1. I. TUJUAN
1. Mengetahui sifat organoleptis urine praktikan dilihat dari warna urine, bau urine,
volume urine, buih, serta kekeruhan urine.
2. Megetahui sifat organoleptis urine dari praktikan dengan menggunakan metode carik
celup.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Urine
Ekskresi urin dilakukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang
disaring oleh ginjal untuk menjaga homeostasis cairan tubuh (Ismail, 2012). Urin merupakan
suatu larutan kompleks dan mengandung bermacam- masam bahan organik maupun anorganik.
Komposisi urin tergantung pada makanan yang dikonsumsi, penggunaan obat, keadaan
metabolisme tubuh, kondisi ginjal, dan masalah anatomi maupun fisiologi lainnya (Tarigan,
2018). Pembentukan urin melalui tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan augmentasi. Darah
akan mengalami filtrasi melewati membran glomerulus melalui pori kapiler. Filtrasi adalah
proses penyaringan darah yang terjadi di glomerulus dan menghasilkan urin primer. Komposisi
urin primer mirip seperti darah, tetapi tidak mengandung protein. Dalam urin primer ditemukan
asam amino, glukosa, natrium, kalium, ion-ion, dan garam-garam lainnya. Reabsorbsi adalah
proses penyerapan kembali zat-zat yang masih diperlukan oleh tubuh seperti glukosa, asam
amino, dan sejumlah besar ion-ion anorganik. Proses reabsorbsi ini terjadi di tubulus kontortus
proksimal dan menghasilkan urin sekunder yang tidak lagi mengandung zat-zat yang masih
dibutuhkan oleh tubuh. Pada proses augmentasi terjadi penambahan zat-zat sisa yang sudah
tidak bermanfaat dan terjadi tubulus kontortus distal. Urin yang dihasilkan dari proses
augmentasi ini disebut dengan urin sesungguhnya yang mengandung urea, asam urin, amonia,
dan sisa-sisa pembongkaran protein (Lauralee, 2011).
2.2 Urinalisis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang paling umum dilakukan dalam praktek urologi
yang terdiri dari pemeriksaan fisik, mikroskopik dan kimia (Jamil dkk., 2018). Pemeriksaan
urinalisis dapat digunakan untuk membantu para dokter menegakkan diagnosis, mendapatkan
informasi mengenai fungsi organ dan metabolisme tubuh, dapat mendeteksi kelainan
asimptomatik, mengikuti perjalanan penyakit dan pengobatan dari pasien. Umumnya,
pemeriksaan urinalisis diindikasikan bagi pasien yang mengalami gangguan endokrin,
gangguan pada ginjal atau traktus urinarius, monitoring pada pasien dengan diabetes,
kehamilan, kasus toksikologi seperti overdosis penggunaan obat (Naid dkk., 2014). Sampel
urin yang baik untuk digunakan dalam pemeriksaan urinalisis yaitu urine pagi dan urine segar
2. atau baru. Urin yang dibiarkan terlalu lama pada suhu kamar akan mengakibatkan terjadinya
lisis pada sel, seperti leukosit, eritrosit serta torak atau silinder (Haryanto dkk., 2015). Maka
dari itu, apabila dilakukan penundaan tes urinalisis dalam 4 jam, urin dapat disimpan dalam
lemari es pada suhu 2 - 4°C. 2 Pemeriksaan urinalisis dapat dilakukan secara makroskopik,
mikroskopik atau sedimen dan pemeriksaan kimia urin (Naid dkk., 2014).
2.3 Metode Uji Organoleptis
Uji organoleptis merupakan penilaian dan mengamati tekstur, warna, bentuk, aroma,
rasa dari suatu produk, makanan, minuman, maupun obat-obatan. Pengujian organoleptis
disebut penilaian indera atau penilaian sensorik yang merupakan suatu cara penilaian dengan
memanfaatkan panca indera manusia untuk mengamati tekstur, warna, bentuk, aroma, rasa
suatu produk makanan, minuman ataupun obat. Tujuan pengujian organoleptis adalah untuk
mengetahui kondisi atau sifat sensorik tertentu dari suatu produk (Ayustaningwarno, 2014).
Uji organoleptis urin dilakukan melalui pengamatan panca indera tubuh sehingga tidak
memerlukan persiapan pemeriksaan yang banyak, melainkan dengan memperhatikan tampilan
visual urin tersebut. Uji organoleptis urin meliputi pemeriksaan volume, warna, kejernihan dan
bau pada urin (Mustikawangi dkk., 2016). Kelainan pada warna urin dapat mengindikasikan
kemungkinan terjadinya infeksi, dehidrasi, penyakit liver, kerusakan otot atau eritrosit dalam
tubuh, serta gangguan ginjal dan gangguan saluran kencing. Kekeruhan pada urin dapat
disebabkan karena terjadinya kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urin asam) atau fosfat
(dalam urin basa). Selain itu, kekeruhan juga dapat disebabkan oleh bahan selular berlebihan
atau protein dalam urin (Andrizala dkk., 2018). Bau pada urin normal disebut urinoid. Bau ini
dapat menjadi lebih tajam pada sampel urin yang pekat namun bukan berarti menunjukkan
adanya infeksi pada urin tersebut. Bau urin juga dapat dipengaruhi oleh obat-obatan tertentu
(Mustikawangi dkk., 2016).
2.4 Metode Uji Carik Celup
Metode carik celup merupakan metode analisis kimiawi urin yang umumnya dilakukan
dengan cara uji dipstick. Uji dipstick merupakan tes urin yang menggunakan strip reagen
berupa strip plastik tipis yang ditempeli dengan kertas seluloid dan digunakan untuk
mendeteksi glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, pH, berat jenis, darah, keton, nitrit, dan
leukosit. Keuntungan dari metode carik celup (dipstick) yaitu tidak memerlukan keterampilan
khusus dan hasilnya bisa didapat hanya dalam waktu beberapa menit. Metode carik celup dapat
dilakukan dengan cara mencelupkan dipstick ke dalam sampel urin selama 0,5 sampai 1 menit,
hingga seluruh bagian warna pada strip terendam semua dalam urin. Dipstick kemudian
diangkat dan didiamkan selama 1 menit, lalu akan terjadi perubahan 3 warna pada dipstick dan
3. segera dibandingkan dengan warna standar yang ada (Utama dkk., 2011). Penggunaan dipstick
dapat digunakan untuk berbagai kondisi seperti pada ibu hamil, wanita, pria, anak-anak,
maupun pada bayi (Arditta dan Kautsar, 2016).
Glukosa
Untuk pengukuran glukosa urin, reagen strip diberi enzim glukosa oksidase (GOD),
peroksidase (POD) dan zat warna.
Protein
Dipsticks mendeteksi protein dengan indikator warna bromphenol biru, yang sensitif
terhadap albumin tetapi kurang sensitif terhadap globulin, protein Bence-Jones, dan
mukoprotein.
Bilirubin
Berdasarkan reaksi diazo antara bilirubin dengan garam diazonium dalam suasana asam
membentuk warna azobilirubin.
Urobilinogen
Hasil positif juga dapat diperoleh setelah olahraga atau minum atau dapat disebabkan
oleh kelelahan atau sembelit. Orang yang sehat dapat mengeluarkan sejumlah kecil
urobilinogen.
pH
Berdasarkan prinsip double indikator yang mengandung metal merah, PP, dan BTB
sehingga memungkinkan perubahan warna dari jingga, hijau sampai biru pada daerah
5-9.
Berat Jenis
Berdasarkan pada perubahan warna reagen dari biru hijau ke hijau kekuningan
tergantung pada konsentrasi ion dalam urin.
Darah
Berdasarkan aktivitas pseudoperoxidatif hemoglobin yang mana katalisis reaksi dari
disopropil benzene dihidroperoksid dan 33’55’-tetrametilbenzidin, hasilnya mulai dari
orange sampai hijau.
Keton
Pemeriksaan keton dengan pereaksi nitroprussida berdasarkan prinsip tes lugol, yaitu
dalam suasana basa, asam asetoasetat akan bereaksi dengan Na. nitroprussida
menghasilkan warna ungu.
Nitrit
4. Berdasarkan reaksi griess, nitrit bereaksi dengan sulfonamide aromatic membentuk
garam diazonium membentuk zat warna azo.
Leukosit
Berdasarkan prinsip leukosit esterase dalam urin yang dapat menghidrolisa suatu ester
(indoxyl ester) menjadi alkohol dan asam.
(Santhi, 2019)
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
- Pot urine/beaker glass 50 mL
- Tabung reaksi
- Indikator carik celup
- Rak tabung
- Api Bunsen
- Pipet ukur
- Ball filler
- Penjepit tabung rekasi
3.2 Bahan
- Sampel urine
- Reagen carik celup
5. DAFTAR PUSTAKA
Ayustaningwarno, F. 2014. Teknologi Pangan Teori Praktis dan Aplikasi. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Andrizala, A. Hidayata, T. Angrainia, Yefriadia, Rusfandia, dan R. Chadry. 2018. Pembuatan
Histogram Dan Pola Data Warna Urin Berdasarkan Urinalisis Menggunakan Mini PC.
Jurnal Rekayasa Sistem dan Teknologi Informasi. 2(3): 722-727.
Arditta, D. dan A.P. Kautsar. 2016. Artikel Kupasan: Penggunaan Dipstick Sebagat Alat
Diagnosis Infeksi Saluran Kemih Pada Kondisi Tertentu. Farmaka. 14(1): 1-7.
Haryanto, E., Pestariati, A. Handayati, dan S.S.E. Astut. 2015. Pengaruh Penyimpanan Urine
Terhadap Jumlah Leukosit dan Eritrosit Pada Penderita Infeksi Saluran Kemih dengan
Metode Sy (Standard Yield). Jurnal Penelitian Kesehatan. 13(1): 39-44.
Ismail, G. 2012. Sehat Tanpa Obat. Jakarta: Grasindo.
Jamil, A.P.A., D. Pertiwi, dan D. Elvira. 2018. Gambaran Hasil Pemeriksaan Urine pada Pasien
dengan Pembesaran Prostat Jinak di RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 7(1): 137-141.
Lauralee, S. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi 16. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran.
Naid, F., F. Mangerangi dan H. Almahdaly. 2014. Pengaruh Penundaan Waktu Terhadap Hasil
Urinalisis Sedimen Urin. As-Syifaa. 6(02):212-219.
Santhi, D. 2018. Diktat Praktikum Kimia Klinik Farmasi. Denpasar: Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Tarigan, O. N. 2018. Perbedaan Hasil Urinalisis Metode Dipstik Pada Urin Segar, Urin Simpan
4 Jam Suhu Ruangan, dan Urin Simpan 4 Jam Suhu 20C-80C. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
Utama, I. H., E. M. Hutagalung, I. W. P. A. Laxmi, I. G. M. K. Erawan, S. K. Widyastuti, L.
E. Setiasih, dan K. Berata. 2011. Urinalisis Menggunakan Dua Jenis Dipstick (Batang
Celup) pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner. 12(1): 107- 112.