ACCURATE adalah software akuntansi untuk UKM yang paling populer di Indonesia saat ini.
ACCURATE adalah pelopor software paket yang lengkap, fleksibel, mudah dipakai, stabil, dan yang penting, juga murah.
ACCURATE telah dipakai di lebih dari 20.000 perusahaan (Feb 2009), diajarkan di puluhan universitas terkemuka, dan menjadi benchmark dari pengembang software lain.
Siklus pendapatan terdiri dari transaksi penjualan barang atau jasa baik secara kredit maupun secara tunai, retur penjualan, pencadangan kerugian piutang, dan penghapusan piutang.
ACCURATE adalah software akuntansi untuk UKM yang paling populer di Indonesia saat ini.
ACCURATE adalah pelopor software paket yang lengkap, fleksibel, mudah dipakai, stabil, dan yang penting, juga murah.
ACCURATE telah dipakai di lebih dari 20.000 perusahaan (Feb 2009), diajarkan di puluhan universitas terkemuka, dan menjadi benchmark dari pengembang software lain.
Siklus pendapatan terdiri dari transaksi penjualan barang atau jasa baik secara kredit maupun secara tunai, retur penjualan, pencadangan kerugian piutang, dan penghapusan piutang.
2. 1 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
Daftar Isi
Daftar Isi ................................................................................................................... 1
1. Awal Cinta Berpadu ............................................................................................. 2
2. Teka Teki Kematian............................................................................................. 6
3. Sebuah Permintaan Tak Terduga.....................................................................13
4. Empat Perkara ...................................................................................................21
5. Perseteruan Mertua Menantu ..........................................................................27
6. Tanding Dua Putra Kunti.......................................................................................33
7. Intrik, Rekayasa dan Dendam ..........................................................................39
8. Saat Yang Dijanjikan Tlah Tiba.........................................................................55
3. 2 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
1. Awal Cinta Berpadu
Dipandanginya sosok di sebelahnya yang tengah tidur dalam senyuman di
pangkuannya. Begitu damai terlihat. Rona kebahagiaan terpancar dari wajah yang
begitu dikenalinya inci demi inci. Wajah itu masih membuatnya bergetar saat
menatapnya. Meskipun gurat-gurat garis ketuaan mulai terlihat samar memahat
wajah ayu itu, baginya sosok perempuan itu adalah satu-satunya hal terindah yang
pernah dilihat di dunia ini. Sejuta kebahagiaan tlah dilalui bersamanya, nyaris tiada
duka tersisa. Kasih sayang kepadanya tidaklah luntur dari hari ke hari, bahkan
dirasakan semakin membuncah memenuhi seluruh ruang di hatinya.
Semalam, tlah ditumpahkan dengan segenap jiwa rasa cintanya melalui olah krida
hubungan suami istri nan mesra. Senyum istrinya mewartakan kepuasan hatinya.
Begitupun dirinya, hubungan dengan istrinya tidak hanya melibatkan fisik semata
namun tautan hati dan saling pengertian, tlah menyatukan mereka dalam kasih
sayang nan indah abadi.
Sebelumnya telah dibulatkan tekad bahwa esok hari kan pergi ke medan laga
sebagai panglima perang dalam Baratayudha. Dan itu tak ingin diketahui oleh sosok
4. 3 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
disebelahnya itu. Hatinya terlalu rapuh pabila menyaksikan derai air mata
kesedihan. Tak tega rasanya memandang wajah lara sang permata hati. Oleh
karenanya tlah direncanakannya untuk pergi secara diam-diam. Tekadnya telah
utuh, tiada celah lagi untuk berubah, namun nalurinya mengatakan bahwa malam
inilah saat terakhir dirinya sua dengan istrinya tercinta.
Hening.
Sepi.
Wajah laki-laki tua itu tersenyum pahit. Bulir air mata mengambang di pelupuk ke
dua matanya. Tak pernah dalam hidupnya sekalipun mengeluarkan air mata. Kini,
tak mampu dia menahannya. Dadanya teramat sesak, hatinya teramat perih.
Kembali dibelainya wajah halus istrinya itu. Seorang istri yang begitu setia
mendampinginya selama ini. Istrinya yang telah memberinya lima orang keturunan
sebagai penyambung darah. Dan saat menyentuh bibir itu, ingatannya kembali
melayang kali pertama menyentuhnya pada malam setelah pernikahannya. Kembali
di ulang kenang rangkaian episode-episode kehidupan yang tlah dilaluinya.
<< ooo >>
Pemuda perkasa itu adalah Narasoma. Dia adalah putra Prabu Mandrapati raja dari
negara Mandaraka. Dia adalah sosok pemuda yang cerdas dan berilmu tinggi
mumpuni. Namun sayang, sifat dan wataknya yang ugal-ugalan serta sombong kerap
diperlihatkan, walaupun rakyat Mandaraka memaklumi karena memang pada diri
Narasoma ada banyak hal yang dapat dipamerkan termasuk juga ketampanannya.
Narasoma diangkat menjadi putra mahkota dan dipersiapkan menjadi raja
Mandaraka kelak. Narasoma mempunyai seorang adik perempuan yang sangat
disayanginya. Begitupun adiknya itu, Madrim, sangat menyayangi kakaknya dan
kerap bermanja bila berdekatan dengan kakaknya.
Cinta berawal saat pertama kali tatapan mata Narasoma saling bertumbuk dengan
sinar mata Endang Pujawati. Pertemuan itu terjadi di wilayah Pertapaan Argabelah
ketika dirinya tersuruk-suruk meninggalkan kerajaan Mandaraka, setelah diusir oleh
ayahndanya Prabu Mandrapati. Ayahnya sangat kecewa dengan dirinya karena
menolak perintah agar segera menikah. Permintaan itu disodorkan oleh ayahnya
waktu itu, agar ketika menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putranya, maka
sang pangeran pati sudah memiliki seorang permaisuri. Namun Narasoma justru
5. 4 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
mengajukan syarat untuk menikah dengan wanita yang serupa persis dengan
ibunya. Prabu Mandrapati yang salah memahami permintaan itu, akhirnya malah
mengusirnya hingga terlunta-lunta sampai di Pertapaan Argabelah.
Tertautnya sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api dan
mengobarkan asmara diantara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun
terbakar api itu, diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui sang
kekasih. Terperanjat Sang Narasoma waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang
ternyata berwujud seorang raksasa. Dalam hati bergolak sebuah keraguan,
benarkah Pujawati, wanita dengan sejuta pesona, berayah seorang pendeta raksasa
? Tetapi pertanyaan itu diabaikannya sendiri. Seketika akalnya berputar, bagaimana
caranya memetik "bunga cempaka mulia indah nan mewangi, tetapi ditunggui oleh
seekor buaya putih". Apa kata ayahnya nanti bila ia berbesan dengan seorang
raksasa ?!
"Pujawati, inikah satria yang telah menjatuhkan hatimu ?" Begawan Bagaspati
bertanya kepada anaknya Pujawati setelah berhadapan dengan Narasoma. Namun
pertanyaan itu hanya sekedar lalu saja sebab pada kenyataannya Begawan
Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang terjadi antara keduanya. Maka tanpa
menunggu jawaban anaknya, Begawan Bagaspati bertanya kepada Narasoma.
"Raden siapakah dirimu sebenarnya?" sapa Bagaspati.
"Heh ... Pendeta Raksasa, siapakah namamu ?" Sifat tinggi hati Narasoma
membuatnya angkuh, bukannya menjawab pertanyaan malah justru balik bertanya.
"Ooh ... tidak mau mengalah rupanya anak muda ini. Tapi baiklah, namaku adalah
Begawan Bagaspati dan siapakah namamu, Raden?" Tanya Bagaspati kembali.
"Aku adalah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrapati. Namaku Narasoma !" jawab
Narasoma lantang dengan muka tengadah seolah memandang rendah.
Namun dilain pihak Begawan Bagaspati menjadi terhenyak atas jawaban itu. Bukan
lantaran sikap pongah pemuda di hadapannya itu, namun pengakuan sebagai anak
dari Mandrapati itulah yang membuatnya terkejut. Mandrapati adalah nama yang
sangat akrab dengan Bagaspati karena dia adalah salah seorang saudara
seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan yang lain yang
bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun ia tak
mengatakan sesuatu apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia
ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati dirinya.
6. 5 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
"Raden, berkenankah engkau menyembuhkan sakit yang diderita oleh anakku ini"
Bagaspati kemudian menjelaskan maksud kedatangannya.
"Lho, kamu itu kan seorang pandita, harusnya segala ilmu telah engkau kuasai.
Tidakkah kamu dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?"
"Tapi penyakitnya bukan sembarang penyakit, Raden, asmara telah membuat
anakku menderita karenanya. Tak ada seorangpun yang dapat menyembuhkan
penyakit itu kecuali Raden sendiri. Bersediakah Raden mengobati penyakit anakku
?" Bagaspati berterus terang dengan lemah lembut.
Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma saat itu. Dalam benaknya
muncul ide dengan terbukanya kesempatan untuk melenyapkan duri yang menjadi
penghalang hubungannya dengan wanita yang telah menjatuhkan hatinya.
"Baiklah, aku bersedia menyembuhkan putrimu dari sakit yang menimpanya namun
dengan satu syarat. Syaratnya kamu harus menjawab teka teki dariku. Sanggupkah
?"
7. 6 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
2. Teka Teki Kematian
"Silakan Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku bila aku
tahu jawabannya"
Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang sudah tak lagi samar dengan
polah tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang mengetahui setiap keadaan
didepan dengan penglihatannya yang tajam berdasarkan getar isyarat dan gelagat
yang ia terima. Meskipun demikian ia masih juga ingin melihat dengan seutuhnya
getaran itu dengan lebih jelas. Maka ia masih tetap ingin mendengarkan langsung
teka teki dari mulut Narasoma.
"Ini teka-tekiku, dengarkan baik baik ! Suatu hari ada seekor kumbang jantan yang
sedang terbang tak tentu arah tujuan. Disuatu tempat, terlihat olehnya setangkai
bunga cempaka yang sedang mekar dengan indahnya. Bunga itu penuh dengan sari
madu yang membuat sang kumbang begitu terpesona dan seketika terbitlah rasa
lapar ingin menghisap sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga cempaka mekar
itu, terdapat seekor buaya putih yang sedang menunggui. Sedangkan kumbang
hanya dapat menghisap sari madu bunga itu, bila buaya putih penunggu telah
8. 7 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
terbunuh".
Mendengar apa yang dikatakan Narasoma, Begawan Bagaspati hanya mampu
menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari teka teki yang diberikan
oleh Narasoma. Maka dengan cepat dia berujar, "Raden, tidak usahlah engkau
teruskan teka teki itu hingga selesai. Aku sudah dapat menebak teka teki itu”
Dan kemudian Bagaspati mengalihkan pembicaraan kepada anaknya, “Pergilah ke
sanggar pamujan, siapkan perangkat untuk upacara kematian. Bentangkan
selembar mori putih beserta mertega suci serta bakarlah kemenyan. Bersegeralah,
anakku !".
Tercekat Pujawati mendengar perintah ayahnya. Kegelisahan telah merayapi
jantungnya, namun ia masih saja meminta penjelasan bapanya.
"Untuk apa dan siapa yang hendak diupacarai, Bapa ?" Gemetar suara Pujawati.
"Sudahlah, nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau menghendaki
Narasoma menjadi kekasih hatimu ? Inilah syarat yang harus kamu sediakan dalam
menjawab teka teki dari calon suamimu, Pangeran Pati Mandaraka, Raden
Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa permitaanku, Pujawati" Dipandangnya
anaknya tercinta dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati untuk segera
meninggalkan keduanya.
Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri disertai pandangan Narasoma
yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Dilain pihak Pujawati
melaksanakan perintah bapanya dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah.
Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke depan
Narasoma. Kemudian ia berkata
"Raden Narasoma, calon menantuku yang tampan. Aku tidak samar dengan apa
yang engkau maui dengan teka-tekimu tadi. Baiklah, aku akan meminta syarat bila
menghendaki Pujawati sebagai istrimu"
"Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang engkau
ajukan" Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.
"Bila nanti Pujawati telah menjadi istrimu, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang.
Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia-sia, walaupun ia hanya seorang anak
9. 8 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
perempuan gunung yang jauh dari tata krama dan kekurangan tata pergaulan
kerajaan. Selanjutnya, bila nanti sudah kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti
kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu Prabu Mandrapati sebagai penguasa
di Mandaraka. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir seberapapun
banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang Pujawati saja.
Peganglah teguh janjimu bila tidak ingin menemui petaka"
"Persyaratan yang mudah. Aku berjanji untuk hanya memiliki seorang istri saja yaitu
Pujawati anakmu sepanjang hidupku” Jawab Narasoma yang masih terbawa oleh
pesona terhadap kecantikan seorang wanita, sehingga segalanya mudah saja untuk
disanggupi.
Tetapi sesaat kemudian kembali Narasoma mengungkit tentang pertanyaan teka-
teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang sebenarnya mudah jawabannya bagi
seorang Bagaspati.
“Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban atas pertanyaan teka-teki itu"
Dengan tenang Begawan Bagaspati kemudian berkata
"Jawabannya gampang gampang susah. Gampang untuk mengucapkan dengan
lidah, tetapi tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini Narasoma,
kumbang jantan yang engkau maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan rasa lapar
pada si kumbang dan ingin menghisap madu itu adalah, rasa asmara yang tak
tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai anakku Pujawati.
Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih penunggu kembang
cempaka, itu adalah aku sendiri"
Sejenak Begawan Bagaspati terdiam. Diamati raut wajah Narasoma yang tegang dan
memendam gejolak pada matanya. Lanjut Begawan Bagaspati.
"Penjelasannya adalah, kamu ingin menyunting anakku Pujawati, tetapi dirimu malu
mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu menginginkan, agar aku
disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak mendapat malu didepan orang
tuamu. Itukah yang kau maksud dengan teka teki itu, raden ?"
Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun perumpamaan itu
sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan Bagaspati, namun tak urung
ia terjerumus dalam jurang rasa bersalah yang teramat dalam. Setelah diredam rasa
itu dengan segala kekuatannya ia menjawab dengan gemetar
10. 9 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
"Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun yang tertinggal. Namun aku
memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku tidak ingkar,
itulah sejatinya maksud dari teka teki itu"
Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang
diwajahnya. Bahkan selanjutnya ia mengatakan kepada Narasoma,
"Aku tidak kecewa dengan apa yang menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah
persyaratanku atas keinginanmu menyunting anakku dapat engkau pegang teguh ?"
"Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta" Serta merta
Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati yang begitu
tenang.
"Baiklah, lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku
menyebutmu menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi kedepan aku menyebutmu
sebagai menantuku karena aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang. Lekaslah agar
tidak membuang waktu, segeralah cabut pusakamu, tancapkan ke dada ini"
"Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari semua
dosa dosa" Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di dada.
Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris pusaka
yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu menyentuh
dada Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran baja yang
sangat tebal. Berdentang memercikkan api ujung keris yang menerpa dada Begawan
Bagaspati. Namun segores lukapun tak nampak pada dada Sang Begawan.
Mengalami kegagalan memalukan itu, dengan murka Narasoma berteriak lantang
"Heh Begawan Bagaspati, ternyata ucapanmu tidak lahir terus ke batinmu. Janjimu
hanya sebatas sampai ke bibir saja, tidak terus hingga ke hatimu. Kenapa kamu
tidak juga merelakan jiwamu ? Malah kamu mempertontonan kesaktianmu !"
"O o o . . . Sabar Raden, ada sesuatu yang terlupakan. Didalam tubuhku masih
terpendam ajian yang dinamai Aji Candhabirawa. Wujudnya hanyalah manusia kerdil
berwajah raksasa, tetapi bila ia dilukai oleh senjata, maka ia akan bertambah
jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai kembali, maka akan berlipat
jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku serahkan
11. 10 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candhabirawa dengan sebaik-
baiknya"
"Ya baklah, rama Begawan. Aku akan menerima segala yang kau kehendaki.
Katakan syarat itu."
"Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candhabirawa keluar dari dalam
tubuhku"
Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata dalam
khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera perasa yang
ia kerahkan dengan tajam. Sesaat kemudian terloncat wujud manusia kerdil dengan
wajah yang menakutkan! Itulah Candhabirawa!
Mencium kaki seketika Candhabirawa dengan takzim. Kemudian ia menanyakan
"Oooh Begawan . . . ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar dari gua garba
paduka Sang Resi ?"
"Sudah waktunya aku pergi ke keabadian sejati. Oleh karenanya telah aku sediakan
sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang berdiri didepanmu.
Itulah sosok yang akan engkau huni sebagai penerus dari kejayaan Candhabirawa"
Namun sesaat kemudian, terbayang kekecewaan Candhabirawa ketika ia
memperhatikan sosok dihadapannya. Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia
yang kurang melakoni laku prihatin. Sosok yang lebih mementingkan kesenangan
pribadi belaka dan terkesan sombong. Maka dengan memelas ia mengatakan
kepada Bagaspati
"Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama-lamanya ? Hamba melihat
hal yang berbeda daripada yang biasanya hamba alami ketika bersama dengan Bapa
Begawan. Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah akan membuat aku betah tinggal
pada raganya" meratap Candhabirawa dikaki Sang Begawan. Begitu kecewa ia
membayangkan perpisahan dengan Bagaspati.
Seolah tak mendengarkan permintaan Candhabirawa, Bagaspati kemudian berkata
kepada Narasoma
"Raden ! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candhabirawa. Maka bila
raden berkenan untuk diikuti Candhabirawa bersama dengan kesaktiannya yang
12. 11 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
tiada tara, maka Raden harus berjanji sekali lagi untuk menyanggupi permintaan Aji
Candhabirawa"
"Akan aku penuhi perminatanmu Begawan, dengan segala kemampuan yang ada
padaku. Apakah permintaannya ?" janji Narasoma mantab
"Candhabirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candhabirawa akan sedih bila Raden
bersenang-senang secara berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden
merasakan kenikmatan yang berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana
yang serba sederhana ?"
"Baik, aku bersedia ! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi." kembali Narasoma
mengucap janji.
"Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah, mumpung
Pujawati belum kembali"
Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos dinding hati Narasoma yang sedang
terguncang menerima peristiwa yang datang secara bertubi tubi. Maka tanpa
berpikir panjang, kembali keris pusakanya ditusukkan ke dada Begawan Bagaspati.
Tak ayal lagi percobaan kedua ini berhasil dilakukan. Tembus dada raksasa
Bagaspati ! Darah menyembur dari luka Begawan Bagaspati, bergetar seluruh tubuh
sang Begawan. Ia tewas sesaat kemudian dengan bibir tersenyum puas.
Narasoma berdiri mematung memendam rasa bersalah yang dicobanya untuk diusir
dari relung hatinya, namun tak segera pergi juga. Gemetar tangannya yang masih
menggenggam keris yang berlumuran darah, hingga ia tidak dapat melakukan
apapun. Narasoma masih berdiri termangu-mangu, hingga ia dikejutkan oleh gema
suara yang menyapanya.
"Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan janjimu. Hingga
nanti bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang berdarah putih, pada saat
itulah aku hendak menjemputmu bersama-sama dengan anakku Pujawati. Aku akan
menunggu di alam madya, hingga waktu itu tiba”.
Terkesiap hati Narasoma ketika mendengar suara itu !
<<< oo >>>
13. 12 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
"Bapa Begawan. menantumu ini sungguh manusia tak kenal budi. Aku mohon maaf
Bapa" Sang Prabu Salya berucap lirih agar tak mengganggu nyenyak tidur istrinya
Setyawati. Namun segalanya tlah terjadi, Tuhan semesta alam tlah menentukan,
pantang baginya meratapi kesusahan yang disandang. Tak akan ada kata
penyesalan atas takdir yang telah terjadi.
"Bapa Begawan, aku menepati janjiku untuk mencintai anakmu Pujawati ya
Setyawati dengan sepenuh hati dengan tidak menduakannya. Engkau lihat bukan
Bapa ? Cintaku pada dinda Setyawati tulus lahir dari hati sanubariku" kembali lirih
Salya bergumam seolah sosok mertuanya berdiri tepat di depannya.
Salya semakin yakin bahwa apa yang di ucapkan mertuanya sebelum wafatnya akan
segera terjadi. Besok dirinya didaulat menjadi panglima perang Kurawa. Apalagi
siang tadi dirinya menerima kedatangan keponakan-keponakannya, Nakula Sadewa
atau Pinten Tangsen, anak kembar dari Madrim, adiknya yang bersuami Pandu
Dewanata raja Astina.
Sungguh, kedatangan Pinten Tangsen semakin meyakinkan dirinya untuk segera
menjemput kemuliaan
14. 13 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
3. Sebuah Permintaan Tak Terduga
Siang tadi abdi istana telah menghadirkan kedua orang tamu yang sedari lepas
tengah malam menunggu, kapan kiranya akan ditemui oleh tuan rumah. Prabu Salya
yang masih belum beranjak dari tempat sesuci telah mengira, siapa sebenarnya
yang hendak menghadap. Firasatnya mengatakan, bukan orang lain yang hendak
bertemu dengannya. Maka ia masih tetap dalam busana putih yang ia kenakan
ketika ia memuja Hyang Maha Agung, dan juga belum hendak beranjak dari sanggar
pemujan.
Prabu Salya menarik nafas panjang ketika ia melihat dihadapannya berjalan dua
sosok yang sangat ia kenal dengan baik. Dialah kemenakannya, Nakula dan Sadewa.
Kemenakannya yang lahir dari gua garba adik perempuannya Madrim. Adik
perempuan satu satunya yang sangat ia kasihi. Seketika tangannya dilambaikan
kearah kedua satria yang baru saja dipanggilnya menghadap. Sambil tetap duduk
ditempat semula, tangannya mengusap usap kepala kemenakannya dengan
sepenuh kasih ketika mereka bersimpuh dan menghaturkan sembah bakti
kepadanya.
15. 14 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
“Pinten, Tangsen, duduklah dekat kemari” perintah sang Uwak masih disertai
senyum seraya melepaskan elusan tangannya.
Prabu Salya terbiasa memanggil kemenakannya dengan panggilan kecil, Pinten dan
Tangsen, kepada Nakula dan Sadewa. Ia masih saja menganggap kemenakannya
selayaknya kanak kanak, walau mereka sekarang telah lepas dewasa. Panggilan itu
seakan ia ucapkan dengan segenap kasih ingin menumpahkannya kepada anak
yang terlahir piatu itu. Dan masih tercetak kuat dalam benaknya, betapa sejak kecil
keduanya telah ditinggalkan oleh sepasang orang tuanya, sehingga tak terkira
betapa kasih sang uwak tertumpah kepada kedua kemenakannya itu.
Nakula dan Sadewa beringsut sejengkal memenuhi keinginan uwaknya. Tanya
seputar keselamatan masing masing telah mereka ucapkan dengan singkat, hingga
kemudian Prabu Salya membuka pembicaraan ke hal selain basa basi.
“Kedatanganmu kemari, aku merasakan seperti halnya ibumu hadir dalam diri kalian
berdua. Kembar, alangkah malangnya kamu berdua ditakdirkan terlahir sebagai
anak piatu”.
Sejenak Prabu Salya yang baru saja membuka kata, terdiam. Matanya menerawang
mengingat adiknya Madrim dengan segala tingkah polahnya.
“Didunia ini, siapakah orangnya yang tidak mengenal Prabu Pandu Dewanata,
ayahmu. Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan keterangan selengkap
mengenai keberadaan ayahmu, kecuali keterangan itu datang dari diriku. Dulu
sewaktu ibumu hamil, ia ngidam ingin naik Lembu Andini. Padahal ia tahu, Lembu
Andini itu kendaraan Sang Hyang Guru. Itupun ia mengendarainya hanya sendirian
saja”.
Gambar 5. Salya menerima Pinten Tangsen
Yang diajak bercerita masih terdiam seraya sesekali mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dibiarkannya uwaknya berceritera. Walaupun cerita itu sudah berulang
kali mereka dengar dari mulut uwaknya, Prabu Salya.
“Pinten, Tangsen, aku akan menceritakan kembali apa yang terjadi pada kedua
orang tuamu. Dengarkan ya”.
Prabu Salya menyambung, “Ibumu, Madrim, ternyata meniru tindakan Istri Batara
Guru, yaitu Dewi Uma, yang juga ingin menaiki Lembu Andini berdua dengan Batara
Guru, suaminya. Walau banyak suara sumbang ingin menggagalkan permintaan Uma
16. 15 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
atas keinginannya itu, tetapi cinta Batara Guru terhadap Dewi Uma mengalahkan
keberatan para penghuni kahyangan Jonggiri Kaelasa”.
Cerita yang diceritakan Prabu Salya melebar, namun demikian Nakula dan Sadewa
masih saja mendengarkan dengan sesekali mengangguk kecil.
“Waktu demi waktu berlalu, berdua melanglang jagat menaiki lembu Andini. Tidaklah
aneh bila segala keinginan Batari Uma dituruti, karena cinta mereka sebagai suami
istri yang baru mereka jalani. Mereka lupa bahwa sedang berada di punggung Lembu
Andini. Kekuatan asmara telah menggiring mereka melakukan olah asmara diatas
punggung Lembu Andini. Hingga kemudian meneteslah kama salah, jatuh kelautan
dan menjelma menjadi raksasa yang kemudian diberi nama Batara Kala. Dialah
putra Batara Guru dengan Dewi Uma, yang membuat jagat yang semula tentram
menjadi kisruh, yang suci-bening menjadi tercemar, yang tegak menjadi
berantakan”.
“Tetapi ternyata perbuatan itu telah ditiru mentah-mentah oleh ayahmu, Pandu.
Walau Dewa telah memberi peringatan, tetapi ayahmu telah berlaku terlalu tinggi
hati, mentang-mentang ayahmu telah sangat berjasa bagi Kahyangan. Ayahmu lupa
bahwa ia telah diberikan anugrah ketika berhasil menyingkirkan musuh Kahyangan,
Prabu Nagapaya. Ganjaran yang telah Dewa berikan berupa Minyak Tala. Bahkan
ayahmu telah berjudi dengan nasibnya, dengan menyanggupi diri untuk menjadi
kerak Kawah Candradimuka. Itulah ayahmu, watak tinggi hati dan rasa cinta
terhadap ibumu yang tiada terkira, membuat ia lupa segalanya”.
Walau mereka berdua telah berkali kali mendengar cerita tentang kedua orang
tuanya, tetapi tidak urung Nakula dan Sadewa telah meruntuhkan air matanya. Kali
ini uwaknya menceriterakan kembali peristiwa yang mengiringi riwayat kejadian atas
diri mereka berdua.
“Perlukah aku ceritakan bagaimana kematian kedua orang tuamu? “
Sejenak Nakula Sadewa terdiam. Mereka teringat, kedatangan mereka sebenarnya
adalah dalam tugas negara. Perintah yang diberikan oleh Prabu Kresna, mereka
diberikan kewajiban untuk bagaimana melululuhkan hati uwaknya, agar dalam
perang di terang hari nanti, uwaknya akan merelakan hidupnya untuk kejayaan para
Pandawa. Kresna telah mengetahui, bila tidak ada usaha untuk membuat Prabu
Salya merelakan kematiannya, maka para Pandawa tak akan dapat mengalahkan
senapati pilihan Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu Salya.
17. 16 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
Maka Nakula dan Sadewa telah mengambil keputusan untuk mengulur perasaan
Prabu Salya, agar nanti dengan gampang masuk mengutarakan maksudnya. Mereka
pun menjawab,
“Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang hendak Uwa Prabu ceriterakan”
“Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi
pemberontakan oleh sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina.
Negara Pringgondani yang dipimpin oleh Prabu Trembuku hendak memisahkan diri
dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa sudah kuat dan mampu
mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pemberontakan. Dalam
perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan
kesaktian Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang
bernama Kala Nadah. Sekali lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi hati.
Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah dianggap tak berdaya, hingga ayahmu Pandu
lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu melangkah hendak berdiri
diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun Trembuku
ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke telapak kaki
ayahmu. Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram dikakinya. Tak ada
seorangpun yang mampu mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat kesehatan
ayahmu menurun hari demi hari. Dan akhirnya, ketika kamu berdua terlahir kedunia,
yang disertai kematian ibumu karena kehabisan darah, ayahmu juga ikut wafat
setelah memberi nama buat kamu berdua”.
Sebentar prabu Salya membenahi tempat duduknya dan bergeser duduknya.
Kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Kegaiban terjadi, ketika kedua orang tuamu
telah wafat, tiba-tiba saja jasad keduanya telah hilang tak berbekas. Sudah menjadi
suratan takdir bahwa kematian kedua orang tuamu telah menuai benih yang mereka
tanam. Janji ayahmu Pandu untuk sanggup menjadi kerak Neraka Yomani, telah
berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam Lembu Andini, sanggup mukti
waktu itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi kenyataan”.
“Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu, Yamawidura, kepada
Arjuna kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kalian ada dalam
asuhan ibu dari Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti itulah yang memberi
perlindungan atasmu sebagaimana ia memperlakukan kasihnya terhadap anak
kandungnya.
Oleh karenannya Pinten dan kamu Tangsen, perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih
yang sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara-saudara tuamu
18. 17 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
menyayangi ibunya”.
“Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti dengan tak
membeda bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara-saudara kami
yang lahir dari rahim ibu Kunti” Jawab Nakula dan Sadewa serentak dengan suara
yang sedikit serak, ketika uwaknya menghentikan ceritanya sesaat.
“Baik”, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan senyum
puas,
“Selain dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak pernah menyerah
dalam menjalani Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada kedekatan jarakmu
dengan kakakmu Puntadewa. Aku lihat kamu sekarang malah datang kehadapanku
di Mandaraka. Apa yang hendak kalian sampaikan Pinten, Tangsen”.
Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa pintu telah
terbuka. Kemudian bersepakat dengan sinar matanya, siapakah yang hendak
menyampaikan hal penting sebagai utusan dari Prabu Kresna.
“Siapakah diantara kami Para Pandawa yang tidak merasa khawatir, sebab kami
telah mendengar bahwa terang tanah hari ini, Uwa Prabu sudah diangkat wisuda
sebagai senapati perang Astina. Tak lain yang akan dihadapi adalah kami semua
saudara Pandawa”.
Berdebaran dada Nakula yang hendak menyatakan inti dari maksud kedatangannya.
Kembali dengan suara parau ia mengatakan,
“Maka Uwa Prabu, dari pada memperpanjang cerita, yang tidak urung nanti para
Pandawa akan runtuh di medan Kuru, maka kami akan menyerahkan kematian kami
sekarang juga, Uwa. Dan akan jelaslah bahwa kematian kami, kemenakan Paduka
Uwa Prabu, adalah atas tangan Paduka Uwa Salya”.
Terkaget sejenak Prabu Salya mendengarkan uraian kedua kemenakannya, dengan
suara meninggi ia berkata,
“Heh . . . apa yang kamu ucapkan !? Sejak tadi aku menceriterakan bagaimana
keperwiraan orang tuamu Pandu, juga dengan segala kelemahannya. Bagaimana
orang tuamu yang semua orang di jagat ini telah tahu, ternyata ia juga adalah
bagaikan seekor harimau yang sangat ditakuti. Kesaktian dan kewibawaan orang
tuamu ibarat bisa menunduk-runtuhkan gunung Himawan. Tetapi apa yang terjadi
19. 18 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
terhadapmu, tidaklah membekas apa yang ada pada Pandu yang menurun pada diri
kalian. Harimau itu ternyata hanya beranak dua ekor tikus !”
Hening melimputi suasana sanggar pamujan, dengan pikiran berputar-putar pada
rongga kepala ketiga manusia didalam sanggar itu. Namun sejenak kemudian
dengan suara berat Salya bertanya kepada kedua kemenakannya, “Baratayuda itu
sebenarnya siapa yang berperkara?”
Hampir serempak kedua satria itu menjawab, “Itu perkara hamba para Pandawa dan
Kurawa”.
“Bila benar begitu, kenapa perkara itu justru merembet kepada para pepundenmu,
para orang tua yang seharusnya kamu beri kamukten. Kamu berikan kebahagian.
Malah kami orang tua telah kalian jadikan korban. Dan bila kamu adalah manusia
manusia yang berakal, tentunya tidak akan menghadapku dan menyatakan minta
aku bunuh disini. Itu seperti halnya kalian sudah melihat hal yang sudah pasti,
sehingga telah mampu mengambil kesimpulan.” Kata Prabu Salya dengan kalimat
yang bertekanan.
“Kalau kamu berdua datang bukan kepada Prabu Salya, maka tentu yang kau
datangi sudah menumpahkan rasa iba. Tapi bagiku, kedatangan kamu berdua hanya
merupakan gambaran dari betapa kamu berdua adalah sebenar-benarnya manusia
yang berjiwa kerdil” ketus Prabu Salya menyambung.
“Werkudara kakakmu, adalah seorang manusia yang teguh bukan hanya tergambar
dari kewadagannya, tetapi keteguhannya merasuk jauh hingga ke lubuk hati dan
jiwanya yang paling dalam. Aku telah menjadi saksi, betapa dengan keteguhannya,
dengan segala kekuatannya ia berenang dalam banjir darah yang ia ciptakan. Arjuna
yang begitu titis dalam olah panah, sehingga sudah begitu banyak para sraya Prabu
Duyudana yang tumbang oleh ketepatan olah warastra. Mereka adalah sebenar-
benarnya anak Pandu Dewanata. Dan tak kalah dari orang tuanya, orang muda
Pandawa seperti Abimanyu dan Gatutkaca, telah bersimbah darah, dengan gagah
berani mereka telah merelakan jiwanya, gugur menjadi kusuma bangsa”.
"Lho ... sedangkan kamu itu apa? Datang berdua ke Mandaraka menyerahkan jiwa!
Kamu takut menjalani peperangan ... heh?"
“Terserahlah yang Uwak katakan . . . .” Nakula menjawab dengan lesu.
“Pinten, Tangsen, bukan Prabu Salya, bila menjadi samar dengan segala ulahmu.
20. 19 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
Dari aku mendengar berita kedatanganmu, melihat sosok kamu berdua, melilhatmu
mencium kaki dengan air mata yang berlinangan; aku sejatinya sudah tahu. Itu
bukan gambaran sosok anak Pandu !!"
Keheningan kembali menyelimuti. Hanya pandangan mata tajam Prabu Salya
menghujam kearah kedua kemenakannya berganti-ganti. Namun sebentar kemudian
Prabu Salya mengatakan dengan nada tinggi hal yang membuat kedua satria
kembar itu terhenyak,
“Kedatanganmu kemari adalah ada yang menyuruhmu, iya apa iya . . ?! “
Menohok rasa kalimat tanya yang dilontarkan Prabu Salya, tak ada kata lain, Sadewa
kali ini yang menjawab setelah terbungkam beberapa saat, “Kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya Uwa Prabu . . . . .”
“Tidak . . , aku tidak akan memberimu maaf. . !” Masih dengan suara tinggi Prabu
Salya menjawab ketus. Ia kecewa dengan kedua kemenakannya.
“Harus bagaimana hamba berdua Uwa Prabu?” tanya Sadewa setengah putus
harapan.
“Kamu berdua harus mengaku dulu, kamu sebetulnya disuruh seseorang untuk
berbuat seperti itu?” Prabu Salya masih bersikeras.
“Ini hal yang sebenar-benarnya hamba lakukan atas kemauan kami sendiri . . .”
Nakula dan Sadewa masih mencoba ingkar.
“Tidak . . . . tidak mungkin!! Kenyataan yang terjadi sekarang adalah macan yang
beranak tikus. Ooooh Pandu, apa yang terjadi dengan anak kembarmu. Apakah bila
kalian sudah berlinangan air mata dihadapanku, maka Salya akan larut. Ketahuilah,
dalam perang nanti, siapa yang menjadi musuh Duryudana, ia akan menjadi musuh
Salya pula!” Prabu Salya masih mencoba mengancam
“Silakan Uwa memarahi kami berdua . . . Tetapi biar bagaimanapun, silakan uwa
Prabu untuk membunuh hamba berdua, sekarang juga di Mandaraka ini”. Sadewa
tetap pada pendiriannya. Bagaimanapun, pembekalan dari Prabu Kresna ketika ia
hendak pergi ke Mandaraka telah ia coba lakukan dengan sepenuh kekuatan untuk
memenuhinya.
“Ketahuilah Pinten, Tangsen, aku masih berharap besar kepadamu berdua
21. 20 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
sepeninggal kakakmu Burisrawa dan Rukmarata. Aku masih berharap akan ada
sejumput ketenteraman yang bisa kau berikan kepada uwakmu ini, sebab kamu
berdua adalah masih darah dagingku sendiri”.
“Dari tata lahirku, aku ada di pihak Kurawa. Tapi tertanam begitu dalam dihati ini,
Pandawa adalah kebenaran sejati dalam perang Barata ini. Hmm . .” Prabu Salya
menggeram menahan pepatnya rasa hati. Akhirnya dengan nada datar ia
mengatakan kepada kedua kemenakannya. Kalimat yang ia reka dan akan ia
katakan inilah yang seharusnya Nakula dan Sadewa katakan terus terang kepada
dirinya.
“Sekarang katakan kepadaku, begini Pinten Tangsen. Tirukan kata-kataku
Uwa Prabu, bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati
Astina, kami para Pandawa minta kepada Uwa, hendaknya Uwa Prabu menyerahkan
nyawanya; Ayo katakan itu kepadaku . . . !“
22. 21 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
4. Empat Perkara
Nakula dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat apapun
yang tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing.
Keduanya mengalihkan pandangannya ketika Prabu Salya kembali memecah
kesunyian, dengan pertanyaan disertai suara yang dalam.
“Kamu berdua menginginkan unggul dalam perang Baratayuda, begitu bukan?
Sekarang jawablah!”
“Tidak salah apa yang uwa Prabu tanyakan” jawab Sadewa.
“Sebab itu, tirukan kata kata yang aku ucapkan tadi”.
Kembali Salya memerintahkan kepada kedua kemenakannya dengan setengah
memaksa.
Kedua satria kembar itu kembali saling pandang. Kali ini Nakula bertanya kepada
adiknya, Sadewa. “Bagaimana adikku, apa yang harus aku lakukan?”
23. 22 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
“Terserahlah kanda, saya akan duduk dibelakang kanda saja.” Jawab Sadewa lesu
Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, “Dosa apakah yang akan
menimpa kami . . . .”
Baru berapa patah kata Nakula berkata , namun dengan cepat Prabu Salya
memotong ucapan yang keluar dari bibir Nakula
“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat
yang telah aku ucapkan tadi”.
Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula ketika ia
memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika Prabu
Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari
bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.
“Uwa Prabu . . “
“Uwa Prabu”, tiru Nakula
“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,”
“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,”
“Kami para Pandawa minta kepada Uwa . . . .”
“Kami para Pandawa minta kepada Uwa “
“Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . .”
Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh
Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan
bibirnya, “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti”.
Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu.
Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih.
Setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan, Prabu Salya melepas pelukan,
kemudian duduk kembali. Katanya,
“Kembar, itulah kalimat yang aku tunggu. Aku rela mengorbankan jiwa untuk
24. 23 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
kejayaan Para Pandawa. Dari semula aku tidak berlaku masa bodoh terhadap
peristiwa yang terjadi dalam perang ini. Aku tidak samar dengan siapa sejatinya yang
benar dan siapa yang salah, siapa yang jujur dan siapa yang curang. Dalam hal ini,
Pandawa berhak mengadili siapa yang salah dalam perang Barata ini”.
Keduanya hanya menganggukkan kepala dengan lemah.
“Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta. Dengarkan kata
kataku, aku akan turun tahta keprabon Mandaraka”.
Nakula dan Sadewa menatap mata uwaknya dengan pandangan tidak mengerti.
Sejurus kemudian Prabu Salya meneruskan,
“Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi Kerajaan Mandaraka dengan segenap
jajahan dan bawahannya, aku akan serahkan kepada kamu berdua. Mulai saat ini,
kamu berdua aku wisuda sebagai Raja-raja baru di Mandaraka. Kamu berdua akan
aku beri nama Prabu Nakula dan Prabu Sadewa”.
Sejenak Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal ini, maka
jelaslah bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan
menyerahkan Negara Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang,
kesanggupannya menyerahkan nyawa di medan Kurusetra adalah tumbuh dan
terlahir dari dalam hati yang terdalam. Maka Nakula dan Sadewa yang diberi
kepercayaan hanya berkata menyanggupi
“Semua yang uwa Prabu katakan akan hamba junjung tinggi”.
Kemudian Prabu Salya melanjutkan, “Kewajiban kamu berdua adalah; Nakula, kamu
akan aku berikan tugas sebagai raja yang menangani urusan di dalam negara.
Sedangkan Sadewa, kamu kuberikan kewajiban sebagai raja yang menangani
urusan di luar negara. Yang saya maksudkan adalah, Sadewa, melakukan hubungan
ketatanegaraan dengan raja raja diluar Mandaraka. Sedangkan Nakula, lakukan
penggalangan dengan raja raja jajahan yang ada dalam lingkup Negara Mandaraka”.
“Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi juga tidak sulit. Tetapi ibarat
orang yang hendak bepergian, ia haruslah membawa bekal yang cukup. Bila
selayaknya orang yang bepergian dengan arti yang sebenarnya, cukuplah dengan
bekal uang dan barang barang tertentu. Tetapi bila berbicara mengenai bekal bagi
orang yang hendak menjadi pemimpin negara, haruslah kamu berdua memiliki
sedikitnya empat hal yang harus kamu berdua kuasai”.
25. 24 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
“Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak paduka berikan
kepada kami berdua”, keduanya mengatakan kesanggupannya.
“Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap alam
semesta. Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada yang
menciptakan. Pencipta itu langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau
berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan yang terjadi dan janganlah tetap
tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam perubahan bila tidak
ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang mengatakan
perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya.”.
“Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah digariskan atas
kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan kepercayaan
lain yang sudah mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu tata cara
bersembah yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu berdua
jangan mengatur segala hal mengenai kepercayaan secara resmi dalam negara.
Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan kepada yang Maha Tunggal
oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk oleh negara
akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan kelompok
kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh dengan
kewajaran dalam jalur yang lurus, tidak saling mengalahkan atas kebenaran
menurut kepercayaan masing masing. Ciptakan kebebasan terhadap setiap pribadi
dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan kepada setiap pribadi dan
golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara sempit, hingga
mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari ajaran yang
dianut”.
“Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran yang
dianut orang lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah menjadi
kepercayaanmu sendiri. Bila kamu senang menyalahkan kebenaran yang dianut
orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak lain, bahwa kebenaran yang
paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang kau katai akan
kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah tahu apa
akibatnya”.
“Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung dan
Adiguna. Sifat yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat atau watak
kijang, Adigung, watak seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang yang
menyombongkan dirinya dengan mengandalkan kecepatan larinya. Gajah yang
26. 25 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular yang sombong
mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang kamu
majukan dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat menata
negara dengan berlandaskan rasa keadilan. Kedilan yang sebenar benarnya adil dan
dapat dirasakan oleh orang banyak adalah, tetaplah dalam perilaku yang berlapang
dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri kemanusiaan”.
Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat bagai
terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan mengangguk
kecil bila sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami apa yang
dikatakannya.
“Dan keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu baru.
Bisalah kamu berdua menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang yang
menguasai imu itu sebenarnya bagaikan manusia yang berjalan dalam pekat malam
namun diterangi dengan sinaran yang terang, atau orang yang berjalan dalam licin
namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa mengurai sesuatu barang atau
keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan atas landasan budi pekerti yang
luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan tinggi, akan menghancurkan
sesamanya bila tidak berjalan diatas landasan budi pekerti yang luhur. Sebaliknya
perilaku luhur budi yang didorong oleh ilmu pengetahuan akan menciptakan tata
dunia yang tentram tertib dan adil ”.
Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua kemenakannya.
Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti.
Lanjutnya
“Sedikitnya empat hal inilah yang kamu harus penuhi ketika kamu menjadi raja.
Sekarang kembalilah. Kembalilah ke pesanggrahan Hupalawiya. Terang tanah yang
sebentar lagi datang, aku sudah akan datang kembali ke medan Kurukasetra
sebagai seorang senapati perang”.
“Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di Medan
Kuru tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para saudara
kami Pandawa nanti”.
Serempak keduanya memohon diri setelah dianggap cukup semua peristiwa yang
akan menentukan masa depan keduanya, uwaknya Prabu Salya serta saudaranya
Para Pandawa.
27. 26 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
“Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku panjatkan
kepada yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa”.
Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk. Kebesaran hati
sang uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir bagaimana
saudara saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua yang
sebenarnya tidak condong dalam mengayomi para Kurawa, walau uwaknya itu telah
menyatakan kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para Pandawa.
<<< ooo >>>
Dipandanginya lagi wajah teduh istrinya tercinta yang tengah terbuai dalam alam
mimpi. Entahlah apa yang tengah dimimpikan Setyawati saat itu. Mulutnya
tersenyum begitu manis menghias wajah yang tak pernah lepas dari angan Salya.
Wajah yang slalu dirindukan setiap detik, wajah yang menghias setiap langkah dan
wajah yang slalu bersinar bak pelita yang menerangi jalan yang ditempuhnya.
Dipandangi wajah itu lagi. Wajah cantik yang begitu di kenalnya, wajah cantik yang
menurutnya semakin bertambah cantik walaupun sang waktu semakin menggerogoti
mudanya. Seorang pendamping hidup sejati yang benar-benar membuatnya bahagia
lahir batin menjalani kehidupan sampai dengan saat ini. Ya …. sampai dengan saat
ini ! Perempuan inilah yang tlah memberinya kebahagiaan sejati, saling mencinta
dan saling berbagi dalam keriaan maupun penderitaan.
Dan sebentar lagi ……
28. 27 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
5. Perseteruan Mertua Menantu
Dan sebentar lagi dirinya akan menjadi panglima perang Kurawa sesuai yang telah
dijanjikannya kepada menantunya, Prabu Duryudana. Tak disangkal bahwa
putusannya saat itu lebih disebabkan karena situasi yang panas akibat tewasnya
Adipati Karna, suami dari anaknya Surtikanti, melawan saudara mudanya Pandawa
yaitu Arjuna.
Sedari awal dia selalu merasa tidak cocok dengan menantunya itu. Sering terjadi
cekcok kata-kata akibat perbedaan pendapat, terutama kala berada di pasewakan
agung negri Astina di hadapan Prabu Duryudana. Perbedaan pendapat dan
perselisihan diantara mertua menantu tersebut terjadi karena dirinya selalu
memberi saran dan pendapat agar Raja Astina segera berdamai saja dengan
saudaranya Pandawa untuk mengakhiri perang besar itu. Bahkan dirinyapun pernah
menawarkan mewariskan negri Mandraka kepada Duryudana agar Duryudana
mengalah kepada adik-adiknya Pandawa yang memang lebih berhak untuk bertahta
di Astina. Sementara menantunya keukeuh pada prinsipnya untuk mendukung
penuh Duryudana dalam mempertahankan hak atas negri Astina dengan melalui
29. 28 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
perang Baratayudha.
Dan harga dirinya selaku ‘orang tua’ yang semestinya dihargai, apalagi oleh para
menantunya yaitu Duryudana dan Basukarna, kembali terinjak-injak saat diminta
untuk menjadi kusir kereta perang Adipati Karna, menantunya. Bukan menjadi kusir
kereta yang dipermasalahkannya, namun keputusan itu tidak didasarkan keikhlasan,
cenderung dia merasa disudutkan sehingga dengan setengah hati kemudian
dilaksanakannya.
Diingatnya kembali saat-saat itu, sesaat setelah tewasnya Durna sebagai senopati
Kurawa, dipenggal kepalanya oleh Drestajumna.
<<< ooo >>>
Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat berduka
dengan apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi kematian para
sanak saudara bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah terlolosi otot dan
tulang belulang di sekujur tubuhnya. Kematian gurunya Pendita Durna-lah yang
membuat serasa lumpuh. Ditambah lagi dengan kematian adiknya Dursasana yang
sudah ia terima beritanya dari abdi telik sandi. Kematiannya yang diluar arena resmi
sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan kematiannya yang sangat menyedihkan
dengan badan yang tercerai berai, membuahkan dendam kepada Werkudara.
“Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan
pertempuran” Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang
terkasihnya tewas satu persatu.
“Pikirkanlah baik-baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu Prabu”. Salya
mencoba menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba memberikan
pilihan.
“Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak kita, anak Prabu
mempunyai pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan bila anak Prabu
berkenan akan tindakan ini, aku sanggup untuk menjadi perantara dalam
menyampaikan pesan perdamaian kepada adik adikmu Pandawa”.
“Tidak rama Prabu, akan sia sia pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit
dan senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan para Pandawa
dengan landasan bangkai para prajurit dan bergelimang darah para tumbal perang”.
30. 29 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
Duryudana menjawab dengan tegas. Perasaan dendam yang membara didadanya
atas kematian adik terkasihnya, Dursasana, telah mendorongnya mengatakan
bantahan atas pilihan tawaran dari Prabu Salya.
“Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria pilihan yang saya kira
akan dapat mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih berdiri
kokoh seorang calon senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu adalah
anak dewa penerang hari, yang telah kuasa memenangi pertempuran malam dengan
korban yang tak terkira jumlahnya termasuk senapati muda Gatutkaca”. Tutur Salya
sambil melirik mantunya yang paling ia tidak sukai dari ketiga mantu yang lain
sambil tersenyum penuh arti.
Senyum yang keluar bukan dari hati yang tulus. Senyum yang setengah mengejek,
karena rasa yang terlanjur tidak suka terhadap mantu itu. Juga senyum sinis itu
disebabkan atas hasil kemenangan yang dicapainya baru baru ini yang tidak
dilakukan dengan cara kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu-waktu
sebelumnya yang terjadi diwaktu yang wajar, siang hari.
Adipati Karna yang berperasaan halus, telah tersentuh oleh perkataan mertuanya.
Dalam pikirannya, ia ingin membalas apa yang sudah diperlakukan atas dirinya.
Disamping itu, kematian lawannya, Gatutkaca telah berbuntut panjang. Werkudara
pasti masih mendendam. Maka telah ia rancang sesuatu tindakan tertentu bila ia
disetujui menjadi senapati.
Benarlah demikian, Prabu Duryudana menyetujui pilihan berikutnya yang ditawarkan
oleh mertuanya itu.
“Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya kepada kanda
Adipati, kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam memenangi perang ini.
Kami harap kanda Adipati dapat melaksanakan segala gelar perang yang akan
terlaksana besok pagi”.
“Kehormatan yang tiada terkira yang slalu saya harap siang dan malam telah
terucap dari sabda paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan saya
sampaikan kepada adinda Prabu, dalam perang nanti, kami pasti akan berhadapan
dengan adimas Arjuna. Ini sudah menjadi takdir yang sudah terucap dari sabda
Batara Narada waktu lalu, bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal bertemu kembali
dalam medan Baratayuda. Dari itu, para Pandawa akan menampilkan adimas Arjuna
sebagai senapati dari pihak Hupalawiya”. Kembali Adipati Karna mengingatkan akan
peristiwa masa lalu ketika anugrah Kuntawijayandanu yang hendak diberikan
31. 30 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
kepada Arjuna sebagai pemutus tali pusar Gatutkaca, telah salah diterimakan
kepada Karna-Suryatmaja. Perkelahian keduanya terjadi ketika Arjuna tidak terima
atas kesalahan pemberian pusaka itu, dan bahwa ia juga telah dibebani tugas oleh
kakaknya, Bratasena Werkudara, untuk mendapatkan senjata yang bisa memutus
tali pusar keponakannya. Pertempuran yang kemudian dipisah oleh Narada,
dijanjikannya bakal terlaksana hingga salah satunya tewas pada saat Perang
Baratayuda berlangsung nanti.
“Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam jangkauan,
pasti akan aku kabulkan” Duryudana setengah menyanggupi permintaan yang
hendak ia sampaikan.
“Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti antara saya
dengan dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh Prabu Kresna.
Bila ini yang terjadi, mohon kesanggupannya agar kami dikusiri juga oleh manusia
yang setimbang dengan derajat Prabu Kresna”. Sejenak Karna diam, ragu dalam hati
ia hendak menyampaikan maksudnya kepada adik iparnya itu.
Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu. “Kanda,
apakah kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman Harya
Sangkuni? Akan aku perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan senang hati
akan memenuhi kehendak kanda Adipati”.
Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam sedari tadi
telah ia keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan membalas perlakuan
mertuanya yang selalu tidak cocok dihatinya, dalam peristiwa ini, bagaikan suatu
sarana untuk melawan balik sikap mertuanya itu.
Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan dipenuhi tanpa harus tercampuri
oleh urusan pribadi. Dan urusan negara ini akan dijadikan dalih dalam melawan
sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna.
“Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang aku
kehendaki. Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh Prabu
Kresna. Satu satunya orang yang dapat menyamai derajatnya, adalah . . . Rama
Prabu Salya”.
Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak senang ia
berkata.
32. 31 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
“Ooh . . , inikah wujud bakti seorang menantu terhadap mertuanya? Aku ini dianggap
apa? Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai dalih agar mertuamu ini mau
kau perintahkan aku sebagai kusirmu? Sekali menjadi mantu kualat, tetap menjadi
menantu kualat juga. Belum juga sembuh rasa hati atas tuduhanmu diawal perang,
telah kau lukai hati ini sekali lagi dengan permintaanmu yang merendahkan derajat
raja Mandaraka”. Tanpa diduga sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang
ia lontarkan kepada mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang
kusir bagi dirinya. Bahkan kembali Salya mengungkit-ungkit sakit hatinya atas
tuduhan menantunya diawal perang.
“Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati, baiklah
sekarang putramu sendiri yang akan maju kemedan Kurusetra. Saya relakan jiwaku
demi kemenangan yang hendak aku raih. Putramu minta diri untuk berangkat malam
ini juga”. Duryudana mencoba untuk menarik perhatian ayah mertuanya. Ia berharap
mertuanya akan menyanggupi permintaan kakak iparnya bila ia mengancam akan
bertindak sendiri.
Kembali diluar dugaan, Salya berkata sambil tertawa sumbang. “Anak mantu
Duyudana, aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan. Tidak
usahlah merajuk seperti itu. Dalam pendengaranku, kata-kata anakmas Duryudana
tadi, bukan keluar dari lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah memaksa dengan
ancaman halus seperti yang anak Prabu katakan, aku akan menuruti keinginan
menantuku Awangga yang tampan itu, anak mantu yang membuat anakku Surtikanti
mabuk kepayang”. Akhirnya Salya menyanggupi permintaan itu. Karna yang
mendengar permintaannya dikabulkan bukannya senang, namun ia malah
tersenyum kecut penuh arti.
“Terimasih rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini. Mohon
perkenannya adinda Prabu Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada dalam
tugas sebagai kusir senapati Awangga”. Adipati Karna akhirnya mengatakan kalimat
seperti itu. Telah telanjur basah ia dalam melawan rasa benci dari sang mertua,
maka sekalianlah basah dengan memerintahkan peran itu dari saat ini juga.
“Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang hendak kau
perintahkan untuk mengantarmu?” Salya sudah muak dengan tingkah menantunya
sekalian memanjakan semu kemauan menantunya.
“Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak ke
Awangga. Anakmu mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti. Sudah
lama anakmu tidak memberi kabar ataupun berita. Dan pasti ia ingin mengetahui
33. 32 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
keselamatan suaminya. Sekali lagi mohon perkenannya. Bertemu dengan istri
bukanlah masalah pribadi, ini sebagian dari tugas seorang senapati. Bertemu
dengan istri adalah sebagai penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi seorang
lelaki sekaligus suami dalam menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas luar biasa,
tugas yang taruhannya adalah nyawa”. Karna mencoba memberi penjelasan kepada
mertuanya.
Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya, setengah hati menjawab
“Dalih apapun yang kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti.
Mari ikuti aku, kita segera berangkat ke Awangga”
“Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini akan
mengantarkan senapati agung”. Prabu Salya meminta diri.
“Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai perjalanan ini
nanti” demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak mengikuti Prabu Salya
dan Adipati Karna sampai di gapura pesanggrahan.
34. 33 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
6. Tanding Dua Putra Kunti
Pagi telah terik. Pertempuran sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra
yang sudah berhari hari menjadi panggung ajang drama pertempuran yang
mengerikan. Sisa sisa tenaga prajurit yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya
pilihan, segera perang selesai. Entah dirinya yang menjadi korban atau ia membunuh
lawan lawannya dengan cepat.
Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan
busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap
pembesar perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan
senjata yang bergeletakan mencuat diantara reruntuhan kereta perang, sungguh
membuat meremang bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi
erangan para prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak
kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri prayangan.
Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar mengitari angkasa yang biru
dengan gumpalan awan disekitarnya, menanti kapan waktunya untuk kembali
berpesta pora.
Dan telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam
35. 34 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa
Senapati dari pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat
menaiki kereta perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap
panas, ada saja masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat
menantunya telah menaiki kereta, dan ia masih ada dibawah, kemarahannya
kembali meledak. “Apakah kamu bukan manusia yang mengerti tata bagaimana
menghormati orang tua, keparat! Orang tua masih dibawah, kamu sudah duduk
nangkring diatas kereta!”.
Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya
dari waktu ke waktu
“Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula, adalah hanya
menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah senapati”.
“Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena
kelakuanmu. Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu
sudah melukai hatiku dalam jamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu
melakukan hal yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan
dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu yang membuat aku
muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!”. Kejengkelan Prabu
Salya tidak juga reda.
“Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk
menaiki kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda tanda dalam diri putramu, detak
jantung didada ini mengisyaratkan kematian putramu sudah menjelang. Kami
persilakan rama Prabu untuk mengantarkan kematianku, rama Prabu . . . . ”.
Campur aduk perasaan kedua manusia menantu dan mertua itu mengawali
langkahnya menuju ke palagan peperangan. Inilah titik dimana perasaan yang tidak
sepenuhnya bulat telah melemahkan moral perang senapati Kurawa.
Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam bergulung diatas
palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor naga yang
mengincar kematian Arjuna. Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah
ketempat ia bersiap, segera menghentikan laju geraknya dan menanyakan
maksudnya
“Heh kamu mahluk yang mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat
keruh suasana peperangan!”.
36. 35 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
“Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu
kamu menandingi Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan
maksudnya.
Tetapi sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang
menyuruhnya ia pergi. “ Heh engkau naga, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku
berselisih sehari tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku. Menyingkirlah atau
akan aku percepat sempurnanya kematianmu!”.
“Haaah . . perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada orang
yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas kematian
moyangku”. Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari
keberadaan Arjuna.
Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera tahu apa
yang ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang diatasnya.
“Arjuna, diatas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika.
Lepaskan panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.
Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah.
Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga
Hardawalika yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.
Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak
mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah
jarak keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik.
Peperangan segera terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang
menjadikannya Arjuna termangu. Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna
segera dapat menebak apa yang dipikirkannya.
“Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni
tanding dengan kakakmu, Adipati Karna”.
“Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati
Karna. Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti” keluh Arjuna.
Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan Karna
terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya
37. 36 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
empat mata, ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang.
Semuanya bagi Kresna sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak
mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna.
“Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib
mengingat satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan angkara.
Walaupun saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada
pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu Adipati Karna itu,
tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada seorangpun di dunia
ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu. Mari aku
dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan
menjadi kusirmu”.
Selesai berdandan busana keprajuritan, segera mereka menaiki kereta Prabu
Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari
empat benua yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah para Dewa.
Bila dibandingkan dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk
dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian kereta Jaladara bisa berkali kali lipat
kekuatannya.
Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata dengan
segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa
besar yang terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun satu per
satu bagai kupu kupu yang beterbangan memenuhi angkasa.
Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari keretanya. Kresna
yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan untuk
menyambut kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna
“Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera sambut
dan ciumlah kakinya”.
Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya
“Duh Koko Prabu, sembah pangabekti teruntuk kakakku tercinta"
"Arjuna, seandainya aku ini bocah, tentu sungguh suka cita aku sua dengan dinda.
Beginilah rasanya orang yang tengah menjalankan kewajiban tuk menepati janji yang
telah Kakang ucapkan. Sebagai satria utama sudah selayaknya untuk
mewujudkannya. Kakang seolah buta tuli tuk gapai kemulyaan dan segalanya telah
38. 37 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
diberikan oleh Prabu Duryudana dan walaupun dengan terpaksa kemudian harus
memusuhi saudara-saudaraku yang dilahirkan dari Ibu Kunti"
"Koko Prabu, mohon jangan salah terima"
"Bagaimana, yayi"
"Adanya saya berpakaian panglima ini tidak hendak menandingi Kakang, namun
dinda melaksanakan permintaan Ibu Kunti untuk menyongsong Kakang agar
berkumpul dengan saudara saudara Pandawa. Para Pandawa telah menyiapkan
tempayan berisi air bening dan suci untuk membasuh kaki Kakang"
"Oh adiku Di, adinipun Kakang, sampai meleleh airmata mengiringi perih hati ini.
Namun dengarkan yayi, sepertinya apa yang Adi ungkapkan tidaklah tepat. Berawal
saat Koko Prabu Kresna menjadi duta sebelum Baratayudha terjadi, Kakang sudah
diminta untuk menemui Ibunda Kunti dan berkumpul dengan adik-adikku para
Pandawa. Dan kini, engkaupun menginginkan hal serupa. Pabila aku kemudian
mengikuti apa kata Koko Prabu Kresna dan menuruti harapanmu untuk menikmati
kemulyaan bersama para Pandawa, maka dapat diupamakan bahwa hidup Kakang
laksana seekor perkutut dalam kurungan berlapis emas. Memang benar rumahku
terbuat dari emas, namun aku tidak bisa terbang mengelilingi dunia, tidak mampu
melebarkan sayapku. Hidupku hanya engkau beri makan dan minum serta hanya
menjadi barang tontonan. Apa Yayi senang mempunyai Kakak yang mempunyai
watak dan nasib seperti itu."
"Koko Prabu, bunuh saja saya koko Prabu"
"Arjuna, lumahing bumi kureping langit ora genep loro, manungsa ingkang kinodrat
bisa nguntabake pun Kakang dari alam fana ini tiada lain hanyalah engkau
saudaraku yang sangat kucintai, Arjuna. Sungguh aku tlah mempunyai dosa besar
terhadap ibu Kunti, ing atase aku dilahirkan oleh beliau dari aku mukti wibawa di
negara Awangga belum pernah berkunjung ngabekti. Cilik-cilike katentreman, gedhe-
gedhene kawibawan, wujude mung kaya banyu lan lengo. Dan diriku seorang anak
yang penuh dengan noda dan dosa ini harus berani mengakui kesalahan-kesalahan,
jer manungsa sing ngakoni dosa lan kaluputane iki klebu satria sejati kang bakal
entuk pangayomae Jawata. Disamping mohonkan maaf kepada Kanjeng Ibu juga
mohonkan pamit kepada Ibu bahwa pada hari ini adalah hari yang sangat baik
Kakang menjalankan kewajiban. Yayi tunjukan kridamu, perlihatkan kesaktianmu,
lepaskan senjatamu. Ayo kita bertanding dan bertarung."
39. 38 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
"Koko Prabu, kula nyuwun pangapunten, monggo kula derekaken."
Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah
berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda
ujudnya dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama,
sehingga banyak prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk
membedakan yang mana Arjuna dan manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang
dinaikinya.
Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna.
Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.
“Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala hamba
terpental oleh panah adi Arjuna”.
“Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya
kusirmu. Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”. Setengah hati
Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya.
Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu
ada ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah
Kunta Druwasa yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan
dengan Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas anak panah, kendali
kereta ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang sejatinya akan tepat mengenai
sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan mencabik segenggam
rambutnya.
“Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini
sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”. Arjuna menanyakan.
“Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku.
Sekarang aku akan menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna, yang kemudian
menerapkan kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna.
Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung
para yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para
dewata dan segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum.
Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu telah
dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara
40. 39 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
kesaktian mereka berdua.
Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah
Kyai Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.
“Arjuna !”, Kresna memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini
hidup kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan
kakakmu ke alam kelanggengan!”.
7. Intrik, Rekayasa dan Dendam
Panah Pasupati telah terpasang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak panah
berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan
mata karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang
menyerupai bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna. Tajamnya Kyai Pasupati
tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang masih
41. 40 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari lehernya. Jatuh terduduk jasad
Adipati Karna bersandarkan kursi kereta.
<<< ooo >>>
Mengingat episode itu, Salya kembali tercenung. Seberapa besarpun rasa tidak
sukanya kepada sosok menantunya Karna, namun diakuinya bahwa menantunya itu
adalah seorang ksatria sejati yang teguh pendirian dan pada dasarnya justru sangat
mencintai saudara sedarahnya para Pandawa namun dengan cara yang berbeda.
Kini dirinya telah siap untuk berangkat ke medan Kuru. Tak tega rasanya bakal
meninggalkan sosok yang tengah tertidur disebelahnya itu. Namun tekad telah
membulat di dadanya bahwa apapun yang terjadi, dia harus segera melaksanakan
tugas mulia sebagai seorang senapati perang.
Dengan hati yang pepat, dikecup mesra kening istrinya yang tidur begitu nyenyak
sedari tadi. Dan seolah mengerti bahwa dirinya dikecup sayang oleh belahan
jiwanya, dalam tidurpun Setyawati semakin melebarkan senyumnya. Dan perih rasa
Salyapun semakin menganga lebar, sebutir air mata bening mengambang di pelupuk
matanya.
Tlah ditetapkan dalam hati untuk pergi tanpa pamit kepada istrinya itu, sebab dia
sadar bahwa kalau dimintakan ijin untuk pergi niscaya Setyawati pasti akan
memaksa untuk ikut. Dan dia tidak hendak melibatkan istrinya dalam peperangan
nan kejam.
Segera dia beranjak keluar menuju kereta yang telah siap menantinya tuk meluncur
ke medan Kuru tanpa menoleh sedikitpun lagi.
Dan di pagi subuh itu, kereta Salya dengan laju cepat menuju medan Kuru yang
telah menantinya dalam pertempuran hidup mati !!!
Dalam perjalanan menuju padang Kuru, teringat kembali peristiwa yang membuat
hatinya terluka setelah anak mantunya, Karna, tewas dalam pertempurannya
melawan Arjuna, hingga kemudian dengan ‘terpaksa’ akhirnya dia bersedia menjadi
panglima perang Kurawa.
<<< ooo >>>
42. 41 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
Kidung layu layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang menandai
pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik rintik. Meski begitu,
rintik hujan itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi para Pandawa.
Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung, walau ia terlahir
bukan atas keinginan sang ibu. Meski demikian, ia adalah sosok yang sudah
memberi warna kepada orang orang disekitarnya dan para saudara mudanya. Ia
adalah sosok yang tegar dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan kepada
Negara yang telah memberinya kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia tokoh yang
kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang secara tersamar menegakkan prinsip,
bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku kebajikan. Ia telah menyetujui
bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan demikian ia telah
mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu Duryudana. Raja
yang telah memberinya kemukten.
Dengan terbunuhnya Adipati Karna maka telah terhenti perang campuh para prajurit
di arena padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang
tinggal, boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi
kenyataan, bahwa para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang
termasuk Prabu Duryudana dan Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut
sebagai kenyataan, bahwa perang Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi
pengakuan terhadap kekalahan itu, belumlah terucap dari bibir Prabu Duryudana.
Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh rintik hujan,
juga seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi Kurawa yang juga
terlimput oleh gelap. Dihadapannya Prabu Salya dengan sabar menunggu ucapan
apa yang hendak terlontar dari bibir menantunya. Demikian juga Patih Harya Suman
dan Raden Kartamarma, hanya tertunduk lesu. Keduanya berlaku serba canggung
menyikapi keadaan dihadapannya. Keraguan akan hasrat menyampaikan usulan
dan pemikiran, telah dikalahkan oleh rasa takut akan murka junjungannya.
Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya berderajat
rendah, hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya mengurus
segala keperluan para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran mereka
berburu dihutan. Derajat rendah itulah yang diberikan oleh penguasa Astina, ketika
mendiang ayahnya diangkat menjadi guru bagi sekalian anak anak Pandawa dan
Kurawa. Derajat yang sampai saat inipun masih tetap tersandang, walaupun waktu
demi waktu telah berlalu. Apalagi ketika ia harus kehilangan kepercayaan dari Prabu
Duryudana, pada saat ia membela pamannya Krepa. Juga tewasnya ayah tercinta
yang merupakan gantungan baginya dalam mengabdi kepada Prabu Duryudana,
telah lengkap meruntuhkan ketegaran dirinya terhadap penguasa tertinggi Astina.
43. 42 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
Lengkap sudah perasaan takut yang mencekam jiwanya. Padahal sesuatu yang
hendak diajukan sebagai saksi mata atas suatu peristiwa di medan perang, telah
mendesak kuat dalam hati untuk disampaikan. Tetapi mulutnya terkunci, tetap tak
berani mengatakan sesuatu apapun. Dan iapun hanya diam tertunduk, duduk di
tempat paling belakang dari pembesar yang hadir.
Dalam ketidak sabaran menunggu sabda Prabu Duryudana, akhirnya Prabu Salya
berbicara.
“Anak Prabu, walaupun paduka anak Prabu tidak mengatakan dengan sepatah kata,
namun saya sudah merasa, pastilah perkiraan saya benar. Sudah selayaknya anak
Prabu merasa kehilangan Senapati yang menjadi bebeteng negara, kakak iparmu,
anak menantuku, Adipati Karna”.
Tetap bergeming Prabu Duryudana mendengarkan kata kata pemancing dari Prabu
Salya, sehingga kembali ia melanjutkan.
“Menurut tata cara, seharusnya aku tetap diam menunggu. Tetapi oleh karena
terdorong oleh gemuruh dalam dada, perkenankan aku mertuamu menyampaikan isi
hati ini”
“Rama Prabu, itulah yang sebenarnya yang aku nanti. Besar hati anakmu tanpa
dapat diumpamakan, karena sebegitu besarnya perhatian yang rama Prabu berikan
terhadap putramu”. Akhirnya beberapa patah kata meluncur dari bibir Prabu
Duryudana, terbawa oleh rasa penasaran, apakah yang hendak dikatakan oleh ayah
mertuanya.
Mencoba tersenyum Prabu Salya. Senyum getir, karena suasana yang dihadapi
tidaklah nyaman dirasakan. Tetapi ia tetap berusaha menguatkan hati Prabu
Duryudana .
“Kalaupun aku tidak memperhatikan anak Prabu, aku ini seakan menjadi manusia
yang tidak lengkap panca indraku. Setelah saya timbang timbang, ternyata
pancaindriaku masih lengkap. Oleh karena itu, aku akan menyampaikan sesuatu”.
“Waktu sepenuhnya aku serahkan kepada rama Prabu”. Duryudana kali ini mencoba
pula tersenyum, walau terasa hambar.
Melihat menantunya serba kikuk, Prabu Salya tertawa. Walaupun tawa itu terdengar
sumbang, namun Ia mencoba memecah kebuntuan suasana.
44. 43 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
“Terhitung selama perang berlangsung, aku baru bisa tertawa kali ini. Begitu anak
Prabu mengatakan bahwa waktu telah sepenuhnya anak Prabu berikan, itu artinya
anak Prabu masih mempunyai kepercayaan kepadaku”.
Prabu Salya kemudian mengangkat dan mengungkit peristiwa yang berlangsung
pada masa lalu, ketika ia sedang ada pada balairung istananya di Mandaraka.
Ketika itu ia sedang merembuk bagaimana ia berrencana hendak memberikan
negara kepada anak turun, serta bagaimana ia menyampaikan cara dalam menata
negara. Ketika itu, tiba tiba ia dikejutkan dengan kedatangan dua orang utusan yang
belum dikenalnya. Ketika mereka mendekat dan memberikan surat. Ternyata
mereka berdua mengundang untuk mendatangi pahargyan di suatu tempat yang
merupakan pesanggrahan yang baru dibangun, pesanggrahan yang begitu indah.
Disitu telah menunggu para wanita yang muda muda dan begitu cantik cantik.
“Disitulah aku disuguhi makanan yang serba nikmat diiring tetabuhan dan kidung
yang menyenangkan hati”.
Prabu Salya meneruskan, “Tanpa ragu makanan yang serba nikmat itu aku makan
dengan begitu lahapnya . Bawaannya aku belum makan ketika berangkat, maka
sekejap aku telah menghabiskan sebagian besar hidangan yang telah tersaji”.
Setelah merenung sejenak, Prabu Salya menyambung, “Begitu aku sudah merasa
kenyang, tiba tiba anak Prabu Duryudana datang dari belakang tanpa aku ketahui,
dan memeluk aku. Sebagai orang yang mengerti akan tata krama dan balas budi dan
terdorong oleh rasa puas karena semua kesenangan yang tersaji telah aku nikmati,
maka ketika paduka anak Prabu meminta saya untuk bersedia berdiri di pihak anak
Prabu ketika perang Baratayuda berlangsung nanti, seketika aku menyanggupi. Dan
ini adalah peristiwa yang mengharuskan aku menyaksikan darah yang tertumpah.
Darah yang mengalir dari tubuh tubuh anak kemenakanku sendiri”.
Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakiri cerita yang berujung sesal.
Kejadian awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar ini. Maka ketika
tak ada lagi yang membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil Patih Harya
Sangkuni.
“Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang?”
Geragapan Patih Sangkuni menjawab pertanyaan itu, setelah rasa terkejutnya hilang.
“Kalau tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja”.
45. 44 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
“Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit itu?”
“Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak diperintah
untuk beradu dada dengan para Pandawa”.
“Bagus! Kenapa begitu?“ Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya.
“Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah ada dalam
perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama ini, adalah
berkat pemberian dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan dalam peristiwa
seperti ini, tak lain dan tak bukan, bahwa mereka telah rela menjadi pelindung,
bahkan kalau perlu sebagai tumbal dalam membela kejayaan anak Prabu”. Jawab
Sangkuni, yang adalah manusia super licik. Maka kata katanya kemudian lancar
nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya.
“Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal duapuluh orang,
itu sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah manusia yang mengerti
akan rasa kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa kebaikan, manusia yang
mengerti apa itu kewajiban. Bila demikian Paman, semua orang yang masih hidup di
Astina, ternyata masih punya rasa bela negara, tanpa memandang dari mana asal
muasalnya. Seumpama ada seseorang pembesar, seseorang yang menjadi
sesembahan. Walaupun ia tidak dalam peperintahan negara Astina, tetapi ia
memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara Astina ini. Hidupnya diliputi oleh
segala kemewahan, dipuji puji dan diagung agungkan orang senegara. Namun ketika
negara itu menjadi ajang kebrutalan musuh, menurut Paman Sangkuni bagaimana
seharusnya manusia itu bersikap?”
Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat mengerti,
umpan apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlan kata katanya
mengikuti arah pembicaraan pamannya itu.
“Wah, kalau saya . . . . ini kalau saya . . ., saya akan segera bertindak! Segera saya
akan melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh yang hendak berbuat
semena mena atas negara ini. Ini kalau saya . . .! “ dengan jumawa Patih Harya
Suman menjawab.
“Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti wibawa, tetapi
tidak mengerti akan balas budi itu?”
“Ada saja ! itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati!”
46. 45 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah tahu apa
maksud pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan senyum
mengembang di bibir mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi penasaran,
sandiwara itu akan sampai mana ujungnya. Maka ia tetap terdiam ketika Prabu
Duryudana kembali mengajukan pertanyaan kepada pamannya.
“Apakah ada orang yang lain selain istriku?”
“Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita yang pada
mulanya juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika ia diperistri
oleh paduka anak Prabu, ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi derajat dan
kemukten yang tiada taranya. Itulah, dari rasa sayang Paduka Angger Anak Prabu
yang tiada terkira, sebetulnya dalam kenyataannya, negara Astina telah dipasrahkan
seutuhnya kepada istri Paduka , Dewi Banuwati.”
“Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati itu ,
seberapapun bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara Astina
ini?”.
“Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki”.
“Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang seharusnya
hanya aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke medan perang adu
kesaktian dengan para Pendawa”.
“Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak mau turun
tangan, maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun tidak akan rela
melihat paduka kerepotan”. Sandiwara dengan dialog antar keduanya masih
berlangsung, masih mengalir lancar. Dan Prabu Salya masih tetap sabar dalam
duduknya.
Dan sampai disini Duryudana sedikit mentok, keteteter dengan kepiawaian
pamannya mengolah kata.
“Ya . . . . . tetapi . . . . . apakah ini . . . . . . , apakah aku harus menangis dihadapan
istriku? Si Paman jangan menyangka aku takut akan darah, tetapi istri itu . . . yang
sejatinya bukan sanak, tapi ia sudah merasakan enak, sudah aku ajak menikmati
kenikmatan dan mukti wibawa. Waktu dalam keadaan enak, ia sudah merasakan
kenikmatan. Tetapi ketika menemukan papa sengsara, seharusnya ia tidak
menghindar dari segala kesulitan. Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia,
47. 46 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
paman. Seumpama saya melangkah ke medan pertempuran berdua dengan istriku,
Dewi Banowati, menurut si paman bagaimana?”
“Saya sangat setuju . . .sangat setuju!”
Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan tadinya tak
hendak memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana gerangan arah
pembicaraan itu. Tetapi saat ini ia menjadi gerah. Dan berkatalah Prabu Salya,
setelah menarik nafas dalam dalam. Ia berusaha menekan perasaannya yang tiba
tiba panas bagai terbakar bara api.
“Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi. Tetapi
kepala saya bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian menyengat
hingga sampai ke dada ini. Di seluruh jagad ini tidak ada yang menandingi
kepiawaian dari anak Prabu, apalagi bila sudah dipadukan dengan kepiawaian
mengolah kata dari Patih Sengkuni. Tetapi kepintaran itu. bila sudah manunggal, dan
kemudian dipakai di jalan yang tidak sesuai dalam keutamaan, bisa menjadi kabur
dan ludes terbakar api. Saya mengerti. Kalau saya dibolehkan menggambarkan,
anak Prabu saat ini sedang dalam posisi berpeluk tangan, tapi kelihatan olehku dari
sini, Paduka anak Prabu seperti melambaikan tangannya. Melempar sesuatu kearah
utara, tapi yang dikenai adalah benda yang diarah selatan, seperti halnya orang yang
sedang memancing di air keruh. Ya, saya sudah tua. Tak usahlah disindir, saya ini
sudah kenyang makan asam garam. Gamblangnya begini, paduka anak Prabu
sekarang sedang bersedih atas gugurnya anak mantuku Adipati Karna. Paduka
sebetulnya mengatakan, kenapa, orang tua yang sudah dibuat mukti wibawa karena
anak nya, tetapi orang itu sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka
maksudkan?”
Sudah disengaja Prabu Duryudana menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah kadung
basah, maka walau dengan debaran dada, ia mengatakan, “Silakan bila rama Prabu
mengatakan demikian. Tetapi itu memang benar!”.
“Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka melihat
tingginya sosok para Pandawa? Apakah saya tidak kuasa untuk merangkul
betapapun besarnya ujud para Pandawa? Apakah saya harus gemetar melihat
kesaktian Pandawa? Yang terlihat olehku, Pandawa itu adalah sebagai anak anak
belaka. Bila aku mau, tandang para Pandawa dapat aku hentikan kurang dari
setengah hari! Dalam setengah hari itu, mereka sudah pulang ke kahyangan Batara
Yama. Oleh sebab itulah, saya hendak menjalankan sabda paduka dengan dua
landasan. Ketika korban para Kurawa dimulai dari gugurnya Eyang Bisma, sampai
48. 47 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada paduka anak mantu, bahwa
Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya pokok persoalannya?
Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang dikalahkan?
Oleh sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang sudah
gugur dalam perang ini. Itu yang pertama!”
Prabu Salya melanjutkan
“Kedua siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna itu
manusia bukan manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya yang
menerangi jagat. Walaupun ini hanya cerita yang kadung dilebih lebihkan, tapi
sewaktu terlahir dari goa garba Kunti, ia sudah mengenakan anting anting dan
permata kawaca. Belum lagi jumlah pusakanya, kunta Druwasa, Wijayandanu,
siapakah yang kuat menadahkan dadanya pada pusaka itu? Keris kyai Jalak,
siapapun tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan bila ditujukan ke gunung ,
gunung itu akan menjadi runtuh, dan bila dikenakan terhadap lautan, samudra
itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna dapat mengalahkan dengan panah
bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah Arjuna telah membawa
kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku hanya bisa
berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda”.
Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang menghimpit dadanya, lama
kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati Prabu Duryudana. Ia seakan
terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria sakti linuwih itu diungkap
kembali. Keberaniannya tumbuh saat ia harus mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi. Melihat gerak dan raut muka Aswatama yang mengandung sejuta keinginan
untuk mengatakan susuatu, Prabu Duryudana memberikan sasmita kepadanya
untuk mendekat.
“Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan?”
“Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani beraninya
memutus pembicaraan para agung”. Beriring sembah, Aswatama meminta waktu.
“Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya memberimu maaf.
Silakan apa yang hendak kamu katakan?!”
Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk
menyampaikan cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya, sekarang
atau tidak sama sekali. Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan kembali
49. 48 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
terbentang dihadapannya. Maka dengan tatag ia berkata, “Ketika sedang ramainya
tanding antara Sinuwun Adipati Karna dan Arjuna, mestinya Arjunalah yang mati”.
“Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan?” terheran Prabu
Duryudana mendengar kata kata Aswatama.
“Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh Prabu
Salya, saya lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah pas
mengenai leher Arjuna. Tetapi arah panah itu meleset, oleh sebab adanya seseorang
pembesar yang telah melakukan kecurangan”
Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak mendengar
sendiri, beranikah Aswatama menyampaikan dengan mulutnya sendiri. “Siapa
pembesar yang melakukan itu?
“Tidak lagi hamba menutup nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah benar.
Namun tiba tiba kendali kekang kuda ditarik, sehingga kuda menjadi binal dan
kereta menjadi oleng. Panahpun tidak mengenai leher Arjuna, hanya mengenai
sejumput rambutnya saja. Maka hamba berani bicara, bahwa gugurnya gusti Adipati
Karna bukan karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya!”
“Iblis keparat kamu Aswatama!”
Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang mengamati dengan sempurna
perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia itu terbongkar, maka
yang bisa diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama dan bertamengkan
kekuasaan anak menantunya itu.
“Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya tuwa buru.
Paling tinggi tugasmu hanya memberi makan kuda kuda kendaraan para Kurawa!
Tahukah kamu, bahwa derajatmu hanya dibawah celanaku yang aku pakai ini. Kamu
telah melakukan kesalahan. Kesalahanmu, pertama, kamu sudah berani beraninya
memotong pembicaraan para agung. Kedua kamu sudah berani mengatakan yang
bukan bukan! Kamu sudah berani menuduh aku telah menyebabkan gugurnya
mantuku. Dimana ada mertua yang tega terhadap anak menantu. Kemana kamu
ketika gugurnya Bapakmu ketika itu? Kelihatan batang hidungmupun tidak! Kamu
berniat merenggangkan hubungan antara aku dengan Prabu Duryudana, begitukah
maksud dari kata katamu tadi?! Hayoh iblis, kalau kamu memang anak Durna,
segera ucapkan japa mantramu, hunus kerismu Cundamanik pemberian ibumu
Batari Wilutama, bidadari yang berlaku selingkuh selamanya! Dalam hitungan yang
ketujuh kamu tidak berani melangkah menghadapi Prabu Salya, akan kutebas
50. 49 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
batang lehermu!”
“Aduh rama Prabu, rama kami persikan berlaku sabar! Aswatamu itu hanya
berderajat rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama” maka
Prabu Duryudana segera menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat
mertuanya seakan telah kehilangan pengamatan dirinya.
“Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama”. Masih dengan
kata marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana.
“Rama Prabu, jangankan hanya seorang Aswatama, dewapun tak akan mampu bila
berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu. Mohon diingat
rama Prabu, jangan mendengarkan suara orang cari muka seperti Aswatama.
Rama mesti mengingat, masih banyak kewajiban yang harus dijalankan. Mohon
bersabar rama Prabu”.
“Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah terpisah dari
tubuhmu. Jangankan kamu, bila orang tuamu masih adapun, tak akan mundur
sejangkah menghadapi orang tuamu itu!” masih juga belum berhenti kemarahan
Prabu Salya, bahkan ia mengungkit ungkit ayah Aswatama.
Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia telah
membuat keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang bersilang
pendapat itu. “Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah ruwet. Aku
sudah tak lagi membutuhkan kamu. Pergilah!”
“Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan yang terjadi di
palagan peperangan, kami minta diri sinuwun”. Luka hati Aswatama kembali
kambuh, bahkan sekarang semakin parah. Keputusan hari kemarin bahwa ia akan
menjadi seorang oportunis sejati telah mengeras. Dirinya yang dibobot ringan oleh
Prabu Duryudana, mundur dari hadapannya dengan sejuta rencana tumbuh didalam
rongga kepalanya.
Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya, orang tua
Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada menantunya Prabu
Salya tega, kepada mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai hati menghabisi
hidupnya hanya karena perasaan malu mempunyai mertua berujud raksasa. Tapi
kata katanya tersekat pada korongkongan, tak terlahirkan oleh perasaan tidak enak
kepada Prabu Duryudana. Maka ia hanya dapat mendendam, kepada Banuwati-lah
51. 50 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
ia hendak lampiaskan. Dan malam dengan hujan rintik itu telah membawanya
menuju taman Kadilengeng. Malam ketika melintas kutaraja Astina, ia tak menemui
kesulitan apapun. Semua prajurit tunggu istana telah mengenal Aswatama dengan
baik. Dan taman Kadilengeng telah ada didepan mata.
Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan marah dan
setengah dipermalukan oleh Aswatama., masih mendekam didalam hati Prabu
Salya. Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun. Suasana hening
melimputi suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku ditempatnya. Hanya
dalam pikiran masing masing yang berputar putar menanggapi peristiwa yang baru
saja terjadi. Ketika kesunyian itu masih saja terjadi, Prabu Duryudana akhirnya
berkata kepada pamannya.
“Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh
Aswatama. Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya anak
menantu. Apakah ia hanya bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di dunia
peristiwa semacam itu Paman?”
Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu
Duryudana dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya
kehendak keponakannya dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi
watak Sengkuni, bahkan dengan nada meyakinkan ia mengipaskan kembali suasana
yang sudah mengendap dengan jawabannya, “Ooooh Sinuwun, ada saja!
Jangankankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya menantu yang
melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga ada. Bahkan ia telah membunuh
mertuanya dengan tangannya sendiri”.
“Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega berbuat
demikian?” Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan Pamannya. Ia
telah tahu apa yang dikehendaki pamannya.
Dan jawaban Patih Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu “Tidak jauh dari sini,
bahkan . . . “
“Cukup . . . . . !” Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara kemarahan yang
belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia sudah tak lagi
dapat mengendalikan nalarnya. Maka tak lagi ia berpikir panjang dan segera
menyambung kata katanya, “Jangan lagi sandiwara seperti yang kau ucapkan tadi itu
diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu, Suman! Bukankah engkau
hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah membunuh ayah mertuaku
52. 51 | P r a n o w o B u d i S u l i s t y o - N a r a s o m a
sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu hubungkan dengan kematian
anakku Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu arah tujuan dengan kata katamu.
Kamu hendak memanasi aku kembali, agar aku mau maju ke Medan Kurukasetra !
Tanpa kamu panasi dengan kata kata itupun aku sudah mempunyai tekad, besok
aku akan maju ke palagan peperangan. Lihatlah, esok anak anak Pandawa akan aku
kirimkan ke alam kelanggengan. Aku ulangi, tidak perlu mamakan waktu lama, tak
sampai setengah hari semua keinginanmu akan terwujud!”
“Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang Paduka Prabu
Salya, tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja” Patih Sangkuni menjawab
dengan nada merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa terbahak bahak,
menyaksikan pancingannya berhasil diasambar sasarannya.
Sesak didalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih saja
memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu Duryudana.
Maka ia tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana dilakukan
terhadap Aswatama. Tidak hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia menghela
nafas panjang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang
membakar hatinya. Karena ia tak lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia berkata
kepada Prabu Duryudana dengan berusaha setenang yang ia bisa.
“Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku ingin
kembali dulu menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu tak lagi
dapat ditahan. Mohon jangan bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku kembali
dari Mandaraka”.
“Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama” Duryudana melepaskan
kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap menekan
dadanya. Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya ke tindakan
seorang pengecut.
“Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya pertempuran
aku serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah dari Rama
Prabu Salya. Besok aku tidak akan ikut campur urusan perang yang sudah aku
berikan sepenuhnya kepada si paman dan rama Prabu Salya”.
Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke keputren
Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul.
Dan kedatangan Prabu Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan