Teks tersebut membahas tentang Pancasila sebagai bagian dari ajaran spiritual Budaya Jawa yaitu Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya atau Panca Mukti Muni Wacana. Teks ini juga menjelaskan lima sila Pancasila dan lima karya serta lima guna sebagai pedoman berperilaku dan berkarya bagi manusia.
1. WAHYU PANCASILA
Oleh Mas Kumitir
Sebuah Bahan Renungan Perjalanan Bangsa
Oleh :
K.R.T.H. RONO HADINAGORO
LIMA PULUH DELAPAN TAHUN PERJALANAN PANCASILA
Sebagian besar masyarakat yakin bahwa Rumusan Pancasila dicetuskan pertama kali oleh
Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, sehingga tanggal tersebut pernah dijadikan
tonggak sejarah hari kelahiran Pancasila. Namun perkembangan jaman sempat
memudarkan keyakinan itu. Pada era orde baru, ada pergeseran paradigma sejarah,
sehingga peran Bung Karno sebagai pencetus pertama Pancasila sebagai dasar negara
sempat menjadi dikaburkan. Hal seperti ini wajar, karena sejarah itu adalah history (his
story/cerita dia), sehingga wajar saja jika peran seorang tokoh sangat bergantung pada
kesan dan pesan subyektif si pembuat versi sejarah itu kepada tokoh yang akan
diceritakan.
Upaya pengubahan orientasi serta paradigma sejarah Pancasila pada era orde baru
sebenarnya membawa dampak positif terhadap citra Pancasila itu. Momentum kesaktian
Pancasila, terlepas dari versi sejarah mana yang benar, disengaja atau tidak, justru
mengangkat harkat Pancasila, karena terdapat kesan bahwa Pancasila itu dirumuskan oleh
seseorang yang dianggap memiliki catatan negatif menurut anggapan yang beredar luas
pada saat itu. Bahkan paradigma sejarah versi rezim orde baru yang menganggap bahwa
rezim orde lama di bawah pimpinan sang pencetus rumusan Pancasila itu terlibat dalam
pengkhianatan Pancasila, turut serta membersihkan pamor Pancasila.
Akan tetapi sayang seribu kali sayang, penyelewengan yang dilakukan oleh sebagian
tokoh serta pemimpin orde baru yang berhasil secara halus bernaung atau berlindung di
balik jubah Pancasila, nilai luhur Pancasila itu menjadi kusam. Pada masa orde baru
banyak orang mencari pembenaran atas hasrat serta kepentingannya dengan
menggunakan dalih Pancasila. Dengan alasan “musyawarah mufakat”, maka
dihalalkanlah praktek-praktek korupsi, kolusi, dan manipulasi. Dengan alasan “ini negeri
Pancasila”, “demi menyelamatkan Pancasila”,… ini dan itu,… maka dibebaskanlah para
pelaku kecurangan, penyelewengan, kedzaliman, kemunafikan, kemungkaran,
kemaksiatan, dan berbagai bentuk penyimpangan lain di satu sisi, sementara di sisi lain
tidak sedikit orang yang benar-benar membela kebenaran malah dipersalahkan bahkan
harus mendekam di dalam ruang bertirai besi dengan tuduhan “ ekstrimis, .. anti
pancasila, orde lama, komunis, dsb…
2. Kemahiran oknum penguasa orde baru berlindung di balik Pancasila telah menyebabkan
pencemaran keluhuran Pancasila. Menjelang akhir dari kejayaan rezim orde baru, secara
terbuka sudah mulai bermunculan pernyataan yang mempertanyakan Pancasila. Bahkan
tidak sedikit yang membuat pernyataan anti sakralisasi Pancasila, dengan alasan bahwa
Pancasila telah disakralkan oleh rezim orde baru.
Anggapan sakralisasi Pancasila pada masa rezim orde baru sebenarnya tidaklah tepat,
karena sebenarnya pada masa orde baru itulah terjadi proses pelecehan Pancasila. Pada
masa itu Pancasila dijadikan tameng atau bumper kedzaliman, kemaksiyatan,
keserakahan, dan kesewenang-wenangan oleh sebagian besar penguasa. Betapa tidak,…
sosok-sosok yang disebut Manggala ( penatar tingkat tertinggi ilmu tafsir Pancasila
madzhab orde baru ) pun, ternyata sebagian besar malah pelaku Kedzaliman dan
Kemunafikan Nasional ( KKN, yang salah satu bentuk anaknya adalah Korupsi Kolusi
dan Nepotisme ). Fenomena itu lah yang menyebabkan bermunculannya kesan bahwa
Pancasila identik dengan orde baru dengan berbagai macam ragam bentuk jurus KKN-
nya, yang menyebabkan kehancuran negeri tercinta. Padahal sebenarnya, jika kita gali
nilai-nila Pancasila dari ajaran budaya Jawa, sejak Prolamasi kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini Pancasila belum pernah dilaksanakan satu
sila pun oleh para pemimpin bangsa ini secara benar. Selama 58 tahun terakhir ini
Pancasila hanya bagaikan Mahkota emas yang dipakai bergantian oleh para perampok
dan pemerkosa, yang akhirnya banyak orang muak melihat mahkota itu karena selalu
melekat di kepala makhluk yang tidak berperadaban serta tidak berbudaya.
WAHYU SAPTA WARSITA PANCA PANCATANING MULYA
Menurut sebagian dari faham ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila itu merupakan
bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya ( Wahyu tujuh kelompok
ajaran yang masing-masing kelompok berisi lima butir ajaran untuk mencapai kemuliaan,
ketenteraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/ akhirat
). Sementara itu ada tokoh spiritual lain menyebutkan Panca Mukti Muni Wacana yang
hanya terdiri atas lima kelompok ( bukan tujuh ).
Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya itu terdiri atas :
1. Pancasila
Pancasila merupakan butir-butir ajaran yang perlu dijadikan rujukan pembentukan sikap
dasar atau akhlak manusia.
1.1. Hambeg Manembah
Hambeg manembah adalah sikap ketakwaan seseorang kepada Tuhan Yang Mahaesa.
3. Manusia sebagai makhluk ciptaanNya wajib memiliki rasa rumangsa lan pangrasa
(menyadari) bahwa keberadaannya di dunia ini sebagai hamba ciptaan Ilahi, yang
mengemban tugas untuk selalu mengabdi hanya kepadaNya. Dengan pengabdian yang
hanya kepadaNya itu, manusia wajib melaksanakan tugas amanah yang diemban, yaitu
menjadi khalifah pembangun peradaban serta tatanan kehidupan di alam semesta ini, agar
kehidupan umat manusia, makhluk hidup serta alam sekitarnya dapat tenteram, sejahtera,
damai, aman sentosa, sehingga dapat menjadi wahana mencapai kebahagiaan abadi di
alam kelanggengan ( akhirat ) kelak ( Memayu hayu harjaning Bawana, Memayu hayu
harjaning Jagad Traya, Nggayuh kasampurnaning hurip hing Alam Langgeng ).
Dengan sikap ketakwaan ini, semua manusia akan merasa sama, yaitu berorientasi serta
merujukkan semua gerak langkah, serta sepak terjangnya, demi mencapai ridlo Ilahi,
Tuhan Yang Maha Bijaksana ( Hyang Suksma Kawekas ).
Hambeg Mangeran ini mendasari pembangunan watak, perilaku, serta akhlak manusia.
Sedangkang akhlak manusia akan menentukan kualitas hidup dan kehidupan, pribadi,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
1.2. Hambeg Manunggal
Hambeg manunggal adalah sikap bersatu. Manusia yang hambeg mangeran akan
menyadari bahwa manusia itu terlahir di alam dunia ini pada hakekatnya sama. Kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap insan itu memang merupakan tanda-tanda
kebesaran Hyang Suksma Adi Luwih ( Tuhan Yang Maha Luhur ). Oleh karena itu
sebagai salah satu bentuk dari sikap ketakwaan seseorang adalah sikap hasrat serta
kemauan kerasnya untuk bersatu. Perbedaan tingkatan sosial, tingkat kecerdasan, dan
perbedaan-perbedaan lain sebenarnya bukan alat untuk saling berpecah belah, tetapi
malah harus dapat dipersatukan dalam komposisi kehidupan yang serasi serta bersinergi.
Hanya ketakwaan lah yang mampu menjadi pendorong tumbuhnya hambeg manunggal
ini, karena manusia akan merasa memiliki satu tujuan hidup, satu orientasi hidup, dan
satu visi di dalam kehidupannya.
Di dalam salah satu ajaran spiritual, hambeg manunggal itu dinyatakan sebagai,
manunggaling kawula lan gustine (bersatunya antara rakyat dengan pemimpin),
manunggale jagad gedhe lan jagad cilik ( bersatunya jagad besar dengan jagad kecil ),
manunggale manungsa lan alame ( bersatunya manusia dengan alam sekitarnya ),
manunggale dhiri lan bebrayan ( bersatunya individu dengan masyarakat luas ),
manunggaling sapadha-padha ( persatuan di antara sesama ), dan sebagainya.
1.3. Hambeg Welas Asih
Hambeg welas asih adalah sikap kasih sayang. Manusia yang hambeg mangeran, akan
merasa dhirinya dengan sesama manusia memiliki kesamaan hakikat di dalam hidup.
4. Dengan kesadaran itu, setelah hambeg manunggal, manusia wajib memiliki rasa welas
asih atau kasih sayang di antara sesamanya. Sikap kasih sayang itu akan mampu semakin
mempererat persatuan dan kesatuan.
1.4. Hambeg Wisata.
Hambeg wisata adalah sikap tenteram dan mantap. Karena ketakwaannya kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, manusia akan bersikap tenteram dan merasa mantap di dalam
kehidupannya. Sikap ini tumbuh karena keyakinannya bahwa semua kejadian ini
merupakan kehendak Sang Pencipta.
Hambeg wisata bukan berarti pasrah menyerah tanpa usaha, tetapi justru karena
kesadaran bahwa semua kejadian di alam semesta ini terjadi karena kehendakNya,
sedangkan Tuhan juga menghendaki manusia harus membangun tata kehidupan untuk
mensejahterakan kehidupan alam semesta, maka dalam rangka hambeg wisata itu
manusia juga merasa tenteram dan mantap dalam melakukan usaha, berkarya, dan upaya
di dalam membangun kesejahteraan alam semesta. Manusia akan merasa mantap dan
tenteram hidup berinteraksi dengan sesamanya, untuk saling membantu, bahu membahu,
saling mengingatkan, saling mat sinamatan, di dalam kehidupan.
1.5. Hambeg Makarya Jaya Sasama
Hambeg Makarya Jaya Sasama adalah sikap kemauan keras berkarya, untuk mencapai
kehidupan, kejayaan sesama manusia. Manusia wajib menyadari bahwa keberadaannya
berasal dari asal yang sama, oleh karena itu manusia wajib berkarya bersama-sama
menurut potensi yang ada pada dirinya masing-masing, sehingga membentuk sinergi
yang luar biasa untuk menjapai kesejahteraan hidup bersama. Sikap hambeg makarya
jaya sesama akan membangun rasa “tidak rela” jika masih ada sesama manusia yang
hidup kekurangan atau kesengsaraan.
2. Panca Karya
Panca karya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan berkarya di dalam kehidupan.
2.1. Karyaning Cipta Tata
Karyaning Cipta Tata adalah kemampuan berfikir secara runtut, sistematis, tidak
semrawut ( tidak worsuh, tidak tumpang tindih ).
Manusia wajib mengolah kemampuan berfikir agar mampu menyelesaikan semua
persoalan hidup yang dihadapinya secara sistematis dan tuntas. Setiap menghadapi
permasalahan wajib mengetahui duduk permasalahannya secara benar, mengetahui tujuan
penyelesaian masalah yang benar beserta berbagai standar kriteria kinerja yang hendak
5. dicapainya, mengetahui kendala-kendala yang ada, dan menyusun langkah atau strategi
penyelesaian masalah yang optimal.
2.2. Karyaning Rasa Resik
Karyaning rasa resik adalah kemampuan bertindak obyektif, bersih, tanpa dipengaruhi
dorongan hawa nafsu, keserakahan, ketamakan, atau kepentingan-kepentingan pribadi
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran/budi luhur.
2.3. Karyaning Karsa Lugu
Karyaning Karsa Lugu adalah kemampuan berbuat bertindak sesuai suara kesucian
relung kalbu yang paling dalam, yang pada dasarnya adalah hakekat kejujuran fitrah
Ilahiyah ( sesuai kebenaran sejati yang datang dari Tuhan Yang Maha Suci/Hyang
Suksma Jati Kawekas ).
2.4. Karyaning Jiwa Mardika
Karyaning Jiwa Mardika adalah kemampuan berbuat sesuai dengan dorongan Sang Jiwa
yang hanya menambatkan segala hasil karya, daya upaya, serta cita-cita kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, terbebas dari cengkeraman pancaindera dan hawa nafsu keserakahan
serta ketamakan akan keduniawian. Karyaning Jiwa Mardika akan mampu
mengendalikan keduniaan, bukan diperbudak oleh keduniawian ( Sang Jiwa wus bisa
murba lan mardikaake sagung paraboting kadonyan ).
2.5. Karyaning Suksma Meneng
Karyaning Suksma Meneng adalah kemampuan berbuat berlandaskan kemantapan
peribadatannya kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana, berlandaskan kebenaran, keadilan,
kesucian fitrah hidup, “ teguh jiwa, teguh suksma, teguh hing panembah “.
Di dalam setiap gerak langkahnya, manusia wajib merujukkan hasil karya ciptanya pada
kehendak Sang Pencipta, yang menitipkan amanah dunia ini kepada manusia agar selalu
sejahtera.
3. Panca Guna
Panca guna merupakan butir-butir ajaran untuk mengolah potensi kepribadian dasar
manusia sebagai modal dalam mengarungi bahtera kehidupan.
3.1. Guna Empan Papaning Daya Pikir
6. Guna empan papaning daya pikir adalah kemampuan untuk berkonsentrasi, berfikir
secara benar, efektif, dan efisien ( tidak berfikir melantur, meratapi keterlanjuran,
mengkhayal yang tidak bermanfaat, tidak suka menyia-nyiakan waktu ).
3.2. Guna Empan Papaning Daya Rasa
Guna empan papaning daya rasa adalah kemampuan untuk mengendalikan kalbu, serta
perasaan ( rasa, rumangsa, lan pangrasa ), secara arif dan bijaksana.
3.3. Guna Empan Papaning Daya Karsa
Guna empan papaning daya karsa adalah kemampuan untuk mengendalikan, dan
mengelola kemauan, cita-cita, niyat, dan harapan.
3.4. Guna Empan Papaning Daya Karya
Guna empan papaning daya karya adalah kemampuan untuk berkarya, berbuat sesuatu
yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
3.5. Guna Empan Papaning Daya Panguwasa
Guna empan papaning daya panguwasa adalah kemampuan untuk memanfaatkan serta
mengendalikan kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan secara arif dan bijaksana (tidak
menyalahgunakan kewenangan). Kewenangan, kekuasaan, serta kemampuan yang
dimilikinya dimanfaatkan secara baik, benar, dan tepat untuk mengelola (merencanakan,
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi ) kehidupan alam semesta.
4. Panca Dharma
Panca dharma merupakan butir-butir ajaran rujukan pengarahan orientasi hidup dan
berkehidupan, sebagai penuntun bagi manusia untuk menentukan visi dan misi hidupnya.
4.1. Dharma Marang Hingkang Akarya Jagad
Dharma marang Hingkang Akarya Jagad adalah melaksanakan perbuatan mulia sebagai
perwujudan pelaksanaan kewajiban umat kepada Sang Pencipta. Manusia diciptakan oleh
Tuhan Yang Mahaesa untuk selalu menghambakan diri kepada-Nya. Oleh karena itu
semua perilaku, budi daya, cipta, rasa, karsa, dan karyanya di dunia tiada lain dilakukan
hanya semata-mata sebagai bentuk perwujudan dari peribadatannya kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, untuk mensejahterakan alam semesta ( memayu hayuning harjaning
bawana, memayu hayuning jagad traya ).
4.2. Dharma Marang Dhirine
7. Dharma marang dhirine adalah melaksanakan kewajiban untuk memelihara serta
mengelola dhirinya secara baik. Olah raga, olah cipta, olah rasa, olah karsa, dan olah
karya perlu dilakukan secara baik sehingga sehat jasmani, rohani, lahir, dan batinnya.
Manusia perlu menjaga kesehatan jasmaninya. Namun demikian mengasah budi, melalui
belajar agama, budaya, serta olah batin, merupakan kewajiban seseorang terhadap dirinya
sendiri agar dapat mencapai kasampurnaning urip, mencapai kebahagiaan serta
kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Dengan kesehatan jasmani, rohani, lahir, dan batin tersebut, manusia dapat memberikan
manfaat bagi dirinya sendiri.
4.3. Dharma Marang Kulawarga
Dharma marang kulawarga adalah melaksanakan kewajiban untuk memenuhi hak-hak
keluarga. Keluarga merupakan kelompok terkecil binaan manusia sebagai bagian dari
masyarakat bangsa dan negara. Pembangunan keluarga merupakan fitrah manusiawi.
Kelompoh ini tentunya perlu terbangun secara baik. Oleh karena itu sebagai manusia
memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas masing-masing di dalam lingkungan
keluarganya secara baik, benar, dan tepat.
4.4. Dharma Marang Bebrayan
Dharma marang bebrayan adalah melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun
kehidupan bermasyarakat secara baik, agar dapat membangun masyarakat binaan yang
tenteram damai, sejahtera, aman sentosa.
4.5. Dharma Marang Nagara
Dharma marang nagara adalah melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun
negara sesuai peran dan kedudukannya masing-masing, demi kesejahteraan, kemuliaan,
ketenteraman, keamanan, kesetosaan, kedaulatan, keluhuran martabat, kejayaan,
keadilan, dan kemakmuran bangsa dan negaran beserta seluruh lapisan rakyat, dan
masyarakatnya.
5. Panca Jaya
Panca jaya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan penetapan standar kriteria atau
tolok ukur hidup dan kehidupan manusia.
5.1. Jayeng Dhiri
Jayeng dhiri artinya mampu menguasai, mengendalikan, serta mengelola dirinya sendiri,
sehingga mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang dihadapinya, tanpa
8. kesombongan ( ora rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa lan hangrumangsani, kanthi
rasa, rumangsa, lan pangrasa ).
5.2. Jayeng Bhaya
Jayeng Bhaya artinya mampu menghadapi, menanggulangi, dan mengatasi semua
bahaya, ancaman, tantangan, gangguan, serta hambatan yang dihadapinya setiap saat,
dengan modal kepandaian, kepiawaian, kecakapan, akal, budi pekeri, ilmu, pengetahuan,
kecerdikan, siasat, kiat-kiat, dan ketekunan yang dimilikinya. Dengan modal itu,
seseorang diharapkan mampu mengatasi semua permasalahan dengan cara yang optimal,
tanpa melalui pengorbanan ( mendatangkan dampak negatif ), sehingga sering disebut
‘nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake‘ ( menyerang tanpa pasukan, menang
dengan tidak mengalahkan ).
5.3. Jayeng Donya
Jayeng donya artinya mampu memenuhi kebutuhan kehidupan di dunia, tanpa
dikendalikan oleh dorongan nafsu keserakahan. Dengan kemampuan mengendalikan
nafsu keserakahan di dalam memenuhi segala bentuk hajat serta kebutuhan hidup, maka
manusia akan selalu peduli terhadap kebutuhan orang lain, dengan semangat tolong
menolong, serta memberikan hak-hak orang lain, termasuk fakir miskin ( orang lemah
yang nandang kesusahan/ papa cintraka ).
5.4. Jayeng Bawana Langgeng
Jayeng bawana langgeng artinya mampu mengalahkan semua rintangan, cobaan, dan
godaan di dalam kehidupan untuk mempersiapkan diri, keturunan, dan generasi penerus
sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat.
5.5. Jayeng Lana ( mangwaseng hurip lahir batin kanthi langgeng ).
Jayeng lana artinya mampu secara konsisten menguasai serta mengendalikan diri lahir
dan batin, sehingga tetap berada pada hidup dan kehidupan di bawah ridlo Ilahi.
6. Panca Daya
Panca daya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan sikap dan perilaku manusia
sebagai insan sosial, atau bagian dari warga masyarakat, bangsa dan negara. Di samping
itu sementara para penghayat spiritual kebudayaan Jawa mengisyaratkan bahwa
pancadaya itu merupakan komponen yang mutlak sebagai syarat pembangunan
masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan sentosa lahir batin.
6.1. Daya Kawruh Luhuring Sujanma
9. Daya kawruh luhuring sujanma artinya kekuatan ilmu pengetahuan yang mampu
memberikan manfaat kepada kesejahteraan alam semesta.
6.2. Daya Adiling Pangarsa
Daya adiling pangarsa/tuwanggana artinya kekuatan keadilan para pemimpin.
6.3. Daya Katemenaning Pangupa Boga
Daya katemenaning pangupa boga artinya kekuatan kejujuran para pelaku perekonomian
( pedagang, pengusaha ).
6.4. Daya Kasetyaning Para Punggawa lan Nayaka
Daya kasetyaning para punggawa lan nayaka artinya kekuatan kesetiaan para pegawai/
karyawan.
6.5. Daya Panembahing Para Kawula
Daya panembahing para kawula artinya kekuatan kemuliaan akhlak seluruh lapisan
masyarakat ( mulai rakyat kecil hingga para pemimpinnya; mulai yang lemah hingga
yang kuat, mulai yang nestapa hingga yang kaya raya, mulai kopral hingga jenderal,
mulai sengsarawan hingga hartawan ).
7. Panca Pamanunggal ( Panca Panunggal )
Panca pamanunggal adalah butir-butir ajaran rujukan kriteria sosok manusia pemersatu.
Sementara tokoh penghayat spiritual jawa menyebutkan bahwa sosok pimpinan yang adil
dan akan mampu mengangkat harkat serta martabat bangsanya adalah sosok pimpinan
yang di dalam jiwa dan raganya bersemayam perpaduan kelima komponen ini.
7.1. Pandhita Suci Hing Cipta Nala
Pandita suci hing cipta nala adalah sosok insan yang memiliki sifat fitrah, yaitu kesucian
lahir batin, kesucian fikir dan tingkah laku demi memperoleh ridlo Ilahi.
7.2. Pamong Waskita
Pamong waskita adalah sosok insan yang mampu menjadi pelayan masyarakat yang
tanggap aspirasi yang dilayaninya.
7.3. Pangayom Pradah Ber Budi Bawa Bawa Leksana
10. Pangayom pradhah ber budi bawa leksana adalah sosok insan yang mampu melindungi
semua yang ada di bawah tanggungjawabnya, mampu bersifat menjaga amanah dan
berbuat adil berdasarkan kejujuran.
7.4. Pangarsa Mulya Limpat Wicaksana
Pangarsa mulya limpat wicaksana artinya sosok insan pemimpin yang berbudi luhur,
berakhlak mulia, cakap, pandai, handal, profesional, bertanggungjawab, serta bijaksana.
7.5. Pangreh Wibawa Lumaku Tama
Pangreh wibawa lumaku tama artinya sosok insan pengatur, penguasa, pengelola yang
berwibawa, memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, mampu mengatur bawahan dengan
kewenangan yang dimilikinya, tetapi tidak sewenang-wenang, karena berada di dalam
selalu berada di dalam koridor perilaku yang mulia ( laku utama ).
KORELASI RUMUSAN PANCASILA DASAR NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
Menurut KRMH. T.H. Koesoemoboedoyo, di dalam buku tentang “Wawasan Pandam
Pandoming Gesang Wewarah Adiluhung Para Leluhur Nuswantara Ngudi Kasampurnan
Nggayuh Kamardikan”, pada tahun 1926, perjalanan spiritual Bung Karno, yang sejak
usia mudanya gemar olah kebatinan untuk menggapai cita-citanya yang selalu
menginginkan kemerdekaan negeri tercinta, pernah bertemu dengan seorang tokoh
spiritual, yaitu Raden Ngabehi Dirdjasoebrata di Kendal Jawa Tengah. Pada saat itu
Raden Ngabehi Dirdjasoebrata mengatakan kepada Bung Karno, “ Nak,.. mbenjing
menawi nagari sampun mardika, dhasaripun Pancasila. Supados nak Karno mangertos,
sakpunika ugi kula aturi sowan dik Wardi mantri guru Sawangan Magelang “. ( “ Nak,
nanti jika negeri telah merdeka, dasarnya Pancasila. Supaya nak Karno mengerti,
sekarang juga saya sarankan menemui dik Wardi, mantri guru Sawangan Magelang” ).
Setelah Bung Karno menemui Raden Suwardi di Sawangan Magelang, maka oleh Raden
Suwardi disarankan agar Bung Karno menghadap Raden Mas Sarwadi Praboekoesoema
di Yogyakarta.
Di dalam pertemuannya dengan Raden Mas Sarwadi Praboekoesoemo itu lah Bung
Karno memperoleh wejangan tentang Panca Mukti Muni Wacana dalam bingkai Ajaran
Spiritual Budaya Jawa, yang terdiri atas Pancasila, Panca Karya, Panca Guna,
Pancadharma, dan Pancajaya.
Terlepas dari kecenderungan faham pendapat Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya,
atau Panca Mukti Muni Wacana, jika dilihat rumusan Pancasila ( dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia ), beserta proses pengusulan rumusannya, dengan menggunakan
kejernihan hati dan kejujuran, sepertinya dapat terbaca bahwa seluruh kandungan ajaran
11. Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya dan atau Panca Mukti Muni
Wacana itu termuat secara ringkas di dalam rumusan sila-sila Pancasila, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Mahaesa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
/ perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
AJARAN MORAL UNIVERSAL
Kelompok orang yang sudah mulai alergi terhadap Pancasila, sering mengira bahwa
penghambat kemajuan bangsa ini adalah Pancasila. Pendapat itu merupakan pendapat
yang sangat keliru, karena tidak disertai pemahaman yang menyeluruh tentang makna
serta hakikat Pancasila.
Pancasila itu ibarat pisau emas yang bermata berlian. Ditinjau dari bahannya, pisau itu
terbuat dari logam mulia serta batu yang sangat mulia. Dan pisau emas bermata berlian
itu sangat tajam. Kemuliaan dan ketajamannya dapat digunakan untuk apa saja oleh siapa
saja. Pisau itu dapat digunakan untuk memasak, untuk berkarya membuat ukiran patung
yang indah, untuk mencari air dan mata pencaharian demi kesejahteraan dan
ketenteraman, tetapi dapat pula untuk menodong, bahkan membunuh. Pisau itu pun dapat
dibuang, digadaikan, atau dijual bagi orang yang tidak mengerti nilai (value).
Permasalahannya sangat bergantung pada manusia pemakainya.
Seekor monyet, jika disuruh memilih antara pisang atau pisau emas yang bermata berlian
tadi, pasti akan memilih pisang. Lain halnya dengan manusia yang memang menyadari
akan harkat dan martabat kemanusiaannya. Manusia seperti ini pasti akan memilih pisau
emas yang bermata intan itu, karena sadar akan nilai yang terkandung di dalamnya. Kalau
toh pisau emas bermata berlian tadi berada di tangan monyet, paling digunakan untuk
mencuri pisang dengan segala keserakahannya, setelah itu dibuang.
Pancasila yang luhur itu selama ini berada di bumi pertiwi sering sekali mengalami nasib
bagaikan mahkota emas bertatahkan intan, berlian dan permata mulia tetapi dipakai oleh
babi-babi yang tidak berbudaya, atau monyet yang tak mengerti nilai.
Manusia yang tak tahu nilai, ibarat makhluk yang sudah kehilangan sifat insani
kemanusiaannya ( lir jalma kang wus koncatan sipat kamanungsane ).
12. Kandungan Pancasila yang merupakan ikhtisar dari Sapta Warsita Panca Pancataning
Mulya memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran kitab
suci Al-Qur’an. Nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila, walaupun tidak tertulis
dalam bentuk rumusan, sangat sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi pekerti yang
dimiliki, dijunjung tinggi, serta diamalkan sebagai landasan hidup oleh bangsa-bangsa
maju yang berperadaban tinggi di dunia. Dengan demikian Pancasila ini merupakan
ideologi yang bersifat universal. Di dalam Pancasila terkandung pula nilai-nilai sosialis
religius, bahkan lebih sempurna. Tetapi sayang, nilai-nilai luhur itu nampaknya belum
pernah termunculkan dalam kehidupan sehari hari, bahkan sering ditafsirmiring atau
diselewengkan oleh oknum-oknum pemimpin, sehingga banyak orang yang meributkan
atau mempermasalahkan/ mempertentangkan antara Pancasila dengan Islam, Pancasila
dianggap kurang baik jika dibandingkan dengan faham Sosialis Religius, dan sebagainya.
Pandangan-pandangan negatif terhadap Pancasila itu muncul barangkali karena
prasangka bahwa Pancasila itu adalah identik dengan Sukarnoisme ( sosialisasi Pancasila
), atau Soehartoisme ( liberalisasi Pancasila ) seperti yang tercantum dalam materi
Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila. Pancasila adalah Pancasila.
Banyak orang berpendapat bahwa tanpa Pancasila bangsa-bangsa seperti di negara
Amerika Serikat, di negara-negara Eropa, Jepang, Korea, Inggris, Australia, Malaysia,
dan Singapura dapat maju dan jaya secara pesat, sedangkan di Indonesia yang ada
Pancasila malah semakin mundur dan melarat. Bahkan orang yang berpendapat demikian
itu malah mengutarakan juga bahwa dari segi moral dan akhlaknya pun, bangsa Indonesia
ini kalah dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Pancasila.
Di negara maju, seorang calon pemimpin harus bersih, suci dari cacat-cacat akhlak.
Namun perlu kita cermati, di negeri pertiwi ini malah banyak pemimpin yang turut
mendukung perilaku maksiyat. Apakah ini sesuai dengan nilai-nilai luhur sila Ketuhanan
Yang Mahaesa, yang menjiwai keempat sila yang lain.
Kalau kita menyimak tata upacara pelantikan Presiden Amerika Serikat, perlu lah kita
mengakui bahwa Bangsa Amerika lebih menjunjung Tinggi Ketuhanan dibandingkan
bangsa Indonesia. Sebelum upacara dimulai, pasti didahului dengan doa. Dengan
demikian maka proses pengangkatan Presiden negara adi daya itu pasti diridlo Tuhan
Yang Maha Kuasa, sehingga tidaklah aneh kalau bangsa tersebut mampu menguasai
dunia. Di sisi lain, di Indonesia, doa selalu dibacakan di setiap akhir upacara, sehingga
tidaklah mengherankan kalau bangsa Indonesia yang mengaku berketuhanan itu selalu
nubyak-nubyak tanpa tuntunan di dalam setiap sepak terjangnya, dan diakhiri dengan
keterlanjuran, penyesalan, dan permohonan maaf.
Di dalam mata uang Dolar Amerika tertulis “ IN GOD WE TRUST “ di bagian atas, oleh
karena itu kiranya tidaklah perlu heran kalau nilai mata uang dolar Amerika selalu tinggi
dan mampu menguasai dunia. Mata uang Indonesia baru saja mencantumkan “Dengan
13. rahmat Tuhan Yang Mahaesa”. Tulisan itu pun kecil dan terletak di bagian bawah.
Bahkan sebelumnya kalimat yang tidak pernah tertinggalkan adalah “ Barang siapa
meniru atau memalsukan,… dst “. Bukankah itu cerminan kadar ke Pancasilaisan bangsa
yang mengaku berbudaya luhur ini ??
Sistem demokrasi di negeri kita masih sangat kental diwarnai oleh ketamakan akan
kekuasaan, dan ketamakan akan harta. Cara-cara penyusunan konstitusi yang berbau
mencari-cari celah pembenaran atas kehendak kelompok atau pribadi-pribadi tertentu,
belum berorientasi pada upaya penyejahteraan rakyat, apakah sesuai dengan asas
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /
perwakilan. Benarkah sistem demokrasi/ sistem politik kita sudah merujuk pada
Pancasila, sak jatine Pancasila ??. Benarkah sistem demokrasi kita sudah berlandaskan
hikmah ( kebenaran hakiki, berlandaskan kejujuran ) demi kesejahteraan kehidupan
rakyat ??
Perlu dicermati bersama, bahwa di Indonesia itu ada yang memformulasikan, atau
merumuskan Pancasila secara formal, tetapi yang mampu dan mau mengamalkannya di
dalam kehidupan sehari-hari sangat-sangat langka. Sedangkan di lain fihak, di negara-
negara maju yang lebih berperadaban, walaupun tanpa formulasi atau rumusan, Pancasila
sudah merupakan budaya di dalam kehidupan kesehariannya, sudah melekat dalam
jiwanya sehingga mampu membawa mereka ke dalam kemuliaan hidup diri dan
negaranya.
Empat orang pemimpin negara Republik Indonesia ini turun dengan cara yang kurang
baik dan selalu berakhir dengan kesan negatif.
Pengalaman ini perlu dijadikan bahan perenungan, apakah itu budaya Pancasila???
Bahkan sejarah pun mencatat, bukan hanya di jaman Republik saja, tetapi sejak kerajaan-
kerajaan terdahulu di bumi Pertiwi ini, setiap pergantian kepemimpinan hampir selalu
disertai berbagai kesan atau proses yang kurang baik. Keruntuhan Sriwijaya, Majapahit,
Mataram, dan negeri-negeri lain di persada Nusantara ini perlu lah kiranya kita jadikan
bahan renungan dan tantangan. Benarkah di dalam sanubari manusia Indonesia ini masih
mengalir darah Pancasilais ???