing semakin
bertambah banyak sejalan dengan itu volume transaksinya mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun. Dalam masa perkembangannya, leasing dikenal sebagai salah satu jalan atau cara
untuk memperoleh modal bagi perusahaan yang tidak memiliki modal.3 Di samping tidak
cukup modal, juga kurang mampu membayar bunga, jika modal yang diperlukan berasal dari
kridet.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia berpandangan bahwa pembiayaan leasing identik
dengan jual beli angsuran dalam bentuk sewa beli.4 Hal ini dapat dimengerti, karena dalam
1 Tom Clark.1985.TheWordof Leasing, dalam LeasingFinance. London: EuromoneyPublications.hlm.1.
2
Y, Sri Susilo. 2000. Bankdan Lembaga KeuanganLain.Jakarta: Salemba Empat. hlm. 129.
3
Tom Clark. Loc. cit
4
Sebagian masyarakat yangmenganggap leasingsebagai pembiayaanperalatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi
suatuperusahaan, baik secara langsungmaupuntidaklangsung. Dengandemikian pada hakekatnya leasing merupakan salah satu cara
pembiayaan yangmirip dengan kredit bank. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada bentuk barang yang diberikan, leasing
2. 2
perjanjian “leasing” memuat klausula “hak opsi” bentuk hak opsinya adalah“opsi beli”atau
opsi perpanjangan waktu. Pada klausula opsi beli, memberi hak kepada lessee untuk membeli
barang-barang modal yang menjadi obyek leasing setelah sampai pada waktu yang dijanjikan.
Sedang pada opsi perpanjangan waktu, memberi hak kepada lessee untuk memperpanjang
waktu leasing dari batas jangka waktu perjanjian.5 Dengan mengaitkan leasing dengan opsi
beli, perjanjian leasing memiliki aspek hukum ganda. Pada satu segi seolah-olah sebagai
pejanjian sewa menyewa, pada segi yang lain mirip dengan perjanjian jual beli sewa atau jual
beli angsuran, apabila dalam perjanjian tercantum “buy decision”
Leasing menurut peraturan yang ada disebut juga Sewa-guna-usaha. Dalam kep.
Menkeu no. 1169/KMK.01/1999 tentang Kegiatan Sewa-Guna-Usaha (Leasing) dinyatakan:
”Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa-guna-
usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.” Yang dimaksud dengan opsi adalah hak
Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka
waktu perjanjian sewa-guna-usaha.
Karena ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi
pemindahan kepemilikan, maka banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan leasing.
Hal ini terjadi karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal-ihwal sewa-
menyewa. Menyamakan ijarah dengan leasing tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya
benar pula. Karena pada dasarnya, walaupun tedapat kesamaan antara ijarah dan leasing, tapi
ada beberapa karekteristik yang membedakannya.
memberikanbantuan dalam bentukbarangmodal sedangkanbankmemberikanbantuan berupa permodalan.RichardBurtonSimatupang.
1996. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 134.
5 M.Yahya Harahap.1991.Leasingdan Surat-suratBerharga Serta Kaitannya dengan Sengketa HartaBersama
dan Waris di Pengadilan Agama,dalam Mimbar Hukum. No.3 Thn.II,1991,hlm.43
3. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Leasing
Leasing ini ada dua katagori global, yaitu operating lease dan financial lease.
Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya
manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi
pihak pemberi sewa. Sewa jenis pertama ini berpadanan dengan konsep ijarah di dalam
syariah Islam yang secara hukum Islam diperbolehkan dan tidak ada masalah.
Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang
tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa
pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik
pemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila
pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang tersebut
menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan alasan hadiah pada akhir
penyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan alasan lainnya. Intinya, dalam financial
lease terdapat dua proses akad sekaligus : sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa
leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli.
Merujuk pada kenyataan di atas, nampak bahwa dalam sewa-beli terdapat dua bentuk
muamalah yang berbeda dalam satu proses yang bersamaan. Sewa sekaligus beli. Sampai di
sini terdapat minimal dua persoalan yang memerlukan kajian, yaitu perbedaan sewa dan beli,
serta kedudukan dua akad sekaligus dalam suatu proses muamalah.
Pertama, perbedaan sewa dan beli. Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda
antara sewa dengan beli. Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatu
manfaat dari barang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanya
berupa uang (‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh). Jadi, pihak penyewa mendapatkan hanya
manfaat yang dikandung oleh barang yang disewanya. Adapun barangnya itu sendiri tetap
merupakan hak milik pihak pemberi sewa.
4. 4
Hal ini berbeda sekali dengan jual beli. Secara syar’iy, jual-beli (al bai’) merupakan
mubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan ‘ala sabilit taradhi, yaitu pertukaran
antara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang) untuk pertukaran kepemilikan di atas
dasar saling meridloi satu sama lain. Berdasarkan hal ini, barang dari pihak penjual akan
menjadi milik dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang atau barang (bila barter) dari pihak
pembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Proses jual-beli ini, tentu saja, dapat
kontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara
sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhak memiliki barang pada akhir masa transaksi.
Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewa sangat berbeda dengan akad pada jual-beli.
Akad sewa berkonsekuensi pada tetap dimilikinya barang oleh pihak pemilik barang,
sedangkan pihak penyewa hanya boleh memanfaatkan barang tersebut selama masa
penyewaan. Sedangkan akad jual-beli berujung pada pertukaran kepemilikan dari penjual ke
pembeli dan dari pembeli ke penjual.
Kedua, kedudukan dua akad. Rasulullah SAW melarang dua akad berbeda terjadi
dalam satu aktivitas muamalah. “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua akad
dalam suatu proses akad tertentu, “ demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang
larangan Rasulullah SAW.
Hadits ini maksudnya adalah tidak boleh seseorang melakukan dua akad berbeda
dalam suatu proses muamalah tertentu. Tidak boleh, misalnya, seseorang menyatakan ‘Saya
menjual rumah saya ini kepada Anda dengan syarat Anda menjual rumah Anda yang di
Puncak pada saya’, ‘Saya menjual perusahaan ini pada Anda dengan catatan Anda
menikahkan putri Anda kepada saya’, atau ‘Saya menjual barang ini dengan harga 10 juta
rupiah pada Anda dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak dapat
melunasinya maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Anda
berikan dianggap sebagai sewa barang selama Anda menggunakannya.’ Di dalam muamalah
tadi terdapat dua akad sekaligus, menjual rumahnya sekaligus membeli rumah pembeli
rumahnya dalam satu akad, menjual perusahaan sekaligus menikahi putri pembeli
perusahaannya dengan hanya satu akad, dan jual-beli sekaligus sewa dalam satu akad
tertentu. Semua ini bertentangan dengan sikap Rasulullah SAW tadi.
5. 5
Berdasarkan hal ini nampaklah bahwa dalam muamalah financial leasing (yang secara
umum dikenal dengan istilah ‘leasing’ saja) terdapat dua akad sekaligus dalam satu proses
muamalah tertentu. Dan hal ini tidak sesuai dengan titah Rasulullah SAW. Padahal, dalam
syariat Islam, bila akad yang terjadi sewa maka tetap berlaku sewa sampai batas akhir waktu
penyewaan. Demikian pula, suatu akad jual-beli tetap sebagai jual beli. Andaikan jual-beli itu
dilakukan dengan mencicil dan pihak pembeli belum dapat melunasi seluruh utang
pembeliannya pada waktu yang telah disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak dapat
dialihkan menjadi akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa.
Selain itu, bila dilihat dari realitasnya, muamalah jenis ini nampak mengunggulkan
pemberi sewa (perusahaan leasing) dibandingkan dengan penyewa. Terlebih-lebih bila pihak
pembeli merasa mencicil barang dengan harga ‘pembelian’. Di tegah jalan, karena sesuatu
hal, ia tidak mampu melunasinya. Akhirnya, barang yang diangankan untuk dimilikinya pada
akhir cicilan nanti harus dikembalikan, dan ia hanya menyewa saja. Padahal, tentu saja, harga
sewa logisnya lebih kecil dibandingkan dengan harga beli dengan cicilan.
Satu hal lagi, persoalan leasing menjadi bertambah bila dalam cicilannya itu
melibatkan riba (bunga). Sebab, Allah SWT memfirmankan : “Dan Allah telah menghalalkan
jual beli serta mengharamkan seluruh riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275).
B. Pengertian Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik (IMBT)
Adapun didalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam dan LK) Nomor : PER.04/BI/2007 dalam Bab ketentuan Umum IMBT adalah
akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu
tertentu dengan pembayaran sewa (Ujrah) antara Perusahaan pembiayaan sebagai pemberi
sewa ( mu’ajjir ) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang
tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
Sedangkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menjelaskan IMBT pada
pasal 323 yaitu Dalam akad ijarah Muntahiyah bit tamlik suatu benda antara Mua’jir/pihak
yang menyewakan dengan Musta’jir/pihak penyewa diakhiri dengan pembelian ma’jur/objek
ijarah oleh musta’jir/pihak penyewa.
6. 6
Dari ketiga pengertian tersebut dapat di ambil pemahaman bahwa akad IMBT
merupakan akad Ijarah (sewa) sehingga syarat dan rukun Ijarah dapat diterapkan dalam
pelaksanaan Ijarah muntahiyah bit tamlik (IMBT), Ijarah dimaknai dengan dua dimensi
kehidupan, Ijarah dimaknai sebagai proses perjanjian para pihak, salah satu pihak
berkedudukan sebagai penyedia barang/jasa (muajir) dan pihak lain berkedudukan sebagai
pengguna/penerima manfaat barang/jasa (musta’jir) Ijarah yang obyeknya berupa barang
dimaknai sebagai sewa, sedangkan Ijarah yang obyeknya berupa jasa dimaknai sebagai
Upah , ijarah yang demikian berdimensi duniawi, istilah tehnis bagi sewa/upah yang
digunakan adalah Ujrah (imbalan). Disisi lain umat Islam berkeyakinan bahwa dunia ini
adalah Mazra’at (tempat bercocok tanam) yang berakibat pada kehidupan akhirat nanti.
Dalam dimensi kebaikan , orang yang bermuamalah dengan baik diantaranya melakukan
ijarah dengan baik, maka akan mendapat pahala yang terkadang disebut ” Ajrun ” . jadi
Ujrah berdimensi duniawi, sedangkan ajrun berdimensi ukhrawi. Ujrah yang termasuk akad
dalam bidang jasa sekarang ini telah diperluas dengan dihubungkan konsep intiqal al-
milkiyah, ( berpindah kepemilikan) oleh karena itu salah satu jasa yang berkembang dalam
ekonomi syariah adalah produk Ijarah muntahiyah bit tamlik ( IMBT).
Secara konseptual IMBT hampir sama dengan leasing , bahwa leasing merupakan
bentuk pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang barang modal untuk digunakan oleh
perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih/opsi
bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Dalam pelaksanaan akad IMBT ada ketentuan ketentuan yang bersifat umum dan ketentuan
bersifat khusus, ketentuan bersifat umum yaitu 1). rukun dan syarat yang berlaku dalam akad
ijarah berlaku pula dalam aqad IMBT 2.) perjanjian untuk melakukan akad IMBT harus
disepakati ketika akad ijarah ditandatangani dan 3). hak dan kewajiban setiap pihak
dijelaskan dalam aqad, sedangkan yang bersifat khusus 1). pihak yang melakukan IMBT
harus melakukan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan baik dengan jual
beli (bai’) atau pemberian (hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.2). .
janji pemindahan kepemilikan yang disepakati diawal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang
hukumnya tidak mengikat. Apabila wa’ad (janji) dilaksanakan, maka pada akhir masa
ijarah(sewa) wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan. Artinya dalam akad IMBT tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yaitu melarang 2 (dua)akad dalam 1 perjanjian, akan
tetapi membolehkan mengatur 1 akad dan 1 wa’ad dalam 1 perjanjian. Oleh karena itu
7. 7
tidaklah beralasan jika lembaga-lembaga keuangan syariah menghindari dari akad IMBT
,sebenarnya IMBT dipraktekan dalam rangka memperluas produk lembaga keuangan syraiah
serta memperkaya khazanah umat islam dalam bermu’amalah, sebab akan tidak mungkin
dikemuadian hari akan lahir bentuk bentuk akad paralel lainnya.
C. Perbedaan dan persamaannya pembiayaan syari’ah/IMBT dengan
Konvensional/leasing
BIDANG IMBT/SYARIAH KONVENSIONAL/LEASING
a.Aset/Obyek
- Aset selama masa sewa
menjadi pemilik Bank/
muajjir
- Bank/muajjir tetap
menjadi pemilik aset setelah
masa sewa berakhir, jika
nasabah tidak bersedia
membuat akad pemindahan
kepemilikan (dengan jual
beli/hibah).
- sama seperti dalam
financial lease nasabah
membeli aset dari suplier
dengan dana pembiayaan dari
bank dan aset langsung
dicatatkan atas nama nasabah.
- Aset kemudian
dikontruksikan sebagai milik
Bank ( karena dibeli dengan
uang Bank) dan Bank
menyewakannya kepada
nasabah.
b.Aqad/perjanjian
- 1 perjanjian menggunakan
dengan 1 akad dan 1
wa’ad.( akadnya ijarah
(sewa) dan wa’adnya jual
beli atau hibah) yang akan
ditanda tangani setelah
ijarah berakhir( jika nasabah
menghendaki),maka perlu
dilampirkan konsep
perjanjian jual beli/hibah.
Juga dilampirkan konsep
kuasa kepada bank untuk
menjual aset jika pada akhir
masa ijarah nasabah tidak
menginginkan aset.
- sewa dan jual beli menjadi
satu kesatuan dalam 1
perjanjian.
c. Perpindahan
kepemilikan.
- perpindahan kepemilikan
dengan menggunakan jual
beli dan hibah.
- Perpindahan kepemilikan
dilaksanakan setelah masa
ijarah selesai.
- perpindahan kepemilikan
dengan menggunakan jual
beli.
- Perpindahan kepemilikan
diakui setelah seluruh
pembayaran sewa telah
8. 8
diselesaiakan.
d. Pembuktian
kepemilikan obyek.
- Bank/Muajjir dianggap
pemilik dari obyek yang
disewakan logikanya
banklah yang membeli
barang dari suplier. Dan
nasabah untuk membeli
barang atas surat kuasa
dari bank.
- dalam financial lease tidak
mengkontruksikan bahwa
lessorlah yang membeli
barang dari suplier.
Walaupun secara konsep umumnya IMBT sama dengan leasing (sewa-beli), tapi
terdapat perbedaan dalam bentuk peralihan hak pada akhir masa sewanya. Dalam perjanjian
leasing (sewa-beli), pada akhir masa sewa terdapat suatu nilai tebus tertentu, yang
memberikan opsi bagi penyewa untuk menebus barang yang disewa dengan mekanisme
jual-beli6. Sementara pada skema IMBT, berdasarkan Pasal 16 ayat 1 c Peraturan Bank
Indonesia No. 7/46/PBI/2005, peralihan hak yang terjadi pada akhir masa sewa (ijarah)
dilakukan dengan mekanisme hibah.7
Contoh kasus:
Ada seorang pengusaha yang bekerja dibidang industri pariwisata. Menjelang
lebaran hari raya idul fitri, ia ingin menambah armada angkutan bus pariwisatanya sebanyak
10 unit. Untuk itu ia mengajukan pemohonan kepada bank syari’ah untuk membiayai
pembelian 10 unit bus pariwisatanya. Bank syari’ah kemudian menawarkan skema
pembiayaan sewa-menyewa yang diakhiri dengan peralihan kepemilikan pada akhir masa
sewanya. Harga mobil sebesar Rp 100 juta/unit. Jangka waktu sewa selama 24 bulan (2
tahun). Pembayaran sewa bulanan atas mobil oleh bank syari’ah ditetapkan sebesar sekitar
4.166.000/bulan. Selama bulan ke-1 sampai bulan ke-24, ia bertindak sebagai penyewa atas
mobil, dan kepemilikan hak barang tersebut masih berada di tangan bank. Pada akhir bulan
ke-24, barulah terjadi perpindahan kepemilikan atas mobil dari bank syaria’ah kepadanya.
Perpindahan kepemilikan tersebut dapat dituangkan dalam suatu akad tertentu.
Dalam konsep syari’ah dikenal dengan istilah IMBT. Konsep awal dari perjanjian
bank syari’ah dengan si pengusaha bus pariwisata pada kasus ini adalah perjanjian sewa-
6 Irma Devita Purnamasari dan Suswinarto.2011.Akad Syari’ah .hal.106
7 Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 Ttg Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah
9. 9
menyewa. Pada saat pembayaran sewa, posisi si pengusaha bus pariwisata di mata hukum
adalah selaku penyewa dan objek yang di IMBT-kan kepemilikannya masih berada
ditangan bank syari’ah selaku pemilik barang, oleh karena itu, cicilan atau angsuran yang
dilakukan oleh si pengusaha bus pariwisata setiap bulannya adalah biaya sewa. Pada akhir
masa sewa terjdi perpindahan kepemilikan atas barang yang disewa oleh si pengusaha bus
pariwiasata tersebut dari bank kepada si pengusaha bus pariwisata.
10. 10
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam operating lease, lessee boleh menunda atau membatalkan pembayaran
asalkan sejak awal ia memberitahu kepada lessor. Dengan demikian bentuk ini dapat
dikategorikan sebagai sumber pembiayaan jangka pendek. Jenis ini memiliki ciri-ciri: (1)
waktunya relatif singkat jika dibandingkan dengan umur barang obyek leasing, (2)
tersedianya secara khusus service termasuk pemeliharaan, (3) hak atau kebebasan untuk
membatalkan leasing hanya di benarkan dalam alasan-alasan yang sangat terbatas sekali,
dan (4) segala resiko kerusakan yang timbul, pemeliharaan dan service menjadi tanggung
jawab lessor. Dari keempat ciri tersebut menunjukkan bahwa dalam operating lease tidak
ada tujuan untuk membebani pihak lessee untuk membayar sewa cicilan kepada lessor
sebesar jumlah harga modal yang ditanamkannya kepada obyek leasing.
Dalam tehnik pembiayaan jenis Financial leases, perusahaan leasing sebagai lessor
adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal, sedangkan lessee hanya
melakukan pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi obyek
transaksi leasing. Selama masa leasing inilah, lessee melakukan pembayaran sewa secara
berkala di mana jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran sisa residu. Dalam
Financial leases termuat ketentuan kontraktual bahwa pihak lessee tidak boleh menunda
atau membatalkan serangkaian pembayaran kepada lessor sebagai imbalan atas
pemanfaatan aktiva. Tehnik ini sering disebut sebagai full pay out lease, yaitu suatu bentuk
pembiayaan dengan cara kontrak antara lessor dengan lessee.
Leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu
tertentu. Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda antara sewa dengan beli. Sewa
(ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatu manfaat dari barang, jasa, ataupun
orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanya berupa uang (‘aqdun ‘alal manfaat bi
‘iwadh). Jadi, pihak penyewa mendapatkan hanya manfaat yang dikandung oleh barang
yang disewanya. Adapun barangnya itu sendiri tetap merupakan hak milik pihak pemberi
sewa.
11. 11
Sedangkan jual beli merupakan mubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan
‘ala sabilit taradhi, yaitu pertukaran antara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang)
untuk pertukaran kepemilikan di atas dasar saling meridloi satu sama lain. Berdasarkan hal
ini, barang dari pihak penjual akan menjadi milik dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang atau
barang (bila barter) dari pihak pembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Proses
jual-beli ini, tentu saja, dapat kontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit).
Jelaslah, perbedaan mendasar antara sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhak
memiliki barang pada akhir masa transaksi. Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewa
sangat berbeda dengan akad pada jual-beli
Tabel: perbedaan dan persamaan antara Ijarah dan Leasing
Ijarah Leasing
1 Objek: manfaat barang dan jasa Objek: manfaat barang saja
2 Metode pembayaran :
-pembayarannya tergantung pada kinerja objek
yang disewa
-pembayarannya tidak tergantung pada kinerja
objek yang disewa
Metode pembayaran :
-pembayarannya tidak
tergantung pada kinerja
objek yang disewa
3 Pemindahan kepemilikan :
-Ijarah = tidak ada pemindahan kepemilikan
-IMBT(Ijarah Muntahia Bit-Tamlik) = perjanjian
menjual barang atau menghibahkannya di awal
periode.
Pemindahan kepemilikan :
-operating lease = tidak ada
pemindahan kepemilikan
-financial lease = diberi
pilihan untuk membeli atau
tidak membeli barang yang
disewa yang dilakukan di
akhir periode
4 Sewa-beli : bentuk leasing seperti ini haram karena
adanya gharar/ketidak jelasan akad ( yakni antara
sewa dan beli )
Sewa-beli : ok
5 Sale and lease back : ok Sale and lease back : ok
12. 12
DAFTAR PUSTAKA
Karim. Adiwarman A, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT RajaGrafindo, Jakarta.2008
Susilo, Y. Sri. Et.al., Bank dan Lembaga Keuangan Lain,Jakarta:Salemba Empat, 2000
Clark, Tom (Ed.), (1985), Leasing Finance,London: Euromoney Publications.
An Nabhani, Taqyuddin, (1996), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
Surabaya: Risalah Gusti.
M. Yahya Harahap, Leasing dan Surat-surat Berharga serta Kaitannya dengan Sengketa harta
Bersama dan Waris di Pengadilan Agama, dalam Dirjen Binbaga Islam, Mimbar
Hukum, Aktualisasi Hukum Islam No.3 Thn.II,1991.
Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Kitab Undang-undang hukumperbankan dan ekonomi Islam,Prenada
Media, Jakarta,2007
Devita Purnamasari Irma dan Suswinarno, Akad Syari’ah.Bandung: PT Mizan Pustaka,2011